Anda di halaman 1dari 25

Telaah Ilmiah

PENATALAKSANAAN THYROID EYE DISEASES

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSMH Palembang

Oleh:

Vivi Lutfiyani Mardhatilla, S.Ked


04054821719158

Pembimbing:
dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp. M (K), MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITASSRIWIJAYA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Telaah Ilmiah

PENATALAKSANAAN THYROID EYE DISEASES

Oleh:
Vivi Lutfiyani Mardhatilla, S.Ked
04054821719158

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Periode 11 Desember 2017 – 15 Januari 2018.

Palembang, Desember 2017

dr.Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp. M (K), MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
"Penatalaksanaan Thyroid Eye Diseases". Penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr.Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp. M (K), MARS selaku pembimbing yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan laporan
kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun. Akhir
kata, semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi banyak orang dan dapat
digunakan sebagaimana mestinya.

Palembang, Desember 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv
BAB I .................................................................................................................................. 1
BAB II................................................................................................................................. 3
DEFINISI ........................................................................................................................ 3
EPIDEMIOLOGI ............................................................................................................ 3
PATOGENESIS .............................................................................................................. 4
KLASIFIKASI ................................................................................................................ 5
MANIFESTASI KLINIS ................................................................................................ 6
DIAGNOSIS ................................................................................................................. 10
PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................................. 11
DIAGNOSIS BANDING.............................................................................................. 13
TATALAKSANA ......................................................................................................... 14
PROGNOSIS ................................................................................................................ 18
BAB III ............................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Pada tahun 1835, Grave mengutarakan suatu penyakit akibat naiknya


metabolisme tubuh disertai dengan perubahan pada mata yang dinamakan
penyakit Grave atau eksoftalmus goiter. Meningkatnya metabolisme
menimbulkan berbagai perubahan di dalam tubuh. Perubahan pada mata
dinamakan oftalmopati. Gejala tersebut disebabkan oleh karena pembentukan
tiroksin yang berlebihan akibat kelainan autoimun.1 Pada penyakit Graves dapat
ditemukan kelainan mata berupa retraksi kelopak mata, tanda von Graefe,
proptosis, miopati ekstraokular restriktif, neuropati optik kompresif, keratopati
pajanan, serta konjungtiva hiperemis dan kemosis. Penderita dengan penyakit
Grave klasik menunjukkan trias gejala kelainan pada mata, hipertiroidisme, dan
miksedema pretibial.2
Angka kejadian hipertiroidisme Graves di Amerika Serikat adalah sekitar
seperempat dari 1% populasi penduduknya, dimana sekitar 80% pasien
hipertiroidisme Graves mengalami kelainan mata.3 Di Amerika Serikat, angka
kejadian per tahun untuk thyroid eye diseases diperkirakan sekitar 16 per 100.000
penduduk untuk perempuan dan 3 per 100.000 penduduk untuk laki-laki.
Prevalensi thyroid eye diseases lebih sering pada perempuan (2,5 - 6 kali lebih
sering dibanding laki-laki) dengan kisaran umur 30-50 tahun.2
Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien thyroid eye diseases dapat
bervariasi, tergantung kepada stadiumnya. Awalnya pada stadium akut atau
subakut akan ditemukan tanda-tanda inflamasi, setelah itu timbul tanda dan gejala
lain yang menyertai sesuai dengan stadium yang mengenai pasien, umumnya akan
ditemukan fibrosis. Sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi ahli
penyakit dalam karena keluhan kardiovaskuler, sebagian lain ke ahli bedah atau
ahli THT karena keluhan benjolan di leher yang jelas, dan sebagian lagi akan
mengunjungi ahli mata akibat kelainan mata khususnya eksoftalmus.4

1
Sejumlah uji klinis acak pada pengobatan thyroid eye diseases telah
dipublikasikan dalam beberapa tahun terakhir, dan hasilnya telah mempengaruhi
pengelolaan pasien secara substansial. Mengingat hal itu, maka sudah selayaknya
apabila penatalaksanaan thyroid eye diseases diketahui, dari penatalaksanaan
penyakit yang paling ringan sampai yang terberat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Thyroid eye diseases (TED) dapat juga disebut sebagai TED, thyroid
associated orbitopathy (TAO), atau orbitopathy dystyroid. Penyakit ini
didefinisikan sebagai suatu kondisi autoimun yang dihubungkan dengan status
kadar tiroid yang tidak normal, dimana terdapat inflamasi berat yang
menyebabkan remodelling jaringan orbita, termasuk akumulasi makromolekul
ekstraseluler dan lemak.1 Kondisi ini ditandai dengan retraksi kelopak mata,
proptosis (penonjolan bola mata ke luar), miopati ekstraokluler restriktif, dan
neuropati optik.2
Penyakit ini mengenai kedua mata, namun dapat tidak simetris. Meskipun
kejadiannya kerap dihubungkan dengan penyakit hipertiroid, TED dapat terjadi
juga pada keadaan hipotiroid, atau pada kasus yang langka, yaitu Hashimoto
thyroiditis. Pada beberapa pasien, tanda-tanda klinis tersebut tidak diikuti temuan
objektif kelainan tiroid (euthyroid Graves disease).3

EPIDEMIOLOGI
Sesuai dengan namanya, TED banyak terdeteksi pada pasien yang
menderita penyakit Grave. Penyakit Grave adalah suatu kondisi autoimun dimana
autoantibodi menempel pada reseptor thyroid stimulating hormone (TSH-R) yang
ada di sel tiroid, hal ini akan memicu terjadinya produksi hormon tiroid yang
berlebihan. Pada kondisi hipertiroid sekitar 80% pasien dengan penyakit Grave
menimbulkan manifestasi klinis pada mata yang selanjutnya disebut dengan
TED.1 Insidensi kejadian TED pada populasi umum adalah 16 kasus untuk jenis
kelamin perempuan dan 3 kasus untuk jenis kelamin laki-laki per 100.000 orang
per tahun dengan bentuk penyakit yang parah tidak lebih dari 3-5% kasus.3
Meskipun TED lebih sering terjadi pada wanita namun tingkat keparahan
lebih tinggi pada pria jika penyakit ini menyerang. Penderita usia 30-50 tahun

3
4

terbukti paling sering terkena penyakit ini, dengan kasus berat sering dijumpai
pada pasien di atas usia 50 tahun. Dari pasien yang mengalami orbitopati tiroid
sekitar 80% adalah hipertiroid secara klinis dan 20% adalah eutiroid secara
klinis.2

PATOGENESIS
Melewati dekade terakhir, penelitian invitro telah bergeser dari miosit
ektraokuler ke fibroblas orbital sebagai target primer dalam proses inflamasi
terkait dengan TED. Diakui bahwa fibroblas orbital secara fenotip berbeda dari
fibroblas yang berasal dari bagian lain di dalam tubuh. Fibroblas orbital melalui
ekpresi karakteristik reseptor permukaaan, gangliosides, dan gen proinflamatory-
berperan aktif dalam proses inflamasi ini. Tidak seperti fibroblas dari bagian
tubuh lain, fibroblast orbital mengekspresikan reseptor CD 40, umumnya
ditemukan pada limfosit B. Ketika terlibat dengan sel T terikat CD 154, beberapa
gen proinflamasi fibroblas secara teratur naik, termasuk interleukin-6 (IL-6), IL-8,
and prostaglandin E (PGE).5
Selanjutnya, terjadi kenaikan sintesis ofhyaluronan and glycosamino-
glycan (GAG). Hal tersebut terjadi pada tingkat yang 100 – kali lipat lebih besar
dalam fibroblas orbital dibandingkan fibroblas di perut pasien TED dari pasien
yang sama. Kaskade kenaikan regulasi ini berdampak pada penambahan dosis
pada terapi kortikosteroid.4
Peradangan otot ekstraokuler dikarakteristikan oleh infiltrasi seluler
pleomorfik. Terkait dengan peningkatan sekresi glikosaminoglikan dan imbibisi
osmotik air menyebabkan otot-otot membesar terkadang sampai delapan kali
ukuran normal, dan dapat menekan saraf optik. Degenerasi serat otot
menyebabkan fibrosis, yang akan memberikan efek penarikan pada otot yang
terlibat, sehingga menghasilkan restriktif miopati dan diplopia. Inflamasi seluler
dengan infiltrasi limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast jaringan intersisial,
lemak dan kelenjar lakrimal orbital terkait dengan akumulasi glikosaminoglikan
dan retensi cairan. Ini menyebabkan peningkatan volume isi orbital.5
5

Fibroblas orbital memiliki kemampuan mengalami diferesiasi menjadi


adiposit. Diyakini bahwa respon tersebut, bersama dengan matriks inflamasi,
bertanggung jawab atas hipertropi lemak yang dominan pada pasien, khususnya
mereka yang lebih muda dari 40 tahun. Diperkirakan bahwa peningkatan fibroblas
orbital dapat meningkatkan adipogenesis.3
Penelitian baru-baru ini juga telah mengidentifikasi sirkulasi
imunoglobulin (IgG) yang mengaktifkan reseptor insulin-like growth factor serta
menyebabkan reseptor tersebut diekspresikan dalam jumlah yang banyak pada
permukaan sel termasuk fibroblas. Autoantibodi ini telah ditemukan pada
mayoritas pasien dan dapat berkontribusi pada patogenesis orbital dengan
merangsang fibroblas orbital untuk mengeluarkan glikosaminiglikan, sitokin, dan
kemoatraktan. Keluarnya sinyal ini juga dapat menyebabkan peradangan pada
orbital. Manipulasi untuk menghambat jalur ini oleh agen biologis yang tersedia
telah muncul sebagai strategi mengobati pasien berat atau refrakter ortalmopati
Graves.4

KLASIFIKASI
American Thyroid Association (ATA) mengklasifikasikan TED menjadi
enam kelas.5

Kelas 0 : Tidak ada gejala dan tanda


Kelas 1 : Hanya terdapat tanda, tanpa ada gejala (tanda yang ditemukan
terbatas pada retraksi kelopak mata, dengan atau tanpa kelopak
mata yang tertinggal dan proptosis ringan)
Kelas 2 : Keterlibatan jaringan lunak dengan tanda (sebagaimana yang
terdapat pada Kelas-1) dan gejala pada produksi air mata,
fotophobia, pembengkakan kelopak mata atau konjungtiva
Kelas 3 : Proptosis yang cukup terlihat
Kelas 4 : Keterlibatan otot ekstraokular (pembatasan gerak dan diplopia)
Kelas 5 : Keterlibatan kornea (keratitis exposure)
Kelas 6 : Penglihatan yang berkurang akibat keterlibatan saraf penglihatan
6

dengan diskus yang pucat atau papil edem dan defek dari lapangan
pandang

Demi kepraktisan mendiagnosis, TED dibagi menjadi dua bagian yaitu


early (meliputi kelas 1 dan 2) dan late (kelas 3 sampai 6).

MANIFESTASI KLINIS
Retraksi palpebra
Retraksi palpebra merupakan tanda yang khas ditemukan pada oftalmopati
tiroid. Retraksi ini dapat melibatkan palpebra superior maupun inferior. Namun,
yang paling sering dijumpai adalah retraksi palpebra superior – disebut dengan
dalrymple sign, seringkali disertai dengan terpaparnya sklera pada bagian
temporal mata (temporal flare). Retraksi palpebra dapat terjadi secara unilateral
maupun bilateral.6

Eksoftalmos
Eksoftalmos (proptosis) yang disertai dengan retraksi palpebra merupakan
tanda khas yang membedakan oftalmopati tiroid dengan penyakit yang lain.
Eksoftalmos dapat diperiksa dengan palpasi retropulsi, yaitu dengan melakukan
palpasi digital bola mata di atas kelopak mata penderita yang tertutup. Pada
penderita dengan eksoftalmos berat dapat dirasakan berkurangnya dorongan ke
belakang orbita (retropulsi) pada palpasi. Untuk hasil yang lebih objektif,
eksoftalmos dapat diukur dengan menggunakan Eksoftalmometer Hertel atau
Krahn. Hasil pengukuran dapat menunjukkan derajat eksoftalmos mulai dari
ringan, yaitu kurang dari 24 mm, hingga berat yaitu 28 mm atau lebih.6
7

Gambar 1. Oftalmopati Tiroid Berat (diambil dari : Geneva Foundation of


Medical Education and Research)

Lagoftalmus
Lagoftalmus adalah kelainan pada mata berupa kelopak mata tidak dapat
menutup dengan sempurna. Lagoftalmus terjadi karena proptosis dan retraksi
kelopak mata.4 Mata yang tidak dapat tertutup dengan sempurna dapat
mengakibatkan mata bagian depan terpapar oleh udara, sedangkan proses
penggantian tears film oleh kelopak mata juga terganggu. Akibatnya kornea mata
menjadi kering dan mudah terjadi infeksi seperti konjungtivitis dan keratitis.7

Miopati Restrikrif
Retraksi palpebra pada oftalmopati tiroid sering pula disertai dengan
miopati restriktif, yang menyebabkan gangguan atau adanya hambatan pada
pergerakan bola mata. Miopati pada mulanya melibatkan musculus rectus inferior,
kemudian melibatkan otot-otot rectus yang lain.6 Otot-otot yang paling sering
terlibat adalah musculus rectus inferior dan musculus rectus medialis. Pada
keadaan yang lebih berat, hal ini dapat pula menyebabkan strabismus dengan
deviasi ke bawah (hipotropia) atau deviasi ke nasal (esotropia).7
Miopati restriktif dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan forced
ductions.10 Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan penyebab gangguan
pergerakan bola mata karena gangguan neurologis atau restriksi mekanik.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mendorong konjungtiva yang sudah
8

dianestesi secara pasif dengan forsep. Jika penyebabnya adalah restriksi mekanik,
maka pendorongan secara pasif tidak dapat dilakukan.8
Selain forced ductions, dapat pula dilakukan pemeriksaan tekanan
intraokular, yaitu terjadinya peningkatan tekanan dengan pergerakan bola mata.
Misalnya, pada pasien hipotropik, terjadi peningkatan tekanan intraokular pada
saat menggerakkan bola mata ke atas.8

Gambar 2. Hipotropia Kiri dengan Retraksi Palpebra Superior (diambil dari :


Geneva Foundation of Medical Education and Research)

Kelainan pada Kornea


Pada kornea dapat terjadi keratokonjungtivitis pada daerah limbus
superior, yang disebabkan oleh iritasi berulang kronis oleh trauma mekanis dari
palpebra superior. Keratokonjungtivitis limbus superior ini dapat dijadikan tanda
prognosis (prognostic marker), bahwa kemungkinan besar penderita sudah
mengalami oftalmopati yang berat. Pada eksoftalmos berat, terjadi paparan kornea
yang dapat menyebabkan ulkus kornea.3

Diplopia
Diplopia adalah penglihatan ganda. Diplopia selalu dimulai dari tatapan
lapang pandang atas karena infiltrasi miopati menyerang otot rektus inferior.
Namun akhirnya semua otot ekstraokuler dapat terserang sehingga diplopia dapat
terjadi di lapang pandang manapun.4 otot ekstraokuler dapat membesar secara
9

masif sehingga mempengaruhi pergerakan bola mata yang juga dapar


mengakibatkan diplopia.6

Kelainan pada Retina dan Nervus Optik


Pada oftalmopati tiroid dapat terjadi peningkatan tekanan intra okular yang
disebabkan berkurangnya aliran vena episklera.7 Peningkatan tekanan intra okular
ini dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada retina, salah satunya terbentuk
striae.4
Neuropati optik terjadi akibat kompresi oleh otot-otot ekstraorbital yang
mengalami pembesaran, atau dapat pula terjadi karena iskemia nervus optik.12
Gejala yang dialami berupa pandangan kabur, kehilangan penglihatan,
diskromatopsia, atau penurunan lapangan pandang. Neuropati kompresi tidak
selalu disertai dengan eksoftalmos, namun pada pemeriksaan retropulsi
didapatkan penurunan yang bermakna. Dapat pula dilakukan pemeriksaan
funduskopi untuk melihat adanya edema papil. Namun, karena juga tidak selalu
terlihat edema nervus optik, maka penting untuk dilakukan pemeriksaan yang lain,
seperti visus, penglihatan warna dan adanya defek pupil aferen untuk mendeteksi
adanya neuropati optik.8
Selain tanda-tanda yang telah dijelaskan dapat pula terlihat tanda-tanda
inflamasi di sekitar mata, seperti pembengkakan kelenjar lakrimal dan edema
palpebra.6

Dapat pula ditemukan kerutan pada glabella (glabellar furrows). Tanda-


tanda eponim lain yang terkait oftalmopati tiroid antara lain:6
- Von Graefe sign: Kegagalan palpebra superior mengikuti pergerakan
bola mata saat pandangan diarahkan ke arah bawah
- Vigouroux sign: edema palpebra
- Stellwag sign: jarang mengedipkan mata
- Grove sign: adanya tahanan ketika menurunkan palpebra superior
yang mengalami retraksi
- Joffroy sign: tidak ada lipatan dahi pada pergerakan bola mata ke atas
- Möbius sign: konvergensi pupil lemah
10

- Ballet sign: adanya restriksi pada satu atau lebih otot ekstraokular.
- Gifford's sign: kelopak mata atas sulit untuk di eversi (dibalik)

Kelainan pada Tubuh (diluar orbita)


Pada pemeriksaan fisik umum ditemukan manifestasi hipertiroidisme,
berupa pembesaran difus kelenjar tiroid, teraba hangat pada palpasi, dan dapat
terdengar bruit pada auskultasi. Hal ini disebabkan oleh hiperaktivitas kelenjar
tiroid. Ditemukan juga penurunan berat badan, kulit berkeringat banyak dan
hangat pada palpasi, kelemahan otot, takikardia pada saat istirahat, dispnea,
gelisah, tremor, dan tanda-tanda lainnya yang menunjukkan adanya peningkatan
laju metabolism. Pretibial myxedema, clubbing finger (thyroid acropachy) dan
onikolisis merupakan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada kulit, namun jarang
terjadi.9

Gambar 3. Pretibial myxedema (diambil dari buku Harrison’s)

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan jika ditemukan dua dari tiga tanda berikut:4
1. Sedang dalam perawatan imun karena disfungsi tiroid akibat satu atau
lebih penyakit dibawah ini:
a. Graves hipertiroidisme
b. Hashimoto tiroiditis
11

c. Terdapatnya antibodi tiroid tanpa keadaan distiroid yang bersamaan


(pertimbangan parsial diberikan): antibodi reseptor TSH (TSH-R),
imunoglobulin penghambat pengikatan tiroid (TBll), immuno-
globulin stimulasi tiroid (TSI), antibodi antimikrosomal.

2. Tanda-tanda khas orbital (satu atau lebih dari tanda-tanda berikut):


a. Retraksi kelopak mata unilateral atau bilateral dengan khas
kemerahan di sebelah temporal (dengan atau tanpa lagoftalmus).
b. Proptosis unilateral atau bilateral
c. Strabismus restriktif dengan pola yang khas
d. Neuropati optik kompresif
e. Edema/eritema kelopak mata flukuatif
f. Kemosis

3. Bukti radiografi (pembesaran fusiform unilateral/ bilateral dari satu atau


lebih otot berikut):
a. Otot rektus inferior
b. Otot rektus medial
c. Otot rektus/levator kompleks superior
d. Otot rektus lateral

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes fungsi tiroid
Seperti pada penyakit hipertiroid didapatkan kadar T3 dan T4 yang
meningkat, FT4 meningkat, dan TSH menurun.
2. Pemeriksaan visual
Pada pemeriksaan visus bisa didapatkan penurunan visus sampai pada
kebutaan. Sedangkan pada pemeriksaan persepsi warna dapat pula pasien
salah mengenali warna karena terdapat gangguan pada penglihatan
warna.
3. Ultrasonografi
12

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi perubahan pada otot ekstraokuler yang


terjadi pada kasus derajat 0 dan 1 dan dapat membantu diagnosis secara
cepat. Selain ketebalan otot, erosi dinding temporal orbita, penekanan
lemak retroorbita dan inflamasi saraf optik juga dapat terlihat pada
beberapa kasus.
4. Computed Tomography (CT) scan
Computed tomography merupakan alat pencitraan yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi TED. Computed tomography lebih
sensitif daripada magnetic resonance imaging (MRI) dalam mendeteksi
pembesaran otot ekstraokuler. Pemeriksaan ini penting terutama jika
pada pasien direncanakan tindakan operatif untuk dekompresi.1 pada
pemeriksaan CT scan dapat terlihat empat tanda kardinal dari kelainan
pada orbita yaitu proptosis, penebalan otot bola mata, penebalan saraf
optik, dan prolaps septum orbita ke arah anterior karena hipertrofi
jaringan lemak dan atau penebalan otot.9

Gambar 4. Potongan koronal pembesaran otot rektus medial dan rektus


inferior bilateral (diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)
13

Gambar 5. Potongan sagital eksoftalmus, pembesaran otot rektus medial


dan rektus lateral bilateral (diambil dari Grave’s Ophthalmopathy, NEJM)

DIAGNOSIS BANDING
1. Selulitis orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar
intraorbita di belakang septum orbita. Kuman penyebab biasanya adalah
pneumokok, streptokok, atau stafilokok dan berjalan akut. Bila terjadi akibat
jamur dapat berjalan kronik. Masuknya kuman ini ke dalam rongga mata
dapat langsung melalui sinus paranasal, penyebaran melalui pembuluh darah
atau akibat trauma.7
Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah, kelopak
mata edema, mata proptosis, tajam penglihatan menurun. Tanda-tanda
tersebut muncul pada bola mata yang sakit saja sedangkan pada TED
biasanya gejala muncul pada kedua mata. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis sebagai penanda infeksi sedangkan pada TED tidak,
dan pemeriksaan T3, T4 dan TSH dalam batas normal.9
2. Tumor orbita
Tumor orbita adalah tumor yang terletak di rongga orbita. Rongga
orbital dibatasi sebelah medial oleh tulang yang membentuk dinding luar
sinus ethmoid dan sfenoid. Sebelah superior oleh lantai fossa anterior, dan
sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal dan sayap sfenoid besar. Sebelah
14

inferior oleh atap sinus maksilari. Tumor orbita terdiri dari primer dan
sekunder yang merupakan penyebaran dari struktur sekitarnya, atau
metastasase.5
Gejala klinis terdiri atas proptosis yang biasanya unilateral sesuai
tempat tumor menyerang. Proptosis kedepan adalah gambaran yang sering
dijumpai, berjalan bertahap dan tak nyeri dalam beberapa bulan atau tahun
(tumor jinak) atau cepat (lesi ganas). Nyeri orbital terlihat jelas pada tumor
ganas yang tumbuh cepat Pembengkakan kelopak mungkin jelas pada
pseudotumor, eksoftalmos endokrin atau fistula karotid-kavernosa. Palpasi
bisa menunjukkan massa yang menyebabkan distorsi kelopak atau bola mata.
Ketajaman penglihatan mungkin terganggu langsung akibat terkenanya saraf
optik atau retina, atau tak langsung akibat kerusakan vaskuler. Saat dilakukan
pemeriksaan CT scan terlihat lokasi massa tumor orbita dan dapat
membedakan apakah proptosis disebabkan oleh karena pembesaran otot dan
lemak seperti pada TED atau karena adanya tumor. Pemeriksaan T3, T4 dan
TSH juga pada kadar yang normal.10

TATALAKSANA
Berdasarkan konsensus European Group on Grave’s Orbitopathy (EUGOGO),
penatalaksanaan dari TED berprinsip pada adanya pokok-pokok utama yang harus
diikuti. Hal tersebut adalah12:
1. Merujuk pasien dengan TED ke pusat yang memiliki spesialis
Merujuk menjadi urgent bila terdapat gejala yang bersifat sight threatening
seperti penurunan visus, perubahan intensitas dan kualitas warna, corneal
opacity, atau edema macula.
2. Managemen masalah oleh nonspesialis
Managemen faktor risiko yang dapat mengakibatkan TED seperti
merokok, dan disfungsi tiroid. Merokok diketahui dapat menurunkan
efektivitas dari terapi, dan meningkatkan progresi TED setelah pemberian
terapi radioiodine untuk hyperthyroid.
3. Managemen masalah oleh spesialis
15

Didalamnya termasuk penilaian derajat keparahan dan aktivitas dari TED ,


managemen oftalmopati yang mengancam penglihatan, managemen
oftalmopati grade moderate – severe.
4. Managemen oftalmopati ringan
Didalamnya termasuk tatalaksana awal untuk mencegah terjadinya
progresi penyakit.
5. Keadaan khusus
Keadaan seperti diabetes dan hipertensi harus dipertimbangkan bila
tindakan pembedahan dilakukan.

Prinsip management dari penatalaksanaan oftalmopati yang timbul dapat disingkat


menjadi TEAR11:
- T : Tobacco abstinence
- E : Euthyroidism must be achieved
- A : Artificial tears
- R : Referral to a specialist centre with experience
Penatalaksanaan terhadap oftalmopati yang timbul dapat dibagi per-gejala yang
dialami pasien12:
1. Soft Tissue Involvment
Gejala yang muncul berupa epibulbar yang hiperemis sebagai tanda dari
adanya proses inflamasi, edema periorbital, dan keratokonjungtivitis
limbic superior.
a. Epibulbar hiperemis
Untuk mengatasi gejala ini dapat diberikan NSAID/SAID topikal
maupun oral.
b. Limbic keratokonjungtivitis
Lubrikan dapat diberikan untuk mencegah kornea yang terekspos
menjadi kering. Lateral tarsorrhaphy dapat dilakkan untuk
mengurangi eksposur keratopathy bila tidak berespon dengan lubrikan.
2. Retraksi kelopak bawah
16

Untuk retraksi kelopak ringan, tidak dibutuhkan penatalaksanaan karena


dapat membaik dengan spontan. Namun, pembedahan dapat menjadi solusi
untuk memperbaiki retraksi yang terjadi.
a. Mullerotomy
Mullerotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan
disinsersi otot Muller.
b. Reseksi retractor kelopak bawah
c. Injeksi Botox
Injeksi botox pada levator aponeurosis dan otot Muller dapat
digunakan sebagai tatalaksana sementara untuk menunggu tatalaksana
definitive.
d. Guanethidine 5% eyedrops
Guanethidine 5% eyedrops dapat digunakan untuk mengurangi retraksi
akibat overreaksi otot Muller.
3. Proptosis dan Neuropati Optik
Tatalaksana untuk proptosis dapat dibagi menjadi dua yaitu tatalaksana
medikamentosa dan pembedahan.
- Terapi medikamentosa
a. Steroid sistemik
Orbitopati fase akut menonjolkan neuropati optik kompresif
biasanya ditangani dengan kortikosteroid oral. Dosis awal
biasanya 1-1,5 mg/kgBB prednison. Dosis ini dipertahankan
selama 2 hingga 8 minggu sampai respon klinis dirasakan. Dosis
kemudian dikurangi sesuai dengan kemampuan pasien,
berdasarkan respon klinis dari fungsi saraf optik. Injeksi
metilprednisolon dengan dosis 500 mg dalam 200-500ml saline
isotonic dapat diberikan pada kompresi optik akut.
b. Radioterapi
Radiasi dapat diberikan sebagai addisi dari penggunaan steroid,
atau ketika steroid menjadi kontraindikasi. Secara keseluruhan
60% hinggan 70% pasien memiliki respon yang baik dengan
17

radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25% pasien.


Perbaikan diharapkan selama 6 minggu, dengan perbaikan
maksimal dalam 4 bulan. Radiasi 1500-2000 cGy dalam 10
fraksinasi diberikan dari lateral dengan angulasi posterior. Radiasi
akan merusak fibroblas orbita dan mungkin juga limfosit. Radiasi
membutuhkan beberapa minggu untuk menimbulkan efek dan
dapat menyebabkan inflamasi sementara sehingga pasien perlu
tetap diberikan steroid. Terapi radiasi yang dikombinasi dengan
steroid memberikan hasil yang lebih baik. Diabetes mellitus
merupakan kontraindikasi relatif pada karena dapat terjadi
perburukan retinopati.
c. Terapi kombinasi
Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Azothiaprine dengan
prednisolon dosis rendah lebih efektif daripada terapi tunggal.
- Dekompresi pembedahan
Dekompresi dengan cara pembedahan merupakan pilihan utama terapi
ketika terapi non invasif tidak efektif. Dekompresi bertujuan untuk
meningkatkan volume orbit dengan membuang tulang dan lemak
disekitar rongga orbital. Biasanya dekompresi dilakukan pada dinding
medial dan lateral. Apabila pembesaran dominan terjadi pada jaringan
lemak, maka dilakukan dekompresi jaringan lemak orbita.
4. Miopati Restriktif
Penatalaksanaan miopati restriktif adalah dengan pembedahan. Tujuan
pembedahan adalah untuk memperoleh pandangan binokuler dan
kemampuan stereoskopik. Pembedahan dilakukan dengan indikasi bila
diplopia menetap dengan sudut deviasi yang tidak berubah selama 6 bulan.
18

Penatalaksanaan oftalmopati berdasarkan derajatnya:4


1. Terapi untuk derajat ringan
- Observasi
- Perubahan gaya hidup: berhenti merokok, mengurangi asupan garam,
tidur dengan kepala lebih tinggi, menggunakan kacamata hitam untuk
mengurangi paparan dan keluhan fotofobia
- Mempertahankan keadaan eutiroid
- Lubrikan permukaan mata
- Selenium oral
2. Terapi untuk derajat sedang
- Siklosporin topikal dapat mengurangi iritasi pada permukaan bola
mata
- Kelopak mata diplester sewaktu tidur
- Kacamata dengan lensa prisma untuk mempertahankan fusi binokular
- Steroid oral dosis sedang
3. Terapi untuk derajat berat
- Steroid IV dosis tinggi adalah terapi utama untuk neuropati optik
distiroid
- Operasi dekompresi orbita diikuti dengan operasi strabismus dan
operasi kelopak mata
- Radioterapi periocular
4. Terapi untuk penyakit refrakter
- Steroid bersamaan dengan immunomodulator (rituximab, dll).
Imunomodulator dapat memblok reseptor CD20 dari limfosil sel B
sehingga mengurangi peradangan dan proptosis.

PROGNOSIS
Prognosis dari TED dipengaruhi oleh beberapa faktor. Usia salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki
penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna sampai batas waktu yang lama.
19

Pada orang dewasa, manifestasinya sedang sampai berat dan lebih sering
menyebabkan perubahan struktur karena gangguan fungsional. Diagnosis yang
ditegakkan secara lebih dini diikuti intervensi dini terhadap perkembangan proses
penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas
penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu yang lama.7
BAB III
KESIMPULAN

Thyroid Eye Diseseas (TED) adalah manifestasi ekstratiroidal yang paling


sering terjadi pada penyakit Graves. TED memiliki dampak negatif yang besar
pada kualitas hidup individu yang terkena. Deklarasi Amsterdam, yang
ditandatangani oleh banyak pakar internasional mengenai TED, menetapkan
tujuan umum yang bertujuan untuk meminimalkan morbiditas terkait TED,
memperbaiki kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya TED pada individu
berisiko. Pengamatan baru-baru ini menunjukkan bahwa pasien yang dirujuk ke
pusat kesehatan tersier memiliki penyakit yang kurang parah dan aktif. Hal
tersebut mencerminkan peningkatan kesadaran akan penyakit ini dan mungkin
akibat diagnosis dan pengelolaan hipertiroidisme Graves dan TED yang lebih
awal serta penggunaan yang lebih efektif dari tindakan pencegahan, termasuk
tindakan antirokok, penggunaan antioksidan (selenium), kontrol yang lebih baik
serta tindak lanjut disfungsi tiroid yang lebih ketat. Percobaan klinis acak telah
dipublikasikan, baik yang menentukan pengoptimalan pengobatan lama, seperti
GC dosis tinggi, atau mengusulkan perawatan biologis baru, seperti rituximab.
Penelitian lain yang sedang berlangsung sedang mengevaluasi keefektifan (dan
keamanan) imunosupresan, seperti mycophenolate atau antibodi monoklonal
reseptor anti-IGF-1. Rekomendasi tentang peran agen baru ini harus menunggu
hasil penelitian terkontrol acak besar. Pemahaman tentang patogenesis TED kini
semakin meningkat, namun perawatan penyakit yang parah masih belum
sempurna, mungkin karena tidak dapat diketahui secara tepat mekanisme patogen
penyakit ini. Meski begitu, berbagai penelitian sedang dilakukan untuk kemajuan
pengobatan di bidang ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rajat M., Weis E. 2012. Thyroid Associated Orbitopathy. Indian J


Ophtalmol. 2012;60(2): 89-93
2. Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. 2009. General Ophthalmology.
United States of America. Prentice-Hall International, Inc.
3. Ilyas, Sidharta. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta
4. American Academy Of Ophthalmology. 2015-2016. Basic and Clinical
Science Course Section 2 : Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.
5. Bartalena L., Tanda ML., Graves’ Ophthalmopathy. N Engl J Med.
2009;360:994-1001.
6. Krassas GE., Wiersinga W., Smoking and autoimmune thyroid disease:The
plot thickens. Eur J Endokrinol. 2006;154:777-80
7. Kanski JJ. Dysthyroid Ophthalmopathy. Dalam: Clinical Ophthalmology,
Third Edition. London: Butterworth-Heinemann, 1994.32-7
8. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Editor, Rote NS, Editor.
Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 5th
edition. Missouri: Mosby Elsevier. 2010.
9. Kunimoto D, Kanitkar K & Makar M. The Wills Eye Manual. Office and
Emergency Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. Fourth Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
10. Chong KL. Thyroid Eye Disease: A Comprehensive Review. 2010.
HongKong Medical Diary 2010;15(10):4-8
11. Verity DH, Rose GE. Acute thyroid eye disease (TED): principles of
medical and surgical management. Eye (Lond). 2013;27(3):308–319. Epub
2013 Feb 15.
12. Bartalena L, Baldeschi L, Dickinson A et al. Consensus statement of the
European Group on Graves’ Orbitopathy (EUGOGO) on management of
GO. Eur J Endocrinol 158: 273-285,2008.

21

Anda mungkin juga menyukai