Anda di halaman 1dari 21

MANAGEMENT PRE-OPERATIF PADA PASIEN

DENGAN TIROTOKSIKOSIS
Jurnal Reading ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Anestesia Rumah Sakit Umum Haji Medan

Oleh :
Novrizal Muhammad Fadillah
(21360015)

Pembimbing :
dr. M. Winardi Lesmana. Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya. Penulis dapat

menyelesaikan tugas Laporan Kasus “Management Pre-operatif pada Pasien Dengan

Tirotoksikosis” sebagai salah satu tugas kepaniteraan Klinik Ilmu Anastesi. Pada

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada dr. Wienardi, S.An

yang telah membimbing penulis.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada dan penulis juga menerima

adanya kritik dan saran yang membangun dalam rangka menyempurnakan tugas ini.

Akhir kata, semoga journal reading ini dapat memberikan manfaat dan terimakasih.

Medan. 17 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1

BAB II DESKRIPSI JURNAL................................................................................3

2.1 Tirotoksikosis .................................................................................................3


2.2 Menegemen Pre-operatif Pada Pasien dengan Tirotoksikosis...................14

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................15

Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah tirotoksikosis merujuk kepada suatu keadaan klinis yang terjadi

karena jumlah hormon tiroid yang berlebih pada jaringan sebagai akibat

meningkatnya angka hormon tiroid pada darah.1 Gejala tirotoksikosis

disebabkan karena berlebihnya aktivitas beta adrenergik yang ditandai dengan

agitasi, tremor, penurunan berat badan, takikardia, produksi keringat yang

berlebih, demam, aritmia, dan gagal jantung yang pada akhirnya dapat beru-

jung kepada kematian.1,2

Badai tiroid adalah suatu eksaserbasi akut dari keadaan hipertiroid yang

terjadi karena pelepasan dari hormon tiroksin (T4), triiodotironin (T3), atau

keduanya, yang terjadi secara tiba-tiba dan dalam jumlah yang besar ke dalam

sirkulasi sistemik. Angka mortalitas dari badai tiroid ini mencapai 20-30%.

Beberapa kondisi yang dapat mencetus- kan badai tiroid yaitu infeksi,

pembedahan, dan trauma.2

Pada pembedahan elektif, pasien dengan tirotoksikosis dioptimalkan

terlebih dahulu dengan target terapi yaitu pasien dalam keadaan eutiroid

sebelum menjalani operasi, baik secara klinis maupun secara laboratoris.3

Pasien yang menjalani pembedahan dalam keadaan tidak eutiroid memiliki

risiko yang lebih tinggi untuk mengalami badai tiroid selama dan pasca-

pembedahan berlangsung. Pada pembedahan darurat, sering kali waktu untuk

1
mencapai keadaan eutiroid ini tidak adekuat, sehingga pasien menjalani

pembedahan tidak dalam kondisi yang ideal.4,5

Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi kelenjar tiroid, dan

kelenjar limpa yang mengalami pembesaran, deseksi leher radikal, dan operasi

laringeoktomi. Manajemen pada pasien dengan pembedahan kepala dan leher

berkaitan erat dengan meningkatnya angka morbiditas, dan mortalitas sehingga

antisipasi terjadinya sumbatan jalan nafas merupakan hal yang penting.

Pembedahan pada kepala dan leher merupakan pembedahan berisiko tinggi

yang

dapat menyebabkan kerusakan otak, dan berakhir meninggal. Kesulitan

intubasi

berhubungan dengan peningkatan morbiditas, dan komplikasi pembedahan.

Prosedur manajemen pada jalan nafas, pipa endotrakeal tidak lebih dari 6mm

untuk mengurangi edema pada jalan nafas pasca bedah. Intubasi melalui

endotrakeal dapat dijadikan sebagai pilihan alternatif

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tirokoksikosis

a. Definisi

Tirotoksikosis adalah sindroma klinis hipermetabolisme yang terjadi akibat

peningkatan hormon tiroid tiroksin bebas (T4), triiodotironin yang beredar

berlebihan1. Tirotoksikosis merupakan suatu sindroma klinis yang terjadi

akibat dari jaringan yang terpapar oleh kadar hormon tiroid yang tinggi dalam

sirkulasi. Sebagian besar tirotoksikosis disebabkan oleh kelenjar tiroid yang

hiperaktif atau hipertiroid., namun kadang-kadang tirotoksikosis dapat

disebabkan oleh karena penyebab lain seperti sekresi hormon tiroid yang

berlebihan dari tempat lain (ektopik) atau hormon tiroid yang berlebihan3.

b. Etiologi

Penggolongan sebab tirotoksikosis dengan atau tanpa hipertiroid sangat

penting, disamping pembagian etiologi, primer ataupun sekunder. Kira-kira

70% tirotoksikosis disebabkan oleh penyakit Graves, sisanya karena gondok

multinodular toksik dan adenoma toksik

Tabel 1. Penyebab Tirotoksikosis1

Hipertiroid Primer Tiroroksikosis tanpa Hipertiroid sekunder


Hipertiroid
Penyakit Graves Hormon tiroid berlebih TSH-secreting tumor
(Tirotoksikosis faktisia)

Gondok Multinodula Tiroiditis sub akut (Viral Tirotoksikosis gestasi


toksik atau De quairvain) (trimester pertama)

Adenoma toksik Destruksi kelenjar Resistensi hormon

3
tiroid
Obat yodium lebih Radiasi
litium
Karsinoma tiroid

Struma ovarii

Mutasi TSH-r

 Grave’s Disease

Merupakan penyebab tersering dari tirotoksikosis, prevalensi pada wanita

lebih sering daripada laki-laki. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari

gambaran berikut ini :

1. Tirotoksikosis
2. Goiter
3. Opthalmopathy (exopthalmus)
4. Dermopathy (pretibial myxedema)
c. Gambaran Klinis

Pada penderita usia muda pada umumnya didapatkan palpitasi, nervous,

mudah lelah, hiperkinesia, diare, keringat berlebihan, tidak tahan terhadap

udara panas dan lebih suka terhadap udara dingin. Didapatkan penurunan berat

badan tanpa disertai penurunan nafsu makan, kelenjar tiroid membesar,

didapatkan tanda-tanda mata tirotoksikosis (exoptalmus) dan umumnya terjadi

takikardi ringan. Kelemahan otot dan kehilangan massa otot terutama pada

kasus berat yang ditandai penderita biasanya tidak mampu berdiri dari kursi

tanpa bantuan. Pada penderita diatas 60 tahun yang menonjol adalah

manifestasi kardiovaskular dan miopati dengan keluhan utama adalah palpasi,

sesak waktu melakukan aktivitas, tremor, nervous dan penurunan berat badan.

4
Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian

bawah sebagai akibat dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema),

keadaan ini sangat jarang hanya terjadi 2-3% penderita.

Tabel 2. Gejala serta tanda Hipertiroid umumnya ada pada penyakit Graves 1

Sistem Gejala dan Tanda


Umum Tak tahan hawa panas, hiperkinesis, capek, BB turun,
tumbuh cepat, toleransi obat, youthfullness, hiperdefekasi,
lapar
Gastrointestinal Makan banyak, haus, muntah, disfagia, splenomegali
Muskular Rasa lemah
Genitourinaria Oligomenorea,amenorea,libido turun,infertil,ginekomastia
Jantung Leher membesar
Psikis dan saraf Labil, iritabel, tremor, psikosis, nervositas, paralisis
periodik dipsneu,
Darah dan limfatik hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal jantung, limfositosis,
skelet anemia, splenomegali
Tulang Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang

Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan:

 Oftalmopati (50%) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus

menurun, ulkus kornea

 Dermopati (0,5-4%)

 Akropaki (1%)

 Untuk laboratorium, apabila curiga adanya hipertiroid, makan yang

diperiksa adalah FT4 (free thyroxin), FT3 dan TSHs. Pemeriksaan

antibodi yang khas untuk grave’s disease adalah TSH-R Ab

(stimulating). I123 atau technetium scan biasanya digunakan untuk

mengevaluasi ukuran kelenjar dan adanya nodul ‘hot’ atau ‘cold’

5
d. Diagnosa

Diagnosis pasti dari suatu penyakit hampir diawali oleh kecurigaan klinis.

Pemeriksaan minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid

adalah FT4 dan TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan

TSHs maka hipertiroid dapat ditegakkan.

Hipertiroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan

exopthalmus harus dilakukan pemeriksaan radioiodine uptake. Bila didapatkan

peningkatan uptake maka diagnosis Grave’s disease dan toxic nodular goiter

dapat ditegakkan. Radioiodine uptake yang rendah didapatkan pada hipertiroid

yang baik, tiroiditis sub akut, tiroiditis hashimoto fase akut, pengobatan dengan

levotyroxin yang jarang yaitu struma ovarii.

Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat maka harus dicurigai adanya

tumor pituitari yang memproduksi TSH. Apabila FT4 normal sedangkan TSHs

rendah maka FT3 harus diperiksa, diagnosis Grave’s disease stadium awal dan

T3-secreting toxic nodules dapat ditegakkan apabila FT3 meningkat. Apabila

FT3 rendah didapat pada euthyroid sick sindrom atau pada penderita yang

mendapatkan terapi dopamin atau kortikosteroid.

Untuk itu telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang

didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Kemudian diteruskan

dengan pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis anatomis, status

tiroid dan etiologi1.

6
Tabel 3 Indeks Wayne

No Gejala yang timbul Dan atau Nilai


bertambah berat
1. Sesak saat kerja +1
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +3
4. Suka udara panas -5
5. Suka udara dingin +5
6. Keringat Berlebihan +3
7. Gugup +2
8. Nafsu makan naik +3
9. Nafsu makan turun -3
10. Berat badan naik -3
11. Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak


1. Thyroid teraba +3 -3
2. Bising Thyroid +2 -2
3. Exopthalmus +2 -
4. Kelopak mata tertinggal gerak bola +1 -
mata
5. Hiperkinetik +4 -2
6. Tremor Jari +1 -
7. Tangan Panas +2 -2
8. Tangan basah +1 -1
9. Fibrilasi Atrial +4 -
10. Nadi teratur
<80x/menit - -3
80-90x/menit - -
>90x/menit +3 -

7
Tjokroprawiro membuat tiga kriteria diagnostik penyakit Graves yaitu 4 :
Diagnosis dugaan penyakit Graves : struma, gejala umum, gejala
kardiovaskular
1. Diagnosis klinis penyakit Graves: Diagnosis dugaan Indeks Wayne > 20

atau indeks New castle > 40

2. Diagnosis pasti penyakit Graves: diagnosis klinis ditambah FT4

meningkat dan TSHs menurunDiagnosis dugaan penyakit Graves :

struma, gejala umum, gejala kardiovaskular

3. Diagnosis klinis penyakit Graves: Diagnosis dugaan Indeks Wayne > 20

atau indeks New castle > 40

4. Diagnosis pasti penyakit Graves: diagnosis klinis ditambah FT4

meningkat dan TSHs menurun

e. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia pasien,

riwayat alamiah penyakit, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien

(ingin mempunyai anak/tidak), resiko pengobatan, dsb1. Pengobatan

Tirotoksikosis dapat dikelompokkan menjadi Tirostatika, Tiroidektomi,

Yodium radioaktif.

1. Tirostatika (OAT-Obat Anti Tiroid)

a) PTU (Propyl thiouracil), pada umumnya dosis awal adalah 100-150


mg setiap 6 jam, setelah 4-8 minggu dosis diturunkan menjadi 50-
200 mg sekali atau dua kali dalam sehari. Keuntungan PTU
dibanding methimazole adalah bahwa PTU dapat menghambat
konversi T4 menjadi T3 sehingga lebih efektif dalam menurunkan
hormon tiroid secara cepat.

8
b) Methimazole, mempunyai duration of action yang lebih panjang
sehingga lebih banyak digunakan sebagai single dose. Methimazole
berada dalam folikel ±20 jam. Dosis awal dimulai dengan 40 mg
setiap pagi selama 1-2 bulan dan selanjutnya dosis diturunkan
menjadi 5-20 mg setiap pagi sebagai dosis rumatan
Tabel 4.Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolaan Tirotoksikosis 1

Kelompok Obat Efek Indikasi


Obat Anti Tiroid Menghambat sintesis Pengobatan lini
Propiltiourasil (PTU) hormon tiroid dan pertama pada
Metimazole (MMI) berefek imunosupresif Graves. Obat jangka
Karbimazol (CMZ) (PTU hambat konversi pendek pra
Antagonis Adrenergik-ƀ T4 menjadi T3) bedah/pra-RAI
B-adrenergik antagonis Mengurangi dampak Obat tambahan,
Propanolol hormon tiroid pada kadang sebagai obat
Metoprolol jaringan tunggal pada
Atenolol tiroiditis
Nadolol
Bahan mengandung Menghambat keluarnya Persiapan
Iodine T4 dan T3 tiroidektomi. Pada
Kalium iodida Menghambat produksi krisis tiroid bukan
Solusi Lugol T3 ekstratiroidal pada penggunaan
Na Ipodat rutin
Asam Iopanoat
Obat Lain Menghambat transpor Bukan indikasi rutin
Kalium perklorat yodium, sintesis dan Pada sub akut
Litium Karbonat keluarnya hormon tiroiditis berat dan
Glukokortikoid Memperbaiki efek krisis tiroid
hormon di jaringan dan
sifat imunologis

2. Tiroidektomi

Pada penderita dengan kelenjar gondok yang besar atau dengan

goiter nultinoduler maka tiroidektomi subtotal merupakan pilihan.

Operasi ini baru dilaksanakan jika pasien dalam keadaan eutiroid,

secara klinis ataupun biokimia. Dua minggu sebelum operasi

penderita diberikan solutio lugol dengan dosis lima tetes dua kali

9
sehari. Pemberian solutio lugol bertujuan untuk mengurangi

vaskularisasi kelenjar, sehingga akan mempermudah jalannya

operasi1.

Pada sebagian penderita Grave’s disease membutuhkan suplemen

hormon tiroid setelah dilakukan tiroidektomi. Komplikasi pada

pembedahan adalah hipoparatiroid dan terjadi kerusakan pada nervus

recurrent laryngeal. Hipoparatiroid bisa terjadi permanen atau

sepintas. Setiap pasien pasca operasi perlu dipantau apakah terjadi

remisi, hipotiroidisme atau residif. Operasi yang tidak direncanakan

dengan baik membawa resiko terjadinya krisis tiroid dengan

mortalitas yang amat tinggi1.

3. Yodium Radioaktif

Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan

OAT menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi

hasil akhir pengobatan RAI. Dosis RAI berbeda, ada yang bertahap

untuk mencapai eutiroid tanpa hipotiroid, ada yang langsung dengan

dosis besar untuk mencapai hipotiroid kemudian ditambah tiroksin

sebagai substitusi. Kekhawatiran bahwa radiasi akan menyebabkan

karsinoma tidak terbukti. Satu-satunya kontraindikasi adalah

graviditas. Komplikasi ringan, kadang terjadi tiroiditis sepintas. Pada

enam bulan pasca radiasi disarankan untuk tidak hamil.

Tabel 5. Keuntungan dan kerugian berbagai pengobatan Tiroroksikosis 1

Pengobatan Keuntungan Kerugian


Tirostatika Kemungkinan remisi Angka residif cukup tinggi

10
jangka panjang tanpa Pengobatan janga panjang
hipotiroid dan kontrol yang sering
Tiroidektomi Cukup banyak menjadi Dibutuhkan ketrampilan
eutiroid bedah
Yodium radioaktif Relatif cepat Masih ada morbiditas
Jarang residif 40 % hipotiroid dalam 10
Sederhana tahun
Daya kerja obat lambat
50% hipotiroid pasca
radiasi

f. Komplikasi

i. Krisis Tiroid

Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang sangat membahayakan dan

merupakan suatu kondisi eksaserbasi akut dari tirotoksikosis. Hampir semua

kasus disertai oleh faktor pencetus. Hingga kini patogenesis krisis tiroid

belum jelas : free-hormon meningkat, naiknya free-hormon mendadak, efek

T3 pasca transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran.

Tabel 6. Faktor Pencetus Krisis Tiroid

Infeksi Konsumsi hormon tiroid


Pembedahan baik tiroid atau non KAD
tiroid
Terapi radio iodine Gagal jantung kongestif
Putus obat antitiroid Hipoglikemia
Amiodaron Toksemia gravidarum
Stress emosi berat Persalinan
Emboli Paru CVA
Trauma Ekstraksi Gigi

Krisis tiroid ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan tidak ada

kriteria laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosis krisis tiroid. Kriteria

11
diagnostik untuk krisis tiroid dibuat oleh Burch-Wartofsky untuk

membedakan apakah tirotoksikosis, impending crisis tiroid atau krisis

tiroid3. Kecurigaan krisis tiroid apabila terdapat trias: menghebatnya tanda

tirotoksikosis, kesadaran menurun dan hipertermia1.

Tabel 7 Kriteria Diagnostik untuk Krisis Tiroid3,5

1. Thermoregulatory Dysfunction 2. Cardiovascular Dysfunction


Temperature a. Tachycardia
37,2-37,7oC 5 99-109 5
37,8-38,3oC 10 110-119 10
38,4-38,8oC 15 120-129 15
38,9-39,4oC 20 130-139 20
39,5-39,9oC 25 ≥140 25
≥ 40oC 30
b. Congestive Heart failure
Absent 0
Mild 5
( Pedal edema )
Moderate ( bibasiler rales ) 10
Severe ( pulmonary edema ) 15
c. Atrial Fibrilasi
AF present 10
Absent 0
3. Central Nervouse System Effects 4. Gastrointestinal Hepatic Dysfunction
Absent 0 Absent 0
Mild Moderate 10
 Agitation 10  Diarrhea
Moderate  Nausea/Vomiting
 Delirium  Abdominal pain
 Psychosis 20 Severe 20
 Extreme lethargy  Unexplained Jaundice
Severe Negatif 0
 Seizure Positif 10
 Coma

30

12
Apabila setelah dijumlah didapatkan skor :

≥ 45 : sangat mungkin krisis tiroid

25-44: sangat mungkin impending krisis tiroid

≤25 : tidak ada krisis tiroid

Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan hasil pemeriksaan fungsi

tiroid yaitu kadar TSH (Thyrois Stimulating Hormone) tidak terdeteksi

(<0,001 mU/L) dan peningkatan kadar T3 lebih menonjol daripada T4

karena terjadi bersamaan dengan peningkatan konversi hormon tiroid perifer

T4 ke T33,7,8.

Pengobatan harus segera diberikan dan harus diberikan dengan kontrol

yang baik setiap harinya. Pengelolaan krisis tiroid ditujukan untuk

menurunkan sintesis dan sekresi hormon tiroid, menurunkan pengaruh

perifer hormon tiroid dengan menghambat T4 menajdi T3, terapi mencegah

dekompensasi sistemik, terapi penyakit pemicu dan terapi suportif7,8.

 Terapi Supuratif

i. Pasang naso gastrik tube diperlukan untuk pemberian oral


ii. Keseimbangan cairan dan infus glukosa untuk nutrisi
iii. Oksigen
iv. Status Kardiorespirasi
v. Kompres dingin
vi. Acetaminophen (hindari penggunaan aspirin karena dapat
melepas T4 dari TBG (Thyroid Binding Globulin) sebagai akibat
serum FT4 meningkat. Chlorpromazine 50-100 mg IM dapat

13
digunakan untuk mengatasi agitasi dan dapat menghambat
termoregulasi sentral maka dapat digunakan untuk pengobatan
hiperpireksia.
vii. Phenobarbital, dapat digunakan sebagai sedative
viii. Multivitamin
 Terapi Khusus

i. Terapi awal PTU 400 mg PO dengan dosis rumatan 100-200 mg

setiap 4 jam atau dengan menggunakan methimazole dengan

dosis awal 40 mg PO dilanjutkan dengan 10 mg setiap 4 jam.

PTU merupakan tionamid pilihan pertama, karena dapat pula

menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Namun sayangnya

obat ini tidak tersedia dalam bentuk injeksi sehingga harus

diberikan melalui pipa nasogastrik7,8.

ii. Solutio lugol 6 tetes setiap 6 jam harus diberikan 1 jam setelah

pemberian PTU

iii. Propanolol dengan dosis 10-40 mg PO setiap 6 jam atau 0,5-1 mg

IV setiap 3 jam. Propanolol sering digunakan dengan tujuan

menurunkan konversi T4 menjadi T3 dan menghambat pengaruh

perifer hormon tiroid7,8.

iv. Hydrocortison hemisuccinate dosis 100-200 mg IV atau

dexamethason 2 mg IV setiap 8 jam.

v. Terapi faktor pencetus (misalnya infeksi).

2.2 Management Pre-operative Pada Pasien Tirotoksikosis

Untuk pengelolaan pra-operasi pada pasien dengan tirotoksikosis,

pemberian obat golongan penghambat reseptor beta telah terbukti aman dan

14
efektif. Propranolol merupakan obat pilihan penghambat reseptor beta lini

pertama pada kasus hipertiroid.8 Propranolol menghambat tiroksin deiodinase

sehingga obat ini juga dikatakan dapat menghambat konversi T4 ke T3.

Beberapa kepus- takaan menyebutkan penggunakan Esmolol secara intravena

dengan dosis titrasi dapat menurunkan risiko terjadinya hipertensi dan badai

tiroid selama pembedahan berlangsung.4-6

Pemberian midazolam dan fentanyl pada kondisi pra-anestesi pada pasien

ini bertujuan untuk mencegah ansietas dan menurunkan respon simpatis yang

dapat dicetuskan oleh rangsang nyeri saat memposisikan pasien untuk

pemasangan kateter epidural. Glukokortikoid diindikasikan pada keadaan

tirotoksikosis karena cara kerjanya yang mampu menghambat konversi T4

menjadi T3 di perifer.1,4 Glukokortikoid yang mempunyai karakteristik

seperti ini adalah deksametason dan hidrokortison.6 Karena waktu yang

dibutuhkan panjang dan masa kerjanya yang pendek, pembe- rian larutan

iodida seperti lugol biasanya dilaku- kan apabila kita memiliki cukup waktu

sebelum dilakukan pembedahan. Iodida bekerja dengan cara menghambat

pelepasan hormon tiroid dari kelenjar tiroid.2,8

Di masa lalu manajemen anestesia pada pasien tirotoksikosis didominasi

oleh anestesia umum.9 Namun selama tidak terdapat indikasi kontra, anestesi

regional dapat menjadi sebuah pilihan yang relatif lebih aman dibandingkan

dengan anestesi umum.10 Dua alasan utamanya adalah karena anestesi

15
regional memberikan guncangan hemodinamik yang relatif lebih kecil

dibandingkan dengan anestesi umum, serta karena selama pembedahan pasien

tetap dalam keadaan sadar

Faktor ansietas pasien harus tetap diperhatikan. Apabila mungkin,

sebaiknya obat-obat ansiolitik tetap diberikan untuk menurunkan respon

simpa- tik yang dicetuskan oleh ansietas yang berlebihan.11 Sebuah

komplikasi yang jarang terjadi namun memiliki angka mortalitas yang tinggi

adalah terjadinya badai tiroid. Tiga hal tersering yang biasanya menjadi

pencetus badai tiroid adalah infeksi, pembedahan, dan trauma.11,12 Gejala

klasik badai tiroid ini meliputi sakit perut, diare, gelisah, hipertermia, dan

aritmia. Manajemen badai tiroid terdiri dari penanganan cepat takikardia

dengan obat penghambat reseptor beta, usaha aktif untuk melawan

hipertermia, dan pemberian steroid.11 Propiltiourasil dan metimazol juga

dapat digunakan untuk mengurangi sintesis hormon tiroid.12,13

16
BAB III

KESIMPULAN

Tirotoksikosis memberikan sebuah tantangan tersendiri bagi seorang ahli anestesi. Pada

pembedahan elektif, pasien sebaiknya berada dalam kondisi eutiroid baik secara klinis

maupun laboratoris. Pada kasus dimana pasien harus menjalani prosedur pembedahan

darurat tanpa waktu yang cukup untuk memberikan pengobatan dan mencapai kondisi

eutiroid, maka tehnik anestesia regional dengan blok neuroaksial dapat menjadi sebuah

alternatif yang aman untuk dilakukan sesuai dengan jenis pembedahan yang dilakukan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Fyneface-Ogan S, Fiebai PO, Obasuyi BI. Anaesthetic Challenges In An


Untreated Grave’s Disease Parturient Undergoing Emergency Caesarean
Section. The Nigerian Health Journal. 2011;11:126-9
2. Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, Garber JR, Greenlee MC, Klein I, dkk.
Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. Endocr Pract.
2011;17:e2-65.
3. Bajwa SJS, Sehgal V. Anesthesia and thyroid surgery: The never ending
challenges. Indian J Endocr Metab 2013;17:228-34.
4. Buget MI, Sencan B, Varansu G, Kucukay S. Anesthetic Management of a
Patient with Thyrotoxicosis for non-thyroid surgery with Peripheral Nerve
Blockade. Case Reports in Anesthesiology, vol. 2016, Article ID 9824762, 3
pages, 2016. doi:10.1155/2016/9824762.
5. Varela A, Yuste A, Villazala R, Garrido J, Lorenzo A, Lopez E. Spinal
anesthesia for emergency abdomi- nal surgery in uncontrolled
hyperthyroidism. Acta Anaesthesiologica Scandinavica. 2005;49(1):100-3.
6. Bala Subramanya H. Anaesthetic Management of Pregnant Patient with
Uncontrolled Hyperthyroidism for Emergency Caesarian Section. Journal of
Evolution of Medical and Dental Sciences. 2014;47:11450-3.
7. Wullur C, Rismawan B. Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan
Perforasi Uterus ec. Tumor Trophoblastik Ganas dengan Hipertiroidism.
Anesthesia & Critical Care. 2015;33:133-8
8. Khanna P, Kumar A, Dehran M. Gestational trophoblas- tic disease with
hyperthyroidism: Anesthetic manage- ment. Journal of Obstetric Anaesthesia
and Critical Care. 2012;2:31-3.
9. Datt V, Tempe DK, Singh B, Tomar AS, Banerjee A, Dutta D, dkk. Anesthetic
management of patient with myasthenia gravis and uncontrolled
hyperthyroidism for thymectomy. Ann Card Anaesth. 2010;13:49-52.
10. Tsunezuka Y, Oda M, Matsumoto I, Tamura M, Watanabe G. Extended
thymectomy in patients with myasthenia gravis with high thoracic epidural
anaesthesia alone. World J Surg. 2004;28:962-6.
11. Grimes CM, Muniz CPT, Montgomery WJ, Goh YS. Intraoperative Thyroid
Storm: A Case Report. AANA 2014;72:53-5.
12. Park JT, Lim HK, Park JH, Lee KH. Thyroid storm during induction of
anesthesia. Korean J Anesthesiol. 2012;63(5):477-8.
13. Rusmana, M., Sriwidyani, N., Mahendra Dewi, I. 2018. BRAF V600E
expression found in aggressive papil- lary thyroid carcinoma (PTC), lymph
node metastasis, and extra-thyroid extension. Bali Medical Journal 7(3).
DOI:10.15562/bmj.v7i3.1201

18

Anda mungkin juga menyukai