Anda di halaman 1dari 40

1

REFARAT

ILEUS

Pembimbing:

dr. Tarmizi, Sp.B. FINACS

Disusun Oleh :

Novrizal Muhammad Fadillah


(21360015)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
MEDAN
2022
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan refarat ini dengan

judul “Ileus”. Penyelesaian refarat ini banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu

adanya kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sangat tulus kepada

dr. Tarmizi, Sp.B FINACS

selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan

memberi kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan refarat ini.

Penulis menyadari bahwa refarat ini tentu tidak lepas dari kekurangan karena

keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan masukan

dan saran yang membangun. Semoga paper ini dapat memberikan manfaat.

Medan, 07 Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Ileus.............................................................................................................3
2.1.1 Anatomi Usus...................................................................................3
2.1.2 Histologi Usus..................................................................................6
2.1.3 Fisiologi Usus...................................................................................8
2.1.4 Definisi Ileus.................................................................................. 12
A. Ileus Obstruktif........................................................................ 12
B. Ileus Paralitik........................................................................... 30

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................36


DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Ileus berasal dari bahasa Yunani eileos yang berarti sumbatan pada usus. Ileus
merupakan salah satu kegawatan abdominalis yang sering dijumpai dimana terjadi hambatan
pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau oleh gangguan peristaltik
usus. Gerak peristaltik seperti gerakan kontraksi bergelombang merupakan suatu aktivitas
otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
keadaan otot polos usus, system saraf simpatis, system saraf parasimpatis, keseimbangan
elektrolit, dan sebagainya.
Ileus diklasifikasikan menjadi dua yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.
Baik ileus obstruktif maupun ileus paralitik mempunyai gambaran khas yang
berbeda. Mengingat penanganan ileus dibedakan menjadi operatif dan konservatif.
Operasi juga sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu, ketersediaan sarana dan
prasarana yang sesuai, keterampilan dokter, dan kemampuan ekonomi pasien.
Faktor-faktor tersebut juga akan mempengaruhi pola manajemen pasien ileus yang
akhirnya berpengaruh pada mortalitas ileus.
Penyebab tersering obstruksi usus di Indonesia, adalah hernia, baik sebagai
penyebab obstruksi sederhana (51%) maupun obstruksi usus strangulasi (63%).
Adhesi pasca operasi timbul setelah terjadi cedera pada permukaan jaringan,
sebagai akibat insisi, kauterisasi, jahitan atau mekanisme trauma lainnya. Dari laporan
terakhir pasien yang telah menjalani sedikitnya sekali operasi intraabdomen, akan
berkembang adhesi satu hingga lebih dari sepuluh kali. Obstruksi usus merupakan
salah satu konsekuensi klinik yang penting. Di negara maju, adhesi intraabdomen
merupakan penyebab terbanyak terjadinya obstruksi usus. Pada pasien digestif yang
memerlukan tindakan reoperasi, 30-41% disebabkan obstruksi usus akibat adhesi.
Untuk obstruksi usus halus, proporsi ini meningkat hingga 65-75%.

1
2

1.1. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan refarat ini untuk mengatahui dan memahami
tentang Ileus dan sebagai salah satu pemenuhan tugas Kepaniteraan Bedah di
Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.

1.2. Manfaat

Pada paper ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut :


1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai Ileus.
2. Sebagai bahan referensi dan dijadikan informasi berkaitan Ileus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ileus
2.1.1 Anatomi Usus
Sistem pencernaan manusia terdiri atas dua bagian, yaitu traktus gastrointestinal
dan organ aksesoris pencernaan. Traktus gastrointestinal merupakan saluran yang
menyambung dari mulut ke anus melewati rongga toraks dan abdominopelvis. Organ
traktus gastrointestinal terdiri atas mulut, sebagian besar faring, esophagus, lambung, usus
kecil, dan usus besar. Organ aksesoris pencernaan yaitu gigi, lidah, kelenjar ludah, hati,
kantung empedu, dan pankreas.(1)

1. Usus Halus

Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari


pilorus sampai katup ileosekal, yang mengisi bagian tengah dan bawah abdomen.
Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Duodenum panjangnya
sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai kepada jejenum. Kira-kira dua per lima dari
sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga per lima terminalnya adalah ileum.(1)
 Duodenum
Duodenum merupakan bagian paling pendek dan terletak retroperitoneal.
Pendarahan duodenum berasal dari arteri celiac dan superior mesenterik. Arteri
celiac memberi cabang ke arteri gastroduodenal dan arteri pancreaticoduodenal ke
bagian descenden duodenum. Arteri superior mesenterik melalui cabangnya arteri
inferior pancreaticoduodenal memperdarahi duodenum distal. Pendarahan balik
melalui vena mesenterik superior dan vena splenik ke vena porta hepatik.
Duodenum dipersyarafi oleh saraf vagus dan saraf celiac dan pleksus mesenterik
superior. Duodenum dan jejenum dibatasi oleh ligamentum treitz, yang
merupakan pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat
hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan duodenum dan jejenum.(1)
 Jejenum dan ileum
Terletak di regio abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum cenderung
terletak di region abdominalis bawah kanan. Jejunum mulai pada juncture
denojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis. Lekukan-lekukan

3
4

jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior abdomen dengan perantara
lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai messenterium usus
halus. Pangkal lipatan yang pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal
pada dinding posterior abdomen sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kenan
dari kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar
mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang- cabang arteri vena
mesenterica superior antara kedua lapisan peritoneum yang membentuk
messenterium. (1)
Perdarahan jejunum dan ileum berasal dari arteri superior mesenterik (SMA).
SMA berasal dari aorta abdominal kemudian menyebar diantara lapisan mesenteri
dan bercabang ke jejunum dan ileum. Arteri tersebut bersatu membentuk busur
dan membetuk arteri yang lurus yaitu vasa recta. Pembuluh darah balik jejunum
dan ileum melalui vena superior mesenterik. Vena superior mesenterik akan
menyatu dengan vena splenik membetuk vena porta hepatika. Serat saraf simpatis
jejunum dan ileum berasal dari segmen T8-T10 saraf tulang belakang dan
mencapai pleksus saraf mesenterik superior. Serat saraf parasimpatis berasal dari
trunk vagus posterior.(2)
Stimulasi simpatis menyebabkan berkurangnya peristalsis dan aktivitas
sekresi, vasokonstriksi, mengurangi atau memberhentikan pencernaan dan
mengalihkan darah serta energi untuk lari (fleeing) atau fighting. Stimulasi
parasimpatis memiliki sifat yang terbalik dengan simpatis yaitu meningkatkan
proses pencernaan. Usus kecil memiliki serat saraf sensori, hampir secara garis
besar usus tidak sensitif terhadap stimulasi nyeri termasuk sayatan atau panas
(burning) akan tetapi usus sensitif terhadap distensi yang di kenal sebagai kolik
(nyeri abdomen secara spamodik atau keram usus).(2)
5

Gambar 1. Perdarahan usus halus

1. Usus besar

Usus besar merupakan bagian akhir dari traktus pencernaan. Fungsi secara umum
usus besar adalah penuntasan absorpsi, menghasilkan vitamin, membetuk feses, dan
mengeluarkannya. Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
5 kaki (sekitar 1,5 m) terbentang dari sekum sampai kanalis ani dan memiliki diameter usus
besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm),
tetapi semakin dekat anus semakin kecil ukurannya. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon
dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum.
Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan sigmoid.
Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan hati,
menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati, kolon ascendens
membelok ke kiri membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum
menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli
sinistra. Sistem saluran pencernaan Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa,
membengkok ke bawah, membentuk fleksura kolisinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian
menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid
merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung kebawah dalam rongga pelvis dalam
bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum
menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid
dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis.
6

Disini rektum melanjutkan sebagai anus dalam perineum. (1,2)


Kolon asenden dan transverse diperdarahi oleh arteri superior mesenterik dan
Perdarahan balik kolon asenden ke vena meseterik superior, ileokolik, dan vena kolon kanan,
sedangkan vena kolon transversus melalui superior mesenterik. Kolon desenden dan sigmoid
diperdarahi oleh arteri inferior mesenterik, pembuluh darah balik melalui vena mesenteric
inferior ke vena splenik dan vena porta hepatika. (2)

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian
sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar. Sekum, appendiks dan kolon
ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus
saraf mesentericus superior.
Kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus superior
dan inferior. Serabut saraf nervus vagus hanya mempersarafi dua pertiga proksimal kolon
transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus pelvikus.
Kolon descendens dipersarafi serabut-serabut simpatis dari pleksus saraf
mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Perangsangan simpatis
menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan.

2.1.2 Histologi

a. Usus Halus
Dinding usus halus memiliki empat lapisan (3):
 Tunica Serosa. Tunica serosa atau lapisan peritoneum, tidak lengkap di atas
duodenum dan hampir lengkap di dalam mesenterica usus halus.
7

 Tunica Muscularis. Merupakan dua selubung otot polos tak bergaris dan
selubung otot ini membentuk tunica muscularis usus halus. Merupakan lapisan
paling tebal dalam duodenum dan semakin ke distal, ketebalannya berkurang.
Lapisan luarnya adalah stratum longitudinale dan lapisan dalamnya stratum
circulare. Plexus myentericus saraf (Auerbach) dan saluran limfe terletak diantara
dua lapisan otot.
 Tela Submucosa. Tela submucosa merupakan jaringan ikat longgar yang terletak
diantara tunica muskularis dan lapisan tipis lamina muskularis mukosa, yang
berada di bawah mukosa. Dalam ruangan ini merupakan tempat berjalannya
pembuluh darah halus dan pembuluh limfe, juga ditemukan neuroplexus meissner.
 Tunica Mucosa. Tunica mucosa usus halus (kecuali pars superior duodenum)
tersusun di dalam lipatan sirkular, saling tumpang tindih dan berinterdigitasi
secara transversa. Tiap lipatan ini ditutupi oleh tonjolan, villi.

Gambar 2. Histologi usus halus

Terdapat tiga struktur yang menambah luas permukaan dan membantu fungsi
absorpsi yang merupakan fungsi utama usus halus :
 Lapisan mukosa dan submukosa berbentuk lipatan sirkular yang atau disebut
valvula koniventes (lipatan kerckringi) yang menonjol ke dalam lumen sekitar 3
ampai 10 mm. Lipatan ini nyata pada duodenum dan jejenum dan mulai
8

menghilang pada pertengahan ileum. Lipatan ini menyerupai bulu pada


pemeriksaan radiogram.
 Vili merupakan tonjolan seperti jari di mukosa yang memiliki jumlah sekitar 4
atau 5 juta dan terdapat di sepanjang usus halus. Villi panjangnya 0,5 sampai 1
mm (dapat dilihat dengan mata telanjang), gambaran mukosa menyerupai beludru.
 Mikrovili merupakan tonjolan menyerupai jari dengan panjang sekitar 1 μ pada
permukaan luar setiap villus, terlihat dengan mikroskop elektron dan tampak
sebagai brush border pada mikroskop cahaya.
Bila lapisan permukaan usus halus ini rata, maka luas permukaannya hanyalah
sekitar 2.00 cm². Luas permukaan absorbsi bertambah sampai 2 juta cm²
merupakan peran dari valvula koniventes, vili dan mikrovili.

b. Usus besar
Memiliki empat lapisan morfologik seperti bagian usus lainnya tetapi juga
memiliki beberapa gambaran yang khas pada usus besar saja, seperti lapisan
mukosa usus besar jauh lebih tebal , tidak mengandung villi atau rugae. Kriptus
lieberkūn (kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak
sel goblet, lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul
dalam tiga pita yang dinamakan taenia koli. Taenia akan menyatu pada sigmoid
distal, dengan demikian rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang
lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga menyebabkan usus
tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi
lemak dan melekat di sepanjang taenia.(2)

2.1.3 Fisiologi
Fungsi pencernaan dan absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air merupakan dua
fungsi utama usus halus. Proses pencernaan dimulai dari mulut dan lambung oleh
kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan masuk. Proses dilanjutkan di
dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis
karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya
bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH
optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses
pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan lebih
9

luas bagi kerja lipase pankreas. Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumnlah
enzim dalam getah usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat
pada brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil diabsorpsi.
Isi usus digerakkan oleh peristalsis yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu
segmental dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan hormon.
Pergerakan segmental usus halus mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret
pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari
salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal
dan suplai kontinyu isi lambung.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang
terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang
terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot
longitudinal. Bila bagian ini mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus
akan berkontraksi secara lokal. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi
mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian
seterusnya. Gerakan ini berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan
enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan
selanjutnya terjadi absorbsi.
Absorbsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak
dan protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan asam-asam amino) melalui
dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain
itu air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi. Absorbsi berbagai zat berlangsung
dengan mekanisme transpor aktif dan pasif.
10

Gambar 4. Gerakan motilitas


Terdapat empat proses pencernaan dasar: motilitas, sekresi, pencernaan, dan
penyerapan.

 Motilitas
Merupakan kontraksi otot yang mencampur dan mendorong maju isi saluran
cerna, otot polos di saluran cerna mempertahankan suatu kontraksi (tonus). Tonus
penting untuk mempertahankan tekanan tetap pada isi saluran cerna untuk mencegah
dindingnya teregang permanen setelah mengalami distensi.
Pada aktivitas tonus yang tetap ini terdapat 2 tipe dasar motilitas saluran cerna:
gerakan mendorong (propulsive) mendorong maju isi saluran cerna, dengan kecepatan
pergerakan bervariasi bergantung pada fungsi yang dilakukan oleh berbagai bagian
saluran cerna, dengan kecepatan pergerakan bervariasi bergantung pada fungsi yang
dilakukan oleh berbagai bagian saluran cerna. Sebagai contoh, transit makanan
melalui esophagus berlangsung cepat, yang sesuai karena struktur ini hanya berfungsi
sebagai saluran dari mulut ke lambung. Sebagai perbandingan, di usus halus, tempat
utama pencernaan dan penyerapan, isi bergerak maju dengan lambat, menyediakan
waktu untuk penguraian dan penyerapan makanan.
Gerakan mencampur mempunyai fungsi ganda, yaitu dengan tercampurnya
makanan dengan getah pencernaan, gerakan ini mempermudah penyerapan dengan
memajankan semua bagian isi saluran cerna ke permukaan serap saluran cerna.
Pergerakan bahan melalui sebagian besar saluran cerna terjadi akibat kontraksi
otot polos di dinding organ pencernaan. Pada ujung saluran mulut di bagian pangkal
esophagus dan sfringter ani eksternus di akhir motilitas lebih melibatkan otot rangka
daripada aktivitas otot polos. Karena itu, tindakan mengunyah, menelan, dan defekasi
merupakan komponen volunteer karena otot rangka berada dibawah kontrol sadar.
Sebaliknya, motilitas di seluruh saluran lainnya dilaksanakan oleh otot polos yang
dikontrol oleh mekanisme involunter.

 Sekresi
Sejumlah getah pencernaan disekresikan ke dalam lumen saluran cerna oleh
kelenjar eksokrin di sepanjang perjalanan, masing-masing dengan produk sekretorik
spesifik. Setiap sekresi pencernaan terdiri dari air, elektrolit , dan konstituen organic
11

spesifik yang penting dalam proses pencernaan, misalnya enzim, garam empedu, atau
mucus. Sel-sel sekretorik mengekstraksi dari plasma sejumlah besar air dan bahan
mentah yang diperlukan untuk menghasilkan sekresi tertentu tersebut. Sekresi semua
getah pencernaan memerlukan energy, baik untuk transport aktif sebagian bahan
mentah ke dalam sel (yang lain berdifusi secara pasif) maupun sintesis produk
sekretorik oleh reticulum endoplasma. Pada rangsangan saraf atau hormon yang
sesuai, sekresi dibebaskan ke dalam lumen saluran cerna. Dalam keadaan normal,
sekresi pencernaan direabsorbsi dalam suatu bentuk kembali ke darah setelah ikut
serta dalam proses pencernaan. Kegagalan reabsorbsi ini (misalnya karena muntah
atau diare) menyebabkan hilang cairan yang “dipinjam” dari plasma ini.
Selain itu, sel-sel endokrin yang terletak di dinding saluran cerna
mensekresikan hormone pencernaan ke dalam darah yang membantu pengontrolan
motilitas pencernaan dan sekresi kelenjar eksokrin.

 Pencernaan
Manusia mengkonsumsi tiga kategori biokimiawi bahan makanan kaya
energy: karbohidrat, protein, lemak. Molekul molekul besar ini tidak dapat melewati
membrane plasma utuh untuk dierap dari lumen saluran cerna ke dalam darah atau
limfe. Kata pencernaan (digestion) merujuk kepada penguraian biokimiawi struktur
kompleks makanan menjadi satuan yang lebih kecil dan dapat diserap, oleh enzim
enzim yang diproduksi di dalam sistem pencernaan.
Sewaktu bergerak melalui saluran cerna, makanan menjadi subjek berbagai
enzim, yang masing-masing menguraikan molekul makanan lebih besar diubah
menjadi nit-unit kecil yang dapat diserap melalui proses bertahap progresif, seperti
jalur perakitan yang berjalan terbalik, seiring dengan terdorong majunya isi saluran
cerna.

 Penyerapan
Di usus halus, pencernaan telah tuntas dan terjadi sebagian besar penyerapan.
Melalui proses penyerapan, unit-unit kecil makanan yang dapat diserap yang
dihasilkan oleh pencernaan, bersama dengan air, vitamin dan elektrolit, dipindahkan
dari lumen saluran cerna ke dalam darah atau limfe.(4)
12

2.1.4 Definisi Ileus


Ileus adalah gangguan atau hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda
adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau tindakan.
Ileus terdiri dari 2 macam yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.

A. Ileus Obstruktif
1. Definisi
Ileus adalah hambatan pasase usus yang dapat disebabkan oleh obstruksi lumen
usus. Ileus yang disebabkan oleh obstruksi disebut juga ileus mekanik, dan memiliki
angka kejadian tersering.

2. Klasifikasi (LOKASI, STADIUM, ONSET) LSO


Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstruktif dibedakan atas:
• Letak tinggi: duodenum sampai jejunum => LT.DJ
• Letak Tengah : Ileum Terminal => L.TENG. ILTER
• Letak rendah: kolon – sigmoid – rectum => L.REN. KSR

Obstruksi letak tinggi dan letak rendah di batasi oleh iliocecal junction

Gambar 5. Klasifikasi ileus


13

Berdasarkan stadiumnya, ileus obstruktif dibedakan atas:


• Parsial: terjadi sumbatan pada sebagian lumen => (Sumbatan Sebagian)
• Simple/komplit: terjadi sumbatan total seluruh lumen yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah. Biasanya sumbatan disebabkan oleh askaris atau
tumor. => (Sumbatan Total tdk diikuti dengan terjepitnya pemb. Darah)
• Strangulasi: Terjadi jepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan
berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat
yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. Biasanya terjadi pada
obstruksi usus yang disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi, dan volvulus. =>
(Terjepitnya pemb. Darah > iskemia dan dapat terjadi nekrosis)

Berdasarkan kecepatan timbul (speed of onset): =>


(A(JAM).K(MINGGU).K(AKUT))
• Akut : dalam hitungan jam
• Kronik : dalam hitungan minggu
• Kronik dengan serangan akut

Tabel 1. Klasifikasi ileus berdasarkan etiologi

3. Etiologi

Ekstramural Intramural Intraluminal


Adhesi Intususepsi Batu empedu
Hernia inkarserata Penyakit Crohn Benda asing
Neoplasma Kongenital (volvulus) Impaksi fekal
Abses, hematoma Striktur
Volvulus Ileus paralitik
a. Adhesi
Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi umumnya
berasal dari rangsangan peritoneum akibat adanya peritonitis setempat atau
umum. Adhesi dapat berupa perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal
maupun multiple, mungkin setempat maupun luas.
14

b. Hernia
Kelemahan atau defek pada dinding rongga peritoneum memungkinkan
penonjolan keluar suatu kantong peritoneal (kantong hernia) sehingga segmen
suatu dalaman dapat terjepit.
c. Askariasis (Benda asing/Corpus alienum)
Kebanyakan cacing askariasis hidup di usus halus bagian jejunum. Obstruksi bisa
terjadi dimana-mana pada bagian usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal,
tempat lumen paling sempit. Cacing tersebut menyebabkan kontraksi lokal dinding
usus yang disertai reaksi radang setempat.

d. Invaginasi
Umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik ke kolon asendens dan
mungkin terus sampai keluar dari rektrum, dapat mengakibatkan nekrosis iskemik
pada bagian usus yang masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Pada bayi
dan anak-anak biasanya spontan dan irreversible, sedangkan pada dewasa jarang
terjadi.

e. Volvulus (terjadi pada saat bayi/balita)


Pemuntiran usus yang abnormal dari segmen usus. Volvulus di usus halus agak
jarang ditemukan. Biasanya volvulus didapatkan di bagian ileum.

f. Kelainan kongenital
Gangguan passase usus dapat berupa stenosis maupun atresia.
g. Radang kronik
h. Tumor
i. Fecolith

4. Patofisiologi
Pada ileus obstruksi gerakan peristaltik awalnya meningkat (saraf parasimpatis),
kemudian gerak peristaltik akan menjadi lebih lambat (saraf simpatis) sampai akhirnya
hilang. Pada proses awal terjadinya terdapat perbedaan mekanisme dari kejadian ileus
obstruksi dan ileus paralitik. Pada ileus obstruksi awalnya terjadi suatu sumbatan pada
lumen usus, yang dapat diakibatkan oleh etiologi intraluminal ataupun ekstraluminal. Hal
tersebut menyebabkan gerak peristaltik meningkat. Semakin lama gerak peristaltik
menurun sehingga terjadi sekuestrasi gas dan cairan di bagian proksimal dari obstruksi
15

usus.
Pada proses yang lebih lanjut, akan terjadi distensi usus. Distensi pada usus halus
dan kolon berbeda dari kualitas distensinya mengetahui dari lapisan anatominya, bahwa
lapisan kolon lebih tipis daripada lapisan di usus halus. Distensi usus menyebabkan nyeri
kolik abdomen, mual, muntah akibat dari gerak peristaltic usus yang meningkat dan
penumpukan gas-gas dan bakteri dalam usus. Bila distensi berlanjut maka akan
menyebabkan pembuluh darah tertekan sehingga suplai darah berkurang dan terjadi
iskemik, nekrosis, dan perforasi usus. Usus yang mengalami nekrosis akan mengeluarkan
toxin. Bila hal- hal di atas sudah terjadi, maka menjadi komplikasi gawat darurat yaitu
peritonitis dan sepsis. Selain itu air, elektrolit, dan nutrisi juga tidak diabsorpsi, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi , bahkan terjadi syok hipovolemik.(5)
Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70%
dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan
pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan
diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorpsi dapat
mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyerapan usus
setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit.
Pengaruh atas kehilangan ini adalah pengurangan ruang cairan ekstrasel yang
mengakibatkan syok, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis
metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan penurunan absorpsi
cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah
iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi
toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk
menyebabkan bakteriemia.
Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana, distensi
timbul tepat di proksimal dan menyebabkan refleks muntah. Setelah mereda, peristaltik
melawan obstruksi dalam usaha mendorong isi usus melewatinya yang menyebabkan
nyeri episodik kram dengan masa relatif tanpa nyeri di antara episode. Gelombang
peristaltik lebih sering timbul setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum dan setiap 10
menit di didalam ileum. Aktivitas peristaltik mendorong udara dan cairan melalui gelung
usus, yang menyebabkan gambaran auskultasi khas terdengar dalam ileus obstruktif.
Dengan berlanjutnya obstruksi, maka aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan
akhirnya tidak ada.
Jika ileus obstruktif kontinu dan tidak diterapi, maka kemudian timbul muntah dan
16

mulainya tergantung atas tingkat obstruksi. Ileus obstruktif usus halus menyebabkan
muntahnya lebih dini dengan distensi usus relatif sedikit, disertai kehilangan air, natrium,
klorida dan kalium, kehilangan asam lambung dengan konsentrasi ion hidrogennya yang
tinggi menyebabkan alkalosis metabolik. Berbeda pada ileus obstruktif usus besar,
muntah bisa muncul lebih lambat (jika ada). Bila timbul, biasanya kehilangan isotonik
dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan penurunan volume
intravascular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan dalam
perjalanan klinik, maka dapat timbul azotemia ↑ Kadar Kreatinin serum (Peningkatan
konsentrasi BUN (Blood Urea Nitrogen), penurunan curah jantung, hipotensi dan syok.
Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada usus
mencakup volvulus, pita lekat, hernia dan distensi. Disamping cairan dan gas yang
mendistensi lumen dalam ileus obstruksi sederhana, dengan strangulasi ada juga gerakan
darah dan plasma ke dalam lumen dan dinding usus. Plasma bisa juga dieksudasi dari sisi
serosa dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Mukosa usus yang normalnya
bertindak sebagai sawar (penghambat) bagi penyerapan bakteri dan produk toksiknya,
merupakan bagian dinding usus yang paling sensitif terhadap perubahan dalam aliran
darah. Dengan strangulasi yang memanjang maka timbul iskemik dan sawar rusak.
Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) bisa masuk melalui dinding usus ke
dalam cavitas peritonealis.
Disamping itu, kehilangan darah dan plasma maupun air ke dalam lumen usus cepat
menimbulkan syok. Jika kejadian ini tidak dinilai dini, maka dapat menyebabkan
kematian.(5,6)
Ileus obstruktif gelung tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar suatu gelung
usus tersumbat. Jenis ileus obstruktif ini lebih bahaya dibandingkan ileus obstruksi yang
lainnya, karena ia berlanjut ke strangulasi dengan cepat sebelum terbukti tanda klinis dan
gejala ileus obstruktif. Penyebab ileus obstruktif gelung tertutup mencakup pita lekat
melintasi suatu gelung usus, volvulus atau distensi sederhana. Pada keadaan terakhir ini,
sekresi ke dalam gelung tertutup dapat menyebabkan peningkatan cepat tekanan
intalumen, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar ke vena.
Ileus obstruktif kolon biasanya kurang akut (kecuali bagi volvulus) dibandingkan
ileus obstruksi usus halus. Karena kolon bukan organ pensekresi cairan dan hanya
menerima sekitar 500 ml cairan tiap hari melalui valva ileocaecalis, maka tidak timbul
penumpukan cairan yang cepat. Sehingga dehidrasi cepat bukan suatu bagian sindroma
yang berhubungan dengan ileus obstruksi kolon. Bahaya paling mendesak karena
17

obstruksi itu karena distensi. Jika valva ileocaecalis inkompeten maka kolon terdistensi
dapat didekompresi ke dalam usus halus. Tetapi jika valva ini kompeten, maka kolon
terobstruksi membentuk gelung tertutup dan distensi kontinu menyebabkan ruptura pada
tempat berdiameter terlebar, biasanya di sekum. Hal didasarkan atas hukum Laplace,
yang mendefinisikan tegangan di dalam dinding organ tubular pada tekanan tertentu
apapun berhubungan langsung dengan diameter tabung itu. Sehingga karena diameter
kolon melebar di dalam sekum, maka area ini yang biasanya pecah pertama.(6)

5. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

a. Anamnesis Keluhan pasien berupa (Nyeri Kolik, Muntah, Distensi,


Konstipasi)
 Nyeri (Kolik)
Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar umbilikus
Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik.
 Muntah
Stenosis Pilorus : Encer dan asam
Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan
Obstruksi kolon : onset muntah lama.
 Perut Kembung (distensi)
 Konstipasi
Tidak ada defekasi
Tidak ada flatus

Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali
menandakan adanya hernia inkarserata. Selain itu, invaginasi dapat didahului oleh
riwayat buang air besar berupa lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya
dapat menjurus pada adanya adhesi usus serta onset keluhan yang berlangsung
cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat dapat
menjurus kepada ileus letak rendah.
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,
muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah
umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal
maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila
18

obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi. (7)
Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar
umbilikus atau bagian epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial bisa
mengalami diare. Kadang – kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi
pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding
obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir
pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah jarang terjadi.
Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala
muntah yang terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning dan terlihat dini dalam
perjalanan. Usus didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak terlihat distensi.
Jika obstruksi di distal di dalam usus halus atau kolon, maka muntah timbul
lambat dan setelah muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk
(fekulen) sebagai hasil pertumbuhan bakteri berlebihan sekunder terhadap
stagnansi. (1)
Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik
turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus
(jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap.

Tabel 2. Perbandingan Klinis bermacam-macam ileus.

Macam Muntah Ketegangan


Nyeri Usus Distensi Bising usus
ileus borborigmi abdomen
Obstruksi ++
simple + +++ Meningkat -
tinggi (kolik)
Obstruksi +
+++
simple
+++ Meningkat -
rendah Lambat,
(Kolik)
fekal
Obstruksi ++++
Tak tentu
strangulasi
(terus- ++ +++ +
biasanya
menerus,
meningkat
terlokalisir)
Paralitik + ++++ + Menurun -
Oklusi
+++++ +++ +++ Menurun +
vaskuler

b. Pada pemeriksaan fisik :


 Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti : 
19

Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness (nyeri tekan


lepas), nyeri lokal, hilangnya suara usus local. Untuk mengetahui
secara pasti hanya dengan laparotomi. 
 Adanya obstruksi ditandai dengan :

 Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada
regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia
inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk
sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi
sebelumnya.

 Auskultasi
Hiperperistaltik, berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus
mengaum) menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound. Pada fase
lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang. (7,8)

 Perkusi
Hipertimpani. Pada obstruksi usus dengan strangulasi dapat
ditemukan ascites.

 Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia. Dan pada
obstruksi usus dengan strangulasi dapat ditemukan ascites.

Rectal Toucher
Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus sfingter ani biasanya
baik namun ampula recti sering ditemukan kolaps terutama bila terjadi
perforasi yang disebabkan obstruksi. Mukosa rectum licin dan apabila
obstruksi disebabkan oleh massa atau tumor pada bagian anorectum maka
akan teraba benjolan. Pada benjolan yang harus kita nilai
(LOKOPERMOBILEBANYU) ukuran, jumlah, permukaan, konsistensi, serta
jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari.
Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada
keadaan peritonitis. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada colok
dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung tangan, dapat ditemukan darah
20

apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus.

Berikut ialah beberapa interpretasi hasil pemeriksaan rectal toucher :


- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
- Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma, adhesi
- Feses yang mengeras : skibala
- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

c. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan
membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium
yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis
dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering
didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi,
tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27%
- 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat
timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit.
Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolik bila
muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi
dan ketosis.

Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus
(diameter > 3 cm), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak, dan
kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk
mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun
spesifisitasnya rendah. Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan
gambaran serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat
ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi berada di
21

proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja dengan
tidak ada udara sehingga menghalangi, tampaknya air-fluid level atau distensi
usus. Meskipun terdapat kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena
kegunaannya yang luas namun memakan biaya yang sedikit.(9)

Pada foto abdomen dapat ditemukan beberapa gambaran, antara lain:


1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara dan
gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus yang
oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.
22

Gambar 6. Dilatasi usus

Gambar 7. Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign

Gambar 8. Herring bone appearance


23

Gambar 9. Coffee bean appearance

Gambar 10. Step ledder sign

b. CT-Scan
24

CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi


strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika
klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. Tingkat sensitifitas CT scan
sekitar 80-90% sedangkan tingkat spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk
mendeteksi adanya obstruksi intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan
dilatasi usus proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen
yang tak dapat melewati bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit
cairan dan gas. CT scan juga dapat memberikan gambaran adanya strangulasi
dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung tertutup diketahui melalui
gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi radial vasa
mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai dengan
penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding usus), gas
pada vena portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam dinding
dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan untuk evaluasi menyeluruh
dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi dari obstruksi.(9)
CT-scan juga dapat membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti
adhesi, hernia karena penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron
karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diameter usus halus
sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan
diameter sekitar 1 cm.

c. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi
adanya obstruksi, juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi dari
obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan yaitu, kurang terjangkau dalam
hal transport pasien dan kurang dapat menggambarkan massa dan inflamasi.

d. USG
Ultrasonografi dapat memberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi
dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi,
USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat
dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi. Tidak seperti
teknik radiologi yang lain, USG dapat memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat
membantu membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan
25

USG lebih murah dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan
spesifitasnya dilaporkan mencapai 100%.(9)

6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu:
1. Ileus paralitik
2. Appensicitis akut
3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
4. Konstipasi
5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease
7. Pancreatitis akut

Pada ileus paralitik, nyeri yang timbul lebih ringan tapi konstan dan difus serta
terdapat distensi abdomen. Bila ileus disebabkan proses inflamasi akut akan ada tanda
dan gejala dari penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut ,
pankreatitis akut dapat menimbulkan keluhan yang serupa.

7. Tatalaksana
Apabila dicurigai adanya ileus obstruktif dapat segera dirujuk ke dokter spesialis
bedah, setelah sebelumnya diberikan tatalaksana persiapan dibawah ini :

a. Persiapan
1. Pemasangan pipa lambung untuk mengurangi muntah dan dekompresi
(NGT&ETT)
2. Resusitasi cairan dan elektrolit dengan cairan isotonik dilakukan untuk
perbaikan keadaan umum
3. Dilakukan pemasangan kateter urin untuk pemantauan produksi urin
4. Antibiotik spektrum luas dapat diberikan bila ditemukan tanda-tanda infeksi.

Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk
mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena
26

muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi


parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja.
Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi
parsial.

b. Operasi
Laparotomi dan eksplorasi untuk menentukan viabilitas usus setelah pelepasan
strangulasi. Laparoskopi dapat dipertimbangkan pada keadaan distensi minimal,
sumbatan proksimal dan sumbatan parsial.

c. Pasca-bedah
Cairan, elektrolit dan nutrisi perlu diperhatikan karena usus masih paralisis.

Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan kekurangan


Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan intravena
dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan
pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl (Kalium Clorida) harus
ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial,
seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan.
Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya
translokasi bakteri pada ostruksi intestinal.
27

Gambar 11 . Skema Penatalaksanaan Ileus

Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi
operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal
komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama
tak akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam,
takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non
operatif ini dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi
pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya
injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif
melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam masih dalam batas aman namun
meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat
diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam
pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk
28

menghindari enterotomi (tindakan operasi yaitu membuat sayatan oada usus untuk
memperbaiki usus yang di akibatkan oleh adanya adhesi pada ileus obstruksi) yang
tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan
dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar,
terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya
sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif.
Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik baik
daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang mungkin
membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari
segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan,
segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin
moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali.
Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti
segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan
Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata
non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian
usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan
sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung
usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif


29

bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya,
misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian
hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus
yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang
terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena catatan
tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca
bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar
bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien,
sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare
pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga
keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan pada pasca
bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring
pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain
pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya
mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum
luas dan disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.(7)

8. Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan keseimbangan
elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat menyebabkan
peritonitis, sepsis, dan kematian.

9. Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi
dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika
terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai
sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan
dengan cepat.
30

B. Ileus Paralitik
1. Definisi
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan di mana usus gagal atau tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya akibat kegagalan
neurogenik atau hilangnya peristaltik usus tanpa adanya obstruksi mekanik.(1)

2. Etiologi
Ileus Paralitik disebabkan oleh :
a. Pasca operasi abdomen. Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara 24-
72 jam. Beratnya ileus paraltik pasca operasi bergantung pada lamanya
operasi, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus berkontak dengan dunia
luar.
b. Selain itu, bisa juga dari inflamasi intraperitoneal atau retroperitoneal
(apendisitis, diverticulitis, dan sebagainya)
c. Gangguan metabolik (hipokalemia),
d. Obat-obatan (antikolinergik, opioid, dan sebagainya).(7)

Penyakit atau keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan


seperti yang tercantum dibawah ini :

 Neurogenik
– Refleks inhibisi dari saraf afferent: incisi pada kulit dan usus pada operasi
abdominal.
– Refleks inhibisi dari saraf efferent: menghambat pelepasan neurotransmitter
asetilkolin.

 Hormonal
Kolesistokinin, disekresi oleh sel I dalam mukosa duodenum dan jejunum
terutama sebagai respons terhadap adanya pemecahan produk lemak, asam lemak
dan monogliserida di dalam usus. Kolesistokinin mempunyai efek yang kuat
dalam meningkatkan kontraktilitas kandung empedu, jadi mengeluarkan empedu
kedalam usus halus dimana empedu kemudian memainkan peranan penting dalam
mengemulsikan substansi lemak sehingga mudah dicerna dan diabsorpsi.
Kolesistokinin juga menghambat motilitas lambung secara sedang. Oleh karena
itu disaat bersamaan dimana hormon ini menyebabkan pengosongan kandung
31

empedu, hormon ini juga menghambat pengosongan makanan dari lambung untuk
memberi waktu yang adekuat supaya terjadi pencernaan lemak di traktus
gastrointestinal bagian atas. Hormon lainnya seperti sekretin dan peptide
penghambat asam lambung juga memiliki fungsi yang sama seperti kolesistokinin
namun sekretin berperan sebagai respons dari getah asam lambung dan petida
penghambat asam lambung sebagai respons terhadap asam lemak dan asam
amino.

 Inflamasi
Makrofag: melepaskan proinflammatory cytokines (NO). - prostaglandin
inhibisi kontraksi otot polos usus.

 Farmakologi
Opioid menurunkan aktivitas dari neuron eksitatorik dan inhibisi dari
pleksus mienterikus. Selain itu, opioid juga meningkatkan tonus otot polos usus
dan menghambat gerak peristaltik terkoordianasi yang diperlukan untuk gerakan
propulsi. - Opioid: efek inhibitor, blockade excitatory neurons yang
mempersarafi otot polos usus.(6)

3. Patofisiologi
Pada ileus paralitik fungsi peristaltik usus dihambat atau sudah menurun dari
awal permulaan penyakit. Sedangkan ileus paralitik diakibatkan oleh gangguan
non-mekanik seperti gangguan elektrolit maupun obat-obatan, seperti narkotik
dan opioid, yang merangsang saraf simpatis dengan kuat sehingga aktivitas
traktus gastrointestinal dihambat dengan menyebabkan penurunan gerak
peristaltic usus. Semakin lama feses, cairan , gas, dan bakteri pun akan terjebak
dalam usus sama seperti mekanisme terjadinya ileus obstruksi.
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya
sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan
pengaruhnya melalui dua cara :

(1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot
32

polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya)


(2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada
neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada
sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui
traktus gastrointestinal.
33

Gambar 12. Patofisiologi Ileus Paralitik


Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan
menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastrointestinal,
namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis
bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya
mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide intestinal
vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.
Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca operasi dimediasi melalui aktivasi
hambat busur refleks tulang belakang. Secara anatomis, 3 refleks berbeda yang
terlibat: ultrashort refleks terbatas pada dinding usus, refleks pendek yang
melibatkan ganglia prevertebral, dan refleks panjang melibatkan sumsum tulang
belakang. Respon stres bedah mengarah ke generasi sistemik endokrin dan
mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus.

4. Penegakkan Diagnosis
Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent
abdomen yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen
didapatkan pelebaran udara usus halus atau besar.
Pada anamnesa ileus paralitik sering ditemukan keluhan distensi dari usus,
rasa mual dan dapat disertai muntah. Pasien kadang juga mengeluhkan tidak bisa
BAB ataupun flatus, rasa tidak nyaman diperut tanpa disertai nyeri.(7)

 Pemeriksaan fisik

o Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus
dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Pada pasien
yang kurus tidak terlihat gerakan peristaltik.

o Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau
nyeri tekan, yang mencakup ‘defence muscular’ involunter atau rebound dan
pembengkakan atau massa yang abnormal untuk mengetahui penyebab ileus.
34

o Perkusi
Hipertimpani

o Auskultasi
Bising usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent abdomen) dan
borborigmi.

 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa
penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan adalah leukosit darah,
kadar elektrolit, ureum, glukosa darah dan amylase. Foto polos abdomen sangat
membantu untuk menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan
distensi lambung, usus halus dan usus besar. Air fluid level ditemukan berupa
suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level pada ileus
obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga). Apabila
dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan foto
abdomen dengan mempergunakan kontras.(1)

E. Tatalaksana
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya
berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati
kausa dan penyakit primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat. Prognosis
biasanya baik, keberhasilan dekompresi kolon dari ileus telah dicapai oleh
kolonoskopi berulang. Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik
(simpatolitik) atau parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak
konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu
dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan
nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-
prinsip pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu
metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus
paralitik pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus
paralitik karena obat-obatan.(7)
35

 Konservatif
 Penderita dirawat di rumah sakit.
 Penderita dipuasakan
 Kontrol status airway, breathing and circulation.
 Dekompresi dengan nasogastric tube.
 Intravenous fluids and electrolyte
 Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

 Farmakologis
 Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
 Analgesik apabila nyeri.
 Prokinetik: Metaklopromide, cisapride
 Parasimpatis stimulasi: bethanecol, neostigmin
 Simpatis blokade: alpha 2 adrenergik antagonis

 Operatif
Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan
peritonitis. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk
mencegah sepsis sekunder atau rupture usus. Operasi diawali dengan laparotomi
kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi
melalui laparotomi.
- Pintas usus : ileostomi, kolostomi.
- Reseksi usus dengan anastomosis
- Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.

F. Prognosis
Prognosis dari ileus bervariasi tergantung pada penyebab ileus itu sendiri.
Bila ileus hasil dari operasi perut, kondisi ini biasanya bersifat sementara dan
berlangsung sekitar 24-72 jam. Prognosis memburuk pada kasus-kasus tetentu
dimana kematian jaringan usus terjadi; operasi menjadi perlu untuk membuang
jaringan nekrotik. Bila penyebab primer dari ileus cepat tertangani maka
prognosis menjadi lebih baik.
BAB III
KESIMPULAN

Ileus dibedakan menjadi beberapa macam, ileus obstruktif, ileus paralitik dan ileus
vaskuler, Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar. Penyebab
terbanyak dari Ileus adalah perlekatan atau adhesi, kemudian diikuti Hernia, keganasan, dan
Volvulus.
Penegakan diagnosis pada illeus meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, terdapat 4 gejala cardinal yang sering dijumpai yaitu nyeri abdomen
(kolik abdomen), muntah, distensi dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan
takikardia, demam, nyeri tekan abdomen, nyeri lokal pada perut, dan distensi perut. Salah
satu pemeriksaan penunjang pada illeus adalah pemeriksaan radiologi, gambaran radiologi
berupa pengumpulan gas dalam lumen usus yang melebar (dilatasi) dinding usus menebal
membentuk gambaran heering bone appearance dan terdapat gambaran Air fluid level.
Prognosis dari ileus bervariasi tergantung pada penyebab ileus itu sendiri, bila
penyebab primer dari ileus cepat tertangani maka prognosis menjadi lebih baik. Prognosis
ileus baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Ilmu Bedah. Rumah Sakit Umum Daerah
Dokter Soetomo. Surabaya, 1994.

2. Ansari P. Intestinal Obstruction [Internet]. Merck Manuals Professional Edition. 2014


[cited 30 November 2016]. Available from:
http://www.merckmanuals.com/professional/gastrointestinal-disorders/acute-
abdomen-and-surgical-gastroenterology/intestinal-obstruction. Accessed on 2nd
February 2016.

3. Bickle IC, Kelly B. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.


studentBMJ April 2014;10:102-3.

4. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.).


(D. Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC.

5. Guyton A.C, Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2005.

6. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta.
EGC.

7. Sjamsuhidayat R, De Jong Wim. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. p. 623-31.

8. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New
York.

9. Price SA, Wilson LM. Gangguan Usus Halus dan Usus Besar. Dalam: Wijaya,
Caroline, editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1.
Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006. p. 437-59.

Anda mungkin juga menyukai