Anda di halaman 1dari 16

ESSAY

BLOK DISGESTIVE 2

“Anatomi Klinis Sistem Digestif”

Disusun Oleh:

Nama : Isnatiya Noviana

NIM : 020.06.0037

Kelas :A

Tutor : dr. Fifi Veronica, M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2022
Latar Belakang

Sistem digestif/sistem pencernaan adalah nama gabungan yang digunakan untuk


menggambarkan kanal makanan, dimana terdiri dari beberapa organ aksesori dan berbagai
proses pencernaan yang terjadi pada tingkat yang berbeda di kanal untuk menyiapkan
makanan yang dimakan dalam makanan untuk penyerapan. Saluran pencernaan dimulai di
mulut, melewati dada, perut dan panggul dan berakhir di anus. Saluran pencernaan adalah
tabung berotot dengan panjang sekitar 5 meter. Diameternya bervariasi dari satu segmen ke
segmen lain yang paling luas yaitu di bagian perut. Sistem digestivus terdiri dari traktus
digestivus dan asesorisnya. Traktus digestivus /alimentary canal yaitu terdiri dari rongga
mulut, oesophagus, lambung, small intestine, large intestines, rectum, anus. Sedangkan, organ
asesorisnya yaitu gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, empedu, dan pancreas. (Richard, 2002)

Dalam kuliah tentang sistem digestif ini, dr. fifi veronica, M.Sc menyampaikan
beberapa permasalahan, yang akan dibahas pada essay ini. Permasalahan tersebut yaitu
pertama menceritakan tentang pembentukan organ ektra peritoneum primer dan sekunder dan
contoh organ (terutama retro), kedua menceritakan tentang portal vein: vena-vena yang
masuk ke dalam sistem porta, dan ketiga yaitu apabila terjadi ganggun pada sistem porta
contohnya sirosis hepatis akan terjadi portocaval anastomosis. Apa terapinya dan biasanya
akan dibentuk portocaval shunting. Dan apa yang dimaksud dengan portocaval shunting.
Maka dari itu kami akan memaparkan permasalahan tersebut pada pembahasan.

Isi/Pembahasan

Pembentukan Organ Ekstra Peritoneum Primer & Sekunder, dan Contoh Organnya

Pembentukan peritoneum dan cavitas peritoneum yaitu segera setelah mesoderm


lateral membelah menjadi lapisan somatik dan splanchnicus, terbentuk sebuah rongga di
antara kedua lapisan tersebut yang disebut selom intraembrionik. Cavitas peritonealis berasal
dari bagian selom embrionik yang terletak caudal dari septum transversum. Pada stadium
paling awal, cavitas peritonealis mempunyai hubungan bebas dengan selom ekstraembrionik
masing-masing sisi. Kemudian, dengan perkembangan kepala, ekor, dan lipatan lateral
embrio, area hubungan luas ini terbatas menjadi daerah kecil di dalam funiculus umbilicalis.
(Richard, 2002)
Gambar 19-28. Mesenterium ventral dan dorsal serta organ-organ yang

berkembang di dalamnya. (Richard, 2002)

Pada perkembangan awal, cavitas peritonealis dibagi menjadi setengah bagian kanan
dan setengah bagian kiri oleh partisi sentralis yang dibentuk oleh mesenterium dorsale, usus,
dan mesenterium ventrale yang kecil. Namun, mesenterium ventrale hanya terdapat pada
jarak pendek sepanjang usus, dengan demikian setengah bagian kanan dan setengah bagian
kiri cavitas peritonealis berhubungan bebas. Akibat dari pertumbuhan hepar yang luas dan
pembesaran ginjal yang sedang tumbuh, kapasitas rongga abdomen menjadi sangat berkurang
pada sekitar usia 6 minggu. Pada saat ini hubungan yang sempit yang tersisa di antara cavitas
peritonealis dan selom ekstraembrionik menjadi penting. Lengkung intestinum dipaksa keluar
dari rongga abdomen melalui umbilicus ke dalam funiculus umbilicalis. Herniasi fisiologik
usus tengah ini terjadi selama perkembangan usia 6 minggu. (Richard, 2002)

Pembentukan ligamenta peritonealis dan pesenteria yaitu ligamenta peritonealis


berkembang dari mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale
dibentuk dari mesoderm septum transversum (berasal dari somit-somit cervical, yang
bermigrasi ke bawah). Mesenterium ventrale membentuk ligamentum falciforme, omentum
minus, serta ligamentum coronarium dan triangulare hepatis. Mesenterium dorsale dibentuk
dari penyatuan mesoderm splanchnopleurik pada kedua sisi embrio. Mesenterium ini meluas
dari dinding posterior abdomen ke pinggir posterior pars abdominalis intestinum.
Mesenterium dorsale membentuk ligamentum gastrolienale, omentum gastrolienalis,
ligamentum lienorenale, omentum minus, serta mesenterium intestinum tenue dan crassum.
(Richard, 2002)

Gambar 19-29. Rotasi gaster serta pembentukan omentum majus

dan bursa omentalis. (Richard, 2002)

Pembentukan bursa omentale dan kantong besar peritonei. Pertumbuhan yang sangat
besar lobus dexter hepatis menarik mesenterium ventrale ke kanan dan menyebabkan rotasi
gaster dan duodenum. Melalui cara ini, bagian kanan atas cavitas peritonealis menjadi satu
dengan omentum minus. Pinggir kanan yang bebas dari mesenterium ventrale menjadi
pinggir kanan omentum minus dan batas anterior pintu masuk ke dalam bursa omentale.
Bagian lainnya dari cavitas peritonealis, yang tidak termasuk ke dalam bursa omentale,
disebut kantong besar dan kedua kantong ini berhubungan melalui foramen epiploicum.
(Richard, 2002)

Pembentukan omentum majus yaitu lien berkembang di dalam bagian atas


mesenterium dorsale, dan omentum majus dibentuk sebagai akibat pertumbuhan yang luas
dan cepat mesenterium dorsale caudal terhadap lien. Mulai dengan omentum majus meluas
dari curvatura majus gaster ke dinding posterior abdomen superior terhadap mesocolon
transversum. Dengan berlanjutnya pertumbuhan, dua lapis peritoneum berbentuk seperti
celemek ke inferior sampai mencapai anterior colon transversum. Kemudian, lapisan
posterior omentum bergabung dengan mesocolon transversum. Sebagai akibatnya omentum
majus melekat ke facies anterior colon transversum. Dengan berlanjutnya perkembangan,
omentum majus diisi dengan lemak. Recessus inferior bursa omentale meluas ke inferior di
antara lapisan anterior dan posterior lipatan omentum majus. (Richard, 2002)

ORGAN SPATIUM RETROPERITONIUM

Spatium retroperitoneale terletak pada dinding posterior abdomen di belakang


peritoneum parietale. Ruangan ini terbentang dari vertebra thoracica XII dan costa XII
sampai sacrum dan crista iliaca di bawah (Gambar 19-30). Lantai atau dinding posterior
spatium ini dibentuk dari mediai ke lateral oleh musculus psoas, musculus quadratus
lumborum dan origo musculus transversus abdominis. Permukaan anterior masing-masing
otot-otot ini diliputi oleh fascia. Di depan fascia terdapat jaringan ikat berlemak yang
membentuk tempat untuk glandula suprarenalis, rery colon ascendens dan colon descendens,
dan duodenum. Di dalam spatium retroperitoneale juga terdapat ureter, ginjal, dan vasa
gonad. (Richard, 2002)
Gambar 19-30. Spatium retroperitoneale. A. struktur-struktur yang terdapat pada dinding
posterior abdomen di belakang peritonium. B. Potongan transversal dinding posterior
abdomen, memperlihatkan struktur-struktur yang terdapat di dalam spatium retroperitoneale,
dilihat dari bawah. (Richard, 2002)

Portal Vein: Vena-Vena Yang Masuk Ke Dalam Sistem Porta

Vena porta merupakan vena yang penting, panjangnya 5cm, di bentuk di belakang
pankreas oleh persatuan v.menesterika superior dan v. lienalis. Vena porta berjalan ke atas
dan kanan duodenum dan masuk ke omentum minus. Sirkulasi portal mulai sebagai pleksus
kapiler dalam organ yang merupakan tempat drah di alirkan keluar berakhir dengan
pengosongan darahnya ke dalam sinusoid dalam hati. V.porta mengalirkan darah dari
pencernaan bagian bawah esofagus sampai pertengahan atas anus, dari pankreas, kandung
empedu, duktus, kolekudus, dan limpa. (Richard, 2002)

Anastomosis portal sistemik. Dalam keadaan normal, vena porta melewati hati dan
masuk ke vena kava inferior. Sirkulasi portal merupakan sirkulasi sistemik melewati vena
hepatika, hubungan lain apabila jalan langsung terhambat. Anastomosis portal sistemik
(Richard, 2002):

1. Sepertiga bawah esofagus. Ramus esofagea dari v. gastrika sinistra (cabang v. portal)
beranastomosis dengan v. esofagea mengalir ke vena azigos.
2. Pertengahan atas anus v.rektalis superior.(cabang v. porta), mengalirkan darah dari
setengah atas anus beranastomosis dengan v.rektalis media dan inferior merupakan cabang
dari v.iliaka interna dan v. pudenda.
3. V. paraumbilikus,menghubungkan cabang kiri v.porta dengan v. supervisial di dinding
arterior abdomen, berjalan ligamentum falsiformi dan liga mentum terres hepatis.
4. Vena-vena kolon asenden, desenden, duodenum, pankreas, dan hati (cabang v. porta),
beranastomosis dengan v.renalis, v. lumbalis dan v. frenika.
5. V. ovarika, berasal dari ovarium setinggi vertebra lumbalis ke-1 dan mengalirkan darah ke
v. kava inferior. (Richard, 2002)

Apabila Terjadi Ganggun Pada Sistem Porta Contohnya Sirosis Hepatis Akan Terjadi
Portocaval Anastomosis. Apa Terapi Nya? Biasanya Akan Dibentuk Portocaval
Shunting. Apa Itu Portocaval Shunting?

Sirosis Hepatis

 Definisi
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Pembentukan jaringan ikat saja seperti pada
payah jantung, obstruksi saluran empedu juga pembentukan nodul saja seperti sindroma
Felty dan transformasi nodular parsial bukanlah suatu sirosis hati. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat
dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi
mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat dan nodul tersebut.
(Noer, 1996)
 Etiologi
Sirosis pascanekrosis adalah suatu istilah morfologik yang mengacu kepada stadium
tertentu cedera hati kronik tahap lanjut oleh sebab spesifik dan kriptogenik. Bukti
epidemiologi dan serologi mengisyaratkan bahwa hepatitis virus (hepatitis B dan C)
mungkin merupakan faktor pendahulu. Penyebab sirosis hati lainnya antara lain: alkohol,
infeksi Bruselosis, skistomiasis, toksoplasmosis, defisiensi α 1 antitripsin, sindroma
fanconi, galaktosemia, penyakit Gaucher, hemokromatosis, penyakit Wilson, obat-obatan
dan toksin : arsenikal, isoniazid, metotreksat, metildopa, kontrasepsi oral, juga penyebab
lain berupa penyakit usus inflamasi kronik, fibrosis kistik, sarkoidosis. (Noer, 1996)
 Epidemiolog
Angka kejadian sirosis hati dari hasil autopsy sekitar 2,4 % di Barat. Angka kejadian
di Indonesia menunjukkan pria lebih banyak menderita sirosis dari wanita (2-4:1),
terbanyak didapat pada dekade kelima. (Noer, 1996)
 Patogenesis
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini
menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps lobulus hati dan ini
memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel
hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis sirosis hati sama atau hampir
sama. Septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi
parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang
lainnya atau porta dengan sentral (bridging necrosis). (Noer, 1996)
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran dan ini
menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran darah porta,
dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik
tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan dari sirosis pada sel
duktules, sinusoid retikuloendotel, terjadi Abrogenesis dan septa aktif Jaringan kolagen
berubah dari reversibel menjadi ireversibel bila telah tertbentuk septa permanen yang
aselular pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung etiologi
sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah
portal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limfosit T dan makrofag
menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen.
Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septa aktif ini berasal dari
daerah porta menyebar ke parenkim hati. (Noer, 1996)
Kolagen ada 4 tipe dengan lokasi sebagai berikut (Noer, 1996):
- Tipe I : lokasi daerah sentral.
- Tipe II : sinusoid.
- Tipe III : jaringan retikulin.
- Tipe IV : membran basal.
Pada sirosis terdapat peningkatan pertumbuhan semua jenis kolagen tersebut. Pada
sirosis, pembentukan jaringan kolagen dirangsang oleh nekrosis hepatoselular, juga
asidosis laktat merupakan faktor perangsang. (Noer, 1996)
 Klasifikasi

1. Klasifikasi etiologi

- Etiologi yang diketahui penyebabnya : Hepatitis virus tipe B dan C

a. Alkohol Metabolik: hemokromatosis idiopatik, penyakit Wilson, defisiensi a 1


antitripsin, DM.

b. Kolestasis kronik.

c. Obstruksi aliran vena hepatlk. Gangguan imunologis.

d. Toksik dan obat.

e. Operasi pintas usus halus pada obesitas.

f. Malnutrisi.

- Etiologi tanpa diketahui penyebabnya (kriptogenik). (Noer, 1996)

2. Klasifikasi morfologi

- Sirosis mikronodular: ditandai terbentuknya septa tebal teratur, didalam septa


parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata diseluruh nodul.

- Sirosis makronodular: ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan


bervariasi mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi.

- Sirosis campuran: umunmya sirosis hati adalah jenis campuran ini. (Noer, 1996)

3. Klasifikasi fungsional

Secara fungsi sirosis hati dibagi yaitu atas (Noer, 1996):


a. Kegagalan hati
Dapat timbul keluhan subjektif berupa lemah, berat badan menurun, gembung,
mual, spider naevi, eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut berkurang, atropi
testis dan ginekomastia pada pria. Juga dapat timbul ikterus, ensefalopati hepatik,
hipoalbuminemia. (Noer, 1996)

b. Hipertensi portal
Bisa terjadi pertama akibat meningkatnya retensi portal dan splanknik karena
mengurangnya sirkulasi akibat fibrosis, dan kedua akibat meningkatnya aliran portal
karena transmisi dari tekanan arteri hepatik ke sistem portal akibat distorsi arsitektur
hati. Lokasi peningkatan retensi bisa:

 Prehepatik, biasa kongenital, trombosis vena portal waktu lahir, fistula


arterivenosa atau mikrofibrosis limfa.

 Intrahepatik, presinusoidal, sinusoidal, post sinusoidal. Biasa terjadi obstruksi


campuran.

 Posthepatik karena perikarditis konstriktiva, insufisiensi trikuspidal. (Noer, 1996)


 Manifestasi Klinis
Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya. Gejala kegagalan hati
ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis kronik yang masih berjalan bersamaan dengan
sirosis hati yang telah terjadi dalam proses penyakit hati yang berlanjut sulit dibedakan
hepatitis kronik aktif yang berat dengan permulaan sirosis yang terjadi. (Isselbacher, 2012)

1. Fase kompensasi sempurna


Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan samar-
samar tidak khas seperti pasien merasa tidak fit, merasa kurang kemampuan kerja,
selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang mencret atau
konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan cepat lelah akibat
deplesi protein. Keluhan dan gejala tersebut tidak banyak bedanya dengan pasien
hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hati dan tergantung pada luasnya kerusakan parenkim
hati. (Isselbacher, 2012)
2. Fase dekompensasi
Pasien sirosis hati dalam fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya dengan
bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal dengan
manifestasi seperti eritema palmaris, spider naevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus, edema pretibial dan asites. Ikterus dengan air kemih berrwarna teh pekat
mungkin disebabkan proses penyakit yang berlanjut atau transformasi kearah keganasan
hati, dimana tumor akan menekan saluran empedu atau terbentuknya thrombus saluran
empedu intrahepatik. Bisa juga pasien datang dengan gangguan pembekuan darah
seperti epistaksis, perdarahan gusi, gangguan siklus haid, atau siklus haid berhenti.
Sebagian pasien datang dengan gejala hematemesis dan melena, atau melena saja akibat
perdarahan varises esofagus. Perdarahan bisa masif dan menyebabkan pasien jatuh
kedalam renjatan. Pada kasus lain sirosis datang dengan gangguan kesadaran berupa
ensefalopati hepatik sampai koma hepatik. Ensefalopati bisa akibat kegagalan hati pada
sirosis hati fase lanjut atau akibat perdarahan varises esofagus. (Noer, 1996)
 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1. Darah
Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan leukopenia
dan trombositopenia. Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan
petunjuk tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya
didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini lebih sensitif tetapi
kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gama GT tidak meningkat
pada sirosis inaktif. (Noer, 1996)

2. Albumin
Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan tanda
kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.
3. Pemeriksaan CHE
Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.
4. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan
garam dalam diet.
5. Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati.
Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa protrombin.
6. Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan kurangnya
kemampuan sel hati membentuk glikogen.
7. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab, HbeAg/
HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.
Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi transformasi
kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai diagnostik suatu kanker
hati primer. (Noer, 1996)
b. Pemeriksaan fisik
Terdapat pembesaran hati pada awal sirosis, pembesaran limfe, pada perut
terdapat vena kolateral dan asites, spider naevi/ kaput medusa, eritema palmaris.
c. Pemeriksaan penunjang lainnya
Esofagoskopi, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografl. (Noer, 1996)
 Diagnosis
Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan fisik,
laboratorium, USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi hati. Pada stadium
dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosa sirosis hati diantaranya (Oktora,
2007):
1. Splenomegali
2. Asites
3. Edema pretibial
4. Laboratorium khususnya albumin
5. Tanda kegagalan berupa eritema palmaris, spider naevi, vena kolateral. (Oktora, 2007)

Suharyono Soebandiri menyatakan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah ini sudah


dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi (Oktora, 2007):
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises
4. Albumin yang merendah
5. Spider naevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral. (Oktora, 2007)
 Komplikasi
- Kegagalan hati
- Hipertensi portal
- Asites
- Ensefalopati
- Peritonitis bacterial spontan. v Sindrom hepatorenal
- Transforrnasi kearah kanker hati primer. (Azmi, 2017)
 Pengobatan/Terapi
Terapi dan prognosis sirosis hati tergaantug pada derajat komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi portal (Portocarval Anastomosis). (Noer, 1996)
 Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol yang teratur,
istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein, lemak secukupnya (DH III-
IV). Bila timbul ensefalopati protein dikurangi (DH I).
 Pasien sirosis hati dengan penyebab diketahui, seperti alkohol, hemokromatosis,
penyakit Wilson, diobati penyebabnya.
 Pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.

1. Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5 l/hr. spironolakton
dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan sampai total dosis 800 mg
sehari. Idealnya penurunan berat badan 1 kg/hr. Bila perlu dikombinasikan dengan
furosemid.

2. Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai kasus


perdarahan saluran cerna atas.

3. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia, mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet DH I,
aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises,
dilakukan klisma untuk mengurangi absorpsi bahan nitrogen dan pemberian
duphalac 2 x C II.

4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti cefotaxim 2 gr/8 jam iv.

5. Sindroma hepatorenal, imbangan air dan garam diatur dengan ketat, atasi infeksi
dengan pemberian antibiotic. (Noer, 1996)
 Prognosis
Prognosis tidak baik yaitu jika (Karina, 2007):

- Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%

- Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar

- Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)


- Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus

- Hati mengecil

- Perdarahan akibat varises esofagus

- Komplikasi neurologis

- Kadar protrombin rendah

- Kadar natriumn darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

- CHE rendah. (Karina, 2007)


Portocaval Shunting

Portacaval shunt adalah bentuk pengobatan tekanan darah tinggi yang melibatkan
menghubungkan suplai darah hati dengan vena yang menarik darah dari bagian bawah tubuh.
Operasi dianggap besar, dan dilakukan untuk mengarahkan aliran darah di sekitar hati. Juga
dikenal sebagai portal caval shunt, operasi dilakukan pada pasien dengan hipertensi portal -
hadir ketika tekanan darah tinggi di hati – yang paling sering disebabkan oleh sirosis atau
hepatitis B atau C. Portacaval shunt sering dilakukan pada pasien dengan hipertensi portal
karena kerusakan hati. Selama prosedur portacaval shunt, sayatan besar dibuat di perut. Vena
portal, dari mana hati menerima 75% suplai darahnya, melekat pada vena utama yang
mengalirkan darah dari bagian bawah tubuh, vena cava inferior. Hal ini mendorong darah
untuk mengalir di sekitar hati alih-alih melaluinya, sangat mengurangi tekanan darah di
daerah tersebut dan melindungi terhadap pembuluh darah yang rusak dan pendarahan internal
di hati. (Nurdianah, 2014)

Tes darah dapat membantu menentukan tingkat kerusakan hati seseorang. Sangat
penting untuk fungsi tubuh yang sehat agar darah mengalir dengan lancar melalui hati. Pada
individu dengan sirosis dan hepatitis B dan C, hati rusak parah dan aliran darah yang tepat
terhambat. Prosedur portacaval shunt membantu darah bergerak lebih efisien melalui area
tersebut dan kembali ke jantung. Operasi shunt portacaval umumnya telah digantikan oleh
perawatan medis lainnya, yaitu pirau portosistemik intrahepatik transjugular, atau TIPS. TIPS
bukan operasi. Seorang ahli radiologi menggunakan mesin x-ray untuk memandu pirau medis
ke dalam pembuluh darah hati, yang mencapai tujuan yang sama seperti pirau portacaval:
pengalihan aliran darah di sekitar organ yang terkena. Biasanya dilakukan dengan anestesi
lokal. Pasien yang menjalani portacaval shunting biasanya sudah mencoba prosedur TIPS
dengan hasil yang tidak berhasil. Vena portal melekat pada vena cava inferior, yang
mengalirkan darah dari bagian bawah tubuh. (Nurdianah, 2014)

Kandidat terbaik untuk shunt portacaval adalah mereka yang pertama kali menjalani
prosedur TIPS yang menghasilkan hasil yang tidak diinginkan. Kandidat yang ideal biasanya
memiliki penyakit hati kronis dan progresif yang memerlukan pembedahan untuk
memperpanjang harapan hidup. Setiap jenis kerusakan hati yang serius, bagaimanapun,
menimbulkan risiko komplikasi setelah operasi. Ada berbagai tes yang dapat dilakukan untuk
melihat apakah seseorang dapat memperoleh manfaat dari portacaval shunt. Tes darah dan
biopsi hati dapat mengetahui perkiraan tingkat kerusakan hati. Tes yang menentukan fungsi
hati mungkin juga dapat menggambarkan perlunya pirau portacaval. (Nurdianah, 2014)

Kesimpulan

Sistem digestivus terdiri dari traktus digestivus dan asesorisnya. Traktus digestivus
/alimentary canal yaitu terdiri dari rongga mulut, oesophagus, lambung, small intestine, large
intestines, rectum, anus. Sedangkan, organ asesorisnya yaitu gigi, lidah, kelenjar saliva, hati,
empedu, dan pancreas.
DAFTAR PUSTAKA

Azmi, I. 2017. Hubungan berat ringannya sirosis hepatis dengan derajat varises esofagus
di RSUP Dr. M. Djamil Padang (Skripsi). Padang: Universitas Andalas.

Isselbacher., Dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa Asdie
Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC

Karina. 2007. Faktor resiko kematian penderita sirosis hati di RSUP Dr. Kariadi Semarang
tahun 2002-2006 (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.

Lindseth, GN. 2013. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam: Price SA,
Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit volume 1. Edisi ke 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 472-515.

Lovena, A., Dkk. 2015. Karakteristik pasien sirosis hepatis Di RSUP Dr. M. Djamil
Padang (Skripsi). Padang: Universitas Andalas.

Noer, S. 1996. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”, Balai Penerbit FK-UI, Jilid 1,
Edisi ketiga, Jakarta. Hal 271-279.

Nurdjanah, S. 2009. Sirosis hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 5. Jakarta: Internal
Publishing; 668-673.

Oktora, MZ. 2007. Hubungan kadar hemoglobin dan jumlah trombosit dengan berat sirosis
hati terhadap penyakit yang dirawat di bagian penyakit dalam RSUP Dr. M.
Djamil Padang (Skripsi). Padang: Universitas Andalas.

Richard, S., Dkk. 2002. ANATOMI KLINIS: Berdasarkan Sistem. Penerbit Buku
Kedokteran. ECG.

Sherlock, S. 2018. “Disease of the liver and biliary system”. Fifth edition, Blackwell
Scientific Publications, Hal 425-439.

Anda mungkin juga menyukai