Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

ILEUS PARALITIK

Disusun Oleh :
Muhammad Aslam
61110038

Dokter Pembimbing :
Dr. Asmoji, Sp.B

BAGIAN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD EMBUNG FATIMAH
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan REFERAT ini dengan judul
ILEUS PARALITIK sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas program
pendidikan profesi di Departemen Ilmu Bedah di RSUD Embung Fatimah Batam
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Asmoji, Sp.B selaku dokter
pembimbing dan teman-teman yang telah mendukung dalam penulisan REFERAT
ini.
Penulis menyadari REFERAT ini masih memiliki kekurangan. Namun penulis
menerima kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan REFERAT
ini. Akhir kata, penulis berharap agar REFERAT ini memberi manfaat kepada
semua pihak.

Batam, 30 Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................
BAB I.

PENDAHULUAN ...........................................................................
Latar Belakang...................................................................................

BAB II.

PEMBAHASAN...............................................................................
Definisi...............................................................................................
Anatomi .............................................................................................
Fisiologi.............................................................................................
Etiologi...............................................................................................
Patofisiologi.......................................................................................
Manifestasi klinis...............................................................................
Diagnosa............................................................................................
Penatalaksanaan.................................................................................
Diagnosa Banding..............................................................................
Prognosis............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang


Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal/
tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus
paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai
penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut,
toksin dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus.
Gerakan peristaltik merupakan suatu aktifitas otot polos usus yang
terkoordinasi dengan baik, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan otot
polos usus, hormon-hormon intestinal, sistem saraf simpatik dan parasimpatik,
keseimbangan elektrolit dan sebagainya.
Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen.
Keadaan ini biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam. Beratnya ileus pasca
operasi bergantung pada lamanya operasi/ narcosis, seringnya manipulasi usus
dan lamanya usus berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum dengan
asam lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan urin akan menimbulkan
paralisis usus. Kelainan peritoneal seperti hematoma retroperitoneal, terlebih lagi
bila disertai fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat.
Demikian pula kelainan pada rongga dada seperti pneumonia paru bagian bawah,
empiema dan infark miokard dapat disertai paralisis usus. Gangguan elektolit
terutama hipokalemia merupakan penyebab yang cukup sering.(1)
Total angka kejadian dari obstruksi usus yang disebabkan oleh mekanik
dan non mekanik mencapai 1 kasus diantara 1000 orang. Ileus akibat meconium
tercatat 9-33 % dari obstruksi ileus pada kelahiran baru.(4)

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Definisi Ileus Paralitik


Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal/
tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya.(1)
Ileus merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan neurogenik atau hilangnya
peristaltic usus tanpa adanya obstruksi mekanik.(2)

II.2. Anatomi Usus (5)


Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang
membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup panjang usus
halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi). Usus ini mengisi
bagian tengah dan bawah abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar
3,8 cm, tetapi semakin kebawah lambat laun garis tengahnya berkurang sampai
menjadi sekitar 2,5 cm.
Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Pembagian ini
agak tidak tepat dan didasarkan pada sedikit perubahan struktur, dan yang relatif
lebih penting berdasarkan perbedaan fungsi. Duodenum panjangnya sekitar 25
cm, mulai dari pilorus sampai kepada jejenum. Pemisahan duodenum dan jejunum
ditandai oleh ligamentum treitz, suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada
krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan
duodenum dan jejenum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum
suspensorium (penggantung). Kira-kira duaperlima dari sisa usus halus adalah
jejenum, dan tiga perlima terminalnya adalah ileum.. Jejenum terletak di region
abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum cenderung terletak di region
abdominalis bawah kanan. Jejunum mulai pada junctura denojejunalis dan ileum
berakhir pada junctura ileocaecalis.

Lekukan-lekukan jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior


abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang
dikenal sebagai messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang pendek
melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding posterior abdomen
sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kanan dari kiri vertebra lumbalis kedua
ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar mesenterium memungkinkan keluar
dan masuknya cabang-cabang arteri vena mesenterica superior antara kedua
lapisan peritoneum yang memgbentuk messenterium.
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci
(sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus semakin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileocaecaal
mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon
asendens, transversum, desendens dan sigmoid. Kolon ascendens berjalan ke atas
dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio iliaca dan
lumbalis kanan. Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri,
membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum
menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai
fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa,
membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk
kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas
panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke
bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu
dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga
pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan
sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Disisni rektum
melanjutkan diri sebagai anus dalan perineum.

Gambar 1. Sistem saluran pencernaan.

II.2.1 Vaskularisasi(5)
Pada usus halus, arteri mesentericus superior dicabangkan dari aorta tepat
di bawah arteri seliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali duodenum
yang sebagian atas duodenum adalah arteri pancreotico duodenalis superior, suatu
cabang

arteri

gastroduoodenalis.

Sedangkan

separoh

bawah

duodenum

diperdarahi oleh arteri pancreoticoduodenalis inferior, suatu cabang


arteri mesenterica superior. Pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi
jejenum dan ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk
serangkaian arkade. Bagian ileum yang terbawah juga diperdarahi oleh arteri
ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena messentericus superior yang menyatu
dengan vena lienalis membentuk vena porta.
Pada usus besar, arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian
kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) :
(1) ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika
inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon

descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2)
sigmoidalis, (3) rektalis superior.

II.2.2. Pembuluh Limfe(5)


Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe
ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici
gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici coeliacus: dan ke bawah,
melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterica superior.
Pembuluh limfe jejenum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus
suprior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesentericus superior.
Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi lymphatici
mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus superior.
Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
yang terletak di sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens
dan dua pertiga dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk ke nodi
limphatici mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal
kolon transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus inferior.
II.2.3. Persarafan Usus(5)
Saraf-saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus)
dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Sedangkan saraf untuk
jejenum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus)
dari pleksus mesentericus superior. Rangsangan parasimpatis merangasang
aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis menghambat
pergerakan usus. Serabut-serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri,
sedangkan serabut-serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf
intrinsik, yang menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach

yang terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan


submukosa.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar. Sekum,
appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan
parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon
transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus superior dan
inferior. Serabut-serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua pertiga proksimal
kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut-serabut simpatis
dari pleksus saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus.
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai
efek berlawanan.
II.2.3.1. Kontrol saraf terhadap fungsi gastrointestinal(7)
Sistem gastrointestinal memiliki sistem persarafan sendiri yang disebut
sistem saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari
esophagus dan memanjang sampai ke anus. Jumlah neuron pada sistem enterik ini
sekitar 100 juta, hampir sama dengan jumlah keseluruhan pada medulla spinalis;
hal ini menunjukkan pentingnya sistem enterik untuk mengatur fungsi
gastrointestinal.
Sistem enterik terutama terdiri atas dua pleksus, satu pleksus bagian luar
yang terletak diantara lapisan otot longitudinal dan sirkular, disebut pleksus
Mienterikus atau pleksus auerbach, dan pleksus bagian dalam, disebut pleksus
submukosa atau pleksus Meissner, yang terletak di dalam submukosa. Pleksus
Mienterikus

terutama

mengatur

pergerakan gastrointestinal

dan pleksus

submukosa terutama mengatur sekresi gastrointestinal dan aliran darah lokal.


Kedua pleksus tersebut berhubungan dengan serat-serat simpatis dan
parasimpatis. Walaupun sistem saraf enterik dapat berfungsi dengan sendirinya,

tidak bergantung pada saraf-saraf ekstrinsik ini, perangsangan oleh sistem


parasimpatis dan simpatis dapat mengaktifakan atau menghambat fungsi
gastrointestinal lebih lanjut.
Ujung-ujung saraf simpatis yang berasal dari epithelium gastrointestinal
atau dinding usus dan kemudian mengirimkan serat-serat afferent ke kedua sistem
enterik juga ke ganglia prevertebral dari sistem saraf simpatis, beberapa berjalan
melalui saraf simpatis ke medulla spinalis dan yang lainnya berjalan melalui saraf
vagus ke batang otak. Saraf-saraf sensoris ini mengadakan refleks-refleks local di
dalam usus itu sendiri dan refleks-refleks lain yang disiarkan kembali ke usus baik
dari ganglia prevertebral maupun dari daerah basal sistem saraf pusat.
II.2.3.2. Pengaturan otonom traktus gastrointestinal(7)
Persarafan parasimpatis. Persarafan parasimpatis ke usus dibagi atas
divisi cranial dan divisi sacral. Kecuali untuk beberapa serat parasimpatis di regio
mulut dan faring dari saluran pencernaan, parasimpatis divisi cranial hampir
seluruhnya berasal dari saraf vagus. Saraf ini member inervasi yang luas pada
esophagus, lambung pankreas dan sedikit ke usus sampai separuh pertama bagian
usus besar. Parasimpatis sacral berasal dari segmen sacral medulla spinalis kedua,
ketiga dan keempat dari medulla spinalis serta berjalan melalui saraf pelvis ke
separuh bagian distal usus besar. Area sigmoid, rectum dan anus dari usus besar
diperkirakan mendapat persarafan parasimpatis yang lebih baik daripada bagian
usus yang lain.
Persarafan simpatis. Serat-serat simpatis yang berjalan ke traktus
gastrointestinal berasal dari medulla spinalis antara segmen T-5 dan L-2. Sebagian
besar preganglionik yang mempersarafi usus, sesudah meninggalkan medulla ,
memasuki rantai simpatis dan berjalan melalui rantai ke ganglia yang letaknya
jauh, seperti ganglion seliakus dan berbagai ganglion mesenterikus. Ujung-ujung
saraf simpatis mensekresikan norepineprin.
Pada umunya, perangsangan sistem saraf simpatis menghambat aktivitas
dalam traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan
yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis.

II.2.3.3. Refleks-refleks gastrointestinal(7)


1. Refleks-refleks yang seluruhnya terjadi di dalam sistem saraf enterik.
Refleks-refleks tersebut mengatur sekresi gastrointestinal, peristaltic,
kontraksi campuran, efek penghambatan local dan sebagainya.
2. Refleks-refleks dari usus ke ganglia simpatis prevertebral dan
kemudian kembali ke traktus gastrointestinal. Refleks ini mengirim
sinyal untuk jarak yang jauh dalam traktus gastrointestinal, seperti
sinyal dari lambung untuk menyebabkan pengosongan kolon (refleks
gastrokolik), sinyal dari kolon dan usus halus untuk menghambat
motilitas lambung dan sekresi lambung (refleks enterogastrik) dan
refleks dari kolon untuk menghambat pengosongan isi ileum ke dalam
kolon (refleks kolonoileal).
3. Refleks-refleks dari usus ke medulla spinalis atau batang otak dan
kemudian kembali ke traktus gastrointestinal. Meliputi refleks
mengatur aktifitas motorik dan sekresi lambung, refleks nyeri yang
menimbulkan hambatan umum pada seluruh traktus gastrointestinal
dan refleks defekasi.(7)

II.3. Fisiologi Usus(5)


Usus halus mempunyai dua fungsi utama : pencernaan dan absorpsi bahanbahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh
kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan masuk. Proses
dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang
menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih
sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan
asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari
hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga
memberikan permukaan lebih luas bagi kerja lipase pankreas.

Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumnlah enzim dalam getah usus


(sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada brush border
vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil diabsorpsi.
Isi usus digerakkan oleh peristalsis yang terdiri atas dua jenis gerakan,
yaitu segmental dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan hormon.
Pergerakan segmental usus halus mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret
pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi
dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi
optimal dan suplai kontinu isi lambung.
Dalam proses motilitas terjadi dua gerakan yaitu:
1. Gerakan propulsif yaitu gerakan mendorong atau memajukan isi saluran
pencernaan sehingga berpindah tempat ke segmen berikutnya, dimana gerakan ini
pada setiap segmen akan berbeda tingkat kecepatannya sesuai dengan fungsi dari
regio saluran pencernaan, contohnya gerakan propulsif yang mendorong makanan
melalui esofagus berlangsung cepat tapi sebaliknya di usus halus tempat utama
berlangsungnya pencernaan dan penyerapan makanan bergerak sangat lambat.
2. Gerakan mencampur, gerakan ini mempunyai 2 fungsi yaitu mencampur
makanan dengan getah pencernaan dan mempermudah penyerapan pada usus.
Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak dan protein (gula sederhana, asam-asam lemak dan asa-asam amino)
melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sesl-sel
tubuh. Selain itu air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absoprpsi berbagai zat
berlangsung dengan mekanisme transpor aktif dan pasif yang sebagian kurang
dimengerti.
Lemak dalam bentuk trigliserida dihidrodrolisa oleh enzim lipase pankreas
; hasilnya bergabung dengan garam empedu membentuk misel. Misel kemudian
memasuki membran sel secara pasif dengan difusif, kemudian mengalami
disagregasi, melepaskan garam empedu yang kembali ke dalam lumen usus dan
asam lemak serta monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk kembali
trigliserida dan digabungkan dengan kolesterol, fosfolipid, dan apoprotein untuk
membentuk kilomikron, yang keluar dari sel dan memasuki lakteal. Asam lemak

kecil dapat memasuki kapiler dan secara langsung menuju ke vena porta. Garam
empedu diabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dalam ileum distalis. Dari
kumpulan 5 gram garam empedu yang memasuki kantung empedu, sekitar 0,5
gram hilang setiap hari; kumpulan ini bersirkulasi ulang 6 kali dalam 24 jam.
Protein oleh asam lambung di denaturasi, pepsin memulai proses
proteolisis. Enzim protease pankreas (tripsinogen yang diaktifkan oleh
enterokinase menjadi tripsin, dan endopeptidase, eksopeptidase) melanjutkan
proses pencernaan protein, menghasilkan asam amino dan 2 sampai 6 residu
peptida. Transport aktif membawa dipeptida dan tripeptida ke dalam sel untuk
diabsorpsi.
Karbohidrat, metabolisme awalnya dimulai dengan menghidrolisis pati
menjadi maltosa (atau isomaltosa), yang merupakan disakarida. Kemudian
disakarida ini, bersama dengan disakarida utama lain, laktosa dan sukrosa,
dihidrolisis menjadi monosakarida glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Enzim
laktase, sukrase, maltase, dan isimaltase untuk pemecahan disakarida terletak di
dalam mikrovili brush border sel epitel. Disakarida ini dicerna menjadi
monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili ini atau sewaktu mereka
berdifusi ke dalam mikrovili. Produk pencernaan, monosakarida, glukosa,
galaktosa, dan fruktosa, kemudian segera disbsorpsi ke dalam darah porta.
Air dan elektrolit, cairan empedu, cairan lambung, saliva, dan cairan
duodenum menyokong sekitar 8-10 L/hari cairan tubuh, kebanyakan diabsorpsi.
Air secara osmotik dan secara hidrostatik diabsorpsi atau melalui difusi pasif.
Natrium dan khlorida diabsorpsi dengan pemasangan zat telarut organik atau
secara transport aktif. Bikarbonat diabsorpsi secara pertukaran natrium/hidrogen.
Kalsium diabsorpsi melalui transport aktif dalam duodenum dan jejenum,
dipercepat oleh hormon parathormon (PTH) dan vitamin D. Kalium diabsorpsi
secara difusi pasif.
Usus besar mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan
proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah mengabsorpsi
air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon

sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
dehidrasi sampai defekasi berlangsung.
Kolon mengabsorpsi air, natrium, khlorida, dan asam lemak rantai pendek
serta mengeluarkan kalium dan bikarbonat. Hal tersebut membantu menjaga
keseimbangan air dan elektrolit dan mencegah dehidrasi. Menerima 900-1500
ml/hari, semua, kecuali 100-200 ml diabsorpsi, paling banyak di proksimal.
Kapasitas sekitar 5 liter/hari.
Gerakan retrograd dari kolon memperlambat transit materi dari kolon
kanan, meningkatkan absorpsi. Kontraksi segmental merupakan pola yang paling
umum, mengisolasi segmen pendek dari kolon, kontraksi ini menurun oleh
antikolinergik, meningkat oleh makanan, kolinergik. Gerakan massa merupakan
pola yang kurang umum, pendorong antegrad melibatkan segmen panjang 0,5-1,0
cm/detik, 20-30 detik panjang, tekanan 100-200 mmHg, tiga sampai empat kali
sehari, terjadi dengan defekasi.
Sepertiga berat feses kering adalah bakterri; 10-10/gram. Anaerob >
aerob. Bakteroides paling umum, Escherichia coli berikutnya. Sumber penting
vitamin K. Gas kolon berasal dari udara yang ditelan, difusi dari darah, produksi
intralumen. Nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen, metan. Bakteri
membentuk hidrogen dan metan dari protein dan karbohidrat yang tidak tercerna.
Normalnya 600 ml/hari.(5)
Fungsi motorik pada saluran pencernaan tergantung pada kontraksi sel otot
polos dan integrasi dan modulasi oleh saraf enterik dan ekstrinsik. Kontraksi yang
terjadi sepanjang saluran pencernaan dikendalikan oleh myogenic, mekanisme
saraf dan kimia. Kekacauan mekanisme yang mengatur fungsi motorik
pencernaan ini dapat menyebabkan motilitas usus berubah.
1. Neurogenik. Modulator motilitas gastrointestinal meliputi sistem saraf
pusat (SSP), saraf otonom, dan sistem saraf enterik (ENS). ENS
merupakan cabang bebas dari sistem saraf perifer, terdiri dari sekitar 100
juta neuron dibagi dalam dua pleksus ganglion (Gambar 22-2). Pleksus
myenteric yang lebih besar, juga dikenal sebagai pleksus Auerbach,

terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkular dari externa


muskularis; pleksus ini berisi neuron yang bertanggung jawab atas
motilitas gastrointestinal dan regulasi output enzimatik dari organ-organ
yang berdekatan. Pleksus submukosa yang lebih kecil disebut sebagai
pleksus Meissner's.

ENS berhubungan langsung dengan usus sel otot

polos, tetapi juga memainkan peran penting dalam fungsi aferen visceral.

2. Myogenic mekanisme kontrol termasuk faktor yang terlibat dalam


mengatur aktivitas listrik yang dihasilkan oleh sel otot polos pada saluran
pencernaan. Sebuah komponen penting dari sistem kontrol myogenic
adalah kegiatan pacu listrik yang berasal dari sel-sel interstisial dari Cajal
(ICC). ICC membentuk sistem alat pacu jantung nonneural terletak di
antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal dari usus kecil. Yang manamana gelombang lambat dari usus kecil, biasanya disebut sebagai aktivitas
kontrol listrik (ECA) dan potensi perintis (PP), berasal dari jaringan ICC
berhubungan dengan pleksus Auerbach. Selain menghasilkan alat pacu
jantung kegiatan, ICC tampaknya berfungsi sebagai perantara antara
neurogenik (ENS) dan myogenic sistem kontrol karena mereka secara luas
dipersarafi dan berada di dekat sel otot polos gastrointestinal.
3. Kimia kontrol mengacu pada pengamatan kontraksi otot polos
gastrointestinal selama periode depolarisasi dari membran potensial, hanya
terjadi jika ada neurotransmiter seperti asetilkolin. Jarak terjadinya
kontraksi tergantung dari banyaknya panjang dari segmen yang
menunjukkan aktivitas kontrol listrik dan panjang segmen neurokimia
bersebelahan yang diaktifkan

4. kontrol saraf ekstrinsik dari fungsi motorik gastrointestinal dapat dibagi


lagi menjadi aliran parasimpatis kranial dan sakral dan pasokan

torakolumbalis simpatik. Saraf kranial terutama melalui saraf vagus, yang


mempersarafi saluran pencernaan dari lambung ke usus besar kanan dan
terdiri dari serat preganglionik kolinergik yang bersinaps dengan ENS.
Pasokan serat simpatis ke perut dan usus kecil muncul dari tingkat T5
sampai T10 dari kolom intermediolateral sumsum tulang belakang. The
celiac prevertebral, mesenterika superior, dan mesenterika inferior ganglia
simpatis memainkan peran penting dalam integrasi impuls aferen antara
usus dan SSP. (8)

II.4. Etiologi Ileus Paralitik


Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada: (1) proses intraabdominal
seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis,
pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan
yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis,
dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia,
hipofosfatemia); dan (3) obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid,
antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama
kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon
(48-72 jam).(2)
Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya
obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk
mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan
akumulasi gas dan cairan dalam usus.
Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah keadaan
yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi
yang diharapkan dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal
spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang
berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic
atau ileus paralitik pascaoperasi. Sering, ileus terjadi setelah operasi
intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal
dan extra-abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah
i

pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang
lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.
Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan
ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi
paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan,
ileus meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di
rumah sakit.(2)
Beberapa penyebab terjadinya ileus:
Trauma abdomen
Pembedahan perut (laparatomy)
Serum elektrolit abnormalitas
1. Hipokalemia
2. Hiponatremia
3. Hipomagnesemia
4. Hipermagensemia
Infeksi, inflamasi atau iritasi (empedu, darah)
1. Intrathorak
1. Pneumonia
2. Lower lobus tulang rusuk patah
3. Infark miokard
2. Intrapelvic (misalnya penyakit radang panggul )
3. Rongga perut
1. Radang usus buntu
2. Divertikulitis

3. Nefrolisiasis
4. Kolesistitis
5. Pankreatitis
6. Perforasi ulkus duodenum
Iskemia usus
1. Mesenterika emboli, trombosis iskemia

Cedera tulang
1. Patah tulang rusuk
2. Vertebral Retak (misalnya kompresi lumbalis Retak )
Pengobatan
1. Narkotika
2. Fenotiazin
3. Diltiazem atau verapamil
4. Clozapine
5. Obat Anticholinergic (8)

II.5. Patofisiologi
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya
sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya
melalui dua cara: (1) pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung
norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia
merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari
noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang
i

kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus
gastrointestinal. (7)
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik
akan

menyebabkan

terhambatnya

pergerakan

makanan

pada

traktus

gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat


saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung
seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide
intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.
Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca operasi dimediasi melalui aktivasi
hambat busur refleks tulang belakang. Secara anatomis, 3 refleks berbeda yang
terlibat: ultrashort refleks terbatas pada dinding usus, refleks pendek yang
melibatkan ganglia prevertebral, dan refleks panjang melibatkan sumsum tulang
belakang. Refleks panjang yang paling signifikan.
Respon stres bedah mengarah ke generasi sistemik endokrin dan mediator
inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus. (8)
Penyakit/ keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan
seperti yang tercantum dibawah ini:
Kausa Ileus Paralitik
Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan timbal, kolik
ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis.
Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia,
komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple
Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin.
Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat
lainnya.

Iskemia Usus.

Neurogenik
- Refleks inhibisi dari saraf afferent: incisi pada kulit dan usus pada
-

operasi abdominal.
Refleks inhibisi dari saraf efferent: menghambat pelepasan

neurotransmitter asetilkolin.(8)
Hormonal
Kolesistokinin, disekresi oleh sel I dalam mukosa duodenum dan jejunum
terutama sebagai respons terhadap adanya pemecahan produk lemak, asam
lemak dan monogliserida di dalam usus. Kolesistokinin mempunyai efek
yang kuat dalam meningkatkan kontraktilitas kandung empedu, jadi
mengeluarkan empedu kedalam usus halus dimana empedu kemudian
memainkan peranan penting dalam mengemulsikan substansi lemak
sehingga mudah dicerna dan diabsorpsi. Kolesistokinin juga menghambat
motilitas lambung secara sedang. Oleh karena itu disaat bersamaan dimana
hormon ini menyebabkan pengosongan kandung empedu, hormon ini juga
menghambat pengosongan makanan dari lambung untuk memberi waktu
yang adekuat supaya terjadi pencernaan lemak di traktus gastrointestinal
bagian atas.
Hormon lainnya seperti sekretin dan peptide penghambat asam lambung
juga memiliki fungsi yang sama seperti kolesistokinin namun sekretin
berperan sebagai respons dari getah asam lambung dan petida penghambat

asam lambung sebagai respons terhadap asam lemak dan asam amino. (7)
Inflamasi
- Makrofag: melepaskan proinflammatory cytokines (NO).
- prostaglandin inhibisi kontraksi otot polos usus.
Farmakologi
Opioid menurunkan aktivitas dari neuron eksitatorik dan inhibisi dari
pleksus mienterikus. Selain itu, opioid juga meningkatkan tonus otot polos

usus dan menghambat gerak peristaltik terkoordianasi yang diperlukan


untuk gerakan propulsi. (8)
- Opioid: efek inhibitor, blockade excitatory neurons yang
mempersarafi otot polos usus.(8)

II.6. Manifestasi Klinik


Ileus adinamik (ileus inhibisi) ditandai oleh tidak adanya gerakan
usus yang disebabkan oleh penghambatan neuromuscular dengan aktifitas
simpatik yang berlebihan. Sangat umum, terjadi setelah semua prosedur
abdomen, gerakan usus akan kembali normal pada: usus kecil 24 jam,
lambung 48 jam, kolon 3-5 hari. (4)
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (
abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin
ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik
ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai
nyeri kolik abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen,
perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat
tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan
perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi
peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit
primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran
peritonitis.(1)
II.7. Diagnosa
Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent abdomen
yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen didapatkan
pelebaran udara usus halus atau besar.
Anamnesa

Pada anamnesa ileus paralitik sering ditemukan keluhan distensi dari usus,
rasa mual dan dapat disertai muntah. Pasien kadang juga mengeluhkan
tidak bisa BAB ataupun flatus, rasa tidak nyaman diperut tanpa disertai
nyeri.
Pemeriksaan fisik
-

Inspeksi
Dapat ditemukan

tanda-tanda

generalisata

dehidrasi,

yang

mencakup kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering.


Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia
dan massa abdomen. Pada pasien yang kurus tidak terlihat gerakan
-

peristaltik.
Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum
apapun atau nyeri tekan, yang mencakup defence muscular
involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang

abnormal untuk mengetahui penyebab ileus.


Perkusi
Hipertimpani
Auskultasi
Bising usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent abdomen) dan
borborigmi

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit.
Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan adalah leukosit darah, kadar
elektrolit, ureum, glukosa darah dan amylase. Foto polos abdomen sangat
membantu untuk menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan
distensi lambung, usus halus dan usus besar. Air fluid level ditemukan berupa
suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level pada ileus
obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga). Apabila
dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan foto
abdomen dengan mempergunakan kontras.

II.8. Penatalaksanaan
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya
berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa
dan penyakit primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat. (1) Prognosis biasanya
baik, keberhasilan dekompresi kolon dari ileus telah dicapai oleh kolonoskopi
berulang.(3) Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau
parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten. Untuk
dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga
rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral
hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian
nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid
bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus paralitik
pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik
karena obat-obatan.(1) Neostigmin juga efektif dalam kasus ileus kolon yang tidak
berespon setelah pengobatan konservatif.(3)
1. Konservatif
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Penderita dipuasakan
c. Kontrol status airway, breathing and circulation.
d. Dekompresi dengan nasogastric tube.
e. Intravenous fluids and electrolyte
f. Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
2. Farmakologis

a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.


b. Analgesik apabila nyeri.
c. Prokinetik: Metaklopromide, cisapride
d. Parasimpatis stimulasi: bethanecol, neostigmin
e. Simpatis blokade: alpha 2 adrenergik antagonis
3. Operatif
a. Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan
peritonitis.
b. Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk
mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.
c. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.o Pintas usus : ileostomi,
kolostomi.
d. Reseksi usus dengan anastomosis
e. Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.(8)
II.9. Diagnosis banding
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan
umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi, juga disebut sebagai sindrom Ogilvie,
dan obstruksi usus mekanik.
Pseudo-obstruction Pseudo-obstruksi (6)

Pseudo-obstruksi didefinisikan sebagai penyakit

akut, ditanda dengan

distensii dari usus besar. Seperti ileus, itu terjadi didefinisikan karena tidak adanya
gangguan mekanik. Beberapa teks dan artikel cenderung menggunakan ileus
sinonim dengan pseudo-obstruksi. Namun, kedua kondisi itu adalah hal yang
berbeda. Pseudo-obstruksi ini jelas terbatas pada usus besar saja, sedangkan ileus
melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Usus besar kanan terlibat dalam klasik
pseudo-obstruksi, yang biasanya terjadi pada pasien yang terbaring lama di tempat
tidur dengan gambaran penyakit ekstraintestinal serius atau pada pasien trauma.
Agen farmakologis, aerophagia, sepsis, dan perbedaan elektrolit juga dapat
berkontribusi untuk kondisi ini.Kondisi
kronis pada pseudo-obstruksi usus juga diamati pada pasien dengan
penyakit kolagen-vaskular, miopati viseral, atau neuropati. Bentuk kronis dari
pseudo-obstruksi melibatkan dismotilitas baik dari usus besar dan kecil.
Dismotilitas ini disebabkan hilangnya kompleks motorik yang berpindah dan
bakteri berlebih. semua hal ini bermanifestai klinik sebagai obstruksi usus kecil.
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan tanda perut kembung tanpa rasa
sakit, namun pasien bisa juga mempunyai gejala mirip obstruksi. Radiografi dari
foto polos abdomen mengungkapkan adanya keadaan yang terisolasi, dilatasi usus
proksimal yang membesar, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah, dan
pencitraan kontras membedakan ini dari obstruksi mekanik.

Ogilvie pseudo-obstruksi pada pasien dengan infeksi . Perhatikan besar


dilatasi kolon, terutama kolon kanan dan sekum.
Distensi kolon dapat mengakibatkan perforasi caecum, terutama jika diameter
caecum melebihi 12 cm. Tingkat kematian untuk pseudo-obstruksi adalah 50%
jika pasien berkembang menjadi nekrosis iskemik dan perforasi.
Perawatan awal meliputi hidrasi, pemasangan NGT dan rectal tube,
koreksi ketidakseimbangan elektrolit, dan penghentian obat yang menghambat
motilitas usus. Dekompresi melalui kolonoskopi cukup efektif dalam mengurangi
pseudo-obstruksi. Neostigmine intravena mungkin juga efektif, menghasilkan
perbaikan pseudo-obstruksi dalam waktu 10-30 menit. Dosis 2,5 mg dari
neostigmine diinfuskan perlahan-lahan selama 3 menit dengan pengawasan
jantung untuk mengamati efek bradikardi. Jika terjadi bradikardia, atropin harus
diberikan. Laparotomi dan reseksi usus untuk peritonitis dan iskemia merupakan
jalan terakhir.
Obstruksi Mekanik
Obstruksi mekanik usus dapat disebabkan oleh adhesi, volvulus , hernia,
intususepsi , benda asing, atau neoplasma. Pasien datang dengan nyeri kram perut
berat yang paroksismal. Pemeriksaan fisik ditemukan borborygmi bertepatan
dengan kram perut. Pada pasien yang kurus, gelombang peristaltik dapat
divisualisasikan. Dengan auskultasi dapat terdengar suara bernada tinggi, denting
suara bersamaan dengan aliran peristaltic. Jika obstruksi total, pasien
mengeluhkan tidak bisa BAB. Muntah mungkin terjadi tapi bisa juga tidak jika
katup ileocecal kompeten dalam mencegah refluks. Tanda peritoneal terlihat nyata
jika pasien mengalami strangulasi dan perforasi.
Menegakkan diagnosis dari obstruksi usus mekanik dapat dibantu dengan
pencitraan endoskopi menggunakan kontras.

Obstruksi mekanik usus disebabkan oleh karsinoma kolon kiri. Perhatikan


tidak adanya gas usus sepanjang usus besar.(6)
Tabel. Karakteristik ileus, Pseudo-obstruksi, dan Mekanik Sumbatan. (6)

Gejala

Ileus

Pseudo-obstruksi

sakit

nyeri

perut,

konstipasi, obstipasi, mual, konstipasi, obstipasi, mual,

kram

Mekanikal Obstruksi

perut,

kembung, muntah, anoreksia

nyeri

kram

perut,

muntah, anoreksia

mual,
muntah,
Temuan

konstipasi
Silent
Borborygmi,

Pemeriksaan abdomen, gelombang


Fisik

timpani, Borborygmi,
peristaltik, gelombang

timpani,
peristaltik,

kembung, bising usus hiperaktif atau bising usus hiperaktif ayau


timpani

hipoaktif, distensi, nyeri hipoaktif,


terlokalisasi

distensi,

nyeri

terlokalisasi

Gambaran

dilatasi

dilatasi usus besar yang Bow-shaped loops in ladder

Radiografi

usus kecil terlokalisir,

diafragma pattern, berkurangnya gas

dan besar, meninggi

kolon di distal, diafragma

diafragma

agak tinggi, air fluid level.

meninggi

Tabel. Perbandingan Klinis bermacam-macam ileus.(6)


Macam
ileus
Obstruksi
simple
tinggi
Obstruksi
simple
rendah
Obstruksi
strangulasi

Paralitik
Oklusi

Nyeri Usus Distensi


++

Muntah

Bising usus

Ketegangan

borborigmi
+++

Meningkat

abdomen
-

+++

Meningkat

Tak tentu

(kolik)
+++
(Kolik)
++++

Lambat, fekal
++

+++

(terus-

biasanya

menerus,

meningkat

terlokalisir)
+
+++++

++++
+++

+
+++

Menurun
Menurun

vaskuler

II.10. Prognosis
Prognosis dari ileus bervariasi tergantung pada penyebab ileus itu sendiri.
Bila ileus hasil dari operasi perut, kondisi ini biasanya bersifat sementara dan
berlangsung sekitar 24-72 jam. Prognosis memburuk pada kasus-kasus tetentu
dimana kematian jaringan usus terjadi; operasi menjadi perlu untuk menghapus
jaringan nekrotik. Bila penyebab primer dari ileus cepat tertangani maka
prognosis menjadi lebih baik4.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. GawatAbdomen. Dalam


Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor:Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim.
Jakarta: EGC, 2003. Hal:181-192.1.
2. Fiedberg, B. and Antillon, M.: Small-Bowel Obstruction. Editor:Vargas, J.,
Windle, W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S.
http://www.emedicine.com . Last Updated, June 29, 2004. 1.
3. Basson, M.D.: Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, J.B., Talavera,F., Mechaber,
A.J., and Katz, J.http://www.emedicine.com. LastUpdated, June 14, 2004.1.
4. Leaper, D.J., Peel, A.L.G., McLatchie, G.R., and Kurup, V.:Gastrointestinal
disease. In
Oxford handbook of clinical surgery Makalah Ilius Paralitik IKP REG IV B
Kelompok 10
Editor by McLatchie, G.R., and Leape, D. 2nd Edition. London:Oxford University
Press, 2002. p: 214-296.
5. Hebra, A., and Miller, M.: Intestinal Volvulus. Editor: DuBois, J.J.,Konop, R.,
Li, B.UK., Schwarz, S. and Altschuler, S. http://www.emedicine,com. Last
Updated: February 25, 2004.
6. Chahine, A.A.: Intussusception. Editor: Nazer, H., Windle, M.L., Li,B.UK.,
Schwarz, S. and Altschuler, S.http://www.emedicine,com .Last Updated: June 10,
2004.
7. Shukia, P.C.: Volvulus. Editor: DuBois, J.J., Konop, R., Piccoli, D.,Schwarz, S.
and Altschuler, S. http://www.emedicine.com . LastUpdated: May 18, 2005.
8. Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit .Editor: Price,
S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya,Caroline. Jakarta: EGC,
1994.

Anda mungkin juga menyukai