Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO E

BLOK 7

Kelompok 6
Tutor: dr. Ratika Febriani, M. Biomed

Imam Sandi Pratama 702018048


Maharani Bella Safitri 702021008
Sinta Nabila 702021015
Rafila Puspa Adelia 702021042
Muhammad Umar Abdussalam 702021057
Muhammad Putra Yanza Nugraha 702021079
Zahra Maharani 702021082
Suci Okta Miranda 702021084
Adharia Yogustri 702021090
Nurhannisa Putri 702021114

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya lah yang diberikan kepada kami dalam penyusunan laporan
tutorial skenario blok VII yang dilakukan secara daring di Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang ini bisa terselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman
kelak.
Dalam penyusunan laporan tutorial ini, kami mengucapkan terimakasih
banyak atas bimbingan, pengarahan, dan bantuan yang telah diberikan oleh
beberapa pihak sehingga terselesaikannya laporan kegiatan ini dengan baik. Penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan dan nikmat yang
masih dapat kita rasakan hingga saat ini.
2. dr. Ratika Febriani, M. Biomedselaku dosen pembimbing tutorial
skenario E blok VI.
3. Semua pihak yang terlibat dan turut serta membantu dalam
meyelesaikan laporan ini.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari bahwa laporan ini masih
sangat jauh dari kata sempurna, dari segi materi, maupun penyusunan kata-kata.
Maka dari itu, semua bentuk kritik dan saran yang sangat diharapkan untuk
membantu kami agar kedepan nya laporan tutorial ini dapat lebih baik lagi.

Palembang, 6 Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ii

BAB I ....................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Maksud dan Tujuan......................................................................................... 1

BAB II ...................................................................................................................... 2

2.1 Data Tutorial ................................................................................................... 2

2.3 Klarifikasi istilah ............................................................................................. 4

2.4 Identifikasi Masalah ........................................................................................ 4

2.5 Prioritas Masalah ............................................................................................ 5

2.6 Analisis Masalah ............................................................................................. 6

2.7 Nilai-Nilai Islam ........................................................................................... 45

2.8 Kesimpulan ................................................................................................... 46

2.9 Kerangka Konsep .......................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 47

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Blok sistem pertahanan tubush dan infeksi adalah blok ke tujuh pada
semester 2 dari kurikulum berbasis kompetensi pendidikan dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus pada skenario E yang
memaparkan kasus dengan judul “Sendiku Sakit”

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran Kurikulum Berbasis e-learning di Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Tutor : dr. Ratika Febriani, M. Biomed
Moderator : Imam Sandi Pratama
Sekertaris meja : Nurhannisa Putri
Sekertaris papan : Zahra Maharani
Waktu : 1. Senin, 4 Juli 2022
2. Rabu, 6 Juli 2022
Pukul : 1. 13.00 – 15.30 WIB
2. 13.00 – 15.30 WIB
Peraturan Tutorial:
1. Saling menghormati antar sesama peserta tutorial
2. Menggunakan komunikasi yang baik dan tepat
3. Mengacungkan tangan saat akan mengajukan pendapat
4. Tidak mengaktifkan alat komunikasi selama proses tutorial
berlangsung
5. Izin saat akan keluar ruangan
6. Tepat waktu

2
2.1 Skenario Kasus
Skenario E Blok VII
“ Sendiku Sakit”
Nona A umur 20 tahun datang poli umum RS Muhammadiyah Palembang
dengan keluhan utama nyeri sendi sejak 2 bulan yang lalu. Nn. A juga mengeluh
sering demam yang hilang timbul, berkurang saat minum obat ibuprofen dan
kambuh 2-3 kali perbulan. Nn. A berobat ke Puskesmas, dikatakan demam thypoid
lalu dirujuk ke Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Sejak 6 bulan yang lalu, Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri. Dua bulan yang lalu di daerah pipi muncul
bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari. Riwayat keluarga
tidak ada penyakit seperti ini.

Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum sakit sedang, sensorium kompos mentis,
Tanda Vital: frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 80x/mt, suhu 37.4° C,
tekanan darah: 120/80 mmHg.
Keadaan Spesifik:
Kepala : alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), muka :
malar rash (+), mulut : ulserasi di langit mulut (+).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung/paru: dalam batas normal.
Abdomen : hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas : pergelangan tangan dan kaki: pembengkakan/merah (+), akral
hangat.

Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb: 11,7 gr/dL, Eritrosit 4.5x106/uL, Lekosit : 6000/uL, Trombosit
178.000/uL, hitung jenis 0/2/2/51/34/11. Ht 34 vol%, retikulosit 0,5 %, LED :
100 mm/jam,
Urin rutin : dalam batas normal

3
2.3 Klarifikasi istilah

1. Alopesia: tidak adanya rambut pada daerah kulit tempatnya biasa tumbuh
(Dorland, edisi 30)

2. Malar rash: ruam malar atau ruam kupu-kupu yang menutupi pipi dan
pangkal hidung yang disebut juga butterfly rash (Dorland, edisi 30)

3. Compos mentis: esadaran normsl atau sadar penuh (Dorland, edisi 30)

4. Ulserasi: pembentukkan atau perkembangan ulkus (Dorland, edisi 30)

5. Retikulosit: eritrosit muda yg menunjukkan retikulum basofilik pada


pewarnaan vital (Dorland, edisi 30)

6. Ibuprofen: obat anti inflamasi nonsteroid yang digunakan dalam pengobatan


nyeri, demam, dismonorea, osteoattritis, atritis rheumatoid, kelainan
peradangan reumatik dan non reumatik lainnya, serta nyeri kepala vascular
(Dorland, edisi 30)

7. Sariawan: infeksi selaput lender di dalam mulut oleh jamur, candida


albicans dengan bercak diatas merah, permukaan lembab yang meradang
(Dorland, edisi 30)

8. LED: Laju endap darah adalah kecepatan sel - sel darah merah mengendap
di dalam tabung uji dengan satuan mm/jam (Dorland, edisi 30)

9. Demam: suhu badan lebih tinggi dari biasanya karena sakit (KBBI, 2017)

2.4 Identifikasi Masalah

1. Nona A umur 20 tahun datang poli umum RS Muhammadiyah Palembang


dengan keluhan utama nyeri sendi sejak 2 bulan yang lalu. Nn. A juga
mengeluh sering demam yang hilang timbul, berkurang saat minum obat
ibuprofen dan kambuh 2-3 kali perbulan. Nn. A berobat ke Puskesmas,
dikatakan demam thypoid lalu dirujuk ke Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.

4
2. Sejak 6 bulan yang lalu, Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri. Dua bulan yang lalu di daerah pipi
muncul bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari.
Riwayat keluarga tidak ada penyakit seperti ini.
3. Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum sakit sedang, sensorium kompos mentis,
Tanda Vital: frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 80x/mt, suhu 37.4°
C, tekanan darah: 120/80 mmHg.
Keadaan Spesifik:
Kepala : alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),
muka : malar rash (+), mulut : ulserasi di langit mulut (+).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung/paru: dalam batas normal.
Abdomen : hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas : pergelangan tangan dan kaki: pembengkakan/merah (+), akral
hangat.
4. Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb: 11,7 gr/dL, Eritrosit 4.5x106/uL, Lekosit : 6000/uL,
Trombosit 178.000/uL, hitung jenis 0/2/2/51/34/11. Ht 34 vol%, retikulosit
0,5 %, LED : 100 mm/jam, Urin rutin : dalam batas normal

2.5 Prioritas Masalah

1. Nona A umur 20 tahun datang poli umum RS Muhammadiyah Palembang


dengan keluhan utama nyeri sendi sejak 2 bulan yang lalu. Nn. A juga
mengeluh sering demam yang hilang timbul, berkurang saat minum obat
ibuprofen dan kambuh 2-3 kali perbulan. Nn. A berobat ke Puskesmas,
dikatakan demam thypoid lalu dirujuk ke Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.
Alasan: karena dapat menganggu aktivitas Nn. A

5
2.6 Analisis Masalah

1. Nona A umur 20 tahun datang poli umum RS Muhammadiyah Palembang


dengan keluhan utama nyeri sendi sejak 2 bulan yang lalu. Nn. A juga
mengeluh sering demam yang hilang timbul, berkurang saat minum obat
ibuprofen dan kambuh 2-3 kali perbulan. Nn. A berobat ke Puskesmas,
dikatakan demam thypoid lalu dirujuk ke Rumah Sakit Muhammadiyah
Palembang.
a. Apa makna Nona A umur 20 tahun datang poli umum RS
Muhammadiyah Palembang dengan keluhan utama nyeri sendi sejak
2 bulan yang lalu. Nn. A juga mengeluh sering demam yang hilang
timbul?
Jawab:
Maknanya nyeri sendi yang dialami oleh Nn. A terjadi karena
akumulasi kompleks antigen-antibodi yang memicu pembentukan
komplemen yang menarik fagosit dan memicu proses inflamasi.
Sedangkan demam terjadi karena respon tubuh terhadap inflamasi
sehingga terjadi pelepasan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
prostaglandin, tumor necrosis factor (TNF)) dan peningkatan
thermostart di hipotalamus. Dan juga keluhan Nn. A nyeri sendi
sejak 2 bulan yang lalu dan keluhan demam yang sering terjadi
intermiten mungkin mengalami SLE, Rheumatoid arthritis,
rheumatic olimyalgia, gouty arthritis, Osteoarthritis, dan lain-lain
(Tarigan, 2015).

b. Bagaimana patofisiologi nyeri sendi pada kasus tersebut?


Jawab:
Penumpukan kompleks antigen-antibodi -> pembentukan
komplemen sehingga menarik fagosit dan memicu proses
peradangan -> Kompleks imun (Ag-Ab) mengendap pada sendi >
terjadi kerusakan sendi > kerusakan organ dan jaringan menginduksi
pelepasan sistem imun non spesifik dan spesifik sebagai bentuk
perlawanan terhadap jaringan yang rusak > respon sitokin pro

6
inflamasi meningkat (IL1, IL6, TNF-A, PGE2) sendi bengkak,
merah, panas dan nyeri (Tarigan, N. S. 2015)

Serabut C dan serabut saraf aferen A-gamma yang menyalurkan


nyeri masuk ke sumsum tulang belakang di akar saraf dorsal. Serat
terbelah saat memasuki corda dan kemudian berbaur lagi dengan
kornu dorsalis (posterior) sumsum tulang belakang. Dari kornu
dorsalis, impuls nyeri dikirim ke neuron yang mengirimkan
informasi ke sisi berlawanan dari medula spinalis di komisi anterior
dan kemudian menyatu tractus anterolateralis. Yang naik ke
thalamus dan lainnya otak, sehingga timbul rasa sakit (Hartwig, dkk,
2016). Lingkungan memicu dan membuat sel apoptosis dan
membuat imunne Respon akan membuat ANA Kompleks antigen
antibodi inflamasi Sakit Sendi (Zuraiyaha, dkk., 2020).

c. Bagaimana patofisiologi demam pada kasus?


Jawab:
Suhu tubuh normal dikendalikan di pusat termoregulasi yang
terletak di hipotalamus anterior. Prostaglandin E2 (PGE2) dianggap
sebagai mediator proksimal dari respon demam. Peningkatan kadar
PGE2 intraseluler di hipotalamus tampaknya menjadi pemicu untuk
meningkatkan titik setel, yang kemudian mengaktifkan neuron di
pusat vasomotor untuk memulai vasokonstriksi dan memperlambat
laju pembakaran neuron yang peka terhadap panas untuk
meningkatkan produksi panas di perifer. Setelah demam tercapai,
peningkatan atau penurunan suhu tubuh inti akan merangsang
mekanisme termoregulasi yang serupa dengan yang ditimbulkan
pada suhu tubuh normal untuk mempertahankan titik setel yang
tinggi. Termogenesis baik dalam lemak atau otot terjadi dengan
memisahkan protein, yang melepaskan adenosin trifosfat (ATP) dan
panas. Menggigil terjadi ketika ada kenaikan cepat untuk
mencocokkan titik setel demam yang baru. Suhu oral pagi hari >37,2
°C (98,9 °F) atau suhu siang hari >37,7 °C (99,9 °F) dianggap

7
demam. Suhu rektal umumnya 0,6 °C (1,0 °F) lebih tinggi dari
pembacaan lisan. Demam yang tidak diketahui asalnya (FUO)
didefinisikan sebagai suhu yang lebih tinggi dari 38,3 ° C pada
beberapa kesempatan dan berlangsung lebih dari tiga minggu,
dengan diagnosis yang tetap tidak pasti setelah satu minggu
penyelidikan.

Ketika set point hipotalamus diatur ulang ke bawah, proses


kehilangan panas dipercepat melalui vasodilatasi dan berkeringat.
Sitokin pirogenik, seperti interleukin-1b (IL-1β), tumor necrosis
factor (TNF), interleukin-6 (IL-6), interferon alfa (INF-α), interferon
beta (INF-β), dan interferon gamma ( INF-γ) diproduksi oleh
makrofag/monosit yang teraktivasi dan bekerja langsung pada
hipotalamus untuk menghasilkan respon demam.
aktivasi sistem imun non spesifik dan spesifim yang berlebihan
>pelepasan sitokin proinflamasi (IL1, IL6, TNF-a, PGE2) > PGE2
melewati sawar darah otak > perubahan set point hipothlamus
>peningkatan suhu tubuh (demam)
Peningkatan suhu tubuh terjadi apabila reaksi inflamasi meningkat.
Itulah mengapa demam dapat naik dan turun, namun tidak mencapai
suhu normal. (normal jika minum ibuprofen)

Dibandingkan dengan pasien dengan SLE dan demam penyebab


infeksi, mereka yang demam karena lupus lebih cenderung memiliki
komplemen C3 yang lebih rendah dan tingkat aktivitas penyakit
yang lebih tinggi. Selain itu, demam dengan jumlah sel darah putih
rendah (WBC) lebih konsisten dengan aktivitas penyakit lupus
daripada infeksi. Infeksi baru harus dicurigai dengan kuat jika pasien
sudah menerima glukokortikoid dosis sedang atau tinggi dan jika
demam berlanjut meskipun ada tanda-tanda lain dari aktivitas lupus
yang mereda. Selain itu, respons yang buruk terhadap obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), asetaminofen, dan

8
glukokortikoid dosis rendah hingga sedang harus meningkatkan
kecurigaan untuk etiologi infeksi atau terkait obat, karena sebagian
besar demam karena SLE aktif hilang dengan penggunaan agen ini
(Timlin, et al., 2018)

Stimulasi sel darah putih (monosit, limfosit dan neuritfil) oleh


pirogen eksogen dalam bentuk toksin, mediator inflamasi atau reaksi
imin ÿ maka sel akan menghantarkan zat kimia yang disebut pirogen
endogen ÿ sehingga pirogen endogen dan eksogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin >
prostaglandin yang telah terbentuk akan meningkatkan patokan
termostat di pusat termoregulasi hipotalamus > lalu hipotalamus
akan menganga suhu lebih rendah dari patokan baru temperatur >
sehingga memicu mekanisme untuk meningkatkan panas (Sherwood
2014).

d. Apa etiologi nyeri sendi pada kasus?


Jawab:
Nyeri sendi merupakan manifestasi klinis yang paling sering
dijumpai pada pasien SLE, lebih dari 90 %. Keluhan ini dapat berupa
mialgia, artlargia, dan merupakan suatu arthritis dimana tampak
jelas adanya suatu inflamasi sendi. Seringkali dianggap sebagai
manifestasi rhematoid artritis karena melibatkan banyak sendi dan
bersifat simetris. Nyeri sendi terjadi akibat penumpukan kompleks
antigen-antibodi yang memancing pembentukan komplemen
sehingga menarik fagosit dan memicu proses peradangan (Tarigan,
2015).

e. Apa saja jenis jenis demam dan termasuk jenis demam apa pada
kasus tersebut?
Jawab:
1. Demam septik

9
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat
di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil
dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke
tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.

2. Demam remiten

Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan
suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan
tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik

3. Demam intermiten

Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang


normal selama beberapa jam. yaitu suhu tubuh turun ke tingkat
yang normal selama beberapa jam dalam satu
hari. Demam seperti ini terjadi dua hari sekali yang disebut
tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua
serangan demam disebut kuartana.

4. Demam kontinyu

Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak


berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

5. Demam siklik

Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama


beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk
beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula

Secara umum demam dapat disebabkan oleh produksi zat


pyrogen (eksogen dan endogen) yang secara langsung akan
mengubah titik imbang suhu hypothalamus sehingga

10
menghasilkan pembentukan panas dan konservasi panas
(Nelwan, 2014).

Pada kasus, termasuk pola demam intermitten karena demam


terjadi secara hilang timbul.

f. Apa makna Nn. A juga mengeluh sering demam yang hilang timbul,
berkurang saat minum obat ibuprofen dan kambuh 2-3 kali
perbulan?
Jawab:
Makna Nn. A juga mengeluh sering demam yang hilang timbul
adalah Nn. A mengalami demam jenis intermitten. Makna demam
berkurang saat minum obat ibuprofen dan kambuh 2-3 kali perbulan
adalah waktu paruh obat ibuprofen telah habis sehingga demam
timbul lagi. Obat ibuprofen merupakan obat antipiretik yang
berfungsi untuk menghambat pembentukan prostaglandin,
prostasiklin, dan tromboxan. jika inflamasinya dapat ditekan,
pembentukan prostaglandin terhambat, maka demam akan turun.

g. Apa kegunaan obat ibuprofen?


Jawab:
Ibuprofen merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan
nyeri, menurunkan demam, dan meredakan peradangan.
(Kumalasari, 2018).

Ibuprofen adalah salah satu dari golongan obat anti-inflamasi non-


steroid (OAINS) yang sering digunakan karena dapat diakses
dengan mudah tanpa memerlukan resep. Ibuprofen merupakan
derivat asam fenil propionat yang banyak digunakan sebagai obat
anti inflamasi non steroid, analgetik, dan antipiretik (Djianto, et al.,
2019).

11
Ibuprofen merupakan obat Non Steroidal Anti-Inflamantory Drugs
(NSAID) atau sering disebut dengan analgetik- antipiretika
merupakan obat yang bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf
pusat. Obat ini digunakan mengurangi rasa sakit yang ringan sampai
moderat (analgesik), untuk menurunkan suhu badan pada keadaan
panas badan yang tinggi (antipiretik) dan sebagai anti radang untuk
pengobatan rematik (antiradang atau antiinflamasi) (Ningtyas dkk,
2015).

h. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik ibuprofen?


Jawab:
Farmakodinamik dan Farmakokinetik NSAID
Tindakan terapeutik utama NSAID terutama dilakukan oleh
kemampuannya untuk memblokir sintesis prostaglandin (PG)
tertentu melalui penghambatan enzim siklooksigenase (COX-1 dan
COX-2). COX-1 menghasilkan prostaglandin dan tromboksan A2
yang mengontrol penghalang mukosa di saluran GI, homeostasis
ginjal, agregasi trombosit dan fungsi fisiologis lainnya. COX-2
menghasilkan PG yang berhubungan dengan peradangan, nyeri dan
demam. COX-1 diekspresikan dalam sel normal, sedangkan COX-2
diinduksi dalam sel inflamasi [6-8]. Penghambatan COX-2
kemungkinan besar mewakili efek yang diinginkan dari respons
antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik NSAID; sementara
penghambatan COX-1 memainkan peran utama dalam efek samping
yang tidak diinginkan seperti GI dan toksisitas ginjal.

Sebagian besar NSAID diserap dengan baik di saluran pencernaan


dan memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Beberapa obat seperti
diklofenak mengalami metabolisme lintas pertama di hati yang
mengakibatkan penurunan bioavailabilitas. Sementara beberapa
obat seperti sulindac dan parecoxib adalah prodrugs dan
membutuhkan metabolisme hati untuk menjadi metabolit aktifnya

12
(masing-masing sulindac sulfide dan valdecoxib). NSAID sangat
terikat pada protein plasma. NSAID biasanya dimetabolisme di hati
dan diekskresikan dalam urin. Obat NSAID yang umum memiliki
waktu paruh yang bervariasi; mereka bisa di mana saja dari 0,25-0,3
jam seperti aspirin atau 45-50 jam seperti piroksikam. Semua
parameter farmakokinetik ini dapat berubah seiring bertambahnya
usia karena orang tua memiliki air tubuh yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa. Pengikatan protein dapat
dikurangi dan volume distribusi dapat diubah (Wongrakpanich, et
al., 2018)

• Farmakodinamik
Secara umum kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan
antipiretik adalah dengan cara inhibisi pada jalur produksi
prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan prostaglandin I2
(PGI2), yang bertanggung jawab dalam mencetuskan rasa nyeri,
inflamasi dan demam. Ibuprofen menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase I dan II, sehingga terjadi reduksi pembentukan
prekursor prostaglandin dan tromboksan. Selanjutnya, akan terjadi
penurunan dari sintesis prostaglandin, oleh enzim sintase
prostaglandin. (Bushra, 2018)

• Farmakokinetik
Farmakokinetik ibuprofen ditinjau dari aspek absorpsi,
metabolisme, distribusi, dan eliminasi obat.
1. Absorpsi
Ibuprofen cepat diabsorpsi, setelah konsumsi per oral.
Bioavailabilitas obat adalah 80%. Ibuprofen lysine, atau garam
ibuprofen lebih cepat diabsorpsi dibandingkan jenis asam
ibuprofen. Konsentrasi puncak ibuprofen lysine, atau garam
ibuprofen adalah sekitar 45 menit, sedangkan asam ibuprofen
adalah sekitar 90 menit. Konsentrasi puncak ibuprofen dalam

13
serum umumnya berlangsung sekitar 1‒2 jam. Bioavailabilitas
obat hampir tidak dipengaruhi oleh makanan. Juga tidak
terdapat interferensi absorpsi ibuprofen, apabila diberikan
bersamaan dengan antasida, baik yang mengandung aluminium
hidroksida, maupun magnesium hidroksida. (Moore RA, et all.,
2015)
2. Metabolisme
Ibuprofen secara cepat dimetabolisme di dalam hati,
menghasilkan metabolit-metabolit seperti asam propionik fenil
hidroksimetil propil, dan asam propionik fenil karboksipropil.
3. Distribusi
Ibuprofen didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, terutama
terkonsentrasi dalam cairan sinovial. Keberadaan obat
ibuprofen dalam cairan sinovial adalah lebih lama daripada
dalam plasma. Obat ini terikat pada protein sekitar 90‒99%,
terutama dengan albumin.
4. Eliminasi
Waktu paruh obat dalam serum adalah sekitar 1,8 hingga 2 jam.
Ekskresi ibuprofen lengkap dalam 24 jam, setelah dosis terakhir.
Sekitar 45%‒79% dari dosis obat yang diabsorpsi per oral,
ditemukan dalam urine, dalam bentuk metabolit, sedangkan
bentuk ibuprofen bebas atau terkonjugasi, masing-masing
adalah sekitar 1% dan 14% (Rainsford, K.D. 2019).

i. Apa efek samping dari obat ibuprofen?


Jawab:
EFEK SAMPING
Dewasa: Efek samping yang paling umum adalah pusing, perut
kembung, sakit kepala, pendarahan, serta mual dan muntah. Efek
samping lain termasuk ketidaknyamanan perut, anemia, bakteremia,
pneumonia bakteri, batuk, diare, dispepsia, eosinofilia,
hiperkalemia, hipernatremia, hipertensi, hipoalbuminemia,

14
hipokalemia, hipoproteinemia, hipotensi, peningkatan ureum darah,
peningkatan lactic dehydrogenase (LDH), neutropenia, edema
perifer, trombositosis, retensi urin, perdarahan luka. Lihat
Kewaspadaan untuk potensi efek samping utama.
Pasien anak: Efek samping yang paling umum adalah anemia, sakit
kepala, nyeri tempat infus, mual, dan muntah.
Overdosis : Gagal ginjal akut, koma, mengantuk, nyeri epigastrium,
perdarahan GI, hipertensi, lesu, mual, depresi pernafasan, dan
muntah.

Ibuprofen merupakan golongan Non Steroid Anti-Inflamatory Drug


(NSAID) tidak selektif turunan asam propionat, salah satu
fungsinya sebagai pengobatan nyeri dan inflamasi yang
disebabkan beberapa kondisi yaitu Rheumatoid Arthritis dan
Osteoarthritis. Ibuprofen memiliki efek samping reaksi alergi
paling rendah yang berkaitan dengan intoleransi obat NSAID,
sehingga ibuprofen menjadi alternatif yang baik untuk pasien
yang tidak toleran terhadap obat NSAID lainnya. Ibuprofen
memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan aspirin
dan indometasin. Ibuprofen memiliki profil keamanan yang baik
pada jaringan tubuh. Ibuprofen memiliki mekanisme kerja
dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan
cyclooxygenase-2 (COX-2) sehingga mengganggu
sintesisprostaglandin. Penghambatan enzim COX-1 menyebabkan
ibuprofen pada penggunaan oral dapat menimbulkan efek samping
yaitu gangguan gastrointestinal, dispepsia, diare, infeksi saluran
cerna atas, mual dan kembung sehingga dibuat rute topikal
untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan. Sediaan
topikal dapat meningkatkan bioavailabilitas obat karena tidak
mengalami first pass metabolism di hati dan memberikan
penghantaran yang konsisten pada jangka waktu yang lama
(Nurahmanto, D., Mahrifah, et all. 2017)

15
j. Apa indikasi dan kontraindikasi ibuprofen?
Jawab:
INDIKASI:

Ibuprofen digunakan sebagai Analgetik, antipiretik dan


antiinflamasi, tetapi perlu dosis yang lebih besar untuk dapat
memberikan efek antinflamasi dan ibuprofen merupakan salah satu
obat analgetik Nonopioid. Obat in merupakan obat sintesis derivat
dari asam propionat yang memiliki daya anti inflamasi lemah
(Pusporini & Fuadiyah, 2020).

Kontraindikasi:

Kehamilan trimester akhir, pasien dengan ulkus peptikum,


hipersensitivitas, polip pada hidung, angioedema, asma, rinitis , serta
urtikaria ketika menggunakan asam asetilsalisilat tau OAINS
lainnya (Pusporini & Fuadiyah, 2020).

Indikasi: Ibuprofen memiliki efek antipiretik yang dapat digunakan


untuk menurunkan gejala demam pada anak maupun dewasa dan
efek analgesik anti inflamasi ibuprofen dapat digunakan untuk
meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi, gejala
arthritis, osteoarthritis, dan non-sendi. Selain itu, dapat digunakan
untuk meringankan gejala-gejala akibat trauma otot dan tulang atau
sendi (trauma muskuloskeletal). Meringankan nyeri ringan sampai
sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri
pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah operasi dan
sakit kepala. Ibuprofen juga umumnya bertindak sebagai
vasodilator, dapat melebarkan arteri koroner dan beberapa
pembuluh darah lainnya. Ibuprofen diketahui memiliki efek
antiplatelet, meskipun relatif lebih lemah bila dibandingkan dengan
aspirin atau obat lain yang lebih dikenal sebagai antiplatelet. Dapat

16
digunakan pada neonatus dengan paten duktus arteriosus, disfungsi
ginjal, nekrotizing enterokolitis, perforasi usus (Putri, 2018)

KONTRA INDIKASI:
- Penderita dengan ulkus peptikum (tukak lambung dan
duodenum) yang berat dan aktif
- Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap Ibuprofen dan
obat anti inflamasi non-steroid lain
- Penderita sindroma polip hidung, angiodema dan penderita
dimana bila menggunakan aspirin atau obat anti inflamasi non-
steroid lainnya akan timbul gejala asma, rinitis atau urtikaria
- Kehamilan tiga bulan terakhir

k. Bagaimana etiologi dari demam tifoid?


Jawab:
Agen penyebab utama demam tifoid adalah Salmonella typhi dan
Salmonella paratyphi, keduanya adalah anggota dari keluarga
Enterobacteriaceae.
Salmonella ditularkan melalui rute fecal-oral melalui air yang
terkontaminasi, makanan yang kurang matang, fomites dari pasien
yang terinfeksi, dan lebih sering terjadi di daerah dengan kepadatan
penduduk, kekacauan sosial, dan sanitasi yang buruk. Ini hanya
ditularkan dari orang yang terinfeksi ke orang lain, karena manusia
adalah satu-satunya inangnya. Sumber utama salmonella adalah
ungags dan telur. (Gu, 2020).

l. Apa makna Nn. A berobat ke Puskesmas, dikatakan demam thypoid


lalu dirujuk ke Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang?
Jawab:
Makna Nona A dikatakan mengalami demam tifoid adalah kerena ia
memiliki menifestasi yang mirip dengan demam tifoid. Dimana
tifoid memiliki manifestasi berupa demam, nyeri kepala, pusing,

17
nyeri otot, anoreksia, mual, diare, perasaan tidak enak diperut, batuk
dan epistaksis. Pada kasus dijelaskan bahwa Nona A mengeluh nyeri
sendi dan demam yang hilang timbul, sehingga puskesmas merujuk
Nona A ke RSMP untuk pemeriksaan dan penatalaksanaan lebih
lanjut. Diagnosa demam tifoid harus didasari oleh pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan darah yang lengkap untuk mengetahui
adanya penurunan kadar hemoglobin, trombositopenia, kenaikan
LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia, leukosit normal, hingga
leukositosis. Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid adalah pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk
Salmonella typhi sebagai bakteri penyebab. Pemeriksaan lain untuk
demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM
Salmonella typhi dalam serum. Uji serologi widal mendeteksi
adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang berasal dari
somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O
aglutinin sekali periksa mencapai ≥1/200 atau terdapat kenaikan 4
kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil
negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis demam tifoid (Djoko, 2014).

m. Apa manifestasi klinis demam tifoid?


Jawab:
Manifestasi klinis demam tifoid yang timbul dapat bervariasi
dari gejala ringan hingga berat. Gejala klinis yang klasik dari demam
tifoid diantaranya adalah demam, malaise, nyeri perut dan
konstipasi. Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan gold
standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Namun
harganya yang mahal dan waktu pemeriksaan yang lama membuat
pemeriksaan kultur ini jarang dilakukan. (Levani.Y,2020)

18
n. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus?
Jawab:
Tingkat prevalensi lupus diperkirakan setinggi 51 per 100.000 orang
di Amerika Serikat. Insiden lupus hampir tiga kali lipat dalam 40
tahun terakhir, terutama karena perbaikan diagnosis penyakit ringan.
Perkiraan tingkat kejadian di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan
Eropa berkisar antara 2 hingga 8 per 100.000 per tahun. Wanita
terkena sembilan kali lebih sering daripada pria dan mestizo Afrika
Amerika dan Amerika Latin lebih sering terkena daripada Kaukasia,
dan memiliki morbiditas penyakit yang lebih tinggi. Penyakit ini
tampaknya lebih umum di perkotaan daripada daerah pedesaan.
Enam puluh lima persen pasien dengan SLE memiliki onset penyakit
antara usia 16 dan 55 tahun, 20% muncul sebelum usia 16 tahun, dan
15% setelah usia 55 tahun. Pria dengan lupus cenderung memiliki
lebih sedikit fotosensitifitas, lebih banyak serositis. , usia yang lebih
tua saat diagnosis, dan kematian 1 tahun yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wanita (Bertsias, et al., 2012).

o. Apa kemungkinan penyakit dengan keluhan nyeri sendi?


Jawab:
1. Demam Thypoid
2. Malaria
3. Gout Arthritis
4. Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
5. Osteoartritis,
6. Osteoporosis,
7. Rheumatoid artritis (Roviati, 2012).

2. Sejak 6 bulan yang lalu, Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri. Dua bulan yang lalu di daerah pipi
muncul bercak kemerahan dan menjadi merah bila terkena sinar matahari.
Riwayat keluarga tidak ada penyakit seperti ini.

19
a. Apa makna Nn. A sering mengeluh rambut rontok, sariawan di
langit-langit mulut yang tidak nyeri?
Jawab:
Pertama Dia sering mengeluh rambut rontok: Arti dari munculnya
rambut rontok adalah kemungkinan nn.a memiliki lesi tertentu. Pada
lesi sendiri ada dua macam yang bermanifestasi pada kulit.
Pertama, kelainan lesi spesifik termasuk adanya alopecia
(kebotakan) dan nodul dalam dengan atau tanpa lesi kulit di atasnya.
Nodul ini sering terlihat di kulit kepala, wajah, tangan, dada,
punggung, paha, dan bokong.
Kedua, kelainan lesi kronis ini memiliki ciri khusus, yaitu sering
muncul warna, seolah-olah kulit menebal dan disertai dengan
tumbuhnya rambut. Gangguan kulit kronis ini umumnya terjadi di
daerah yang mudah terkena sinar matahari langsung, seperti wajah,
leher, kulit kepala dan punggung, sedangkan punggung bagian atas
agak jarang.
Sariawan di langit- langit mulut yang tidak menyakitkan:
Artinya mengalami ulserasi atau diskoid oral dan lesi ulserasi. Lesi
diskoid oral mirip dengan lesi diskoid pada kulit dimana terdapat
striae putih memancar dari pusat lesi kemerahan (brush border).
Predileksi lesi intra-oral ditemukan pada mukosa bukal, gusi dan
mukosa labial dan kemerahan terlokalisir, terutama pada palatum.
Lesi oral bersifat subakut atau simetris, superfisial dan tidak
menimbulkan jaringan parut dan umumnya mengenai bahu, bagian
ekstensor ekstremitas atas (lengan bawah), leher, dada bagian atas,
dan punggung.
Dari keluhan tersebut dapat menimbulkan manifestasi klinis SLE
(Systemic Lupus Erythematosus), manifestasi kulit merupakan salah
satu gejala yang umum ditemukan pada penderita SLE sekitar 25%,
yang dapat ditemukan pada setiap stadium penyakit. Pasien dengan
SLE biasanya memiliki kriteria diagnostik termasuk manifestasi

20
kulit dengan alopecia (kebotakan) dan borok di mulut (stomatitis).
(Sudoyo, dkk. 2017)

Maknanya Nn. A mengalami ulserasi pada rongga mulut bagian


mukosa palatum dan Kaskade imunologi di folikel rambut pada
pasien
Pasien dengan penyakit sistemik autoimun sistemik yang juga
mengalami kerontokan rambut menunjukkan kualitas hidup (QOL)
dan skor kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan pasien
tanpa manifestasi kulit ini. Kaskade imunologi di folikel rambut
pada pasien dengan alopecia areata. Stresor eksternal dan
sitokin/kemokin inflamasi mengarah pada hubungan yang kuat
antara MHC kelas I, infiltrasi sel T CD8+ dan CD4+ autoreaktif
yang menargetkan peptida terkait melanogenesis pada HFs dan sel
CD8+NKG2D+ dalam area kekebalan folikel rambut mengarah ke
mediasi imun penghancuran area bola rambut dan perkembangan
patologis Alopecia
Lichen planus oral (OLP) adalah kondisi peradangan kronis.
Mekanisme antigen-spesifik dan non-spesifik berperan dalam
patofisiologinya. OLP bermanifestasi sebagai akibat dari apoptosis
keratinosit basal—diinduksi oleh sel T CD8+ (Gbr. B). Kerusakan
pada lapisan basal ini memudahkan leukosit untuk berpindah ke
ruang intra-epitel dan mengakibatkan peradangan yang berlangsung
dengan sendirinya. Selain itu, terdapat lebih banyak sel mast yang
terdegranulasi pada jaringan OLP dibandingkan dengan mukosa
mulut normal; sel mast yang terdegranulasi melepaskan mediator
proinflamasi dan meningkatkan regulasi molekul adhesi sel endotel,
terbukti penting dalam patogenesis Oral ulcer

b. Bagaimana patofisiologi dari rambut rontok, sariawan, dan bercak


kemerahan?
Jawab:

21
- Rambut Rontok
Faktor hormonal dan lingkungan > kesamaan molekuler >
Pengenalan autoantigen > Sel T gagal toleransi > Aktivasi CD4
sel > aktivasi sel B dan sintesis ig G > produksi sitokin sel T >
sitokin sel T mengaktifkan makrofag sinovial > sintesis sitokin
pro dan antiinflamasi > sitokin pro inflamasi yang menginduksi
sintesis sekunder sitokin, kemokin, cox-2, PLA 2, iNOS dan
molekul adhesi > sel migrasi dari darah perifer, PGE 2
meningkat, LTB 4 meningkat, dan meningkatkan NO > sitokin
pro inflamasi yang diinduksi reseptor kolagen Penggerak
Nuclear Factor Kappa Beta Ligand (RANKL) dan proliferasi
fibroblas sinovial > pembentukan imun kompleks dan aktivasi
komplemen dalam sirkulasi > deposit imun kompleks >
kerusakan jaringan > bermanifestasi ke kulit > lesi pada folikel
rambut > penyumbatan folikel rambut > Alopesia. (Concha dan
Werth, 2018).
- Sariawan di langit-langit mulut
faktor lingkungan > kesamaan molekuler > Pengakuan
autoantigen > sel T gagal toleransi > Aktivasi sel CD4 > aktivasi
sel B dan sintesis ig G > produksi sitokin sel T > sitokin Sel T
mengaktifkan makrofag sinovial > sintesis sitokin pro dan
antiinflamasi > sitokin pro inflamasi yang menginduksi sintesis
sekunder sitokin, kemokin, cox-2, PLA 2, iNOS dan molekul
adhesi > sel migrasi dari darah perifer, PGE 2 meningkat, LTB
4 meningkat, dan meningkatkan NO > sitokin pro inflamasi
yang diinduksi reseptor kolagen Penggerak Nuclear Factor
Kappa Beta Ligand (RANKL) dan proliferasi fibroblas sinovial
> pembentukan imun kompleks dan aktivasi komplemen dalam
sirkulasi > deposit imun kompleks > kerusakan jaringan >
bermanifestasi ke kulit > discoid rush > Sariawan di langit-
langit mulut. (Amalia dan Setiadi, 2019).

22
c. Apa hubungan gejala pada kasus?
Jawab:
Hubungan dan makna dari Nona A mengeluh Nyeri sendi dan gejala
rambut rontok, sariawan, bercak kemerahan akibat sinar mataharo
adalah gejala dari Systemic lupus erythematosus (SLE).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, yang dikutip
Qiminta, diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang
ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut,
adalah sebagai berikut:
1) Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga
seperti ada bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar
Rash/Butterfly Rash.
2) Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang
ditandai adanya jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan
kulit sekitarnya.
3) Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena
sengatan sinar matahari
4) Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5) Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan
bengkak. Gejala ini dijumpai pada 90% odapus.
6) Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput
pembungkusnya terisi cairan.
7) Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8) Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang,
stroke, dan lain-lain.
9) Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan
trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
10) Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
11) Gangguan sistem kekebalan tubuh.
(Roviati, 2012).

d. Apa definisi dari SLE?

23
Jawab:
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan spektrum manifestasi klinis dan
serologis yang luas yang disebabkan oleh produksi autoantibodi,
aktivasi komplemen, dan deposisi kompleks imun. (Asad,2018)
Systemic Lupus Erythematosa (SLE atau lupus) adalah salah
satu penyakit jaringan ikat autoimun sistemik yang paling umum.
Hal ini ditandai dengan presentasi klinis yang sangat bervariasi yang
dapat berkisar dari keterlibatan kulit ringan hingga kegagalan multi-
organ yang mengancam jiwa. Tidak ada cara yang pasti untuk
menyembuhkan penyakit ini, tetapi harus dengan manajemen yang
tepat (Tanaka dkk, 2018).

Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit


inflamasi autoimun kronis dengan manifestasi klinis yang tidak
sempit serta perjalanan penyakit dan prognosis yang beragam
(Souirti et al,2013). Istilah ‘lupus’ (bahasa Latin untuk wolf) pertama
kali digunakan untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif (‘wolf’ s bite).
Moriz Kaposi adalah orang yang pertama kali memperkenalkan
lupus sebagai penyakit sistemik dengan berbagai macam manifestasi
klinis. Penyakit SLE ditandai dengan self-tolerance yang hilang
akibat fungsi imunologik yang abnormal dan produksi autoantibodi
berlebih, diikuti dengan terbentuknya kompleks imun yang akan
berdampak pada jaringan sehat. Mekanisme etiologi SLE belum
seluruhnya diketahui. Ada dugaan bahwa faktor seperti genetik,
hormonal, imunologik bahkan lingkungan memiliki peran dalam
patogenesis SLE (Maidhof, 2012).

e. Apa saja faktor resiko dari SLE?


Jawab:
Penyakit systemic lupus erythematosus (SLE) belum diketahui
penyebab secara pasti sampai saat ini, akan tetapi ada beberapa
faktor yang diduga akan menjadi faktor resiko penyakit SLE yaitu

24
regulasi sistem imun, hormon, genetik, lingkungan dan epigenetik
(Esfandiari, F., et all. 2020)

1. Faktor Genetik
a. Anggota keluarga dengan SLE memiliki risiko terkena
SLE (20% keturunan pertama pasien SLE menunjukkan
autoantibodi dan kelainan imunoregulasi lainnya)
b. Risiko meningkat hingga >20% pada kembar monozigot.

2. Faktor Lingkungan
a. Infeksi
Infeksi virus terutama Epstein-Barr Virus (EBV) dapat
memicu timbulnya gejala SLE. Pada penderita SLE, respon
sel T terhadap infeksi EBV tidak normal dan menyebabkan
peningkatan sel mononuklear yang terinfeksi sekaligus
meningkatkan jumlah DNA EBV dalam darah pasien SLE.
(C.M. Bartels, H.S. Diamond, et al. 2017)
b. Cahaya ultraviolet (matahari)
memicu terjadinya kerusakan DNA sehingga mengubah
ekspresi gen, menyebabkan fragmentasi asam nukleat serta
memicu apoptosis atau kematian sel, Paparan terhadap sinar
matahari merupakan pernicu timbulnya penyakit autoimun
lupus eritematosus sistemik, di mana autoantibodi
dihasilkan terhadap asam nukleat dan nukleoprotein diri
(Abbas, 2016)
c. Penggunaan obat-obat tertentu
Beberapa jenis obat menyebabkan metilasi DNA seperti
hidralazin. Hidralazin menghambat jalur sinyal yang
menyebabkan penurunan ekspresi DNA metiltransferase
yang memediasi metilasi DNA. Terganggunya proses
metilasi DNA menyebabkan gangguan ekspresi gen dan
memediasi aktivasi sistem imun (Esfandiari, F., et all. 2020)

25
d. Merokok dan menghirup silika memicu respon inflamasi di
sel epitel dan mononuklear di paru. Kondisi ini
menyebabkan modifikasi protein atau memicu proses
inflamasi nonspesifik merupakan faktor timbulnya LES
(Esfandiari, F., et all. 2020)

3. Faktor Hormonal
Perempuan lebih sering terkena penyakit LES dibandingkan
dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit
LES sebelum periode menstruasi atau selama kehamilan
mendukung dugaan bahwa hormon, khususnya estrogen
menjadi pencetus penyakit LES (Esfandiari, F., et all. 2020)

Faktor resiko lain:


a. Bayi lahir prematur (≥ 1 bulan lebih cepat)
b. Bayi dengan berat lahir rendah (<2.500 g)
c. Anak yang terkena paparan pestisida
d. Kehamilan
e. Defisiensi vitamin D (C.M. Bartels, H.S. Diamond, et al.
2017)

2g. Apa makna klinis tidak ada Riwayat keluarga pada kasus?
Jawab:
Artinya SLE dalam hal ini bukan disebabkan oleh faktor genetik.
Kemungkinan mutasi gen karena faktor gen ini bukan satu-
satunya penyebab, karena tampaknya timbulnya penyakit dipicu
dengan cara yang tidak diketahui. Beberapa pemicu yang
dikemukakan peneliti sebagai pemicu SLE antara lain infeksi
virus, stres, diet, racun, termasuk beberapa jenis obat yang
diresepkan oleh dokter. SLE juga dipicu oleh faktor lingkungan
yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus) pada orang yang
memiliki kombinasi gen tertentu dalam sistem kekebalannya,
Dugaan sementara, lupus disebabkan oleh kombinasi antara gen

26
yang cacat dan faktor lingkungan, seperti sinar matahari, stres,
obat-obatan tertentu, hormon, infeksi dan virus tertentu
(Desmisagili, A. E. 2012).

f. Bagaimana pathogenesis dari SLE?


Jawab:
- Faktor inisiasi => Hilangnya Self-Tolerance => Sel T hasilkan
TNF alfa, IFN-Y, IL-10 => Stimulasi Sel B produksi Antibodi
=> disfungsi jaringan Idiotip (tidak menahan sel B) => produksi
antibodi berlebih => Antibodi menyerang sel tubuh (terutama
protein pada nukleus) => Terbentuk Kompleks Antibodi =>
Inflamasi => berdampak pada jaringan & Organ => Muncul
gejala (radang kulit, nyeri sendi, lelah yang ekstrim, rusak ginjal,
dll)
- Faktor lingkungan/variasi genetik/sistem neuroendokrin/jenis
kelamin dan hormon seks => disregulasi Imun
- Gangguan mekanisme pembersihan => DNA & sel-sel
Apoptosis => APC => sel T sitokin => mendukung sel B
- DNA & sel-sel Apoptosis + gangguan pembersihan Kompleks
imun => kompleks imun aktivasi komplemen
- Hilangnya supresor sel B (idiotip) => sel B produksi
autoantibodi => kompleks imun aktivasi komplemen
- kompleks imun aktivasi komplemen => Kerusakan Jaringan

g. Apa penyebab pada pipi muncul bercak kemerahan jika terkena sinar
matahari?
Jawab:
Paparan sinar UV dari matahari pada pasien SLE menyebabkan
stimulasi sel B dan produksi Antibodi, lalu terjadi proses inflamasi
yang kemudian merusak sel tubuh akibat kehilangan Self-Tolerance
pada sistem Imun.

27
Paparan Sinar UV => Stimulasi Keratinosit => Stimulasi Sel B =>
Produksi Antibodi => Inflamasi => merusak jaringan Kulit

(Tanzilia, dkk. 2021).

Sinar UV dapat mengubah struktur DNA yang menyebabkan


terbentuknya antibodi. Sinar UV juga dapat menginduksi apoptosis
keratinosit manusia yang menghasilkan blebs nuklear dan
autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel. (Surjana, 2014).

h. Apa makna klinis tidak ada riwayat penyakit keluarga pada kasus
ini?
Jawab:
Artinya SLE dalam hal ini bukan disebabkan oleh faktor genetik.
Kemungkinan mutasi gen karena faktor gen ini bukan satu-satunya
penyebab, karena tampaknya timbulnya penyakit dipicu dengan cara
yang tidak diketahui. Beberapa pemicu yang dikemukakan peneliti
sebagai pemicu SLE antara lain infeksi virus, stres, diet, racun,
termasuk beberapa jenis obat yang diresepkan oleh dokter. SLE juga
dipicu oleh faktor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin
termasuk virus) pada orang yang memiliki kombinasi gen tertentu
dalam sistem kekebalannya, Dugaan sementara, lupus disebabkan
oleh kombinasi antara gen yang cacat dan faktor lingkungan, seperti
sinar matahari, stres, obat-obatan tertentu, hormon, infeksi dan virus
tertentu (Desmisagili, A. E. 2012).

i. Apa etiologi sariawan di langit-langit mulut?


Jawab:
Sampai saat ini penyebab sariawan (apthous stomatitis) masih belum
diketahui. Namun,
para ahli menduga ada beberapa hal yang bisa memicunya:
1. Iritasi atau trauma
2. Bahan kimia dalam produk pembersih gigi
3. Makanan tertentu

28
4. Kekurangan vitamin
5. Alergi
6. Perubahan hormon
7. Penyakit tertentu
8. infeksi virus
(Rahmi, 2017).

j. Apa kemungkinan penyakit pada kasus?


Jawab:
Penyakit pada kasus kemungkinan adalah SLE (Systemic lupus
erythematosus) karena keluhan yang dialami merupakan gejala
klinis dari SLE. Gejala klinis LES melibatkan hampir seluruh sistem
organ sebagai berikut:
1. Manifestasi konstitusional
Manifestasi konstitusional LES meliputi demam, kelelahan,
limfadenopati, malaise, serta penurunan nafsu makan dan berat
badan.
2. Manifestasi muskuloskeletal
Manifestasi muskuloskeletal pada LES dapat mengenai struktur
sendi, otot, tulang, dan jaringan penyokong. Manifestasi
muskuloskeletal antara lain artralgia, artritis erosif (rhupus
syndrome), artritis nonerosif, artropati jaccoud, kelemahan otot,
mialgia, miositis, osteoporosis, rotator cuff syndrome, dan
tenosinovitis.
3. Manifestasi kulit dan mukosa
Manifestasi kulit dan mukosa ditemukan pada 75-85% pasien
LES berupa ruam malar, lupus eritematosus diskoid (LED)
(terlokalisata, generalisata), fotosensitivitas, LED mukosa (oral,
konjungtiva, nasal, genital), lupus eritematosus kutaneus
subakut, alopesia, lupus panikulitis atau lupus profundus, LED
likenoid, telangiectasia periungual, lupus eritematosus les
bulosa, small vessel cutaneous leukocytoclastic vasculitis,

29
secondary atrophie blanche, livedo reticularis, dan fenomena
Raynaud (Sumariyono dkk, 2019).

3. Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum sakit sedang, sensorium kompos mentis,
Tanda Vital: frekuensi napas 20x/mnt, frekuensi nadi: 80x/mt, suhu 37.4°
C, tekanan darah: 120/80 mmHg.
Keadaan Spesifik:
Kepala : alopesia (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-),
muka : malar rash (+), mulut : ulserasi di langit mulut (+).
Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
Jantung/paru: dalam batas normal.
Abdomen : hepar tidak teraba, lien tidak teraba.
Ekstremitas : pergelangan tangan dan kaki: pembengkakan/merah (+), akral
hangat.
a. Apa saja interpretasi dari pemeriksaan fisik?
Jawab:
Pemeriksaan Fisik Normal Hasil Interpretasi
Sensorium Compos Mentis Normal
Frekuensi 16-24x/menit 20x/mennit Normal
Pernapasan
Denyut Nadi 80-100x/menit 80x/menit Normal
Tekanan Darah 120/80mmHg 120/80mmHg Normal
Suhu 36,5-37,5 °C 37,4 °C Normal
Kepala Alopesia ( rambut Abnormal
rontok )
Konjungtiva Tidak pucat Tidak pucat (-) Normal
Palpebra
Sklera Ikerik Tidak ikterik Tidak ikterik (-) Normal
Ruam Malar (+) Eritematosa
Mulut Tidak ulsersi Ulsersi pada langit- Abnormal
langit mulut

30
Leher Tidak terdapat Tidak terdapat Normal
perbesaran KGD perbesaran KGD
Jantung/Paru Dalam batas Dalam batas Normal
normal normal
Hepar Tidak teraba Tidak teraba Normal
Lien Tidak teraba Tidak teraba Normal
Pergelangan kaki & Tidak terdapat Terdapat Edema
tangan pemebengkakan pemebengkakan (+)
Akral Hangat Hangat Normal

b. Apa mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?


Jawab:
• Malar Rash

Gambar 3 | gambaran jalur pro-inflamasi dalam lesi Cle. Analisis


ekspresi gen telah mengidentifikasi beberapa penanda imunologi
yang secara bersamaan diekspresikan di berbagai bagian lesi kulit
cutaneous lupus erythematosus (CLE) selama peradangan aktif.

31
Gambar tersebut menggambarkan jaringan kompleks dari berbagai
jenis sel imun, termasuk sel T, sel B, sel dendritik plasmacytoid dan
makrofag, yang disorot oleh analisis tersebut; interaksi antara sel-sel
ini diatur oleh sejumlah besar sitokin dan kemokin yang diatur oleh
interferon (IFN), khususnya ligan CXC-chemokine 10 (CXCL10).
Mediator pro-inflamasi ini mengatur adhesi sel ke dinding pembuluh
kulit dan migrasinya menuju epidermis melalui gradien kemokin.
Sel efektor sitotoksik menyerang keratinosit lesi, mengakibatkan
kematian sel keratinosit serta ekspresi sitokin proinflamasi dan
pelepasan kemokin proinflamasi, yang secara keseluruhan memicu
inflamasi lesi (Wenzel, 2019).

Keratinosit (KCs) menghasilkan sitokin dan molekul pro-inflamasi


sebagai respons terhadap radiasi ultraviolet (UV) dan kerusakan
lainnya. Sitokin ini merekrut dan mengaktifkan anggota sistem imun
bawaan, termasuk makrofag, sel dendritik myeloid (mDC), dan sel
dendritik plasmasitoid (pDC). Sel endotel juga merekrut sel dari
sistem imun bawaan melalui molekul adhesi dan glikosaminoglikan
(GAG). DNA endogen dari apoptosis dan perangkap ekstraseluler
neutrofil meningkatkan produksi sitokin oleh pDC. pDC

32
menghasilkan interferon (IFN)-α, yang merekrut anggota sistem
imun adaptif, termasuk Th1 dan sel T sitotoksik (CTL). Sel Th1
menghasilkan IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dan CTL dan
meningkatkan produksinya sendiri. CTLs prime KCs dan sel-sel lain
untuk apoptosis melalui granzyme B (GrB), yang mengaktifkan
caspases dalam sel target. KC merekrut sel T pembunuh alami
(iNKTs) invarian melalui peningkatan ekspresi molekul penyaji
antigen CD1d. iNKT menghasilkan IFN-γ di antara sitokin lainnya.
Berbagai sel imun meningkatkan diferensiasi dan aktivitas sel Th17
melalui produksi IL-6. Sel Th17 menghasilkan IL-17. Aktivitas sel-
sel dan sitokin ini menyebabkan pembentukan lesi dan karakteristik
perpetasi dari lupus eritematosus kulit. MMP, matriks
metaloproteinase; TLR, Reseptor seperti tol (Achtman & Werth,
2015).

Radiasi sinar UV à menyebabkan sel Keratinosit apoptosis à


respon inflamasi meningkat à sitokin dan molekul pro-inflamasi
meningkat à Sitokin merekrut dan mengaktifkan sistem imun
nonspesifik (makrofag, sel dendritik myeloid (mDC), dan sel
dendritik plasmasitoid (pDC)) dan mengaktivkan sistem imun
nonspesifik melalui adhesi molekul dan glikosaminoglikan (GAG).
DNA endogen meningkatkan produksi sitokin oleh pDC à pDC
menghasilkan interferon (IFN)-α à (IFN)-α mengaktivasi sistem
imun spesifik à aktivasi Th1 dan sel T sitotoksik (CTL) à
Aktivitas sel-sel dan sitokin proinflamasi à peningkatan produksi
sel mast dan pelepasan histamin à vasodilatasi pembuluh darah
superfisial à manifestasi lesi kemerahan dan malar rash.

33
• Oral Ulcer

Ulkus mirip aphthous: gambaran histopatologi. Kiri: Gambar-


gambar ini menunjukkan beberapa ciri khas ALU: ulkus bulat atau
oval yang ditutupi oleh fibromembran kuning-putih dengan halo
eritematosa perifer; margin mungkin tampak indurasi dan meninggi
(A: ALU di sisi kanan lidah; B: ALU di mukosa bukal posterior; C:
Empat ALU bersamaan di mukosa bukal anterior). Kanan: Lesi
ulseratif menunjukkan peningkatan angiogenesis dan infiltrat
inflamasi campuran yang terdiri dari berbagai leukosit (limfosit,
neutrofil, monosit dan histiosit) (Capello, et al., 2019).

34
Lichen planus oral (OLP) adalah kondisi peradangan
kronis.Mekanisme antigen-spesifik dan non-spesifik berperan dalam
patofisiologinya. OLP bermanifestasi sebagai akibat dari apoptosis
keratinosit basal—diinduksi oleh sel T CD8+ (Gbr. B). Kerusakan
pada lapisan basal ini memudahkan leukosit untuk berpindah ke
ruang intra-epitel dan mengakibatkan peradangan yang berlangsung
dengan sendirinya. Selain itu, terdapat lebih banyak sel mast yang
terdegranulasi pada jaringan OLP dibandingkan dengan mukosa
mulut normal; sel mast yang terdegranulasi melepaskan mediator
proinflamasi dan meningkatkan regulasi molekul adhesi sel endotel,
terbukti penting dalam patogenesis OLP. (Linchen planus like
lesion) (Reilly, et al., 2019)

• Sendi

Mekanisme patofisiologi dimediasi oleh faktor lingkungan dan


interaksi gen yang rentan, dan respon imun melibatkan serangkaian
kejadian. (A) Di kelenjar getah bening, pengenalan antigen terjadi
oleh limfosit T naif, yang berdiferensiasi menjadi Th2 dan Th17,
dengan aktivasi sel B berikutnya, dengan peningkatan produksi
autoantibodi; (B) sebagai tambahan, respon Th17 meningkat dengan
sitokin pro-inflamasi, IL-17; (C) Makrofag sinovial dapat
merangsang angiogenesis, rekrutmen leukosit dan limfosit,

35
proliferasi fibroblas, dan sekresi protease, yang berkontribusi
terhadap kerusakan tulang rawan dan tulang di tempat pembentukan
pannus. Selain itu, peningkatan produksi sitokin, terutama TNF-α
dan IL-1, merangsang sinoviosit; (D) fibroblas sinovial di tempat
inflamasi meningkatkan COX2/PGE2, dan penurunan SIRT1.
Kondrosit juga dirangsang oleh makrofag sinovial; (E) Makrofag
meningkatkan perekrutan neutrofil di tempat inflamasi, dengan
meningkatkan produksi ROS dan RNS dan aktivasi MPO dan NF-
κB (Oliveira, et al., 2017).

kompleks imun (Ag-Ab) mengendap pada sendi à yang


menyebabkan kerusakan sendi à kerusakan organ dan jaringan
menginduksi pelepasan sistem imun non spesifik dan spesifik
sebagai bentuk perlawanan terhadap jaringan yang rusak à respon
sitokin pro inflamasi meningkat (IL1, IL6, TNF-A, PGE2) à sendi
bengkak, merah, panas dan nyeri.

• Alopecia

Gambar 3. Kaskade imunologi di folikel rambut pada pasien dengan


alopecia areata. Stresor eksternal dan sitokin/kemokin inflamasi
mengarah pada hubungan yang kuat antara MHC kelas I, infiltrasi

36
sel T CD8+ dan CD4+ autoreaktif yang menargetkan peptida terkait
melanogenesis pada HFs dan sel CD8+NKG2D+ dalam area
kekebalan folikel rambut mengarah ke mediasi imun penghancuran
area bola rambut dan perkembangan patologis AA.

Penurunan clearance apoptosis antibodi à aktivasi sel B dan T, dan


produksi antibodi yang berlebihan à peningkatan produksi sel Th
dan Tc1 à sel Th1 dan Tc1 autoreaktif menumpuk di dalam dan di
sekitar folikel rambut (yang disebut “swarm of bees”) à kegagalan
pembentukan anagen III/IV ke V à kerontokan rambut à alopecia

4. Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb: 11,7 gr/dL, Eritrosit 4.5x106/uL, Lekosit : 6000/uL,
Trombosit 178.000/uL, hitung jenis 0/2/2/51/34/11. Ht 34 vol%, retikulosit
0,5 %, LED : 100 mm/jam, Urin rutin : dalam batas normal
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Jawab:
Pemeriksaan Normal Hasil Interpretasi
Hemoglobin Pria: 13 – 17 gr/dl 11,7 gr/dL Abnormal

Wanita: 12 – 16 gr/dl
Eritrosit Pria: 5 X 1012 (5 Juta) 4.5x106/uL Normal

Wanita: 4,6 X 1012 (4,5


Juta)
Leukosit 3200-10000 Mm3 6000/uL Normal
Trombosit 120/80mmHg 178.000/uL Normal
Basofil < 2% 0 Normal
Eosinofil 2-4 % 2 Normal
Neutrofil Batang 2-5 2 Normal
Neutrofil Segmen 50-70% 51 Normal
Limfosit 20-40% 34 Normal
Monosit 3-8% 11 Abnormal

37
Hematokrit Pria: 38,8-50% 34% Normal

Wanita: 34,9-44,5%
Retikulosit 0,5-2% 0,5% Normal
LED 0-20 mm/jam 100 mm/jam Abnormall
Urin Rutin - Dalam batas Normal
normal

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan laboratorium?


Jawab:
•Hemokonsentrasi Nilai normal hematokrit pada anak-anak adalah
37-43%. Meningginya nilai hematokrit akibat kebocoran plasma ke
daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak.
• Neutrofilia
Neutrofilia merupakan peningkatan persentase neutrofil didalam
darah. Pada saat terjadi infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri
atau parasit yang menyerang tubuh maka neutrofil yang merupakan
sel yang
berfungsi melawan mikroorganisme asing akan meningkatkan
produksinya agar dapat melawan mikroorganisme tersebut.
Peningkatan jumlah neutrofi berkaitan dengan tingkat keganasan
infeksi, sert jika terjadi peningkatan neutrofi lebih besar daripada
peningkatan sel darah merah total mengindikasikan infeksi yang
berat.
• LED
Peningkatan jumlah leukosit dari normal jumlaL > yang disebut
leukositosis, adalah tanda infeksi akut> LED tinggi menunjukkan
peradangan (Setiati S, dkk. 2014).
• Monosit
Faktor hormonal, faktor eksternal > kemiripan molekul >
autoantigen kegagalan toleransi pengenalan sel T > Aktivasi sel T (
CD4+) ÿ Sel B aktivasi dan sintesis IgG > produksi sel T Sitokin >

38
sitokin sel T mengaktifkan makrofag sinovial > sintesis sitokin pro
dan anti inflamasi >
sitokin pro inflamasi menginduksi sintesis sitokin sekunder, COX-
2, PLA 2, iNOS dan molekul adhesi > sel bermigrasi dari darah
perifer > aktivasi autoantibodi antinuclear > pembentukan imun
kompleks dan aktivasi komplemen dalam sirkulasi > pengendapan
kompleks imun > kerusakan jaringan > inflamasi > peningkatan
Monosit (Pergeseran ke kanan) (Setiati S, dkk. 2014).

5. Data hari kedua:


Pemeriksaan serum imunologi: C3 : 40 mg/dL, C4 : 45 mg/dl, Anti ds-
DNA: 332 IU/ml , ANA: > 1: 1000.
a. Bagaimana interpretasi dari Pemeriksaan serum imunologi?
Jawab:
Nilai Nomal dari Komplemen C3 adalah 50-120 mg/dl dalam serum,
dan nilai normal Komplemen C4 adalah 20-50 mg/dl dalam serum
(Abbas, 2012). Pada kasus Komplemen C3 dalam serum mengalami
defisiensi disebabkan oleh konsumsi berlebihan dari faktor
komplemen akibat respon imun berlebihan (Hipersensitifitas Tipe 3)
(Abbas & Awalia, 2021).

Interpretasi tes anti-dsDNA pada SLE yaitu nilai <200 IU/ml berarti
negatif, 201 – 300 IU/ml berarti Moderate positif (positif sedang),
dan > 800 IU/ml berarti positif kuat( nadifa, 2017). Pada kasus nilai
nya adalah 332 IU/ml yang berarti Nona A terolong positif sedang
SLE bila ditinjau lewat tes anti-dsDNA (Alnajashi & Alshamrani,
2021)

Interpretasi anibodi nukelar (ANA) yaitu ANA titers ≥ 40 dianggap


positif. Selanjutnya, tingkat ANA dikategorikan untuk ≥ 160 Mild
positif, ≥ 640, positif sedang, dan ≥ 1280, sangat positif (Alnajashi,
2021). Pada kasus ANA memiliki Nilai 1000 yang berarti Nona A
tergolong Positif sedang SLE bila ditinjau lewat tes ANA (Nadifa,
dkk., 2017).

39
6. Apa saja diagnosis banding pada kasus?
Jawab:
1. SLE
2. Rheumatoid arthritis
• Rheumatoid arthritis (RA) dapat hadir dengan beberapa
manifestasi ekstra-artikular selain arthritis inflamasi poliartikular
klasik dan mungkin sulit untuk dibedakan.dari SLE. ANA positif,
Anti-Ro, dan Anti-La juga dapat terlihat pada RA, meskipun
autoantibodi spesifik SLE dan hipokomplementemia jarang terjadi.
SLE dapat dikaitkan dengan faktor rheumatoid positif, tetapi Anti-
CCP negatif pada SLE
• Lupus yang diinduksi obat mungkin sulit dibedakan dari
SLE, terutama karena tumpang tindih yang signifikan dalam
gambaran klinis dan serologis. Lupus yang diinduksi obat ditandai
dengan resolusi gejala setelah penghentian obat dan kurangnya
manifestasi yang lebih parah, meskipun autoantibodi mungkin tetap
positif selama beberapa tahun.
• Onset dewasa Penyakit masih ditandai dengan artralgia,
demam, limfadenopati, dan splenomegali tetapi tidak ada ruam
malar atau manifestasi organ lain dan tidak memiliki autoantibodi
spesifik SLE.
• Behcet Disease muncul dengan ulkus aftosa, uveitis, dan
artralgia tetapi tidak memiliki gambaran sistemik dan serologis lain
dari SLE.
• Sarkoidosis muncul dengan demam, batuk, dispnea,
kelelahan, keringat malam, ruam, dan uveitis. Ini menunjukkan
granuloma non-kaseosa pada radiografi dada dan adenopati
bilateral, yang jarang ditemukan pada SLE.
Infeksi
• Beberapa infeksi virus (viral infections) dapat meniru SLE.
Infeksi Parvovirus B19 dapat menyebabkan demam, ruam, radang

40
sendi, dan sitopenia. ANA dan faktor rheumatoid telah dilaporkan.
Hepatitis B dan C dapat dikaitkan dengan artralgia/arthritis
inflamasi dan ANA positif dan faktor rheumatoid. Infeksi virus
CMV dan EBV dapat menyebabkan demam, kelelahan, sitopenia,
dan transaminitis. HIV dapat menyebabkan demam, kelelahan,
sariawan, dan sitopenia. Autoantibodi yang lebih spesifik dan
manifestasi sistemik SLE tidak ditemukan pada infeksi virus ini.
Selanjutnya, serologi virus positif dapat membantu membuat
diagnosis yang tepat.
• Endokarditis infeksiosa yang ditandai dengan demam,
emboli arteri, artralgia, mialgia, dan murmur jantung; mungkin
bingung dengan manifestasi jantung SLE tetapi dapat dibedakan
dengan tidak adanya autoantibodi terkait SLE spesifik dan kultur
darah positif.
Keganasan
• Limfoma, terutama limfoma non-Hodgkins, dapat muncul
dengan gejala kelelahan, penurunan berat badan, demam, artralgia,
sitopenia, limfadenopati, dan ANA positif. Autoantibodi terkait SLE
yang lebih spesifik tidak ada. Pada pasien usia lanjut dengan gejala
mirip lupus, keganasan harus disingkirkan dengan skrining kanker.

7. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?


Jawab:
Setiap pasien yang dicurigai LES berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik memerlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis,
mengetahui keterlibatan organ, dan menentukan derajat aktivitas penyakit.
Pemeriksaan terdiri dari
1. Pemeriksaan laboratorium dasar
a. Pemeriksaan Darah perifer lengkap (DPL) dan laju endap darah
(LED),
b. pemeriksaan urine lengkap
c. pemeriksaan kimia darah

41
2. Pemeriksaan autoantibodi
a. Antibodi autonuclear (ANA)
b. Antibodi anti-double stranded DNA (anti-dsdna)
c. Antibodi anti-Smith,
d. Anti-Ro/SSA
e. Anti-La/SSB
3. Pemeriksaan komplemen
Pasien LES aktif umumnya memiliki kadar komplemen C3 dan C4 yang
rendah. Pemeriksaan ini merupakan salah satu pemeriksaan imunologi
untuk mendiagnosis LES dan memantau aktivitas penyakit.
4. Pemeriksaan penapisan penyakit komorbid
5. Pemeriksaan lain yang disesuaikan dengan indikasi tertentu seperti foto
polos toraks dan EKG (Sumariyono dkk, 2019).

8. Apa saja diagnosis kerja pada kasus?


Jawab: SLE (systemic lupus erythematosus)

9. Bagaimana tatalaksana pada kasus?


Jawab:
Tata laksana SLE tidak hanya sebatas pemberian obat saja namun juga
meliputi pendekatan holistik yang berdasarkan pendekatan bio-psiko-
sosial. Tujuan utama penatalaksanaan SLE adalah meningkatkan kualitas
hidup pasien SLE. Tujuan khusus penatalaksanaan SLE antara lain mampu
menurunkan aktivitas penyakit hingga pada level yang rendah, mencapai
masa remisi yang panjang, mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi
organ agar aktivitas hidup sehari-hari tetap baik sehingga kualitas hidup
yang optimal dapat tercapai (Shankar, 2014). Terapi SLE bersifat individual
berdasarkan manifestasi klinis yang dialami pasien, aktivitas penyakit dan
derajat keparahan penyakit serta komorbiditas. Strategi terapi atau disebut
dengan pilar terapi SLE meliputi antara lain, 1) edukasi dan konseling, 2)
program rehabilitasi, 3) terapi medikamentosa (OAINS, antimalaria,
steroid, imunosupresan / sitotoksik, dan terapi lain). Pasien yang

42
mendapatkan terapi perlu dilakukan monitoring secara reguler oleh ahli
rematologi untuk mengoptimalkan terapi farmakologik maupun non
farmakologik serta mencapai tujuan terapi (Wallace, 2020).

OAINS dipakai sebagai analgesik dan anti inflamasi serta


antikoagulan. Obat antimalaria efektif untuk mengobati berbagai gejala dan
tanda SLE dan mencegah flares. Mekanismenya belum jelas, kemungkinan
obat antimalaria mengganggu aktivasi sel T, menghambat aktivitas sitokin
dan toll-like receptors intraseluler. Obat antimalaria dapat mengenali dan
mengikat bahan asing yang kemudian berkontribusi dalam mengaktivasi
sistem imun. Obat imunosupresan (misal cyclophosphamide, azathioprine)
biasa dipakai pada kasus berat apabila kortikosteroid dosis tinggi dan
antimalaria gagal mengontrol gejala dan tanda eksaserbasi. Selain itu, dapat
dipakai juga untuk menginduksi dan mempertahankan remisi serta
mengurangi flares atau kekambuhan. Food and Drug Administration (FDA)
pada bulan Maret 2011 menyetujui antibodi monoklonal manusia pertama
untuk terapi SLE. Antibodi monoklonal tersebut dinamakan Belimumab.
Belimumab adalah human antibody monoclonal yang menghambat
pembentukan B cell survival factor (BLyS atau BAFF). Kadar BLyS
meningkat pada beberapa pasien SLE dan memegang peran dalam
patogenesis lupus melalui pembentukan dan ketahanan sel memori B dan
plasmablast membentuk autoantibodi (Lee WS,2020). Belimumab
menghambat aktivasi limfosit B dengan cara mempengaruhi protein yang
diperlukan untuk aktivitas sel B (BLys). Belimumab direkomendasikan bagi
pasien SLE aktif yang menerima terapi standar dengan OAINS, antimalaria,
kortikosteroid dan atau imunosupresan (Maidhof, 2012). Terdapat pula
antibodi monoklonal chimeric terhadap antigen CD 20 yang disebut
Rituximab. Mekanisme kerja rituximab adalah mengurangi substansi yang
memediasi sistem imun yang berhubungan dengan SLE (Lee WS,2020).

Sejumlah besar pendekatan terapi untuk SLE masih dalam


penelitian, antara lain anti-interleukin (IL)-10, B- cell-targeted therapy
(Atacicept dan blisibimod), anti-Jak/stat atau tirosin kinase, reseptor anti-

43
IL-6, inhibitor interferon α dan γ seperti sifalimumab, T-cell costimulation
blocker (Abatacept), inhibitor proteosom (Bortezomib) (Lee WS,2020).

10. Bagaimana komplikasi pada kasus?


Jawab:
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh pasien LES.
Komplikasi dapat disebabkan oleh penyakit LES itu sendiri maupun dari
terapinya.Salah satu organ yang seringkali mengalami koplikasi dari LES
adalah organ hati. Komplikasi organ hati pada pasien LES antara lain adalah
Hepatitis Lupus, Penyakit hati autoimmune, Sirosis Bilier Primer, dan
Cholangitis Sclerosing Primer, Hepatitis akibat virus, steatohepatitis, fatty
liver dan kerusakan hati akibat obat. Selain penyakit pada hati, terdapat pula
gangguan sistemik yang merupakan komplikasi dari LES. Komplikasi
sistemik tersebut antara lain adalah Systemic Vasculitides, Penyakit
Antibody Antibasement Membrane, obat-obatan yang menyebabkan
vasculitis, Sindrom Antifosfolipid, Koagulopati, Trombositopenia dan
dalam kasus yang lebih jarang menyebabkan infeksi virus yang berat.

11. Bagaimana prognosis pada kasus?


Jawab:
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

12. Bagaimana standar kompetensi dokter umum pada kasus?


Jawab:
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk. 3A. Bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2012).

44
2.7 Nilai-Nilai Islam

QS. Al-Baqarah ayat 155-156


“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan dengan suatu ketakutan dan kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka
mengucapkan: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan
kembali.” (Q.S. Al-Baqarah 155-156).”

HR. Bukhari
Artinya: “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan
penawarnya.” (HR Bukhari).

45
2.8 Kesimpulan

Nn. A 20 tahun dating dengan keluhan arthralgia, demam hilang timbul, alopesia,
lesi pada mulut, dan bercak merah akibat menderita SLE et causa reaksi autoimun.

2.9 Kerangka Konsep

Faktor insiasi

Hilangnya Self-
tolerance sistem Imun

Sel B memproduksi
Antibodi berlebihan
(Autoantibodi)

Reaksi
hipersensitifitas tipe 3

Antibodi menyeran sel


tubuh sendiri
(Terutama protein
pada Nukleus)

Antibodi Antibodi Antibodi


menyerang menyerang menyerang sistem
mukosa Kulit muskulosekletal

sariawan Bercak Rambut Nyeri Pada


Kemerahan ROntok Sendi

46
DAFTAR PUSTAKA

Achtman, J. C., & Werth, V. P. (2015). Pathophysiology of cutaneous lupus


erythematosus. Arthritis research & therapy, 17(1), 1-10.

Abas, I. H., Tambunan, B. A., & Awalia, A. (2021). The Correlation between Serum
C3 and C4 Complement Levels with Disease Activity Systemic Lupus
Eritematosus Patients In Dr. Soetomo Hospital, Surabaya. Current Internal
Medicine Research and Practice Surabaya Journal, 2(1), 1-5.

Alnajashi, H., & Alshamrani, F. (2021). Prevalence of antinuclear antibody in


patients with multiple sclerosis: a case-control study. The Egyptian Journal
of Neurology, Psychiatry and Neurosurgery, 57(1), 1-5.

Collins, S. R. 2022. Elsevier’s 2023 Intravenous Medications: A Handbook for


Nurses and Health Professionals. Elsevier health sciences, hlm. 704.

Cappello, F., Rappa, F., Canepa, F., Carini, F., Mazzola, M., Tomasello, G., ... &
Campisi, G. 2019. Probiotics can cure oral aphthous-like ulcers in
inflammatory bowel disease patients: A review of the literature and a

Djianto, A. M. A., Yuliawati, T. H., Dwiningsih, S. R., & Widjiati, W. (2019). Efek
Ibuprofen Oral Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Mencit Betina.
Majalah Biomorfologi, 29(2), 27-31.

Fizpatrick, dkk. 2018. Panduan Penguasaan Keperawatan Klinis: Komprehensif


Referensi. Amerika Serikat: Perusahaan Penerbitan Springer.

Islam, N., Leung, P. S., Huntley, A. C., & Gershwin, M. E. (2015). The autoimmune
basis of alopecia areata: a comprehensive review. Autoimmunity
reviews, 14(2), 81-89.

Jurnal Keperawatan Komunitas Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Vol.


5, Tidak. 2. Hal: 55-61.

Lam, N. C., Ghetu, M. V., & Bieniek, M. L. 2016. Systemic lupus erythematosus:
primary care approach to diagnosis and management. American family
physician, 94(4), 284-294.

47
Levani.Y.,& Aldo.D.P.(2020). Demam tifoid : Manifestasi Klinis ,Pilihan Terapi
Dan Pandangan Dalam Islam.Jurnal berkala ilmiah kedokteran.3(1).10-16.

Lee WS dan Amengual O. 2020. B cells targeting therapy in the management of


systemic lupus erythematosus. Immunological Medicine. 43(1):16-35.

Levani. Y., & Aldo.D.P.(2020). Demam tifoid: Manifestasi Klinis. Pilihan Terapi
Dan Pandangan Dalam Islam.Jurnal berkala ilmiah kedokteran.3(1).10-16.

Maidhof W dan Hilas O. 2012. Lupus: an overview of the disease and management
options. P&T: A Peer-Reviewed Journal for Formulary Management.
37(4):240-246, 249.

Nadifa, S., Achadiyani, A., Dharmadji, H. P., & Hamijoyo, L. (2017). The
Characteristic of Anti dsDNA and Organ System Involved in Systemic
Lupus Erythematosus Patient at Hasan Sadikin General Hospital,
Bandung. Indonesian Journal of Rheumatology, 9(1).

Najirman and Fjriansyah. 2019. Lupus eritmatosus sistemik padapria. Jurnal


kesehatan andalas. Vol 8 No 3. Padang : UNAND

Oliveira, Ana Lígia & Silva Monteiro, Valter Vinícius & Navegantes, Kely & Reis,
Jordano & De Souza Gomes, Rafaelli & Rodrigues, Dávila & de França
Gaspar, Silvia Letícia & Monteiro, Marta. 2017. Resveratrol Role in
Autoimmune Disease-A Mini-Review. Nutrients. 9. 1306.
10.3390/nu9121306.

Oliveira, Ana Lígia & Silva Monteiro, Valter Vinícius & Navegantes, Kely & Reis,
Jordano & De Souza Gomes, Rafaelli & Rodrigues, Dávila & de França
Gaspar, Silvia Letícia & Monteiro, Marta. 2017. Resveratrol Role in
Autoimmune Disease-A Mini-Review. Nutrients. 9. 1306.
10.3390/nu9121306.

Pusporini, R. dan Fuadiyah, D. 2020. Mengenal Pereda Nyeri Dalam Kedokteran


Gigi (hal. 43-44). Surabaya: UB Press

Rainsford, K.D., 2019. Ibuprofen: pharmacology, efficacy and safety.


Inflammopharmacology,. 17(6): p. 275-342.

48
Reilly, R.J., Johnston, W. & Culshaw, S. 2019. Autoimmunity and the Oral
Cavity. Curr Oral Health Rep 6, 1–8. https://doi.org/10.1007/s40496-019-
0203-9

Rahmi. Dkk. 2017. Plester Sariawan Efektif dalam Mempercepat Penyembuhan


Stomatitis Aftosa Rekuren dan Ulkus Traumatikus. Majalah Kedokteran
Gigi Indonesia.

Roviati, E. (2012). Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun


Bawaan yang Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Scientiae Educatia:
Jurnal Pendidikan Sains, 1(2).

Shankar S dan Behera V. 2014. Advances in management of systemic lupus


erythematosus. Journal of Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences.
19:28-36.

Souirti Z, Lahlou M, Ouali OE, Chtaou N, Aarab C, Ghazouani FE, et al. 2013.
Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. Open Journal of
Rheumatology and Autoimmune Diseases. 3:86- 91.

Surjana, N.I. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Imunopatogenesis Lupus
eritematosus sistemik, Jakarta: Internal Publishing

Sudoyo, dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Penerbitan.

Sudoyo, Bambang Setiyonadi, S. S. (2014) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tanzilia, M. F. (2021). Tinjauan Pustaka: Patogenesis dan diagnosis sistemik lupus


eritematosus.

Timlin, H., Syed, A., Haque, U., Adler, B., Law, G., Machireddy, K., & Manno, R.
2018. Fevers in Adult Lupus Patients. Cureus, 10(1), e2098.
https://doi.org/10.7759/cureus.2098

Wallace JD. (Online) 2020. Overview the management and prognosis of systemic
lupus erythematosus. https://www.uptodate.com/conte nts/overview-of-the-
management-and-prognosis-of- systemic-lupus-erythematosus- in-adults.
[diakses tanggal 15 Juli 2020].

49
Wenzel, J. 2019. Cutaneous lupus erythematosus: new insights into pathogenesis
and therapeutic strategies. Nat Rev Rheumatol 15, 519–532.
https://doi.org/10.1038/s41584-019-0272-0

Widodo Djokok . 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. VI. Jakarta: Internal
Publishing.

Wongrakpanich, S., Wongrakpanich, A., Melhado, K., & Rangaswami, J. (2018).


A Comprehensive Review of Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drug Use
in The Elderly. Aging and disease, 9(1), 143–150.
https://doi.org/10.14336/AD.2017.0306 working hypothesis. International
Journal of Molecular Sciences, 20(20), 5026.

Zuraiyaha, V. I. dkk. 2020. Pengaruh Intervensi Alevum Plaster (Zibinger Of


icialne dan Allium Stavium) Terhadap Nyeri Sendi Pada Lansia Dengan
Osteoarthritis.

50

Anda mungkin juga menyukai