Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat,
rahmat dan karunia-Nyalah kami dapat menyusun Laporan Tutorial Skenario C
Blok 26 Tahun 2021 ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
I. SKENARIO....................................................................................... 1
ii
KEGIATAN TUTORIAL
iii
I. SKENARIO
Nn. Yati, 30 tahun, diantar oleh tetangganya ke UGD RS dengan keluhan sesak
nafas yang disertai mengi dan batuk yang makin memberat dalam satu hari ini. Tiga
hari yang lalu, Nn. Yati mengeluh mulai timbul sesak setelah ±10 menit menyapu dan
membersihkan kamar tidurnya. Nn. Yati memakai obat inhaler pelega nafas dan
salbutamol tablet. Dua hari sebelumnya, Nn. Yati bekerja lembur dikantornya dan dia
merasa stres dan kelelahan. Sejak 1 hari ini sesak makin sering dan Nn. Yati memakai
obat semprot yang lebih sering dari biasanya namun tidak berkurang sesaknya. Sesak
semakin berat meskipun istirahat, sampai harus duduk membungkuk untuk mengurangi
sesaknya dan bila berbicara hanya dapat mengucapkan kata perkata.
Satu bulan terakhir, Nn. Yati mengalami sesak rata-rata tidak lebih dari 2x
seminggu dan tidak terbangun di malam hari karena sesaknya. Sesak tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Nn. Yati mendapatkan inhaler pelega sesak dan inhaler pencegah
serangan dari dokter di poliklinik.
Satu tahun yang lalu Nn. Yati pernah dibawa ke IGD karena mengalami
serangan asma. Nn. Yati dinebulisasi saat itu sebanyak dua kali dan setelah
mendapatkan pengobatan Nn. Yati diperbolehkan pulang dan dianjurkan kontrol ke
poliklinik. Tes spirometri saat rawat jalan pada tanggal 15 November 2020 dan 20
Desember 2020 (hasil terlampir). Tingkat kontrol asma Nn. Yati pada bulan Juni 2021
dan Juli 2021 tercatat asma terkontrol sebagian.
Nn. Yati memiliki riwayat asma sejak usia 12 tahun, sesak timbul saat cuaca
dingin, terhirup debu, tercium bau menyengat atau kelelahan. Nn. Yati sering bersin-
bersin jika terhirup debu atau tercium bau menyengat. Adik Nn. Yati memiliki riwayat
rinitis alergika dan kakak perempuannya memiliki dermatitis atopi. Nn. Yati seorang
pegawai di sebuah perusahaan swasta.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit berat, sesak dan duduk membungkuk, hanya dapat
berbicara kata perkata, Sensorium: gelisah, Tekanan Darah: 120/80 mmHg, Frekuensi
Nadi: 124 kali/menit, Frekuensi Nafas: 32 kali/menit, Suhu: 37,1C, Saturasi Oksigen:
85%
1
Keadaan Spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat (-), ikterilk (-)
Leher: JVP (5-2) cmH2O
Thoraks: Paru: inspeksi tampak retraksi sela iga, auskultasi: vesikuler normal, ekspirasi
memanjang. wheezing diluruh lapangan paru.
Pemeriksaan laboratorium:
Hb: 12,5 gr%, WBC: 12.000/mm³, hitung jenis: 0/5/6/78/10/1; LED: 20 mm/jam.
2
II. KLARIFIKASI ISTILAH
No Istilah Definisi
Agonis reseptor adrenergik B2 yang digunakan dalam
1. Salbutamol : bentuk basa atau garam sulfat sebagai bronkodilator.
(Kamus Kedokteran Dorland)
• Suatu tes pengukuran untuk menilai kapasitas
paru-paru. (Kamus Kedokteran Dorland)
2. Tes spirometri : • Pengukuran kapasitas pernapasan (kapasitas paru-
paru) seperti pada uji fungsi paru. (Kamus
Kedokteran Dorland)
Pengobatan dalam bentuk aerosol; konversi menjadi
3. Nebulisasi : aerosol atau semprotan. (Kamus Kedokteran
Dorland)
Setiap reaksi alergi mukosa hidung, terjadi secara
4. Rhinitis alergika : perennial (terus menerus) atau musiman. (Kamus
Kedokteran Dorland)
Alat untuk memberikan uap atau obat-obatan yang
3
• Serangan dispnea paroksismal berulang, disertai
mengi akibat kontraksi spasmodik bronki. (Kamus
Kedokteran Dorland)
• Penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran
4
Ekspulsi udara dari dalam paru yang tiba-tiba sambil
13. Batuk : mengeluarkan suara berisik. (Kamus Kedokteran
Dorland)
Keadaan ketegangan fisiologis atau psikologis akibat
stimulus yang merugikan, baik stimulus fisis, mental,
: ataupun emosional yang cenderung mengganggu
14. Stress
fungsi organisme dan sesungguhnya ingin dihindari
oleh organisme tersebut. (Kamus Kedokteran
Dorland)
Kesan keadaan umum pasien dengan ciri kesadaran
compos mentis atau penurunan kesadaran sampai
somnolen, pasien tampak kesakitan, tanda vital tidak
15. Sakit berat : stabil, pasien menggunakan alat bantu organ vital,
memerlukan observasi yang ketat, memerlukan
tindakan pengobatan dan perawatan yang intensif.
(Hasil brainstorming)
5
III. IDENTIFIKASI MASALAH
6
Nn. Yati pada bulan Juni 2021 dan Juli 2021 tercatat asma
terkontrol sebagian.
Keadaan Spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat (-), ikterilk (-)
Leher: JVP (5-2) cmH2O
Thoraks: Paru: inspeksi tampak retraksi sela iga,
auskultasi: vesikuler normal, ekspirasi memanjang.
wheezing diluruh lapangan paru.
7. Pemeriksaan laboratorium: Hb: 12,5 gr%, WBC: TS 5
12.000/mm³, hitung jenis: 0/5/6/78/10/1; LED: 20
mm/jam.
7
Pemeriksaan spirometri tanggal 20 Desember 2020
8
IV. ANALISIS MASALAH
1. Nn. Yati, 30 tahun, diantar oleh tetangganya ke UGD RS dengan keluhan sesak
nafas yang disertai mengi dan batuk yang makin memberat dalam satu hari ini.
Tiga hari yang lalu, Nn. Yati mengeluh mulai timbul sesak setelah ±10 menit
menyapu dan membersihkan kamar tidurnya. Nn. Yati memakai obat inhaler
pelega nafas dan salbutamol tablet. Dua hari sebelumnya, Nn. Yati bekerja
lembur dikantornya dan dia merasa stres dan kelelahan. Sejak 1 hari ini sesak
makin sering dan Nn. Yati memakai obat semprot yang lebih sering dari biasanya
namun tidak berkurang sesaknya. Sesak semakin berat meskipun istirahat,
sampai harus duduk membungkuk untuk mengurangi sesaknya dan bila
berbicara hanya dapat mengucapkan kata perkata.
Selama ekspirasi, adanya mengi menunjukkan bahwa laju aliran ekspirasi puncak
individu kurang dari lima puluh persen dibandingkan dengan normal. Kualitas dan
durasi mengi juga tergantung di mana di saluran udara obstruksi berada. Pada asma,
mengi disebabkan oleh penyempitan saluran udara bagian bawah. Ditentukan
bahwa nada mengi adalah cerminan dari kekakuan, ketebalan, dan ketegangan
longitudinal dinding saluran napas. Studi klinis selanjutnya menunjukkan bahwa
nada dan, terlebih lagi, durasi mengi adalah dua karakteristik yang berkorelasi baik
dengan tingkat keparahan obstruksi jalan napas. Derajat obstruksi bronkus juga
sebanding dengan jumlah saluran napas yang menghasilkan mengi. Jadi, amplitudo
mengi yang diauskultasi tidak berpengaruh pada keparahan obstruksi jalan napas.
Pada akhir obstruksi jalan napas yang sangat parah, jika aliran udara sangat sedikit
atau tidak ada sama sekali, maka tidak akan terdengar bunyi mengi meskipun terjadi
obstruksi jalan napas yang parah (Patel, dkk., 2021).
10
e. Apa makna klinis sesak semakin berat meskipun istirahat, sampai harus
duduk membungkuk untuk mengurangi sesaknya dan bila berbicara hanya
dapat mengucapkan kata perkata?
Pasien mengalami serangan asma akut derajat berat.
11
Faktor psikologis dan aktivitas yang menyebabkan Nn. Yati lelah merupakan salah
satu faktor pencetus terjadinya asma. Pada faktor psikologis rangsangan tersebut
dapat mengaktivasi sistem parasimpatis yang diaktifkan oleh emosi, rasa takut dan
cemas. Karena rangsangan parasimpatis ini juga dapat mengaktifkan otot polos
bronkious, maka apapun yang meningkatkan aktivitas parasimpatis dapat
mencetuskan asma. Dengan demikian dapat mengalami asma mungkin serangan
terjadi akkibat gangguan emosi. Pada aktivitas yang menyebabkan kelelahan, saat
melakukan gerak badan pernafasan terjadi melalui mulut, nafasnya semakin cepat
dan volume udara yang dihirup semakin banyak, hal ini lah yang menyebabkan otot
yang peka disaluran pernafasan mengencang sehingga sauran udara menjadi lebih
sempit, yang menyebabkan bernafas menjadi lebih sulit sehingga terjadilah gejala
asma
h. Bagaimana tatalaksana awal sesak napas berat?
Pada sesak berat lini pertama menggunakan obat antiinflamasi kolinergik yang
diberikan secara inhalasi seperti ipratropium bromida dengan MDI atau wet
nebulization (WN) atau menggunakan atropin sulfat jika diberikan secara parenteral.
2. Satu bulan terakhir, Nn. Yati mengalami sesak rata-rata tidak lebih dari 2x
seminggu dan tidak terbangun di malam hari karena sesaknya. Sesak tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Nn. Yati mendapatkan inhaler pelega sesak
dan inhaler pencegah serangan dari dokter di poliklinik.
a. Apa makna klinis sesak rata-rata tidak lebih dari 2x seminggu, tidak
terbangun di malam hari karena sesak, dan sesak tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari?
Dalam satu bulan terakhir ini, pasien asma masuk kategori asma terkontrol penuh.
Ditandai dengan sesak rata-rata tidak lebih dari 2x seminggu, tidak ada keterbatasan
aktivitas, tidak ada gejala nokturnal (terbangun karena asma), fungsi paru
(APE/VEP1) normal, tidak ada eksaserbasi.
b. Apa saja jenis obat pelega sesak dan obat pencegah serangan?
12
c. Apa indikasi pemberian inhaler pelega sesak dan inhaler pencegah serangan?
- Pemberian inhaler pencegah serangan sesak sebagai medikasi asma jangka
panjang bertujuan untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai
dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
- Pemberian inhaler pelega sesak bertujuan untuk dilatasi jalan napas melalui
relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang
berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
3. Satu tahun yang lalu Nn. Yati pernah dibawa ke IGD karena mengalami serangan
asma. Nn. Yati dinebulisasi saat itu sebanyak dua kali dan setelah mendapatkan
pengobatan Nn. Yati diperbolehkan pulang dan dianjurkan kontrol ke poliklinik.
Tes spirometri saat rawat jalan pada tanggal 15 November 2020 dan 20 Desember
2020 (hasil terlampir). Tingkat kontrol asma Nn. Yati pada bulan Juni 2021 dan
Juli 2021 tercatat asma terkontrol sebagian.
13
a. Bagaimana klasifikasi asma berdasarkan derajat terkontrolnya asma?
4. Nn. Yati memiliki riwayat asma sejak usia 12 tahun, sesak timbul saat cuaca
dingin, terhirup debu, tercium bau menyengat atau kelelahan. Nn. Yati sering
bersin-bersin jika terhirup debu atau tercium bau menyengat.
b. Apa makna klinis sesak timbul saat cuaca dingin, terhirup debu, tercium bau
menyengat atau kelelahan?
Cuaca dingin, debu, tercium bau menyengat dan kelelahan merupakan pencetus dari
asma yang disebabkan oleh faktor alergi dan juga aktivitas fisik. Sehingga
disimpulkan bahwa Nn. Yati mengalami asma akibat faktor alergi dan aktivitas fisik
tersebut.
5. Adik Nn. Yati memiliki riwayat rinitis alergika dan kakak perempuannya
memiliki dermatitis atopi. Nn. Yati seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta.
14
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Seseorang dengan riwayat penyakit
keluarga menderita alergi (atopi) akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk
menderita asma.
6. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum tampak sakit berat, sesak dan duduk membungkuk, hanya dapat
berbicara kata perkata, Sensorium: gelisah, Tekanan Darah: 120/80 mmHg,
Frekuensi Nadi: 124 kali/menit, Frekuensi Nafas: 32 kali/menit, Suhu: 37,1C,
Saturasi Oksigen: 85%
Keadaan Spesifik:
Kepala: Konjungtiva pucat (-), ikterilk (-)
Leher: JVP (5-2) cmH2O
Thoraks: Paru: inspeksi tampak retraksi sela iga, auskultasi: vesikuler normal,
ekspirasi memanjang. wheezing diluruh lapangan paru.
a. Bagaimana interpretasi dan nilai normal dari hasil pemeriksaan fisik dan
keadaan spesifik pada kasus?
No. Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
Pemeriksaan Fisik
15
2. Sensorium Gelisah Compos mentis Abnormal
Kepala
Leher
Thorax (Paru)
11. Inspeksi Retraksi sela iga (+) Retraksi sela iga (-) Abnormal
16
• Wheezing di seluruh • Wheezing (-)
lapangan paru
2. Sensorium gelisah
3. HR 124x/menit
4. RR 32x/menit
17
obstruksi saluran napas → sulit bernapas → oksigen dalam tubuh berkurang →
saturasi menurun.
7. Ekspirasi memanjang
7. Pemeriksaan laboratorium:
Hb: 12,5 gr%, WBC: 12.000/mm³, hitung jenis: 0/5/6/78/10/1; LED: 20 mm/jam.
18
• Monosit: 4-8
4. LED 20 mm/jam 0-20 mm/jam Normal
19
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan spirometri pada kasus?
1. Pemeriksaan spirometri tanggal 15 November 2020
Interpretasi:
- VEP1 : 67% → < 80% (Menurun)
- KVP : 95% → > 80% (Normal)
- VEP1:KVP : 60% → < 70% (Menurun)
- Derajat:
VEP1 pasien/FEV1 prediksi x 100%
= 1,68/2,505 x 100%
= 67,06% → derajat sedang
Kesimpulan → Gangguan obstruktif pada paru derajat sedang
2. Pemeriksaan spirometri tanggal 20 Desember 2020
Interpretasi:
- VEP1 : 88% → > 80% (Normal)
- KVP : 96%→ > 80% (Normal)
- VEP1:KVP : 82% → > 70% (Normal)
Kesimpulan → Normal
20
c. Apa indikasi pemeriksaan spirometri?
1. Diagnostik
a. Evaluasi keluhan dan gejala (deformitas rongga dada, sianosis, penurunan
suara napas, perlambatan udara ekspirasi, overinflasi, ronkhi yang tidak
dapat dijelaskan)
b. Evaluasi hasil laboratorium dan pemeriksaan radiologi yang abnormal (foto
toraks abnormal, hiperkapnia, hipoksemia, polisitemia)
c. Menilai pengaruh penyakit sistemik terhadap fungsi paru
d. Deteksi dini seseorang yang memiliki risiko menderita penyakit paru
(perokok, usia >40 tahun, pekerja yang terpajan substansi tertentu)
e. Pemeriksaan rutin (risiko pra-operasi, menilai prognosis, menilai status
kesehatan)
2. Monitoring
a. Menilai efek terapi (terapi bronkodilator, steroid)
b. Menggambarkan perjalanan penyakit (penyakit paru, interstisial lung
disease/ILD), gagal jantung kronik, penyakit neuromuskuler, sindrom
Guillain-Barre)
c. Menilai efek samping obat terhadap fungsi paru
3. Evaluasi kecacatan
a. Mengetahui kecacatan atau ketidakmampuan (misal untuk kepentingan
rehabilitasi, asuransi, alasan hukum dan militer)
4. Kesehatan masyarakat
a. Survei epidemiologis (skrining penyakit obstruktif dan restriktif),
menetapkan standar nilai normal dan penelitian klinis.
1. Persiapan Tindakan
2. Prosedur Tindakan
21
a. Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan
berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
b. Pemeriksaan sebaliknya dilakukan dalam posisi berdiri
c. Penilaian meliputi pemeriksaan VC, FVC, FEV1, MVV
Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity, FVC) dan Volume ekspirasi
paksa detik pertama (Forced Expiratory Volume in One Second, FEV1)
22
Maximal Voluntary Ventilation (MVV)
9. Resume Kasus
23
Diagnosis asma berdasarkan:
1. Anamnesis:
• Gejala utama: sesak napas, batuk, rasa tertekan di dada, mengi yang bersifat
episodik dan bervariasi.
• Gejala tambahan: rinitis atau atopi lainnya
2. Pemeriksaan fisik:
Normal sampai ada tanda obstruksi: ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi
(sela iga melebar, dada cembung, hipersonor dan suara napas melemah)
3. Pemeriksaan Penunjang:
• Dasar: foto toraks normal/hiperinflasi
24
• Arus puncak ekspirasi (APE): menurun, dengan pemberian bronkodilator
(inhalasi salbutamol 400 meg atau 2 x 2 semprot) meningkat 20%.
• Spirometri: VEP/KVP < 75%, dengan pemberian bronkodilator meningkat Z
12% dan 200 ml.
Penunjang lain:
• Variasi diurnal dengan APE
• Eosinofil total
• Uji provokasi bronkus (metakolin/histamin)
• Uji kulit (Skin Prick Test)
• FeNo
25
- Faktor lingkungan: infeksi virus-bakteri, pajanan alergen, panjanan okupasi, bahan
kimia dalam makanan dan obat seperti aspirin
Inflamasi Akut
Reaksi imunologi yang timbul akibat paparan alergen, pada awalnya menimbulkan
fase sensitisasi. Fase ini merangsang terbentuknya IgE spesifik oleh sel plasma dan
IgE ini akan melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Rangsangan berikutnya oleh alergen yang serupa menimbulkan reaksi fase awal. Hal
ini dikarenakan terjadinya degranulasi dari sel mast yang akan melepaskan mediator-
mediator yang ada di dalam granul sel mast yaitu histamin, neutral protease dan
proteoglikan (preformed molecules) dan prostaglandin, leukotrien dan sitokin
(newly generated molecules). Histamin mempunyai efek vasoaktif langsung dan
spasmogenik otot polos. Sedangkan PGD2 mempunyai aktivitas bronkospasme yang
sangat kuat dan memperberat hiperrespon saluran nafas terhadap inhalasi histamin
dan metakolin. LTC4, LTD4 dan LTE4 menyebabkan permeabilitas vaskuler,
kontraksi otot polos dan hipersekresi mukus. Mediator-mediator tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan pada bronkus, yaitu akan terjadi spasme dari
bronkus, hipersekresi kelenjar, udema dan peningkatan permeabilitas kapiler dan hal
ini secara klinis merupakan manifestasi serangan asma akut.
Setelah 4 sampai 6 jam kemudian, akan terjadi proses selanjutnya yaitu reaksi asma
lambat (RAL) atau late phase reaction (LPR), dan biasanya menetap dalam 24
sampai 48 jam Reaksi asma lambat berhubungan dengan perekrutan sel inflamasi
kedalam saluran nafas. Cairan BAL pada fase APR menunjukkan peningkatan level
histamin dan tryptase, yang mencerminkan aktivasi sel mast. Eosinofilia saluran
nafas dimulai 4 sampai 6 jam setelah paparan alergen pada LPR. Eosinofil dan
limfosit dalam saluran nafas teraktivasi yang ditunjukkan oleh marker aktivasi sel
27
permukaan dan pelepasan granul protein eosinofil. Jumlah makrofag saluran nafas
juga meningkat.
Inflamasi Kronis
Oleh pengaruh sitokin yaitu IL-3, IL-4, Granulocyte Monocyte Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) yang dihasilkan oleh sel mast dan T limfosit yang
teraktivasi, akan menyebabkan aktivasi sel-sel radang seperti eosinofil, neutrofil,
monosit, makrofag, basofil dan limfosit. Masing-masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi.
Eosinofil yang teraktivasi memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, TNF dan GM-CSF.
IL-5 dan GM-CSF yang akan meningkatkan rekrutmen eosinofil kedalam saluran
nafas, yang menyebabkan terjadinya eosinofilia pada asma. Eosinofil juga
mengandung granul-granul protein kationik seperti Major Basic Protein (MBP),
Eosinophil Cationic Protein (ECP), Eosinophil-Derived Neurotoxin dan Eosinophil
Peroxidase (EPO). MBP dan ECP sangat toksik terhadap sel epitel, sedangkan EDN
sesuai dengan namanya, akan merusak neuron yang bermielin sehingga saluran nafas
lebih peka terhadap rangsang. Sedangkan EPO menyebabkan pelepasan histamin dari
sel mast. Makrofag melepas bermacam sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, GM-CSF, TNF-a),
mediator lemak (TXA2, LTB4, LTC4, LTD4 dan PGD2), PAF dan histamin
releasing factor. Basofil juga mengandung MBP, selain itu juga menghasilkan sitokin
(IL-4, IL-5 dan IL-13) dan mediator lemak (LTC4, LTD4, LTE4 dan PAF).
Limfosit T dibedakan menjadi dua berdasar marker membrannya, yaitu limfosit
T CD4+ ‘helper” dan CD8+ “cytotoxic”. Yang dominan pada orang asma adalah
limfosit T CD4+ yang dibagi menjadi dua subset yaitu sel TH1 dan TH2 yang
diperkirakan berasal dari prekursor limfosit yang disebut sel TH0. Sel TH1 dan TH2
memproduksi sitokin yang serupa seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-10, IFN-g, GM-
CSF dan TNF-a.
Mekanisme perekrutan sel inflamasi kedalam saluran nafas difasilitasi dan
diatur oleh molekul adesi dan sitokin. Molekul adhesi adalah protein permukaan sel
yang berupa selektin (ELAM-1), integrin dan Ig gene superfamily (ICAM-1, ICAM-
2, VCAM-1, PECAM-1). Molekul adhesi ini mempermudah mobilisasi sel radang
dari intravaskuler menuju jaringan tempat radang atau organ sasaran.
28
i. Bagaimana patofisiologi dari penyakit pada kasus ini?
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang
akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel,
eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini
bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi
otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi
29
mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis
sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya
yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara
dingin, dan stress.
30
1) Asma alergenik atau ekstrinsik
Merupakan asma yang disebabkan karena terpapar oleh alergen seperti debu,
bulu, makanan, dan sebagainya. Asma jenis ini biasanya muncul sejak anak-anak.
2) Idiopatik atau non alergenik/intrinsik
Asma idiopatik merupakan asma yang disebabkan bukan karena paparan alergi
pada asma alergenik. Penyebab dari asma jenis ini yaitu faktor seperti polusi,
infeksi saluran pernafasan atas, aktivitas, dan emosi. Asma non alergenik
biasanya muncul pada saat dewasa atau sekitar usia 35 tahun.
3) Asma campuran
Asma campuran merupakan gabungan dari dua jenis asma yang telah disebutkan
sebelumnya dan asma ini paling umum terjadi.
l. Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk penyakit pada
kasus ini?
Pemeriksaan Fisik:
- Keadaan umum
- Vital Sign
- Pemeriksaan Fisik thorax (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan fungsi paru
- Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
- Uji revesibilitas (dengan bronkodilator)
- Uji Provokasi Bronkus
- Pengukuran Status Alergi
31
m. Apa pemeriksaan gold standard pada kasus?
Pemeriksaan gold standard pada kasus ini adalahm pemeriksaan dengan
menggunakan spirometri.
32
• Menghindari paparan polutan dan alergen (asap rokok, debu, polusi udara, bau-
bauan yang mengiritasi seperti parfum, obat semprot serangga, deterjen cucian)
• Menghindari hewan peliharaan yang mengandung alergen seperti kucing dan
anjing.
• Berhenti merokok.
• Gunakan kasur dan bantal sintesis atau jika tidak ada, gunakan kain penutup yang
terbuat dari bahan sintesis.
• Usahakan tidak memakai karpet di dalam rumah/kamar tidur
• Jemur dan tepuk-tepuk kasur secara rutin
33
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.
34
V. RUMUSAN KETERBATASAN
patofisiologi, patofisiologi,
Definisi, manifestasi klinis, manifestasi Buku,
etiologi, algoritma penegakan klinis, Jurnal,
1. Asma
faktor diagnosis, diagnosis tatalaksana, materi
risiko. banding, tatalaksana, komplikasi, kuliah,
VI. SINTESIS
1. ASMA
a. Definisi Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronis pada saluran napas. Adanya
trigger/pemicu spesifik seperti virus, alergen yang berulang menyebabkan
hiperresponsif saluran napas persisten sehingga menyebabkan inflamasi kronis saluran
nafas. keadaan hiperreaktif bronkus persisten yang ditandai dengan episode berulang
dari obstruksi aliran udara akibat edema, bronkospasme, dan peningkatan produksi
mukus ini diakibatkan oleh bermacam mediator inflamasi yang dihasilkan oleh
bermacam sel inflamasi, terutama sel eosinofil, limfosit dan basofil (Lizzo & Cortes,
2020).
35
Seringkali pada pasien asma ditemukan gejala klinis penyakit atopik lainnya
(disebut dengan trias atopik, meliputi dermatitis atopik, rhinitis alergi, dan asma).
Orang dengan riwayat keluarga yang memiliki trias atopik memiliki risiko lebih tinggi
mengalami trias atopik juga (Lizzo & Cortes, 2020).
Asma akibat kerja adalah penyakit paru yang paling umum di negara-negara
industri dan mewakili 15% dari kasus asma baru pada orang dewasa. Didefinisikan
sebagai keterbatasan aliran udara atau hiper-responsif karena lingkungan kerja tertentu.
Asma akibat kerja dapat disebabkan oleh alergen atau iritan di tempat kerja (Chabra,
et.al., 2021).
b. Etiologi Asma
Etiologi asma bisa multifaktorial (kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan).
Namun, faktor utama yang mendasari semua jenis asma adalah respons
hipersensitivitas yang berlebihan, digambarkan sebagai respons yang dimediasi IgE.
Respon ini dipicu oleh agen penyebab alergen atau agen lingkungan (seperti polutan
udara) yang mengakibatkan peningkatan eosinofil, limfosit dan sel mast ke jaringan.
Hal ini menyebabkan peradangan saluran napas dan kerusakan pada epitel bronkus.
Sitokin juga telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap
patogenesis asma. Otot polos abnormal dan kontraktilitas massa otot polos juga
merupakan faktor penyebab asma. Serangan asma alergi berhubungan dengan paparan
agen penyebab yang spesifik (Chabra, et.al., 2021).
Faktor risiko terkuat untuk mengembangkan asma adalah riwayat penyakit
atopik. Pasien yang memiliki demam atau eksim (dermatitis atopik) memiliki risiko
asma yang jauh lebih tinggi. Pemicu lingkungan termasuk olahraga, hiperventilasi,
perubahan hormonal, gangguan emosional, polusi udara, serta GERD. Polutan
lingkungan dapat mempengaruhi keparahan asma dan dapat bertindak sebagai pemicu
yang menyebabkan eksaserbasi asma. Polutan dapat memperburuk peradangan
saluran napas yang sudah ada sebelumnya (Chabra, et.al., 2021).
36
• Bahan kimia iritan dan polusi asap lalu lintas
• Produk dari perangkat pembakaran (Chabra, et.al., 2021).
c. Epidemiologi Asma
Asma merupakan salah satu penyakit tidak menular utama (PTM), yang
mempengaruhi anak-anak dan orang dewasa (WHO, 2020). Asma adalah penyakit tidak
menular yang paling umum di kalangan anak-anak. Sebagian besar kematian terjadi
pada orang dewasa yang lebih tua (Chabra, et.al. 2021). Diperkirakan 300 juta orang
menderita asma di seluruh dunia. Pada tahun 2016, Global Burden of Disease
collaboration memperkirakan 420.000 orang di dunia meninggal karena asma, lebih
dari 1000 kasus kematian per hari.
Sebelum pubertas, tingkat kejadian asma, prevalensi, dan rawat inap lebih tinggi
pada anak laki-laki daripada anak perempuan, hal ini berbalik selama masa dewasa.
Data terbaru yang diperoleh dari CDC menunjukkan prevalensi pada laki-laki sekitar
6,5% dan pada wanita sekitar 9,1%. Mengenai distribusi ras, prevalensinya adalah 7,8%
pada populasi kulit putih, 10,3% pada komunitas kulit hitam dan 6,6% pada populasi
Hispanik. Insiden tahunan asma akibat kerja berkisar antara 5-15% atau 12 hingga 170
kasus per juta orang yang bekerja (Chabra, et.al., 2021). Global Initiative for Asthma
(GINA) mengestimasikan 3,7% pasien menderita asma berat (GINA, 2020). Prevalensi
asma berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan untuk nasional sebesar 2,4%, dengan
persentase tertinggi adalah provinsi Bali (3,9%).
d. Faktor Risiko Asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu dan
faktor lingkungan. Faktor penjamu termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis
kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
kecenderungan/predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk
dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi
udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.
Interaksi faktor genetik/ penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan:
1. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik
asma,
37
2. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit
asma.
e. Klasifikasi Asma
Asma dapat ditentukan dengam banyaknya faktor, seperti gambaran klinik
sebelum pengobatan yaitu gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru serta obat yang diberi sebagai mengontrol asma
seperti jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat. Pemeriksaan klinis
yang berupa uji faal paru bisa menentukan adanya klasifikasi berat-ringannya asma dan
merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan asma.
38
Berdasarkan gejala klinis
1) Serangan asma ringan: dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa
O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter,
sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat
dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
2) Serangan asma sedang: dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun
timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara
ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas
kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.
3) Serangan asma berat: dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas
sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk
makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal
dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1
0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan
cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus 20 mmHg,
berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.
39
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Berat Serangan Asma (GINA, 2020).
f. Patogenesis Asma
Patogenesa Asma Imunlogi
Dengan melakukan tes provokasi alergen pada individu yang sensitif, akan terjadi
obstruksi bronkus yang terlihat dengan menurunnya volume ekspirasi paksa detik
pertama (FEV1). Fase ini dikenal sebagai reaksi asma segera (RAS) atau Early
40
Asthmatic Reaction (EAR), dimana obstruksi mencapai puncaknya pada 15 sampai 20
menit setelah paparan dengan alergen, dan berakhir kurang lebih 60 menit kemudian.
Inflamasi Akut
4) Reaksi Asma Tipe Cepat
Reaksi imunologi yang timbul akibat paparan alergen, pada awalnya menimbulkan
fase sensitisasi. Fase ini merangsang terbentuknya IgE spesifik oleh sel plasma dan
IgE ini akan melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil.
Rangsangan berikutnya oleh alergen yang serupa menimbulkan reaksi fase awal.
Hal ini dikarenakan terjadinya degranulasi dari sel mast yang akan melepaskan
mediator-mediator yang ada di dalam granul sel mast yaitu histamin, neutral
protease dan proteoglikan (preformed molecules) dan prostaglandin, leukotrien
dan sitokin (newly generated molecules). Histamin mempunyai efek vasoaktif
langsung dan spasmogenik otot polos. Sedangkan PGD2 mempunyai aktivitas
bronkospasme yang sangat kuat dan memperberat hiperrespon saluran nafas
terhadap inhalasi histamin dan metakolin. LTC4, LTD4 dan LTE4 menyebabkan
permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan hipersekresi mukus. Mediator-
mediator tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada bronkus, yaitu akan
terjadi spasme dari bronkus, hipersekresi kelenjar, udema dan peningkatan
permeabilitas kapiler dan hal ini secara klinis merupakan manifestasi serangan
asma akut.
5) Reaksi Fase Lambat
Setelah 4 sampai 6 jam kemudian, akan terjadi proses selanjutnya yaitu reaksi asma
lambat (RAL) atau late phase reaction (LPR), dan biasanya menetap dalam 24
sampai 48 jam Reaksi asma lambat berhubungan dengan perekrutan sel inflamasi
kedalam saluran nafas. Cairan BAL pada fase APR menunjukkan peningkatan
level histamin dan tryptase, yang mencerminkan aktivasi sel mast. Eosinofilia
saluran nafas dimulai 4 sampai 6 jam setelah paparan alergen pada LPR. Eosinofil
dan limfosit dalam saluran nafas teraktivasi yang ditunjukkan oleh marker aktivasi
sel permukaan dan pelepasan granul protein eosinofil. Jumlah makrofag saluran
nafas juga meningkat.
Inflamasi Kronis
41
Oleh pengaruh sitokin yaitu IL-3, IL-4, Granulocyte Monocyte Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) yang dihasilkan oleh sel mast dan T limfosit yang
teraktivasi, akan menyebabkan aktivasi sel-sel radang seperti eosinofil, neutrofil,
monosit, makrofag, basofil dan limfosit. Masing-masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi.
Eosinofil yang teraktivasi memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, TNF dan GM-CSF. IL-
5 dan GM-CSF yang akan meningkatkan rekrutmen eosinofil kedalam saluran nafas,
yang menyebabkan terjadinya eosinofilia pada asma. Eosinofil juga mengandung
granul-granul protein kationik seperti Major Basic Protein (MBP), Eosinophil Cationic
Protein (ECP), Eosinophil-Derived Neurotoxin dan Eosinophil Peroxidase (EPO).
MBP dan ECP sangat toksik terhadap sel epitel, sedangkan EDN sesuai dengan
namanya, akan merusak neuron yang bermielin sehingga saluran nafas lebih peka
terhadap rangsang. Sedangkan EPO menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast.
Makrofag melepas bermacam sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, GM-CSF, TNF-a), mediator
lemak (TXA2, LTB4, LTC4, LTD4 dan PGD2), PAF dan histamin releasing factor.
Basofil juga mengandung MBP, selain itu juga menghasilkan sitokin (IL-4, IL-5 dan
IL-13) dan mediator lemak (LTC4, LTD4, LTE4 dan PAF).
Limfosit T dibedakan menjadi dua berdasar marker membrannya, yaitu limfosit
T CD4+ ‘helper” dan CD8+ “cytotoxic”. Yang dominan pada orang asma adalah
limfosit T CD4+ yang dibagi menjadi dua subset yaitu sel TH1 dan TH2 yang
diperkirakan berasal dari prekursor limfosit yang disebut sel TH0. Sel TH1 dan TH2
memproduksi sitokin yang serupa seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-10, IFN-g, GM-CSF
dan TNF-a.
Mekanisme perekrutan sel inflamasi kedalam saluran nafas difasilitasi dan diatur
oleh molekul adesi dan sitokin. Molekul adhesi adalah protein permukaan sel yang
berupa selektin (ELAM-1), integrin dan Ig gene superfamily (ICAM-1, ICAM-2,
VCAM-1, PECAM-1). Molekul adhesi ini mempermudah mobilisasi sel radang dari
intravaskuler menuju jaringan tempat radang atau organ sasaran.
42
Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma
43
2. Exercised Induced Asthma (EIA)
Banyak dijumpai pada anak dan dewasa muda. Latihan lari merupakan
rangsangan yang paling poten untuk terjadinya bronkospasme. Semula hal ini diduga
karena ada penurunan pH (lactic acidosis) berperan dalam EIA. Dikemukakan
hipotesis respiratory heat loss pada EIA, saluran nafas mengalami pendinginan bila
bernafas dengan udara dingin dan kering, karena udara tersebut harus dihangatkan
dan dibuat humid sesuai dengan keadaan tubuh sebelum udara mencapai alveoli, dan
untuk hal tersebut diatas, terjadi penguapan air dan pendinginan saluran nafas. Hal
seperti ini juga terjadi pada hiperventilasi tanpa latihan. Teori terbaru menyatakan
bahwa exercise menghasilkan: hiperventilasi, efek intrinsik langsung, meningkatkan
sympathetic drive dan pelepasan inhibitory prostaglandin.
g. Patofisiologi Asma
44
normal, dan menimbulkan manifestasi klinis berupa sesak napas, mengi, dada
terasa berat serta batuk, terutama pada malam atau pagi hari (GINA, 2020).
b Keterbatasan aliran udara. Episode berulang dari keterbatasan aliran udara pada
asma mempunyai empat bentuk, dan masing-masing berhubungan dengan respon
inflamasi saluran nafas.
1) Bronkokonstriksi akut
Mekanisme keterbatasan aliran udara akut bervariasi tergantung dari
rangsangan. Bronkokonstriksi akut allergen-induced, disebabkan oleh
pelepasan mediator IgE dependent termasuk histamin, prostaglandin dan
leukotrien dari sel mast saluran nafas yang menyebabkan kontraksi otot polos.
Reaksi ini kadang disebut sebagai respon asma segera. Keterbatasan aliran
udara akut juga terjadi karena saluran nafas pada penderita asma
hiperresponsif terhadap banyak rangsangan seperti inhalasi alergen, aktivitas,
udara dingin, bahan kimia dan ekspresi emosional yang berlebihan seperti
menangis dan tertawa. Bronkokonstriksi akut dengan cepat dapat dihilangkan
dengan bronkodilator inhaler, seperti short acting b2-agonis.
2) Penebalan dinding saluran nafas
Keterbatasan aliran udara juga terjadi akibat edema dari dinding saluran nafas
dengan atau tanpa kontraksi otot polos atau bronkokonstriksi. Komponen
respon asma ini disebut sebagai reaksi asma lambat. Kerusakan dan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, menyebabkan penebalan mukosa
dan pembengkakan saluran nafas diluar otot polos. Ini menyebabkan edema
dinding saluran nafas dan hilangnya elastic recoil pressure. Bronkodilator
dapat menghilangkan sedikit dari komponen ini, tetapi lebih efektif untuk
menggunakan obat anti inflamasi seperti kortikosteroid.
3) Pembentukan mukus plug kronis
Merupakan keterbatasan aliran udara yang sulit diatasi dan sedikit dipelajari.
Hal ini terutama disebabkan peningkatan sekresi mukus yang bersama dengan
eksudasi protein serum dan sel debris membentuk mukus plug yang kental
yang menutup saluran nafas perifer pada asma berat. Umumnya membutuhkan
waktu enam minggu atau lebih untuk menghilangkannya dengan pemberian
kortikosteroid.
4) Remodeling dinding saluran nafas
45
Keterbatasan aliran udara kadang tidak membaik dengan pemberian
kortikosteroid. Dasar seluler dan molekuler dari resistensi steroid ini mungkin
pada level reseptor transduksi steroid atau mungkin berhubungan dengan
perubahan struktur dari matriks saluran nafas akibat inflamasi saluran nafas
yang berat dan dalam waktu lama.
46
d) Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas
atau olahraga?
e) Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat
pelega (bronkodilator)?
f) Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca
atau suhu yang ekstrim (tiba-tiba)?
g) Apakah ada penyakit alergi lainnya (rhinitis, dermatitis atopi, konjunktivitis
alergi)?
h) Apakah dalam keluarga ada yang menderita asma atau alergi?
Riwayat Penyakit/Gejala:
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
47
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar
bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan fungsi paru
- Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
- Uji revesibilitas (dengan bronkodilator)
- Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.
- Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat
dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan
tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai
dalam diagnosis alergi/atopi.
48
Gambar 4. Algoritma diagnosis dan tatalaksana asma di IGD (Schauer, dkk., 2013)
1. Anamnesis:
• Gejala utama: sesak napas, batuk, rasa tertekan di dada, mengi yang bersifat
episodik dan bervariasi.
• Gejala tambahan: rinitis atau atopi lainnya
2. Pemeriksaan fisik:
Normal sampai ada tanda obstruksi: ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi (sela
iga melebar, dada cembung, hipersonor dan suara napas melemah)
3. Pemeriksaan Penunjang:
49
• Dasar: foto toraks normal/hiperinflasi
• Arus puncak ekspirasi (APE): menurun, dengan pemberian bronkodilator
(inhalasi salbutamol 400 meg atau 2 x 2 semprot) meningkat 20%.
• Spirometri: VEP/KVP < 75%, dengan pemberian bronkodilator meningkat Z
12% dan 200 ml.
Penunjang lain:
• Variasi diurnal dengan APE
• Eosinofil total
• Uji provokasi bronkus (metakolin/histamin)
• Uji kulit (Skin Prick Test)
• FeNo
k. Tatalaksana Asma
50
Saat menatalaksana asma yang eksaserbasi akut, tujuan utamanya adalah
memastikan oksigenasi ateri yang adekuat, memperlancar obstruksi jalan napas,
mengurangi inflamasi jalan napas, dan mencegah relaps. Terapi primer untuk asma
adalah oksigenasi, SABA, dan kortikosteroid oral atau IV. Perawatan disesuaikan
dengan keparahan asma. Terapi diTerapi disesuaikan dengan gejala dan tanda, dan tes
PEFR atau FEV1 yang berulang dan dibandingkan dengan saturasi oksigen untuk
menilai derajat keparahan obstruksi jalan napas, pertukaran gas yang adekuat, dan
respon terhadap terapi.
Oksigenasi
Oksigen direkomendasikan untuk pasien hipoksia untuk menjaga saturasi oksigen
>90% (95% pada pasien hamil atau pasien dengan komorbid penyakit jantung).
Beberapa pasien mungkin memiliki saturasi oksigen ang normal tetapi dapat
berkembang menjadi hipoksemia setelah terapi bronkodilator karena ketidaksesuaian
perfusi ventilasi. Hipoksemia ringan dapat dikoreksi dengan 2-4 L/menit oksigen via
nasal kanul atau masker.
SABA (Short-Acting Beta-2 Agonist)
SABA inaler adalah pilihan obat untuk mengatasi asma akut. SABA bekerja untuk
merelaksasi otot polos saluran pernapasan dengan mengikat reseptor beta-2 adrenergik,
untuk mengatasi bronkospasme. Obat yang sering digunakan adalah salbutamol,
terbutaline, dan fenoterol. Onset of action dari SABA adalah 5 menit, dan duration of
action SABA adalah 4 – 6 jam. SABA inhalasi lebih memiliki onset yang cepat, efek
samping yang lebih rendah, dan lebih efektif dibandingkan SABA sistemik. Dosis
SABA dapat diberikan menggunakan MDI ditambah dengan katup dengan dosis 6 – 8
isapan (540 – 720 g).
Antikolinergik
Antikolinergik adalah agen penghambat reseptor muskarinik nonspesifik yang
digunakan untuk mengobati bronkospasme pada asma akut. Menurut penelitian, dosis
tunggal antikolinergik (IB) yang ditambahkan ke SABA menunjukkan bahwa IB
meningkat secara signifikan sehingga dapat digunakan sebagai lini pertama eksaserbasi
asma parah pada pasien dewasa. Dosis yang diberikan sebanyak 4 isapan (80 g) setiap
10 menit yang dialirkan melalui MD dan spacer volume besar atau 500 gram per dosis
setiap 20 menit dalam bentuk nebulisasi.
Kortikosteroid
51
Kortikosteroid sistemik memiliki peran dalam pengobatan eksaserbasi akut.
Berdasarkan pedoman NIH, kortikosteroid direkomendasikan untuk setiap tingkat asma
eksaserbasi. Agen ini tidak bronkodilator tetapi efektif dalam mengurangi peradangan
saluran napas. Manajemen eksaserbasi akut di dewasa dan anak dengan IV, IM atau
oral dalam 1 jam kedatangan di UGD dapat mengurangi keparahan asma.
Kortikosteroid oral direkomendasikan sebagai terapi awal pada pasien dengan obstruksi
aliran udara (FEV1 atau PEFR >50%) pada pasien yang tidak merespon dengan segera
dan lengkap terhadap SABA dan oksigen inhalasi. Kortikosteroid IV direkomendasikan
sebagai terapi awal pada henti napas yang akan datang atau yang sebenarnya pada
perawatan di ICU dan sebagai alternatif steroid oral pada saat masuk rumah sakit.
Kortikosteroid IV juga diberikan pada pasien yang tidak dapat menelan, muntah, atau
tidak dapat mengonsumsi obat oral dengan dosis 125 mg IV methylprednisolone setiap
6 jam. Kortikosteroid inhalasi (ICS) merupakan pengobatan yang paling baik
digunakan untuk control asma jangka panjang.
Teofilin
Penggunaan teofilin/aminofilin hanya diperuntukkan bagi pasien yang tidak merespons
terapi standar dengan dosis 6 mg/kg selama 30 menit dan diikuti dengan infus 0,5
mg/kg/jam dengan ukuran kadar teofilin darah yang dianjurkan.
Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat dapat menyebabkan bronkodilatasi yang dimediasi melalui
penghambatan saluran kalsium di otot polos saluran napas sel. Penggunaan magnesium
sulfat IV hanya meningkatkan fungsi paru jika diberikan sebagai tambahan terapi
standar pada subkelompok pasien yang sangat terpilih. Obat ini aman dan murah dalam
dosis klinis biasa 1,2 hingga 2 gram IV lebih dari 20 menit.
52
53
Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol:
- Kortikosteroid inhalasi
- Kortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat
- Nedokromil sodium
- Metilsantin
- Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
- Agonis beta-2 kerja lama, oral
- Leukotrien modifiers
- Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan
atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,
54
rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah :
- Agonis beta2 kerja singkat
- Kortikosteroid sistemik (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
- Antikolinergik
- Aminofillin
- Adrenalin
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah:
55
mengurangi kemungkinan kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid, serta
mengurangi bioavailibiliti sistemik dan risiko efek samping sistemik.
l. Edukasi Asma
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita
agar tetap masuk sekolah/kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena berkurangnya
serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat/perawatan
rumah sakit. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat
darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu
penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan
kontrol teratur pada pengobatan asma.
56
m. Pencegahan Asma
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan
bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah
mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang
sudah menderita asma.
1. Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan
primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau
menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut
sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer
waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung
dan menjanjikan.
2. Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai
pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak
dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi
dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma. Pengamatan pada asma
kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada
penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah
lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala daripada jika pajanan
terus berlangsung.
3. Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh
berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan
memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.
57
Tabel 6. Faktor pencetus asma dan cara mengontrolnya
n. Komplikasi Asma
58
Komplikasi Jangka Pendek
59
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
6. Deformitas Thoraks
7. Gagal Jantung
o. Prognosis Asma
Prognosis asthma umumnya baik apabila terkontrol. Apabila asthma tidak terkontrol,
maka dapat timbul komplikasi seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Apabila
asthma tidak terkontrol dengan baik dan berlangsung terus-menerus dapat terjadi
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
p. SKDI Asma
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Pemeriksaan Fisik
60
1. Keadaan Tampak sakit berat, Sehat, tidak sesak, Abnormal
umum sesak & duduk mem- duduk tegak, dapat
bungkuk, hanya dapat berbicara satu kalimat
bicara kata perkata penuh.
Kepala
Leher
Thorax (Paru)
61
11. Inspeksi Retraksi sela iga (+) Retraksi sela iga (-) Abnormal
6. Keadaan umum: sakit berat, sesak, duduk membungkuk dan bicara per kata
7. Sensorium gelisah
8. HR 124x/menit
9. RR 32x/menit
62
Asma → inflamasi dan hiperreaktivitas saluran napas → vasodilatasi, edema dinding
bronkus, hipersekresi mukus, kontriksi dan hipertrofi otot polos bronkus → obstruksi
saluran napas → sulit bernapas → oksigen dalam tubuh berkurang → saturasi
menurun.
b. Pemeriksaan Laboratorium
63
• Monosit: 4-8
4. LED 20 mm/jam 0-20 mm/jam Normal
c. Tes Spirometri
Secara lengkap, uji faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi, difusi gas,
perfusi darah paru dan transpor gas O2 dan CO2 dalam peredaran darah. Untuk keperluan
praktis dan uji skrining, biasanya penilaian faal paru seseorang cukup dengan melakukan
uji fungsi ventilasi paru. Apakah fungsi ventilasi nilainya baik, dapat mewakili
keseluruhan fungsi paru dan biasanya fungsi-fungsi paru lainnya juga baik. Penilaian
fungsi ventilasi berkaitan erat dengan penilaian mekanika pernapasan. Untuk menilai
64
fungsi ventilasi digunakan alat spirometer untuk mencatat grafik pernapasan berdasarkan
jumlah dan kecepatan udara yang keluar atau masuk ke dalam spirometer.
Tes spirometri adalah suatu pemeriksaan yang menilai fungsi terintegrasi mekanik
paru, dinding dada, dan otot-otot pernapasan dengan cara mengukur jumlah volume
udara yang dihembuskan dari kapasitas paru total (TLC) ke volume residu. Spirometri
merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur sebagian besar volume dan
kapasitas paru. Spirometer merekam secara grafis atau digital, volume ekspirasi paksa
(forced expiratory volume in 1 second/FEV1) dan kapasitas vital paksa (forced vital
capacity/FVC). Pemeriksaan dengan spirometer ini penting untuk pengkajian fungsi
ventilasi paru secara mendalam. Jenis gangguan fungsi paru dapat digolongkan menjadi
2 yaitu:
a. Gangguan fungsi obstruktif (hambatan aliran udara): bila nilai rasio FEV1/FVC <
70%
b. Gangguan fungsi restriktif (hambatan pengembangan paru): bila nilai kapasitas vital
(vital capacity/VC) <80% dibanding dengan nilai standar.
d. Diagnostik
- Evaluasi keluhan dan gejala (deformitas rongga dada, sianosis, penurunan suara
napas, perlambatan udara ekspirasi, overinflasi, ronkhi yang tidak dapat
dijelaskan)
- Evaluasi hasil laboratorium dan pemeriksaan radiologi yang abnormal (foto
toraks abnormal, hiperkapnia, hipoksemia, polisitemia)
- Menilai pengaruh penyakit sistemik terhadap fungsi paru
- Deteksi dini seseorang yang memiliki risiko menderita penyakit paru (perokok,
usia >40 tahun, pekerja yang terpajan substansi tertentu)
- Pemeriksaan rutin (risiko pra-operasi, menilai prognosis, menilai status
kesehatan)
e. Monitoring
- Menilai efek terapi (terapi bronkodilator, steroid)
65
- Menggambarkan perjalanan penyakit (penyakit paru, interstisial lung
disease/ILD), gagal jantung kronik, penyakit neuromuskuler, sindrom Guillain-
Barre)
- Menilai efek samping obat terhadap fungsi paru
f. Evaluasi kecacatan
- Mengetahui kecacatan atau ketidakmampuan (misal untuk kepentingan
rehabilitasi, asuransi, alasan hukum dan militer)
g. Kesehatan masyarakat
- Survei epidemiologis (skrining penyakit obstruktif dan restriktif), menetapkan
standar nilai normal dan penelitian klinis.
1. Persiapan Tindakan
- Alat spirometer yang telah dikalibrasi untuk volume dan arus minimal 1 kali
dalam seminggu.
- Mouthpiece sekali pakai.
b. Persiapan Pasien
66
- Tidak boleh berpakaian terlalu ketat
- Penggunaan bronkodilator kerja singkat terakhir minimal 8 jam sebelum
pemeriksaan dan 24 jam untuk bronklodilator kerja panjang.
- Memasukkan data ke dalam alat spirometer, data sebagai berikut: Identitas diri
(nama), jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, dan suhu ruangan.
2. Prosedur Tindakan
67
• Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada
kebocoran
• Instruksikan pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara
dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mouthpiece
• Manuver dilakukan minimal 3 kali
Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity, FVC) dan Volume ekspirasi
paksa detik pertama (Forced Expiratory Volume in One Second, FEV1)
68
Hasil spirometri normal menunjukkan FEV1 >80% dan FVC >80%.
Gangguan obstruktif pada paru, dimana terjadi penyempitan saluran napas dan
gangguan aliran udara di dalamnya, akan mempengaruhi kerja pernapasan dalam
mengatasi resistensi nonelastik dan akan bermanifestasi pada penurunan volume
dinamik. Kelainan ini berupa penurunan rasio FEV1:FVC <70%. FEV1 akan selalu
berkurang pada OVD dan dapat dalam jumlah yang besar, sedangkan FVC dapat
tidak berkurang. Pada orang sehat dapat ditemukan penurunan rasio FEV1:FVC,
namun nilai FEV1 dan FVC tetap normal. Ketika sudah ditetapkan diagnosis OVD,
maka selanjutnya dinilai: beratnya obstruksi, kemungkinan reversibilitas dari
obstruksi, menentukan adanya hiperinflasi, dan air trapping.
69
c. Restrictive Ventilatory Defects (RVD)
Dari hasil penilaian pemeriksaan spirometri, penilaian fungsi faal paru dapat dilihat
dalam tabel berikut:
70
Interpretasi Hasil Tes Spirometri pada Kasus
1. Pemeriksaan spirometri tanggal 15 November 2020
Interpretasi:
- VEP1 : 67% → < 80% (Menurun)
- KVP : 95% → > 80% (Normal)
- VEP1:KVP : 60% → < 70% (Menurun)
- Derajat:
VEP1 pasien/FEV1 prediksi x 100%
= 1,68/2,505 x 100%
= 67,06% → derajat sedang
Kesimpulan → Gangguan obstruktif pada paru derajat sedang
2. Pemeriksaan spirometri tanggal 20 Desember 2020
Interpretasi:
- VEP1 : 88% → > 80% (Normal)
71
- KVP : 96%→ > 80% (Normal)
- VEP1:KVP : 82% → > 70% (Normal)
Kesimpulan → Normal
Mekanisme Abnormal Hasil Tes Spirometri pada Kasus
72
VII. KERANGKA KONSEP
Riwayat keluarga:
- Stress
Nn. Yati, 30 tahun, terpapar alergen
- Dermatitis atopik berupa debu - Kelelahan
- Rhinitis alergika
Pelepasan sitokin
Tatalaksana: ABC
Asma Eksaserbasi
1. Aminophilin
2. Beta 2 agonist
3. Corticosteroid
Asma terkontrol
VEP1↑
VEP1/FVC↑
73
VIII. KESIMPULAN
Nn. Yati, 30 tahun, mengalami serangan asma akut derajat berat dengan faktor pencetus
berupa alergen yaitu debu disertai dengan riwayat alergi pada keluarga.
74
DAFTAR PUSTAKA
Bickley, Lynn S. 2013. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking 11th edition.
Chabra R, Gupta M. Allergic And Environmental Induced Asthma. [Updated 2021 Aug 11].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526018
COPD Foundation. 2020. Diagnostic Decisions: What Is Spirometry and Why Is It Important?
Dharmage, S. C., Perret, J. L., & Custovic, A. (2019). Epidemiology of Asthma in Children
and Adults. Frontiers in pediatrics, 7, 246. https://doi.org/10.3389/fped.2019.00246
Djaharuddin, Irawaty, dkk. 2017. Keterampilan Klinis: Uji Faal Paru (Tes Spirometri).
Global Initiative For Asthma. 2021. Pocket Guideline for Asthma Management and Prevention.
Lizzo JM, Cortes S. Pediatric Asthma. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551631/
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Quirt, J., Hildebrand, K. J., Mazza, J., Noya, F., & Kim, H. (2018). Asthma. Allergy, asthma,
and clinical immunology : official journal of the Canadian Society of Allergy and
Clinical Immunology, 14(Suppl 2), 50. https://doi.org/10.1186/s13223-018-0279-0
Uyainah, Anna, dkk. 2014. Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 1, March
- May 2014.
75