Anda di halaman 1dari 26

Referat

DIAGNOSA DAN TATALAKSANA PENYAKIT GRAVES DAN


KRISIS TIROID

Disusun Oleh:

Muhammad Zikra
Annisa Sazia
Cyintia Puspa Dewi
Amalia Oktaviani

Pembimbing:
dr. Elvi Fitranetti, Sp.PD

SMF / BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul “Diagnosa Dan Tatalaksana Penyakit
Graves Dan Krisis Tiroid”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Mengingat pengetahuan dan pengalaman
penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun Case ini sangat terbatas, penulis
sadar masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa, maupun
sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca yang membangun
sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Elvi Fitranetti, Sp.PD, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
di Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan masukan
yang berguna dalam penyusunan referat ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini dapat menjadi masukan yang
berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain terkait dengan
masalah kesehatan pada umumnya, khususnya tentang Diagnosa Dan Tatalaksana
Penyakit Graves Dan Krisis Tiroid

Solok, Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................2
1.2.1 Tujuan Umum.................................................................................................2
1.2.2 Tujuan Khusus.................................................................................................3
1.2.3 Manfat Penulisan ..............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................4
2.1 Bronkopneumonia...................................................................................................4
2.1.1 Definisi..........................................................................................................4
2.1.2 etiologi..........................................................................................................5
2.1.3 patogenesa.....................................................................................................5
2.1.4 tanda dan gejala .............................................................................................6
2.1.5 diagnosis .......................................................................................................7
2.1.6 penatalaksanaan .............................................................................................8
2.1.7 komplikasi......................................................................................................10
2.2 Congestive heart failure ............................................................................................11
2.2.1 Definisi..........................................................................................................11
2.2.2 Etiologi.........................................................................................................11
2.2.3 Patofisiologi....................................................................................................12
2.2.4 Klasifikasi .....................................................................................................14
2.2.5 Diagnosis......................................................................................................15
2.2.6 penatalaksanaan..............................................................................................17
BAB III Laporan Kasus...............................................................................................20
KESIMPULAN...........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tiroid merupakan masalah besar kedua di bidang endokrinologi dan


metabolisme, selain diabetes melitus. Hormon tiroid berperan penting dalam berbagai
proses metabolisme, mulai dari metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, hingga
regulasi suhu tubuh serta aktivitas fisiologis pada hampir semua sistem organ tubuh
manusia. Oleh karena itu, apabila terdapat gangguan fungsi tiroid, baik berupa
kelebihan (hipertiroidisme) atau kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme), akan
mengganggu proses metabolisme dan aktivitas fisiologis yang akan memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan berbagai jaringan termasuk sistem saraf dan otak. Di
antara penyakit tiroid, penyakit graves menempati posisi penting mengingat
jumlahnya sekitar seperempat dari seluruh kasus tiroid, bahkan merupakan penyebab
sebagian besar kasus hipertiroidisme. Apabila penyakit graves disertai tanda dan
gejala mata disebut oftalmopati graves (OG) yang berdampak buruk dan menurunkan
kualitas hidup. OG adalah penyakit tiroid dengan modalitas terapi yang relatif
terbatas dan hasil pengobatannya belum memuaskan. Penyakit Graves merupakan
salah satu penyebab hipertiroidisme terbanyak pertama. Penyakit Graves merupakan
salah satu penyakit autoimun yang mengenai kelenjar tiroid  Graves Disease berasal
dari dari nama Robert J. Graves, MD tahun 1830, adalah penyakit autoimun yng
ditandai dengan hipertiroid yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease
lazimnya juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-
macam.1

Penyakit Graves merupakan  penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-


stimulating antibodies (TSAb). Penyakit ini lebih sering diderita perempuan
ketimbang laki-laki dengan rasio 5 : 1. Faktor genetik yang paling rentan terkena
penyakit ini. Di Amerika Serikat, penyakit graves merupakan kelainan autoimun
tersering dengan angka kejadian tahunan pada perempuan berusia 20 tahun 0,5 per
1000 dan risiko tertinggi pada usia 40-60 tahun. Penyakit Graves berbeda dari
penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti
hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative
dermopathy. Penyakit Graves disebabkan TSAb ( thyrhoid-stimulating antibodies). 
TSAb ini berikatan dan mengaktifkan TSHr ( thyrtropin reseptor) pada sel tiroid yang
mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Itulah sebabnya jumlah hormon tiroid
1
meningkat dan menyebabkan hipertiroidisme. Dampak dari hipertiroid seperti jantung
berdebar, tremor atau gemetar di bagian tangan, mudah merasa gerah dan berkeringat,
gelisah, mudah marah, berat badan turun drastic dan sulit tidur

TSAb ini dihasilkan melalui proses imun karena adanya antigen. Pada penyakit
Graves sel APC menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen. Kemudian
dipresentasikan pada sel T helper melalui HLA. Selanjutnya T helper merangsang sel
B untuk memproduksi antibodi berupa TSAb. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves

Penderita penyakit grave memiliki gejala khas yaitu Graves’ ophtalmopathy dan Graves


dermopathy. Gejala Graves’ ophtalmopathy terjadi karena peradangan atau gangguan
pada sistem imun, yang memengaruhi otot dan jaringan di sekitar mata
Graves’ dermopathy lebih jarang ditemukan. Gejalanya adalah kulit yang memerah dan
menebal seperti kulit jeruk. Graves’ dermopathy paling sering terjadi pada area tulang
kering dan di punggung kaki.

Krisis tiroid merupakan keadaan klinis gawat darurat hipertiroidisme yg paling


berat dan mengancam jiwa, diagnosis dan pengobatan harus dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah gagal berfungsinya banyak organ yang dapat berakibat
fatal, umumnya keadaan ini muncul pada pasien dengan dasar penyakit grave atau
struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan factor pencetus seperti
infeksi,operasi,trauma,zat kontras beriodium ,hipoglikemia,partus,stress
emosi,penghentian obat anti tiroid, Dipelukan pemeriksaan fisik,pemeriksaan
penunjang untuk mendiagnosa secara tepat sehingga dokter dapat menatalaksana
penyakit grave dan krisis tiroid dengan baik

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Solok dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan
penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca.

1.2.2 Tujuan Khusus

2
Tujuan penulisan dari referat ini adalah untuk mengetahui defenisi, etiologi,
patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan diskusi mengenai
kasus hiv-aids

1.2 Metode Penulisan

Referat ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai
literatur

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Graves Disease

2.1.1 Definisi

Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme, yaitu


suatu penyakit autoimun yang tidak diketahui penyebabnya, bercirikan pembesaran
kelenjar tiroid dan sekresi hormon tiroid yang berlebihan, serta keadaan dimana
antibodi berikatan dengan reseptor TSH dan menstimulasi kelenjar tiroid untuk
melepaskan T3, T4 atau keduanya secara berlebihan.1-2

2.1.2 Etiologi

Penyakit Graves merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh


menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri,
maka penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum
diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang mengaktifkan
reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid sintesis dan sekresi hormon, dan
pertumbuhan tiroid yang menyebabkan difus.3
1. Faktor Genetik

4
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan  populasi umum untuk
menderita penyakit ini. Gen HLA (Human Leukocyte Antigen) yang berada pada
rangkaian kromosom ke-6 ekspresinya mempengaruhi perkembangan  penyakit
autoimun ini. Molekul HLA terutama kelas II yang berada pada II yang berada pada
sel T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T selama
terdapat antigen. Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit untuk
membentuk antibodi. T supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak spesifik
mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat
membedakan mana T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk
antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan meningkatkan proses autoimun.
2. Infeksi
Bakteri Yersinia enterocolitica  yang mempunyai protein antigen pada membran
selnya yang sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid diduga dapat
mempromosi timbulnya penyakit Graves terutama pada  penderita yang mempunyai
faktor genetic.
3. Faktor Stres
Penyakit Graves dapat menjadi jelas baik setelah stres emosional yang  berat.
Beberapa data menunjukkan bahwa stres menginduksi keseluruhan keadaan
penekanan kekebalan oleh mekanisme nonspesifik, mungkin timbul secara sekunder
akibat efek aksi hormon cortisol dan corticotropin-releasing pada tingkat sel imun.
Setelah penekanan kekebalan akut oleh stres, mungkin ada kelebihan kompensasi
oleh sistem kekebalan ketika supresi dilepaskan. Reaksi ini kemudian akan memicu
penyakit tiroid autoimun, seperti yang terlihat setelah pelepasan dari imunosupresi
kehamilan pada periode postpartum ketika penyakit tiroiditis atau Graves mungkin
berkembang.
4. Faktor Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh estrogen.
Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog dengan fragmen pada
reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.4
2.1.3 Patogenesa

5
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan
bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid dikenal dengan TSH-R antibody. Terdapat 3
autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal
peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu
protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel
orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan
kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.5
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.5

Gambar 1. Patogenesa Graves Disease


Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan
dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblas, otot-otot bola mata, dan jaringan

6
tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblas dan
miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis
dan diplopia.6
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin
didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya
akumulasi glikosaminoglikan. Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan
perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya
peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.6
Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme
jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa protein. Hormon-
hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam tubuh melalui
mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan ekstraseluler kedalam sel,
aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan peningkatan proses-proses intraseluler.6

2.1.4 Manifestasi Klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal
dan ekstratiroidal yang keluhan mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat
badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan
kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi
kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan
pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit
Graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus, dan eksoftalmus.7

2.1.5 Diagnosis

7
Diagnosis graves disease didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks dan laboratorium.8

Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perhatikan beberapa komponen berikut:
– Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
– Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
– Jumlah: uninodusa atau multinodusa
– Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal
– Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak
– Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
 Palpasi
Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:
– Perluasan dan tepi
– Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba
trakea dan kelenjarnya
– Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
– Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus
– Limfonodi dan jaringan sekitarnya
 Auskultasi
Tes Khusus
– Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah
– Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan
meletakkan sehelai kertas di atas tangan

Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Leher : Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea,
dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.

8
2. Radio Active Iodine (RAI) : scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium
berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.
3. USG Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada
pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium
4. CT Scan : Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari
tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).
5. MRI : Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)
6. Radiografi nuklir : dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai
terapi.

Pemeriksaan Jarum Halus


Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus. Pemeriksaan
ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun keganasan.9

2.1.6 Penatalaksanaan

Adapun antithyroid drugs (ATDs) disarankan pada pasien dengan kondisi di bawah
ini:10
 Pasien yang memiliki kemungkinan besar remisi pada penyakitnya (terutama
pasien wanita dengan penyakit yang masih ringan, pembesaran tiroid yang masih
kecil, dan memiliki TRAb yang negatif/bertiter rendah)
 Pasien manula yang memiliki resiko tinggi untuk menjalankan operasi atau
memiliki keterbatasan
 Pasien di rumah perawatan atau fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki
keterbatasan untuk mengikuti pengobatan radiasi
 Pasien dengan riwayat operasi atau radiasi di leher
 Pasien dengan moderate-severe Graves’s Ophtalmopathy (GO) Kontraindikasi
pemakaian obat antitiroid ialah pemakaian obat antitiroid jangka panjang dan adanya
reaksi berlebih pada obat antitiroid.

9
Terdapat 2 kelas obat antitiroid yang tersedia, yaitu thiouracil
(propilthiouracil/PTU) dan imidazole (methimazole/MMI, carbimazole, dan
thiamazole). PTU sangat disarankan sebagai obat pilihan antitiroid pada kehamilan
trimester pertama, thyroid crisis, dan pasien dengan riwayat alergi atau intoleransi
terhadap obat antitiroid, serta pasien hipertiroid yang tidak dapat melakukan terapi
radioaktif atau operasi, dosis dimulai dari 100-200 mg sebanyak 3 kali sehari,
tergantung dari keparahan penyakitnya. Setelah melihat klinisnya kembali, serta
menunjukkan fungsi tiroid yang kembali normal, dosis maintenance PTU menjadi 50
mg sebanyak 2-3x sehari, bahkan memungkinkan untuk 1 kali sehari. Sama seperti
PTU, dosis MMI juga cukup tinggi, dimulai dari 10-20 mg per hari dan dosis
maintenance 5-10 mg per hari.10
Monitoring terapi antitiroid pada kehamilan sebaiknya dilakukan setiap 2
minggu. Dosis mulai diturunkan jika terdapat perbaikan dari gejala dan tanda-tanda
hipertiroid (berat badan naik dan frekuensi nadi normal) dan T4 bebas. Sekali target
remisi T4 bebas tercapai, tes fungsi tiroid tetap dilakukan setiap 2-4 minggu untuk
benar-benar memastikannya.10
Mekanisme Kerja
Pertama, propiltiourasil bekerja dengan cara menghambat proses inkorporasi yodium
pada residu tirosil dari tiroglobulin, dan juga menghambat penggabungan residu
iodotirosil menjadi iodotironin. Cara kerjanya dengan menghambat enzim
peroksidase sehingga oksidasi ion yodida dan gugus iodotirosil terganggu.
Propiltiourasil (PTU) juga menghambat deiodinasi tiroksin menjadi triiodotironin di
jaringan perifer, sedangkan metimazol (MMI) tidak memiliki efek ini.11
Kedua, pada pasien yang mengkonsumsi obat antitiroid, konsentrasi dari serum
antibody antitirotropin-reseptor akan menurun sepanjang waktu pengobatan,
termasuk beberapa molekul imunologi yang penting, seperti intracellular adhesion
molecule 1, soluble interleukin-2, dan interleukin-6 receptors. Selain itu, obat
antitiroid juga meningkatkan jumlah suppressor T cells di sirkulasi, natural killer
cells, dan activated intrathyroidal T cells.11

Farmakokinetik

10
Propiltiourasil dan metimazol dibedakan dari ikatannya dengan serum protein. Di
dalam tubuh, metimazol dapat bebas di serum, sedangkan 80-90% dari PTU berikatan
dengan albumin. Keduanya juga didistribusi ke seluruh jaringan tubuh dan diekskresi
melalui urin dan air susu ibu, tetapi tidak melalui tinja. PTU pada dosis 100 mg
mempunyai masa kerja 6- 8 jam, sedangkan MMI pada dosis 30-40 mg bekerja
selama kira-kira 24 jam. Dengan dosis di atas, keadaan eutiroid biasanya tercapai
dalam waktu 12 minggu. Setelah ini tercapai, dosis perlu dikurangi, tetapi terapi
sebaiknya jangan dihentikan. Perbedaan farmakokinetik PTU dan MMI sebagai
berikut:11

Farmakokinetik Propiltiourasil (PTU) Metimazol

Ikatan Protein Plasma 75% -

Waktu Paruh 75 menit 4-6 jam

Volume Distribusi 20L 40L

Metabolisme pada Normal Menurun


Gangguan Hati

Metabolisme pada Normal Normal


Gangguan Ginjal

Dosis 1-4 kali/hari 1-2 kali/hari

Efek Samping

Propiltiourasil dan metimazol jarang sekali menimbulkan efek samping dan


bila timbul biasanya mempunyai gambaran yang sama. Frekuensi keduanya rata-rata
3% untuk PTU dan 7% untuk MMI. Agranulositosis akibat PTU hanya timbul dengan
frekuensi 0,44% dan dengan MMI hanya 0,12%. Meski jarang, agranulositosis
merupakan efek samping serius. Untuk MMI efek samping ini merupakan efek
samping serius. Untuk MMI efek samping ini bersifat tergantung dosis (dose-
dependent), sedangkan untuk PTU tidak tergantung dosis. Reaksi yang paling sering
timbul antara lain purpura dan papular rash yang terkadang hilang sendiri. Gejala lain

11
yang jarang sekali timbul antara lain nyeri dan kaku sendi, terutama pada tangan dan
pergelangan. Reaksi demam obat, hepatitis, dan nefritis dapat terjadi pada
penggunaan PTU dosis tinggi.12

Non Farmakoterapi
Selain pemberian obat anti-tiroid, Graves Disease juga dapat ditangani secara
nonfarmakologi, tentunya dengan indikasi tertentu. Penatalaksanaanya yaitu melalui
terapi radioiodin dan bedah dengan perubahan diet dan gaya hidup.
1. Radioiodin : menggunakan yodium radioaktif untuk mengancurkan sel-sel
tiroid secara progresif . Dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama
atau kedua, terutama pada pasien yang mengalami relapse setelah pengobatan
dengan obat anti-tiroid. Terapi ini memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
2. Sebelum melalui terapi radioiodin, pasien harus melalui tahap persiapan
terlebih dahulu, terutama pada pasien yang memiliki gajala tirotoksikosis
yang belum tertangani dan masih memiliki kadar FT4 yang meningkat 2-3
kali lipat dari nilai normal. Persiapan yang dilakukan adalah :
 Premedikasi dengan obat golongan Beta-blocker, yaitu propranolol
 Premedikasi dengan obat anti-tiroid (metimazol) : premedikasi dihentikan 3-
5 hari sebelum terapi radioiodin, dan dimulai lagi 3-7 hari setelahnya. Dosis
diturukan perlahan dalam 4-6 minggu seiring dengan normalisasi fungsi
tiroid.
 Terapi lain untuk menangani komorbiditas/penyulit yang ada
 Tes kehamilan jika diperlukan
 Pembatasan diet yodium : pasien harus membatasi asupan yodium, minimal
7 hari 21 sebelum memulai terapi.

Indikasi Kontraindikasi Efek Samping


1. Pasien dengan gejala kompresi 1.Pasien dengan komorbid : 1. Hipotiroid pasca
2. Pembesaran tiroid yang masif seperti penyakit operasi
3.Kecurigaan atau ditemukannya kardiopulmonal, dankanker 2. Paralisis laring

12
keganasan pada tiroid stadium akhir. 3. Hipokalemia
4. Pasien dengan kadar TRAb yang 2. Kehamilan trimester 1 dan 3
tinggi
5. Graves Ophtalmopathy yang parah
6.Wanita dengan rencana hamil lebih
dari
4-6 bulan kemudian.

3. Diet dan perubahan gaya hidup


Pada Graves Disease, perlu ditekankan adanya diet khusus untuk mengurangi
dampak penyakit terhadap nutrisi pasien, yaitu memperbanyak makanan yang
mengandung kalsium, dan sayuran yang bersifat goitrogen seperti brokoli.
Makanan yang mengandung vitamin D, seperti salmon, telur, dan jamur.
Makanan yang tinggi protein juga dibutuhkan jika terdapat penurunan berat
badan dan masa otot. Konsumsi lemak juga diperluka secukupnya, yaitu asam
lemak omega 3 seperti pada ikan. Hindari makanan yang mengandung kafein
karena dapat memperberat gejala hipertiroid. Pasien tidak dianjurkan
melakukan aktivitas fisik yang sangat berat seperti olahraga dengan intensitas
tinggi.13

2.2 Krisis Tiroid

2.2.1 Defenisi
Krisis tiroid adalah suatu kondisi klinis berupa hipertiroidisme yang paling
berat dan dapat mengancam jiwa. Biasanya keadaan ini timbul pada pasien dengan
dasar penyakit graves atau struma multinodular toksik dan berhubungan dengan
faktor pencetus seperti infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia,

13
partus, stress emosi, penghentian obat anti-tiroid, ketoasidosis diabetikum,
tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/stroke.14
2.2.2 Etiologi
Krisis tiroid sering diawali dengan suatu faktor pencetus yang berkaitan pada
kondisi penyakit tiroid yang dialami sebelumnya oleh pasien seperti grave disease
yang tidak tertangani, serta penyebab yang lebih jarang seperti tiroiditis destruktif,
struma multinodular toksik, TSH-secreting pituitary adenoma, β HCG secreting
hydatiform mole, atau metastase ca tiroid.15 Krisis tiroid dapat juga disebabkan oleh
tiroidektomi, radioiodine terapi, kelebihan konsumsi hormon tiroid, atau
mengkonsumsi obat-obatan seperti amiodarone, sorafenib, dan ipilimumab.16
Terdapat berbagai faktor yang dapat mencetuskan krisis tiroid pada tirotoksikosis
seperti trauma, pembedahan, emboli paru, infark miokard, gangguan serebrovaskular,
infeksi, ketoasidosis diabetikum, dan toksemia gravidarum. Ketidakpatuhan
mengkonsumsi obat tiroid, bersamaan dengan dosis yang tidak adekuat juga dapat
mempengaruhi terjadinya krisis tiroid.17

2.2.3 Patofisiologi
Krisis tiroid dapat terjadi saat dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak
sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis
berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat seiring
meningkatnya pelepasan hormon tiroid atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh
sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu
tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian.18
Patogenesis krisis tiroid diantaranya adalah sebagai berikut :18
1. Perubahan mendadak kadar protein binding, misalnya setelah operasi dapat
menyebabkan kenaikan mendadak kadar hormon bebas. Peningkatan dengan cepat
kadar hormon tiroid juga dapat terjadi ketika kelenjar di manipulasi selama operasi
atau palsasi yang terlalu keras saat pemeriksaan fisik.
2. Aktivasi reseptor adrenergik. Pada teori ini, saraf simpatis menginervasi kelenjar
tiroid dan ketekolamin menstimulasi sintesis hormon tiroid. Peningkatan hormon

14
tiroid kemudian meningkatkan densitas reseptor betaadrenergik, kemudian
meningkatkan efek ketekolamin. Hipotesis ini didukung oleh respon dramatis krisi
tiroid terhadap beta blocker dan terjadinya krisis tiroid setelah konsumsi obat-obatan
seperti psuedoefedrin.
3. Adanya cathecolamine like substance yang unik pada tiroksikosis, efek
simpatomimetik langsung hormon tiroid sebagai kesamaan struktur antara hormon
tiroid dengan katekolamin.
4. Mekanisme hormon tiroid pada tingkat nuklir. T4 dan T3 sirkulasi atau bebas
masuk ke dalam sitoplasma sel. T4 dikonversi menjadi T3 oleh enzim 50-deiodinase.
Konversi T4 menjadi T3 diselesaikan dengan deiodinisasi cincin terluar oleh molekul
T4. Terdapat 3 protein deiodinase yaitu D1, D2, dan D3. Deiodinase tipe I (D1) dan
deiodinase tipe II (D2) menfasilitasi T4 menjadi T3. D1 sensitif terhadap inhibiasi
propylthiouracil (PTU), sedangkan D2 tidak sensitif. Aktivitas D1 dapat dijumpai
pada liver, ginjal, tiroid, dan pituitary. D2 mRNA diekspresikan pada otot polos
vaskular, tiroid, jantung, otak, spinal cord. Otot rangka, dan plasenta. Sedangkan D3
didapatkan pada sistem saraf pusat, kulit, dan plasenta. Setelah melewati berbagai
proses, T3 akan melewati nukleus dan terikat dengan reseptor hormon tiroid atau
elemen yang responsif terhadap hormon tiroid untuk menginduksi gen dan
transkripsi.

2.2.4 Manifestasi Klinis


Gambaran Klinis dari krisis tiroid dapat terdiri dari beberapa gejala yaitu :19
 Gejala umum: hiperpireksia, banyak keringat, penurunan berat, distres napas,
mudah lelah, lemah, suhu lebih ari 38,3 derajat celcius atau > 40 derajat
celcius.
 Gejala saluran cerna: mual, muntah,diare, nyeri perut, ikterus.
 Gejala kardiovaskuler: aritmia, takikardi, atrial fibrilasi, syok, gagal jantung,
hipertensi hingga hipotensi dan henti jantung.
 Gejala neurologis: agitasi, hiper-refleksi, tremor, kejang sampai koma,

15
delirium.
 Riwayat Tirotoksitosis sebelumnya dengan Tanda tirotoksikosis seperti
exophthalmus dan goiter
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis pada penyakit krisis tiroid dapat dimulai dari anamnesis yang
ditemukan dengan keluhan berta badan yang menurun, nyeri dada, sesak nafas,
mudah Lelah, amenorea, banyak keringat, perubahan suasana hati, bingung dan
gelisah, dimana keluhan ini merupakan gejala khas pada psien dengan Riwayat
hipertiroidesme.20
Pemeriksaan fisik pada penyakit krisis tiroid dapat ditemukan beberapa tanda dan
gejala sebagai berikut :20
- Gejala dan tanda khas hipertiroidesme, karena penyakit graves atau penyakit
lain
- Demam tinggi sampai 40 derajat celcius dan keringat yang berlebihan
- Sistem saraf pusat terganggu: delirium, agitasi kebingungan, hiperflesia,
tremor, kejang dan koma
- Bisa ditemukan hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi
pada fase berikutnya dan disertai syok.
- Takikardia sampai 130-200 x/menit
- Dapat terjadi gagal jantung dan aritmia.
- Diare
- Ikterus
Karena tingkat mortalitas krisis tiroid amat tinggi, maka kecurigaan krisis saja
cukup menjadi dasar mengadakan tindakan agresif. Kecurigaan akan terjadi krisis
apabila terdapat triad yaitu sebagai berikut : (Djokomoeljanto. R. Kelenjar Tiroid,
Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III,
Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta: 2006.)
1. Menghebatnya tanda tirotoksikosis

16
2. Kesadaran menurun
3. Hipertermia
Pemeriksaan Penunjang
- TSH sangat rendah, FT4 dan T3 meningkat.
- Pemeriksaan darah lengkap cenderung menunjukkan leukositosis ringan dan
ditemukan anemia nromositik normokrom.
- Pemeriksaan kimia klinik dapat ditemukan hiperglikemi dan fungsi liver
menunjukkan abnormalitas yang non-spesifik seperti peningkatan SGOT, SGPT,
LDH, kreatinin kinase, alkasi fosfatase dan bilirubin serum.
Pemeriksaan EKG ditemukan sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respon
ventricular cepat.

2.2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan harus segera diberikan jika dicurigai terjadinya krisis tiroid. Bahkan
lebih baik dirawat di Intensive Care Unit untuk mempermudah pemantauan tanda

17
vital, untuk pemasangan monitoring invasive, pemberian obat-obat inotropik jika
diperlukan.20
Penatalaksanaan krisis tiroid dapat berupa Perawatan suportif seperti ;
a. Pemasangan selang nasogastrik sebagai jalan pemberian obat oral.
b. Koreksi gangguan cairan dan elektrolit
c. Pemasangan oksigen
d. Status kardiorespirasi
e. Kompres dingin
f. Pemberian asetominofen atau parasetamol (hindari penggunaan aspirin,
karena aspirin akan menggeser T4 dari TBG sehingga meningkatkan kadar
FT4 serum. Klorpromasin (50-100mg i.m) selain dapat digunakan untuk
mengatasi agitasi juga karena efek inhibitor termoregulasi sentral digunakan
untuk terapi hiperpireksia).
g. Fenorbarbital sebagai sedatif untuk merangsang metabolisme T4 melalui
sistem enzim mikrosomal hepatik.
h. Multivitamin
Penatalaksanaan krisis tiroid dapat berupa Terapi Farmakologi seperti ;21
a. Memblok sintesis hormone baru berupa obat PTU dosis besar (loading dose
400mg) diikuti dosis pemeliharaan 100-200mg PTU tiap 4 jam. Alternatif lain
dengan methimazole 40mg sebagai dosis loading dengan dosis pemeliharaan
10mg tiap 4 jam. PTU harus diberikan minimal 1 jam sebelum memberikan
iodin untuk memblok sintesa hormon melalui efek Wolft Chaikoff
b. Memblok keluarnya cikal bakal hormone dengan solusio lugol (6 tetes tiap 6-
8 jam) atau SSKI ( Larutan Iodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam), diberikan 2 jam
setelah pemberian PTU. Apabila ada, berikan endoyodin (NaI) IV, kalau tidak
solusio lugol/SSKI tidak memadai.
c. Pemberian propanolol 10-40 mg tiap 6 jam untuk menurunkan denyut
jantung, kontraksi miokard, tekanan darah, kebutuhan oksigen miokard dan
harus dievaluasi setelah 6 hari pemberian.

18
d. Pemberian hidrokortison dosis (100-200mg tiap 8 jam atau deksametason
2mg tiap 6 jam atau metilprednisolon 25mg tiap 8 jam) yang berguna untuk
memblok konversi T4 menjadi T3.
e. Mengobati factor pencetus (misalnya infeksi) dengan pemberian antibiotic
bila diperlukan.
Respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umumnya terlihat dalam
24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga seminggu. Tujuan dari terapi
medis yang diberikan adalah untuk memblokade efek perifer, inhibisis sintesis
hormone, blokade pelepasan hormone, dan pencegahan konversi T4 menjadi
T3. Pemulihan keadaan klinis menjadi eutiroid dapat berlangsung hingga 8
minggu.

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Graves merupakan  penyakit autoimun yang disebabkan thyroid-
stimulating antibodies (TSAb). Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok
gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keluhan mungkin tidak tampak.
Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid. Gejala-gejala
hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang
berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin
banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Diagnosis graves
disease didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium.
Terdapat 2 kelas obat antitiroid yang tersedia, yaitu thiouracil (propilthiouracil/PTU)
dan imidazole (methimazole/MMI, carbimazole, dan thiamazole).
Krisis tiroid merupakan keadaan klinis gawat darurat hipertiroidisme yg
paling berat dan mengancam jiwa. Diagnosis pada penyakit krisis tiroid dapat dimulai
dari anamnesis yang ditemukan dengan keluhan berta badan yang menurun, nyeri
dada, sesak nafas, mudah Lelah, amenorea, banyak keringat, perubahan suasana hati,
bingung dan gelisah, dimana keluhan ini merupakan gejala khas pada psien dengan

19
Riwayat hipertiroidesme. Pengobatan harus segera diberikan jika dicurigai terjadinya
krisis tiroid. Bahkan lebih baik dirawat di Intensive Care Unit untuk mempermudah
pemantauan tanda vital, untuk pemasangan monitoring invasive, pemberian obat-obat
inotropik jika diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.


Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151
2. Sharon, Lewis.2014. Medical Surgical Nursing 1.Inggris: Mosby Company
3. Yeung, Sai Ching Jim. 2014. Graves Diseases. http://emedicine.medscape.com/
article/120619-overview#showall
4. Shahab A. Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri En Penatalaksanaannya, Bulletin
PIKKI: Seri Endokrinol dokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli ogi-Metabolisme,
Edisi Juli 2015. Jakarta: PIKKI; 2015
5. Silbernagl S, Lang F. Te Silbernagl S, Lang F. Teks & atlas berwarna patofis ks
& atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC; 20 iologi. Jakarta: EGC; 2017.
6. Paulev, Zubieta. Thyroid hormones and disorders. 2012.
http://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html
7. Kasper DL, et all. Harrison: Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 19,
Vol.5. Jakarta: EGC; 2015.

20
8. Kasper DL, et all. Harrison: Prinsip-prinsip ilmu penyakit enyakit dalam. Edisi
19, Vol.5. dalam. Edisi 19, Vol.5. Jakarta: EGC; 2015.
9. Melmed, Shlomo; Williams, Robert Hardin.12th ed. / Shlomo Melmed ... [et
al.]. Philadelphia : Elsevier/Saunders, 2011
10. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. 2016 American Thyroid Association
Guidelines for Diagnosis and Management Guidelines for Diagnosis and
Management of Hyperthy of Hyperthyroidism and Other Causes roidism and
Other Causes of Thyrotoxicosis. Thyroid. 2016 Oct. 26 (10):1343-1421
11. Cooper, David. Antithyroid Drugs. N Engl J Med 2005;352:905-17.
12. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Farmakologi dan Terapi, Edisi
5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
13. Reid, Jeri & Wheeler, Stephen. Hyperthyroidsm: Diagnosis and Treatment.
Kentucky: American Academy of Family Physician; 2005
14. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar
ilmu penyakit dlam. Edisi 5. Jakarta: internaPublishing. 1993-2008)
15. Djokomoeljianto R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. In :
Sudoyo AW, Setiyohadi B, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1993-2008.
16. Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsuboi K, et al. 2016
Guidelines for the management of thyroid storm from Japan Thyroid
Association and Japan Endocrine Society. Endocrine journal. 2016
Dec;63(12):1025-64
17. Bahn RS, Burch HB, Cooper D, Garber JR, Greenle CM, Klein I, et al.
Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. Management Guidelines
of The American Thyroid Association and American Association of Clinical
Endocrinologists. Thyroid. 2011 Jun;21(6):593-646.
18. IDAI. Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis dan
Tata Laksana Hipertiroid. 2017; : 2–3.
19. Alwi I. Penatalaksanaan di bidang ilmu penyakit dalam, Panduan Praktik Klinis.
2015; : 437.

21
20. Djokomoeljanto. R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 2006.)
21. Subekti I, Suyono S. Krisis Tiroid. Panduan Tata Laksana Kegawatdaruratan Di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bekerjasama dengan PAPDI. Jakarta:
November 2009.

22

Anda mungkin juga menyukai