BLOK 7
Kelompok 6
Tutor: dr. Ratika Febriani, M. Biomed
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya lah yang diberikan kepada kami dalam penyusunan laporan
tutorial skenario blok VII yang dilakukan secara daring di Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang ini bisa terselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman
kelak.
Dalam penyusunan laporan tutorial ini, kami mengucapkan terimakasih
banyak atas bimbingan, pengarahan, dan bantuan yang telah diberikan oleh
beberapa pihak sehingga terselesaikannya laporan kegiatan ini dengan baik. Penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan nikmat yang
masih dapat kita rasakan hingga saat ini.
2. dr. Ratika Febriani, M. Biomedselaku dosen pembimbing tutorial
skenario E blok VI.
3. Semua pihak yang terlibat dan turut serta membantu dalam
meyelesaikan laporan ini.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari bahwa laporan ini masih
sangat jauh dari kata sempurna, dari segi materi, maupun penyusunan kata-kata.
Maka dari itu, semua bentuk kritik dan saran yang sangat diharapkan untuk
membantu kami agar kedepan nya laporan tutorial ini dapat lebih baik lagi.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I ....................................................................................................................... 1
BAB II ...................................................................................................................... 2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Blok sistem pertahanan tubush dan infeksi adalah blok ke tujuh pada
semester 2 dari kurikulum berbasis kompetensi pendidikan dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus pada skenario E yang
memaparkan kasus dengan judul “Sendiku Sakit”
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran Kurikulum Berbasis e-learning di Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2.1 Skenario Kasus
Skenario E Blok VII
“ Sendiku Sakit”
Nona A umur 20 tahun datang poli umum RS Muhammadiyah Palembang
dengan keluhan utama nyeri sendi sejak 2 bulan yang lalu. Nn. A juga mengeluh
sering demam yang hilang timbul, berkurang saat minum obat ibuprofen dan
kambuh 2-3 kali perbulan. Nn. A berobat ke Puskesmas, dikatakan demam thypoid
lalu dirujuk ke Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Sejak 6 bulan yang lalu, Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri. Dua bulan yang lalu di daerah pipi muncul
bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari. Riwayat keluarga
tidak ada penyakit seperti ini.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum sakit sedang, sensorium kompos mentis,
Tanda Vital: frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 80x/mt, suhu 37.4° C,
tekanan darah: 120/80 mmHg.
Keadaan Spesifik:
Kepala : alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), muka :
malar rash (+), mulut : ulserasi di langit mulut (+).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung/paru: dalam batas normal.
Abdomen : hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas : pergelangan tangan dan kaki: pembengkakan/merah (+), akral
hangat.
Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb: 11,7 gr/dL, Eritrosit 4.5x106/uL, Lekosit : 6000/uL, Trombosit
178.000/uL, hitung jenis 0/2/2/51/34/11. Ht 34 vol%, retikulosit 0,5 %, LED :
100 mm/jam,
Urin rutin : dalam batas normal
3
2.3 Klarifikasi istilah
1. Alopesia: tidak adanya rambut pada daerah kulit tempatnya biasa tumbuh
(Dorland, edisi 30)
2. Malar rash: ruam malar atau ruam kupu-kupu yang menutupi pipi dan
pangkal hidung yang disebut juga butterfly rash (Dorland, edisi 30)
3. Compos mentis: esadaran normsl atau sadar penuh (Dorland, edisi 30)
8. LED: Laju endap darah adalah kecepatan sel - sel darah merah mengendap
di dalam tabung uji dengan satuan mm/jam (Dorland, edisi 30)
9. Demam: suhu badan lebih tinggi dari biasanya karena sakit (KBBI, 2017)
4
2. Sejak 6 bulan yang lalu, Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri. Dua bulan yang lalu di daerah pipi
muncul bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari.
Riwayat keluarga tidak ada penyakit seperti ini.
3. Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum sakit sedang, sensorium kompos mentis,
Tanda Vital: frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 80x/mt, suhu 37.4°
C, tekanan darah: 120/80 mmHg.
Keadaan Spesifik:
Kepala : alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),
muka : malar rash (+), mulut : ulserasi di langit mulut (+).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung/paru: dalam batas normal.
Abdomen : hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas : pergelangan tangan dan kaki: pembengkakan/merah (+), akral
hangat.
4. Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb: 11,7 gr/dL, Eritrosit 4.5x106/uL, Lekosit : 6000/uL,
Trombosit 178.000/uL, hitung jenis 0/2/2/51/34/11. Ht 34 vol%, retikulosit
0,5 %, LED : 100 mm/jam, Urin rutin : dalam batas normal
5
2.6 Analisis Masalah
6
inflamasi meningkat (IL1, IL6, TNF-A, PGE2) sendi bengkak,
merah, panas dan nyeri (Tarigan, N. S. 2015)
7
demam. Suhu rektal umumnya 0,6 °C (1,0 °F) lebih tinggi dari
pembacaan lisan. Demam yang tidak diketahui asalnya (FUO)
didefinisikan sebagai suhu yang lebih tinggi dari 38,3 ° C pada
beberapa kesempatan dan berlangsung lebih dari tiga minggu,
dengan diagnosis yang tetap tidak pasti setelah satu minggu
penyelidikan.
8
glukokortikoid dosis rendah hingga sedang harus meningkatkan
kecurigaan untuk etiologi infeksi atau terkait obat, karena sebagian
besar demam karena SLE aktif hilang dengan penggunaan agen ini
(Timlin, et al., 2018)
e. Apa saja jenis jenis demam dan termasuk jenis demam apa pada
kasus tersebut?
Jawab:
1. Demam septik
9
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat
di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil
dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke
tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
2. Demam remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan
suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan
tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik
3. Demam intermiten
4. Demam kontinyu
5. Demam siklik
10
menghasilkan pembentukan panas dan konservasi panas
(Nelwan, 2014).
f. Apa makna Nn. A juga mengeluh sering demam yang hilang timbul,
berkurang saat minum obat ibuprofen dan kambuh 2-3 kali
perbulan?
Jawab:
Makna Nn. A juga mengeluh sering demam yang hilang timbul
adalah Nn. A mengalami demam jenis intermitten. Makna demam
berkurang saat minum obat ibuprofen dan kambuh 2-3 kali perbulan
adalah waktu paruh obat ibuprofen telah habis sehingga demam
timbul lagi. Obat ibuprofen merupakan obat antipiretik yang
berfungsi untuk menghambat pembentukan prostaglandin,
prostasiklin, dan tromboxan. jika inflamasinya dapat ditekan,
pembentukan prostaglandin terhambat, maka demam akan turun.
11
Ibuprofen merupakan obat Non Steroidal Anti-Inflamantory Drugs
(NSAID) atau sering disebut dengan analgetik- antipiretika
merupakan obat yang bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf
pusat. Obat ini digunakan mengurangi rasa sakit yang ringan sampai
moderat (analgesik), untuk menurunkan suhu badan pada keadaan
panas badan yang tinggi (antipiretik) dan sebagai anti radang untuk
pengobatan rematik (antiradang atau antiinflamasi) (Ningtyas dkk,
2015).
12
(masing-masing sulindac sulfide dan valdecoxib). NSAID sangat
terikat pada protein plasma. NSAID biasanya dimetabolisme di hati
dan diekskresikan dalam urin. Obat NSAID yang umum memiliki
waktu paruh yang bervariasi; mereka bisa di mana saja dari 0,25-0,3
jam seperti aspirin atau 45-50 jam seperti piroksikam. Semua
parameter farmakokinetik ini dapat berubah seiring bertambahnya
usia karena orang tua memiliki air tubuh yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa. Pengikatan protein dapat
dikurangi dan volume distribusi dapat diubah (Wongrakpanich, et
al., 2018)
• Farmakodinamik
Secara umum kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan
antipiretik adalah dengan cara inhibisi pada jalur produksi
prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin I2
(PGI2), yang bertanggung jawab dalam mencetuskan rasa nyeri,
inflamasi dan demam. Ibuprofen menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase I dan II, sehingga terjadi reduksi pembentukan
prekursor prostaglandin dan tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi
penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim sintase
prostaglandin. (Bushra, 2018)
• Farmakokinetik
Farmakokinetik ibuprofen ditinjau dari aspek absorpsi,
metabolisme, distribusi, dan eliminasi obat.
1. Absorpsi
Ibuprofen cepat diabsorpsi, setelah konsumsi per oral.
Bioavailabilitas obat adalah 80%. Ibuprofen lysine, atau garam
ibuprofen lebih cepat diabsorpsi dibandingkan jenis asam
ibuprofen. Konsentrasi puncak ibuprofen lysine, atau garam
ibuprofen adalah sekitar 45 menit, sedangkan asam ibuprofen
adalah sekitar 90 menit. Konsentrasi puncak ibuprofen dalam
13
serum umumnya berlangsung sekitar 1‒2 jam. Bioavailabilitas
obat hampir tidak dipengaruhi oleh makanan. Juga tidak
terdapat interferensi absorpsi ibuprofen, apabila diberikan
bersamaan dengan antasida, baik yang mengandung aluminium
hidroksida, maupun magnesium hidroksida. (Moore RA, et all.,
2015)
2. Metabolisme
Ibuprofen secara cepat dimetabolisme di dalam hati,
menghasilkan metabolit-metabolit seperti asam propionik fenil
hidroksimetil propil, dan asam propionik fenil karboksipropil.
3. Distribusi
Ibuprofen didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, terutama
terkonsentrasi dalam cairan sinovial. Keberadaan obat
ibuprofen dalam cairan sinovial adalah lebih lama daripada
dalam plasma. Obat ini terikat pada protein sekitar 90‒99%,
terutama dengan albumin.
4. Eliminasi
Waktu paruh obat dalam serum adalah sekitar 1,8 hingga 2 jam.
Ekskresi ibuprofen lengkap dalam 24 jam, setelah dosis terakhir.
Sekitar 45%‒79% dari dosis obat yang diabsorpsi per oral,
ditemukan dalam urine, dalam bentuk metabolit, sedangkan
bentuk ibuprofen bebas atau terkonjugasi, masing-masing
adalah sekitar 1% dan 14% (Rainsford, K.D. 2019).
14
hipokalemia, hipoproteinemia, hipotensi, peningkatan ureum darah,
peningkatan lactic dehydrogenase (LDH), neutropenia, edema
perifer, trombositosis, retensi urin, perdarahan luka. Lihat
Kewaspadaan untuk potensi efek samping utama.
Pasien anak: Efek samping yang paling umum adalah anemia, sakit
kepala, nyeri tempat infus, mual, dan muntah.
Overdosis : Gagal ginjal akut, koma, mengantuk, nyeri epigastrium,
perdarahan GI, hipertensi, lesu, mual, depresi pernafasan, dan
muntah.
15
j. Apa indikasi dan kontraindikasi ibuprofen?
Jawab:
INDIKASI:
Kontraindikasi:
16
digunakan pada neonatus dengan paten duktus arteriosus, disfungsi
ginjal, nekrotizing enterokolitis, perforasi usus (Putri, 2018)
KONTRA INDIKASI:
- Penderita dengan ulkus peptikum (tukak lambung dan
duodenum) yang berat dan aktif
- Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap Ibuprofen dan
obat anti inflamasi non-steroid lain
- Penderita sindroma polip hidung, angiodema dan penderita
dimana bila menggunakan aspirin atau obat anti inflamasi non-
steroid lainnya akan timbul gejala asma, rinitis atau urtikaria
- Kehamilan tiga bulan terakhir
17
nyeri otot, anoreksia, mual, diare, perasaan tidak enak diperut, batuk
dan epistaksis. Pada kasus dijelaskan bahwa Nona A mengeluh nyeri
sendi dan demam yang hilang timbul, sehingga puskesmas merujuk
Nona A ke RSMP untuk pemeriksaan dan penatalaksanaan lebih
lanjut. Diagnosa demam tifoid harus didasari oleh pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan darah yang lengkap untuk mengetahui
adanya penurunan kadar hemoglobin, trombositopenia, kenaikan
LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia, leukosit normal, hingga
leukositosis. Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid adalah pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk
Salmonella typhi sebagai bakteri penyebab. Pemeriksaan lain untuk
demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM
Salmonella typhi dalam serum. Uji serologi widal mendeteksi
adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang berasal dari
somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O
aglutinin sekali periksa mencapai ≥1/200 atau terdapat kenaikan 4
kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil
negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis demam tifoid (Djoko, 2014).
18
n. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus?
Jawab:
Tingkat prevalensi lupus diperkirakan setinggi 51 per 100.000 orang
di Amerika Serikat. Insiden lupus hampir tiga kali lipat dalam 40
tahun terakhir, terutama karena perbaikan diagnosis penyakit ringan.
Perkiraan tingkat kejadian di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan
Eropa berkisar antara 2 hingga 8 per 100.000 per tahun. Wanita
terkena sembilan kali lebih sering daripada pria dan mestizo Afrika
Amerika dan Amerika Latin lebih sering terkena daripada Kaukasia,
dan memiliki morbiditas penyakit yang lebih tinggi. Penyakit ini
tampaknya lebih umum di perkotaan daripada daerah pedesaan.
Enam puluh lima persen pasien dengan SLE memiliki onset penyakit
antara usia 16 dan 55 tahun, 20% muncul sebelum usia 16 tahun, dan
15% setelah usia 55 tahun. Pria dengan lupus cenderung memiliki
lebih sedikit fotosensitifitas, lebih banyak serositis. , usia yang lebih
tua saat diagnosis, dan kematian 1 tahun yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita (Bertsias, et al., 2012).
2. Sejak 6 bulan yang lalu, Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri. Dua bulan yang lalu di daerah pipi
muncul bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari.
Riwayat keluarga tidak ada penyakit seperti ini.
19
a. Apa makna Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri?
Jawab:
Pertama Dia sering mengeluh rambut rontok: Arti dari munculnya
rambut rontok adalah kemungkinan nn.a memiliki lesi tertentu. Pada
lesi sendiri ada dua macam yang bermanifestasi pada kulit.
Pertama, kelainan lesi spesifik termasuk adanya alopecia
(kebotakan) dan nodul dalam dengan atau tanpa lesi kulit di atasnya.
Nodul ini sering terlihat di kulit kepala, wajah, tangan, dada,
punggung, paha, dan bokong.
Kedua, kelainan lesi kronis ini memiliki ciri khusus, yaitu sering
muncul warna, seolah-olah kulit menebal dan disertai dengan
tumbuhnya rambut. Gangguan kulit kronis ini umumnya terjadi di
daerah yang mudah terkena sinar matahari langsung, seperti wajah,
leher, kulit kepala dan punggung, sedangkan punggung bagian atas
agak jarang.
Sariawan di langit- langit mulut yang tidak menyakitkan:
Artinya mengalami ulserasi atau diskoid oral dan lesi ulserasi. Lesi
diskoid oral mirip dengan lesi diskoid pada kulit dimana terdapat
striae putih memancar dari pusat lesi kemerahan (brush border).
Predileksi lesi intra-oral ditemukan pada mukosa bukal, gusi dan
mukosa labial dan kemerahan terlokalisir, terutama pada palatum.
Lesi oral bersifat subakut atau simetris, superfisial dan tidak
menimbulkan jaringan parut dan umumnya mengenai bahu, bagian
ekstensor ekstremitas atas (lengan bawah), leher, dada bagian atas,
dan punggung.
Dari keluhan tersebut dapat menimbulkan manifestasi klinis SLE
(Systemic Lupus Erythematosus), manifestasi kulit merupakan salah
satu gejala yang umum ditemukan pada penderita SLE sekitar 25%,
yang dapat ditemukan pada setiap stadium penyakit. Pasien dengan
SLE biasanya memiliki kriteria diagnostik termasuk manifestasi
20
kulit dengan alopecia (kebotakan) dan borok di mulut (stomatitis).
(Sudoyo, dkk. 2017)
21
- Rambut Rontok
Faktor hormonal dan lingkungan > kesamaan molekuler >
Pengenalan autoantigen > Sel T gagal toleransi > Aktivasi CD4
sel > aktivasi sel B dan sintesis ig G > produksi sitokin sel T >
sitokin sel T mengaktifkan makrofag sinovial > sintesis sitokin
pro dan antiinflamasi > sitokin pro inflamasi yang menginduksi
sintesis sekunder sitokin, kemokin, cox-2, PLA 2, iNOS dan
molekul adhesi > sel migrasi dari darah perifer, PGE 2
meningkat, LTB 4 meningkat, dan meningkatkan NO > sitokin
pro inflamasi yang diinduksi reseptor kolagen Penggerak
Nuclear Factor Kappa Beta Ligand (RANKL) dan proliferasi
fibroblas sinovial > pembentukan imun kompleks dan aktivasi
komplemen dalam sirkulasi > deposit imun kompleks >
kerusakan jaringan > bermanifestasi ke kulit > lesi pada folikel
rambut > penyumbatan folikel rambut > Alopesia. (Concha dan
Werth, 2018).
- Sariawan di langit-langit mulut
faktor lingkungan > kesamaan molekuler > Pengakuan
autoantigen > sel T gagal toleransi > Aktivasi sel CD4 > aktivasi
sel B dan sintesis ig G > produksi sitokin sel T > sitokin Sel T
mengaktifkan makrofag sinovial > sintesis sitokin pro dan
antiinflamasi > sitokin pro inflamasi yang menginduksi sintesis
sekunder sitokin, kemokin, cox-2, PLA 2, iNOS dan molekul
adhesi > sel migrasi dari darah perifer, PGE 2 meningkat, LTB
4 meningkat, dan meningkatkan NO > sitokin pro inflamasi
yang diinduksi reseptor kolagen Penggerak Nuclear Factor
Kappa Beta Ligand (RANKL) dan proliferasi fibroblas sinovial
> pembentukan imun kompleks dan aktivasi komplemen dalam
sirkulasi > deposit imun kompleks > kerusakan jaringan >
bermanifestasi ke kulit > discoid rush > Sariawan di langit-
langit mulut. (Amalia dan Setiadi, 2019).
22
c. Apa hubungan gejala pada kasus?
Jawab:
Hubungan dan makna dari Nona A mengeluh Nyeri sendi dan gejala
rambut rontok, sariawan, bercak kemerahan akibat sinar mataharo
adalah gejala dari Systemic lupus erythematosus (SLE).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, yang dikutip
Qiminta, diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang
ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut,
adalah sebagai berikut:
1) Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga
seperti ada bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar
Rash/Butterfly Rash.
2) Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang
ditandai adanya jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan
kulit sekitarnya.
3) Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena
sengatan sinar matahari
4) Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5) Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan
bengkak. Gejala ini dijumpai pada 90% odapus.
6) Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput
pembungkusnya terisi cairan.
7) Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8) Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang,
stroke, dan lain-lain.
9) Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan
trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
10) Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
11) Gangguan sistem kekebalan tubuh.
(Roviati, 2012).
23
Jawab:
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan spektrum manifestasi klinis dan
serologis yang luas yang disebabkan oleh produksi autoantibodi,
aktivasi komplemen, dan deposisi kompleks imun. (Asad,2018)
Systemic Lupus Erythematosa (SLE atau lupus) adalah salah
satu penyakit jaringan ikat autoimun sistemik yang paling umum.
Hal ini ditandai dengan presentasi klinis yang sangat bervariasi yang
dapat berkisar dari keterlibatan kulit ringan hingga kegagalan multi-
organ yang mengancam jiwa. Tidak ada cara yang pasti untuk
menyembuhkan penyakit ini, tetapi harus dengan manajemen yang
tepat (Tanaka dkk, 2018).
24
regulasi sistem imun, hormon, genetik, lingkungan dan epigenetik
(Esfandiari, F., et all. 2020)
1. Faktor Genetik
a. Anggota keluarga dengan SLE memiliki risiko terkena
SLE (20% keturunan pertama pasien SLE menunjukkan
autoantibodi dan kelainan imunoregulasi lainnya)
b. Risiko meningkat hingga >20% pada kembar monozigot.
2. Faktor Lingkungan
a. Infeksi
Infeksi virus terutama Epstein-Barr Virus (EBV) dapat
memicu timbulnya gejala SLE. Pada penderita SLE, respon
sel T terhadap infeksi EBV tidak normal dan menyebabkan
peningkatan sel mononuklear yang terinfeksi sekaligus
meningkatkan jumlah DNA EBV dalam darah pasien SLE.
(C.M. Bartels, H.S. Diamond, et al. 2017)
b. Cahaya ultraviolet (matahari)
memicu terjadinya kerusakan DNA sehingga mengubah
ekspresi gen, menyebabkan fragmentasi asam nukleat serta
memicu apoptosis atau kematian sel, Paparan terhadap sinar
matahari merupakan pernicu timbulnya penyakit autoimun
lupus eritematosus sistemik, di mana autoantibodi
dihasilkan terhadap asam nukleat dan nukleoprotein diri
(Abbas, 2016)
c. Penggunaan obat-obat tertentu
Beberapa jenis obat menyebabkan metilasi DNA seperti
hidralazin. Hidralazin menghambat jalur sinyal yang
menyebabkan penurunan ekspresi DNA metiltransferase
yang memediasi metilasi DNA. Terganggunya proses
metilasi DNA menyebabkan gangguan ekspresi gen dan
memediasi aktivasi sistem imun (Esfandiari, F., et all. 2020)
25
d. Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di
sel epitel dan mononuklear di paru. Kondisi ini
menyebabkan modifikasi protein atau memicu proses
inflamasi nonspesifik merupakan faktor timbulnya LES
(Esfandiari, F., et all. 2020)
3. Faktor Hormonal
Perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan
dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit
LES sebelum periode menstruasi atau selama kehamilan
mendukung dugaan bahwa hormon, khususnya estrogen
menjadi pencetus penyakit LES (Esfandiari, F., et all. 2020)
2g. Apa makna klinis tidak ada Riwayat keluarga pada kasus?
Jawab:
Artinya SLE dalam hal ini bukan disebabkan oleh faktor genetik.
Kemungkinan mutasi gen karena faktor gen ini bukan satu-
satunya penyebab, karena tampaknya timbulnya penyakit dipicu
dengan cara yang tidak diketahui. Beberapa pemicu yang
dikemukakan peneliti sebagai pemicu SLE antara lain infeksi
virus, stres, diet, racun, termasuk beberapa jenis obat yang
diresepkan oleh dokter. SLE juga dipicu oleh faktor lingkungan
yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus) pada orang yang
memiliki kombinasi gen tertentu dalam sistem kekebalannya,
Dugaan sementara, lupus disebabkan oleh kombinasi antara gen
26
yang cacat dan faktor lingkungan, seperti sinar matahari, stres,
obat-obatan tertentu, hormon, infeksi dan virus tertentu
(Desmisagili, A. E. 2012).
g. Apa penyebab pada pipi muncul bercak kemerahan jika terkena sinar
matahari?
Jawab:
Paparan sinar UV dari matahari pada pasien SLE menyebabkan
stimulasi sel B dan produksi Antibodi, lalu terjadi proses inflamasi
yang kemudian merusak sel tubuh akibat kehilangan Self-Tolerance
pada sistem Imun.
27
Paparan Sinar UV => Stimulasi Keratinosit => Stimulasi Sel B =>
Produksi Antibodi => Inflamasi => merusak jaringan Kulit
h. Apa makna klinis tidak ada riwayat penyakit keluarga pada kasus
ini?
Jawab:
Artinya SLE dalam hal ini bukan disebabkan oleh faktor genetik.
Kemungkinan mutasi gen karena faktor gen ini bukan satu-satunya
penyebab, karena tampaknya timbulnya penyakit dipicu dengan cara
yang tidak diketahui. Beberapa pemicu yang dikemukakan peneliti
sebagai pemicu SLE antara lain infeksi virus, stres, diet, racun,
termasuk beberapa jenis obat yang diresepkan oleh dokter. SLE juga
dipicu oleh faktor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin
termasuk virus) pada orang yang memiliki kombinasi gen tertentu
dalam sistem kekebalannya, Dugaan sementara, lupus disebabkan
oleh kombinasi antara gen yang cacat dan faktor lingkungan, seperti
sinar matahari, stres, obat-obatan tertentu, hormon, infeksi dan virus
tertentu (Desmisagili, A. E. 2012).
28
4. Kekurangan vitamin
5. Alergi
6. Perubahan hormon
7. Penyakit tertentu
8. infeksi virus
(Rahmi, 2017).
29
secondary atrophie blanche, livedo reticularis, dan fenomena
Raynaud (Sumariyono dkk, 2019).
3. Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum sakit sedang, sensorium kompos mentis,
Tanda Vital: frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 80x/mt, suhu 37.4°
C, tekanan darah: 120/80 mmHg.
Keadaan Spesifik:
Kepala : alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),
muka : malar rash (+), mulut : ulserasi di langit mulut (+).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung/paru: dalam batas normal.
Abdomen : hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas : pergelangan tangan dan kaki: pembengkakan/merah (+), akral
hangat.
a. Apa saja interpretasi dari pemeriksaan fisik?
Jawab:
Pemeriksaan Fisik Normal Hasil Interpretasi
Sensorium Compos Mentis Normal
Frekuensi 16-24x/menit 20x/mennit Normal
Pernapasan
Denyut Nadi 80-100x/menit 80x/menit Normal
Tekanan Darah 120/80mmHg 120/80mmHg Normal
Suhu 36,5-37,5 °C 37,4 °C Normal
Kepala Alopesia ( rambut Abnormal
rontok )
Konjungtiva Tidak pucat Tidak pucat (-) Normal
Palpebra
Sklera Ikerik Tidak ikterik Tidak ikterik (-) Normal
Ruam Malar (+) Eritematosa
Mulut Tidak ulsersi Ulsersi pada langit- Abnormal
langit mulut
30
Leher Tidak terdapat Tidak terdapat Normal
perbesaran KGD perbesaran KGD
Jantung/Paru Dalam batas Dalam batas Normal
normal normal
Hepar Tidak teraba Tidak teraba Normal
Lien Tidak teraba Tidak teraba Normal
Pergelangan kaki & Tidak terdapat Terdapat Edema
tangan pemebengkakan pemebengkakan (+)
Akral Hangat Hangat Normal
31
Gambar tersebut menggambarkan jaringan kompleks dari berbagai
jenis sel imun, termasuk sel T, sel B, sel dendritik plasmacytoid dan
makrofag, yang disorot oleh analisis tersebut; interaksi antara sel-sel
ini diatur oleh sejumlah besar sitokin dan kemokin yang diatur oleh
interferon (IFN), khususnya ligan CXC-chemokine 10 (CXCL10).
Mediator pro-inflamasi ini mengatur adhesi sel ke dinding pembuluh
kulit dan migrasinya menuju epidermis melalui gradien kemokin.
Sel efektor sitotoksik menyerang keratinosit lesi, mengakibatkan
kematian sel keratinosit serta ekspresi sitokin proinflamasi dan
pelepasan kemokin proinflamasi, yang secara keseluruhan memicu
inflamasi lesi (Wenzel, 2019).
32
menghasilkan interferon (IFN)-α, yang merekrut anggota sistem
imun adaptif, termasuk Th1 dan sel T sitotoksik (CTL). Sel Th1
menghasilkan IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dan CTL dan
meningkatkan produksinya sendiri. CTLs prime KCs dan sel-sel lain
untuk apoptosis melalui granzyme B (GrB), yang mengaktifkan
caspases dalam sel target. KC merekrut sel T pembunuh alami
(iNKTs) invarian melalui peningkatan ekspresi molekul penyaji
antigen CD1d. iNKT menghasilkan IFN-γ di antara sitokin lainnya.
Berbagai sel imun meningkatkan diferensiasi dan aktivitas sel Th17
melalui produksi IL-6. Sel Th17 menghasilkan IL-17. Aktivitas sel-
sel dan sitokin ini menyebabkan pembentukan lesi dan karakteristik
perpetasi dari lupus eritematosus kulit. MMP, matriks
metaloproteinase; TLR, Reseptor seperti tol (Achtman & Werth,
2015).
33
• Oral Ulcer
34
Lichen planus oral (OLP) adalah kondisi peradangan
kronis.Mekanisme antigen-spesifik dan non-spesifik berperan dalam
patofisiologinya. OLP bermanifestasi sebagai akibat dari apoptosis
keratinosit basal—diinduksi oleh sel T CD8+ (Gbr. B). Kerusakan
pada lapisan basal ini memudahkan leukosit untuk berpindah ke
ruang intra-epitel dan mengakibatkan peradangan yang berlangsung
dengan sendirinya. Selain itu, terdapat lebih banyak sel mast yang
terdegranulasi pada jaringan OLP dibandingkan dengan mukosa
mulut normal; sel mast yang terdegranulasi melepaskan mediator
proinflamasi dan meningkatkan regulasi molekul adhesi sel endotel,
terbukti penting dalam patogenesis OLP. (Linchen planus like
lesion) (Reilly, et al., 2019)
• Sendi
35
proliferasi fibroblas, dan sekresi protease, yang berkontribusi
terhadap kerusakan tulang rawan dan tulang di tempat pembentukan
pannus. Selain itu, peningkatan produksi sitokin, terutama TNF-α
dan IL-1, merangsang sinoviosit; (D) fibroblas sinovial di tempat
inflamasi meningkatkan COX2/PGE2, dan penurunan SIRT1.
Kondrosit juga dirangsang oleh makrofag sinovial; (E) Makrofag
meningkatkan perekrutan neutrofil di tempat inflamasi, dengan
meningkatkan produksi ROS dan RNS dan aktivasi MPO dan NF-
κB (Oliveira, et al., 2017).
• Alopecia
36
sel T CD8+ dan CD4+ autoreaktif yang menargetkan peptida terkait
melanogenesis pada HFs dan sel CD8+NKG2D+ dalam area
kekebalan folikel rambut mengarah ke mediasi imun penghancuran
area bola rambut dan perkembangan patologis AA.
4. Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb: 11,7 gr/dL, Eritrosit 4.5x106/uL, Lekosit : 6000/uL,
Trombosit 178.000/uL, hitung jenis 0/2/2/51/34/11. Ht 34 vol%, retikulosit
0,5 %, LED : 100 mm/jam, Urin rutin : dalam batas normal
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Jawab:
Pemeriksaan Normal Hasil Interpretasi
Hemoglobin Pria: 13 – 17 gr/dl 11,7 gr/dL Abnormal
Wanita: 12 – 16 gr/dl
Eritrosit Pria: 5 X 1012 (5 Juta) 4.5x106/uL Normal
37
Hematokrit Pria: 38,8-50% 34% Normal
Wanita: 34,9-44,5%
Retikulosit 0,5-2% 0,5% Normal
LED 0-20 mm/jam 100 mm/jam Abnormall
Urin Rutin - Dalam batas Normal
normal
38
sitokin sel T mengaktifkan makrofag sinovial > sintesis sitokin pro
dan anti inflamasi >
sitokin pro inflamasi menginduksi sintesis sitokin sekunder, COX-
2, PLA 2, iNOS dan molekul adhesi > sel bermigrasi dari darah
perifer > aktivasi autoantibodi antinuclear > pembentukan imun
kompleks dan aktivasi komplemen dalam sirkulasi > pengendapan
kompleks imun > kerusakan jaringan > inflamasi > peningkatan
Monosit (Pergeseran ke kanan) (Setiati S, dkk. 2014).
Interpretasi tes anti-dsDNA pada SLE yaitu nilai <200 IU/ml berarti
negatif, 201 – 300 IU/ml berarti Moderate positif (positif sedang),
dan > 800 IU/ml berarti positif kuat( nadifa, 2017). Pada kasus nilai
nya adalah 332 IU/ml yang berarti Nona A terolong positif sedang
SLE bila ditinjau lewat tes anti-dsDNA (Alnajashi & Alshamrani,
2021)
39
6. Apa saja diagnosis banding pada kasus?
Jawab:
1. SLE
2. Rheumatoid arthritis
• Rheumatoid arthritis (RA) dapat hadir dengan beberapa
manifestasi ekstra-artikular selain arthritis inflamasi poliartikular
klasik dan mungkin sulit untuk dibedakan.dari SLE. ANA positif,
Anti-Ro, dan Anti-La juga dapat terlihat pada RA, meskipun
autoantibodi spesifik SLE dan hipokomplementemia jarang terjadi.
SLE dapat dikaitkan dengan faktor rheumatoid positif, tetapi Anti-
CCP negatif pada SLE
• Lupus yang diinduksi obat mungkin sulit dibedakan dari
SLE, terutama karena tumpang tindih yang signifikan dalam
gambaran klinis dan serologis. Lupus yang diinduksi obat ditandai
dengan resolusi gejala setelah penghentian obat dan kurangnya
manifestasi yang lebih parah, meskipun autoantibodi mungkin tetap
positif selama beberapa tahun.
• Onset dewasa Penyakit masih ditandai dengan artralgia,
demam, limfadenopati, dan splenomegali tetapi tidak ada ruam
malar atau manifestasi organ lain dan tidak memiliki autoantibodi
spesifik SLE.
• Behcet Disease muncul dengan ulkus aftosa, uveitis, dan
artralgia tetapi tidak memiliki gambaran sistemik dan serologis lain
dari SLE.
• Sarkoidosis muncul dengan demam, batuk, dispnea,
kelelahan, keringat malam, ruam, dan uveitis. Ini menunjukkan
granuloma non-kaseosa pada radiografi dada dan adenopati
bilateral, yang jarang ditemukan pada SLE.
Infeksi
• Beberapa infeksi virus (viral infections) dapat meniru SLE.
Infeksi Parvovirus B19 dapat menyebabkan demam, ruam, radang
40
sendi, dan sitopenia. ANA dan faktor rheumatoid telah dilaporkan.
Hepatitis B dan C dapat dikaitkan dengan artralgia/arthritis
inflamasi dan ANA positif dan faktor rheumatoid. Infeksi virus
CMV dan EBV dapat menyebabkan demam, kelelahan, sitopenia,
dan transaminitis. HIV dapat menyebabkan demam, kelelahan,
sariawan, dan sitopenia. Autoantibodi yang lebih spesifik dan
manifestasi sistemik SLE tidak ditemukan pada infeksi virus ini.
Selanjutnya, serologi virus positif dapat membantu membuat
diagnosis yang tepat.
• Endokarditis infeksiosa yang ditandai dengan demam,
emboli arteri, artralgia, mialgia, dan murmur jantung; mungkin
bingung dengan manifestasi jantung SLE tetapi dapat dibedakan
dengan tidak adanya autoantibodi terkait SLE spesifik dan kultur
darah positif.
Keganasan
• Limfoma, terutama limfoma non-Hodgkins, dapat muncul
dengan gejala kelelahan, penurunan berat badan, demam, artralgia,
sitopenia, limfadenopati, dan ANA positif. Autoantibodi terkait SLE
yang lebih spesifik tidak ada. Pada pasien usia lanjut dengan gejala
mirip lupus, keganasan harus disingkirkan dengan skrining kanker.
41
2. Pemeriksaan autoantibodi
a. Antibodi autonuclear (ANA)
b. Antibodi anti-double stranded DNA (anti-dsdna)
c. Antibodi anti-Smith,
d. Anti-Ro/SSA
e. Anti-La/SSB
3. Pemeriksaan komplemen
Pasien LES aktif umumnya memiliki kadar komplemen C3 dan C4 yang
rendah. Pemeriksaan ini merupakan salah satu pemeriksaan imunologi
untuk mendiagnosis LES dan memantau aktivitas penyakit.
4. Pemeriksaan penapisan penyakit komorbid
5. Pemeriksaan lain yang disesuaikan dengan indikasi tertentu seperti foto
polos toraks dan EKG (Sumariyono dkk, 2019).
42
mendapatkan terapi perlu dilakukan monitoring secara reguler oleh ahli
rematologi untuk mengoptimalkan terapi farmakologik maupun non
farmakologik serta mencapai tujuan terapi (Wallace, 2020).
43
IL-6, inhibitor interferon α dan γ seperti sifalimumab, T-cell costimulation
blocker (Abatacept), inhibitor proteosom (Bortezomib) (Lee WS,2020).
44
2.7 Nilai-Nilai Islam
HR. Bukhari
Artinya: “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan
penawarnya.” (HR Bukhari).
45
2.8 Kesimpulan
Nn. A 20 tahun dating dengan keluhan arthralgia, demam hilang timbul, alopesia,
lesi pada mulut, dan bercak merah akibat menderita SLE et causa reaksi autoimun.
Faktor insiasi
Hilangnya Self-
tolerance sistem Imun
Sel B memproduksi
Antibodi berlebihan
(Autoantibodi)
Reaksi
hipersensitifitas tipe 3
46
DAFTAR PUSTAKA
Abas, I. H., Tambunan, B. A., & Awalia, A. (2021). The Correlation between Serum
C3 and C4 Complement Levels with Disease Activity Systemic Lupus
Eritematosus Patients In Dr. Soetomo Hospital, Surabaya. Current Internal
Medicine Research and Practice Surabaya Journal, 2(1), 1-5.
Cappello, F., Rappa, F., Canepa, F., Carini, F., Mazzola, M., Tomasello, G., ... &
Campisi, G. 2019. Probiotics can cure oral aphthous-like ulcers in
inflammatory bowel disease patients: A review of the literature and a
Djianto, A. M. A., Yuliawati, T. H., Dwiningsih, S. R., & Widjiati, W. (2019). Efek
Ibuprofen Oral Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Mencit Betina.
Majalah Biomorfologi, 29(2), 27-31.
Islam, N., Leung, P. S., Huntley, A. C., & Gershwin, M. E. (2015). The autoimmune
basis of alopecia areata: a comprehensive review. Autoimmunity
reviews, 14(2), 81-89.
Lam, N. C., Ghetu, M. V., & Bieniek, M. L. 2016. Systemic lupus erythematosus:
primary care approach to diagnosis and management. American family
physician, 94(4), 284-294.
47
Levani.Y.,& Aldo.D.P.(2020). Demam tifoid : Manifestasi Klinis ,Pilihan Terapi
Dan Pandangan Dalam Islam.Jurnal berkala ilmiah kedokteran.3(1).10-16.
Levani. Y., & Aldo.D.P.(2020). Demam tifoid: Manifestasi Klinis. Pilihan Terapi
Dan Pandangan Dalam Islam.Jurnal berkala ilmiah kedokteran.3(1).10-16.
Maidhof W dan Hilas O. 2012. Lupus: an overview of the disease and management
options. P&T: A Peer-Reviewed Journal for Formulary Management.
37(4):240-246, 249.
Nadifa, S., Achadiyani, A., Dharmadji, H. P., & Hamijoyo, L. (2017). The
Characteristic of Anti dsDNA and Organ System Involved in Systemic
Lupus Erythematosus Patient at Hasan Sadikin General Hospital,
Bandung. Indonesian Journal of Rheumatology, 9(1).
Oliveira, Ana Lígia & Silva Monteiro, Valter Vinícius & Navegantes, Kely & Reis,
Jordano & De Souza Gomes, Rafaelli & Rodrigues, Dávila & de França
Gaspar, Silvia Letícia & Monteiro, Marta. 2017. Resveratrol Role in
Autoimmune Disease-A Mini-Review. Nutrients. 9. 1306.
10.3390/nu9121306.
Oliveira, Ana Lígia & Silva Monteiro, Valter Vinícius & Navegantes, Kely & Reis,
Jordano & De Souza Gomes, Rafaelli & Rodrigues, Dávila & de França
Gaspar, Silvia Letícia & Monteiro, Marta. 2017. Resveratrol Role in
Autoimmune Disease-A Mini-Review. Nutrients. 9. 1306.
10.3390/nu9121306.
48
Reilly, R.J., Johnston, W. & Culshaw, S. 2019. Autoimmunity and the Oral
Cavity. Curr Oral Health Rep 6, 1–8. https://doi.org/10.1007/s40496-019-
0203-9
Souirti Z, Lahlou M, Ouali OE, Chtaou N, Aarab C, Ghazouani FE, et al. 2013.
Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. Open Journal of
Rheumatology and Autoimmune Diseases. 3:86- 91.
Surjana, N.I. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Imunopatogenesis Lupus
eritematosus sistemik, Jakarta: Internal Publishing
Sudoyo, dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Penerbitan.
Sudoyo, Bambang Setiyonadi, S. S. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Timlin, H., Syed, A., Haque, U., Adler, B., Law, G., Machireddy, K., & Manno, R.
2018. Fevers in Adult Lupus Patients. Cureus, 10(1), e2098.
https://doi.org/10.7759/cureus.2098
Wallace JD. (Online) 2020. Overview the management and prognosis of systemic
lupus erythematosus. https://www.uptodate.com/conte nts/overview-of-the-
management-and-prognosis-of- systemic-lupus-erythematosus- in-adults.
[diakses tanggal 15 Juli 2020].
49
Wenzel, J. 2019. Cutaneous lupus erythematosus: new insights into pathogenesis
and therapeutic strategies. Nat Rev Rheumatol 15, 519–532.
https://doi.org/10.1038/s41584-019-0272-0
Widodo Djokok . 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta: Internal
Publishing.
50