Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO E BLOK XX

Kelompok 3
Dosen Tutor: dr. Siti Rohani, M. Biomed

Heni Nurdita (702017001)


Mellyana Cahyadi (702018010)
Meta Ilma Nur Amalia (702018013)
Radicha Maurisha (702018027)
Dhiya Luthfiyyah Utami (702018052)
Putra Pratama Adi Candra (702018054)
Suci Dwi Cahya (702018056)
Rahmi Nurba Driya Ningsih (702018062)
Wahyu Akbar Irsandy (702018077)
Dewi Fortuna (702018082)
Isina Gustri (702018099)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul
“Laporan Tutorial Skenario E Blok XX” sebagai tugas kompetensi kelompok.
Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi besar
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya
sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada:
1. dr. Siti Rohani, M. Biomed, Tutor kelompok 3
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun
spiritual.
3. Teman-teman seperjuangan.
4. Semua pihak yang membantu penulis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga laporan
tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga
kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................. 2

Daftar Isi............................................................................................................ 3

BAB I : Pendahuluan

1.1 Latar Belakang........................................................................ .1

1.2 Maksud dan Tujuan .................................................................1

BAB II : Pembahasan

2.1 Data Tutorial ........................................................................... 2

2.2 Skenario Kasus.........................................................................2

2.3 Klarifikasi Istilah......................................................................3

2.4 Identifikasi Masalah ................................................................ 4

2.5 Prioritas Masalah......................................................................5

2.6 Analisis dan sintesis Masalah ................................................. 5

2.7 Kesimpulan .............................................................................40

2.8 Kerangka Konsep ....................................................................41

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................42
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok Traumatologi dan Kegawatdaruratan Medik adalah Blok 20 pada
Semester VII dari Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Pada
kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran
untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada kesempatan yang akan
datang. Laporan skenario E “Disuntik Kok Begini” Pak Budi, usia 28 tahun,
datang ke UGD RSMP dengan keluhan diare sejak 2 hari yang lalu. Saat
dilakukan pemeriksaan, dokter menyarankan untuk rawat inap.
Dokter melakukan pemasangan IV line, kemudian diberikan antibiotik
profilaksis berupa amphicilin. Selama masa observasi di UGD 1 jam
kemudian, pasien mengeluh timbul bengkak di area suntikan dan bibir disertai
ruam kemerahan di kulit seluruh tubuh, dan pasien merasa sesak. Pasien tidak
diketahui memiliki Riwayat alergi obat dan makanan sebelumnya.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan
metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial

Tutor : dr. Siti Rohani, M. Biomed

Moderator : Putra Pratama Adi Candra

Sekretaris Meja : Rahmi Nurbadriyah N

Sekretaris Papan : Suci Dwi Cahya

Waktu : Senin, 09 Agustus 2021 (Sesi 1)

Pukul: 08.00 - 10.00 WIB

Rabu, 11 Agustus 2021 (Sesi 2)

Pukul: 08.00 - 10.00 WIB

Peraturan Dalam Proses Tutorial:

1. Menonaktifkan ponsel atau dalam keadaan diam.


2. Mengacungkan tangan saat akan mengajukan argument
3. Izin saat akan keluar ruangan
4. Tenang dan memperhatikan saat tutor memberi pengarahan
5. Selama tutorial berlangsung menjaga sikap dan perkataan

2.2 Skenario E

“Disuntik Kok Begini”

Pak Budi, usia 28 tahun, datang ke UGD RSMP dengan keluhan diare
sejak 2 hari yang lalu. Saat dilakukan pemeriksaan, dokter menyarankan
untuk rawat inap. Dokter melakukan pemasangan IV line, kemudian

2
diberikan antibiotik profilaksis berupa amphicilin. Selama masa observasi di
UGD 1 jam kemudian, pasien mengeluh timbul bengkak di area suntikan dan
bibir disertai ruam kemerahan di kulit seluruh tubuh, dan pasien merasa sesak.
Pasien tidak diketahui memiliki Riwayat alergi obat dan makanan
sebelumnya. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan ulang didapatkan
hasil sebagai berikut.

Pemeriksaan Fisik ketika di Rumah Sakit:


Primary Survey:

- Airway: Tidak ada sumbatan jalan nafas (clear).


- Breathing: RR 32-34x/menit, tidak ada ronki dan wheezing (+).
- Circulation: TD 80/40 mmHg, nadi 143-145x/menit reguler, bising (-).
- Disability: E4M6V5.
- Exposure: Temp 37,3oC, kemerahan seluruh tubuh.

2.3 Klarifikasi Istilah

No. Klasifikasi Istilah Pengertian

1. Wheezing Jenis bunyi kontinu seperti bersiul (Dorland,


2015).
2. Diare Kondisi dimana seseorang dengan frekuensi
pengeluran feses dan kekentalan feses yang
tidak normal (Dorland, 2015).
3. Ronki Bunyi kontinu seperti mengorok pada
tenggerokan atau tabung bronkial, terjadi
karena obstruksi parsial (Dorland, 2015).
4. Ruam kemerahan Perubahan yang nyata pada tekstus pada
warna kulit yang disebabkan karena
peradangan (Dorland, 2015).
5. Antibiotik Zat kimia biasanya dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme atau secara semisintetis,

3
yang mempunyai kemampuan untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Dorland, 2015).
6. Profilaksis Pencegahan penyakit, pengobatan preventif
(Dorland, 2015).
7. Bengkak Pengumpulan cairan secara abnormal diruang
intertisial tubuh (Dorland, 2015).
8. Amphicilin Penisilin sensitive atau penisilinase
semisintetik yang resisten terhadap asam,
digunakan sebagai antibakteri terhadap
berbagai macam bakteri gram negatif dan
gram positif, juga digunakan sebagai garam
natrium (Dorland, 2015).

9. IV line Sebuah jalur intravena yang biasanya dapat


digunakan sebagai teknik medis untuk
memberikan cairan, obat-obatan dan nutrisi
langsung melalui pembuluh vena seseorang
(Dorland, 2015).

2.4 Identifikasi Masalah

1. Pak Budi, usia 28 tahun, datang ke UGD RSMP dengan keluhan diare
sejak 2 hari yang lalu. Saat dilakukan pemeriksaan, dokter menyarankan
untuk rawat inap. Dokter melakukan pemasangan IV line, kemudian
diberikan antibiotik profilaksis berupa amphicilin.
2. Selama masa observasi di UGD 1 jam kemudian, pasien mengeluh timbul
bengkak di area suntikan dan bibir disertai ruam kemerahan di kulit
seluruh tubuh, dan pasien merasa sesak. Pasien tidak diketahui memiliki
Riwayat alergi obat dan makanan sebelumnya.
3. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan ulang didapatkan hasil sebagai
berikut.

4
Pemeriksaan Fisik ketika di Rumah Sakit:
Primary Survey:
- Airway: Tidak ada sumbatan jalan nafas (clear).
- Breathing: RR 32-34x/menit, tidak ada ronki dan wheezing (+).
- Circulation: TD 80/40 mmHg, nadi 143-145x/menit reguler, bising (-).
- Disability: E4M6V5.
- Exposure: Temp 37,3oC, kemerahan seluruh tubuh.

2.5 Prioritas Masalah


No: 2
“Selama masa observasi di UGD 1 jam kemudian, pasien mengeluh timbul
bengkak di area suntikan dan bibir disertai ruam kemerahan di kulit seluruh
tubuh, dan pasien merasa sesak. Pasien tidak diketahui memiliki Riwayat
alergi obat dan makanan sebelumnya”
Alasan: Karena apabila tidak segera di tatalaksana dapat meningkatkan
morbilitas dan mortalitas pada kasus.

2.6 Analisis Masalah


1. Pak Budi, usia 28 tahun, datang ke UGD RSMP dengan keluhan diare
sejak 2 hari yang lalu. Saat dilakukan pemeriksaan, dokter menyarankan
untuk rawat inap. Dokter melakukan pemasangan IV line, kemudian
diberikan antibiotik profilaksis berupa amphicilin.
a. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada kasus?
Jawab:
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut
sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk
menerima makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi,
menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut
dari tubuh.

5
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.
Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar
saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.

Gambar 1. Sistem Pencernaan


A.Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan
air pada hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir
di anus.Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan.
Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan
dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah.
Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit.
Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit,
terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di
kunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian
kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan
membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-

6
enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan
menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara
sadar dan berlanjut secara otomatis.

Gambar 2. Anatomi Mulut


B.Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Berasal dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring
terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap
infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan
makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
didepan ruas tulang belakang. Keatas bagian depan berhubungan
dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana,
keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan
lubang yang disebut ismus fausium
Tekak terdiri dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi
dengan hidung, bagian media = bagian yang sama tinggi dengan mulut
dan bagian inferior = bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian
superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang

7
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media
disebut orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah
bagian inferior disebut laring gofaring yang menghubungkan orofaring
dengan laring

C.Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang
dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam
lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan
menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut esofagus(dari
bahasa Yunani: οiσω, oeso - "membawa", dan έφαγον, phagus -
"memakan").
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
1. Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
2. Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
3. Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

D.Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti
kandang keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu
1. Kardia.
2. Fundus.
3. Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam
keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke
dalam kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan,
yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan
enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat
penting :

8
1. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam
lambung. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan
kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
2. Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang
diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung
yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi
dengan cara membunuh berbagai bakteri.
3. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)

Gambar 3. Anatomi Lambung

E.Usus halus (usus kecil)


Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan
yang terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui
vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus)
dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang

9
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang
mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan mukosa
( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot
memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar )

Gambar 5. Antomi Usus

Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
1) Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenumadalah bagian dari usus halus yang
terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari
usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum
Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari
yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari
terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latinduodenum digitorum, yang
berarti dua belas jari.

10
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke
dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di
cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal
kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

Gambar 6. Usus dua belas jari (duodenum)

2) Usus Kosong (jejenum)


Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah
bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum)
dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh
usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus
kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus
dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.
Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.
Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan
secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang

11
berarti "lapar" dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari
bahasa Laton, jejunus, yang berarti "kosong".

3) Usus Penyerapan (illeum)


Usus penyerapan atau ileumadalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaanmanusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.

Gambar 7. Usus Kosong (jejenum)

F.Usus Besar (Kolon)


Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara
usus buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari
feses.
Usus besar terdiri dari :
 Kolon asendens (kanan)
 Kolon transversum
 Kolon desendens (kiri)
 Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

12
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi
mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,
seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus.
Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada
bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa
menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

Gambar 8. Anatomi Usus Besar

G.Usus Buntu (sekum)


Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, "buta") dalam
istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus
penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini
ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian
besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora
eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya
digantikan oleh umbai cacing.
H.Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus
buntu. Infeksi pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai

13
cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah
dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis
(infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau
dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix)
adalah hujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang
dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi
dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi
ujung umbai cacing bisa berbeda - bisa di retrocaecal atau di pinggang
(pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ
vestigial (sisihan), sebagian yang lain percaya bahwa apendiks
mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi membuang umbai
cacing dikenal sebagai appendektomi.

I.Rektum dan Anus


Rektum (Bahasa Latin: regere, "meluruskan, mengatur") adalah
sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena
tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens.
Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan
memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali
dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,
konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak
yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang
lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang

14
penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung
saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian
anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari
usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses
dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar - BAB),
yang merupakan fungsi utama anus.

Gambar 9. Anatomi Rektum & Anus

b. Apa makna pak Budi, usia 28 tahun, datang ke UGD RSMP dengan
keluhan diare sejak 2 hari yang lalu?
Jawab:
Maknanya adalah pasien mengalami Diare akut. Diare adalah hasil dari
berkurangnya penyerapan air oleh usus atau peningkatan sekresi air. Diare
dapat mengakibatkan demam, sakit perut, penurunan nafsu makan,
rasa lelah dan penurunan berat badan. Diare dapat menyebabkan
kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, sehingga dapat
terjadi berbagai macam komplikasi yaitu dehidrasi, renjatan
hipovolemik, kerusakan organ bahkan sampai koma. Yang mana
sebagian besar kasus diare akut disebabkan oleh etiologi infeksi. Pada diare
bakteri dan virus, tinja berair adalah hasil dari cedera pada epitel usus. Sel

15
epitel melapisi saluran usus dan memfasilitasi penyerapan air, elektrolit dan
zat terlarut lainnya. Etiologi infeksi menyebabkan kerusakan sel epitel yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas usus. Sel-sel epitel yang rusak tidak
dapat menyerap air dari lumen usus yang menyebabkan feses menjadi encer.
(Nikfarjam, dkk., 2017).
c. Apa makna saat dilakukan pemeriksaan, dokter menyarankan untuk
rawat inap. Dokter melakukan pemasangan IV line, kemudian
diberikan antibiotik profilaksis berupa amphicilin?
Jawab:
Makna menyarankan pasien untuk rawat inap adalah kemungkinan
kondisi pasien sudah menunjukkan gejala klinis berupa kehilangan
cairan dan elektrolit sehingga pasien perlu diterapi cairan melalui
pemasangan IV line dan dirawat inap di rumah sakit (Nikfarjam, dkk.,
2017).

d. Bagaimana patofisiologi keluhan yang terjadi pada kasus?


Jawab:
Suspect faktor infeksi → masuk dan berkembang dalam usus →
enterotoksin → hipersekresi air dan elektrolit → diare → kehilangan
cairan berlebih → perlu terapi cairan → di rawat inap dan pemasangan
IV line (Kowalak, 2017).

e. Bagaimana etiologi dari diare?


Jawab:
1. Faktor Infeksi
1) Infeksi enternal: infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan penyebab utama diare pada anak.Meliputi infeksi
eksternal sebagai berikut :
a) Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya.

16
b) Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki,
Poliomyelitis) Adeno-virus, Rotavirus, astrovirus, dan lain-
lain.
c) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris,
Strongyloides) protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans)
2) Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan
seperti: otitits media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,
bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.
2. Malabsorpsi : Kandungan nutrient makanan yang berupa
karbohidrat, lemak maupun protein dapat menimbulkan intoleransi,
malabsorpsi maupun alergi sehingga terjadi diare pada anak maupun
bayi. Malabsorbsi teridiri dari karbohidrat yaitu disakarida (laktosa,
maltosa, sukrosa) dan monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa),
lemak terutama Long Chain Triglycerida dan protein berupa asam
amino, B lactoglobulin.
3. Makanan yaitu makanan basi, belum waktunya diberikan,
keracunan berupa makanan beracun (bakteri: Clostridium botulinum,
Stafilokokus) dan makanan kecampuran racun (bahan kimia) serta
kwashiorkor, marasmus.
4. Alergi dan Imunodefisiensi : alergi susu, alergi makanan, Cow’s
milk protein sensitive enteropathy dan imunodefisiensi dimana
keadaan ini mungkin hanya berlangsung sementara, misalnya
sesudah infeksi virus (seperti campak) atau mungkin yang
berlangsung lama seperti pada penderita AIDS (Auto Imune
Deficiency Syndrome). Pada anak imunosupresi berat, diare dapat
terjadi karena kuman yang tidak patogen dan mungkin juga
berlangsung lama
5. Penyebab lain (psikis) : Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi
pada anak dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang terjadi

17
pada anak balita,umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
(Ngastiyah, 2014)

f. Apa saja indikasi dan kontraindikasi pengunaan dari antibiotik


profilaksis?
Jawab:
Profilaksis antimikroba umumnya digunakan oleh dokter untuk
pencegahan berbagai penyakit menular, termasuk infeksi herpes
simpleks, demam rematik, selulitis berulang, penyakit meningokokus,
infeksi saluran kemih berulang tanpa komplikasi pada wanita,
peritonitis bakteri spontan pada pasien dengan sirosis, influenza,
endokarditis infektif, pertusis, dan pankreatitis nekrotikans akut, diare,
serta infeksi yang berhubungan dengan fraktur terbuka, penempatan
sendi prostetik baru-baru ini, dan luka gigitan (Enzler, 2011).

g. Bagaimana farmokokinetik dari amphicilin?


Jawab:
Farmakokinetik ampicillin dimulai setelah obat dikonsumsi per oral
dan diabsorpsi di gastrointestinal. Obat menjalani siklus enterohepatik,
dan di eksresikan ke urine dan feses. Obat yang diberikan secara
parenteral segera didistribusikan ke seluruh tubuh dengan konsentrasi
puncak obat tercapai lebih cepat dan lebih tinggi daripada obat per
oral pada dosis yang sama (Peechakara, B.V. and M. Gupta., 2019).
1) Absorpsi
Obat kurang diabsorpsi secara baik di gastrointestinal apabila
dikonsumsi bersama makanan. Absorpsi obat dalam perut kosong
adalah sekitar 30-55%. Konsentrasi puncak obat dalam plasma darah
tercapai sekitar 2 jam.
2) Distribusi

18
Setelah diabsorpsi, obat didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk ke
hati, empedu, otot, dan lemak. Obat ampicillin akan terkonsentrasi
dalam cairan empedu dan menjalani sirkulasi enterohepatik.
Metabolisme Sebagian besar obat ampicillin tidak dimetabolisme.
Sebagian kecil obat dimetabolisme dengan cara hidrolisis cincin beta-
laktam menjadi penicilloic acid.
3) Eliminasi
Waktu paruh obat per oral sekitar 60-90 menit, per injeksi sekitar 27
menit. Sebagian besar ampicillin diekskresikan ke urine dalam bentuk
tidak berubah, sama seperti amoxicillin. Obat juga diekskresikan ke
dalam air susu ibu dan feses. (Peechakara, B.V. and M. Gupta., 2019).

h. Bagaimana farmokodinamik dari amphicilin?


Jawab:
Mekanisme kerja obat ampicillin dimulai ketika obat terikat pada
reseptor primer protein PBPs dan secara cepat menginaktivasi protein
tersebut. PBPs berlokasi di bagian dalam membran dinding sel bakteri
dan memainkan peranan penting dalam siklus sel, serta pembentukkan
morfogenetik dari dinding sel peptidoglikan. Fungsi peptidoglikan
adalah mempertahankan integritas dinding sel pada lingkungan yang
hipotonik. Selanjutnya, inaktivasi PBPs akan mengganggu
pembentukan rantai peptidoglikan yang diperlukan untuk kekuatan dan
rigiditas dinding sel bakteri. Gangguan terhadap sintesis dinding sel
bakteri mengakibatkan melemahnya dinding sel, lisis sel dan kematian
sel (Gunawan, 2016)

i. Bagaimana prosedur pemasangan IV line?


Jawab:
Prosedur tindakan :
1) Alat-alat yang sudah disiapkan dibawa ke dekat penderita di tempat
yang mudah dijangkau oleh dokter/ petugas.

19
 dilihat kembali apakah alat, obat dan cairan yang disiapkan
sudah sesuai dengan identitas atau kebutuhan pasien.
 Dilihat kembali keutuhan kemasan dan tanggal kadaluwarsa dari
setiap alat, obat dan cairan yang akan diberikan kepada pasien.
2) Perlak dipasang di bawah anggota tubuh yang akan dipasang infus.
3) Memasang infus set pada kantung infuse : - Buka tutup botol cairan
infus. - Tusukkan pipa saluran udara, kemudian masukkan pipa
saluran infus. - Tutup jarum dibuka, cairan dialirkan keluar dengan
membuka kran selang sehingga tidak ada udara pada saluran infus,
lalu dijepit dan jarum ditutup kembali. Tabung tetesan diisi sampai ½
penuh. - Gantungkan kantung infus beserta salurannya pada tiang
infus.
4) Cucilah tangan dengan seksama menggunakan sabun dan air
mengalir, keringkan dengan handuk bersih dan kering.
5) Lengan penderita bagian proksimal dibendung dengan torniket.
6) Kenakan sarung tangan steril, kemudian lakukan desinfeksi daerah
tempat suntikan.
7) Jarum diinsersikan ke dalam vena dengan bevel jarum menghadap ke
atas, membentuk sudut 30-40o terhadap permukaan kulit.
8) Bila jarum berhasil masuk ke dalam lumen vena, akan terlihat darah
mengalir keluar.
9) Turunkan kateter sejajar kulit. Tarik jarum tajam dalam kateter vena
(stylet) kira-kira 1 cm ke arah luar untuk membebaskan ujung kateter
vena dari jarum agar jarum tidak melukai dinding vena bagian dalam.
Dorong kateter vena sejauh 0.5 – 1 cm untuk menstabilkannya.
10) Tarik stylet keluar sampai ½ panjang stylet. Lepaskan ujung jari
yang memfiksasi bagian proksimal vena. Dorong seluruh bagian
kateter vena yang berwarna putih ke dalam vena.
11) Torniket dilepaskan. Angkat keseluruhan stylet dari dalam kateter
vena.

20
12) Pasang infus set atau blood set yang telah terhubung ujungnya
dengan kantung infus atau kantung darah.
13) Penjepit selang infus dilonggarkan untuk melihat kelancaran tetesan
14) Bila tetesan lancar, pangkal jarum direkatkan pada kulit
menggunakan plester.
15) Tetesan diatur sesuai dengan kebutuhan.
16) Jarum dan tempat suntikan ditutup dengan kasa steril dan fiksasi
dengan plester. (Shlamovitz, 2021).

j. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi dari pemsangan IV line?


Jawab:
Pengambilan sampel darah berulang, Pemberian cairan IV, Pemberian
obat secara IV, Pemberian IV agen kemoterapi , Dukungan nutrisi IV,
Pemberian darah atau produk darah secara IV, Pemberian IV agen
kontras radiologis untuk computed tomography (CT), magnetic
resonance imaging (MRI), atau pencitraan nuklir (Shlamovitz, 2021).

k. Apa saja jenis antibiotik profilaksis?


Jawab:
Antibiotik profilaksis diberikan sebagai langkah pencegahan infeksi
bakteri, antibiotik profilaksis dibagi menjadi beberapa jenis dan
masingmasing antibiotik diberikan dengan indikasi dan kondisi yang
berbeda-beda. Antibiotik diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
kerjanya,
menurut Permenkes RI nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 adalah :
1) Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-
laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor
betalaktamase, basitarasin, dan vankomisin).
2) Memodifikasi atau mengahambat seintesis protein, misalnya
aminoglikosid, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin,
azitromisin,klaritomisin) klindamisin, dan spektinomisin.

21
3) Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat,
misalnya trimetoprim dan sulfonamid.
4) Mempengaruhi sintesis metabolisme asam nukleat, misalnya
kuinolon, nitrofurantoin.
(Kementrian Kesehatan RI, 2011)

2. Selama masa observasi di UGD 1 jam kemudian, pasien mengeluh timbul


bengkak di area suntikan dan bibir disertai ruam kemerahan di kulit
seluruh tubuh, dan pasien merasa sesak. Pasien tidak diketahui memiliki
Riwayat alergi obat dan makanan sebelumnya.
a. Apa makna selama masa observasi di UGD 1 jam kemudian, pasien
mengeluh timbul bengkak di area suntikan dan bibir disertai ruam
kemerahan di kulit seluruh tubuh, dan pasien merasa sesak?
Jawab:
Maknanya terjadi reaksi hipersensitivitas berupa anafilaksis (Estelle F.
et all, 2011). Gejala klinis akibat reaksi umum dari alergi. Gejala yang
muncul saat anafilaktik bervariasi dengan manifestasi sesuai target
organ yaitu sistem kulit mukosa, sistem pernapasan, sistem
kardiovaskular, sistem gastrointestinal dan sistem lainnya. Gejala
klinis akibat reaksi umum dari alergi meliputi lesu, lemah, rasa tidak
enak yang sulit dilukiskan, rasa tidak nyaman di perut dan dada, timbul
rasa gatal, eritema seluruh tubuh, urtikaria dengan prutitus dan
angioedema (Pemayun, 2019).

b. Bagaimana patofisiologi keluhan pada kasus?


Jawab:
1) Fase Sensitisasi Adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit
dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa saluran nafas
atau saluran makan di tangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan

22
mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma
memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut.
IgE ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit)
dan basofil.
2) Fase Aktivasi Adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya
yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktof lain
dari granula yang disebut dengan istilah preformed mediators.
Histamin adalah dianggap sebagai mediator utama syok anafilaksis.
Banyak tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan
histamine pada reseptor tersebut: mengikat reseptor, H1 menyebabkan
pruritus, rhinorrhea, takikardia dan bronkospasme. Di sisi lain, baik
H1 dan H2 reseptor berpartisipasi dalam memproduksi sakit kepala
dan hipotensi. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam
arakidonat dari membrane sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT)
dan Prostaglandin D2 (PG2) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. PGD2
menyebabkan bronkospasme dan dilatasi pembuluh darah.
3) Fase Efektor Adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmokologik pada organorgan tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi, mucus dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor
(PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas

23
vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan
menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan
sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi
menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi IgE spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor pemukaan sel
Mast (Mastosit) dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya
yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu
terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamine, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari
granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators. Ikatan
antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membrane sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan
prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi
yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan
kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan
aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi. Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak
menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan
aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik

24
sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang
berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keadaan syok yang membahayakan penderita (Johnson&Peebles,
2011).

Terpapar antigen (obat penicillin)  Aktivasi antibody spesifik 


Basofil  Reaksi antibody-antigen  Melepaskan mediator vasoaktif
(histamine, prostaglandin, leukotriens,dll)  Histamin (utama) 
vasodilatasi dan bronkospasme  eritema dan Sesak napas dan
wheezing (Fitria, 2010)

c. Apa saja etiologi dari timbul bengkak di area suntikan dan bibir disertai
ruam kemerahan di kulit seluruh tubuh dan sesak?
Jawab:
• Makanan, obat obatan (antibiotic terutama penicillin), gigitan
serangga
• Sepsis: Infeksi
• Neurogenik: Cedera medulla spinalis, anestesi spinal
• Reaksi anafilaktik: Reaksi hipersensitivitas (alergik)
1) Anafilaksis (melalui IgE)
a) Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
b) Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)
c) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
d) Enzim (kemopapain, tripsin)
e) Serum heterolog (antitoksin tetanus)
f) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
2) Anafilaksis (tidak melalui IgE)
a) Zat pelepas histamin secara langsung
a. Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
b. Obat (opiat, vankomisin, kurare)

25
c. Obat lain (dekstran, fluoresens)
b) Aktivasi komplemen
a. Protein manusia (imunoglobulin & produk darah lainnya)
b. Bahan dialisis
c) Modulasi metabolisme asam arakidonat
a. Asam asetilsalisilat
b. Antiinflamasi nonsteroid (Lieberman, 2013).

d. Apa makna pasien tidak diketahui memiliki Riwayat alergi obat dan
makanan sebelumnya?
Jawab:
Maknanya adalah pasien tidak memiliki riwayat atopi. Atopi
merupakan faktor risiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis
populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki
riwayat penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian berpengaruh
terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih
sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada
biasanya tidak berat. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama
dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul
kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan
sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari
90% kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
Penundaan pemberian adrenalin juga merupakan faktor risiko yang
berakibat fatal.
Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan seranga dan lateks. Udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih
telur dan susu adalah makanan yang biasanya menyebakan suatu

26
reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis
seperti antibiotik khusunya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain.
Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca
dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis (Stephen, 2011).

e. Apa kemungkinan penyakit dengan keluhan pada kasus?


Jawab:
Syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab, yaitu:
1) Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
2) Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
3) Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
4) Distributif (vasomotor terganggu)

Kemungkinan penyakit yang paling mendekati adalah syok anafilaktik,


Bagian dari syok distributif. selain itu adapun beberapa keadaan dapat
menyerupai reaksi anafilaktik, seperti:
1. Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat, dan berkeringat. Tetapi dibandingkan
dengan reasi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan
tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2. Infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa
sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes
atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai
tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak
dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.

27
4. Reaksi histeris, tidak dijumpai danya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun
hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada
reaksi anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome, pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala
seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas
seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan
seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah
mengkonsumsi MSG lebih dari 1 gr, bila penggunaan lebih dari 5gr
bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut
nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang
diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronkial, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya
timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan
makanan dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek,
bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang timbul, mata berair
yang disebabkan karena faktor pencetus, mis, debu, terutama du
udara dingin dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA
(Sudoyo, 2017 : 4133-4134).

f. Apa saja jenis-jenis syok?


Jawab:
1) Syok hipovolemik adalah kondisi perfusi organ yang tidak adekuat
yang disebabkan oleh hilangnya volume intravaskular, biasanya akut.
Hasilnya adalah penurunan preload jantung ke tingkat kritis dan
sirkulasi makro dan mikro berkurang, dengan konsekuensi negatif
untuk metabolisme jaringan dan memicu reaksi inflamasi. Penyebab

28
khas syok hipovolemik traumatis adalah luka bakar permukaan yang
luas, luka bakar kimia, dan lesi kulit dalam.

Syok hipovolemik dibagi menjadi empat subtipe :


a. Syok hemoragik, akibat perdarahan akut tanpa cedera jaringan
lunak utama
b. Syok hemoragik traumatis, akibat perdarahan akut dengan cedera
jaringan lunak dan, sebagai tambahan, pelepasan aktivator sistem
kekebalan
c. Syok hipovolemik dalam arti yang lebih sempit, yang dihasilkan
dari pengurangan kritis dalam volume plasma yang bersirkulasi
tanpa perdarahan akut
d. Syok hipovolemik traumatis, akibat penurunan kritis volume
plasma sirkulasi tanpa perdarahan akut, karena cedera jaringan
lunak dan pelepasan mediator sistem imun.
2) Syok distributif adalah keadaan hipovolemia relatif akibat redistribusi
patologis dari volume intravaskular absolut dan merupakan bentuk
syok yang paling sering. Penyebabnya adalah hilangnya regulasi tonus
vaskular, dengan pergeseran volume dalam sistem vaskular, dan/atau
gangguan permeabilitas sistem vaskular dengan pergeseran volume
intravaskular ke interstitium. Tiga subtipe adalah septik, anafilaksis/
anafilaktoid, dan syok neurogenik.
3) Syok septik
Sepsis didefinisikan menurut kriteria Sepsis-3 saat ini sebagai respons
disregulasi oleh tubuh terhadap infeksi yang mengakibatkan disfungsi
organ yang mengancam jiwa. Ini ditandai dan diukur dengan
peningkatan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment)
Dalam pengaturan perawatan darurat, skor "SOFA Cepat" (qSOFA)
dapat digunakan untuk skrining, hanya memerlukan pemeriksaan awal
keadaan kesadaran, laju pernapasan, dan tekanan darah. Jika ada
perubahan patologis dari parameter ini (kesadaran menurun, laju

29
respirasi = 22/menit, tekanan darah sistolik = 90 mmHg), dan jika
dicurigai adanya infeksi, dapat diasumsikan adanya sepsis
4) Syok anafilaksis ditandai dengan vasodilatasi masif yang diperantarai
histamin dan maldistribusi dengan perpindahan cairan dari
intravaskular ke ruang ekstravaskular. Anafilaksis adalah reaksi
sistemik akut yang biasanya dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas
yang bergantung pada IgE.
5) Syok neurogenik adalah keadaan ketidakseimbangan antara regulasi
simpatis dan parasimpatis dari kerja jantung dan otot polos vaskular.
Tanda-tanda dominan adalah vasodilatasi mendalam dengan
hipovolemia relatif sementara volume darah tetap tidak berubah,
setidaknya pada awalnya.
6) Syok kardiogenik terutama merupakan gangguan fungsi jantung
berupa penurunan kritis kapasitas pemompaan jantung, yang
disebabkan oleh disfungsi sistolik atau diastolik yang menyebabkan
penurunan fraksi ejeksi atau gangguan pengisian ventrikel. Gejala
utama syok kardiogenik adalah agitasi, kesadaran terganggu,
ekstremitas dingin, dan oliguria. Kematian pada pasien syok
kardiogenik biasanya disebabkan oleh ketidakstabilan hemodinamik,
kegagalan multiorgan, dan inflamasi sistemik.
7) Syok obstruktif adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh
penyumbatan pembuluh darah besar atau jantung itu sendiri.
Meskipun gejalanya mirip dengan syok kardiogenik, syok obstruktif
perlu dibedakan dengan jelas dari yang terakhir karena pengobatannya
sangat berbeda (Standl, 2018).

g. Bagaiman insedensi terjadinya syok anafilaktik?


Jawab:
Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA
mengalami reaksi anafilaksis, dengan resiko mengalami kematian
sebesar 1%. Dari 1453 sampai 1503 kematian tiap tahunnya akibat

30
syok atau reaksi anafilaksis, 100 disebabkan oleh makanan, 400 oleh
penisilin, 900 oleh media radiokontras, 3 oleh lateks, 40-100 oleh
getah. Data yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa anafilaksis
merupakan masalah serious kesehatan di USA.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan,
terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar
35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih
sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan, pada orang tua
dan bayi anafilaksis jarang terjadi karena sistem imun pada individu
ini belum sepenuhnya mengalami perkembangan yang optimal.
Syok anafilaktik : Berdasarkan World Allergy Organization (WAO)
2011, kelompok infantile, remaja, wanita hamil dan lanjut usia
memiliki peningkatan kerentanan terhadap anafilaksis. Penyakit
concomitant seperti asma berat yang tidak terkontrol, mastositosis,
penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi seperti beta
blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal. Anafilaksis
dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan
mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada
anak-anak dan dewasa muda, sedangkan, pada orang tua dan bayi
anafilaksis jarang terjadi karena sistem imun pada individu ini belum
sepenuhnya mengalami perkembangan yang optimal. (Johnson, 2011)

h. Apa saja jenis-jenis hipersensitifitas?


Jawab:
a) Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan
tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi

31
secara imunologi terhadap bahanbahan yang umumnya imunogenik
(antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan
berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak
bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen.
b) Reaksi Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)}
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan
kerusakan pada sel tubuh oleh karena antibodi melawan/menyerang
secara langsung antigen yang berada pada permukaan sel. Antibodi
yang berperan biasanya Ig G.
c) Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders) Merupakan
reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari
kompleks antigen antibody berada di jaringan. Gambar berikut ini
menunjukkan mekanisme respons alergi tipe III. Secara ringkas
penulis merangkum reaksi alergi tipe 3.
d) Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe
lambat)} Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan
intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel
imunokompeten, seperti makrofag dan sel T. Ekstrinsik: nikel, bhn
kimia Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type
I diabetes), Multiple sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis, TBC
(Abbas, 2016).

i. Apa saja jenis antibiotik yang dapat menyebabkan syok anafilaktik?


Jawab:
Obat- obatan yang paling sering menimbulkan syok anafilaktik ialah
antibiotik (golongan penicilin) dan obat anti-inflamasi non steroid
(NSAID). Sedangkan, obat lain yang juga dapat menyebabkan syok
anafilaktik contohnya obat topikal (misalnya, klorheksidin, polisporin).

32
Aspirin, opiat, dan agen radiokontras juga dapat menyebabkan
anafilaksis, tetapi reaksi anafilaksis terhadap agen ini sering kali
disebabkan oleh mekanisme yang tidak diperantarai IgE (Fischer et al.,
2018).

3. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan ulang didapatkan hasil sebagai


berikut.
Pemeriksaan Fisik ketika di Rumah Sakit:
Primary Survey:
- Airway: Tidak ada sumbatan jalan nafas (clear).
- Breathing: RR 32-34x/menit, tidak ada ronki dan wheezing (+).
- Circulation: TD 80/40 mmHg, nadi 143-145x/menit reguler, bising (-).
- Disability: E4M6V5.
- Exposure: Temp 37,3oC, kemerahan seluruh tubuh.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik pada kasus?
Jawab:
Airway : Normal
Tidak ada sumbatan jalan nafas
(clear)
Breathing : Takipneu
RR 32-34x/menit, tidak ada ronki
dan wheezing (+)
Circulation : Hipotensi-Takikardia
TD 80/40 mmHg, nadi 143-
145x/menit reguler, bising (-).
Disability : Normal
E4M6V5.
Exposure : Urtikaria
Temp 37,3oC, kemerahan seluruh
tubuh.

33
b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik pada kasus?
Jawab:
wheezing (+).
Terpapar antigen (obat penicillin)  Aktivasi antibody spesifik 
Basofil  Reaksi antibody-antigen Melepaskan mediator vasoaktif
(histamine, prostaglandin, leukotriens,dll)  Histamin (utama) 
vasodilatasi dan bronkospasme  eritema dan Sesak napas dan
wheezing (Fitria, 2010)
Syok anafilaksis
Terpapar antigen (obat penicillin)  Aktivasi antibody spesifik 
Basofil  Reaksi antibody-antigen Melepaskan mediator vasoaktif
(histamine, prostaglandin, leukotriens,dll)  Histamin (utama) 
vasodilatasi  Aliran darah balik menurun (venous return menurun)
 Preload menurun  Pengisian diastolic menurun Tekanan darah
menurun  Perfusi ke jaringan menurun  hipoksia  syok
anafilaksis
eritema
Terpapar antigen (obat penicillin)  Aktivasi antibody spesifik 
Basofil  Reaksi antibody-antigen Melepaskan mediator vasoaktif
(histamine, prostaglandin, leukotriens,dll)  Histamin (utama) 
vasodilatasi  eritema

c. Bagaimana cara mengevaluasi primary survey?


Jawab:
Prinsip penangan Airway pada dasarnya adalah untuk membebaskan
jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap bebas. Jika ada
obstruksi maka lakukan :
1) Chin-lift dan Jaw trust manuver untuk mengangkat lidah yang jatuh
(apabila terdengar suara nafas tambahan berupa snooring)

34
2) Suction cairan atau darah apabila terdapat perdarahan dan terdengar
suara tambahan berupa grugling.
3) Orophringeal aiway (OPA), Membantu ventilasi dengan menahan
lidah yang jatuh kebelakang, menutup jalan nafas.
4) Epiglotis dan supraglotis device
5) Devinitive airway
a) Intubasi Endotrakea
b) Crichotyroidectomy
c) Trakeostomi
(American College Of Surgeons Commitee On Trauma, 2018)

Cara mengevaluasi primary survey breathing


Lakukan penilaian dan periksa dengan cepat: Look-ListenFeel (LLF).
1) Look
a) Adakah luka terbuka, memar.
b) Periksa frekuensi pernapasan
c) Apakah simetris kanan kiri?
d) Gerakan kedua hemithoraks: apakah ada yang tertinggal?
2) Listen
a) Auskultasi: bandingkan kedua hemithoraks.
b) Vesikuler menurun/hilang : apakah hemotoraks atau
pneumotoraks?
3) Feel
a) Palpasi: emfisema subkutan, nyeri, fraktur sternum.
b) Perkusi: sonor, hipersonor, redup, atau pekak
(ATLS, 2018)

Cara mengevaluasi primary survey circulation


1) Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran

35
2) Warna kulit.
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia
3) Nadi.
Periksalah pada nadi yang besar seperti a. femoralis atau a. carotis
sinistra-dextra untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang
tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normo-volemia.
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun
dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan
jaminan bahwa normo-volemia. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung.
4) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
5) Mengetahui sumber perdarahan internal
6) Tekanan darah
(American College of Surgeon. 2018)

Cara mengevaluasi primary survey Disability


1) Reevaluasi ukuran dan reaksi pupil serta tingkat kesadaran. Jika terjadi
penurunan tingkat kesadaran dapat menunjukan penurunan oksigenasi otak
dan perfusi atau bahkan cedera otak langsung, sehingga perlu evaluasi
oksigenasi, ventilasi, dan status perfusi.
2) Tentukan kembali skor gcs
3) Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas
4) Tentukan adanya tanda lateralisasi dan tingkat (level) cidera spinal
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2018)

Cara mengevaluasi primary survey Exposure


1) Mencari kelainan yang mengancam nyawa yang mungkin terlewat

36
2) Membuka semua pakaian, dan menjaga suhu pasien jangan sampai
hiportemi
3) Selimuti pasien
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2018).

4. Bagaimana cara mendiagnosis pada kasus?


Jawab:
1) Anamnesis : Selama masa observasi di UGD 1 jam kemudian, pasien
mengeluh timbul bengkak di area suntikan dan bibir disertai ruam
kemerahan di kulit seluruh tubuh, dan pasien merasa sesak. Pasien
tidak diketahui memiliki Riwayat alergi obat dan makanan
sebelumnya.
2) Pemeriksaan Fisik :
- Breathing : Takipneu, Wheezing (+)
- Circulation : Hipotensi, Takikardi
- Exposure : Kemerahan seluruh tubuh

5. Apa diagnosis banding pada kasus?


Jawab:

1) Hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)


2) Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
3) Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung
4) Distributif (vasomotor terganggu)

37
6. Apa pemeriksaan penunjang pada kasus?
Jawab:
1) Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta
mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal.
2) IgE pesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay test
3) Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test),
dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-
point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan
dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun
uji intradermal (SET) akan lebih ideal.
4) Pemeriksaan lain seperti analisa gas darah, elektrolit dan gula darah,
tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi, rontgen thorak,
dan lain-lain (Johnson & Peebles, 2011).

7. Apa working diagnosis pada kasus?


Jawaban:
Syok Anafilaktik et causa Antibiotic Ampicilin

8. Bagaimana tatalaksana pada kasus?


Jawab:
1) Atasi sesak dan mengi dengan pemberian oksigen 3-6 L/menit
dengan sungkup atau kanul nasal
2) Pasang akses intravena untuk resusitasi cairan (untuk atasi hipotensi
pasien) berikan 1000 mL cairan Nacl 0,9% hingga tekanan sistolik
pasien >90mmHg) atau pemberian obat-obatan.

38
3) Berikan epinefrin 1:1000 sebanyak 0,3-0,5 mg IM pada 1/3 medial
anterolateral paha. Dosis dapat diulang 5-15 menit berikut apabila
belum ada perbaikan.
4) Untuk urtikaria dan angiedema berikan Difenhidramin HCL 50
mg/mL dengan dosis 25-50 mg IV atau IM (Lieberman, 2013).

9. Bagaimana prognosis pada kasus?


Jawab:
Quo ad vitam: Dubia ad bonam.
Quo ad functionam: Dubia ad bonam.
Quo ad sanationam: Dubia ad bonam.

10. Bagaimana komplikasi pada kasus?


Jawab:
1. Gagal nafas
2. Infark miokard
3. Aritmia
4. Syok kardiogenik
5. Kematian
(Johnson, 2011)

11. Bagaimana Standar Kompetensi Dokter Umum pada kasus?


Jawab:
3B gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang gawat darurat demi menyelamatkan
nyawa atau mencegah keparahan/ kecatatan pada pasien. Mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien dan mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

39
12. Bagaimana nilai-nilai islam pada kasus?
Jawab:
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas:
ِ‫ََل يْ ه‬
‫صَلـى لا ل‬ ‫َ يِْا ألّل لَ ا‬
‫ُ يْ لَ له ل‬ ّ َ‫اّ ا يْـ اُْ هي‬
‫ِ ه لَ هِ لَ لا ل‬ ‫ُْل ن‬ ‫ُ هْ يْ نْ ل‬
‫ُ يْ هْ ْ هيِ لَا هْ هِ ْ هيِ ه‬ ‫َ يلِ أ ل هْ ي‬
‫ـَ ل‬
‫ لَ ِ للَ لَ لو لَ هِ لَ ل‬: َ‫َُل لَ َلا ل‬
َ‫ا‬ ‫لو ل‬
Artinya: Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu
anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh
ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”

‫ِ نَْ هََها مِِق ُقِّ همَ َنلهخ ف‬


‫هّ مِ نْ هَا‬ ‫ِ نَْ هَ ه‬
‫َا مْ قُ ُقِّ همَ َنل ه نَْهى مِ نْ هَا هَِمَهَ َ هَه َ هَ هَ م‬ ‫ِمَهَ َ هَه َ هَ هَ م‬

Artinya: Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat


yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa
mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah
mafsadah yang paling ringan.

2.7 Kesimpulan
Pak budi, usia 28 tahun datang dengan keluhan diare dan diberikan
antibiotik profilaksi amphicilin kemudian 1 jam setelahnya mengalami
bengkak, ruam kemerahan dan sesak karena mengalami syok anafilaktik.

40
2.8 Kerangka Konsep
Etiologi dan Faktor
Resiko

Diberikan profilaksis antibiotik (amphicilin)

Allergen

Terpapar pada sel plasma

Pembentukan IgE spesifik

Reaksi hipersensitifitas tipe 1

Pelepasan mediator inflamasi


(Histamin dan Bradikinin)

Syok anafilaktik

Angioderm di Sesak, Wheezing


bibir dan area Urtikaria Takikardi Hipotensi
Takipneu (+)
suntikan

41
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L., 2009,
Drug Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for the American
Pharmacists Association.

Enzler, M. J., Berbari, E., & Osmon, D. R. 2011. Antimicrobial prophylaxis in


adults. Mayo Clinic proceedings, 86(7): 686-701.

Estelle, F. et all. 2011. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines :


Summary. 2011 American Academy of Allergy, Asthma & Immunology. J
Allergy Clin Immunol 20(8): 93-127

Ewan, PW,. 2008. Anaphylaxis. ABC Allergies. BMJ. 3(16):1442- 1445

Fischer, D et al. 2018. Anaphylaxis. Allergy Asthma Clin Immunol. 14(2): 63-70.

Gunawan, 2007. Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth.


Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Johnson, R. F., & Peebles, R. S. .2004. Anaphylactic Shock: Pathophysiology,


Recognition, and Treatment. Seminars in Respiratory and Critical Care
Medicine, 25(06), 695–703.

Kementrian Kesehatan RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia no. 2406/menkes/PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik.

Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2017. Buku Ajar Patofisiologi. Alih bahasa oleh
Andry Hartono. Jakarta: EGC. Hal : 343.

Lieberman PL. 2013. Anaphylaxis. Dalam : Adkinson NF, Bochnes BS, Busse
WW, Holtage SS, Lemanske RF, Simons FE. Middleton’s allergy : principle
and practice. Edisi ke-8. Elseiver Saunders

42
Munita, J.M. and C.A. Arias, Mechanisms of Antibiotic Resistance. Microbiology
spectrum, 2016. 4(2): 10-28.

Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Nikfarjam M, Wilson JS, Smith RC., Kelompok Kerja Pedoman Terapi


Penggantian Enzim Pankreas Klub Pankreas Australasia. Diagnosis dan
manajemen insufisiensi eksokrin pankreas. Med J Aust. 2017 21
Agustus; 207 (4):161-165.

Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2021. Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21

Rengganis I, Sundaru H. 2009. Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Interna Publishing, Jakarta

Standl, T., Annecke, T., Cascorbi, I., Heller, A. R., Sabashnikov, A., & Teske, W.
2018. The Nomenclature, Definition and Distinction of Types of Shock.
Deutsches Arzteblatt international, 115(45), 757–768.

Lund, F., Schultz, J.-H., Maatouk, I., Krautter, M., Möltner, A., Werner, A., …
Nikendei, C. 2021. Effectiveness of IV Cannulation Skills Laboratory
Training and Its Transfer into Clinical Practice: A Randomized, Controlled
Trial. PLoS ONE, 7(3), e32831.

Peechakara, B.V. and M. Gupta.2021. Ampicillin. Treasure Island : StatPearls


Publishing.

Pemayun, T. P. D., Suryana. 2019. Seorang Penderita Syok Anafilaktik dengan


Manifestasi Takikardi Supraventrikular. Jurnal Penyakit Dalam Udayana.
3(2): 41-45. [Jurnal].

Shenoy, E. S., Macy, E., Rowe, T., & Blumenthal, K. G. 2019. Evaluation and
Management of Penicillin Allergy. JAMA, 321(2):188.

43
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2017. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. Jilid III edisi VI. Hal :
4133-4134

U. Bush, K. and G.A. Jacoby, Updated functional classification of beta-


lactamases. Antimicrobial agents and chemotherapy, 2010. 54(3): p. 969-976.

44

Anda mungkin juga menyukai