Referat
HIPERTIROID
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF IPD
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara
Oleh :
Richy Dara Perdana, S.Ked
2106111042
Preseptor :
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
karunia Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Hipertiroidisme“.
Penyusunan referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior pada Bagian/SMF Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr Faisal, Sp.PD selaku preseptor
selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga
referat ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
2.1 Definisi......................................................................................................2
2.2 Klasifikasi..................................................................................................2
2.2 Epidemiologi.............................................................................................8
2.4 Etiologi......................................................................................................8
2.5 Patogenesis..............................................................................................10
2.9 Diagnosis.................................................................................................21
2.10 Tatalaksana..............................................................................................22
2.11 Komplikasi..............................................................................................23
2.12 Prognosis.................................................................................................23
BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
1
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertiroid merupakan salah satu bentuk tirotoksikosis yang terjadi akibat
peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Thyrotoxicosis
adalah keadaan klinik dengan berbagai etiologi manifestasi dan cara pengobatan
sebagai akibat tingginya kadar hormon tiroid yang beredar dan efeknya terhadap
jaringan (1).
Penyakit hipertiroid grave merupakan salah satu bentuk penyakit
hipertiroid yang berdasarkan suatu proses autoimun. Penyakit hipertiroid subklinis
adalah keadaan dengan kadar TSHs tersupresi dibawah batas normal tetapi kadar
hormon tiroid masih dalam batas normal. Hipertiroid apathetic disebut juga
masked hyperthyroidism adalah penyakit hipertiroid yang ditemukan pada pasien
usia lanjut dengan keluhan dan gejala ringan atau tidak spesifik (1).
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi tirotoksikosis berdasarkan penyebab (6):
Hipertioridisme Primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme
Sekunder
Hipertiroidisme
Grave’s disease Hormon tiroid TSH-secreting
Struma multinodular berlebih tumor chGH
toksik (morbus (tirotoksikosis secreting tumor
Plummer) faktisia) Tirotoksikosis
Adenoma toksik Tiroiditis subakut Gestasi (trimester
(morbus Goetsch) Silent tiroiditis 1)
Obat: iodium lebih, Destruksi Resistensi hormon
lithium kelenjar: tiroid.
Karsinoma tiroid amiodaron,
yang berfungsi radiasi,
Struma ovarii (ektopik) adenoma,
Mutasi TSH-r infark
Tabel 1 Klasifikasi tirotoksikosis berdasarkan penyebab
biasanya terjadi pada usia 20-40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1. Graves
disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid
yang dihasilkan kelenjar tiroid. Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid
stimulating antibodies (TSAb) suatu antibodi yang disintesis di kelenjar tiroid,
sumsum tulang dan KGB yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH
(TSH-r). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan
peningkatkan aktivitas sel-sel tiroid sehingga menyebabkan peningkatan kadar
hormon tiroid melebihi normal. TSAb tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan
balik negatif oleh hormon tiroid, sehingga sekresi dan pertumbuhan hormon
tiroid terus berlangsung (7).
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan
antigen. Namun pada Graves disease sel-sel APC (antigen presenting cell)
menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T
helper melalui bantuan HLA (human leucocyte antigen) (7).
lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-B5 dan HLA-Bw46 pada
ras cina dan HLA-B17 pada ras kulit hitam. Pada pasien Graves ditemukan
adanya perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-
DRb1. Pada pasien Graves asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah
arginine, sedangkan umumnya pada orang normal asam amino pada urutan
tersebut berupa glutamine (6).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu TSH serum, kadar hormon
tiroid (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin
receptor antibodies (TRAb). Pada pasien Graves, kadar TSH ditemukan rendah
disertai peningkatan kadar hormon tiroid. Pada pemeriksaan dengan iodine
radioaktif ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik
scanning iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola
penyebaran iodine pada Graves' disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya
(3). TRAb ditemukan hanya pada penderita dan tidak ditemukan pada penyakit
hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves
disease (7).
Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi
dan tercapainya kondisi remisi pasien. Terapi pada pasien Graves' dapat berupa
pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi (7). Di Amerika
Serikat, iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien
Graves' disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid
dan operasi lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun
demikian pemilihan terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran
goiter, kondisi hamil, dan kemungkinan kekambuhan (8).
Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves' disease perlu mendapatkan
terapi dengan beta blocker. Beta blocker digunakan untuk mengatasi tremor,
takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan
bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (7).
2. Toxic Multinodular Goiter
5
bersifat benign dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila
terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai
adanya pertumbuhan kanker. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak
ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Iodine yang rendah
menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid
yang akan menyebabkan mutasi. Pada penderita hipertiroidisme dengan adanya
nodul ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH (3).
Untuk menegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
yang dapat ditemukan ialah pembesaran kelenjar tiroid dengan perabaan nodul.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan TSH dimana didapatkan kadar TSH serum yang
rendah, kadar hormon tiroid bebas (T4 dan T3) meningkat, pemeriksaan
ultrasonography dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien dan
fine-needle aspiration (FNA) untuk mengetahui apakah nodul pada pasien
bersifat benign (non kanker) atau malignant (kanker) (9).
Tatalaksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma
adalah dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan
dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi
dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid.
Setelah terapi dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi
setiap 1-2 bulan meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta
dilakukan tes ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (9).
4. Tiroiditis Akut
Kasusnya jarang, dan mengacu pada infeksi supuratif dari tiroid.
Penyebabnya biasanya adalah sinus piriformis, yang merupakan sisa percabangan
brankial yang menghubungkan orofaring dengan tiroid. Sinus ini letaknya
seringkali di sebelah kiri. Gejala yang timbul adalah nyeri pada tiroid, yang
menjalar ke tenggorokan atau telinga, dan tampak goiter kecil, konsistensi lunak,
serta asimetris. Juga terdapat demam, disfagia, dan eritema pada tiroid (3).
5. Tiroiditis Subakut (tiroiditis de Quervain's/tiroiditis
granulomatous/tiroiditis virus)
7
2.4 Etiologi
Etiologi tirotoksikosis (9):
Etiologi Keterangan
Tirotoksikosis dengan ambilan radioisotope iodin tinggi atau normal
Penyakit Graves Penyakit autoimun yang ditandai
dengan hipertiroidisme dan produksi
autoantibodi terhadap kelenjar tiroid
(TRAb). TRAb menduduki reseptor
TSH (TSHR) terjadi sintesis dan sekresi
hormone tiroid serta hyperplasia folikel
tiroid. Hal ini akan mengakibatkan
peningkatan kadar hormone tiroid dari
biasanya disertai dengan pembesaran
difus kelenjar tiroid. Selain
autoantibodi terhadap TSHR, pada
beberapa pasien juga dapat ditemukan
antibody terhadap TPO.
Tirotoksikosis pada tiroiditis hashimoto Terjadi pada fase awal tiroiditis
hashimoto saat respons inflamasi yang
terjadi menyebabkan destruksi folikel
tirid dan pelepasan hormone tiroid ke
dalam sirkulasi. Kondisi ini kemudian
diikuti dengan hipotiroidisme akibat
9
tindakan operasi.
Tirotoksikosis akibat jaringan ekstratiroid, misalnya struma ovarii
Pajanan tiroid eksogen, misalnya pada factitious thyrotoxicosis
Tabel 2 Etiologi tirotoksikosis
lid lag (kelopak mata atas tertinggal dibelakang tepi atas iris saat mata
bergerak ke bawah).
2.7 Pemeriksaan Fisik
Tirotoksikosis dari Grave’s disease berhubungan dengan membesarnya
kelenjar tiroid, kadang-kadang dapat terdengar bruit dengan memakai bell dari
stetoskop. Toxic multinoduler goiter secara umum terjadi ketika kelenjar tiroid
membesar setidaknya 2- 3 kali dari ukuran normal. Kelenjar bersifat lunak, tapi
nodul yang soliter kadang-kadang dapat dipalpasi. Karena kebanyakan nodul
tiroid tidak dapat dipalpasi, harus dibuktikan lewat USG tiroid, tapi nodul tiroid
yang overaktif dapat dibuktikan hanya dengan nuclear tiroid imaging dengan
radioiodine (I-123) (9).
Opthalmologic dan dermatologic examination Sekitar 50% pasien dengan
Grave tirotoksikosis memiliki oftalmopati ringan, sering hanya bermanifestasi
sebagai periorbital edema, tapi juga dapat jadi edema konjungtiva (chemosis),
extraocular muscle dysfunction (diplopia), dan proptosis. Bukti adanya thyroid
eye disease dan tingginya hormon tiroid mengkonfirmasi diagnosis Grave’s
disease (7).
Gambar 3 Gambar
Grave opthalmopathy
3 Grave opthalmopathy
(Lee, 2014)(Lee, 2014)
Pada kasus yang jarang, Grave disease dapat mempengaruhi kulit dengan
adanya deposisi glikosaminoglikan di dermis pada kaki bawah. Hal ini
15
Klasifikasi awal :
biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari
biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk
dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan
malignant (kanker) (1).
23
2.9 Diagnosis
Tersangka
tirotoksikosis
Ukur TSH,
T4 bebas
Ya Tidak Follow up
6-12
minggu
Graves Goiter multinodular atau
disease adenoma toksik
Ya Tidak
Hipertiroid Pengambilan
toksik Radio
nodular Nukleotida
rendah
Ya Tidak
2.10 Tatalaksana
1. Farmakologis (3)
a. obat anti tiroid
Propiltiourasil PTU dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal
2000 mg/hari.
metimazol dosis awal 240 mg/hari.
indikasi:
- Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi
pada pasien muda dengan struma ringan-sedang dan tirotoksikosis.
- Untuk mengendalikan thyrotoxicosis pada fase sebelum
pengobatan atau sesudah pengobatan iodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
- Pasien hamil lanjut usia
- Krisis tiroid
b. penyekat adrenergik beta
Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid
setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200 mg dalam 2-3
dosis.
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah
eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis,
serta Lab FT4 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi
25
2. Bedah (7)
indikasi:
Pasien usia muda dengan rumah besar dan tidak respon dengan anti tiroid
wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium
radioaktif
Adenoma toksik, struma multinodusa Toxic
drive yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
3. Radioiodine (3)
indikasi:
Pasien berusia > 35 tahun
Hipertiroidisme yang telah dioperasi
Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat anti tiroid
Tidak mampu atau tidak mau terapi obat anti tiroid
Adenoma toksik, struma multinodusa toxic
2.11 Komplikasi
Penyakit graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati graves,
dermopati graves, infeksi karena agranulomatosis pada pengobatan dengan obat
anti tiroid (3).
Krisis tiroid merupakan suatu sindroma yang mengancam jiwa dengan
karakteristik manifestasi klinis tirotoksikosis yang berat. Jika berdasarkan tes
fungsi tiroid, maka tidak didapatkan adanya perbedaan antara penderita grip yang
tidak mengalami komplikasi dengan yang mengalami krisis tiroid. Oleh karena itu
secara khusus pada krisis tiroid diagnosis ditegakkan atas dasar kondisi klinis
penderita (7).
26
2.12 Prognosis
Walaupun jarang graves disease dapat membaik secara spontan, khususnya
jika sifatnya ringan ataupun subklinis. Penyakit ini bila terjadi pada awal
kehamilan maka didapatkan 30% kemungkinan untuk mengalami remisi spontan
pada trimester ketiga. komplikasi pada jantung, mata maupun psikis penderita
dapat menetap walaupun telah mendapat terapi. hipoparatiroid permanen dan
kelumpuhan pita suara merupakan resiko dari tiroidektomi. kekambuhan
merupakan hal yang umum pada penderita yang mendapat terapi obat anti tiroid
terapi I-131 dosis rendah ataupun thyroidectomy subtotal. dengan terapi adekuat
dan follow up jangka panjang umumnya memberikan hasil yang baik. hipotiroid
pasca terapi sering terjadi umumnya beberapa bulan sampai dengan beberapa
tahun setelah penderita menjalani radioterapi ataupun thyroidectomy subtotal.
exopthalmus berat memiliki prognosis yang buruk kecuali dilakukan pengobatan
secara agresif (7).
Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia < 40 tahun dengan
ukuran gondok yang besar dan tirotoksikosis yang klinis lebih berat (didapatkan
titer antibodi reseptor TSH yang tinggi) (3).
27
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok Studi Tiroidologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan Penyakit
Hipertiroid-PERKENI. 2017.
2. Sherwood L. Human physiology from cells to systems Ninth Edition.
Appetite. 2016.
3. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL, editors.
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis.
Jakarta: Interna Publisher; 2015. 151-156 p.
4. Taylor PN, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus JH, Dayan
CM, et al. Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism.
Nat Rev Endocrinol [Internet]. 2018;14(5):301–16. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nrendo.2018.18
5. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis
Tiroid.pdf. 2015. p. 1–8.
6. Buchari, Mutiawati VK, Ramdhani Y, editors. Peran Laboratorium untuk
Meningkatkan Ketepatan Diagnostik. Medan: Pustaka Bangsa Press; 2015.
113-121 p.
7. Tjokroprawiri A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2nd ed. Surabaya:
Airlangga University Publisher; 2015. 126-139 p.
8. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves’
Disease. Acta Med Indones. 2018;50(2):177–82.
9. Liwang F, Yuswar PW, Wijaya E, Sanjaya NP. Kapita Selekta Kedokteran.
2020. 70-75 p.
10. Kalbemed. Hipertiroid [Internet]. Available from:
https://www.kalbemed.com/diseases/72
11. Grayston F. Hyperthyroidism and Graves’ Disease. InnovAiT Educ Inspir
Gen Pract. 2011;4(12):698–705.
12. Setiadji VS. Fisiologi Kelenjar Tiroid, Paratiroid, Vitamin D serta
Metabolisme Kalsium dan Fosfat. 2016.
13. Price & Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki.
Volume 2. Edisi 6. J Chem Inf Model. 2018;
29