Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 4


BLOK SISTEM MATA & THT

DISUSUN OLEH:

Nama : Yuni Asmilawati


NIM : 019.06.0094
Kelas :B
Kelompok : 10
Modul : Mata & THT
Dosen : dr. Baiq Novaria Rusmaningrum, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2021/2022

1|LBM 4
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 4 yang berjudul “Hidungku Mampet” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 4 yang berjudul “Hidungku Mampet” meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Novaria Rusmaningrum, S.Ked. sebagai dosen fasilitator kelompok
SGD 10 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 29 Oktober 2021


Hormat Saya

Penyusun

2|LBM 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................2

BAB I.................................................................................................................................3

PENDAHULUAN..............................................................................................................3

1.1 Skenario LBM 4......................................................................................................3

1.2 Deskripsi Masalah...................................................................................................3

BAB II................................................................................................................................8

PEMBAHASAN................................................................................................................8

2.1 Pembahasan Sesuai Diskusi SGD............................................................................8

BAB III........................................................................................................................34

PENUTUP....................................................................................................................34

3.1 Kesimpulan.............................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................35

3|LBM 4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM 4


“HIDUNGKU MAMPET”

Sesi I
Nn. S usia 17 tahun datang ke Puskesmas, dengan keluhan hidung mampet
sejak 3 hari. Hidung mampet disertai meler yang dirasakan terutama saat pagi
hari. Keluhan lain seperti bersin-bersin diakui. Keluhan seperti batuk, demam,
nyeri wajah disangkal. Nn.S seseorang pelajar dan mengeluhkan aktivitas belajar
menjadi terganggu. Pasien menyangkal memiliki alergi. Dari hasil wawancara
ayah Nn.S memiliki riwayat penyakit asma. Hasil pemeriksaan otoskopi ADS:
dalam batas normal. Rinoskopi anterior: terdapat kelainan. Pemeriksaan faring:
dalam batas normal. Setelah melakukan pemeriksaan dokter memberikan obat dan
edukasi kepada pasien. Pasien bertanya apa penyebab keluhannya dan apakah bisa
sembuh?

1.2 Deskripsi Masalah


Berdasarkan skenario diatas kelompok kami mengajukan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan pasien mengalami hidung mampet disertai
meler dan bersin-bersin terutama pada pagi hari?
2. Apa hubungan hidung mampet yang dialami pasien dengan riwayat
asma ayahnya?
3. Apakah terdapat hubungan usia pasien dengan keluhan yang dialami?
4. Pemeriksaan awal yang dapat dilakukan pada pasien?
5. Tatalaksana awal dan edukasi yang diberikan pada kasus pada skenario?
6. Apakah keluhan pada skenario bisa sembuh atau tidak?
7. DD dari skenario?

4|LBM 4
Apa yang menyebabkan pasien mengalami hidung mampet
disertai meler dan bersin-bersin terutama pada pagi hari?
Tingginya kelembaban udara di pagi hari dapat meningkatkan
sekresi histamin saat udara dingin. Histamin akan merangsang
reseptro H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga menyebabkan rinore
(hidung meler). Efek lain dari histamin yang berkaitan dengan
reseptornya di pembuluh darah adalah vasodilatasi. Vasodilatasi
sinusoid akibat histamin akan menyebabkan terjadinya penyumbatan
rongga hidung.
Apa hubungan hidung mampet yang dialami pasien dengan
riwayat asma ayahnya?
Risiko orang tua dengan riwayat asma yang mempunyai
anak dengan asma tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga
dengan asma disertai dengan salah satu atopi. Asma merupakan
sindroma klinik yang dihasilkan oleh kombinasi faktor genetiik dan
lingkungan dalam patogenesisnya. Sebagai complex genetics disorder,
asma memiliki korelasi positif dengan riwayat atopi (alergi) di dalam
keluarga. Lebih dari 100 gen terlibat di dalam patogenesis asma, salah
satunya ADAM 33. Gen ini hanya terdapat di fibroblas saluran
pernapasan dan hal ini yang menjadi dasar kuat keterlibatannya dalam
patogenesis asma.
Apakah terdapat hubungan usia pasien dengan keluhan yang
dialami?
Umur juga memegang peranan penting, dimana dijelaskan
pada penelitian bahwa rhinitis alergi terjadi pada semu usia, dengan
prevalensi paling tinggi pada usia 13-14 tahun. Sebanyak 80%
terdiagnosis karena gejala muncul sebelum usia 20 tahun.
Pemeriksaan awal yang dapat dilakukan pada pasien?

5|LBM 4
Pemeriksaan pada pasien didapatkan melalui anamnesis,
pemeriksaan dan pemeriksaan penunjang. 1) anamnesis, dilihat
mencakup evaluasi gejala seperti rinore, hidung gatal, bersin-bersin
dan hidung tersumbat, 2) pemeriksaan fisik, dilakukan dengan menilai
internal kondisi eksternal dan internal dari hidung. Pada pemeriksaan
fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Pada
pemeriksaan fisik dicari gatal pada hidung, adanya sekret dan kelainan
lain yang menghambat pernapasan melalui hidung, 3) pemeriksaan
penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET) untuk mengetahui riwayat alergi pada pasien,
walaupun pada skenario pasien menyangkal tidak adanya riwayat
alergi.
Tatalaksana awal dan edukasi yang diberikan pada kasus pada
skenario?
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak
dengan pencetus dari timbulnya keluhan. Seperti kelembaban
udara pada pagi hari yang tinggi, dapat dihindari dengan
dilakukan hirup air hangat, memakai selimut, bisa memakai
masker dan mengonsumsi makan yang hangat.
2. Menjaga higienitas rumah, menggunakan penyaring udara,
menggunakan sarung bantal dan seprei dengan bahan yang
sulit ditembus tungau debu, mencuci kasur dan bantal pada
suhu tinggi (55ᴼ-60ᴼ), menjaga kelembaban <50%.
Apakah keluhan pada skenario bisa sembuh atau tidak?
Berdasarkan keluhan pada pasien di skenario diduga
mengalami rhinitis alergi. Penyakit rhintis alergi merupakan salah satu
penyakit inflamasi kronik yang memang tidak bisa disembuhkan,
tetaoi gejalanya bisa diredakan dan dikendalikan melalui langkah
penanganan yang tepat.

6|LBM 4
DD dari skenario?
Berdasarkan kasus pada skenario kelompok kami mengajukan 2
diagnosis banding yakni:
1. Rhinitis
2. Sinusitis
3. Polip Hidung

7|LBM 4
BAB II

PEMBAHASAN

DATA TUTORIAL

Hari/tanggal : Senin, 25 Oktober 2021


Tutor : dr. Novaria Rusmaningrum, S.Ked.
Ketua : Ni Made Dwita Wiwahani
Sekretaris : Gentani Mayang Sari

2.1 Pembahasan Sesuai Diskusi SGD


ANATOMI, HISTOLOGI, FISIOLOGI HIDUNG
1. Anatomi Hidung
a. Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid
hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta
persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung,
2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela
dan 6) lubang hidung (nares anterior) (Sobotta, 2016).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka terdiri atas 1)
tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila,
3) prosesus nasalis os frontalis, sedangkan kerangka tulang
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu a) sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, b) sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan
4) tepi anterior kartilago septum (Sobotta, 2016).

8|LBM 4
Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk
terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh
septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan cavum nasi
dengan nasofaring (Sobotta, 2016).
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding
medial ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina
perpendikularis os ethmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os
maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada
bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,

9|LBM 4
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung
(Sobotta, 2016).
Pada dinding lateral terdapat 4 buah concha. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah adalah concha inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah concha medial, lebih kecil
lagi ialah concha superior, sedangkan yang terkecil disebut
concha suprema. Concha suprema ini biasanya rudimenter.
Concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat
pada os maksila dan labirin ethmoid, sedangkan concha
media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin ethmoid (Sobotta, 2016).
Diantara concha-concha dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung
dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
meatus media, dan meatus superior. Meatus inferior
terletak di antara concha inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara concha media dan dinding lateral
rongga hidung. Meatus medius terdapat pada muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus ethmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara concha
superior dan concha media terdapat muara sinus ethmoid
posterior dan sinus sphenoid (Sobotta, 2016).

10 | L B M 4
b. Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupaka salah satu organ tubuh manusia
yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi
pada tiap individu. Ada empat pasang sinus parasanal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxillaris, sinus
frontalis, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis kanan
dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam
rongga hidung (Patrick & Robert, 2012).

11 | L B M 4
1. Sinus Maxilaris
Sinus maxilaris merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Saat lahir sinus maxilaris bervolume 6-8
ml, sinus kemudia berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml
saat dewasa. Sinus maxilaris berbentuk piramid.
Dinding anterior sinus adalah permukaan facial os
maxilaris yang disebut fossa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maxila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah orbita
dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maxilaris berada di
sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum ethmoid (Patrick & Robert, 2012).
2. Sinus Frontalis
Sinus frontalis terletak di os frontal mulai terbentuk
sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel
resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
ethmoid(Patrick & Robert, 2012).
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan
oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
dari 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalisnya tidak berkembang. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontalis biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak
ada gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk

12 | L B M 4
dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontalis dipisahkan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dan sinus frontalis
mudah menjalar ke daerah ini (Soepardi, 2017).
Sinus frontalis berdrenase melalui ostiumnya yang
terletak di resesus frontal, yang berhubungan
dengan infundibulum ethmoid (Patrick & Robert,
2012).
3. Sinus Ethmoidalis
Pada orang dewasa bentuk sinus ethmoidalis seperti
piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan
1,5 cm di bagian posterior (Patrick & Robert,
2012).
Sinus ethmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-
sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di
dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang
terletak di antara konka media dan dinding medial
orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus ethmoidalis dibagi
menjadi sinus ethmoidalis anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus ethmoidalis posterior
yang bermuara di meatus superior (Patrick &
Robert, 2012).
4. Sinus Sphenoidalis
Sinus sphenoidalis terletak dalam os sphenoid di
belakang sinus ethmoid posterior. Sinus sphenoid
dibagi oleh 2 sekat yang disebut septum
intersphenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya,

13 | L B M 4
dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian
lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi
pada dinding sinus sphenoid (Patrick & Robert,
2012).
Batas-batasnya adalah, sebelah superior terdapat
fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya atas nasofaring, sebelah lateral
berbatasan dengan sinus cavernosus dan arteri
karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons (Patrick & Robert,
2012).
2. Histologi Hidung
a. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara
histologi dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan
(mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian
besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu yang mempunyai silia (silia
pseudostratified collumner epithelium) dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated
epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu
sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah

14 | L B M 4
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan (Patrick &
Robert, 2012).
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous
blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat
tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid (Patrick & Robert,
2012).
b. Sistem Transpor Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem
pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri,
jamur dan partikel berbahaya yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh
kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan
oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa
submukosa (Patrick & Robert, 2012).
Bagian bawah palut lendir terdiri dari cairan serosa
sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mukus yang
lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma
seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen.
Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim,
inhibitor lekoprotease sekretorik. dan IgA sekretorik (s-
IgA) (Patrick & Robert, 2012).
3. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori
fungsional, fungsi fisiologi hidung dan sinus paranasal adalah: 1)
fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran

15 | L B M 4
tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu
karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik yang berguna
untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4) fungsi statik
dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas, 5) refleks nasal (Guyton& Hall,
2016)
1. Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem
respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh
palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh
uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi
oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan
terjadi sebaliknya (Guyton& Hall, 2016).
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar
37ᴼC. Fungsi mengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya
permukaan konka dan septum yang luas. Selain itu, bulu
hidung yang terdapat dalam rongga hidung juga berperan
dalam melembabkan dan menyaring partikel-partikel
berukuran besar yang ikut masuk saat inspirasi (Guyton&
Hall, 2016)
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup
bersama udara akan disaring di hidung oleh: a) rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir.
Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan

16 | L B M 4
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin (Guyton& Hall, 2016).
2. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan
pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap
rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas
dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra
pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang
berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa
manis strawberi, jeruk, pisang dan coklat. Juga
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam
jawa (Guyton& Hall, 2016).
3. Fungsi Fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara
ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonasi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia) (Guyton& Hall, 2016).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata
dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara
(Guyton& Hall, 2016).

4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskular dan
pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan napas berhenti. Rangsangan bau tertentu

17 | L B M 4
akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas (Guyton& Hall, 2016).
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
1. Rhinitis
a. Rhinitis Alergi
 Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Soepardi, 2017).
 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalasi, yang masuk bersama dengan
udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah
(D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis),
kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,
anjing), rerumputan (bermuda grass) serta jamur
(Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna,
berupa makanan dan minuman, misalnya susu,
sapi, telur, coklat, ikat laut, udang, kepiting dan
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan
atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak
kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
(Soepardi, 2017).

18 | L B M 4
 Manifestasi Klinis
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer
dari hidung (rinore), bersin, hidung tersumbat dan
rasa gatal pada hidung (trias alergi). Bersin
merupakan gejala khas, biasanya terjadi berulang,
terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali
sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya
rhinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyaknya
air mata (Soepardi, 2017).
 Klasifikasi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam
berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay
fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen)
dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang
tepat ialah pollinosis.
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial).
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten
atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi
dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab
yang paling sering ialah alergen inhalan,
terutama pada orang dewasa dan alergen
ingestan (Soepardi, 2017).
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

19 | L B M 4
2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi:
1. Intermiten (kadang- kadang): bila gejala
kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap: bila gejala lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan, untuk derajat berat ringannya penyakit,
rhinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur,
gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain
yang menggangu.
2. Sedang-Berat, bila tedapat satu atau lebih dari
gangguan yang tidak terdapat pada gangguan
ringan.
(Soepardi, 2017).
The Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma
(ARIA) mengklasifikasikan rhinitis alergi
berdasarkan lama gejala dan beratnya gejala:

20 | L B M 4
b. Rhinitis Vasomotor
 Definisi
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik
yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, β-bloker, aspirin, clorpromazin dan
obat topikal hidung dekongestan) (Soepardi, 2017).
 Etiologi
Pada rhinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan
oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap
rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman
berakohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin
dan pemasan ruangan, perubahan kelembaban,
perubahan suhu luar, kelelahan dan stres/emosi
(Soepardi, 2017).
 Manifestasi Klinis
Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip
dengan rhinitis alergi, namun gejala yang dominan
adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat
rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang
disertai dengan gejala mata (Soepardi, 2017).
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap
rokok dan sebagainya (Soepardi, 2017).
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini
dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:
1. Golongan bersin (sneezers), gejala
biasanya memberikan respon yang baik

21 | L B M 4
dengan terapi antihistamin dan
glukokortikoid topikal.
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat
diatasi dengan pemberian anti kolinergik
topikal.
3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti
umumnya memberikan respon yang baik
dengan terapi glukokortikosteroid topikal
dan vasokonstriktor oral (Soepardi, 2017).
2. Sinusitis
a. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus
paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis
sehingga disebut rinosinusitis (Soepardi, 2017).
b. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi,
rhinitis hormonla pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi
konka, sumbatan komplek ostio-meatal (KOM), infeksi
tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma Kartagener dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik (Soepardi, 2017).
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting
penyebab sinusitis. Selain itu, faktor lain yang juga
berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-
lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia
(Soepardi, 2017).

22 | L B M 4
c. Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat


disertai nyeri/ rasa tekan pada muka dan ingus purulen,
yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip).
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang
terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-
kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain).
Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu
(Soepardi, 2017).
3. Polip Hidung
a. Definisi
Polip hidung merupakan massa lunak yang mengandung
banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih
keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip
dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan,
dari usia anak-anak sampai lanjut usia. Bila ada polip pada
anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan
meningokel atau meningoensefalokel (Soepardi, 2017).
b. Etiologi
Dahulu diduga predisposisi timbulnya polip hidung adalah
rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak
penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli
sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip hidung

23 | L B M 4
masih belum diketahui dengan pasti (idiopatik) (Soepardi,
2017).
c. Manifestasi Klinis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa
tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang
jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin
disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder
mungkin didapat post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut,
suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan
kualitas hidup (Soepardi, 2017).
PENENTUAN DIAGNOSIS KERJA
Gejala dan Rhinitis Sinusitis Polip Hidung
Tanda Rhintis Alergi Rhintis
Vasomotor
Hidung (+) (+) (+) (+)
mampet
disertai meler
Dirasakan (+) (+) +/- (-)
lebih biasa
pagi hari
Bersin-bersin (+) +/- +/- (+)

Batuk (-) (-) (+) (-)

Demam (-) (-) (+) (-)

Skin test (+) (-) (-) (-)


Nyeri wajah (-) (-) (+) (+)

24 | L B M 4
IgE meningkat (+) (-) (-) (-)
Gejala Khas o Allergis shiner Hidung Nyeri/rasa Sakit kepala di
(terdapat tersumbat, tekan pada daerah frontal
gambaran bergantian kiri wajah dan Hiposmia/anosmia
bayangan dan kanan ingus
gelap dibawah tergantung purulen
mata) pada posisi
o Allergic salute pasien
(menggosok-
gosok hidung
dengan
punggung
tangan)
o Allergic crease
(timbulnya
garis
melintang di
dorsum nasi
bagian 1/3
bawah

Berdasarkan penjelasan diatas dari definisi, etiologi, serta


manifestasi klinis dari masing-masing diagnosis banding yang diajukan
serta berdasarkan penjelasan tabel diatas, saya menegakkan diagnosis
kerja pada skenario adalah Rhinitis alergi intermiten sedang-berat. Pasien
pada skenario masih pada fase intermiten karena gejala yang timbul masih
dalam waktu 3 hari dan derajatnya masuk sedang-berat karena sudah
mengganggu aktivitas belajar pasien pada skenario.

25 | L B M 4
EPIDEMIOLOGI
Rhinitis alergi terjadi pada semu usia, dengan prevalensi paling
tinggi pada usia 13-14 tahun. Sebanyak 80% terdiagnosis karena gejala
muncul sebelum usia 20 tahun. Prevalensi laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan. Berdasarkan studi oleh International Study of
Asthma and Allergies is Children (ISAAC), gejala atopi seperti
rinokonjungtivitis alergi, asma, dan dermatitis atpi bervariasi di setiap
negara. Prevalensi tinggi dilaporkan terjadi di negara berkembang dan
industri seperti Inggris, Australia, Selandia Baru, Irlandia dan Amerika.
Prevalensi rendah dilaporkan terjadi pada Eropa Timur, Indonesia,
Yunani, Cina, Taiwan, Uzbekistan, India dan Ethiopia (Tanto, 2016).
FAKTOR RISIKO
1. Riwayat keluarga. Hanya sebanyak 13% kasus atopi tanpa disertai
riwayat keluarga. Risiko meningkat menjadi 29% bila salah satu
orang tua atau saudara kandung memiliki atopi, 47% bila kedua
orang tua atopi, 72% bila kedua orang tua memiliki atopi yang sama.
2. Usia < 20 tahun, bila awitan baru muncul > 20 tahun maka lebih
dicurigai rhinitis non alergi.
3. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko
untuk tumbuhnya jamur, sehingga dapat timbul gejala alergi.
4. Terpaparnya debu, tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
suhu yang tinggi.
5. Kurangnya paparan terhadap hewan dan mikroorganisme saat awal
kehidupan.
6. Pemberian makanan atau formula terlalu dini (Tanto, 2016).
PATOFISIOLOGI
Rhinitis alergi merupakan suatu inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic
Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase

26 | L B M 4
Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah di proses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel
T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin
seperti interleukin 1(IL1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
(IgE), IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT C2), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF)
dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut
sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC) (Soepardi, 2017).

27 | L B M 4
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinuosoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1) (Soepardi,
2017).

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan rinoskopi anterior: pada pemeriksaan ini
tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
2. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-
gosok hidung, karena gatal dengan punggung tangan.

28 | L B M 4
Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok-gosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.
3. Pada pemeriksaan mulut: didapatkan hasil mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
(facies adenoid). Lidah tampak seperti gambaran perta
(geographic tongue).
4. Pemeriksaan faring: didapatkan dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone apprearance),
serta dinding lateral faring tampak menebal (Soepardi,
2017).
Pemeriksaan Penunjang
1. In Vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtiaria. Selain itu, pemeriksaan sitologi
hidung dari sekret hidung atau kerokan mukosa walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil
( > 5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Soopardi, 2017).
2. In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan:

29 | L B M 4
a. Tes cukit kulit (skin prick test): menguji dengan alergen
tungau debu, sel kulit mati hewan, kecoa, dan serbuk bunga
sesuai lingkungan. Hasil positif bila terdapat reaksi bentol
kemerahan (wheal and flarel) lebih besar 3 mm dari
kontrol.
b. Tes intradermal (SET): SET (Skin End-point Titration),
dilakukan dengan untuk alergi inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Hasil positif bila terdapat reaksi
bentol kemerahan (wheal and flarel) lebih besar 4 mm dari
kontrol. Kemungkinan positif palsu lebih besar dari tes
cukit kulit (Tanto, 2016).

TATALAKSANA FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI & KIE


Farmakologi
Tatalaksana farmakologi tergantung dari lama dan berat-ringannya gejala.
Pengobatan medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal, maupun
kombinasi dari antihistamin H1 generasi satu maupun generasi dua,
kortikosteroid intranasal dan stabilitator sel mast. Imunoterapi spesifik
dianjurkan pada semua penderita rhinitis kategori berat. Tindakan bedah
hanya dilakukan pada kasus selektif misalnya sinusitis dengan air fluid
atau deviasi septum nasi.
1. Rhinitis alergi intermiten
 Ringan
Antihistamin H1 generasi 1, misalnya CTM 0,25
mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila terdapat gejala hidung
tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
 Sedang-Berat
Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25
mg/kg/kali diberikan sehkali sehari atau 2 kali sehari pada

30 | L B M 4
anak-anak < 2 tahun, atau generasi ketiga seperti
desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun. Bila
tidak ada perbaikan atau bertambah berat dapat diberikan
kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3
dosis, paling lama 7 hari.
2. Rhinitis alergi persisten
 Ringan
Antihistamin generasi II (Cetirizin) jangka lama. Bila
gejala tidak membaik dapat diberikan kortikosteroid
intranasal misalnya mometason furoat atau flutikason
propionat.
 Sedang- Berat
Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan
evaluasi setelah 2-4 minggu. Bila diperlukan ditambahkan
pula obat-obat simtomatik lain seperti rhinitis alergi
intermiten sedang-berat (Soepardi, 2017).

Tabel: Ringkasan Obat-Obar Rhinitis Alergi


Golongan Obat Nama Genetik Mekanisme Kerja Efek Samping

Antihistamin H1 oral Generasi II: Menghambat reseptor H1 Generasi II


Cetirizin Beberapa aktivitas anti- Tidak terjadi sedasi
Loratadin alergi pada kebanyakan obat
Fexofenadin Obat generasi baru dapat Tidak ada efek
Azelastin diberikan satu kali sehari antikoinergik
Olofatadin Tidak menimbulkan Tidak ada
takifilaksis kardiotoksisitas
Generasi I Generasi I
Clorpheniramine maleate  Umumnya
Diphenhydramine menyebabkan

31 | L B M 4
sedasi
 Efek
antikolinergik
Kotikosteroid intranasal Ciclesonide  Mengurangi  Efek samping
Fluticasone furoate hiperaktivitas hidung lokal ringan
Fluticason propionate  Sangat poten  Batas keamanan
Mometasone furoater mengurangi inflamasi yang lebar
hidung terhadap efek
sistemik
 Gangguan
pertumbuhan
akibat beberapa
molekul tertentu
Dekongestan oral Pseudoephedrine  Obat golongan  Hipertensi
Ephedrine simpatomimetik  Palpitasi
Fenilefrin  Menghilangkan gejala  Gelisah
sumbatan nasal  Agitasi
 Tremor
 Insomnia
 Sakit kepala
 Retensi urine

Non Farmakologi & KIE


1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
pencetus dari timbulnya keluhan. Seperti kelembaban udara pada
pagi hari yang tinggi, dapat dihindari dengan dilakukan hirup air
hangat, memakai selimut, bisa memakai masker dan mengonsumsi
makan yang hangat.
2. Menjaga higienitas rumah, menggunakan penyaring udara,
menggunakan sarung bantal dan seprei dengan bahan yang sulit

32 | L B M 4
ditembus tungau debu, mencuci kasur dan bantal pada suhu tinggi
(55ᴼ-60ᴼ), menjaga kelembaban <50%.
3. Cuci hidung dengan cairan salin (NaCl 0,9%) (Tanto, 2016).
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip Hidung
Beberapa penelitian mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan
salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.
b. Otitis media efusi yang sering residif, teruma pada anak-anak.
c. Rhinosinusitis (Soepardi, 2017).
Prognosis
Prognosis yang dapat kami duga untuk kasus rhinitis alergi fase
intermiten derajat sedang-berat adalah dubia ed bonam jika diatasi juga
dengan tatalaksana farmakologi dan non farmakologi yang tepat serta
alergen penyebab dapat dihindari. (IDI, 2017).
- Ad vitam : Bonam
- Ad functionam : Bonam
- Ad sanationam : Bonam

33 | L B M 4
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa scenario


LBM 4 yang berjudul “Hidungku Mampet” mengalami Rhinitis alergi
intermiten sedang-berat. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diberikan
pada skenario. Dari diagnosis ini tentunya diharapkan mampu
memberikan tatalaksana yang sesuai dengan terapi farmakologi dan non
farmakologi setelah mengetahui dengan pasti penyebab terjadinya rhintis
alergi. Penanganan rhintis alergi dilakukan dengan pengenalan sedini
mungkin. Tatalaksana awal yang dilakukan adalah evaluasi faktor risiko
rhintis alergi. Terapi diberikan untuk mengatasi keluhan dan mengobati
gangguan OMA serta mencegah terjadinya rekuren. Sebelum dilakukan
terapi perlu diketahui kepekaaan dan reaksi alergi pasien terhadap terapi
yang akan diberikan. Selain itu, prognosis yang dapat kami duga untuk
kasus dalam skenario adalah dubia ad bonam.

34 | L B M 4
DAFTAR PUSTAKA

Nagel, Patrick., Gurkov Robert. 2012. Dasar-Dasar Ilmu THT.2th ed.


Jakarta: EGC

Sherwood L. 2016. Introduction to Human Physiology. 9th ed. Canada:


Nelson education.

Hall. John, et all. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology
12th. Jakarta: Elvesier

Tanto, Christ, dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 5 Jilid II.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.

Soepardi, E., Iskandar, N., Bashiruddin, J., et al. 2017. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT Kepala dan Leher.7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.[ebook].

35 | L B M 4

Anda mungkin juga menyukai