Anda di halaman 1dari 22

REFERENSI ARTIKEL

INVAGINASI

DISUSUN OLEH :
Cantika Dewi G991906006

Periode : 5 Oktober 2020 – 11 Oktober 2020

PEMBIMBING :

dr. Suwardi, Sp.B, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan


Klinik Ilmu Bedah Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Referensi artikel dengan judul:

INVAGINASI

Hari, tanggal :

Disusun Oleh:
Cantika Dewi G991906006

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Referensi Artikel

dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA


TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam
segmen lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi
ataupun strangulasi. Invaginasi sering disebut juga sebagai intussusepsi.
Umumnya bagian yang proksimal (intussuseptum) masuk ke bagian distal
(intususepien) (Blanco, 2012).
Invaginasi adalah suatu keadaan gawat darurat di bidang ilmu bedah
dimana suatu segmen usus masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya, sehingga
dapat menimbulkan gejala obstruksi dan pada fase lanjut apabila tidak segera
dilakukan reposisi dapat menyebabkan strangulasi usus yang berujung pada
perforasi dan peritonitis (Blanco, 2012).

B. ANATOMI
1. Usus Halus
Usus halus merupakan bagian yang terpanjang dari saluran pencernaan
dan terbentang dari pilorus pada gaster sampai juncture ileocaecalis. Sebagian
besar pencernaan dan absorbsi makanan berlangsung di dalam usus halus. Usus
halus terbagi atas tiga bagian : duodenum, jejunum dan ileum. a. Duodenum.
Duodenum merupakan saluran berbentuk huruf C dengan panjang sekitar
10 inci (25cm) yang merupakan organ penghubung gaster dan jejunum.
Duodenum adalah organ penting karena merupakan tempat muara dari duktus
kledokus dan duktus pankreatikus. Duodenum melengkung di sekitar kaput
pankreas. Satu inci (2,5 cm) pertama duodenum menyerupai gaster, permukaan
anterior dan posteriornya diliputi oleh peritoneum dan mempunyai omentum
minus yang melekat pada pinggir atasnya dan omentum majus yang melekat
pada pinggir bawahnya. Bursa omentalis terletak terletak di belakang segmen
yang pendek ini. Sisa duodenum yang lain terletak retroperitoneal, hanya
sebagian saja yang diliputi oleh peritoneum

Duodenum terletak pada daerah epigastrika dan umbilikalis, dan untuk


tujuan deskripsi dibagi menjadi empat bagian. Pars superior duodenum,
panjangnya 2 inci, mulai dari pilorus dan berjalan ke atas dan belakan pada sisi
kanan vertebra lumbalis I, jadi bagian ini terletak pada planum transpyloricum .
Pars descendens duodenum, bagian kedua dari duodenum panjangnya 3 inci dan
berjalan vertikal ke bawah di depan hilum renale dextra , di sebelah kanan
vertebra lumbalis II dan III. Kirakira pertengahan arah ke bawah, pada margo
medialias, duktus koledokus dan duktus pankreatikus menembus dinding
duodenum. Kedua duktus ini bergabung membentuk ampula hepatopankreatika
yang akan bermuara pada papila duodeni mayor. Duktus pankreatikus
asesorius, bila ada, bermuara ke dalam duodenum sedikit lebih tinggi, yaitu pada
papila duodenum minor. Pars horizotalis duodenum panjangnya 3 inci dan
berjalan horizontal ke kiri pada planum subcostale , berjalan di depan kolumna
vertebralis dan mengikuti pinggir bawah kaput pankreas.
Setengah bagian atas duodenum diperdarahi oleh arteri
pankreatikoduodenalis superior, cabang arteri gastroduodenalis. Setengah
bagian bawah diperdarahi oleh arteri pankreatikoduodenalis inferior, cabang
ateri mesenterika superior. Pembuluh limfe mengikuti arteri dan bermuara ke
atas melalui nodi pankreatikoduodenale ke nodi mesenteriki superiores di
sekitar pangkal arteri mesenterika superior. Saraf-saraf berasal dari saraf
simpatis dan parasimpatis (vagus) dari pleksus soeliakus dan pleksus
mesnterikus superior.
b. Jejunum dan ileum
Jejunum dan ileum panjangnya 20 kaki (6 meter), dua perlima bagian atas
merupakan jejunum. Masing-masing bagian mempunyai gambaran yang
berbeda tetapi terdapat perubahan yang bertahap dari bagian yang satuke bagian
yang lain. Jejunum dimulai pada junctura duodenojejunalis dan ileum berakhir
pada junctura ileocaecalis.
Lengkung-lengkung jejunum dan ileum dapat bergerak dengan bebas dan
melekat pada dinding posterior abdomen dengan perantaraan peritoneum yang
berbentuk kipas dan dikenal dengan mesenterium. Pada orang hidup, jejunum
dapat dibedakan dengan ileum berdasarkan :
1. Lengkung-lengkung jejunum terletak pada bagian kavitas peritonealis di
bawah sisi kiri mesokolon transversum, ileum terletak pada bagian bawah kavitas
peritonealis dan di dalam pelvis.
2. Jejunum lebih lebar, berdinding lebih tebal, dibandingkan dengan ileum.
Dinding jejunum lebih tebal karena lipatan yang lebih permanen pada tunika
mukosa, plika sirkularis lebih besar dan banyak, tersusun lebih rapat pada jejunum.
Sedangkan bagian atas ileum plika sirkularis lebih kecil dan jarang, dan di bagian
bawah ileum tidak ada plika sirkularis.
3. Mesenterium jejunum melekat pada dinding posterior abdomen di bagian
atas dan kiri aorta, sedangkan mesenterium ileum melekat di bawah dan kanan
aorta.
4. Pembuluh darah mesenterium jejunum hanya membentuk satu atau dua
arkade dengan cabang-cabang panjang dan jarang yang berjalan ke dinding
intestinum tenue.Ileum menerima banyak pembuluh darah pendek yang berasal
dari tiga atau empat atau lebih arkade.
Pembuluh darah arteri yang memperdarahi jejunum dan ileum berasal dari
cabang-cabang dari arteri mesenterika superior. Cabangcabang intestinal berasal
dari sisi kiri arteri dan berjalan di dalam mesenterium untuk mencapai usus.
Pembuluh-pembuluh ini berasal dari anstomosis satu dengan yang lain untuk
membentuk serangkaian arkade. Bagian paling bawah ileum diperdarahi juga
oleh arteri ileokolika. Vena sesuai dengan cabang-cabang arteri mesenterika
superior dan mengalirkan darahnya ke dalam vena mesenterika superior.

Pembuluh limfe berjalan melalui banyak nodi mesenteriki dan akhirnya


mencapai nodi mesenteriki superiores yang terletak di sekitar pangkal arteri
mesenterika superior. Saraf-saraf berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) pleksus mesenterikus superior.

2. Usus Besar
Usus besar terbentang dari ileu sampai anus. Usus besar terbagi menjadi
sekum, apendiks vermiformis, kolon ascendens, kolon transversum kolon
descendens dan kolon sigmoid yang kemudian melanjutkan diri ke rektum dan
anus. Fungsi utama usus besar adalah mengabsorpsi air dan elektrolit dan
menyimpan bahan yang tidak dicerna sampai dapat dikeluarkan dari tubuh
sebagai feses.

Usus besar manusia dan bagian-bagiannya.


a. Sekum
Sekum adalah bagian dari usus besar yang terletak di perbatasan dengan
ileum. Panjang sekum sekitar 2,5 inci (6 cm) dan seluruhnya diliputi oleh
peritoneum. Arteri sekalis anterior dan sekalis posterior membentuk arteri
ileokolika, sebuah cabang arteri mesenterika superior. Vena mengikuti arteri yang
sesuai dan mengalirkan darahnya ke vena mesenterika superior. Pembuluh limfe
berjalan melalui beberapa nodi mesenteriki dan akhirnyabmencapai nodi
mesenteriki superiores. Saraf-saraf berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan
parasimpatis membentuk pleksus mesenterikus superior.
b. Kolon Ascendens
Panjang kolon ascendens sekitar 5 inci (13 cm) dan terletak di kuadran
kanan bawah. Membentang ke atas dari sekum sampai permukaan inferior lobus
hepatis dekstra, lalu kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura coli
dekstra dan melanjutkan diri sebagai kolon transversum. Peritoneum meliputi
bagian depan dan samping kolon ascendens dan menghubungkan kolon ascendens
dengan dinding posterior abdomen. Arteri ileokolika dan aretri kolika dekstra
merupakan cabang arteri mesenterika superior . Vena mengikuti arteri yang sesuai
dan bermuara ke vena mesenterika superior. Pembuluh limfe mengalirkan cairan
limfe ke nodi limfoidea yang terletak sepanjang perjalanan arteri, vena kolika dan
akhirnya mencapai nodi mesenterika superiores. Saraf berasal dari cabang saraf
simpatis dan saraf parasimpatis dari pleksus mesenterikus superior.
c. Kolon Transversum
Panjang kolon tranversum sekitar 15 inci (38 cm) dan berjalan menyilang
abdomen, menempati daerah umbilikalis. Kolon transversum mulai dari fleksura
koli dekstra di bawah lobus hepatius dekstra dan tergantung ke bawah oleh
mesokolontrnsversum dari pankreas.
Dua pertiga bagian proksimal dari kolon transversumdiperdarahi oleh
arteri kolika media, cabang arteri mesenterika superior. Sepertiga bagian distal
diperdarahi oleh arteri kolika sinistra, cabang dari arteri mesenterika inferior.
Cairan limfe dari daerah duapertiga kolon tranversum dialirkan ke nodi
koliki dan kemudian ke nodi mesenterika inferior. Dua pertiga proksimal kolon
transvesum dipersarafi oleh saraf simpatis dan nervus vagus melalui pleksus
mesenterikus superior, sepertiga distal dipersarafi oleh saraf simpatis dan
parasimpatis nervi splakniki pelviki melalui pleksus mesenterikus inferior.
d. Kolon Descendens
Panjang kolon descendens adalah sekitar 10 inci (25 cm) dan terletak di
kuadran kiri atas dan bawah. Kolon ini berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra
sampai pinggir pelvis, di sini kolon transversum melanjutkan diri menjadi kolon
sigmoideum. Peritoneum meliputi permukaan depan dan sisi-sisinya serta
menghubungkan dengan dinding posterior abdomen.

Kolon descendens diperdarahi arteri kolika sinistra dan arteri sigmoidea


yang merupakan cabang arteri mesenterika superior.Cairan limfe dialirkan ke
kelenjar getah bening kolon dan kelenjar getah bening mesenteriki inferiores yang
terletak di sekitar pangkal arteri mesenterika superior.
C. EPIDEMIOLOGI
Insidensi invaginasi di dunia memiliki variasi luas. Pada anak di bawah
usia 1 tahun, insidens mulai dari 35 tiap 100.000 anak di Brazil sampai 1200 tiap
100.000 anak di Inggris (Bissantz et al, 2011). Telaah literature tahun 2013
menilai epidemiologi invaginasi di bawah usia 18 tahun di dunia pada tahun 2002-
2012 adalah 44.454 kejadian invaginasi di wilayah Amerika Utara, Asia, Eropa,
Oseania, Afrika, Mediteranian Timur, Amerika Selatan juga Amerika tengah.
Angka kejadian terendah adalah pada usia 0-2 bulan, yaitu 13-37 per 100.000
orang dan insidens tertinggi pada usia 4-7 bulan, yaitu 97-126 per 100.000 orang.
Beberapa Negara dengan insidens lebih dari 100 per 100.000 orang yaitu
Australia (101), Hongkong (108), Jepang (185), Israel (219), Vietnam (302), dan
Korea Selatan (328). Sedangkan beberapa Negara dengan insidens rendah,
dibawah 20 kejadian per 100.000 orang adalah Finlandia (20), India (18),
Malaysia(18), dan Bangladesh (9) (Jiang et al, 2013).

D. ETIOLOGI
Etiologi dari invaginasi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal :
1. Idiopatik
Pada anak-anak, sekitar 90-95% kasus invaginasi dibawah umur satu
tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai
infantile idiopathic intussusceptions. Sebagian besar peneliti menggunakan
istilah “idiopatik” untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada
abnormalitas spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan invaginasi
seperti diverticulum meckel atau polip yang dapat diidentifikasi saat
pembedahan (Santoso et al, 2011).
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu
teori untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah
bahwa hal itu terjadi karena Peyer Patch yang membesar. Hipotesis ini
berasal dari 3 pengamatan : (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi
dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah
bening sering dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi (Blanco et al,
2013).
2. Kausal
Pada penderita invaginasi yang lebih besar (lebih dari dua tahun),
adanya kelainan usus dapat menjadi penyebab invaginasi seperti
: inverted Meckel’s diverticulum, polip usus, leiomyoma, leiosarkoma,
hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma, dan duplikasi usus.
Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip
seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi intestinal. Lead point lain
diantaranya lymphangiectasis, perdarahan submucosa dengan henoch-
Schonlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome, caseating
granulomas yang berhubungan dengan tuberculosis abdominal (Irish, 2011).
Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomy, yang biasanya timbul
setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltic
usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal
(Santoso et al, 2011).

E. PATOFISIOLOGI
Ditemukannya penebalan dinding ileum terminal berupa hipertrofi
jaringan limfoid (plaque payer) akibat infeksi virus (limfadenitis) yang mengikuti
suatu gastroenteritis/infeksi saluran napas. Keadaan ini menimbulkan
pembengkakan bagian intususeptum (usus bagian proksimal) edema intestinal
dan obstruksi aliran vena obstruksi intestinal sehingga terjadi perdarahan, proses
ini sebagai titik permulaan invaginasi (John dan Siji, 2016).
Perubahan intususeptum ditimbulkan oleh penekanan bagian
intususeptum oleh karena kontraksi dari intususepien (usus bagian distal yang
menerima). Adanya hiperplastik usus bagian proksimal mengakibatkan terjadinya
segmen usus yang masuk ke segmen usus lainnya (ileokolik ileum bervaginasi ke
kolon, ileoileokolik (usus kecil berinvaginasi ke dalam usus kecil). Dimana akan
menyebabkan dinding usus yang terjepit sehingga mengaibatkan aliran darah
menurun dan keadaan akhir yang menyebabkan nekrosis dinding usus sebagai
akibat strangulasi dan tidak jarang terjadi gangrene, yang selanjutnya terjadi
edema dan pembengkakan. Pembengkakan dari intususeptum umumnya menutup
lumen usus. Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali normal,
sehingga tidak terjadi invaginasi (John dan Siji, 2016).
Invaginasi menjadi suatu iskemik oleh karena penekanan dari penjepitan
pembuluh-pembuluh darah segmen intususeptum usus atau mesentrial. Bagian
usus yang paling awal mengalami iskemik adalah mukosa. Ditandai dengan
produksi mukus yang berlebih dan bila berlanjut akan terjadi strangulasi dan
laserasi luka sehingga timbul perdarahan antar mucus dan darah tersebut akan
keluar melalui anus sebagai suatu agar-agar jeli darah (Red Currant Jelly Stool).
Iskemik dan distensi abdomen (system usus) menimbulkan rasa nyeri. Adanya
iskemik dan destruksi usus akan menyebabkan sekuenstrisasi cairan ke lumen
usus yang distensi. Sehingga pasien mengalami dehidrasi, lebih jauh lagi
mengalami syok hipovolemik. Mukosa usus yang iskemik merupakan Port de
Entry intravasasi mikroorganisme dari lumen usus yang dapat menyebabkan
pasien mengaami infeksi sistemik dan sepsis (John dan Siji, 2016).

F. JENIS INVAGINASI
Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya yaitu pada bagian usus mana
yang terlibat :
1. Ileo-ileal, adalah bagian ileum masuk ke bagian ileum
2. Ileo-colica, adalah bagian ileocaecal masuk ke bagian kolon
3. Ileo-caecal, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian apex dari invaginasi
4. Appendicial-colica, adalah bagian caput dari caecum terinvaginasi
5. Colo-colica, adalah bagian colon masuk ke bagian kolon.
Pada kolon dikenal dengan jenis colo cilica dan sekitar ileo caecal dan ileo
colica, jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi tunggal
dimana dindingnya terdiri dari tiga lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari
lima lapisan, hal ini sering pada keadaan yang lebih lanjut disebut tipe invaginasi
ganda, sebagai contoh adalah tipe invaginasi ileo-ileo colica atau colo colica.

G. MANIFESTASI KLINIS
Umumnya bayi dalam keadaan sehat, gizi baik. Mungkin beberapa hari
sebelumnya terdapat peradangan saluran nafas bagian atas. Pada kasuskasus yang
khas nyeri kolik hebat yang timbul mendadak dan hilang timbul. Bayi tiba-tiba
menangis seperti menahan rasa sakit untuk beberapa saat, kemudian diam, lalu
main atau tidur kembali. Sering disertai rangsangan muntah dan muntah berupa
minuman atau makanan yang masuk. Beberapa jam kemudian (antara 6-8 jam
setelah serangan pertama) bayi defekasi disertai darah segar dan lendir (Berocal
dan Del, 2008)
Sementara gejala dan tanda obstruksi belum tampak, pada pemeriksaan
abdomen dapat teraba massa. Bila massa teraba di kanan atau kiri atas yang sering
disebut sausage like, maka perabaan pada abdomen pada kanan bawah terus
kosong. Keadaan ini disebut sebagai Dance’s Sign. Pada pemeriksaan colok
dubur terdapat feses dengan darah segar serta lendir pada sarung tangan(Berocal
dan

Del, 2008)
Dalam intususepsi ini terdapat trias gejala khas :
1. Anak mendadak kesakitan episodik, menangis dan mengangkat kaki
(craping pain) bila berlanjut sakitnya terus menerus
2. Muntah berwarna hijau (cairan lambung)
3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa ) dan darah (lapisan dalam)
currant jelly stool.
Tanda terakhir tersebut merupakan alasan utama bagi orang tua untuk
datang ke rumah sakit. Perlu diingat tanda ini merupakan tanda paling akhir
muncul dari suatu intususepsi sehingga tidak ditemukannya darah perektal tidak
menyingkirkan kemungkinan terjadinya intususepsi (Berocal dan Del, 2008)

Red Currant Jelly Stool


H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan peningkatan jumlah
neutrofil segmen (>70%). Didapatkan abnormalitas elektrolit yang
berhubungan dengan dehidrasi, anemia, dan atau peningkatan jumlah
leukosit (leukositosis >10.000/mm3).

2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, bila telah
lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran
“air fluid level”. Dapat terlihat “free air” bila terjadi perforasi.

Foto polos abdomen. Tampak air-fluid levels pada usus

b. Barium enema
Pemeriksaan barium enema digunakan untuk tujuan diagnostic
dan terapi, dimana akan terlihat gambaran “cupping” dan “coilspring”.
Untuk tujuan terapi, barium enema dikerjakan dengan tekanan
hidrostatik untuk mendorong usus yang masuk kea rah proksimal,
teknik ini dapat dikerjakan bila belum ada tanda-tanda obstruksi usus
yang jelas, seperti muntah-muntah hebat, perut distensi, dan dehidrasi
berat (Al Mubarak et al, 2018).
Foto pasien dengan kontras enema, filling defek berbentuk cupping di daerah sekum

Pasien dengan intussusepsi yang dilakukan kontras enema, tampak gambaran coilled spring
dan cupping atau meniskus

c. Ultrasonografi
Sonografi transversal pada intussusepsi menunjukan pola
berputar dari hiperekhogenitas dan hipoekhogenitas yang bergantian
(target sign), menunjukan perbedaan dari perbedaan lapisan mukosa,
muskularis dan serosa sedangkan gambaran sonografi pada doubel
intususepsi tampak gambaran triple circle sign . Pada potongan
longitudinal lingkaran usus berubah dan gambaran intususeptum dan
intususepien memberikan gambaran sandwich atau pseudokidney
(Ramsey dan Halm, 2014).
(a) Potonganlongitudinal (b) memperlihatkan intususseptum (daerah ileum), panah putih
merupakan dinding kolon, L KGB di dalam intussusepsi, M jaringan lemak mesenterik di dalam
intussusepsi.

d. Computed Tomography Scan (CT Scan)


CT scan digunakan untuk mencari penyebab terjadinya
intususepsi. Pada CT scan intususepsi memperlihatkan gambaran
yang khas terlihat sebagai massa jaringan lunak eksentrik, yang terdiri
dari intususipien, intususeptum, lemak mesenterika dari intususeptum,
dan pembuluh darah mesenterika yang memberikan gambaran target
sign , sedangkan pada kasus doubel intususepsi tampak gambaran
triple circle sign yang terdiri atas lingkaran luar adalah segmen distal,
lingkaran kedua tengah adalah segmen distal yang prolaps, dan
lingkaran ketiga dalam adalah intususepsi pertama (segmen proksimal
prolaps) (Amr et al, 2015).

Gambaran target sign pada intussusepsi

I. PENATALAKSANAAN
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya

pertolongan diberikan, jika pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari
serangan pertama maka akan memberikan prognosis yang lebih baik (Caruso et

al, 2017).

Penatalaksanaan dari invaginasi pada umumnya meliputi resusitasi,

kofirmasi diagnostik melalui ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi

dengan barium enema (kecuali anak mengalami tanda-tanda peritonitis),

dengan intervensi bedah merupakan pilihan terakhir kecuali pada kasus

khusus (Caruso et al, 2017).

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan

anak sejak dahulu mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil

dengan baik yaitu:

1. Reduksi dengan barium enema

Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada

invaginasi pada anak, namun kontroversi terhadap terapi ini masih terus

diperdebatkan (Sadigh et al, 2015).

Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita:

dipuasakan, resusitasi cairan, dekompresi dengan pemasangan pipa lambung.

Bila sudah dijumpai tanda gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan

laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit dan neutrofil segmen

maka antibiotika berspektrum luas dapat diberikan.

Narkotik seperti Demerol dapat diberikan (1mg/kg BB) untuk menghilangkan


rasa sakit (Sadigh et al, 2015).

Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi

dalam diagnostik dan terapi. Reduksi invaginasi dengan nonoperatif telah

menunjukkan lama rawat inap, pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya
rumah sakit, dan mengurangi kompilkasi yang berhubungan dengan operasi

abdomen (Sadigh et al, 2015).

Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna bagi

pasien dengan gejala invaginasi lebih dari 48 jam, dan khususnya pasien

dengan keadaan umum yang jelek dan membutuhkan operasi reduksi sebagai

penanganannya (Sadigh et al, 2015).

Menurut Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat

diberikan bila tidak dijumpai kontra indikasi seperti:

- Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun

pada foto abdomen.

- Dijumpai tanda-tanda peritonitis.

- Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam.

- Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.

- Usia penderita dibawah 1 tahun.

Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak

menangis atau gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif

sangat membantu. Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum

dan difiksasi dengan plester, melalui kateter bubur barium dialirkan dari

kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan aliran bubur barium

dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat di

identifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon

transversum dan bagian proksimal kolon descendens. Bila kolom bubur

barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila

kolom bubur barium berhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-5
menit. Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama

10-15 menit tetapi tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi

pertama, kedua dan ketiga, bubur barium dievakuasi terlebih dahulu (Sadigh

et al, 2015).

Reduksi barium enema dinyatakan berhasil, apabila:

- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan
disertai massa feses dan udara.
- Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan
sebagian usus halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum.
- Hilangnya massa tumor di abdomen.
- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur
serta norit test positif.

Penderita perlu dirawat inap selama 2-3 hari karena sering dijumpai
kekambuhan selama 36 jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung
kepada beberapa hal antara lain, waktu sejak timbulnya gejala pertama,
penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis pelaksanaannya. Jika reduksi
dengan enema gagal untuk mengatasi keadaan ini, intervensi bedah dapat
dilakukan.

2. Reduksi dengan tindakan operasI


a. Memperbaiki keadaan umum
Tindakan ini sangat menentukan prognosis, jangan melakukan
tindakan operasi sebelum mengoptimalkan keadaan umum pasien (pasien
baru dapat dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik,
hal ini ditandai apabila produksi urine sekitar 0,5-1 cc/kg BB/jam). Nadi
kurang dari 120x/menit, pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral yang
tadinya dingin dan lembab telah berubah menjadi hangat dan kering, turgor
kulit mulai membaik dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C. Biasanya
perfusi jaringan akan baik apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah
masuk, sisanya dapat diberikan sambil operasi berjalan dan pasca bedah.
Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah:
a. Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).
b. Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde
lambung.
c. Pemberian antibiotik dan sedatif.
Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan operasi karena
usus dapat menjadi nekrosis karena perfusi jaringan masih buruk.

Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi akan

memperberat keadaan umum penderita serta perfusi jaringan yang belum baik

akan menyebabkan bertumpuknya hasil metabolik di jaringan yang

seharusnya dibuang lewat ginjal dan pernafasan, begitu pula perfusi jaringan

yang belum baik akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula.

Bila dipaksakan kelainan tersebut akan irreversible.

b. Tindakan reposisi usus

Tindakan selama operasi tergantung kepada temuan keadaan usus,

reposisi manual dengan cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar,

juga bergantung pada keterampilan dan pengalaman operator.

Insisi operasi untuk tindakan ini dilakukan secara transversal (melintang),

pada anak-anak dibawah umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal

supraumbilikal oleh karena letaknya relatif lebih tinggi. Ada juga yang

menganjurkan insisi transversal infraumbilikal dengan alasan lebih mudah

untuk eksplorasi usus, mereduksi intusussepsi dan tindakan appendektomi

bila dibutuhkan. Tidak ada batasan yang tegas kapan kita harus berhenti

mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus dilakukan apabila: pada kasus

yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus
diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi.

Setelah usus direseksi dilakukan anastomosis ”end to end”, apabila hal ini

memungkinkan tetapi bila tidak mungkin maka dilakukan “exteriorisasi” atau

enterostomi.

Milking Prosedur
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien intususepsi baik jika diagnosis ditegakkan lebih dini dan
terapi cepat dilakukan. Jika komplikasi terjadi atau pada keadaan intususepsi
yang berulang prognosisnya akan menjadi lebih buruk. Angka kekambuhan
mencapai 5% bila dilakukan reduksi hidrostatik dan 2% bila dilakukan
pembedahan (De Jong, 2005).

K. KOMPLIKASI
Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat menyebabkan
perforasi usus dan berlanjut menjadi peritonitis. Jika tidak diobati, intususepsi
hampir selalu fatal bagi bayi dan anak kecil (Guo et al, 2017).
TINJAUAN PUSTAKA

Al-Mubarak L, Alghmadi E, Alharbi S, Almasoud H, Al-Ali N, Mujurdy S,


et al.Air enema versus barium enema in intussusception: An overview. Int J
Community Med Public Health. 2018;5(5):1679-83
Amr MA, Polites SF, Alzgari M, Onkendi EO, Grotz TE, Zielinski MD.
Intussusception in adults and the role of evolving computed tomography technology.
Am J Surg. 2015;209(3):580-3
Berocal T & Del Pozo G.Imaging in pediatric Gastrointestinal
Emergencies.DAlam: Devos AS & Blickman JG, radiological Imaging of the
Digestive Tract in Infant and Children. Berlin: Springer-Verlag:2008; 35-45
Bissantz N, Jenke AC, Trampisch M, Klaaβen-Mielke R, Bissantz K,
Trampisch HJ, et al. Hospital-based, prospective, multicenter, surveillance to
determine the incidence of intussusception in children aged below 15 in Germany.
BMC Gastroenterol.2011;11:26.
Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] 2012
Jan 13 [cited 2020 Sept 22]; Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/930708-overview
Caruso AM, Pane A, Scanu A, Muscas A, Garau R, Caddeo F, et al.
Intussusception in children: Not only surgical treatment. J Pediatr Neonatal
Individualized Medicine.2017;6(1):1-6
De Jong, W, Sjamsuhidajat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Bab 35:h 627-629, 2005
Guo W, Hu Z, Tan Y, Sheng M, Wang J. Risk factors for recurrent
intussusception in children: A retrospective cohort study. BMJ Open.
2017;7(11):e018604
Irish MS. Pediatric Intussusception surgery. Medscape Reference [serial
online] 2011 Apr 14 [cited 2020 Sept 22]; Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/937730-overview
Jiang J, Jiang B, Parashar U, Nguyen T, Bines J, Patel MM.Childhood
intussusception: A literature review.2013;8(7):e68482
John M, Siji CR. A clinical study of children with intussusception. Internat J
Contemporary Pediatr. 2016;3(3):1083-8
Ramsey KW, Halm BM. Diagnosis of intussusception using bedside
ultrasound by a pediatric resident in the emergency department. Hawai’i J Med Publ
Health. 2014;73(2):58-60
Sadigh G, Zou KH, Razavi SA, Khan R, Applegate KE. Meta-analysis of air
versus liquid enema for intussusception reduction in children. AJR.
2015;205:542-9
Santoso MIJ, Yosodiharjo A, dan Erfan F. Hubungan antara Lama
Timbulnya Gejala Klinis Awal Hingga Tindakan Operasi dengan Lama Rawatan
Pada Penderita Invaginasi yang Dirawat di RSUP H Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011

Anda mungkin juga menyukai