TPP
“Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan Anjing
pada Jaringan Periokular”
Kelompok 3
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita sampaikan atas kehadirat Allah SWT karena atas
berkah dan rahmat-Nya dalam penyusunan makalah Tugas Pengenalan Profesi Blok
XX mengenai “Laporan Kasus : “Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies
pada Kasus Gigitan Anjing pada Jaringan Periokular”. Shalawat serta salam
tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW karena atas
berkat perjuangan beliau kita dapat dihantarkan kepada zaman yang terang
benderang sepertisekarang ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah TPP ini dapat terselesaikan
berkat pengarahan, bantuan, dan bimbingan yang telah diberikan oleh berbagai
pihak. Penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada
1. Allah SWT, yang telah memberikan kehidupan dengan sejuknya
keimanan
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materi maupun
spiritual
3. dr. Yuni Fitrianti, M. Biomed. selaku pembimbing Tugas
Pengenalan Profesi (TPP)
4. Teman-teman sejawat seperjuangan
5. Semua pihak yang membantu penulis
Makalah ini penulis tujukan agar setiap orang yang melihat dan
membacanya dapat memahami pembahasan mengenai Laporan Kasus :
“Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan Anjing pada
Jaringan Periokular”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dalam segi materi maupun dalam penyusunan kata-
kata dalam penyusunan makalah ini, hal ini disebabkan oleh keterbatasannya
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Maka dari itu penulis memohon
maaf, saran dan kritik bagi seluruh pembaca dalam upaya perbaikan laporan ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………..3
1.3 Tujuan ……….………………………………………………………………..3
1.3.1 Tujuan Umum.…………………………………………………………….3
1.3.2 Tujuan Khusus…………………………………………………………….3
1.4 Manfaat……….……………………………………………………………….3
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA………………………………………………………………………...4
2.1 Definisi Luka…………………………………………………………………..4
2.2 Anatomi dan Histologi Kulit…………………………………………………..7
2.2.1 Fisiologi Kulit……………………………………………………………….9
2.3 Luka Gigitan Anjing…………………………………………………………..9
2.3.1 Etiologi………………………………………………………………………9
2.3.2 Epidemiologi ……………………………………………………………....11
2.3.3 Patogenesis…………………………………………………………...…13
2.3.4 Manifestasi Klinis………………………………………………….......13
2.3.5 Tatalaksana………………………………………………………………....14
2.3.6 Komplikasi……………………………………………………………..15
2.3.7 Prognosis……………………………………………………………….16
2.3.8 Standar Kompetensi Kedokteran Umum……………………………....16
2.3.9 Dokter Keluarga………………...……………………………………...16
BAB III
METODE PENELITIAN………………………………………………………17
3.1 Lokasi Penelitian………………………………………………………..........17
3.2 Waktu Pelaksanaan……………………………………………………..........17
3.3 Subjek Tugas Mandiri…………………………………………………..........17
3.4 Alat dan Bahan ……………………………………………………………....17
3.5 Langkah Kerja …………………………………………………………….....18
BAB VI
LAPORAN KASUS……………………………………………………………..19
4.1 Laporan Kasus………………………………………………………………..19
BAB V
PEMBAHASAN………………………………………………………………...25
5.1 Pembahasan…………………………………………………………………..25
BAB VI
KESIMPULAN………………………………………………………………….32
6.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..32
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………….33
BAB I
PENDAHULUAN
Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (otak)
yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit
zoonosa (zoonosis) yaitu penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke
manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu
anjing, kera, musang, kucing dan satwa liar yang telah terinfeksi rabies
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Kasus gigitan anjing pada manusia merupakan masalah yang kompleks dan
merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat maupun pengendalian
hewan. Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan komplikasi
yang beragam.
1
Pada usia anak sekolah kerusakan yang sering terjadi yaitu pada daerah kepala
dan leher, pada kasus ini biasanya disertai dengan kerusakan di daerah adneksa
okular atau pada bola mata, sedangkan pada pasien dewasa kerusakan biasanya
terjadi di daerah ekstremitas. Karakteristik kasus gigitan anjing ini antara lain
72% hingga 94% korban biasanya telah mengenal hewan penggigit, dimana 40-
65% kasus hewan penggigit tersebut merupakan milik teman atau tetangga
korban. Anak kecil lebih rentan terkena gigitan yaitu hampir 75% kasus terjadi
pada anak kurang dari sembilan tahun dan lebih sering terjadi pada anak lakilaki
dibanding anak perempuan dengan perbandingan 1.4:1.
Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan yang mengancam jiwa
maupun mengancam organ. Gangguan yang terjadi dapat diakibatkan oleh
energi mekanik gigitan atau dari infeksi yang dihasilkan seperti tetanus maupun
rabies. Rabies merupakan penyakit zoonotik yang bersifat fatal karena dapat
mengakibatkan kematian namun dapat dicegah. Tatalaksana yang tepat dalam
menangani luka akibat gigitan anjing diperlukan untuk mencegah berbagai
komplikasinya termasuk rabies. Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan
penanganan luka akibat gigitan anjing khususnya dalam pencegahan infeksi
rabies.
Pelayanan dokter keluarga merupakan upaya penyelenggaraan pelayanan
kesehatan tingkat primer untuk memenuhi ketersediaan, ketercapaian,
keterjangkauan dan kesinambungan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat
sampai paripurna. Dokter keluarga diperlukan dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia karena banyak penyakit yang bisa dilakukan pencegahan, oleh karena
itu diperlukan dokter keluarga di masyarakat (Lestari dkk, 2017). Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka diperlukan pemahaman tentang manajemen
trauma pada layanan primer dokter keluarga. Pada kesempatan kali ini dibahas
mengenai Tatalaksana dan Pencegahan Infeksi Rabies pada Kasus Gigitan
Anjing pada Jaringan Periokular.
2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari tugas pengenalan profesi (TPP) ini, yaitu
memahami bagaimana analisis kasus dari manajemen trauma pada layanan
primer dokter keluarga?
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah agar penulis dan pembaca dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai manajemen trauma pada
layanan primer dokter keluarga.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
1. Luka (vulnus)
panas, uap air, terkena api atau terbakar, listrik dan petir (Murtutik dan
Marjiyanto, 2013).
a. Luka tertutup
dan tidak ada kontak antara jaringan yang ada di bawah dengan
4
b. Luka terbuka
macam luka terbuka antara lain yaitu luka lecet (ekskoriasi), luka
luka bakar .
irisan benda yang bertepi tajam seperti pisau, silet, parang dan
adalah proses interaktif yang dinamis yang melibatkan mediator larut, sel
darah, matriks ekstraselular, dan sel-sel parenkim (Singer dan Clark, 1999).
5
Pada fase proliferasi, terjadi proses re-epitelisasi. Pada proses re- epitelisasi
pada kulit yang luka terjadi kontak antara keratinosit dengan kolagen
(Harrison et al., 2006). Proses migrasi dimulai dari tepi luka pada stratum
basalis yang merupakan lapisan paling dalam dari epidermis dan sisa
adneksa yaitu sisa folikel rambut yang terletak di lapisan dermis, menuju
cadherin dan P-cadherin dan perubahan pola dari bentuk linier menjadi
Pada saat sel dan jaringan sedang mengalami luka, terjadi peristiwa
dapat memicu pengaktifan jalur replikasi pada sel lainnya; sel radang yang
jaringan parut.
6
Pemulihan jaringan (penyembuhan) umumnya melibatkan kombinasi
mekanisme yang serupa yaitu migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel serta
sintesis matriks. Oleh karena itu, walaupun keempat fase utama dalam
7
a. Lapisan Epidermis
Lapisan ini merupakan lapisan paling tipis dan terluar dari kulit serta
memiliki tebal yang berbeda-beda, selain sel-sel epitel, epidermis juga
tersusun atas lapisan :
8
b. Lapisan Dermis
c. Subkutan
Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Lapisan ini berfungsi sebagai
cadangan makan. Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock beaker
atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator
panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan
untuk kecantikan tubuh
9
2.3 Luka Gigitan Anjing
2.3.1 Etiologi
Penyebab penyakit Rabies adalah virus neurotropik dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk
seperti peluru dengan diameter 75 μm dan panjangnya antara 100-300 μm,
Variasi ukuran ini bisa dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus
tersusun dari envelop yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein
10
Bentuk glikoprotein ratarata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat di
permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau
protein pusat Rhabdovirus. Struktur dasar dan komposisi rabies dapat dilihat
pada diagram di bawah ini:
2.3.2 Epidemiologi
Penyakit rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Schorl pada tahun
1884 terjadi pada kuda di Bekasi. Esser pada tahun 1889 melaporkan adanya kasus
rabies pada kerbau. Tahun 1890, Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di
Tangerang. Kasus rabies pada kucing pertama kali dilaporkan oleh Lier terjadi di
Bondowoso dan di Jember pada tahun 1907. Kasus rabies pada manusia pertama
kali dilaporkan oleh E.Van de Haan pada tahun 1894 di Cirebon.
11
Mengingat anjing merupakan hewan penular utama, maka pemerintah Hindia
belanda waktu itu membuat Undang-Undang (Honsdolheids Ordonatie) yang
menyatakan penanggulangan rabies yang menyangkut hewan merupakan tanggung
jawab Departemen Pertanian (Dinas Peternakan), sedangkan yang menyangkut
manusia yang digigit/yang menderita menjadi tugas dan tanggung jawab
Departemen Kesehatan.
12
2.3.3 Patogenesis
Virus rabies adalah virus neurotropik yang menyebar di sepanjang jalur
saraf dan menyerang sistem saraf pusat (SSP) yang menyebabkan infeksi akut.
Mekanisme penularan paling umum adalah melalui inokulasi perifer virus setelah
gigitan hewan yang terinfeksi rabies. Selanjutnya, terjadi replikasi di jaringan
perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang saraf perifer dan medula spinalis
menuju ke otak, kemudian terjadi diseminasi dalam SSP dan virus menyebar secara
sentrifugal dari susunan saraf pusat menuju ke berbagai organ, termasuk kelenjar
ludah.
Gejala klinik penyakit rabies yaitu gejala prodomal biasanya tidak spesifik
berlangsung 1-4 hari dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia,
gejala gangguan saluran pernafasan, dan gejala gastrointestinal. Setela timbul gejala
prodomal gambaran kinis rabies akan berkembang menjadi salah satu dari dua
bentuk, yang bentuk-bentuk nya adalah Ensefalitik (furious) dan atau paralitik
(dumb). Bentuk ini ditandai dengan aktivitas motorik berlebih, eksitasi,agitasi,
bingung, halusinasi, spasme muskular,meningismus, postur epistotonik, kejang dan
dapat timbulparalisis fokal.
13
2.3.5 Tatalaksana
Cuci luka dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10- 15 menit.
Kemudian berikan antiseptik berupa alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-
lain. Luka GHPR tidak boleh dijahit, keculai luka yang lebar dan dalam yang
mengeluarkan darah terus menerus. Sebelum menjahit luka, lakukan suntikan
infiltrasi SAR sebanyak mungkin.
14
Tetapi pada umumnya vaksin diberikan 4 kali pada orang yang
belum pernah divaksin dalam periode 21 hari. Sedangkan orang
yang sudah penah divaksin hanya diberikan 2 kali dalam periode 3
hari. Vaksin diberikan melaui suntuk ke otor di sekitar lengan bagian
atas (deltoid) atau paha. Setelah vaksin juga menimbulkan efek
samping berupa, deman, sakit kepalam muntahm dan nyeri otot.
• SAR (Serum Anti Rabies)
Serum anti rabies berfungsi untuk menetralkan virus pada
luka sekaligus memberikan perlindungan selama 7-10 hari sebelum
antibodi terbentuk dari vaksin muncul. Serum anti rabies akan
diberikan pada orang yang mengalami lika dengan risoko tinggi.
Dosis pemberian serum anti rabies pada tiap orang berbeda-beda,
disesuaikan dengan berat badan pasien. Umumnya dosis pemberian
serum anti rabies adalah 20 atau 40 IU/kgBB, tergantung jenis serum
yang diberikan.
2.3.6 Komplikasi
Rabies merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Begitu gejalanya
muncul, dapat dipastikan virus rabies sudah menginfeksi otak, sehingga kondisi
penderita bisa memburuk dengan cepat. Akibatnya, penderita dapat mengalami
komplikasi berikut:
• Gagal napas
• Koma
• Henti jantung
• Kematian
15
2.3.7 Prognosis
Rabies merupakan penyakit infeksi dengan prognosis yang buruk dengan
tingkat mortalitas yang tinggi. Hal yang berperan penting dalam meningkatkan
prognosis pasien adalah post-exposure prophylaxis (PEP) yang dilakukan dengan
cepat dan tepat.
16
BAB III
METODE PELAKSANAAN
1) Alat tulis
2) Laptop
3) Jurnal penelitian
4) Textbook
17
3.5 Langkah Kerja
Langkah kerja yang dilakukan :
18
BAB IV
LAPORAN KASUS
19
Pasien didiagnosis vulnus laceratum palpebra inferior OS + suspek ruptur
margo et kanalikuli palpebra inferior OS + vulnus laceratum frontalis sinistra +
vulnus ekskoriatum multipel at regio facialis sinistra et causa gigitan anjing. Pasien
kemudian diinjeksi tetanus toxoid 0.5 ml intramuskular di IGD dan direncanakan
debridemen luka serta repair margo et canaliculi palpebra inferior OS + hechting
primer palpebra inferior OS +/- silicone tube OS dalam narkose umum. Pasien
belum mendapatkan regimen serum antirabies dan vaksin antirabies sehingga
tatalaksana yang dilakukan adalah debridemen luka dengan deterjen dan
pemasangan silicone tube untuk aposisi luka tanpa penjahitan dalam narkose umum
seperti tampak pada Gambar 2.2.
20
Hari pertama pasca operasi didapatkan keluhan nyeri pada luka, tidak
terdapat demam, mual, maupun kejang pada pasien. Status generalis pasien dalam
batas normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan VOD 1.0 dan VOS 1.0.
Segmen anterior OS Ps/Pi silicone tube (+), aposisi luka baik, dan tidak tampak
perdarahan seperti tampak pada Gambar 2.3. Terapi sebelumnya dilanjutkan dan
pasien diobservasi untuk tanda-tanda infeksi rabies.
21
Tanggal 20 Juni 2018 dilakukan debridemen ulang dengan deterjen dan
repair margo palpebra inferior OS sebanyak 2 jahitan tanpa penjahitan vulnus
laceratum pada kulit palpebra inferior seperti tampak pada Gambar 2.4.
22
Pasien kontrol pada tanggal 25 Juni 2018 ke poli ROO dengan keluhan
sedikit gatal di area sekitar luka. Keluhan demam, muntah maupun kejang
disangkal. Status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis
menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal.
Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+) intak, dan
krusta pada area fasialis seperti tampak pada Gambar 2.6a. Pasien diinjeksikan
vaksin antirabies hari ke-7 sebanyak 1 dosis intramuskular. Pasien selanjutnya
kontrol tanggal 2 Juli 2018 dengan status generalis dalam batas normal dan status
oftalmologis menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam
batas normal. Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+)
intak seperti tampak pada Gambar 2.6b.
Pada tanggal 9 Juli 2018 dilakukan injeksi vaksin antirabies hari ke-21
sebanyak 1 dosis. Pasien kemudian kontrol kembali ke poli ROO pada tanggal 16
Juli 2018 tanpa ada keluhan. Status generalis pasien dalam batas normal. Status
oftalmologis menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam
batas normal. Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+).
23
Dilakukan aff hechting palpebra inferior OS dengan aposisi luka yang baik seperti
tampak pada Gambar 2.7.Pasien kemudian disarankan kontrol satu bulan
setelahnya.
24
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan
Kasus gigitan anjing banyak terjadi pada anak usia sekolah dengan
predileksi utama di area wajah. Empat hingga tujuh belas persen kasus melibatkan
mata dan jaringan periokular, dengan trauma paling sering terjadi yaitu kerusakan
pada kanalikuli, nervus fasialis, levator aponeurosis, glandula lakrimal, muskulus
rektus dan troklea. Kerusakan pada tulang orbita dan bola mata lebih jarang terjadi
karena adanya refleks mengedip. Data epidemiologis ini sesuai dengan pasien yang
merupakan anak usia sekolah dengan kerusakan yang terjadi pada kanalikuli.
Kerusakan jaringan yang terjadi pada kasus gigitan anjing disebabkan oleh
kerusakan akibat energi mekanik gigitan dan infeksi. Trauma akibat gigitan anjing
pada kasus ini ditandai dengan adanya vulnus ekskoriasi multipel pada area wajah
dan vulnus laceratum pada palpebra inferior OS yang disertai dengan ruptur margo
dan kanalikuli palpebra inferior OS. Insidensi laserasi kanalikular pada kasus
gigitan anjing bervariasi. Savar et al melaporkan 66% gigitan anjing pada kelopak
mata mengakibatkan kerusakan kanalikuli, dengan 73% kasus melibatkan
kanalikuli inferior, 16% kanalikuli superior dan 11% kanalikuli superior dan
inferior. Pemasangan intubasi silikon selama 2-4 bulan dapat menurunkan insidensi
epifora pada pasien. Hal ini sesuai dengan penanganan pasien pada kasus yang telah
dipasangkan silicone tube pada mata kiri.
25
Penanganan luka terbuka dan pencegahan infeksi lini pertama pada kasus
gigitan anjing adalah dengan irigasi dan debridemen luka. Penutupan luka primer
biasanya dianjurkan untuk ditunda terutama pada daerah selain kepala dan leher.
Pemberian antibiotik sistemik untuk profilaksis masih bersifat kontroversial.
Antibiotik untuk profilaksis biasa diberikan selama 3-5 hari, dengan antibiotik
empiris baku emasnya adalah amoksisilin klavulanat. Pasien diberikan Cefazoline
3x650 mg IV walaupun menurut Stefanopoulos et al cefazoline tidak memiliki
cakupan yang luas untuk kasus ini.
Pada kasus gigitan anjing juga perlu dilakukan profilaksis terhadap tetanus.
Pemberian tetanus toxoid atau tetanus immunoglobulin diberikan sesuai dengan
status imunisasi pasien. Pasien pada kasus ini dikatakan memiliki status imuninasi
yang lengkap, sehingga hanya diberikan tetanus toxoid 0.5 ml intramuskular.
Penyakit infeksi lain yang bersifat mengancam nyawa yang dapat terjadi
setelah terjadi gigitan hewan adalah rabies. Rabies merupakan penyakit infeksi akut
pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat
zoonotik yaitu ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular
rabies. Rabies tersebar hampir di seluruh dunia dan lebih dari 150 negara telah
terjangkit penyakit ini. Dua puluh lima provinsi di Indonesia tertular rabies dan
hanya sembilan provinsi yang masih tetap bebas rabies yaitu Nusa Tenggara Barat,
Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data Kemenkes, jumlah rata-rata kasus
gigitan hewan penular rabies per tahun adalah 78.413 kasus pada tahun 2011- 2015.
Cara penularan rabies yaitu melalui gigitan dan non gigitan seperti goresan
cakaran atau jilatan pada kulit terbuka atau mukosa oleh hewan yang terinfeksi virus
rabies. Hewan yang dapat menjadi reservoir virus rabies antara lain anjing, kucing
dan kera, dan di Indonesia 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan
anjing. Masa inkubasi penyakit rabies yaitu antara 2 minggu hingga 2 tahun, dengan
rata-rata 3-8 minggu.
26
Menurut WHO masa inkubasi infeksi rabies rata-rata yaitu 30-90 hari. Gejala klinis
rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf pusat. Setelah virus masuk
melalui luka gigitan/cakaran virus akan menetap selama dua minggu di sekitar luka
gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar luka gigitan. Virus ini
berjalan menuju sistem saraf pusat melalui sistem saraf perifer sehingga tidak
terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini belum ada pemeriksaan yang
dapat mendiagnosis dini rabies sebelum muncul gejala klinis.
Gejala klinis infeksi rabies pada manusia dibagi menjadi beberapa tahap,
antara lain tahap prodromal, tahap sensoris, eksitasi dan tahap paralisis. Tahap
prodromal merupakan tahap awal gejala yang ditandai dengan demam, lemas, lesu,
anoreksia, insomnia, sakit kepala hebat dan nyeri tenggorakan. Tahap sensoris
ditandai dengan kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan
reaksi berlebih pada rangsang sensorik. 80% pasien mengalami tahap eksitasi yang
terjadi selama rata-rata 5 hari. Pada tahap eksitasi penderita mengalami berbagai
macam gangguan neurologis, tampak bingung, gelisah, halusinasi, perubahan
perilaku menjadi agresif serta berbagai macam fobia. Gejala lain antara lain spasme
otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi pupil. Setelah beberapa
hari pasien akan meninggal karena henti jantung dan nafas. Bentuk lainnya adalah
rabies tipe paralitik yang mencapai 30% dari kasus rabies dan dengan lama sakit
rata-rata 13 hari. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara bertahap dimulai
dari bekas luka hingga ke otot pernapasan dan jantung. Gejala-gejala tersebut tidak
ditemui pada pasien pada kasus ini selama perawatan maupun selama observasi di
rumah.
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap prodromal,
tahap eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal merupakan tahap awal gejala
klinis yang berlangsung selama 2-3 hari, ditandai dengan hewan tidak mengenal
tuannya, sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya, mudah
terkejut dan cepat berontak, terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks
kornea menurun.
27
Tahap eksitasi terjadi selama 3-7 hari, ditandai dengan hewan mengalami fotofobia
hingga sering bersembunyi, tampak gelisah dan mengunyah benda yang tidak wajar
atau pika. Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot faring dan laring sehingga
terjadi perubahan suara menyalak anjing, hipersalivasi, air liur berbuih kadang
disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya. Tahap paralisis berlangsung sangat
singkat ditandai dengan kelumpuhan otot pengunyah, otot tenggorokan dan
paralisis kaki belakang. Pada kasus ini anjing penggigit tidak menunjukkan gejala-
gejala tersebut sebelumnya, namun pasien merupakan korban gigitan keempat oleh
anjing yang sama, dan anjing penggigit langsung dibunuh oleh warga sekitar
sehingga pemeriksaan sampel otak hewan tidak dapat dilakukan dan status infeksi
pada hewan penggigit tidak dapat dipastikan.
28
Luka risiko rendah adalah jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/gigitan yang
menimbulkan luka lecet atau ekskoriasi di area badan, tangan, dan kaki.
Berdasarkan kategori tersebut, pasien memiliki luka risiko tinggi karena berada di
daerah wajah sehingga harus segera diberikan VAR dan SAR. Pemberian VAR
pada pasien tetap dilanjutkan karena specimen otak dari hewan penggigit tidak
dapat diperiksa.
29
Pemberian VAR untuk profilaksis pasca pajanan dilakukan dengan dosis 0.5
ml untuk jenis Purified Vero Rabies Vaccine dan 1.0 ml untuk jenis Purified Chick
Embryo Cell-culture Vaccine secara intramuskular, pada hari ke-0 sebanyak 2
dosis, serta hari ke-7 dan ke-21 masing-masing sebanyak 1 dosis atau pada hari ke
0, 3, 7, dan 14 menurut WHO.
Pada luka dengan risiko tinggi atau kategori III, SAR diberikan bersamaan
dengan VAR hari ke-0. Terdapat dua jenis SAR, yaitu serum homolog (Human
Rabies Immunoglobulin/ HRIG) yang diberikan dengan dosis 20 IU/kg BB dan
serum heterolog (Equine Rabies Immunoglobulin/ERIG) yang diberikan dengan
dosis 40 IU/kgBB. Kedua jenis SAR diberikan dengan cara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin dan sisa SAR diberikan secara intramuskular. Pasien pada kasus
diberikan VAR jenis Purified Vero Rabies Vaccine sesuai dengan dosis yang
dianjurkan pada hari 1, 7, dan 21 karena ketidaktersediaan vaksin pada hari kejadian
gigitan sesuai dengan prosedur tetap yang disarankan Kemenkes RI.
Anjing penggigit pada kasus ini telah dibunuh dan tidak memungkinkan
untuk memastikan status infeksi rabies pada hewan penggigit. Status infeksi rabies
penting selain untuk pemberian profilaksis dan penatalaksanaan infeksinya sendiri
dan juga untuk penanganan luka.
30
Penjahitan primer pada luka akibat gigitan anjing masih bersifat kontroversial.
WHO menganjurkan luka terbuka yang disebabkan oleh hewan penular rabies
diusahakan agar tidak ditutup atau dijahit primer. Apabila penjahitan harus
dilakukan, maka luka harus diinfiltrasi terlebih dahulu dengan serum anti rabies.
Trivedi et al menyatakan penjahitan primer harus segera dilakukan pada seluruh
luka yang tidak terinfeksi dalam 24 jam pertama untuk mendapatkan keluaran
fungsi dan kosmetik yang lebih baik. Alizadeh et al menyatakan penutupan laserasi
dapat dilakukan dengan menggunakan nonadherent dressing. Rui-feng et al
menyatakan tidak ada perbedaan angka kejadian infeksi yang signifikan antara luka
yang dilakukan penjahitan primer dengan yang dilakukan penundaan penutupan
luka. Penanganan luka terbuka pasien pada kasus mengikuti anjuran dari WHO.
Penutupan luka primer ditunda pada pasien sampai pasien mendapatkan VAR, yaitu
1 hari setelah gigitan. Setelah mendapatkan VAR dilakukan penjahitan primer pada
margo palpebra inferior OS. Pasien tidak diberikan SAR karena keterbatasan
regimen SAR pada saat kejadian.
Prognosis pasien pada kasus ini adalah quo ad vitam dubia ad bonam, karena
pasien telah mendapat profilaksis pasca pajanan berupa vaksin anti rabies dan tidak
menunjukkan gejala klinis infeksi rabies selama observasi serta quo ad vitam dubia
ad bonam karena aposisi luka yang tampak baik saat follow up serta tidak adanya
gejala epifora pada pasien.
31
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
1. Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang
ditularkan dari hewan ke manusia, di mana agen infektifnya berupa
virus rabies yang menginfeksi susunan saraf pusat.
2. Berdasarkan etiologinya, penyebab penyakit Rabies adalah virus
neurotropik dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae.
3. Perawatan luka akibat gigitan anjing secara umum yang dapat
dilakukan pada layanan primer, yaitu: Cuci luka dengan air mengalir
dan sabun atau deterjen selama 10- 15 menit. Kemudian berikan
antiseptik berupa alkohol 70%, betadine, obat merah dan lain-lain.
Luka GHPR tidak boleh dijahit, kecuali luka yang lebar dan dalam
yang mengeluarkan darah terus menerus. Sebelum menjahit luka,
lakukan suntikan infiltrasi SAR sebanyak mungkin.
4. Komplikasi yang dapat ditemukan lebih didominasi oleh gejala sisa
neurologis akibat infeksi virus rabies. Komplikasi ini mencakup
distonia, balismus, koreoatetosis, gangguan motorik halus,
gangguan pola berjalan, gangguan komunikasi verbal dan
nonverbal, dan perubahan kekuatan motorik pada lengan dan
tungkai.
5. Rabies merupakan penyakit infeksi dengan prognosis yang buruk
dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
0
ABSTRACT
Introduction: Dog bites in periocular region is common particularly in children. The
wound management is more complex because of its rich vascular supply, which makes the
injuries heal faster but virulent organisms potentially have more direct access to the
systemic vasculature.
Objective: To report the proper management of dog bites wound as well as the post
exposure prevention of rabies in dog bites injury on periocular region
Case Illustration: A 10 years-old boy came to Emergency Department of Cicendo Eye
Hospital after has been bitten on the left region of his face by his neighbor’s dog three and
half hours before admitted to the hospital. General status within normal limit.
Ophthalmologic status showed laceration on lower eyelid and laceration on inferior
canaliculi with multiple laceration on left facial area. He was then managed by irrigation
and wound debridement with detergent and silicone intubation on left eye, the primary
suture was delayed until the anti-rabies vaccine was injected intramuscularly. The vaccines
were injected on day 1, 7 and 21. The patient was followed up until one month after surgery
with no sign of rabies infection and good wound apposition.
Conclusion: Dog bites result in diverse range of injuries and complication, it can be result
from the bite mechanics or infection. The proper local wound management and tetanus and
rabies infection prophylaxis are needed to prevent a life-threatening disease.
Keywords : dog bites, periocular, post exposure rabies prevention
I. Pendahuluan
Kasus gigitan anjing pada manusia merupakan masalah yang kompleks dan
merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat maupun pengendalian
hewan. Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan komplikasi
yang beragam. Pada usia anak sekolah kerusakan yang sering terjadi yaitu pada
daerah kepala dan leher, pada kasus ini biasanya disertai dengan kerusakan di
daerah adneksa okular atau pada bola mata, sedangkan pada pasien dewasa
kerusakan biasanya terjadi di daerah ekstremitas. Karakteristik kasus gigitan anjing
ini antara lain 72% hingga 94% korban biasanya telah mengenal hewan penggigit,
dimana 40-65% kasus hewan penggigit tersebut merupakan milik teman atau
tetangga korban. Anak kecil lebih rentan terkena gigitan yaitu hampir 75% kasus
terjadi pada anak kurang dari sembilan tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 1.4:1.1–4
Gigitan anjing dapat mengakibatkan kerusakan yang mengancam jiwa maupun
mengancam organ. Gangguan yang terjadi dapat diakibatkan oleh energi mekanik
2
gigitan atau dari infeksi yang dihasilkan seperti tetanus maupun rabies. Rabies
merupakan penyakit zoonotik yang bersifat fatal karena dapat mengakibatkan
kematian namun dapat dicegah. Tatalaksana yang tepat dalam menangani luka
akibat gigitan anjing diperlukan untuk mencegah berbagai komplikasinya termasuk
rabies.1,2,5,6 Laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan penanganan luka akibat
gigitan anjing khususnya dalam pencegahan infeksi rabies.
normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen
anterior OS Ps/Pi silicone tube (+), aposisi luka baik, dan tidak tampak perdarahan
seperti tampak pada Gambar 2.3. Terapi sebelumnya dilanjutkan dan pasien
diobservasi untuk tanda-tanda infeksi rabies.
Gambar 2.2. Pemasangan silicone tube pada mata kiri pasien untuk aposisi luka
tanpa dilakukan penjahitan primer
Sumber : RS Mata Cicendo
Gambar 2.3. Foto klinis pasca operasi hari pertama (19 Juni 2018)
Sumber : RS Mata Cicendo
5
Tanggal 20 Juni 2018 dilakukan debridemen ulang dengan deterjen dan repair
margo palpebra inferior OS sebanyak 2 jahitan tanpa penjahitan vulnus laceratum
pada kulit palpebra inferior seperti tampak pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Tindakan repair margo palpebra inferior OS (20 Juni 2018)
Sumber : RS Mata Cicendo
Hari pertama pasca repair margo palpebra inferior OS tidak terdapat keluhan.
Status generalis pasien dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan
VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal. Segmen anterior
OS didapatkan Ps/Pi hechting (+) intak, silicone tube (+), lain-lain dalam batas
normal seperti tampak pada Gambar 2.5. Pasien kemudian diperbolehkan rawat
jalan dengan terapi Cefadroksil tablet 2x500 mg per oral serta terapi topikal
dilanjutkan. Pasien diminta kontrol 5 hari ke poli ROO dan IKA dan direncanakan
injeksi vaksin antirabies hari ke-7.
Gambar 2.5. Follow up hari pertama pasca repair margo palpebra inferior OS
Sumber : RS Mata Cicendo
6
Pasien kontrol pada tanggal 25 Juni 2018 ke poli ROO dengan keluhan sedikit
gatal di area sekitar luka. Keluhan demam, muntah maupun kejang disangkal.
Status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologis menunjukkan VOD
1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal. Segmen anterior OS
didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+) intak, dan krusta pada area fasialis
seperti tampak pada Gambar 2.6a. Pasien diinjeksikan vaksin antirabies hari ke-7
sebanyak 1 dosis intramuskular. Pasien selanjutnya kontrol tanggal 2 Juli 2018
dengan status generalis dalam batas normal dan status oftalmologis menunjukkan
VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal. Segmen anterior
OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+) intak seperti tampak pada
Gambar 2.6b.
Gambar 2.6. Foto klinis pasien pada follow up tanggal 25 Juni 2018 (a) dan 2 Juli
2018 (b)
Sumber : RS Mata Cicendo
Pada tanggal 9 Juli 2018 dilakukan injeksi vaksin antirabies hari ke-21 sebanyak
1 dosis. Pasien kemudian kontrol kembali ke poli ROO pada tanggal 16 Juli 2018
tanpa ada keluhan. Status generalis pasien dalam batas normal. Status oftalmologis
menunjukkan VOD 1.0 dan VOS 1.0. Segmen anterior OD dalam batas normal.
Segmen anterior OS didapatkan hasil silicone tube (+), hechting (+). Dilakukan aff
hechting palpebra inferior OS dengan aposisi luka yang baik seperti tampak pada
Gambar 2.7. Pasien kemudian disarankan kontrol satu bulan setelahnya.
7
Gambar 2.7. Foto klinis pasien pada follow up tanggal 16 Juli 2018 setelah
dilakukan aff hechting palpebra inferior OS
Sumber : RS Mata Cicendo
III. Diskusi
Kasus gigitan anjing banyak terjadi pada anak usia sekolah dengan predileksi
utama di area wajah. Empat hingga tujuh belas persen kasus melibatkan mata dan
jaringan periokular, dengan trauma paling sering terjadi yaitu kerusakan pada
kanalikuli, nervus fasialis, levator aponeurosis, glandula lakrimal, muskulus rektus
dan troklea. Kerusakan pada tulang orbita dan bola mata lebih jarang terjadi karena
adanya refleks mengedip.1,4 Data epidemiologis ini sesuai dengan pasien yang
merupakan anak usia sekolah dengan kerusakan yang terjadi pada kanalikuli.
Kerusakan jaringan yang terjadi pada kasus gigitan anjing disebabkan oleh
kerusakan akibat energi mekanik gigitan dan infeksi. Trauma akibat gigitan anjing
pada kasus ini ditandai dengan adanya vulnus ekskoriasi multipel pada area wajah
dan vulnus laceratum pada palpebra inferior OS yang disertai dengan ruptur margo
dan kanalikuli palpebra inferior OS. Insidensi laserasi kanalikular pada kasus
gigitan anjing bervariasi. Savar et al melaporkan 66% gigitan anjing pada kelopak
mata mengakibatkan kerusakan kanalikuli, dengan 73% kasus melibatkan
kanalikuli inferior, 16% kanalikuli superior dan 11% kanalikuli superior dan
inferior. Pemasangan intubasi silikon selama 2-4 bulan dapat menurunkan insidensi
epifora pada pasien.1,4 Hal ini sesuai dengan penanganan pasien pada kasus yang
telah dipasangkan silicone tube pada mata kiri.
8
Cara penularan rabies yaitu melalui gigitan dan non gigitan seperti goresan
cakaran atau jilatan pada kulit terbuka atau mukosa oleh hewan yang terinfeksi virus
rabies. Hewan yang dapat menjadi reservoir virus rabies antara lain anjing, kucing
dan kera, dan di Indonesia 98% dari seluruh penderita rabies tertular melalui gigitan
anjing. Masa inkubasi penyakit rabies yaitu antara 2 minggu hingga 2 tahun, dengan
rata-rata 3-8 minggu. Menurut WHO masa inkubasi infeksi rabies rata-rata yaitu
30-90 hari. Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf
pusat. Setelah virus masuk melalui luka gigitan/cakaran virus akan menetap selama
dua minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot sekitar
luka gigitan. Virus ini berjalan menuju sistem saraf pusat melalui sistem saraf
perifer sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini belum
ada pemeriksaan yang dapat mendiagnosis dini rabies sebelum muncul gejala
klinis.5,6,10
Gejala klinis infeksi rabies pada manusia dibagi menjadi beberapa tahap, antara
lain tahap prodromal, tahap sensoris, eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal
merupakan tahap awal gejala yang ditandai dengan demam, lemas, lesu, anoreksia,
insomnia, sakit kepala hebat dan nyeri tenggorakan. Tahap sensoris ditandai dengan
kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih
pada rangsang sensorik. 80% pasien mengalami tahap eksitasi yang terjadi selama
rata-rata 5 hari. Pada tahap eksitasi penderita mengalami berbagai macam gangguan
neurologis, tampak bingung, gelisah, halusinasi, perubahan perilaku menjadi
agresif serta berbagai macam fobia. Gejala lain antara lain spasme otot,
hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis dan dilatasi pupil. Setelah beberapa hari
pasien akan meninggal karena henti jantung dan nafas. Bentuk lainnya adalah rabies
tipe paralitik yang mencapai 30% dari kasus rabies dan dengan lama sakit rata-rata
13 hari. Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot secara bertahap dimulai dari bekas
luka hingga ke otot pernapasan dan jantung.5,8,10 Gejala-gejala tersebut tidak
ditemui pada pasien pada kasus ini selama perawatan maupun selama observasi di
rumah.
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap prodromal, tahap
eksitasi dan tahap paralisis. Tahap prodromal merupakan tahap awal gejala klinis
10
yang berlangsung selama 2-3 hari, ditandai dengan hewan tidak mengenal tuannya,
sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya, mudah terkejut dan
cepat berontak, terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks kornea
menurun. Tahap eksitasi terjadi selama 3-7 hari, ditandai dengan hewan mengalami
fotofobia hingga sering bersembunyi, tampak gelisah dan mengunyah benda yang
tidak wajar atau pika. Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot faring dan laring
sehingga terjadi perubahan suara menyalak anjing, hipersalivasi, air liur berbuih
kadang disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya. Tahap paralisis berlangsung
sangat singkat ditandai dengan kelumpuhan otot pengunyah, otot tenggorokan dan
paralisis kaki belakang.5,8,10 Pada kasus ini anjing penggigit tidak menunjukkan
gejala-gejala tersebut sebelumnya, namun pasien merupakan korban gigitan
keempat oleh anjing yang sama, dan anjing penggigit langsung dibunuh oleh warga
sekitar sehingga pemeriksaan sampel otak hewan tidak dapat dilakukan dan status
infeksi pada hewan penggigit tidak dapat dipastikan.
Pencegahan penularan rabies pada manusia dilakukan dengan memberikan
tatalaksana pada luka gigitan hewan dengan tepat. Pencucian luka dengan air
mengalir dan sabun selama 15 menit harus segera dilakukan setelah terjadi pajanan
untuk membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan. Selubung luar
virus yang terdiri dari lipid akan larut oleh sabun sehingga virus dapat diinaktivasi.
Pemberian antiseptik seperti povidone iodine atau alkohol 70% dapat diberikan
untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa.1,5,8,10 Penanganan pertama pada
pasien ini telah sesuai dengan anjuran tersebut, yaitu pasien langsung dilakukan
pencucian dan debridemen dengan deterjen.
Tatalaksana selanjutnya adalah dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) dan
serum anti rabies (SAR). Pemberian vaksin dan serum anti rabies harus
memperhatikan beberapa hal antara lain kondisi hewan pada saat pajanan, hasil
observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan serta
kondisi luka yang ditimbulkan seperti dijelaskan pada Gambar 3.1. Kondisi luka
yang dikategorikan sebagai luka risiko tinggi adalah jilatan/luka pada mukosa, luka
di atas daerah bahu, yaitu pada leher, muka dan kepala, luka pada jari tangan dan
jari kaki, luka di area genitalia, luka yang lebar atau dalam atau luka multipel. Luka
11
risiko rendah adalah jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/gigitan yang
menimbulkan luka lecet atau ekskoriasi di area badan, tangan, dan kaki.5
Berdasarkan kategori tersebut, pasien memiliki luka risiko tinggi karena berada di
daerah wajah sehingga harus segera diberikan VAR dan SAR. Pemberian VAR
pada pasien tetap dilanjutkan karena specimen otak dari hewan penggigit tidak
dapat diperiksa.
Positif Negatif
Lanjutkan
Stop VAR
VAR
Pemberian VAR untuk profilaksis pasca pajanan dilakukan dengan dosis 0.5 ml
untuk jenis Purified Vero Rabies Vaccine dan 1.0 ml untuk jenis Purified Chick
Embryo Cell-culture Vaccine secara intramuskular, pada hari ke-0 sebanyak 2
dosis, serta hari ke-7 dan ke-21 masing-masing sebanyak 1 dosis atau pada hari ke
0, 3, 7, dan 14 menurut WHO. Pada luka dengan risiko tinggi atau kategori III, SAR
diberikan bersamaan dengan VAR hari ke-0. Terdapat dua jenis SAR, yaitu serum
homolog (Human Rabies Immunoglobulin/ HRIG) yang diberikan dengan dosis 20
IU/kg BB dan serum heterolog (Equine Rabies Immunoglobulin/ERIG) yang
diberikan dengan dosis 40 IU/kgBB. Kedua jenis SAR diberikan dengan cara
infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisa SAR diberikan secara
intramuskular.5,8,10 Pasien pada kasus diberikan VAR jenis Purified Vero Rabies
Vaccine sesuai dengan dosis yang dianjurkan pada hari 1, 7, dan 21 karena
ketidaktersediaan vaksin pada hari kejadian gigitan sesuai dengan prosedur tetap
yang disarankan Kemenkes RI.
Anjing penggigit pada kasus ini telah dibunuh dan tidak memungkinkan untuk
memastikan status infeksi rabies pada hewan penggigit. Status infeksi rabies
penting selain untuk pemberian profilaksis dan penatalaksanaan infeksinya sendiri
13
dan juga untuk penanganan luka. Penjahitan primer pada luka akibat gigitan anjing
masih bersifat kontroversial. WHO menganjurkan luka terbuka yang disebabkan
oleh hewan penular rabies diusahakan agar tidak ditutup atau dijahit primer.
Apabila penjahitan harus dilakukan, maka luka harus diinfiltrasi terlebih dahulu
dengan serum anti rabies. Trivedi et al menyatakan penjahitan primer harus segera
dilakukan pada seluruh luka yang tidak terinfeksi dalam 24 jam pertama untuk
mendapatkan keluaran fungsi dan kosmetik yang lebih baik. Alizadeh et al
menyatakan penutupan laserasi dapat dilakukan dengan menggunakan non-
adherent dressing. Rui-feng et al menyatakan tidak ada perbedaan angka kejadian
infeksi yang signifikan antara luka yang dilakukan penjahitan primer dengan yang
dilakukan penundaan penutupan luka.2,9–12 Penanganan luka terbuka pasien pada
kasus mengikuti anjuran dari WHO. Penutupan luka primer ditunda pada pasien
sampai pasien mendapatkan VAR, yaitu 1 hari setelah gigitan. Setelah
mendapatkan VAR dilakukan penjahitan primer pada margo palpebra inferior OS.
Pasien tidak diberikan SAR karena keterbatasan regimen SAR pada saat kejadian.
Prognosis pasien pada kasus ini adalah quo ad vitam dubia ad bonam, karena
pasien telah mendapat profilaksis pasca pajanan berupa vaksin anti rabies dan tidak
menunjukkan gejala klinis infeksi rabies selama observasi serta quo ad vitam dubia
ad bonam karena aposisi luka yang tampak baik saat follow up serta tidak adanya
gejala epifora pada pasien.1,10
IV. Kesimpulan
Kasus gigitan anjing pada area periokular sering terjadi terutama pada anak-
anak. Irigasi yang agresif dengan deterjen yang dikombinasikan dengan
debridemen jaringan sangat penting dalam penanganan kasus ini. Luka risiko tinggi
juga perlu diberikan antibiotik juga profilaksis tetanus dan rabies. Penanganan luka
pada kasus ini bersifat kompleks karena perlu memperhatikan risiko infeksi pada
area luka dan hasil kosmetik dari bekas luka. Beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa penjahitan primer yang dilakukan segera memiliki angka insidensi infeksi
yang sama dibandingkan dengan penutupan luka yang ditunda namun memiliki
hasil kosmetik yang lebih baik.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Erickson BP, Feng PW, Liao SD, Modi YS, Ko AC, Lee WW. Dog bite injuries
of the eye and ocular adnexa. Orbit. 6 Juni 2018;
2. Alizadeh K, Shayesteh A, Xu ML. An Algorithmic Approach to Operative
Management of Complex Pediatric Dog Bites: 3-Year Review of a Level I
Regional Referral Pediatric Trauma Hospital. PRS Global Open. 2017;
3. Pfortmueller CA, Efeoglou A, Furrer H, Exadaktylos AK. Dog Bite Injuries:
Primary and Secondary Emergency Department Presentations—A
Retrospective Cohort Study. The Scientific World Journal. 2013;2013:1–6.
4. Cavalcanti AL, Porto E, dos Santos BF, Cavalcanti CL, Cavalcanti AFC. Facial
dog bite injuries in children: A case report. International Journal of Surgery
Case Reports. 2017;41:57–60.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan
Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. 2017.
6. Naik BN, Sahu SK, Kumar S G. Wound management and vaccination
following animal bite: a study on knowledge and practice among people in an
urban area of Pondicherry, India. Int J Community Med Public Health.
2015;2(4):501–5.
7. Chen E, Hornig S, Shepherd SM, Hollander JE. Primary Closure of Mammalian
Bites. Academic Emergency Medicine. 2000;7(2):156–61.
8. North Carolina Department of Health and Human Service. Rabies Risk
Assessment Steps, Management of Bite Wounds and PEP For Healthcare
Providers. North Carolina; 2015. 1-10 hal.
9. Trivedi N, Patel S. Management of Dog Bite Injuries in Periocular Area.
2009;64(2):13–4.
10. World Health Organization. Rabies Vaccine. In: WHO Position Paper. Geneva;
2018. hal. 201–20.
11. Rui-feng C, Li-song H, Ji-bo Z, Li-qiu W. Emergency treatment on facial
laceration of dog bite wounds with immediate primary closure: a prospective
randomized trial study. BMC Emergency Medicine. 2013;13(Suppl 1):1–5.
12. Paschos NK, Makris EA, Gantsos A, Georgoulis AD. Primary closure versus
non-closure of dog bite wounds. A randomised controlled trial. 2014;45:237–
40.