Anda di halaman 1dari 32

1

Referat

HIPERTIROID
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF IPD
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :
Richy Dara Perdana, S.Ked
2106111042

Preseptor :

dr. Faisal, Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM CUT MUTIA
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS KEDOKTERAN
ACEH UTARA
2021
i

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah
SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang karena atas segala rahmat dan
karunia Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Hipertiroidisme“.
Penyusunan referat ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior pada Bagian/SMF Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Cut
Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr Faisal, Sp.PD selaku preseptor
selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga
referat ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, November 2021

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2

2.1 Definisi......................................................................................................2

2.2 Klasifikasi..................................................................................................2

2.2 Epidemiologi.............................................................................................8

2.4 Etiologi......................................................................................................8

2.5 Patogenesis..............................................................................................10

2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................12

2.7 Pemeriksaan Fisik....................................................................................13

2.8 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................18

2.9 Diagnosis.................................................................................................21

2.10 Tatalaksana..............................................................................................22

2.11 Komplikasi..............................................................................................23

2.12 Prognosis.................................................................................................23

BAB 3 KESIMPULAN..........................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................26
1

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit hipertiroid atau disebut hyperthyroidism merupakan salah satu


bentuk tirotoksikosis yang disebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid. Istilah penyakit hipertiroid perlu dibedakan dari
tirotoksikosis yang merupakan suatu keadaan klinik akibat kelebihan hormon
tiroid dengan berbagai etiologi. Penyakit hipertiroid graves paling sering
ditemukan yaitu sekitar 60%-90% kasus tirotoksikosis diikuti dengan struma
nodusa toksik, adenoma toksik (nodul tiroid otonom) atau berbagai bentuk lain
tiroiditis (1).
Hormon tiroid akan mempengaruhi hampir seluruh jaringan dan sistem
organ. hormon tiroid akan meningkatkan thermogenesis jaringan dan laju
metabolisme basal (BMR), menurunkan kadar kolesterol serum dan resistensi
vaskular sistemik (2). Efek yang menonjol dari peningkatan kadar hormon tiroid
adalah pengaruh terhadap sistem kardiovaskular. Tirotoksikosis yang tidak diobati
atau tidak diobati dengan sempurna akan mengakibatkan berat badan turun,
osteoporosis, fibrilasi atrial, kejadian emboli, kelemahan otot, keluhan
neuropsikiatrik dan (jarang) kelumpuhan kardiovaskular serta kematian (3).
Prevalensi penyakit hipertiroid pada wanita adalah 0,5 sampai 2% dan 10
kali lebih sering pada wanita dibanding pria. Di Amerika Serikat prevalensi
hipertiroid diperkirakan 1,2% (0,5 % overt  hyperthyroidim dan 0,7 % hipertiroid
klinis).  Penyebab tersering penyakit hipertiroid adalah penyakit graves, struma
multinodosa toksik (Toxic Multinolar Goiter, TMNG) dan adenoma toksik
(Toksic Adenoma,TA) (4,5).
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertiroid merupakan salah satu bentuk tirotoksikosis yang terjadi akibat
peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Thyrotoxicosis
adalah keadaan klinik dengan berbagai etiologi manifestasi dan cara pengobatan
sebagai akibat tingginya kadar hormon tiroid yang beredar dan efeknya terhadap
jaringan (1).
Penyakit hipertiroid grave merupakan salah satu bentuk penyakit
hipertiroid yang berdasarkan suatu proses autoimun. Penyakit hipertiroid subklinis
adalah keadaan dengan kadar TSHs tersupresi dibawah batas normal tetapi kadar
hormon tiroid masih dalam batas normal. Hipertiroid apathetic disebut juga
masked hyperthyroidism adalah penyakit hipertiroid yang ditemukan pada pasien
usia lanjut dengan keluhan dan gejala ringan atau tidak spesifik (1).
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi tirotoksikosis berdasarkan penyebab (6):
Hipertioridisme Primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme
Sekunder
Hipertiroidisme
 Grave’s disease  Hormon tiroid  TSH-secreting
 Struma multinodular berlebih tumor chGH
toksik (morbus (tirotoksikosis secreting tumor
Plummer) faktisia)  Tirotoksikosis
 Adenoma toksik  Tiroiditis subakut Gestasi (trimester
(morbus Goetsch)  Silent tiroiditis 1)
 Obat: iodium lebih,  Destruksi  Resistensi hormon
lithium kelenjar: tiroid.
 Karsinoma tiroid amiodaron,
yang berfungsi radiasi,
 Struma ovarii (ektopik) adenoma,
 Mutasi TSH-r infark
Tabel 1 Klasifikasi tirotoksikosis berdasarkan penyebab

1. Graves Disease (Struma Diffusa Toxic) 


Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar 
80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves' disease. Penyakit ini 
3

biasanya terjadi pada usia 20-40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga dan 
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1. Graves 
disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid 
yang dihasilkan kelenjar tiroid. Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid 
stimulating antibodies (TSAb) suatu antibodi yang disintesis di kelenjar tiroid, 
sumsum tulang dan KGB yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor TSH 
(TSH-r). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan 
peningkatkan aktivitas sel-sel tiroid sehingga menyebabkan peningkatan kadar 
hormon tiroid melebihi normal. TSAb tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpan
balik  negatif oleh hormon tiroid, sehingga sekresi dan pertumbuhan hormon
tiroid terus  berlangsung (7).  
TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena adanya paparan
antigen.  Namun pada Graves disease sel-sel APC (antigen presenting cell)
menganggap sel  kelenjar tiroid sebagai antigen yang dipresentasikan pada sel T
helper melalui  bantuan HLA (human leucocyte antigen) (7).

Gambar 1 Patofisiologi graves disease

Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi 


berupa TSAb. Faktor genetik berperan penting dalam proses autoimun, antara
4

lain  HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-B5 dan HLA-Bw46 pada
ras cina  dan HLA-B17 pada ras kulit hitam. Pada pasien Graves ditemukan
adanya  perbedaan urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-
DRb1. Pada  pasien Graves asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah
arginine,  sedangkan umumnya pada orang normal asam amino pada urutan
tersebut berupa  glutamine (6).
Untuk membantu menegakkan diagnosis pasien menderita Graves perlu 
dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang 
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu TSH serum, kadar hormon
tiroid  (T3 dan T4) total dan bebas, iodine radioaktif, scanning dan thyrotropin
receptor  antibodies (TRAb). Pada pasien Graves, kadar TSH ditemukan rendah
disertai  peningkatan kadar hormon tiroid. Pada pemeriksaan dengan iodine
radioaktif  ditemukan uptake tiroid yang melebihi normal. Sedangkan pada teknik
scanning  iodine terlihat menyebar di semua bagian kelenjar tiroid, dimana pola
penyebaran  iodine pada Graves' disease berbeda pada hipertiroidisme lainnya
(3).  TRAb ditemukan hanya pada penderita dan tidak ditemukan pada penyakit 
hipertiroidisme lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis Graves
disease (7).
Selain itu TRAb dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi 
dan tercapainya kondisi remisi pasien. Terapi pada pasien Graves' dapat berupa 
pemberian obat anti tiroid, iodine radioaktif atau tiroidektomi (7). Di Amerika
Serikat,  iodine radioaktif paling banyak digunakan sebagai terapi pada pasien
Graves'  disease. Sedangkan di Eropa dan Jepang terapi dengan obat anti tiroid
dan operasi  lebih banyak diberikan dibandingkan iodine radioaktif. Namun
demikian pemilihan  terapi didasarkan pada kondisi pasien misalnya ukuran
goiter, kondisi hamil, dan  kemungkinan kekambuhan (8).
Selain pemberian terapi di atas, pasien Graves' disease perlu mendapatkan 
terapi dengan beta blocker. Beta blocker digunakan untuk mengatasi tremor, 
takikardia dan rasa cemas berlebihan. Pemberian beta-blocker direkomendasikan 
bagi semua pasien hipertiroidisme dengan gejala yang tampak (7).
2. Toxic Multinodular Goiter 
5

Gondok multinodular toxic menyebabkan 5% kasus hipertiroid di


Amerika  Serikat dan dapat menjadi 10 kali lipat lebih sering pada daerah yang
kekurangan  iodine. Biasanya terjadi pada pasien lebih dari 40 tahun dan sudah
terbentuknya  struma yang cukup lama. Ditemukan adanya beberapa nodul yang
menghasilkan  hormon tiroid secara berlebihan, namun pada toxic multinodular
goiter ditemukan  beberapa nodul yang dapat dideteksi baik secara palpasi
maupun ultrasonografi.  Penyebab utama dari kondisi ini adalah faktor genetik
dan defisiensi iodine.  Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan
fisik dan didukung oleh  TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang
meningkat. Antibodi antitiroid  tidak ditemukan (1). 
Tatalaksana utama pada pasien dengan toxic multinodular goiter adalah 
dengan iodine radioaktif atau pembedahan. Dengan pembedahan kondisi
euthyroid  dapat tercapai dalam beberapa hari pasca pembedahan, dibandingkan
pada  pengobatan iodine radioaktif yang membutuhkan waktu bulan (1). 
3. Toxic Adenoma (Struma Nodusa Toxic) 
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul pada kelenjar tiroid
yang  dapat memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa
berupa folikel  tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak
terpengaruhi oleh kerja TSH (3). Sekitar 2-9% kasus hipertiroidisme di dunia
disebabkan karena hipertiroidisme jenis ini. Hanya 3-7% pasien dengan nodul
tiroid yang tampak dan dapat  teraba, dan 20 - 76 pasien memiliki nodul tiroid
yang hanya terlihat dengan bantuan  ultrasound. Struma nodusa toxic
menampilkan spektrum penyakit mula dari nodul  hiperfungsi tunggal (toxic
adenoma) sampai nodul hiperfungsi multipel  (multinodular thyroid). Hipertiroid
terjadi ketika nodul tunggal sebesar 2,5 cm atau  lebih (3). 
Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien berusia lanjut,
defisiensi  asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien dengan toxic
adenoma  sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik seperti pada
pasien  dengan Graves' disease. Pada sebagian besar kasus nodul ditemukan
secara tidak  sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau oleh
pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic adenoma
6

bersifat benign  dan kasus kanker tiroid sangat jarang ditemukan. Namun apabila
terjadi  pembesaran nodul secara progresif disertai rasa sakit perlu dicurigai
adanya  pertumbuhan kanker. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak
ditemukan pada  daerah dengan asupan iodine yang rendah. Iodine yang rendah
menyebabkan  peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid
yang akan  menyebabkan mutasi. Pada penderita hipertiroidisme dengan adanya
nodul  ditemukan adanya mutasi pada reseptor TSH (3).
Untuk menegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
yang  dapat ditemukan ialah pembesaran kelenjar tiroid dengan perabaan nodul. 
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan 
diagnosis adalah pemeriksaan TSH dimana didapatkan kadar TSH serum yang 
rendah, kadar hormon tiroid bebas (T4 dan T3) meningkat, pemeriksaan 
ultrasonography dapat diidentifikasi bentuk dan ukuran kelenjar tiroid pasien dan 
fine-needle aspiration (FNA) untuk mengetahui apakah nodul pada pasien
bersifat  benign (non kanker) atau malignant (kanker) (9). 
Tatalaksana terapi bagi pasien hipertiroidisme akibat toxic adenoma
adalah  dengan iodine radioaktif atau tiroidektomi. Sebelum dilakukan tindakan
dengan  iodine radioaktif atau tiroidektomi pasien disarankan mendapat terapi
dengan obat anti tiroid golongan thionamide hingga mencapai kondisi euthyroid.
Setelah terapi  dengan iodine radioaktif dan tiroidektomi perlu dilakukan evaluasi
setiap 1-2 bulan  meliputi evaluasi kadar TSH, T4 bebas dan T3 total. Serta
dilakukan tes  ultrasonography untuk melihat ukuran nodul (9).
4. Tiroiditis Akut  
Kasusnya jarang, dan mengacu pada infeksi supuratif dari tiroid. 
Penyebabnya biasanya adalah sinus piriformis, yang merupakan sisa percabangan 
brankial yang menghubungkan orofaring dengan tiroid. Sinus ini letaknya 
seringkali di sebelah kiri. Gejala yang timbul adalah nyeri pada tiroid, yang 
menjalar ke tenggorokan atau telinga, dan tampak goiter kecil, konsistensi lunak, 
serta asimetris. Juga terdapat demam, disfagia, dan eritema pada tiroid (3).
5. Tiroiditis Subakut (tiroiditis de Quervain's/tiroiditis
granulomatous/tiroiditis  virus)
7

Gejala yang timbul menyerupai faringitis, sehingga tiroiditis subakut 


seringkali tidak terpikirkan. Pasien biasanya mengeluhkan kelenjar tiroid yang 
membesar dan terasa nyeri, kadang ada demam. Dapat timbul gejala
tirotoksikosis  maupun hipotiroid, tergantung pada fase mana penyakitnya berada.
Nyeri biasanya  menjalar ke rahang atau telinga (3).
6. Silent thyroiditis Painless 
Tiroiditis atau silent tiroiditis muncul pada pasien dengan penyakit yang 
didasari kelainan autoimun. Gejalanya mirip tiroiditis subakut, namun benjolan 
yang teraba lebih kecil dan tidak nyeri. Kondisi ini terjadi pada lebih dari 5% 
wanita, pada masa 3-6 bulan setelah melahirkan, sehingga disebut pula
postpartum  tiroiditis. Gejala khasnya adalah fase tirotoksikosis selama 2-4
minggu, diikuti fase  hipotiroid selama 4-12 minggu, lalu terjadi resolusi (3). 
7. Drug-Induced Thyroiditis  
Pasien yang mendapat terapi IFN-α, IL-2 atau amiodaron dapat terkena 
painless tiroiditis, IFN-α yang digunakan sebagai terapi hepatitis B atau C, 
menyebabkan disfungsi tiroid pada 5% pasien yang diterapi. IL 2 yang digunakan 
untuk terapi macam-macam keganasan juga dapat menyebabkan tiroiditis dan 
hipotiroidisme (7).
2.2 Epidemiologi
Hipertiroid adalah penyakit endokrin yang sering dijumpai, dengan
prevalensi terbanyak terjadi pada perempuan yaitu 2% dan 0,2% terjadi pada laki-
laki. Kejadian munculnya hipertiroid sebanyak 20 orang penderita tiap 1 juta
populasi dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 1: 7. American
Association of Clinical Endocrinology memperkirakan terdapat 27 Juta orang
Amerika menderita hipertiroid atau hipotiroid dimana lebih dari setengah
penderita tidak terdiagnosis. Hipertiroid banyak terjadi pada wanita, data beberapa
rumah sakit di Indonesia juga memperlihatkan hal yang hampir sama
perbandingan antara perempuan dan laki-laki di RSUP Palembang adalah 3 :1, di
RSCM Jakarta 6:1, RS Dr. Sutomo 8:1 dan RSHS bandung 10:1.  Pasien
hipertiroid umumnya berusia 20 sampai 40 tahun (5,10). 
8

Hipertiroid ditemukan pada 0,8-1,3% di populasi seluruh dunia. Di


Indonesia prevalensi mencapai 6,9%, hipertiroid bisa disebabkan oleh stimulasi
reseptor thyroid stimulating hormon (TSH) yang berlebihan, sekresi otonom
hormon tiroid, kerusakan folikel tiroid dengan pelepasan hormon tiroid dan
sekresi hormon tiroid dari sumber ekstra thyroidal. Hipertiroid paling banyak
disebabkan oleh penyakit yang merangsang aktivitas berlebihan kelenjar tiroid
melalui reseptor nya (1,4). 

2.4 Etiologi
Etiologi tirotoksikosis (9):
Etiologi Keterangan
Tirotoksikosis dengan ambilan radioisotope iodin tinggi atau normal
Penyakit Graves Penyakit autoimun yang ditandai
dengan hipertiroidisme dan produksi
autoantibodi terhadap kelenjar tiroid
(TRAb). TRAb menduduki reseptor
TSH (TSHR) terjadi sintesis dan sekresi
hormone tiroid serta hyperplasia folikel
tiroid. Hal ini akan mengakibatkan
peningkatan kadar hormone tiroid dari
biasanya disertai dengan pembesaran
difus kelenjar tiroid. Selain
autoantibodi terhadap TSHR, pada
beberapa pasien juga dapat ditemukan
antibody terhadap TPO.
Tirotoksikosis pada tiroiditis hashimoto Terjadi pada fase awal tiroiditis
hashimoto saat respons inflamasi yang
terjadi menyebabkan destruksi folikel
tirid dan pelepasan hormone tiroid ke
dalam sirkulasi. Kondisi ini kemudian
diikuti dengan hipotiroidisme akibat
9

infiltrasi kelanjar tiroid oleh limfosit.


Adenoma toksik dan struma Jaringan tiroid yang memproduksi
multinodosa toksik (SMNT) hormone tiroid secara independen dari
TSH. SMNT juga disebut penyakit
Plummer.
Hipertiroidisme akibat induksi iodin Paparan iodin dalam jumlah besar
seperti akibat pemberian kontras iodin
untuk pemeriksaan radiologi dan obat
yang tinggi iodin seperti amiodaron.
Hipertiroidisme akibat tumor Human Chorionic gonadothropin (hCG)
trofoblastik atau sel germinal yang dihasilkan dapat menstimulasi
resptor tiroid dan memicu sintesis
hormone tiroid.
Hipertiroidisme akibat stimulasi TSH Penyebab neoplastic tersering adalah
makroadenoma hipofisis, sedangkan
penyebab non neoplastic berupa
resistensi pituitary terhadap umpan
balik negatif hormone tiroid dalam
produksi TSH. Umumnya disebabkan
oleh mutasi pada reseptor triiodotironin
(T3).
Tirotoksikosis dengan ambilan radioisotope iodin rendah
Tiroiditis subakut granulomatosa Akibat infeksi virus atau pasca infeksi
(tiroiditis de Quervain) virus, ditandai dengan demam, malaise
dan nyeri pada kelenjar tiroid.
Tiroidiris subakut limfositik. Akibat proses autoimun, tidak
menyebabkan nyeri pada kelenjar
tiroid.
Tiroiditis akibat paparan zat toksik seperti amidaron, litium dan inhibitor tirosin
kinase
Tiroiditis iatrogenic; akibat paparan radiasi eksternal, terapi radioiodine, atau
10

tindakan operasi.
Tirotoksikosis akibat jaringan ekstratiroid, misalnya struma ovarii
Pajanan tiroid eksogen, misalnya pada factitious thyrotoxicosis
Tabel 2 Etiologi tirotoksikosis

Pembagian tirotoksikosis tersebut penting artinya untuk memilih cara


pengobatan yang tepat titik pengobatan dengan iodium radioaktif atau
tiroidektomi merupakan cara yang tepat untuk beberapa bentuk tirotoksikosis
seperti adenoma toksik dan struma multinodosa toksik. penyekat beta dapat
digunakan pada hampir semua bentuk tirotoksikosis, dan obat antitiroid hanya
berguna untuk thyrotoxicosis tertentu (1). 
2.5 Patogenesis
Pada hipertiroidisme, terjadi peningkatan pelepasan hormon tiroid T3 dan
T4. Di berbagai jaringan, hormon tiroid akan meningkatkan sintesis enzim,
aktivitas NaK-ATPase dan penggunaan oksigen sehingga menyebabkan
peningkatan metabolisme basal dan peningkatan suhu tubuh. Dengan merangsang
glikogenolisis dan glukoncogenesis, hormon tiroid menyebabkan peningkatan
konsentrasi glukosa darah, sedangkan di sisi lain juga meningkatkan glikolisis.
Hormon ini merangsang lipolisis, pemecahan VLDL dan LDL, serta ekskresi
asam empedu di dalam empedu (2).
Hormon tiroid merangsang pelepasan eritropoietin dan eritropoiesis,
dengan meningkatkan pemakaian oksigen. Kandungan 2,3 bisfosfogliserat (BPG)
yang tinggi pada eritrosit yang baru dibentuk akan menurunkan afinitas O2
sehingga memudahkan pelepasan O2 di perifer. Hormon tiroid mensentisisasi
organ target terhadap katekolamin (terutama dengan meningkatkan reseptor-β)
sehingga misalnya meningkatkan kontraktilitas jantung dan frekuensi denyut
jantung. Selain itu, hormon ini meningkatkan motilitas usus dan merangsang
proses transpor di usus dan ginjal. Hormon tiroid juga meningkatkan
perkembangan fisik (misalnya pertumbuhan tinggi) dan mental (terutama
intelektual). T3 dan T4 merangsang restrukturisasi tulang dan otot, efek katabolik
terutama mendominasi dan meningkatkan eksitabilitas neuromuscular (2).
11

T3 dan T4 terutama bekerja melalui peningkatan ekspresi gen, yang


berlangsung selama beberapa hari. Kerjanya yang lama disebabkan lamanya
waktu paruh di dalam darah (T3 satu hari dan T4 tujuh hari). T3 dan T4 dari ibu
sebagian besar diinaktifkan di plasenta, dan karenanya hanya akan memberikan
sedikit efek bagi janin. Pada hipertiroidisme, metabolisme dan produksi panas
akan meningkat. Metabolisme basal meningkat hampir dua kali normal. Pasien
yang terkena, lebih menyukai suhu lingkungan yang dingin. Pada suhu lingkungan
yang panas, pasien akan cenderung berkeringat lebih banyak (intoleransi panas)
(11). Kebutuhan O2 yang meningkat membutuhkan hiperventilasi dan
merangsang eritropoiesis. Pada satu sisi, peningkatan lipolisis menyebabkan
penurunan berat badan, dan pada sisi lain menyebabkan hiperlipid asidemia.
Sementara itu, konsentrasi VLDL, LDL dan kolesterol berkurang (2).
Hormon ini berpengaruh pula pada metabolisme karbohidrat, yaitu
memudahkan terjadinya diabetes melitus yang reversibel. Bila dilakukan tes
toleransi glukosa, konsentrasi glukosa di dalam plasma akan meningkat secara
lebih cepat dan lebih nyata daripada orang sehat, peningkatan akan diikuti oleh
penurunan yang cepat (toleransi glukosa terganggu). Meskipun hormon tiroid
meningkatkan sintesis protein, hipertiroidisme akan meningkatkan enzim
proteolitik sehingga menyebabkan proteolisis yang berlebihan dengan
peningkatan pembentukan dan ekskresi urea. Massa otot akan berkurang.
Pemecahan matriks tulang, akan menyebabkan osteoporosis, hiperkalsemia, dan
hiperkalsiuria. Akibat kerja perangsangan jantung, cardiac output (CO) dan
tekanan darah sistolik akan meningkat. Fibrilasi atrium kadang-kadang dapat
terjadi. Pembuluh darah perifer akan berdilatasi. Laju filtrasi glomerulus (LFG),
aliran plasma ginjal (RPF), serta transpor tubulus akan meningkat di ginjal.
Sedangkan di hati, pemecahan hormon steroid dan obat akan dipercepat.
Perangsangan otot di usus halus akan menyebabkan diare. Peningkatan
eksitabilitas neuromuskular akan menimbulkan hiperrefleksia, tremor, kelemahan
otot dan insomnia. Pada anak, percepatan pertumbuhan kadang-kadang akan
terjadi (1,12).
12

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves(11)
Sistem Gejala dan Tanda Sistem Gejala dan Tanda
Umum Tak tahan hawa Psikis dan saraf Labil. Iritabel,
panas, hiperkinesis, tremor, psikosis,
capek, BB turun, nervositas, paralisis
peningkatan nafsu periodik dispneu
makan.

Gastrointestinal Peningkatan Jantung hipertensi, aritmia,


frekuensi defekasi, palpitasi, takikardia,
lapar, makan banyak, fibrilasi atrium,
haus, muntah, edema, dyspnea on
disfagia, exertion.
splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan limfatik Limfositosis, anemia,
splenomegali, leher
membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis, epifisis
amenorea, libido cepat menutup dan
turun, infertil, nyeri tulang
ginekomastia
Kulit Rambut rontok, Mata Orbita graves
berkeringat, kulit (eksoftalmus, lid lag,
basah, silky hair, edema konjungtiva,
edema periorbita,
pretibial miksedema,
limitasi gerak bola mata)
akropaki tiroid,
dermopati tiroid dan
onikolisis
Tabel 3 Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves
13

Gambar 2 Grave opthalmopathy

Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan (7):


 Optalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus
menurun, ulkus korne
 Dermopati (0,5-4%)
 Akropaki (1%)
Tes khusus (1,3):
 Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka
menjadi merah
 Tremor sign: Tangan keliatan bergetar, jika tremor halus,
diperiksa dengan meletak sehelai kertas diatas tangan
Gejala khas yang lainnya adalah (13):
 Mobius sign (gangguan konvergensi mata),
 von Graefe’s sign (kegagalan kelopak mata atas untuk mengikuti gerakan
bola mata ke bawah dengan segera),
 Joffroy’s sign (otot-otot wajah tidak bergerak meskipun bola mata melirik
ke atas),
 Stellwag’s sign (mata jarang berkedip),
14

 lid lag (kelopak mata atas tertinggal dibelakang tepi atas iris saat mata
bergerak ke bawah).
2.7 Pemeriksaan Fisik
Tirotoksikosis dari Grave’s disease berhubungan dengan membesarnya
kelenjar tiroid, kadang-kadang dapat terdengar bruit dengan memakai bell dari
stetoskop. Toxic multinoduler goiter secara umum terjadi ketika kelenjar tiroid
membesar setidaknya 2- 3 kali dari ukuran normal. Kelenjar bersifat lunak, tapi
nodul yang soliter kadang-kadang dapat dipalpasi. Karena kebanyakan nodul
tiroid tidak dapat dipalpasi, harus dibuktikan lewat USG tiroid, tapi nodul tiroid
yang overaktif dapat dibuktikan hanya dengan nuclear tiroid imaging dengan
radioiodine (I-123) (9).
Opthalmologic dan dermatologic examination Sekitar 50% pasien dengan
Grave tirotoksikosis memiliki oftalmopati ringan, sering hanya bermanifestasi
sebagai periorbital edema, tapi juga dapat jadi edema konjungtiva (chemosis),
extraocular muscle dysfunction (diplopia), dan proptosis. Bukti adanya thyroid
eye disease dan tingginya hormon tiroid mengkonfirmasi diagnosis Grave’s
disease (7).

Gambar 3 Gambar
Grave opthalmopathy
3 Grave opthalmopathy
(Lee, 2014)(Lee, 2014)

Pada kasus yang jarang, Grave disease dapat mempengaruhi kulit dengan
adanya deposisi glikosaminoglikan di dermis pada kaki bawah. Hal ini
15

menyebabkan nonpitting edema, yang biasanya berhubungan dengan eritema dan


penebalan kulit tanpa nyeri (7).

Gambar 4 Pretibial myxedema (Lee, 2014)


16

INSPEKSI (Gesundeith, 2015)


- Minta pasien untuk duduk tegak dengan dagu agak diangkat, perhatikan
struktur di bagian bawah-depan leher. Kelenjar tiroid normal biasanya
tidak dapat dilihat dengan cara inspeksi, kecuali pada orang yang amat
kurus
- Amati tulang hyoid, kartilago tiroid (Adam’s apple) dan kartilago krikoid,
serta trakea di bawahnya
- Lakukan inspeksi pada trakea ada atau tidaknya deviasi.
- Tempatkan jari pemeriksa pada salah satu sisi dari trakea (ruang antara
trakea dan m. sternocleidomastoid)
- Lakukan pada sisi yang lain dan bandingkan simetris atau tidak
- Beri pasien minum, hanya dikulum, lalu pasien menengadah ke atas lalu
suruh menelan air. Perhatikan kelenjar tiroid bergerak ke atas saat menelan
air
- Amati leher dan lakukan penilaian kontur, simetris atau tidaknya
kelenjar tiroid
PALPASI
17

Palpasi dari depan:


- Meminta pasien untuk mengangkat kepala tapi jagan sampai
m.sternocleidomastoid tegang
- Raba isthmus tiroid (di bawah kartilago krikoid) dengan jari telunjuk
dan jari tengah
- Minta pasien untuk menelan, rasakan isthmus tiroid yang lunak
terangkat ke atas menyentuh di bawah jari telunjuk
- Geser jari-jari ke lateral sampai batas anterior m. sternocleidomastoid
- Menilai lobus lateral, sebelum dan saat pasien menelan
- Meminta pasien untuk fleksi ringan dan sedikit miring ke kanan
- Tempatkan ibu jari kanan pada bagian bawah kartilago tiroid dan dorong
ke arah kanan pasien
- Kaitkan jari telunjuk dan tengah kiri di belakang m. sternocleidomastoid
dan raba bagian depan otot ini dengan ibu jari kiri
- Menilai lobus lateral pada saat pasien menelan
- Lakukan pada sisi satunya
Palpasi dari belakang:
- Dari belakang pasien, tempatkan jari-jari secara natural pada permukaan
anterior tiroid dan rabalah
- Meminta pasien menegakkan kepala (ekstensi ringan)
- Tempatkan ibu jari pada tengkuk pasien, temukan kartilago krikoid dan
raba isthmus tiroid di bawah kartilagi krikoid
- Meminta pasien untuk menelan
- Geser jari-jari ke arah lateral dan nilai lobus lateral saat menelan.
- Meminta pasien untuk fleksi ringan dan miring ke kanan.
- Dorong kartilago tiroid ke kanan dengan jari-jari kiri.
- Tempatkan ibu jari kanan di belakang m. sternocleidomastoid dan raba
kelenjar tiroid dengan jari telunjuk dan tengah
- Minta pasien untuk menelan
AUSKULTASI
Bila kelenjar tiroid membesar, lakukan auskultasi pada lobus lateral
kelenjar tiroid untuk mendengarkan bruit.
18

Klasifikasi awal :

Derajat 0 Tidak teraba struma


Derajat IA Teraba struma tapi tidak terlihat
Derajat IB Teraba struma tapi terlihat jika posisi kepala menengadah Struma
Derajat II terlihat pada posisi biasa
Derataj III Struma mudah dilihat pada posisi biasa dari jarak yang sedikit
jauh
Derajat IV Struma yang amat besar
19
20

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. TSH
Pemeriksaan serum TSH sebagai pemeriksaan lini pertama pada kasus
hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid akan menyebabkan
perubahan yang nyata pada kadar serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH
sensitivitas dan spesifisitas paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk
menegakkan diagnosis gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroidisme serum
TSH akan sangat rendah dan bahkan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga
pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar yang
harus dilakukan (6).
b. T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin dan triiodotironin direkomendasikan sebagai
pemeriksaan standar untuk diagnosis hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya
dilakukan pada bentuk bebas dari hormon tiroid karena yang menimbulkan efek
biologis pada sistem tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada awal terapi baik
dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi pemeriksaan kadar
hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu
bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap free T4 total, T3 dan
TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan pemeriksaan
dilakukan setiap satu bulan hingga pasien euthyroid. Selain itu dari rasio total T 3
dan T4 dapat digunakan untuk mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita
pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat Graves Disease dan toxic nodular
goiter rasio total T3 dan T4 >20 karena lebih banyak T3 yang disintesis pada
kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar.
Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total
T3 dan T4 <20 (3,6).
c. Thyroid Receptor Antibadies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb yang
biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves disease adalah antithyroid
21

peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating antibody (TSAb), dan


antithyroglobuline antibody (anti-TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan
TgAb mengindikasikan hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves disease.
TPOAb ditemukan pada 70-80% pasien, TgAb pada 30-50% pasien dan TSAb
pada 70-95% pasien (6,7,11).
d. Radioactive lodine Uptake
Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui
berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui transporter Na+/I- di
kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta menelan kapsul atau cairan yang
berisi iodine radioaktif dan hasilnya diukur setelah periode tertentu, biasanya 6
atau 24 jam kemudian. Pada kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves'
disease, toxic adenoma dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan
uptake iodine radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita
yang hamil atau menyusui.
e. Ultrasound Scanning
Ultrasonography (USG) merupakan metode yang menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran bentuk
dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah untuk dilakukan,
noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik nodul toxic adenoma
dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan ukuran nodul secara akurat.
Pemeriksaan USG bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus
hipertiroidisme Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya pada
pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan nodular goiter, dan pasien
dengan faktor risiko kanker tiroid.15
f. Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)
FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid
(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari metode
ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak mengganggu
aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme dengan nodul akibat
toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC merupakan salah satu pemeriksaan
utama yang harus dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Hasil dari
22

biopsi dengan FNAC ini selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari
biopsi pasien dapat berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk
dilakukan analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan
malignant (kanker) (1).
23

2.9 Diagnosis

Tersangka
tirotoksikosis

Ukur TSH,
T4 bebas

TSH TSH dan


rendah, TSH
rendah, TSH normal/meningkat, FT4 FT4
FT4 tinggi tinggi Normal
FT4
normal
Tirotoksik
osis primer TSH-secreting pituitary Tidak
Ukur FT3 adenoma atau thyroid diperlukan
hormone resistance tes
syndrome tambahan
Tinggi Normal
Manifestasi
penyakit T3 Hipertiroid
Graves? toksikosis subklinis

Ya Tidak Follow up
6-12
minggu
Graves Goiter multinodular atau
disease adenoma toksik

Ya Tidak

Hipertiroid Pengambilan
toksik Radio
nodular Nukleotida
rendah

Ya Tidak

Singkirkan penyebab lain


termasuk stimulasi oleh
Tiroiditis destruktif, gonadotropin korlonik
kelebihan iodium atau
kelebihan hormon tiroid
24

2.10 Tatalaksana

1. Farmakologis (3)
a. obat anti tiroid
 Propiltiourasil PTU dosis awal 300-600 mg/hari,  dosis maksimal
2000 mg/hari.
  metimazol dosis awal 240 mg/hari.
  indikasi:
- Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi
pada pasien muda dengan struma ringan-sedang dan tirotoksikosis.
- Untuk mengendalikan thyrotoxicosis pada fase sebelum
pengobatan atau sesudah pengobatan iodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
- Pasien hamil lanjut usia
- Krisis tiroid
b. penyekat adrenergik beta
Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid
setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200 mg dalam 2-3
dosis.
Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah
eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis,
serta Lab FT4 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi
25

dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan


eutiroid selama 12-24 bulan. kemudian pengobatan dihentikan dan dinilai apakah
terjadi remisi. dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun pengobatan obat antitiroid
dihentikan pasien masih dalam keadaan eutiroid walaupun kemudian hari dapat
tetap eutiroid atau terjadi relaps.

2. Bedah (7)
 indikasi:
 Pasien usia muda dengan rumah besar dan tidak respon dengan anti tiroid
  wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi
  alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium
radioaktif
 Adenoma toksik, struma multinodusa Toxic
 drive yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
3. Radioiodine (3)
indikasi:
 Pasien berusia > 35 tahun
 Hipertiroidisme yang telah dioperasi
 Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat anti tiroid
 Tidak mampu atau tidak mau terapi obat anti tiroid
 Adenoma toksik, struma multinodusa toxic
2.11 Komplikasi
Penyakit graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati graves,
dermopati graves, infeksi karena agranulomatosis pada pengobatan dengan obat
anti tiroid (3).
Krisis tiroid merupakan suatu sindroma yang mengancam jiwa dengan
karakteristik manifestasi klinis tirotoksikosis yang berat. Jika berdasarkan tes
fungsi tiroid, maka tidak didapatkan adanya perbedaan antara penderita grip yang
tidak mengalami komplikasi dengan yang mengalami krisis tiroid. Oleh karena itu
secara khusus pada krisis tiroid diagnosis ditegakkan atas dasar kondisi klinis
penderita (7).
26

2.12 Prognosis
Walaupun jarang graves disease dapat membaik secara spontan, khususnya
jika sifatnya ringan ataupun subklinis. Penyakit ini bila terjadi pada awal
kehamilan maka didapatkan 30% kemungkinan untuk mengalami remisi spontan
pada trimester ketiga. komplikasi pada jantung, mata maupun psikis penderita
dapat menetap walaupun telah mendapat terapi. hipoparatiroid permanen dan
kelumpuhan pita suara merupakan resiko dari tiroidektomi. kekambuhan
merupakan hal yang umum pada penderita yang mendapat terapi obat anti tiroid
terapi I-131 dosis rendah ataupun thyroidectomy subtotal. dengan terapi adekuat
dan follow up jangka panjang umumnya memberikan hasil yang baik. hipotiroid
pasca terapi sering terjadi umumnya beberapa bulan sampai dengan beberapa
tahun setelah penderita menjalani radioterapi ataupun thyroidectomy subtotal.
exopthalmus berat memiliki prognosis yang buruk kecuali dilakukan pengobatan
secara agresif (7).
Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia < 40 tahun dengan
ukuran gondok yang besar dan tirotoksikosis yang klinis lebih berat (didapatkan
titer antibodi reseptor TSH yang tinggi) (3).
27

BAB 3
KESIMPULAN

Hipertiroid merupakan salah satu bentuk tirotoksikosis yang terjadi akibat


peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Penyebab
tersering penyakit hipertiroid adalah penyakit graves, struma multinodosa toksik
(Toxic Multinolar Goiter, TMNG) dan adenoma toksik (Toksic Adenoma,TA).
Hipertiroid ditemukan pada 0,8-1,3% di populasi seluruh dunia. Di Indonesia
prevalensi mencapai 6,9%, hipertiroid bisa disebabkan oleh stimulasi reseptor
thyroid stimulating hormon (TSH) yang berlebihan, sekresi otonom hormon
tiroid, kerusakan folikel tiroid dengan pelepasan hormon tiroid dan sekresi
hormon tiroid dari sumber ekstra thyroidal. Keluhan yang dialami pasien biasanya
berdebar-debar, mudah lelah, lemah badan, sulit tidur, tidak tahan terhadap suhu
panas, berkeringat banyak, nafsu makan meningkat, berat badan turun, gelisah,
mudah cemas, frekuensi BAB meningkat, gangguan menstruasi. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan perbesaran pada kelenjar tiroid difus, Kulit teraba
hangat dan lembab, dermopati, tiroid acropachy, tremor, takikardi. Pemeriksaan
laboratorium menurunnya kadar TSH disertai dengan peningkatan FT4 dan FT3
ataupun keduanya. Terapi yang bisa diberikan pemberian obat antitiroid, golongan
penyekat beta, pembedahan, radioterapi I-131. Komplikasi yang ditakutkan adalah
kejadian krisis tiroid yang mengancam jiwa dengan manifestasi klinis
tirotoksikosis yang berat. Komplikasi yang terjadi pada jantung mata ataupun
psikis penderita dapat menetap walaupun telah mendapatkan terapi. Kekambuhan
adalah hal yang umum pada pasien dengan terapi antithyroid, terapi I-131 ataupun
tiroidektomi subtotal. Perlu terapi yang adekuat dan follow up jangka panjang agar
memberikan hasil yang baik.
28

DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok Studi Tiroidologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan Penyakit
Hipertiroid-PERKENI. 2017.
2. Sherwood L. Human physiology from cells to systems Ninth Edition.
Appetite. 2016.
3. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL, editors.
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis.
Jakarta: Interna Publisher; 2015. 151-156 p.
4. Taylor PN, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus JH, Dayan
CM, et al. Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism.
Nat Rev Endocrinol [Internet]. 2018;14(5):301–16. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nrendo.2018.18
5. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan Analisis
Tiroid.pdf. 2015. p. 1–8.
6. Buchari, Mutiawati VK, Ramdhani Y, editors. Peran Laboratorium untuk
Meningkatkan Ketepatan Diagnostik. Medan: Pustaka Bangsa Press; 2015.
113-121 p.
7. Tjokroprawiri A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2nd ed. Surabaya:
Airlangga University Publisher; 2015. 126-139 p.
8. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves’
Disease. Acta Med Indones. 2018;50(2):177–82.
9. Liwang F, Yuswar PW, Wijaya E, Sanjaya NP. Kapita Selekta Kedokteran.
2020. 70-75 p.
10. Kalbemed. Hipertiroid [Internet]. Available from:
https://www.kalbemed.com/diseases/72
11. Grayston F. Hyperthyroidism and Graves’ Disease. InnovAiT Educ Inspir
Gen Pract. 2011;4(12):698–705.
12. Setiadji VS. Fisiologi Kelenjar Tiroid, Paratiroid, Vitamin D serta
Metabolisme Kalsium dan Fosfat. 2016.
13. Price & Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki.
Volume 2. Edisi 6. J Chem Inf Model. 2018;
29

Anda mungkin juga menyukai