Anda di halaman 1dari 52

TUGAS PENGENALAN PROFESI BLOK XX

TPP
“Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan Anjing
pada Jaringan Periokular”

Kelompok 3

Pembimbing: dr. Yuni Fitrianti, M. Biomed

Nama: Muhammad Ridho Amrillah


NIM: 702018080

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita sampaikan atas kehadirat Allah SWT karena atas
berkah dan rahmat-Nya dalam penyusunan makalah Tugas Pengenalan Profesi Blok
XX mengenai “Laporan Kasus : “Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies
pada Kasus Gigitan Anjing pada Jaringan Periokular”. Shalawat serta salam
tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW karena atas
berkat perjuangan beliau kita dapat dihantarkan kepada zaman yang terang
benderang sepertisekarang ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah TPP ini dapat terselesaikan
berkat pengarahan, bantuan, dan bimbingan yang telah diberikan oleh berbagai
pihak. Penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada
1. Allah SWT, yang telah memberikan kehidupan dengan sejuknya
keimanan
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materi maupun
spiritual
3. dr. Yuni Fitrianti, M. Biomed. selaku pembimbing Tugas
Pengenalan Profesi (TPP)
4. Teman-teman sejawat seperjuangan
5. Semua pihak yang membantu penulis
Makalah ini penulis tujukan agar setiap orang yang melihat dan
membacanya dapat memahami pembahasan mengenai Laporan Kasus :
“Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan Anjing pada
Jaringan Periokular”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi materi maupun dalam penyusunan kata-
kata dalam penyusunan makalah ini, hal ini disebabkan oleh keterbatasannya
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu penulis memohon
maaf, saran dan kritik bagi seluruh pembaca dalam upaya perbaikan laporan ini.

Palembang,14 juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..3
1.3 Tujuan ……….………………………………………………………………..3
1.3.1 Tujuan Umum.…………………………………………………………….3
1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………………………….3
1.4 Manfaat……….……………………………………………………………….3
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA………………………………………………………………………...4
2.1 Definisi Luka…………………………………………………………………..4
2.2 Anatomi dan Histologi Kulit…………………………………………………..7
2.2.1 Fisiologi Kulit……………………………………………………………….9
2.3 Luka Gigitan Anjing…………………………………………………………..9
2.3.1 Etiologi………………………………………………………………………9
2.3.2 Epidemiologi ……………………………………………………………....11
2.3.3 Patogenesis…………………………………………………………...…13
2.3.4 Manifestasi Klinis………………………………………………….......13
2.3.5 Tatalaksana………………………………………………………………....14
2.3.6 Komplikasi……………………………………………………………..15
2.3.7 Prognosis……………………………………………………………….16
2.3.8 Standar Kompetensi Kedokteran Umum……………………………....16
2.3.9 Dokter Keluarga………………...……………………………………...16

BAB III
METODE PENELITIAN………………………………………………………17
3.1 Lokasi Penelitian………………………………………………………..........17
3.2 Waktu Pelaksanaan……………………………………………………..........17
3.3 Subjek Tugas Mandiri…………………………………………………..........17
3.4 Alat dan Bahan ……………………………………………………………....17
3.5 Langkah Kerja …………………………………………………………….....18
BAB VI
LAPORAN KASUS……………………………………………………………..19
4.1 Laporan Kasus………………………………………………………………..19
BAB V
PEMBAHASAN………………………………………………………………...25
5.1 Pembahasan…………………………………………………………………..25
BAB VI
KESIMPULAN………………………………………………………………….32
6.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..32
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………….33
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (otak)
yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit
zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke
manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu
anjing, kera, musang, kucing dan satwa liar yang telah terinfeksi rabies
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Penyakit rabies endemik di semua benua, kecuali Antartika. Namun 95%


kasus rabies dilaporkan dari benua Asia dan Afrika. Menurut World Health
Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik
di 72 negara. Diperkirakan 55.000 orang di dunia meninggal akibat rabies setiap
tahunnya dan menurut WHO lebih dari 99% kasus rabies pada manusia terjadi
akibat dari gigitan anjing yang terinfeksi (WHO, 2016).

Di Indonesia sebanyak 86 orang meninggal karena rabies pada tahun 2016.


Saat ini terdapat sembilan provinsi di Indonesia dinyatakan sebagai daerah
bebas rabies, sedangkan sebanyak 24 provinsi lainnya masih endemis
(Infodatin, 2016).

Kasus gigitan anjing pada manusia merupakan masalah yang kompleks dan
merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat maupun pengendalian
hewan. Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan komplikasi
yang beragam.

1
Pada usia anak sekolah kerusakan yang sering terjadi yaitu pada daerah kepala
dan leher, pada kasus ini biasanya disertai dengan kerusakan di daerah adneksa
okular atau pada bola mata, sedangkan pada pasien dewasa kerusakan biasanya
terjadi di daerah ekstremitas. Karakteristik kasus gigitan anjing ini antara lain
72% hingga 94% korban biasanya telah mengenal hewan penggigit, dimana 40-
65% kasus hewan penggigit tersebut merupakan milik teman atau tetangga
korban. Anak kecil lebih rentan terkena gigitan yaitu hampir 75% kasus terjadi
pada anak kurang dari sembilan tahun dan lebih sering terjadi pada anak lakilaki
dibanding anak perempuan dengan perbandingan 1.4:1.
Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan yang mengancam jiwa
maupun mengancam organ. Gangguan yang terjadi dapat diakibatkan oleh
energi mekanik gigitan atau dari infeksi yang dihasilkan seperti tetanus maupun
rabies. Rabies merupakan penyakit zoonotik yang bersifat fatal karena dapat
mengakibatkan kematian namun dapat dicegah. Tatalaksana yang tepat dalam
menangani luka akibat gigitan anjing diperlukan untuk mencegah berbagai
komplikasinya termasuk rabies. Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan
penanganan luka akibat gigitan anjing khususnya dalam pencegahan infeksi
rabies.
Pelayanan dokter keluarga merupakan upaya penyelenggaraan pelayanan
kesehatan tingkat primer untuk memenuhi ketersediaan, ketercapaian,
keterjangkauan dan kesinambungan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat
sampai paripurna. Dokter keluarga diperlukan dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia karena banyak penyakit yang bisa dilakukan pencegahan, oleh karena
itu diperlukan dokter keluarga di masyarakat (Lestari dkk, 2017). Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka diperlukan pemahaman tentang manajemen
trauma pada layanan primer dokter keluarga. Pada kesempatan kali ini dibahas
mengenai Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan
Anjing pada Jaringan Periokular.

2
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari tugas pengenalan profesi (TPP) ini, yaitu
memahami bagaimana analisis kasus dari manajemen trauma pada layanan
primer dokter keluarga?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Memahami tugas pengenalan profesi (TPP) dengan judul “manajemen


trauma pada layanan primer dokter keluarga” sebagai kompetensi tugas
individu yang harus dilakukan dalam pembelajaran blok XX.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui anatomi, histologi dan fisiologi kulit.
2. Mengetahui definisi dari luka gigitan anjing.
3. Mengetahui etiologi dari luka gigitan anjing.
4. Mengetahui epidemiologi dari luka gigitan anjing.
5. Mengetahui patogenesis dari luka gigitan anjing.
6. Mengetahui manifestasi klinis dari luka gigitan anjing.
7. Mengetahui penatalaksanaan dari luka gigitan anjing.
8. Mengetahui Komplikasi dari luka gigitan anjing.
9. Mengetahui Prognosis dari luka gigitan anjing.
10. Mengetahui SKDU dari luka gigitan anjing.
11. Mengetahui peran dokter keluarga pada layanan primer

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah agar penulis dan pembaca dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai manajemen trauma pada
layanan primer dokter keluarga.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
1. Luka (vulnus)

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Penyebab

luka dapat berasal dari tusukan/goresan benda tajam, benturan benda

tumpul, kecelakaan, terkena tembakan, gigitan hewan, bahan kimia, air

panas, uap air, terkena api atau terbakar, listrik dan petir (Murtutik dan

Marjiyanto, 2013).

Menurut Dorland (2006), luka dibagi 2 jenis, yaitu:

a. Luka tertutup

Luka tertutup merupakan luka dimana kulit korban tetap utuh

dan tidak ada kontak antara jaringan yang ada di bawah dengan

dunia luar, kerusakannya diakibatkan oleh trauma benda tumpul.

Luka tertutup umumnya dikenal sebagai luka memar yang dapat

digolongkan menjadi 2 jenis yaitu:

1) Kontusio, kerusakan jaringan di bawah kulit yang mana dari

luar hanya tampak sebagai benjolan.

2) Hematoma, kerusakan jaringan di bawah kulit disertai

pendarahan sehingga dari luar tampak kebiruan.

4
b. Luka terbuka

Luka terbuka adalah luka dimana kulit atau jaringan di

bawahnya mengalami kerusakan. Penyebab luka ini adalah benda

tajam, tembakan, benturan benda keras dan lain-lain. Macam-

macam luka terbuka antara lain yaitu luka lecet (ekskoriasi), luka

gigitan (vulnus marsum), luka iris/sayat (vulnus scisum), luka

bacok (vulnus caesum), luka robek (vulnus traumaticum), luka

tembak (vulnus sclopetinum), luka hancur (vulnus lacerum) dan

luka bakar .

Luka iris/sayat (vulnus scisum) biasanya ditimbulkan oleh

irisan benda yang bertepi tajam seperti pisau, silet, parang dan

sejenisnya. Luka yang timbul biasanya berbentuk memanjang, tepi

luka berbentuk lurus, tetapi jaringan kulit di sekitar luka tidak

mengalami kerusakan (Dorland, 2006).

2. Proses penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka (wound healing) merupakan proses yang

kompleks dan terjadi secara fisiologis di dalam tubuh. Penyembuhan luka

adalah proses interaktif yang dinamis yang melibatkan mediator larut, sel

darah, matriks ekstraselular, dan sel-sel parenkim (Singer dan Clark, 1999).

Penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase, yaitu hemostasis, inflamasi,

proliferasi dan maturasi (Robbin, 2007).

5
Pada fase proliferasi, terjadi proses re-epitelisasi. Pada proses re- epitelisasi

terjadi migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Proses migrasi

dimulai beberapa jam setelah terjadi kerusakan pada laminin, sehingga

pada kulit yang luka terjadi kontak antara keratinosit dengan kolagen

(Harrison et al., 2006). Proses migrasi dimulai dari tepi luka pada stratum

basalis yang merupakan lapisan paling dalam dari epidermis dan sisa

adneksa yaitu sisa folikel rambut yang terletak di lapisan dermis, menuju

ke stratum korneum yang terletak di bagian terluar epidermis (Schwartz

et al., 2000). Pada saat migrasi keratinosit terjadi penurunan ekspresi E-

cadherin dan P-cadherin dan perubahan pola dari bentuk linier menjadi

berbentuk punctate (Koizumi et al., 2005).

Pada saat sel dan jaringan sedang mengalami luka, terjadi peristiwa

perusakan sekaligus penyiapan sel yang bertahan hidup untuk melakukan

replikasi. Berbagai rangsang yang menginduksi kematian beberapa sel

dapat memicu pengaktifan jalur replikasi pada sel lainnya; sel radang yang

digabung tidak hanya membersihkan debris nekrotik, tetapi juga

menghasilkan mediator yang merangsang sintesis matriks ekstraseluler

yang baru. Menurut Sjamsuhidayat (2005) pada proses peradangan,

pemulihan dimulai sangat dini dan melibatkan 2 proses yang berbeda:

a. Regenerasi jaringan yang mengalami luka oleh sel parenkim dari

jenis yang sama.

b. Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu

jaringan parut.

6
Pemulihan jaringan (penyembuhan) umumnya melibatkan kombinasi

kedua proses. Regenerasi dan pembentukan jaringan parut juga melibatkan

mekanisme yang serupa yaitu migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel serta

sintesis matriks. Oleh karena itu, walaupun keempat fase utama dalam

mekanisme penyembuhan luka, yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi atau

granulasi, fase remodeling atau maturasi, dijelaskan secara terpisah pada

penjelasan selanjutnya, kenyataannya keempat fase tersebut saling

berkesinambungan antara satu fase ke fase lainnya (Sjamsuhidayat, 2005).

2.2 Anatomi dan Histologi Kulit

Gambar 1. Anatomi dan histologi kulit (Eroschenko, 2012)


Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Di bawah
dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis atau subkutan,
yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak(Weller et al,
2015).

7
a. Lapisan Epidermis
Lapisan ini merupakan lapisan paling tipis dan terluar dari kulit serta
memiliki tebal yang berbeda-beda, selain sel-sel epitel, epidermis juga
tersusun atas lapisan :

• Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui


proses melanogenesis
• Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan
sumsum tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel
Langerhans juga mengikat, mengolah, dan
merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T.
• Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor
sensoris dan berhubungan fungsi dengan sistem
neuroendokrin difus
• Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar
hingga paling dalam sebagai berikut :
• Stratum Korneum, terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng, tanpa
inti dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin.
• Stratum Lucidum, terdiri atas lapisan tipis sel epidermis
eosinofilik yang sangat gepeng.
• Stratum Granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal
gepeng yang sitoplasmanya berisikan granul keratohyalin
• Stratum Spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid. Sel-sel
spinosum saling terikat dengan filamen.
• Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling
bawah pada epidermis, terdiri atas selapis sel kuboid

8
b. Lapisan Dermis

Lapisan dermis yaitu lapisan kulit di bawah epidermis. Dermis


terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu :
• Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis,
terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast,
sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar dari pembuluh
(ekstravasasi).
• Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan
tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I)

Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung beberapa turunan


epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebacea.

c. Subkutan
Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Lapisan ini berfungsi sebagai
cadangan makan. Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock beaker
atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator
panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan
untuk kecantikan tubuh

2.2.1 Fisiologi Kulit


Fungsi utama kulit adalah sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan
dan rangsangan dari luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui mekanisme
biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus (keratinisasi dan
pelepasan sel-sel yang sudah mati), pembentukan pigmen melanin untuk
melindungi kulit sinar radiasi ultraviolet, sebagai peraba dan perasa, serta
pertahanan terhadap infeksi dari luar. Kulit juga mencegah dehidrasi, menjaga
kelembaban kulit, pengaturan suhu, serta memiliki sifat penyembuhan diri.

9
2.3 Luka Gigitan Anjing
2.3.1 Etiologi
Penyebab penyakit Rabies adalah virus neurotropik dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk
seperti peluru dengan diameter 75 μm dan panjangnya antara 100-300 μm,
Variasi ukuran ini bisa dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus
tersusun dari envelop yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein

Rabies disebabkan oleh virus yang tidak bersegmen dari grup V


(RNA virus), golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus
Lyssavirus, spesies Rabies virus. Selain rabies virus, yang termasuk genus
Lyssavirus meliputi kelelawar lagos, virus Makola, virus Duvenhage, virus
kelelawar Eropa 1 dan 2 serta virus kelelawar Australia.

Rhabdovirus merupakan virus dengan panjang kira-kira 180 nm dan


lebar 75 nm. Genom rabies mempunyai 5 jenis protein : nukleoprotein (N),
phosphoprotein (P), matrik protein (M), glikoprotein (G) dan polimerase
(L). Semua Rhabdovirus mempunyai komponen struktur : helical
ribonucleoprotein core (RNP) dan amplop di sekelilingnya. Pada RNP,
RNA dilekatkan oleh nukleoprotein. Protein virus lainnya yaitu
phosphoprotein dan protein besar (Lprotein atau polimerase) berhubungan
dengan RNP.

10
Bentuk glikoprotein ratarata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat di
permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau
protein pusat Rhabdovirus. Struktur dasar dan komposisi rabies dapat dilihat
pada diagram di bawah ini:

Gambar 2. Virus rabies (CDC, 2018)


Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh
paku-paku glikoprotein. Ribonukleoproteinnya tersusun dari RNA
nukleoprotein, phosphorylated atau phosphoprotein dan polimerase.

2.3.2 Epidemiologi
Penyakit rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Schorl pada tahun
1884 terjadi pada kuda di Bekasi. Esser pada tahun 1889 melaporkan adanya kasus
rabies pada kerbau. Tahun 1890, Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di
Tangerang. Kasus rabies pada kucing pertama kali dilaporkan oleh Lier terjadi di
Bondowoso dan di Jember pada tahun 1907. Kasus rabies pada manusia pertama
kali dilaporkan oleh E.Van de Haan pada tahun 1894 di Cirebon.

11
Mengingat anjing merupakan hewan penular utama, maka pemerintah Hindia
belanda waktu itu membuat Undang-Undang (Honsdolheids Ordonatie) yang
menyatakan penanggulangan rabies yang menyangkut hewan merupakan tanggung
jawab Departemen Pertanian (Dinas Peternakan), sedangkan yang menyangkut
manusia yang digigit/yang menderita menjadi tugas dan tanggung jawab
Departemen Kesehatan.

Peraturan untuk mengontrol pergerakan hewan peliharaan (anjing, kucing,


monyet) serta impor hewan peliharaan telah ada setidaknya tahun 1890 yang
diperbaharui pada tahun 1906 dan telah diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1915
tentang pengendalian rabies di antaranya:

• Di daerah bebas rabies, dilarang melalulintaskan anjing, kucing dan


kera.
• Anjing, kucing atau kera yang digigit hewan rabies harus dibunuh
dan dibakar atau dikubur (kedalaman ± 1,5 meter).
• Jika ada laporan rabies, semua anjing harus diberangus ketika di luar
rumah mereka
• Di tempat-tempat di mana tidak ada lisensi anjing, semua anjing
harus memakai pengenal, untuk mengurangi jumlah besar anjing
liar.

Rabies telah ada sejak abad kesembilan belas di Indonesia. Bentuk


epidemiologi rabies di Indonesia adalah perkotaan Rabies, di mana anjing domestik
bertindak sebagai reservoir utama. Sejak tahun 1980an, rabies telah menyebar ke
pulau-pulau besar di kepulauan Indonesia, termasuk provinsi yang tersisa di Jawa,
serta seluruh wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Penyebaran rabies dari
tahun 1884 sampai tahun 2012.

12
2.3.3 Patogenesis
Virus rabies adalah virus neurotropik yang menyebar di sepanjang jalur
saraf dan menyerang sistem saraf pusat (SSP) yang menyebabkan infeksi akut.
Mekanisme penularan paling umum adalah melalui inokulasi perifer virus setelah
gigitan hewan yang terinfeksi rabies. Selanjutnya, terjadi replikasi di jaringan
perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang saraf perifer dan medula spinalis
menuju ke otak, kemudian terjadi diseminasi dalam SSP dan virus menyebar secara
sentrifugal dari susunan saraf pusat menuju ke berbagai organ, termasuk kelenjar
ludah.

2.3.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinik penyakit rabies yaitu gejala prodomal biasanya tidak spesifik
berlangsung 1-4 hari dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia,
gejala gangguan saluran pernafasan, dan gejala gastrointestinal. Setela timbul gejala
prodomal gambaran kinis rabies akan berkembang menjadi salah satu dari dua
bentuk, yang bentuk-bentuk nya adalah Ensefalitik (furious) dan atau paralitik
(dumb). Bentuk ini ditandai dengan aktivitas motorik berlebih, eksitasi,agitasi,
bingung, halusinasi, spasme muskular,meningismus, postur epistotonik, kejang dan
dapat timbulparalisis fokal.

Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia dan aerofobia, tampak saat penderita


diminta untuk mencoba minum dan meniupkan udara ke wajah penderita.
Keinginan untuk menelan cairan dan rasa ketakutan berakibat spasme otot faring
dan laring yang bisa menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia
timbul akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang
otak saraf penghambat nukleus ambigus yang mengendalikan inspirasi.

13
2.3.5 Tatalaksana

Cuci luka dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10- 15 menit.
Kemudian berikan antiseptik berupa alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-
lain. Luka GHPR tidak boleh dijahit, keculai luka yang lebar dan dalam yang
mengeluarkan darah terus menerus. Sebelum menjahit luka, lakukan suntikan
infiltrasi SAR sebanyak mungkin.

Gambar 3. Tatalaksana kasus gigitan hewan tersangka rabies

• VAR (Vaksin Anti Rabies)


Vaksin anti rabies merupakan vaksin yang diberikan setelah
tergigit hewan yang diduga membawa virus rabies dan cara terbaik
agar terhindar dari rabies adalah di VAR. Vaksin ini berfingsi untuk
merangsang antibodi penetral virus rabies. Dosis vaksin yang
dipakai setelah tergigit hewan yang diuga pembawa virus rabies
pada titip-tiap orang berbedabeda.

14
Tetapi pada umumnya vaksin diberikan 4 kali pada orang yang
belum pernah divaksin dalam periode 21 hari. Sedangkan orang
yang sudah penah divaksin hanya diberikan 2 kali dalam periode 3
hari. Vaksin diberikan melaui suntuk ke otor di sekitar lengan bagian
atas (deltoid) atau paha. Setelah vaksin juga menimbulkan efek
samping berupa, deman, sakit kepalam muntahm dan nyeri otot.
• SAR (Serum Anti Rabies)
Serum anti rabies berfungsi untuk menetralkan virus pada
luka sekaligus memberikan perlindungan selama 7-10 hari sebelum
antibodi terbentuk dari vaksin muncul. Serum anti rabies akan
diberikan pada orang yang mengalami lika dengan risoko tinggi.
Dosis pemberian serum anti rabies pada tiap orang berbeda-beda,
disesuaikan dengan berat badan pasien. Umumnya dosis pemberian
serum anti rabies adalah 20 atau 40 IU/kgBB, tergantung jenis serum
yang diberikan.

2.3.6 Komplikasi
Rabies merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Begitu gejalanya
muncul, dapat dipastikan virus rabies sudah menginfeksi otak, sehingga kondisi
penderita bisa memburuk dengan cepat. Akibatnya, penderita dapat mengalami
komplikasi berikut:

• Gagal napas
• Koma
• Henti jantung
• Kematian

15
2.3.7 Prognosis
Rabies merupakan penyakit infeksi dengan prognosis yang buruk dengan
tingkat mortalitas yang tinggi. Hal yang berperan penting dalam meningkatkan
prognosis pasien adalah post-exposure prophylaxis (PEP) yang dilakukan dengan
cepat dan tepat.

2.3.8 Standar Kompetensi Dokter Umum


3A. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter misalnya
pemeriksaan lab atau x-ray. Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi
pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).

2.3.9 Dokter Keluarga

Kedokteran keluarga berfokus pada keluarga. Ontologinya adalah keluarga.


Axiologinya adalah supaya keluarga menjadi sehat. Jadi yang perludi pelajari oleh
mahasiswa S-1 mengenai kedokteran keluarga, seperti padakedokteran
masysarakat, bukan penyakit-penyakit individual, tetapi dinamika dalam keluarga.
Bila ada anggota keluarga yang sakit, ia tentu diobati, tetapi ia dilihat sebagai
representative dari keluarga itu. Timbul pertanyaan antara lain misalnya: mengapa
dia sakit, mengapa ada yang tidak sakit, apa kekuatannya, bagaimana pengaruh
keadaan sakit itu pada interaksi dalam keluarga, bila yang sakit itu pencari nafkah,
bagaimana pergeseran peran, bagaimana relasi antar anggota keluarga, adakah yang
dominan, bagaimana pengambilan keputusan, autoriter atau demokratis, adakah
KDRT atau penyalahgunaan kekuasaan, bagaimana pola komunikasi, adakah
kepercayaanatau tabu serta faktor kebudayaan yang mempengaruhi penyakit,
terapi, promosi prevensi, rehabilitasi, apakah keluarga itu keluarga besar atau
keluarga inti, dan sebagainya (Maramis, 2014).

16
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Lokasi Penelitian


Tugas Pengenalan Profesi (TPP) Blok XX ini dilakukan di rumah
mahasiswa masing-masing dengan cara studi literatur dan analisis laporan kasus,
dikarenakan sedang terjadinya pandemi COVID-19 sehingga tidak memungkinkan
untuk dilakukan secara offline.

3.2 Waktu Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi (TPP) dilaksanakan dengan estimasi waktu
minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-6, selama proses pembelajaran blok yang
sedang berlangsung dan sebelum dilaksanakan ujian blok.

3.3 Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi (TPP)
Blok Traumatologi dan Kegawatdaruratan Medik adalah laporan kasus mengenai
Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan Anjing.

3.4 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang diperlukan :

1) Alat tulis
2) Laptop
3) Jurnal penelitian
4) Textbook

17
3.5 Langkah Kerja
Langkah kerja yang dilakukan :

• Melakukan studi literatur dengan cara membaca jurnal dan textbook


terkait topik Tugas Pengenalan Profesi.
• Membuat laporan (case report dan makalah) Tugas Pengenalan
Profesi (TPP).
• Konsultasi kepada pembimbing Tugas Pengenalan Profesi (TPP).
• Melakukan perbaikan (revisi) jika terdapat kekurangan atau
kekeliruan dalam pembuatan Tugas Pengenalan Profesi.

18
BAB IV
LAPORAN KASUS

4.1 Laporan Kasus


An. G, laki-laki berusia 10 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Mata Cicendo pada tanggal 18 Juni 2018 dengan keluhan sekitar mata digigit
anjing sekitar tiga setengah jam SMRS. Terdapat luka terbuka pada kelopak mata
bawah kiri dan beberapa luka pada daerah pipi dan dahi. Keluhan disertai dengan
nyeri dan perdarahan dari luka. Ibu pasien mengakui gigitan terjadi pada saat anak
bermain di sekitar anjing yang sedang makan. Anjing penggigit merupakan hewan
peliharaan tetangga pasien yang status vaksinasinya tidak diketahui. Tanda anjing
berliur, lebih agresif dari biasanya atau tampak sensitif terhadap cahaya disangkal.
Pasien merupakan korban gigitan keempat dari anjing yang sama. Anjing penggigit
langsung dibunuh oleh warga sekitar setelah kejadian.

Pasien awalnya berobat ke Rumah Sakit Santo Yusup Bandung kemudian


dirujuk ke Rumah Sakit Mata Cicendo. Pasien merupakan anak tunggal, riwayat
kehamilan cukup bulan, lahir spontan di bidan dengan berat badan lahir 3200 gram.
Riwayat imunisasi pasien diakui lengkap.

Pemeriksaan fisik pada tanggal 18 Juni 2018 didapatkan hasil keadaan


umum baik, compos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan
oftalmologis didapatkan hasil visus dasar mata kanan (VOD) 1.0 dan mata kiri
(VOS) 1.0. Tekanan intraokular per palpasi ODS normal. Gerak bola mata ODS
penuh ke segala arah. Segmen anterior mata kanan dalam batas normal. Segmen
anterior mata kiri didapatkan pada palpebra inferior terdapat vulnus laceratum
ukuran 13x3 mm dan ruptur margo (+) dan lain-lain dalam batas normal seperti
tampak pada Gambar 2.1.

19
Pasien didiagnosis vulnus laceratum palpebra inferior OS + suspek ruptur
margo et kanalikuli palpebra inferior OS + vulnus laceratum frontalis sinistra +
vulnus ekskoriatum multipel at regio facialis sinistra et causa gigitan anjing. Pasien
kemudian diinjeksi tetanus toxoid 0.5 ml intramuskular di IGD dan direncanakan
debridemen luka serta repair margo et canaliculi palpebra inferior OS + hechting
primer palpebra inferior OS +/- silicone tube OS dalam narkose umum. Pasien
belum mendapatkan regimen serum antirabies dan vaksin antirabies sehingga
tatalaksana yang dilakukan adalah debridemen luka dengan deterjen dan
pemasangan silicone tube untuk aposisi luka tanpa penjahitan dalam narkose umum
seperti tampak pada Gambar 2.2.

Pasien didiagnosis sebagai post debridement + silicone tube OS + vulnus


laceratum palpebra inferior OS + vulnus ekskoriatum multipel at regio fasialis
sinistra et causa gigitan anjing. Pasien dirawat inap dan diberi infus N4 12
tetes/menit makro, injeksi Cefazoline 3x650 mg intravena dan Parasetamol sirup
4x15 ml per oral dari unit Ilmu Kesehatan Anak. Terapi pasca operasi diberikan
Levofloxacin tetes mata 6x1 tetes mata kiri, Kloramfenikol salep mata 3x di sekitar
luka, dan air mata buatan tetes mata 6x1 tetes mata kiri.

20
Hari pertama pasca operasi didapatkan keluhan nyeri pada luka, tidak
terdapat demam, mual, maupun kejang pada pasien. Status generalis pasien dalam
batas normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan VOD 1.0 dan VOS 1.0.
Segmen anterior OS Ps/Pi silicone tube (+), aposisi luka baik, dan tidak tampak
perdarahan seperti tampak pada Gambar 2.3. Terapi sebelumnya dilanjutkan dan
pasien diobservasi untuk tanda-tanda infeksi rabies.

Pasien mendapatkan injeksi vaksin antirabies pada tanggal 19 Juni 2018


sebanyak 2 dosis secara intramuskular dan direncanakan hechting primer palpebra
inferior OS dalam inhalasi 20 Juni 2018.

21
Tanggal 20 Juni 2018 dilakukan debridemen ulang dengan deterjen dan
repair margo palpebra inferior OS sebanyak 2 jahitan tanpa penjahitan vulnus
laceratum pada kulit palpebra inferior seperti tampak pada Gambar 2.4.

Hari pertama pasca repair margo palpebra inferior OS tidak terdapat


keluhan. Status generalis pasien dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis
didapatkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal.
Segmen anterior OS didapatkan Ps/Pi hechting (+) intak, silicone tube (+), lain-lain
dalam batas normal seperti tampak pada Gambar 2.5. Pasien kemudian
diperbolehkan rawat jalan dengan terapi Cefadroksil tablet 2x500 mg per oral serta
terapi topikal dilanjutkan. Pasien diminta kontrol 5 hari ke poli ROO dan IKA dan
direncanakan injeksi vaksin antirabies hari ke-7.

22
Pasien kontrol pada tanggal 25 Juni 2018 ke poli ROO dengan keluhan
sedikit gatal di area sekitar luka. Keluhan demam, muntah maupun kejang
disangkal. Status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis
menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal.
Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+) intak, dan
krusta pada area fasialis seperti tampak pada Gambar 2.6a. Pasien diinjeksikan
vaksin antirabies hari ke-7 sebanyak 1 dosis intramuskular. Pasien selanjutnya
kontrol tanggal 2 Juli 2018 dengan status generalis dalam batas normal dan status
oftalmologis menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam
batas normal. Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+)
intak seperti tampak pada Gambar 2.6b.

Pada tanggal 9 Juli 2018 dilakukan injeksi vaksin antirabies hari ke-21
sebanyak 1 dosis. Pasien kemudian kontrol kembali ke poli ROO pada tanggal 16
Juli 2018 tanpa ada keluhan. Status generalis pasien dalam batas normal. Status
oftalmologis menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam
batas normal. Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+).

23
Dilakukan aff hechting palpebra inferior OS dengan aposisi luka yang baik seperti
tampak pada Gambar 2.7.Pasien kemudian disarankan kontrol satu bulan
setelahnya.

24
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Kasus gigitan anjing banyak terjadi pada anak usia sekolah dengan
predileksi utama di area wajah. Empat hingga tujuh belas persen kasus melibatkan
mata dan jaringan periokular, dengan trauma paling sering terjadi yaitu kerusakan
pada kanalikuli, nervus fasialis, levator aponeurosis, glandula lakrimal, muskulus
rektus dan troklea. Kerusakan pada tulang orbita dan bola mata lebih jarang terjadi
karena adanya refleks mengedip. Data epidemiologis ini sesuai dengan pasien yang
merupakan anak usia sekolah dengan kerusakan yang terjadi pada kanalikuli.

Kerusakan jaringan yang terjadi pada kasus gigitan anjing disebabkan oleh
kerusakan akibat energi mekanik gigitan dan infeksi. Trauma akibat gigitan anjing
pada kasus ini ditandai dengan adanya vulnus ekskoriasi multipel pada area wajah
dan vulnus laceratum pada palpebra inferior OS yang disertai dengan ruptur margo
dan kanalikuli palpebra inferior OS. Insidensi laserasi kanalikular pada kasus
gigitan anjing bervariasi. Savar et al melaporkan 66% gigitan anjing pada kelopak
mata mengakibatkan kerusakan kanalikuli, dengan 73% kasus melibatkan
kanalikuli inferior, 16% kanalikuli superior dan 11% kanalikuli superior dan
inferior. Pemasangan intubasi silikon selama 2-4 bulan dapat menurunkan insidensi
epifora pada pasien. Hal ini sesuai dengan penanganan pasien pada kasus yang telah
dipasangkan silicone tube pada mata kiri.

Daerah periokular yang kaya akan suplai vaskular mengakibatkan


penyembuhan luka terjadi lebih cepat namun juga memberikan akses langsung
infeksi masuk ke pembuluh darah sistemik. Komplikasi akibat infeksi bakteri
melalui luka gigitan tersebut antara lain osteomielitis, septic artritis, meningitis dan
sepsis. Gejala yang tampak biasanya berupa nyeri yang berlebih, edema, dan pus di
sekitar area trauma. Tanda-tanda ini tidak didapatkan pada pasien.

25
Penanganan luka terbuka dan pencegahan infeksi lini pertama pada kasus
gigitan anjing adalah dengan irigasi dan debridemen luka. Penutupan luka primer
biasanya dianjurkan untuk ditunda terutama pada daerah selain kepala dan leher.
Pemberian antibiotik sistemik untuk profilaksis masih bersifat kontroversial.
Antibiotik untuk profilaksis biasa diberikan selama 3-5 hari, dengan antibiotik
empiris baku emasnya adalah amoksisilin klavulanat. Pasien diberikan Cefazoline
3x650 mg IV walaupun menurut Stefanopoulos et al cefazoline tidak memiliki
cakupan yang luas untuk kasus ini.

Pada kasus gigitan anjing juga perlu dilakukan profilaksis terhadap tetanus.
Pemberian tetanus toxoid atau tetanus immunoglobulin diberikan sesuai dengan
status imunisasi pasien. Pasien pada kasus ini dikatakan memiliki status imuninasi
yang lengkap, sehingga hanya diberikan tetanus toxoid 0.5 ml intramuskular.

Penyakit infeksi lain yang bersifat mengancam nyawa yang dapat terjadi
setelah terjadi gigitan hewan adalah rabies. Rabies merupakan penyakit infeksi akut
pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat
zoonotik yaitu ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular
rabies. Rabies tersebar hampir di seluruh dunia dan lebih dari 150 negara telah
terjangkit penyakit ini. Dua puluh lima provinsi di Indonesia tertular rabies dan
hanya sembilan provinsi yang masih tetap bebas rabies yaitu Nusa Tenggara Barat,
Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data Kemenkes, jumlah rata-rata kasus
gigitan hewan penular rabies per tahun adalah 78.413 kasus pada tahun 2011- 2015.

Cara penularan rabies yaitu melalui gigitan dan non gigitan seperti goresan
cakaran atau jilatan pada kulit terbuka atau mukosa oleh hewan yang terinfeksi virus
rabies. Hewan yang dapat menjadi reservoir virus rabies antara lain anjing, kucing
dan kera, dan di Indonesia 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan
anjing. Masa inkubasi penyakit rabies yaitu antara 2 minggu hingga 2 tahun, dengan
rata-rata 3-8 minggu.

26
Menurut WHO masa inkubasi infeksi rabies rata-rata yaitu 30-90 hari. Gejala klinis
rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf pusat. Setelah virus masuk
melalui luka gigitan/cakaran virus akan menetap selama dua minggu di sekitar luka
gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar luka gigitan. Virus ini
berjalan menuju sistem saraf pusat melalui sistem saraf perifer sehingga tidak
terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang
dapat mendiagnosis dini rabies sebelum muncul gejala klinis.

Gejala klinis infeksi rabies pada manusia dibagi menjadi beberapa tahap,
antara lain tahap prodromal, tahap sensoris, eksitasi dan tahap paralisis. Tahap
prodromal merupakan tahap awal gejala yang ditandai dengan demam, lemas, lesu,
anoreksia, insomnia, sakit kepala hebat dan nyeri tenggorakan. Tahap sensoris
ditandai dengan kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan
reaksi berlebih pada rangsang sensorik. 80% pasien mengalami tahap eksitasi yang
terjadi selama rata-rata 5 hari. Pada tahap eksitasi penderita mengalami berbagai
macam gangguan neurologis, tampak bingung, gelisah, halusinasi, perubahan
perilaku menjadi agresif serta berbagai macam fobia. Gejala lain antara lain spasme
otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi pupil. Setelah beberapa
hari pasien akan meninggal karena henti jantung dan nafas. Bentuk lainnya adalah
rabies tipe paralitik yang mencapai 30% dari kasus rabies dan dengan lama sakit
rata-rata 13 hari. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara bertahap dimulai
dari bekas luka hingga ke otot pernapasan dan jantung. Gejala-gejala tersebut tidak
ditemui pada pasien pada kasus ini selama perawatan maupun selama observasi di
rumah.

Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap prodromal,
tahap eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal merupakan tahap awal gejala
klinis yang berlangsung selama 2-3 hari, ditandai dengan hewan tidak mengenal
tuannya, sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya, mudah
terkejut dan cepat berontak, terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks
kornea menurun.

27
Tahap eksitasi terjadi selama 3-7 hari, ditandai dengan hewan mengalami fotofobia
hingga sering bersembunyi, tampak gelisah dan mengunyah benda yang tidak wajar
atau pika. Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot faring dan laring sehingga
terjadi perubahan suara menyalak anjing, hipersalivasi, air liur berbuih kadang
disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya. Tahap paralisis berlangsung sangat
singkat ditandai dengan kelumpuhan otot pengunyah, otot tenggorokan dan
paralisis kaki belakang. Pada kasus ini anjing penggigit tidak menunjukkan gejala-
gejala tersebut sebelumnya, namun pasien merupakan korban gigitan keempat oleh
anjing yang sama, dan anjing penggigit langsung dibunuh oleh warga sekitar
sehingga pemeriksaan sampel otak hewan tidak dapat dilakukan dan status infeksi
pada hewan penggigit tidak dapat dipastikan.

Pencegahan penularan rabies pada manusia dilakukan dengan memberikan


tatalaksana pada luka gigitan hewan dengan tepat. Pencucian luka dengan air
mengalir dan sabun selama 15 menit harus segera dilakukan setelah terjadi pajanan
untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan. Selubung luar
virus yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun sehingga virus dapat diinaktivasi.
Pemberian antiseptik seperti povidone iodine atau alkohol 70% dapat diberikan
untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa. Penanganan pertama pada pasien
ini telah sesuai dengan anjuran tersebut, yaitu pasien langsung dilakukan pencucian
dan debridemen dengan deterjen.

Tatalaksana selanjutnya adalah dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR)


dan serum anti rabies (SAR). Pemberian vaksin dan serum anti rabies harus
memperhatikan beberapa hal antara lain kondisi hewan pada saat pajanan, hasil
observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan serta
kondisi luka yang ditimbulkan seperti dijelaskan pada Gambar 3.1. Kondisi luka
yang dikategorikan sebagai luka risiko tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka
di atas daerah bahu, yaitu pada leher, muka dan kepala, luka pada jari tangan dan
jari kaki, luka di area genitalia, luka yang lebar atau dalam atau luka multipel.

28
Luka risiko rendah adalah jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/gigitan yang
menimbulkan luka lecet atau ekskoriasi di area badan, tangan, dan kaki.
Berdasarkan kategori tersebut, pasien memiliki luka risiko tinggi karena berada di
daerah wajah sehingga harus segera diberikan VAR dan SAR. Pemberian VAR
pada pasien tetap dilanjutkan karena specimen otak dari hewan penggigit tidak
dapat diperiksa.

World Health Organization (WHO) merekomendasikan tatalaksana


berdasarkan kategori pajanan seperti dijelaskan pada Tabel 3.1. Berdasarkan
kategori tersebut, pasien pada kasus termasuk ke dalam kategori III yang
seharusnya ditatalaksana dengan pencucian dan perawatan luka serta pemberian
langsung VAR dan SAR.

29
Pemberian VAR untuk profilaksis pasca pajanan dilakukan dengan dosis 0.5
ml untuk jenis Purified Vero Rabies Vaccine dan 1.0 ml untuk jenis Purified Chick
Embryo Cell-culture Vaccine secara intramuskular, pada hari ke-0 sebanyak 2
dosis, serta hari ke-7 dan ke-21 masing-masing sebanyak 1 dosis atau pada hari ke
0, 3, 7, dan 14 menurut WHO.

Pada luka dengan risiko tinggi atau kategori III, SAR diberikan bersamaan
dengan VAR hari ke-0. Terdapat dua jenis SAR, yaitu serum homolog (Human
Rabies Immunoglobulin/ HRIG) yang diberikan dengan dosis 20 IU/kg BB dan
serum heterolog (Equine Rabies Immunoglobulin/ERIG) yang diberikan dengan
dosis 40 IU/kgBB. Kedua jenis SAR diberikan dengan cara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin dan sisa SAR diberikan secara intramuskular. Pasien pada kasus
diberikan VAR jenis Purified Vero Rabies Vaccine sesuai dengan dosis yang
dianjurkan pada hari 1, 7, dan 21 karena ketidaktersediaan vaksin pada hari kejadian
gigitan sesuai dengan prosedur tetap yang disarankan Kemenkes RI.

Anjing penggigit pada kasus ini telah dibunuh dan tidak memungkinkan
untuk memastikan status infeksi rabies pada hewan penggigit. Status infeksi rabies
penting selain untuk pemberian profilaksis dan penatalaksanaan infeksinya sendiri
dan juga untuk penanganan luka.

30
Penjahitan primer pada luka akibat gigitan anjing masih bersifat kontroversial.
WHO menganjurkan luka terbuka yang disebabkan oleh hewan penular rabies
diusahakan agar tidak ditutup atau dijahit primer. Apabila penjahitan harus
dilakukan, maka luka harus diinfiltrasi terlebih dahulu dengan serum anti rabies.
Trivedi et al menyatakan penjahitan primer harus segera dilakukan pada seluruh
luka yang tidak terinfeksi dalam 24 jam pertama untuk mendapatkan keluaran
fungsi dan kosmetik yang lebih baik. Alizadeh et al menyatakan penutupan laserasi
dapat dilakukan dengan menggunakan nonadherent dressing. Rui-feng et al
menyatakan tidak ada perbedaan angka kejadian infeksi yang signifikan antara luka
yang dilakukan penjahitan primer dengan yang dilakukan penundaan penutupan
luka. Penanganan luka terbuka pasien pada kasus mengikuti anjuran dari WHO.
Penutupan luka primer ditunda pada pasien sampai pasien mendapatkan VAR, yaitu
1 hari setelah gigitan. Setelah mendapatkan VAR dilakukan penjahitan primer pada
margo palpebra inferior OS. Pasien tidak diberikan SAR karena keterbatasan
regimen SAR pada saat kejadian.

Prognosis pasien pada kasus ini adalah quo ad vitam dubia ad bonam, karena
pasien telah mendapat profilaksis pasca pajanan berupa vaksin anti rabies dan tidak
menunjukkan gejala klinis infeksi rabies selama observasi serta quo ad vitam dubia
ad bonam karena aposisi luka yang tampak baik saat follow up serta tidak adanya
gejala epifora pada pasien.

31
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
1. Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang
ditularkan dari hewan ke manusia, di mana agen infektifnya berupa
virus rabies yang menginfeksi susunan saraf pusat.
2. Berdasarkan etiologinya, penyebab penyakit Rabies adalah virus
neurotropik dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae.
3. Perawatan luka akibat gigitan anjing secara umum yang dapat
dilakukan pada layanan primer, yaitu: Cuci luka dengan air mengalir
dan sabun atau deterjen selama 10- 15 menit. Kemudian berikan
antiseptik berupa alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain.
Luka GHPR tidak boleh dijahit, kecuali luka yang lebar dan dalam
yang mengeluarkan darah terus menerus. Sebelum menjahit luka,
lakukan suntikan infiltrasi SAR sebanyak mungkin.
4. Komplikasi yang dapat ditemukan lebih didominasi oleh gejala sisa
neurologis akibat infeksi virus rabies. Komplikasi ini mencakup
distonia, balismus, koreoatetosis, gangguan motorik halus,
gangguan pola berjalan, gangguan komunikasi verbal dan
nonverbal, dan perubahan kekuatan motorik pada lengan dan
tungkai.
5. Rabies merupakan penyakit infeksi dengan prognosis yang buruk
dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Alizadeh K, Shayesteh A, Xu ML. An Algorithmic Approach to Operative


Management of Complex Pediatric Dog Bites: 3-Year Review of a Level I
Regional Referral Pediatric Trauma Hospital. PRS Global Open. 2017;
2. Cavalcanti AL, Porto E, dos Santos BF, Cavalcanti CL, Cavalcanti AFC.
Facial dog bite injuries in children: A case report. International Journal of
Surgery Case Reports. 2017;41:57–60.
3. Chen E, Hornig S, Shepherd SM, Hollander JE. Primary Closure of
Mammalian Bites. Academic Emergency Medicine. 2000;7(2):156–61.
4. Erickson BP, Feng PW, Liao SD, Modi YS, Ko AC, Lee WW. Dog bite
injuries of the eye and ocular adnexa. Orbit. 6 Juni 2018;
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 2017.
6. Naik BN, Sahu SK, Kumar S G. Wound management and vaccination
following animal bite: a study on knowledge and practice among people in
an urban area of Pondicherry, India. Int J Community Med Public Health.
2015;2(4):501–5.
7. North Carolina Department of Health and Human Service. Rabies Risk
Assessment Steps, Management of Bite Wounds and PEP For Healthcare
Providers. North Carolina; 2015. 1-10 hal.
8. Paschos NK, Makris EA, Gantsos A, Georgoulis AD. Primary closure
versus non-closure of dog bite wounds. A randomised controlled trial.
2014;45:237– 40.
9. Pfortmueller CA, Efeoglou A, Furrer H, Exadaktylos AK. Dog Bite Injuries:
Primary and Secondary Emergency Department Presentations—A
Retrospective Cohort Study. The Scientific World Journal. 2013;2013:1–6
10. Rui-feng C, Li-song H, Ji-bo Z, Li-qiu W. Emergency treatment on facial
laceration of dog bite wounds with immediate primary closure: a
prospective randomized trial study. BMC Emergency Medicine.
2013;13(Suppl 1):1–5.
11. Trivedi N, Patel S. Management of Dog Bite Injuries in Periocular Area.
2009;64(2):13–4.
12. World Health Organization. Rabies Vaccine. In: WHO Position Paper.
Geneva; 2018. hal. 201–20.

33
0

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG

Laporan Kasus : Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus


Gigitan Anjing pada Jaringan Periokular
Penyaji : Desi Mariska
Pembimbing : dr. R. Angga Kartiwa, Sp.M(K)., M.Kes

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh Pembimbing


Unit Rekonstruksi, Okuloplasti, dan Onkologi

dr. R. Angga Kartiwa, Sp.M(K)., M.Kes

Selasa, 14 Agustus 2018


1

TATALAKSANA DAN PENCEGAHAN INFEKSI RABIES PADA KASUS


GIGITAN ANJING PADA JARINGAN PERIOKULAR

ABSTRACT
Introduction: Dog bites in periocular region is common particularly in children. The
wound management is more complex because of its rich vascular supply, which makes the
injuries heal faster but virulent organisms potentially have more direct access to the
systemic vasculature.
Objective: To report the proper management of dog bites wound as well as the post
exposure prevention of rabies in dog bites injury on periocular region
Case Illustration: A 10 years-old boy came to Emergency Department of Cicendo Eye
Hospital after has been bitten on the left region of his face by his neighbor’s dog three and
half hours before admitted to the hospital. General status within normal limit.
Ophthalmologic status showed laceration on lower eyelid and laceration on inferior
canaliculi with multiple laceration on left facial area. He was then managed by irrigation
and wound debridement with detergent and silicone intubation on left eye, the primary
suture was delayed until the anti-rabies vaccine was injected intramuscularly. The vaccines
were injected on day 1, 7 and 21. The patient was followed up until one month after surgery
with no sign of rabies infection and good wound apposition.
Conclusion: Dog bites result in diverse range of injuries and complication, it can be result
from the bite mechanics or infection. The proper local wound management and tetanus and
rabies infection prophylaxis are needed to prevent a life-threatening disease.
Keywords : dog bites, periocular, post exposure rabies prevention

I. Pendahuluan
Kasus gigitan anjing pada manusia merupakan masalah yang kompleks dan
merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat maupun pengendalian
hewan. Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan komplikasi
yang beragam. Pada usia anak sekolah kerusakan yang sering terjadi yaitu pada
daerah kepala dan leher, pada kasus ini biasanya disertai dengan kerusakan di
daerah adneksa okular atau pada bola mata, sedangkan pada pasien dewasa
kerusakan biasanya terjadi di daerah ekstremitas. Karakteristik kasus gigitan anjing
ini antara lain 72% hingga 94% korban biasanya telah mengenal hewan penggigit,
dimana 40-65% kasus hewan penggigit tersebut merupakan milik teman atau
tetangga korban. Anak kecil lebih rentan terkena gigitan yaitu hampir 75% kasus
terjadi pada anak kurang dari sembilan tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 1.4:1.1–4
Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan yang mengancam jiwa maupun
mengancam organ. Gangguan yang terjadi dapat diakibatkan oleh energi mekanik
2

gigitan atau dari infeksi yang dihasilkan seperti tetanus maupun rabies. Rabies
merupakan penyakit zoonotik yang bersifat fatal karena dapat mengakibatkan
kematian namun dapat dicegah. Tatalaksana yang tepat dalam menangani luka
akibat gigitan anjing diperlukan untuk mencegah berbagai komplikasinya termasuk
rabies.1,2,5,6 Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan penanganan luka akibat
gigitan anjing khususnya dalam pencegahan infeksi rabies.

II. Laporan Kasus


An. G, laki-laki berusia 10 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Mata Cicendo pada tanggal 18 Juni 2018 dengan keluhan sekitar mata digigit anjing
sekitar tiga setengah jam SMRS. Terdapat luka terbuka pada kelopak mata bawah
kiri dan beberapa luka pada daerah pipi dan dahi. Keluhan disertai dengan nyeri dan
perdarahan dari luka. Ibu pasien mengakui gigitan terjadi pada saat anak bermain
di sekitar anjing yang sedang makan. Anjing penggigit merupakan hewan
peliharaan tetangga pasien yang status vaksinasinya tidak diketahui. Tanda anjing
berliur, lebih agresif dari biasanya atau tampak sensitif terhadap cahaya disangkal.
Pasien merupakan korban gigitan keempat dari anjing yang sama. Anjing penggigit
langsung dibunuh oleh warga sekitar setelah kejadian.
Pasien awalnya berobat ke Rumah Sakit Santo Yusup Bandung kemudian
dirujuk ke Rumah Sakit Mata Cicendo. Pasien merupakan anak tunggal, riwayat
kehamilan cukup bulan, lahir spontan di bidan dengan berat badan lahir 3200 gram.
Riwayat imunisasi pasien diakui lengkap.
Pemeriksaan fisik pada tanggal 18 Juni 2018 didapatkan hasil keadaan umum
baik, compos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan
oftalmologis didapatkan hasil visus dasar mata kanan (VOD) 1.0 dan mata kiri
(VOS) 1.0. Tekanan intraokular per palpasi ODS normal. Gerak bola mata ODS
penuh ke segala arah. Segmen anterior mata kanan dalam batas normal. Segmen
anterior mata kiri didapatkan pada palpebra inferior terdapat vulnus laceratum
ukuran 13x3 mm dan ruptur margo (+) dan lain-lain dalam batas normal seperti
tampak pada Gambar 2.1.
3

Gambar 2.1. Vulnus laceratum berukuran 13 mm x 3 mm dan ruptur margo pada


palpebra inferior OS (a) dan vulnus ekskoriatum multipel pada regio
frontalis sinistra dan zygoma sinistra (b).
Sumber : RS Mata Cicendo

Pasien didiagnosis vulnus laceratum palpebra inferior OS + suspek ruptur margo


et kanalikuli palpebra inferior OS + vulnus laceratum frontalis sinistra + vulnus
ekskoriatum multipel at regio facialis sinistra et causa gigitan anjing. Pasien
kemudian diinjeksi tetanus toxoid 0.5 ml intramuskular di IGD dan direncanakan
debridemen luka serta repair margo et canaliculi palpebra inferior OS + hechting
primer palpebra inferior OS +/- silicone tube OS dalam narkose umum. Pasien
belum mendapatkan regimen serum antirabies dan vaksin antirabies sehingga
tatalaksana yang dilakukan adalah debridemen luka dengan deterjen dan
pemasangan silicone tube untuk aposisi luka tanpa penjahitan dalam narkose umum
seperti tampak pada Gambar 2.2.
Pasien didiagnosis sebagai post debridement + silicone tube OS + vulnus
laceratum palpebra inferior OS + vulnus ekskoriatum multipel at regio fasialis
sinistra et causa gigitan anjing. Pasien dirawat inap dan diberi infus N4 12
tetes/menit makro, injeksi Cefazoline 3x650 mg intravena dan Parasetamol sirup
4x15 ml per oral dari unit Ilmu Kesehatan Anak. Terapi pasca operasi diberikan
Levofloxacin tetes mata 6x1 tetes mata kiri, Kloramfenikol salep mata 3x di sekitar
luka, dan air mata buatan tetes mata 6x1 tetes mata kiri.
Hari pertama pasca operasi didapatkan keluhan nyeri pada luka, tidak terdapat
demam, mual, maupun kejang pada pasien. Status generalis pasien dalam batas
4

normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen
anterior OS Ps/Pi silicone tube (+), aposisi luka baik, dan tidak tampak perdarahan
seperti tampak pada Gambar 2.3. Terapi sebelumnya dilanjutkan dan pasien
diobservasi untuk tanda-tanda infeksi rabies.

Gambar 2.2. Pemasangan silicone tube pada mata kiri pasien untuk aposisi luka
tanpa dilakukan penjahitan primer
Sumber : RS Mata Cicendo

Pasien mendapatkan injeksi vaksin antirabies pada tanggal 19 Juni 2018


sebanyak 2 dosis secara intramuskular dan direncanakan hechting primer palpebra
inferior OS dalam inhalasi 20 Juni 2018.

Gambar 2.3. Foto klinis pasca operasi hari pertama (19 Juni 2018)
Sumber : RS Mata Cicendo
5

Tanggal 20 Juni 2018 dilakukan debridemen ulang dengan deterjen dan repair
margo palpebra inferior OS sebanyak 2 jahitan tanpa penjahitan vulnus laceratum
pada kulit palpebra inferior seperti tampak pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Tindakan repair margo palpebra inferior OS (20 Juni 2018)
Sumber : RS Mata Cicendo

Hari pertama pasca repair margo palpebra inferior OS tidak terdapat keluhan.
Status generalis pasien dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan
VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal. Segmen anterior
OS didapatkan Ps/Pi hechting (+) intak, silicone tube (+), lain-lain dalam batas
normal seperti tampak pada Gambar 2.5. Pasien kemudian diperbolehkan rawat
jalan dengan terapi Cefadroksil tablet 2x500 mg per oral serta terapi topikal
dilanjutkan. Pasien diminta kontrol 5 hari ke poli ROO dan IKA dan direncanakan
injeksi vaksin antirabies hari ke-7.

Gambar 2.5. Follow up hari pertama pasca repair margo palpebra inferior OS
Sumber : RS Mata Cicendo
6

Pasien kontrol pada tanggal 25 Juni 2018 ke poli ROO dengan keluhan sedikit
gatal di area sekitar luka. Keluhan demam, muntah maupun kejang disangkal.
Status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis menunjukkan VOD
1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal. Segmen anterior OS
didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+) intak, dan krusta pada area fasialis
seperti tampak pada Gambar 2.6a. Pasien diinjeksikan vaksin antirabies hari ke-7
sebanyak 1 dosis intramuskular. Pasien selanjutnya kontrol tanggal 2 Juli 2018
dengan status generalis dalam batas normal dan status oftalmologis menunjukkan
VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal. Segmen anterior
OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+) intak seperti tampak pada
Gambar 2.6b.

Gambar 2.6. Foto klinis pasien pada follow up tanggal 25 Juni 2018 (a) dan 2 Juli
2018 (b)
Sumber : RS Mata Cicendo

Pada tanggal 9 Juli 2018 dilakukan injeksi vaksin antirabies hari ke-21 sebanyak
1 dosis. Pasien kemudian kontrol kembali ke poli ROO pada tanggal 16 Juli 2018
tanpa ada keluhan. Status generalis pasien dalam batas normal. Status oftalmologis
menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal.
Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+). Dilakukan aff
hechting palpebra inferior OS dengan aposisi luka yang baik seperti tampak pada
Gambar 2.7. Pasien kemudian disarankan kontrol satu bulan setelahnya.
7

Gambar 2.7. Foto klinis pasien pada follow up tanggal 16 Juli 2018 setelah
dilakukan aff hechting palpebra inferior OS
Sumber : RS Mata Cicendo

III. Diskusi
Kasus gigitan anjing banyak terjadi pada anak usia sekolah dengan predileksi
utama di area wajah. Empat hingga tujuh belas persen kasus melibatkan mata dan
jaringan periokular, dengan trauma paling sering terjadi yaitu kerusakan pada
kanalikuli, nervus fasialis, levator aponeurosis, glandula lakrimal, muskulus rektus
dan troklea. Kerusakan pada tulang orbita dan bola mata lebih jarang terjadi karena
adanya refleks mengedip.1,4 Data epidemiologis ini sesuai dengan pasien yang
merupakan anak usia sekolah dengan kerusakan yang terjadi pada kanalikuli.
Kerusakan jaringan yang terjadi pada kasus gigitan anjing disebabkan oleh
kerusakan akibat energi mekanik gigitan dan infeksi. Trauma akibat gigitan anjing
pada kasus ini ditandai dengan adanya vulnus ekskoriasi multipel pada area wajah
dan vulnus laceratum pada palpebra inferior OS yang disertai dengan ruptur margo
dan kanalikuli palpebra inferior OS. Insidensi laserasi kanalikular pada kasus
gigitan anjing bervariasi. Savar et al melaporkan 66% gigitan anjing pada kelopak
mata mengakibatkan kerusakan kanalikuli, dengan 73% kasus melibatkan
kanalikuli inferior, 16% kanalikuli superior dan 11% kanalikuli superior dan
inferior. Pemasangan intubasi silikon selama 2-4 bulan dapat menurunkan insidensi
epifora pada pasien.1,4 Hal ini sesuai dengan penanganan pasien pada kasus yang
telah dipasangkan silicone tube pada mata kiri.
8

Daerah periokular yang kaya akan suplai vaskular mengakibatkan penyembuhan


luka terjadi lebih cepat namun juga memberikan akses langsung infeksi masuk ke
pembuluh darah sistemik. Komplikasi akibat infeksi bakteri melalui luka gigitan
tersebut antara lain osteomielitis, septic artritis, meningitis dan sepsis. Gejala yang
tampak biasanya berupa nyeri yang berlebih, edema, dan pus di sekitar area
trauma.1,7 Tanda-tanda ini tidak didapatkan pada pasien.
Penanganan luka terbuka dan pencegahan infeksi lini pertama pada kasus gigitan
anjing adalah dengan irigasi dan debridemen luka. Penutupan luka primer biasanya
dianjurkan untuk ditunda terutama pada daerah selain kepala dan leher. Pemberian
antibiotik sistemik untuk profilaksis masih bersifat kontroversial. Antibiotik untuk
profilaksis biasa diberikan selama 3-5 hari, dengan antibiotik empiris baku emasnya
adalah amoksisilin klavulanat. Pasien diberikan Cefazoline 3x650 mg IV walaupun
menurut Stefanopoulos et al cefazoline tidak memiliki cakupan yang luas untuk
kasus ini.1,3,4,8,9
Pada kasus gigitan anjing juga perlu dilakukan profilaksis terhadap tetanus.
Pemberian tetanus toxoid atau tetanus immunoglobulin diberikan sesuai dengan
status imunisasi pasien.1,4,8 Pasien pada kasus ini dikatakan memiliki status
imuninasi yang lengkap, sehingga hanya diberikan tetanus toxoid 0.5 ml
intramuskular.
Penyakit infeksi lain yang bersifat mengancam nyawa yang dapat terjadi setelah
terjadi gigitan hewan adalah rabies. Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada
susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat
zoonotik yaitu ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular
rabies. Rabies tersebar hampir di seluruh dunia dan lebih dari 150 negara telah
terjangkit penyakit ini. Dua puluh lima provinsi di Indonesia tertular rabies dan
hanya sembilan provinsi yang masih tetap bebas rabies yaitu Nusa Tenggara Barat,
Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data Kemenkes, jumlah rata-rata kasus
gigitan hewan penular rabies per tahun adalah 78.413 kasus pada tahun 2011-
2015.1,5,10
9

Cara penularan rabies yaitu melalui gigitan dan non gigitan seperti goresan
cakaran atau jilatan pada kulit terbuka atau mukosa oleh hewan yang terinfeksi virus
rabies. Hewan yang dapat menjadi reservoir virus rabies antara lain anjing, kucing
dan kera, dan di Indonesia 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan
anjing. Masa inkubasi penyakit rabies yaitu antara 2 minggu hingga 2 tahun, dengan
rata-rata 3-8 minggu. Menurut WHO masa inkubasi infeksi rabies rata-rata yaitu
30-90 hari. Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf
pusat. Setelah virus masuk melalui luka gigitan/cakaran virus akan menetap selama
dua minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar
luka gigitan. Virus ini berjalan menuju sistem saraf pusat melalui sistem saraf
perifer sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini belum
ada pemeriksaan yang dapat mendiagnosis dini rabies sebelum muncul gejala
klinis.5,6,10
Gejala klinis infeksi rabies pada manusia dibagi menjadi beberapa tahap, antara
lain tahap prodromal, tahap sensoris, eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal
merupakan tahap awal gejala yang ditandai dengan demam, lemas, lesu, anoreksia,
insomnia, sakit kepala hebat dan nyeri tenggorakan. Tahap sensoris ditandai dengan
kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih
pada rangsang sensorik. 80% pasien mengalami tahap eksitasi yang terjadi selama
rata-rata 5 hari. Pada tahap eksitasi penderita mengalami berbagai macam gangguan
neurologis, tampak bingung, gelisah, halusinasi, perubahan perilaku menjadi
agresif serta berbagai macam fobia. Gejala lain antara lain spasme otot,
hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi pupil. Setelah beberapa hari
pasien akan meninggal karena henti jantung dan nafas. Bentuk lainnya adalah rabies
tipe paralitik yang mencapai 30% dari kasus rabies dan dengan lama sakit rata-rata
13 hari. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara bertahap dimulai dari bekas
luka hingga ke otot pernapasan dan jantung.5,8,10 Gejala-gejala tersebut tidak
ditemui pada pasien pada kasus ini selama perawatan maupun selama observasi di
rumah.
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap prodromal, tahap
eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal merupakan tahap awal gejala klinis
10

yang berlangsung selama 2-3 hari, ditandai dengan hewan tidak mengenal tuannya,
sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya, mudah terkejut dan
cepat berontak, terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks kornea
menurun. Tahap eksitasi terjadi selama 3-7 hari, ditandai dengan hewan mengalami
fotofobia hingga sering bersembunyi, tampak gelisah dan mengunyah benda yang
tidak wajar atau pika. Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot faring dan laring
sehingga terjadi perubahan suara menyalak anjing, hipersalivasi, air liur berbuih
kadang disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya. Tahap paralisis berlangsung
sangat singkat ditandai dengan kelumpuhan otot pengunyah, otot tenggorokan dan
paralisis kaki belakang.5,8,10 Pada kasus ini anjing penggigit tidak menunjukkan
gejala-gejala tersebut sebelumnya, namun pasien merupakan korban gigitan
keempat oleh anjing yang sama, dan anjing penggigit langsung dibunuh oleh warga
sekitar sehingga pemeriksaan sampel otak hewan tidak dapat dilakukan dan status
infeksi pada hewan penggigit tidak dapat dipastikan.
Pencegahan penularan rabies pada manusia dilakukan dengan memberikan
tatalaksana pada luka gigitan hewan dengan tepat. Pencucian luka dengan air
mengalir dan sabun selama 15 menit harus segera dilakukan setelah terjadi pajanan
untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan. Selubung luar
virus yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun sehingga virus dapat diinaktivasi.
Pemberian antiseptik seperti povidone iodine atau alkohol 70% dapat diberikan
untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa.1,5,8,10 Penanganan pertama pada
pasien ini telah sesuai dengan anjuran tersebut, yaitu pasien langsung dilakukan
pencucian dan debridemen dengan deterjen.
Tatalaksana selanjutnya adalah dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan
serum anti rabies (SAR). Pemberian vaksin dan serum anti rabies harus
memperhatikan beberapa hal antara lain kondisi hewan pada saat pajanan, hasil
observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan serta
kondisi luka yang ditimbulkan seperti dijelaskan pada Gambar 3.1. Kondisi luka
yang dikategorikan sebagai luka risiko tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka
di atas daerah bahu, yaitu pada leher, muka dan kepala, luka pada jari tangan dan
jari kaki, luka di area genitalia, luka yang lebar atau dalam atau luka multipel. Luka
11

risiko rendah adalah jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/gigitan yang
menimbulkan luka lecet atau ekskoriasi di area badan, tangan, dan kaki.5
Berdasarkan kategori tersebut, pasien memiliki luka risiko tinggi karena berada di
daerah wajah sehingga harus segera diberikan VAR dan SAR. Pemberian VAR
pada pasien tetap dilanjutkan karena specimen otak dari hewan penggigit tidak
dapat diperiksa.

Kasus Paparan Hewan


Penular Rabies

Hewan lari/hilang/tidak Hewan dapat ditangkap


dapat ditangkap, mati, dan diobservasi (10-14
dibunuh hari)

Luka Risiko Luka Risiko


Tinggi Rendah Luka risiko Luka Risiko
tinggi Rendah
Segera diberi Segera
VAR dan SAR diberi VAR Segera diberi VAR Tidak diberi VAR,
dan SAR tunggu hasil observasi
Jika Spesimen Spesimen otak
Otak tidak dapat diperiksa Hewan Hewan Hewan
dapat diperiksa, Sehat Mati Sehat
lanjutkan VAR
Positif Negatif
Tidak
Stop VAR Berikan/lanjut diberi VAR
VAR kan VAR
Stop VAR
lanjutkan
Spesimen Otak
diperiksa

Positif Negatif

Lanjutkan
Stop VAR
VAR

Gambar 3.1 Tatalaksana Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies


Sumber : Kemenkes5

World Health Organization (WHO) merekomendasikan tatalaksana berdasarkan


kategori pajanan seperti dijelaskan pada Tabel 3.1. Berdasarkan kategori tersebut,
pasien pada kasus termasuk ke dalam kategori III yang seharusnya ditatalaksana
dengan pencucian dan perawatan luka serta pemberian langsung VAR dan SAR.5,10
12

Tabel 3.1 Kategori Pajanan dan Rekomendasi Tatalaksana menurut WHO


Kategori Jenis Kontak Rekomendasi Tatalaksana
I • Menyentuh atau memberi • Lakukan pencucian luka
makan hewan • Tidak diberikan vaksin atau serum
• Jilatan pada kulit intak
(tanpa pajanan)
II • Menggigit kulit yang tidak • Lakukan pencucian dan perawatan luka
tertutup • Segera berikan vaksin anti rabies. Hentikan
• Luka goresan kecil atau lecet pemberian vaksin bila observasi selama 10 hari
tanpa perdarahan hewan sehat atau jika hasil pemeriksaan
(pajanan) laboratorium terhadap hewan negatif
III • Gigitan atau cakaran yang • Lakukan pencucian dan perawatan luka
menimbulkan luka • Segera berikan vaksin dan serum anti rabies.
transdermal baik satu atau Hentikan pemberian vaksin bila observasi
banyak selama 10 hari hewan sehat atau jika hasil
• Kontaminasi selaput pemeriksaan laboratorium terhadap hewan
lender/kulit yang terluka negatif
dengan air liur karena jilatan
dari hewan
• Terpapar dengan kelelawar
(pajanan berat)
Sumber : WHO10

Pemberian VAR untuk profilaksis pasca pajanan dilakukan dengan dosis 0.5 ml
untuk jenis Purified Vero Rabies Vaccine dan 1.0 ml untuk jenis Purified Chick
Embryo Cell-culture Vaccine secara intramuskular, pada hari ke-0 sebanyak 2
dosis, serta hari ke-7 dan ke-21 masing-masing sebanyak 1 dosis atau pada hari ke
0, 3, 7, dan 14 menurut WHO. Pada luka dengan risiko tinggi atau kategori III, SAR
diberikan bersamaan dengan VAR hari ke-0. Terdapat dua jenis SAR, yaitu serum
homolog (Human Rabies Immunoglobulin/ HRIG) yang diberikan dengan dosis 20
IU/kg BB dan serum heterolog (Equine Rabies Immunoglobulin/ERIG) yang
diberikan dengan dosis 40 IU/kgBB. Kedua jenis SAR diberikan dengan cara
infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisa SAR diberikan secara
intramuskular.5,8,10 Pasien pada kasus diberikan VAR jenis Purified Vero Rabies
Vaccine sesuai dengan dosis yang dianjurkan pada hari 1, 7, dan 21 karena
ketidaktersediaan vaksin pada hari kejadian gigitan sesuai dengan prosedur tetap
yang disarankan Kemenkes RI.
Anjing penggigit pada kasus ini telah dibunuh dan tidak memungkinkan untuk
memastikan status infeksi rabies pada hewan penggigit. Status infeksi rabies
penting selain untuk pemberian profilaksis dan penatalaksanaan infeksinya sendiri
13

dan juga untuk penanganan luka. Penjahitan primer pada luka akibat gigitan anjing
masih bersifat kontroversial. WHO menganjurkan luka terbuka yang disebabkan
oleh hewan penular rabies diusahakan agar tidak ditutup atau dijahit primer.
Apabila penjahitan harus dilakukan, maka luka harus diinfiltrasi terlebih dahulu
dengan serum anti rabies. Trivedi et al menyatakan penjahitan primer harus segera
dilakukan pada seluruh luka yang tidak terinfeksi dalam 24 jam pertama untuk
mendapatkan keluaran fungsi dan kosmetik yang lebih baik. Alizadeh et al
menyatakan penutupan laserasi dapat dilakukan dengan menggunakan non-
adherent dressing. Rui-feng et al menyatakan tidak ada perbedaan angka kejadian
infeksi yang signifikan antara luka yang dilakukan penjahitan primer dengan yang
dilakukan penundaan penutupan luka.2,9–12 Penanganan luka terbuka pasien pada
kasus mengikuti anjuran dari WHO. Penutupan luka primer ditunda pada pasien
sampai pasien mendapatkan VAR, yaitu 1 hari setelah gigitan. Setelah
mendapatkan VAR dilakukan penjahitan primer pada margo palpebra inferior OS.
Pasien tidak diberikan SAR karena keterbatasan regimen SAR pada saat kejadian.
Prognosis pasien pada kasus ini adalah quo ad vitam dubia ad bonam, karena
pasien telah mendapat profilaksis pasca pajanan berupa vaksin anti rabies dan tidak
menunjukkan gejala klinis infeksi rabies selama observasi serta quo ad vitam dubia
ad bonam karena aposisi luka yang tampak baik saat follow up serta tidak adanya
gejala epifora pada pasien.1,10

IV. Kesimpulan
Kasus gigitan anjing pada area periokular sering terjadi terutama pada anak-
anak. Irigasi yang agresif dengan deterjen yang dikombinasikan dengan
debridemen jaringan sangat penting dalam penanganan kasus ini. Luka risiko tinggi
juga perlu diberikan antibiotik juga profilaksis tetanus dan rabies. Penanganan luka
pada kasus ini bersifat kompleks karena perlu memperhatikan risiko infeksi pada
area luka dan hasil kosmetik dari bekas luka. Beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa penjahitan primer yang dilakukan segera memiliki angka insidensi infeksi
yang sama dibandingkan dengan penutupan luka yang ditunda namun memiliki
hasil kosmetik yang lebih baik.
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Erickson BP, Feng PW, Liao SD, Modi YS, Ko AC, Lee WW. Dog bite injuries
of the eye and ocular adnexa. Orbit. 6 Juni 2018;
2. Alizadeh K, Shayesteh A, Xu ML. An Algorithmic Approach to Operative
Management of Complex Pediatric Dog Bites: 3-Year Review of a Level I
Regional Referral Pediatric Trauma Hospital. PRS Global Open. 2017;
3. Pfortmueller CA, Efeoglou A, Furrer H, Exadaktylos AK. Dog Bite Injuries:
Primary and Secondary Emergency Department Presentations—A
Retrospective Cohort Study. The Scientific World Journal. 2013;2013:1–6.
4. Cavalcanti AL, Porto E, dos Santos BF, Cavalcanti CL, Cavalcanti AFC. Facial
dog bite injuries in children: A case report. International Journal of Surgery
Case Reports. 2017;41:57–60.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan
Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 2017.
6. Naik BN, Sahu SK, Kumar S G. Wound management and vaccination
following animal bite: a study on knowledge and practice among people in an
urban area of Pondicherry, India. Int J Community Med Public Health.
2015;2(4):501–5.
7. Chen E, Hornig S, Shepherd SM, Hollander JE. Primary Closure of Mammalian
Bites. Academic Emergency Medicine. 2000;7(2):156–61.
8. North Carolina Department of Health and Human Service. Rabies Risk
Assessment Steps, Management of Bite Wounds and PEP For Healthcare
Providers. North Carolina; 2015. 1-10 hal.
9. Trivedi N, Patel S. Management of Dog Bite Injuries in Periocular Area.
2009;64(2):13–4.
10. World Health Organization. Rabies Vaccine. In: WHO Position Paper. Geneva;
2018. hal. 201–20.
11. Rui-feng C, Li-song H, Ji-bo Z, Li-qiu W. Emergency treatment on facial
laceration of dog bite wounds with immediate primary closure: a prospective
randomized trial study. BMC Emergency Medicine. 2013;13(Suppl 1):1–5.
12. Paschos NK, Makris EA, Gantsos A, Georgoulis AD. Primary closure versus
non-closure of dog bite wounds. A randomised controlled trial. 2014;45:237–
40.

Anda mungkin juga menyukai