Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C BLOK 14 2019

DISUSUN OLEH : KELOMPOK A4


Nurul Hidayati 04011181722018
Anabella Pricillia 04011181722020
M. Nur Richard S. 04011181722040
Deva Wulandari 04011181722042
Sarah Mareta Azzahra 04011181722054
Nurul Shafira 04011181722056
Fadiya Nur Fadhila 04011181722152
R.A Mitha Aulia 04011281722078
Dwi Tantri Marylin 04011281722082
Dary Dzakwan Bara 04011281722092
Amira Azra Arisa P. 04011281722112
Faiza Al Khalifa C. 04011281722118

PRORGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2017/2018
Lampiran Struktur Kelompok

Tutor : dr. Fifi Sofiah, SpA(K)


Moderator : Deva Wulandari
Sekretaris 1 : Nurul Shafira
Sekretaris 2 : R. A. Mitha Aulia
Presentan : 1. M. Richard Syaimura
2. Anabella Pricillia
Pelaksanaan : 8 April 2019 dan 10 April 2019
13.00 – 15.30 WIB

Peraturan selama tutorial :


- Angkat tangan bila ingin berpendapat dan jika diberi kesempatan
- Hanya menggunakan gadget untuk kepentingan tutorial
- Dilarang memotong pembicaraan orang lain
- Selama tutorial dilarang makan tapi diperbolehkan minum
- Diperbolehkan ke toilet seizin tutor tapi diperbolehkan langsung keluar apabila tutor
sedang tidak ada di ruangan
- Semua anggota harus berpendapat

i
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat,
hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario C Blok
14.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, penulis sangat mengharapkan
masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan
laporan ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis temui dalam penulisan laporan ini, tetapi
penulis menyeselesaikannya dengan cukup baik. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Fifi Sofiah, SpA(K)
2. Seluruh mahasiswa kelas Alpha 2017 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Palembang,10 April 2019


Penulis,

Kelompok A4 Alpha 2017

ii
Daftar Isi

Lampiran Struktur Kelompok.......................................................................................................... i


Kata Pengantar.................................................................................................................................ii
Daftar Isi ......................................................................................................................................... iii
Skenario C Blok 14 tahun 2019 .........................................................................................................1
I. Klarifikasi Istilah ....................................................................................................................2
II. Identifikasi Masalah ................................................................................................................3
III. Analisis Masalah .....................................................................................................................4
IV. Hipotesis ................................................................................................................................ 17
V. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ........................................................................................... 17
VII. Kerangka Konsep.................................................................................................................. 52
VIII. Kesimpulan ........................................................................................................................... 53
Daftar Pustaka................................................................................................................................ 54

iii
Skenario C Blok 14 tahun 2019
Agus, anak laki-laki, usia 2 tahun, dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan batuk tidak berdahak
disertai pilek, disertai demam sejak dua hari yang lalu, dan pada hari ini keluhannya bertambah
berat disertai dengan sesak napas yang tidak disertai mengi.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Tampak sakit berat, kesadaran: Kompos mentis
RR: 60x/menit regular, Nadi: 110x/menit regular, Suhu: 39°C
Panjang badan: 85 cm, Berat badan: 12 kg, Saturasi oksigen 90%

Keadaan spesifik:
Kepala: terdapat napas cuping hidung, tidak terdapat head bobbing
Thorax: paru: Inspeksi: simetris, retraksi intercostal, subcostal
Palpasi: stem fremitus kiri=kanan
Perkusi: redup pada kedua lapangan paru
Auskultasi: peningkatan suara napas vesikuler, ronki basah halus nyaring, tidak terdengar
wheezing
Pemeriksaan lain dalam batas normal
Informasi tambahan: tidak ada riwayat atopi dalam keluarga, anak tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI eksklusif.

Pemeriksaan Laboratorium
Hb: 12,1 gr/dl, Ht: 36 vol %, Leukosit: 25.000/mm3, LED: 25 mm/jam, trombosit: 280.000/mm3,
Hitung jenis: 0/2/1/80/14/3, CRP: 24
Pemeriksaan Radiologi
Thoraks AP: infiltrat di parahilar kedua paru

1
I. Klarifikasi Istilah
No. Istilah Pengertian
Biasa disebut juga dengan batuk kering; adalah batuk yang
Batuk tidak
1. tidak dimaksudkan untuk membersihkan saluran napas,
berdahak
biasanya karena rangsangan dari luar (Merriam Webster).
2. Pilek Sakit dengan banyak mengeluarkan ingus (KBBI).
Kesulitan bernapas yang diikuti dengan suara seperti siulan
3. Mengi
(Merriam Webster).
4. Kompos mentis Sadar sepenuhnya (Dorland).
Napas cuping Tanda yang sensitive akan adanya distress pernapasan dan
5.
hidung dapat terjadi apabila inspirasi memendek(NCBI).
Gerakan ke atas dan ke bwah secara cepat yang terjadi pada
6. Head bobbing
bayi dengan respiratori distress (Merriam Webster).
Terjadi ketika antar otot-otot tulamg rusuk tertarik kedalam.
Retraksi
7. Gerakan biasanya terlihat ketika seseorang memiliki masalah
intercostal
pernapasan (Milton Medical Center).
Suatu sensasi yang dirasakan oleh tangan yang diletakkan
8. Stem fremitus pada bagian tubuh (dada) yang bergetar saat berbicara
(Merriam Webster).
Suara napas Memiliki frekuensi bunyi yang rendah, seperti bunyi napas
9.
vesikuler normal pada paru selama ventilasi (Dorland).
Ronki basah Suara yang terdengar kontinyu (Respirologi Darmanto).
10.
halus
Predisposisi genetic untuk membentuk reaksi
11. Atopi hipersensitivitas cepat terhadap antigen lingkungan umum
(alergi atopic) (Dorland).
Terletak atau terjadi disekitar hilus terutama paru-paru
12. Parahilar
(Oxford Dictionary).

2
II. Identifikasi Masalah
No. Masalah Prioritas
1. Agus, anak laki-laki, usia 2 tahun, dibawa ibunya ke dokter VVV
dengan keluhan batuk tidak berdahak disertai pilek, disertai
demam sejak dua hari yang lalu, dan pada hari ini keluhannya
bertambah berat disertai dengan sesak napas yang tidak disertai
mengi.
2. Pemeriksaan Fisik: VV
Keadaan Umum: Tampak sakit berat, kesadaran: Kompos mentis
RR: 60x/menit regular, Nadi: 110x/menit regular, Suhu: 39°C
Panjang badan: 85cm, Berat badan: 12 kg, Saturasi oksigen 90%
3 Keadaan spesifik: VV
Kepala: terdapat napas cuping hidung, tidak terdapat head
bobbing
Thorax: paru: Inspeksi: simetris, retraksi intercostal, subcostal
Palpasi: stem fremitus kiri=kanan
Perkusi: redup pada kedua lapangan paru
Auskultasi: peningkatan suara napas vesikuler, ronki basah halus
nyaring, tidak terdengar wheezing
4. Informasi tambahan: tidak ada riwayat atopi dalam keluarga, V
anak tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI eksklusif
5. Pemeriksaan Laboratorium VV
3
Hb: 12,1 gr/dl, Ht: 36 vol %, Leukosit: 25.000/mm , LED: 25
mm/jam, trombosit: 280.000/mm3, Hitung jenis: 0/2/1/80/14/3,
CRP: 24
6. Pemeriksaan Radiologi VV
Thoraks AP: infiltrat di parahilar kedua paru

3
III. Analisis Masalah
1. Agus, laki-laki, 2 tahun, dengan keluhan batuk tidak berdahak disertai pilek, disertai
demam sejak dua hari yang lalu, dan pada hari ini keluhannya bertambah berat disertai
dengan sesak napas yang tidak disertai mengi.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pada kasus?
Pneumonia dapat terjadi pada semua umur, namun Pneumonia merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun (balita)
karena usia tersebut masuk ke dalam faktor risiko dimana lebih rentan terinfeksi
kuman, dan perkembangan imun yang belum sempurna . Jenis kelamin tidak terlalu
berpengaruh terhadap penyakit yang diderita agus.

b. Bagaimana mekanisme batuk pada kasus?


Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk melindungi saluran napas
bawah terhadap benda asing/iritan yang masuk dan menjaga agar tetap steril. Benda
asing/ iritan pada saluran nafas bawah  impuls aferen dari nervus vagus ke otak
 inspirasi udara cepat dan dalam  epiglottis dan pita suara menutup untuk
menjerat udara dalam paru  otot abdomen berkontraksi mendorong diafragma
serta otot pernafasan juga berkontraksi  pita suara dan epiglottis membuka tiba-
tiba  udara bertekanan tinggi keluar dari paru-paru dengan cepat.

c. Bagaimana mekanisme demam pada kasus?


Infeksi bakteri  infeksi pada alveoli  aktivasi makrofag mengeluarkan pirogen
endogen  IL-1, IL-6, TNF, IFN-α, CNTF dilepas di sirkulasi darah  produksi
PGE2 di hipotalamus  aktivasi cyclic AMP  menyebabkan peningkatan set
point di hipotalamus  suhu tubuh meningkat.

d. Apa penyebab sesak napas pada kasus?


Kerusakan pada parenkim paru mempengaruhi proses pertukaran gas, terganggunya
proses pertukaran O2 dengan CO2 mengakibatkan napas menjadi sesak.

e. Mengapa keluhannya bertambah berat sejak 2 hari yang lalu?

4
Karena usia anak pada kasus ini, sistem imun masih dalam tahap perkembangan
dan ia tidak mendapat imunisasi serta tidak mendapat ASI ekslusif. Sehingga
mempermudah anak terinfeksi. Pada kasus ini anak belum mendapat tatalaksana
selama 2 hari.

f. Apa saja diagnosis banding dari sesak napas?


Tabel diagnosis banding anak umur 2 bulan – 5 tahun yang datang dengan batuk
dan atau kesulitan bernapas.
Diagnosis Gejala yang ditemukan
Pneumonia  Demam
 Batuk dengan napas cepat
 Crackles (ronki) pada auskultasi
 Pernapasan cuping hidung
 Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
 Merintih (grunting)
 Sianosis
 Kepala terangguk-angguk
Bronkiolitis  Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
 Hiperinflasi dinding dada
 Ekspirasi memanjang
 Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
 Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator
Asma  Riwayat wheezing berulang
Gagal Jantung  Peningkatan tekanan vena jugularis
 Denyut apeks bergeser ke kiri
 Irama derap
 Bising jantung
 Crackles /ronki di daerah basal paru
 Pembesaran hati
PJB  Sulit makan atau menyusu
 Sianosis

5
 Bising jantung
 Pembesaran hati
Efusi/Empiema  Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra
toraks
 Pekak pada perkusi

2. Pemeriksaan Fisis:
Keadaan Umum: Tampak sakit berat, kesadaran: Kompos mentis RR: 60x/menit
regular, Nadi: 110x/menit regular, Suhu: 39°C, Panjang badan: 85 cm, Berat badan: 12
kg, Saturasi oksigen 90%.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisis pada kasus?
Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisis (Agus, laki-laki, 2 tahun)
Agus, laki-laki, 2 tahun Nilai normal Interpretasi
Keadaan Umum: tampak sakit berat - Tidak normal
Kesadaran: compos mentis - Normal
RR: 60x/menit Usia 1-2th: ≥40x/min Takipneu
Nadi: 110x/menit, reguler Usia 1-3th: 90- Normal
150x/min
Suhu: 39 C 36,5-37,5 oC Febris
Panjang Badan: 85 cm 80-92,9 cm Normal
Berat Badan: 12 kg 9-14,8 kg Normal
Saturasi Oksigen: 90% ≥95% Hipoksia

b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisis pada kasus?


Keadaan umum: Tampak sakit berat
Pada bronkopneumonia terdapat eksudat pada saluran nafas yang menganggu
proses difusi udara. Hal ini akan menyebabkan proses oksigenasi menjadi inadekuat
sehingga pasien akan merasa sesak. Adanya infeksi sebagai penyebab akan
menyebabkan munculnya respon inflamasi dan timbulah demam. Hal ini akan
menyebabkan pasien akan tampak sakit berat.
RR: 60x per menit (Takipneu)

6
Infeksi Bakteri  imunitas spesifik (IgA) dan non spesifik (refleks batuk, sekret
mukosa, dan pergerakan silia) gagal mengeluarkan bakteri dari tubuh karena bakteri
memiliki faktor virulensi yang tinggi  bakteri masuk ke alveoli  bertahan dan
melakukan multiplikasi  peradangan pada bronkus/bronkiolus  terjadi eksudat
alveoli  alveoli penuh cairan  kompensasi  peningkatan RR.
Suhu: 39 oC (Febris)
Infeksi bakteri  infeksi pada alveoli  aktivasi makrofag mengeluarkan pirogen
endogen  IL-1, IL-6, TNF, IFN-α, CNTF dilepas di sirkulasi darah  produksi
PGE2 di hipotalamus  aktivasi cyclic AMP  menyebabkan peningkatan set
point di hipotalamus  suhu tubuh meningkat.
Saturasi Oksigen: 90% (penurunan saturasi oksigen)
Infeksi bakteri  reaksi inflamasi konsolidasi jaringan paru penurunan saturasi
oksigen.

c. Bagaimana laju pertumbuhan anak yang normal pada kasus?


Untuk anak 2 tahun, menggunakan grafik IMT WHO 2006 dengan kriteria
overweight Z score > + 2, obesitas > +3. Bila pada hasil pengukuran didapatkan,
terdapat potensi gizi lebih (>+1 SD ) atau BB/TB>110%, maka grafik IMT sesuai
usia dan jenis kelamin digunkan untuk menentukan adanya obesitas.
Tabel Penentuan status gizi menurut kriteria Waterlow, WHO 2006, dan CDC
2000.
BB/TB IMT CDC
Status gizi BB/TB WHO 2006
(% median) 2000
Obesitas >120 > +3 > P95
P
Overweight >110 > +2 hingga +3 SD 85 – p95
Normal > 90 +2 SD hingga -2 SD
Gizi kurang 70-90 < -2 SD hingga -3 SD
Gizi buruk < 70 < - 3 SD
Status gizi lebih (overweight)/obesitas ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh
(IMT).

7
8
3. Keadaan spesifik:
Kepala: terdapat napas cuping hidung, tidak terdapat head bobbing
Thorax: paru:
Inspeksi: simetris, retraksi intercostal, subcostal
Palpasi: stem fremitus kiri=kanan
Perkusi: redup pada kedua lapangan paru
Auskultasi: peningkatan suara napas vesikuler, ronki basah halus nyaring, tidak
terdengar wheezing
a. Bagaimana interpretasi dari keadaan spesifik sesuai kasus?
Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Kepala (Agus, laki-laki, 2 tahun)
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
Terdapat nafas cuping hidung (-) Tidak Normal
Tidak terdapat head bobbing (-) Normal

Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Thorax: Paru (Agus, laki-laki, 2 tahun)


Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
Inspeksi Simetris, Simetris, Retraksi menandakan
Retraksi intercostal, tidak ada penggunaan otot-otot bantu
subcostal retraksi pernafasan tambahan.
Palpasi: kanan = kiri kanan = kiri Adanya peningkatan
Stem Tidak getaran pada dinding dada
fremitus meningkat kiri dan kanan
Perkusi Redup pada basal Sonor Ada infeksi yg
kedua lapangan paru menyebabkan penumpukan
infiltrat/ eksudat
Auskultasi:
Suara paru Suara vesikuler Tidak Adanya kerusakan bronkus,
meningkat meningkat bronkiolus, alveolus yang
cukup luas.
Ronkhi (+), ronkhi basah (-) Adanya aliran udara yang
halus nyaring melewati cairan  eksudat

9
/infiltrat pada bronkiolus
Wheezing (-) (-) Normal

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari keadaan spesifik sesuai kasus?


Terdapat nafas cuping hidung
Ketika pernafasan sangat kuat, gerakan dada bertambah, otot leher dan bahu
membantu menarik iga-iga dan sternum ke atas. Otot sebelah belakang dan
abdomen juga dibawa bergerak dan alas nasi (cuping atau sayap hidung) dapat
kembang kempis. (retraksi otot epigastrik, intercostal, dan suprasternal akibat
tekanan negative intrapleura). Kompensasi dari tubuh untuk membantu proses
pernafasan; peningkatan usaha respirasi keras (khas pada bronkopneumonia anak).
Inspeksi paru: retraksi intercostal, subcostal
Dinding dada merupakan tarikan yang dilakukan oleh otot-otot pembentuk dinding
dada untuk membantu kesulitan ventilasi. Pada kasus ini, retraksi terjadi pada otot-
otot pembentuk spatium intercostalis yaitu musculi intercostales internus, eksternus,
dan intimii; otot-otot subcosta yaitu diafragma; dan otot-otot aksesori pernapasan
paksa yang berada di sekitar suprasternal seperti otot-otot dalam inspirasi paksa
yaitu m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. Scalenus dan otot-otot dalam
ekspirasi paksa yaitu m. quadratus lumborum, m. rectus abdominis, dan lain-lain.
Palpasi paru: stem fremitus kiri = kanan
Getaran pada daerah toraks pada saat anak menangis atau berbicara yang sama pada
kedua sisi torak. Apabila suara meninggi berarti terjadi konsolidasi seperti pada
pneumonia, namun apabila menurun kemungkinan terjadi obstruksi, atelektasis,
pleuritis, efusi pleura, dan tumor pada paru.
Perkusi paru: redup pada basal kedua lapangan paru
Redup dapat terjadi karena adanya cairan berlebih di dalam paru. Misalnya dalam
keadaan terjadinya inflamasi di saluran napas bawah sehingga terjadi berbagai
tanda radang (ada peningkatan permeabilitas vaskular) dan overproduksi mukus
oleh sel goblet. Keadaan inilah yang menimbulkan bunyi redup.
Auskultasi paru: peningkatan suara nafas vesikuler

10
Infeksi bakteri → makrofag menangkap bakteri → inflamasi → konsolidasi (RBC,
fibrin, dan leukosit PMN mengisi alveoli) → peningkatan suara nafas vesikuler.
Auskultasi paru: ronki basah halus nyaring
Ronkhi basah halus terjadi bila cairan berada di duktus alveolus, bronkiolus, dan
bronkus halus. Ronkhi basah sedang terjadi bila cairan berasal dari bronkus kecil
dan sedang.

c. Apa saja jenis-jenis ronkhi?


Ronki basah kasar seperti suara gelembung udara besar yang pecah, terdengar
pada saluran napas besar bila terisi banyak secret. Ronki basah sedang seperti suara
gelembung kecil yang pecah, terdengar bila adanya secret pada saluaran napas kecil
dan sedang, biasanya pada bronkiektasis dan bronkopneumonia. Ronki basah halus
tidak mempunyai sifat gelembung lagi, terdengar seperti gesekan rambut, biasanya
pada pneumonia dini.
Ronki kering lebih mudah didengar pada fase ekspirasi, karena saluran napasnya
menyempit. Ronki kering bernada tinggi disebut sibilan, terdengar
mencicit/squacking, ronki kering akibat ada sumbatan saluran napas kecil disebut
wheeze. Ronki kering bernada rendah akibat sumbatan sebagaian saluran napas
besar disebut sonourous, terdengar seperti orang mengerang/ grouning.

d. Apa saja diagnosis banding berdasarkan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan


keadaan spesifik?
Bronkopneumonia Bronkiolitis akut Bronkitis
(akut/kronik)
Onset Akut (<2 minggu) Akut (<2 minggu) Akut (<2 minggu)
atau Kronik
(>2minggu)
Batuk + + +
Sesak Nafas + + +
Takipnea + + +
Retraksi Dada + + -

11
Demam + -/+ +
(Demam Tinggi) (Demam Ringan) (Demam Ringan)
Nafas cuping Mengi/normal Mengi +
hidung

Perkusi Lapangan Redup Hipersonor Hipersonor


Paru

Suara Nafas Vesikular ↑ Vesikular ↓ Vesikular ↓


Normal

Suara Nafas Ronki basah halus Tidak ada ronki Ronki basah
Tambahan kering
Tidak ada Wheezing Wheezing Wheezing

e. Apa makna klinis tidak terdapat head bobbing?


Head bobbing terjadi akibat adanya kontraksi M. Sternocleidomastoideus dan
pergerakan fossa supraclavicular selama inspirasi yang menandakan adanya
sumbatan jalan napas. Pada kasus ini, tidak terdapat head bobbing yang berarti
tidak terjadi sumbatan jalan napas. (Sakina, 2016)

f. Apa makna klinis tidak terdengar wheezing?


Wheezing cenderung menjadii lebih keras pada ekspirasi yang disebabkan oleh
adanya penyempitan jalan napas bila tekanan paru lebih tinggi. Jika terjadi
wheezing inspirasi, menunjukkan penyempitan saluran napas yang berat. Pada
kasus ini, tidak terdapat wheezing yang berarti tidak terjadi sumbatan/penyempitan
jalan napas.

g. Apa saja pemeriksaan lain yang diperlukan pada kasus?


Pemeriksaan lain yang diperlukan yaitu: Kultur sputum/bilasan cairan lambung,
kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus serta
deteksi antigen bakteri.

12
4. Informasi tambahan: tidak ada riwayat atopi dalam keluarga, anak tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI eksklusif.
a. Bagaimana dampak anak tidak mendapat imunisasi?
Jika anak tidak diberikan imunisasi dasar lengkap, maka tubuhnya tidak memiliki
kekebalan yang spesifik terhadap suatu penyakit sehingga akan lebih mudah
terserang suatu penyakit. Selain itu, anak tersebut juga akan menyebarkan kuman-
kuman yang sudah terinfeksi dengannya ke keluarga terdekat sehingga akan
menimbulkan wabah penyakit.

b. Bagaimana hubungan anak tidak mendapat ASI eksklusif dengan laju pertumbuhan
anak pada kasus?
ASI dapat mengembangkan kecerdasan bayi. Perkembangan kecerdasan anak
sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan otak. Faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan otak anak adalah nutrisi yang diterima saat pertumbuhan otak,
terutama saat pertumbuhan otak cepat. Air susu ibu dengan komposisi tepat, dan
sangat sesuai kebutuhan bayi, juga mengandung nutrient-nutrien khusus yang
sangat diperlukan pertumbuhan optimal otak bayi.

c. Bagaimana dampak anak tidak mendapat ASI eksklusif dengan keluhan yang
dialami?
Air Susu Ibu (ASI) mengandung immunoglobulin dan zat yang lain memberikan
kekebalan anak terhadap infeksi bakteri dan virus sehingga apabila anak tidak
mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan maka akan menurunnya daya tahan tubuh
sehingga bertambahnya kerentanan terhadap suatu penyakit seperti yang sedang
dialami agus.

d. Bagaimana indikasi klinis tidak ada riwayat atopi dalam keluarga?


Tidak ada riwayat atopi dalam keluarga bermakna tidak ada kecenderungan
penyakit disebabkan oleh genetis atau keturunan.

5. Pemeriksaan Laboratorium

13
Hb: 12,1 gr/dl, Ht: 36 vol %, Leukosit: 25.000/mm3, LED: 25 mm/jam, trombosit:
280.000/mm3, Hitung jenis: 0/2/1/80/14/3, CRP: 24.
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium sesuai kasus?
Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Agus, laki-laki, 9 tahun)
Hasil Hasil Normal Interpretasi
Pemeriksaan
Hb 12,1 gr/dl 10,5-14 g/dl Normal
Ht 36 vol% 33-42 vol% Normal
Leukosit 25.000/mm3 6.000- Meningkat/
15.000/mm3 leukositosis
LED 25 mm/jam Untuk anak, LED Meningkat
normal: 16
mm/jam
Trombosit 280.000/mm3 150.000- Normal
3
350.000/mm
Hitung Jenis 0/2/1/80/14/3 0-1/0-3/5-11/15- Basofil : Normal
Leukosit 35/50-70/3-6 Eosinofil : Normal
(B/E/NB/NS/L/M Neutrofil Batang :
Menurun
Neutrofil Segmen :
Meningkat
Limfosit : Menurun
Monosit : Normal
CRP 24 <10mg/dl Meningkat

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan laboratorium sesuai kasus?


Leukositosis
Neutrofil yang bertugas melawan bakteri. Jika kadar neutrofil meningkat, maka bisa
jadi ada suatu infeksi bakteri di dalamnya. Adanya infeksi menyebabkan tubuh
memfagositosis bakteri tersebut sehingga terjadi leukositosis.
LED meningkat
Peningkatan LED menunjukkan adanya penyakit infeksi. Protein pada fase akut
yang bermuatan positif muatan negatif zeta potensial eritrosit menjadi netral gaya
tolak gaya tolak eritrosit cepat membentuk roulleaux (gumpalan eritrosit → karena
tarik-menarik diantara permukaan sel) dan proses pengendapan akan lebih cepat,
sehingga nilai LED melebihi normal.

14
Neutrofil batang: menurun, Neutrofil segmen: meningkat, Limfosit: menurun
Penurunan jumlah neutrophil batang dan peningkatan jumlah neutrophil
segmen menujukkan adanya shift to the left. Kondisi shift to the left artinya infeksi
terjadi secara akut.
Infeksi bakteri pada parenkim paru → respon imun → sel melepaskan berbagai
sitokin (tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa golongan IL-8)
→ merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit
spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan
monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi
lokal serta aktivasi sel inflamasi.
IL-8 → merangsang sumsum tulang → produksi lebih banyak neutrophil
dengan cara mempercepat proses pematangan di setiap fasenya → precursor
pembentukan leukosit diutamakan dalam pembentukan leukosit fase akut →
limfosit yang lebih berperan dalam fase kronis menurun, sedangkan neutrofil
akan dikirim ke pusat infeksi dalam upaya untuk menhilankan focus infeksi →
peningkatan umlah neutrofil dalam darah.
CRP meningkat
Pada proses inflamasi, sel melepaskan berbagai sitokin antara lain IL-6. IL-6
menginduksi sel hati untuk mensintesi protein fase akut seperti C-reactive protein
dan fibrinogen yang berfungsi sebagai opsonin (antibodi yang bersifat merangsang
leukosit untuk menyerang antigen atau kuman) non spesifik pada proses fagositosis
bakteri.
Nilai CRP tinggi menunjukan adanya peradangan akut didalam tubuh, tetapi tidak
dapat menunjukan dimana lokasi peradangan tersebut. Kadar CRP kadang lebih
rendah pada infeksi virus.

6. Pemeriksaan Radiologi
Thoraks AP: infiltrat di parahilar kedua paru

15
a. Bagaimana makna gambaran klinis dari pemeriksaan radiologi pada kasus?

Infiltrat di parahilar kedua paru memiliki makna dapat ditemui bercak/berkas


infiltrate (patchy) pada daerah dekat hilus paru, yang menandai adanya konsolidasi
pada parenkim paru, akibat terisi air, eksudat maupun transudate.
Mekanisme:
Infeksi mikroorganisme di alveolus  aktivasi makrofag  pelepasan sitokin-
stitokin  peningkatan permeabilitas vaskular & aktivasi dan kemotaksis netrofil
 reaksi inflamasi di alveolus  eksudat di aveolus  gambaran infiltrat pada
rontgen, juga menginvasi saluran nafas (bronkiolus)  respon inflamasi di
bronkiolus  eksudat di bronkiolus  gambaran infiltrat pada rontgen.

16
IV. Hipotesis
Agus, anak laki-laki, 2 tahun, mengalami pneumonia.

V. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan


What I Don’t How I
No. Learning Issue What I Know What I Have To Prove
Know Learn
1. Anatomi dan Anatomi saluran - Fisiologi saluran
Fisiologi pernapasan pernapasan bagian
Saluran bagian atas dan atas dan bawah
Pernapasan bawah
2. Tumbuh dan -Pertumbuhan dan - -Kurva pertumbuhan
Kembang perkembangan dan perkembangan
Anak anak yang normal anak usia 2 tahun
-Status gizi anak -Status gizi pada anak
dilihat dari IMT -Imunisasi pada anak
3. Pneumonia -Definisi -Patogenesis -Faktor Resiko
-Etiologi -Patofisiologi -Tata laksana
Textbo
-Epidemiologi -Diagnosis -Edukasi dan
ok,
-SKDI Banding Pencegahan
Artikel,
-Prognosis
Jurnal
4. Pemeriksaan -Cara - Mekanisme -Nilai normal
Fisis dan pemeriksaan abnormal dari pemeriksaan tanda-
keadaan tanda-tanda vital hasil pemeriksaan tanda vital pada anak
spesifik fisis
5. Pemeriksaan -Indikasi -Mekanisme -Makna gambaran
penunjang pemeriksaan abnormal dari klinis dari hasil
(laboratorium, pulse oksimetri hasil pemeriksaan pemeriksaan radiologi
radiologi, laboratorium dan -Nilai normal dari
pulse radiologi pemeriksaan
oksimetri) laboratorium pada
anak

17
VI. Sintesis Masalah
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi
1.1. Anatomi
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga
dada atau toraks.Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh
darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas
paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe
memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih
besar daripada paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fissura interlobaris. Paru
kiri dibagi menjadi dua lobus.

Gambar 1. Sistem Respirasi

Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil bernama segmen.
Pulmo sinistra terdiri dari 10 segmen, yaitu: 5 buah segmen pada lobus superior,
dan 5 buah segmen pada lobus inferior. Pulmo dextra mempunyai 10 segmen
yaitu: 5 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segmen pada lobus medialis, dan
3 buah segmen pada lobus inferior.

18
Gambar 2. Bronchopulmonary segments

Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang


bernama lobulus. Di antara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi oleh
jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf. Dalam tiap-tiap
lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Bronkiolus ini bercabang, dan cabang-cabang
ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2-0,3 mm.
Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung,
faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung
sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk rongga
hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan.
1.2. Fisiologi
Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang karbon dioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi
menjadi empat golongan utama: (1) ventilasi paru-paru, yang berarti masuk dan
keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru, (2) difusi oksigen dan

19
karbondioksida antara alveoli dan darah, (3) pengangkutan oksigen dan
karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh, dan (4)
pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.
a. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan
iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu sternokleidomastoideus
mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis
eksternus mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume
toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal.
Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir
menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi
b. Difusi
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara
darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2 ) dalam atmosfer pada permukaan
laut ±159 mmHg (21% dari 760mmHg). Ketika sampai di trakea PO2 ±149
mmHg (760-47×21%=149) karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan
napas. Tekanan uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Saat mencapai
alveoli PO2 ±103 mmHg karena trcampur dengan udara dalam ruang mati
anatomi pada saluran jalan napas. Difusi gas melalui membran alveolikapiler,
PO2 dalam darah vena campuran (PVO2 ) di kapiler paru 40mmHg.

20
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =103mmHg)
sehingga O2 mudah berdifusi ke dalam aliran darah.
Perbedaan tekanan antara darah dan PACO jauh lebih rendah yaitu 6
mmHg menyebabkan CO berdifusi kedalam alveolus, meskipun selisih
CO antara darah dan alveolus amat kecil namun memadai, karena dapat
berdifusi 20 kali lebih cepat dibandingkan O karena daya larutnya lebih
besar.Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di
kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total
waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal;
fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium
mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak
total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi
tidak diakui sebagai faktor utama.
c. Transpor O dan CO2 dalam darah
O dapat diangkut dari paru ke jaringan melalui 2 jalan: larut dalam plasma
(fisik) atau berikatan dengan Hb sebagai oksiHb (kimia). Sebagian besar secara
kimia. Satu gram Hb dapat mengikat 1.34 ml O . Konsentrasi Hb pria dewasa
±15 g/100ml sehingga 100 ml darah dapat mengangkut 20.1 ml O (15×1.34)
bila O jenuh adalah 100%. Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi
bronchial ditambahkan kedarah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah
teroksigenisasi, sehingga proses pengenceran ini hanya ±97% darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh, dan hanya 19.5 (0.97×20.1) volume persen
yang diangkut ke jaringan. Pada tingkat jaringan, O dilepas Hb dan berdifusi
dari plasma ke sel tubuh. Meskipun kebutuhan bervariasi, ±75% Hb masih
berikatan dengan O ketika kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran.
Traspor CO dari jaringan ke paru dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10%
CO larut dalam plasma karena CO mudah larut. Sekitar 20% berikatan dengan
gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam eritrosit, dan 70%
diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO₃¯). Keadaan patologisnya,

21
hiperventilasi menyebabkan alkalosis akibat eksresi CO berlebihan;
hipoventilasi menyebabkan asidosis akibat retensi CO oleh paru.
d. Pengaturan Ventilasi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi dalam
kapiler, sehingga ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus sesuai. Keadaan
tersebut dapat dicapai saat posisi tegak dan istirahat kecuali pada apeks paru.
Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran
darah dibasis paru lebih besar daripada di bagian apeks paru, disebabkan
pengaruh gravitasi. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi dan perfusi (V/Q) adalah
0.8 didapat dari ventilasi alveolar normal 4L/menit dibagi curah jantung normal
5 L/menit. Keadaan patologis menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi, unit ruang matimempunyai ventilasi normal tanpa perfusi; unit
pirau perfusi normal tanpa ventilasi; unit diam tidak terdapat ventilasi dan
perfusi.
1.2.1. Mekanisme Pernapasan
Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu:
a. Menarik napas (inspirasi)
b. Menghembus napas (ekspirasi)
Bernapas berarti melakukan inspirasi dan ekskresi secara bergantian,
teratur, berirama dan terus menerus. Bernapas merupakan gerak reflek yang
terjadi pada otot-otot pernapasan. Reflek bernapas ini diatur oleh pusat
pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla oblongata).
Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat atau mempercepat
napasnya, ini berarti bahwa reflex napas juga di bawah pengaruh korteks
serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan kadar karbon
dioksida dalam darah dan kekurangan oksigen dalam darah.
Inspirasi merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi akan
meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding dada
(tekanan intraktorakal). Inspirasi terjadi bila mulkulus diafragma telah dapat
rangsangan dari nervus prenikus lalu mengkerut datar. Muskulus interkostalis

22
yang letaknya miring, setelah dapat dapat rangsangan kemudian mengkerut
datar. Dengan demikian jarak antara stenum (tulang dada) dan vertebrata
semakin luas dan lebar. Rongga dada membesar maka pleura akan tertarik,
dengan demikian menarik paru-paru maka tekanan udara di dalamnya
berkurang dan masuklah udara dari luar. Ekspirasi merupakan proses pasif
yang tidak memerlukan konstraksi otot untuk menurunkan intratorakal.
Ekspirasi terjadi apabila pada suatu saat otot-otot akan kendur lagi (diafragma
akan menjadi cekung, muskulus interkoatalis miring lagi) dan dengan
demikian rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar.
1.2.2. Faal Paru
Volume paru manusia rata-rata adalah 6 liter udara dan hanya sedikit
saja yang digunakan dalam pernapasan biasa. Volume paru menunjukkan
adanya perbedaan fisik, kapasitas paru menunjukkan beberapa kombinasi
volume paru yang berbeda, sehubungan dengan aktifitas pernafasan
(menghirup dan mengeluarkan). Kapasitas total paru yang paling besar yang
dicatat oleh seorang peneliti Inggris, Peter Reed adalah 11,6 liter. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi volume paru, beberapa diantaranya
dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Faktor-faktor tersebut
adalah:
a. Jenis kelamin: laki-laki memiliki kapasitas paru yang lebih besar dari pada
perempuan
b. Tinggi badan: orang yang berbadan tinggi memiliki kapasitas paru yang
lebih besar dari pada orang yang pendek
c. Status merokok: tidak merokok memiliki kapasitas paru yang lebih besar
dari pada perokok
d. Pergerakan fisik: atlit lebih besar memiliki kapasitas paru dari pada tidak
e. Tinggi permukaan tanah: orang yang tinggi di dataran tinggi lebih besar
kapasitas parunya dari pada orang yang tinggal di daerah dataran rendah.
Seseorang yang lahir pada daerah yang memiliki ketinggian yang rendah,
memiliki kapasitas paru yang lebih kecil dari pada orang yang tinggal pada
daerah yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena atmosfir kurang padat pada

23
permukaan yang lebih tinggi dan karena itu pada volume yang sama akan
mengandung molekul gas yang lebih sedikit termasuk oksigen. Karena itu
paru akan lebih besar untuk menghasilkan lebih banyak udara.

B. Tumbuh Kembang Anak


Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan
(PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Penimbangan berat badan dan
pengukuran panjang/tinggi badan dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan
timbangan yang telah ditera secara berkala. Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai
acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk
anak lebih dari 5 tahun.
Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0-5 tahun karena mempunyai keunggulan
metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5
benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal.
Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000 dengan
pertimbangan grafik WHO 2007 tidak memiliki grafik BB/TB dan data dari WHO 2007
merupakan smoothing NCHS 1981.
Tabel 1. Grafik penilaian gizi lebih berdasarkan kelompok usia.
Usia Grafik yang digunakan
0 – 5 tahun WH0 2006
Untuk status gizi lebih dan obesitas lihat ketentuan di bawah ini.
>5-18 tahun CDC 2000
Penentuan status gizi menggunakan cut off Z score WHO 2006 untuk usia 0-5 tahun
dan persentase berat badan ideal sesuai kriteria Waterlow untuk anak di atas 5 tahun.
Tabel 2. Penentuan status gizi menurut kriteria Waterlow, WHO 2006, dan
CDC 2000.
BB/TB IMT CDC
Status gizi BB/TB WHO 2006
(% median) 2000
Obesitas >120 > +3 > P95
P
Overweight >110 > +2 hingga +3 SD 85 – p95

24
Normal > 90 +2 SD hingga -2 SD
Gizi kurang 70-90 < -2 SD hingga -3 SD
Gizi buruk < 70 < - 3 SD
Status gizi lebih (overweight)/obesitas ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT)

Bila pada hasil pengukuran didapatkan, terdapat potensi gizi lebih (>+1 SD ) atau
BB/TB>110%, maka grafik IMT sesuai usia dan jenis kelamin digunkan untuk
menentukan danya obesitas. Untuk anak <2 tahun, menggunakan grafik IMT WHO
2006 dengan kriteria overweight Z score > + 2, obesitas > +3, sedangkan untuk anak
usia 2-18 tahun menggunakan grafik IMT CDC 2000 (lihat algoritma). Ambang batas
yang digunakan untuk overweight ialah diatas P85 hingga P95 sedangkan untuk obesitas
ialah lebih dari P95 grafik CDC 2000.
Tabel 3. Dasar pemilihan penggunaan grafik IMT sesuai usia
Usia Grafik IMT Alasan
yang dipakai
0-2 tahun WHO 2006 Grafik IMT (CDC 2000) tidak tersedia untuk
klasifikasi usia di bawah 2 tahun
>2-18 tahun CDC 2000 Dengan menggunakan grafik IMT SCD 2000
persentil 95, deteksi dini obesitas dapat
ditegakkan
Pemeriksaan laboratorium dan analisis diet dilakukan sesuai indikasi klinis. Diagnosis
klinis merupakan salah satu pertimbangan dalam memformulasikan rencana pemberian
nutrisi.
Dalam keadaan tertentu dimana berat badan dan panjang/tinggi badan tidak dapat
dinilai secara akurat, misalnya terdapat organo- megali, edema anasarka, spondilitis atau
kelainan tulang, dan sindrom tertentu maka status gizi ditentukan dengan menggunakan
parameter lain misalnya lingkar lengan atas, knee height, arm span dan lain lain akan
dijelaskan dalam rekomendasi tersendiri.

25
C. Pneumonia
3.1. Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorus dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll) (Bradley, et.al., 2011).

3.2. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil
berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi
kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri gram negatif seperti E. coli,
Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar
dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.
Tabel 4. Causes of Community Acquired Pneumonia by Age Group
Usia Etiologi Yang Sering Etiologi Yang Jarang
Lahir-20 Hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 Minggu-3 Bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B

26
Virus Moraxella catharalis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory syncytial virus Virus sitomegalo
4 Bulan-5 Tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus adeno Virus
Virus influenza Virus varisela-zoster
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncytial virus
5 Tahun-Remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophilus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus adeno
Virus epstein-barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncytial virus
Virus varisela zoster

3.3.Epidemiologi
Imunisasi memberikan dampak yang sangat besar dalam menurunkan insidens
pneumonia yang disebabkan oleh pertusis, difteri, campak, Haemophilus influenzae
dan S. pneumoniae. Di tempat basil Calmette Guerin (BCG) untuk tuberkulosis
digunakan, ia juga memberikan pengaruh yang sama besarnya. Diperkirakan lebih dari
4 juta kematian setiap tahun di negara berkembang disebabkan infeksi respiratori akut.
Faktor risiko untuk infeksi respiratori bawah termasuk refluks gastroesofageal,
gangguan sistem neurologi (aspirasi), imunokompromais, abnormalitas anatomis sistem

27
respiratori, penghuni fasilitas perawatan untuk anak cacat, dan saat dalam perawatan di
rumah sakit, terutama di bagian perawatan intensif (ICU ataupun sedang menjalani
prosedur tindakan invasif (Marcdante dkk., 2013).

3.4. Klasifikasi Diagnosis


Klasifikasi WHO menggunakan kriteria klinis berikut untuk diagnosis pneumonia pada
daerah dengan keterbatasan sarana:
a. Bayi berusia <2 bulan
i. Pneumonia berat: napas cepat (≥60 kali/menit) atau retraksi yang
berat.
ii. Pneumonia sangat berat: tidak mau menyusui/minum, kejang,
letargis, demam/hipotermia, bradipnea, atau pernapasan ireguler.
b. Anak berusia 2 bulan-5 tahun
i. Pneumonia ringan: napas cepat (≥50 kali/menit pada usia 2 bulan
hingga 1 tahun, ≥40 kali/menit pada usia >1-5 tahun)
ii. Pneumonia berat: retraksi
iii. Penumonia sangat berat: tidak dapat makan/minum, kejang,
letargis, malanutrisi
Pada panduan persatuan dokter paru indonesia (2013), pneumonia diklasifikasikan
sebagai berikut:
Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) merupakan
pneumonia yang didapat di luar rumah sakit.
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi
secret oropharyngeal dan cairan lambung.
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting
untuk memudahkan penatalaksanaan.
Berdasarkan bakteri penyebab:
a. Pneumonia bakterialis

28
Pneumonia yang disebabkan oleh, Pneumonia Streptokokus; Pneumonia
Stafilokokus; Pneumonia Klebsiella; Pneumonia Pseudomonas;
Haemophilus Influenza.
b. Pneumonia Atipikal
Pneumonia atipikal beragam gejalanya, tergantung kepada agen penyebab,
Penyakit Legionnaires ; Pneumonia Mikoplasma; Pneumonia Virus;
Pneumonia Pneumosistis Carinii (PPC); Pneumonia Fungi; Pneumonia
Klamidia; Tuberkulosis.
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
Berdasarkan predileksi infeksi:
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan.
b. Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih
sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan
berdasarkan:
i. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak
tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan
diberi antibiotik.
ii. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan
masih sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan
diberi antibiotik.
iii. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan
yang cepat yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan;

29
>50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak
usia 1-5 tahun.
iv. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda
seperti di atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.
c. Pneumonia interstisial

3.5. Faktor Risiko


Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin
A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan
terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok) (Efni, dkk., 2016).
a. Usia. Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih rendah
dibanding orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok yang rawan
terhadap infeksi seperti influenza dan pneumonia. Anak-anak berusia 0-24 bulan
lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak berusia di atas 2
tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan
yang relative sempit.
b. Jenis kelamin. Anak laki-laki adalah factor resiko yang mempengaruhi kesakitan
pneumonia. Hal ini disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan
tubuh anak laki-laki dan perempuan.
c. Berat badan lahir. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR),
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna, beresiko terkena penyakit infeksi
terutama pneumonia sehingga resiko kematian menjadi lebih besar dibanding dengan
berat badan lahir normal.
d. Riwayat imunisasi campak. Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak
diharapkan terhindar dari penyakit campak karena pneumonia merupakan komplikasi
yang paling sering terjadi pada anak yang mengalami penyakit campak.

30
e. Riwayat imunisasi DPT. Imunisasi DPT dapat mencegah terjadi penyakit difteri,
pertusis, dan tetanus. Menurut UNICEF-WHO (2006) pemberian imunisasi dapat
mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi penyakit
pertusis ini.
f. ASI eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya
diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh,
air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk
jangka waktu setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi mulai
diperkenalkan dengan makanan padat. Sistem pertahanan tubuh balita akan berusaha
mempertahankan atau melawan benda asing yang masuk kedalam tubuh, sistem
pertahanan tubuh yang paling baik diperoleh dari ASI. Kenyataan tersebut dapat
diterima karena Air Susu Ibu (ASI) yang mengandung imonoglobulin dan zat yang
lain memberikan kekebalan bayi terhadap infeksi bakteri dan virus. Bayi yang diberi
ASI terbukti lebih kebal terhadap berbagai penyakit infeksi, seperti diare, pneumonia
(radang paru), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan infeksi telinga.
g. Malnutrisi. Malnutrisi adalah faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya
kasus pneumonia pada balita yang disebabkan oleh asupan yang kurang memadai.
Malnutrisi akan menghambat pembentukan antibodi yang spesifik dan juga akan
mengganggu pertahanan paru.
h. Polusi udara. Kegiatan merokok terutama dilakukan oleh kepala keluarga yaitu ayah
balita itu sendiri dan tidak ditemukan kegiatan merokok yang dilakukan oleh ibu,
sebagian besar kebiasaan merokok ayah memang sudah dilakukan sejak masa remaja
sampai saat ini. Selain ayah, terdapat anggota keluarga yang juga merokok yaitu
kakek, saudara ibu atau ayah. Asap rokok mengandung partikel seperti hidrokarbon
polisiklik, karbon monoksida, nikotin, nitrogen oksida dan akrolein yang dapat
menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan klirens mukosiliar serta
menekan aktifitas fagosit dan efek bakterisida sehingga mengganggu sistem
pertahanan paru.

3.6. Patogenesis

31
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan
mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa
filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan
lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit,
komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai
sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah
melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang
melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi
saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan
respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului
dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat
paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia bakteri
dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah, eksudasi cairan
intra- alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang dikenal dengan stadium
hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan compliance paru dan
kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg melewati paru yang terinfeksi
menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion missmatching)
yang kemudian menyebabkan terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen
menyebabkan peningkatan kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi
progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi
konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk
selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri
menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya
empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan
(Bennete, 2013).

32
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

33
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

3.7. Patofisiologi

Gambar 3. Patofisiologi Pneumonia

34
3.8. Manifestasi Klinis
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif
atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit
dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan
fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafasan,
takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan
bronkial, pleural friction rub.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat –
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut.
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang – kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

3.9. Diagnosis Banding


Tabel 5. Tabel diagnosis banding anak umur 2 bulan – 5 tahun yang datang dengan
batuk dan atau kesulitan bernapas.
Diagnosis Gejala yang ditemukan

35
Pneumonia  Demam
 Batuk dengan napas cepat
 Crackles (ronki) pada auskultasi
 Pernapasan cuping hidung
 Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
 Merintih (grunting)
 Sianosis
 Kepala terangguk-angguk

Bronkiolitis  Episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun


 Hiperinflasi dinding dada
 Ekspirasi memanjang
 Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
 Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator
Asma  Riwayat wheezing berulang
Gagal Jantung  Peningkatan tekanan vena jugularis
 Denyut apeks bergeser ke kiri
 Irama derap
 Bising jantung
 Crackles /ronki di daerah basal paru
 Pembesaran hati
Penyakit Jantung  Sulit makan atau menyusu
Bawaan  Sianosis
 Bising jantung
 Pembesaran hati
Efusi/Empiema  Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra
toraks
 Pekak pada perkusi
Tuberkulosis (TB)  Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
 Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada keadaan
imunosupresi ≥ 5 mm)

36
 Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
 Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
 Batuk kronis (≥ 3 minggu)
 Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung,
panggul, lutut, falang
Pertusis  Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop,
muntah,sianosis atau apnu
 Bisa tanpa demam
 Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
 Klinis baik di antara episode batuk
Benda Asing  Riwayat tiba-tiba tersedak
 Stridor atau distres pernapasan tiba-tiba
 Wheeze atau suara pernapasan menurun yang bersifat
fokal
Pneumotoraks  Awitan tiba-tiba
 Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
 Pergeseran mediastinum

37
3.10. Algoritma Penegakan Diagnosis

Menurut Bradley et al (2011) dalam guidelines yang dikeluarkan oleh IDSA,


diagnosis bronkopneumonia dapat ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut:
a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Pada kasus: neutrofil segmen meningkat, neutrofil batang menurun

38
Diagnosis pasti dilakukan dengan idientifikasi kuman penyebab pneumonia.
Identifikasi kuman penyebab dapat dilakukan melalui:
a. Kultur sputum/bilasan cairan lambung
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
c. Deteksi antigen bakteri
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara; aspirasi dari bahan-
bahan yang ada di nasofaring dan orofaring; perluasan langsung dari tempat
lain; dan penyebaran secara hematogen.

3.11. Tata Laksana


Kriteria rawat inap, yaitu:
1. Bayi
a. Saturasi oksigen ≤92%
b. Frekuensi napas >60 kali/menit
c. Distress pernafasan, apneu intermitten atau grunting
d. Tidak mau minum
e. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
2. Anak
a. Saturasi oksigen ≤92% dan sianosis
b. Frekuensi nafas >50 kali/menit
c. Distress pernafasan
d. Grunting
e. Terdapat tanda dehidrasi
f. Keluarga tidak dapat merawat di rumah
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen ≤92% pada saat bernafas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen>92%
a. Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena
dan dilakukan balance cairan ketat.

39
b. Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak
dengan pneumonia.
c. Antipiretik dan analgesic dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien
dan mengontrol batuk.
d. Bila ditemukan tanda obstruksi saluran napas bawah yang ditandai dengan
mengi dapat diberikan nebulisasi β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan
untuk memperbaiki mucocilliary clearance.
e. Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4
jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.
Pemberian Antibiotik
Rekomendasi UKK Respirologi Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
(IDAI, 2009)
Lini pertama: Ampisilin + gentamisin
Lini kedua: Golongan Sefalosporin
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.
Pneumonia Ringan
a. Anak di rawat jalan
b. Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk
pasien HIV diberikan selama 5 hari.
Pneumonia Berat
a. Anak dirawat di rumah sakit
b. Terapi Antibiotik
i. Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral
(15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
ii. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan

40
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam).
iii. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
iv. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
v. Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat
foto dada.
vi. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB
IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15mg/kgBB/hari –3 kali
pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau
dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.
c. Terapi Oksigen
i. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
ii. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia
oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap
harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi
tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
iii. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap
waktu.
iv. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit)
tidak ditemukan lagi.

41
Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter atau prong
tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta memastikan
semua sambungan baik.
Sumber oksigen utama adalah silinder. Penting untuk memastikan bahwa semua
alat diperiksa untuk kompatibilitas dan dipelihara dengan baik, serta staf diberitahu
tentang penggunaannya secara benar.

3.12. Komplikasi
CAP yang tidak ditangani akan mengakibatkan terjadi pembentukan abses,
empiema (penyebaran infeksi ke dalam rongga pleura), Pengorganisasian eksudat
menjadi jaringan paru fibrotik, Bakterimia dan sepsis dengan infeksi pada organ
tubuh yang lain (Mitchell, 2009)

3.13. Pencegahan
Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau mengurangi faktor
risiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan pendidikan
kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal
memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia, penggunaan
antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang tepat dan
segera bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian
ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan
polusi udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko. Penelitian
terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat mengurangi kejadian
pneumonia (Kartasasmita, 2010).
Usaha untuk mencegah pneumonia ada 2 yaitu:
Pencegahan Non spesifik, yaitu:
1. Meningkatkan derajat sosio-ekonomi
- Kemiskinan ↓
- Tingkat pendidikan ↑
- Kurang gizi ↓
- Derajat kesehatan ↑

42
- Morbiditas dan mortalitas ↓
2. Lingkungan yang bersih, bebas polusi
Pencegahan Spesifik:
1. Cegah BBLR
2. Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
3. Berikan imunisasi
Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah
vaksin pertussis (ada dalam DTP), Hib (Haemophilus influenzae type b),
Pneumococcus (PCV), campak dan influenza.
i. Vaksin Campak
Penyakit ini dapat dikatakan ringan karena dapat sembuh dengan
sendirinya, namun dapat dikatakan berat dengan berbagai komplikasi
seperti pneumonia yang bahkan dapat mengakibatkan kematian, terutama
pada anak kurang gizi dan anak dengan gangguan sistem imun.
Komplikasi pneumonia yang timbul pada anak yang sakit campak biasanya
berat. Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan
memberikan vaksinasi dapat menurunkan kematian akibat pneumonia.
ii. Vaksin Pertusis
Penyakit pertussis dikenal sebagai batuk rejan atau batuk seratus hari.
Penyakit ini masih sering ditemui. Penyakit ini disebabkan infeksi bakteria
Bordetella pertussis. Vaksinasi terhadap penyakit ini sudah lama masuk ke
dalam program imunisasi nasional di Indonesia, diberikan dalam sediaan
DTP, bersama difteri dan tetanus.
iii. Vaksin Hib
Pada negara berkembang, bakteri Haemophilus influenzae type b (Hib)
merupakan penyebab pneumonia dan radang otak (meningitis) yang utama.
Diduga Hib mengakibatkan penyakit berat pada 2 sampai 3 juta anak
setiap tahun. Vaksin Hib sudah tersedia sejak lebih dari 10 tahun, namun
penggunaannya masih terbatas dan belum merata. Pada beberapa negara,
vaksinasi Hib telah masuk program nasional imunisasi, tapi di Indonesia
belum. Di negara maju, 92% populasi anak sudah mendapatkan vaksinasi

43
Hib. Di negara berkembang, cakupan mencapai 42% sedangkan di negara
yang belum berkembang hanya 8% (2003). Hal ini dimungkinkan karena
harganya yang relatif mahal dan informasi yang kurang. WHO
menganjurkan agar Hib diberikan kepada semua anak di negara
berkembang.
iv. Vaksin Pneumococcus
Pneumokokus merupakan bakteri penyebab utama pneumonia pada anak
di negara berkembang. Vaksin pneumokokus sudah lama tersedia untuk
anak usia diatas 2 tahun dan dewasa. Saat ini vaksin pneumokokus untuk
bayi dan anak dibawah 3 tahun sudah tersedia, yang dikenal
sebagai pneumococcal conjugate vaccine (PCV). Vaksin PCV ini sudah
dimanfaatkan di banyak negara maju. Hasil penelitian di Amerika Serikat
setelah penggunaan vaksin secara rutin pada bayi, menunjukkan penurunan
bermakna kejadian pneumonia pada anak dan keluarganya terutama para
lansia. Saat ini yang beredar adalah vaksin PCV 7, artinya vaksin
mengandung 7 serotipe bakteri pneumokokus dan dalam waktu dekat akan
tersedia vaksin PCV 10. Hasil penelitian di Gambia (Afrika), dengan
pemberian imunisasi PCV 9 terjadi penurunan kasus pneumonia sebesar
37%, pengurangan penderita yang harus dirawat di rumah sakit sebesar
15%, dan pengurangan kematian pada anak sebesar 16%. Hal ini
membuktikan bahwa vaksin tersebut sangat efektif untuk menurunkan
kematian pada anak karena pneumonia.

3.14. Prognosis
Pada umumnya prognosis baik tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab
dan penggunaan antibiotik yang kuat serta adekuat (Soedarsono, 2010)

3.15. SKDI
Tingkat Kemampuan Pneumonia, bronkopneumonia: 4A
4A: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.

44
D. Pemeriksaan Fisis dan Keadaan Spesifik
Tabel 6. Tabel Interpretasi Hasil Pemeriksaan Fisis (Agus, laki-laki, 2 tahun)
Agus, laki-laki, 2 tahun Nilai normal Interpretasi
Keadaan Umum: tampak sakit berat - Tidak normal
Kesadaran: compos mentis - Normal
RR: 60x/menit Usia 1-2th: ≥40x/min Takipneu
Nadi: 110x/menit, reguler Usia 1-3th: 90-150x/min Normal
Suhu: 39 C 36,5-37,5 oC Febris
Panjang Badan: 85 cm 80-92,9 cm Normal
Berat Badan: 12 kg 9-14,8 kg Normal
Saturasi Oksigen: 90% ≥95% Hipoksia
Mekanisme abnormal:
Keadaan umum: Tampak sakit berat
Pada bronkopneumonia terdapat eksudat pada saluran nafas yang menganggu proses difusi
udara. Hal ini akan menyebabkan proses oksigenasi menjadi inadekuat sehingga pasien
akan merasa sesak. Adanya infeksi sebagai penyebab akan menyebabkan munculnya
respon inflamasi dan timbulah demam. Hal ini akan menyebabkan pasien akan tampak
sakit berat.
RR: 60x per menit (Takipneu)
Infeksi Bakteri  imunitas spesifik (IgA) dan non spesifik (refleks batuk, sekret mukosa,
dan pergerakan silia) gagal mengeluarkan bakteri dari tubuh karena bakteri memiliki faktor
virulensi yang tinggi  bakteri masuk ke alveoli  bertahan dan melakukan multiplikasi
 peradangan pada bronkus/bronkiolus  terjadi eksudat alveoli  alveoli penuh cairan
 kompensasi  peningkatan RR.
Suhu: 39 oC (Febris)
Infeksi bakteri  infeksi pada alveoli  aktivasi makrofag mengeluarkan pirogen
endogen  IL-1, IL-6, TNF, IFN-α, CNTF dilepas di sirkulasi darah  produksi PGE2 di
hipotalamus  aktivasi cyclic AMP  menyebabkan peningkatan set point di hipotalamus
 suhu tubuh meningkat.
Saturasi Oksigen: 90% (penurunan saturasi oksigen)

45
Infeksi bakteri  reaksi inflamasi konsolidasi jaringan paru penurunan saturasi
oksigen.
Tabel 7. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Kepala (Agus, laki-laki, 2 tahun)
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi
Terdapat nafas cuping hidung (-) Tidak Normal
Tidak terdapat head bobbing (-) Normal
Mekanisme abnormal:
Terdapat nafas cuping hidung
Ketika pernafasan sangat kuat, gerakan dada bertambah, otot leher dan bahu membantu
menarik iga-iga dan sternum ke atas. Otot sebelah belakang dan abdomen juga dibawa
bergerak dan alas nasi (cuping atau sayap hidung) dapat kembang kempis. (retraksi otot
epigastrik, intercostal, dan suprasternal akibat tekanan negative intrapleura). Kompensasi
dari tubuh untuk membantu proses pernafasan; peningkatan usaha respirasi keras (khas
pada bronkopneumonia anak)
Tabel 8. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Thorax: Paru (Agus, laki-laki, 2 tahun)
Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
Inspeksi Simetris, Simetris, Retraksi menandakan
Retraksi intercostal, tidak ada penggunaan otot-otot bantu
subcostal retraksi pernafasan tambahan.
Palpasi: kanan = kiri kanan = kiri Adanya peningkatan
Stem Tidak getaran pada dinding dada
fremitus meningkat kiri dan kanan
Perkusi Redup pada basal Sonor Ada infeksi yg
kedua lapangan paru menyebabkan penumpukan
infiltrat/ eksudat
Auskultasi:
Suara paru Suara vesikuler Tidak Adanya kerusakan bronkus,
meningkat meningkat bronkiolus, alveolus yang
cukup luas.
Ronkhi (+), ronkhi basah (-) Adanya aliran udara yang
halus nyaring melewati cairan  eksudat

46
/infiltrat pada bronkiolus
Wheezing (-) (-) Normal
Mekanisme abnormal:
Inspeksi paru: retraksi intercostal, subcostal
Dinding dada merupakan tarikan yang dilakukan oleh otot-otot pembentuk dinding dada
untuk membantu kesulitan ventilasi. Pada kasus ini, retraksi terjadi pada otot-otot
pembentuk spatium intercostalis yaitu musculi intercostales internus, eksternus, dan
intimii; otot-otot subcosta yaitu diafragma; dan otot-otot aksesori pernapasan paksa yang
berada di sekitar suprasternal seperti otot-otot dalam inspirasi paksa yaitu m.
sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. Scalenus dan otot-otot dalam ekspirasi paksa
yaitu m. quadratus lumborum, m. rectus abdominis, dan lain-lain.
Palpasi paru: stem fremitus kiri = kanan
Getaran pada daerah toraks pada saat anak menangis atau berbicara yang sama pada kedua
sisi torak. Apabila suara meninggi berarti terjadi konsolidasi seperti pada pneumonia,
namun apabila menurun kemungkinan terjadi obstruksi, atelektasis, pleuritis, efusi pleura,
dan tumor pada paru.
Perkusi paru: redup pada basal kedua lapangan paru
Redup dapat terjadi karena adanya cairan berlebih di dalam paru. Misalnya dalam keadaan
terjadinya inflamasi di saluran napas bawah sehingga terjadi berbagai tanda radang (ada
peningkatan permeabilitas vaskular) dan overproduksi mukus oleh sel goblet. Keadaan
inilah yang menimbulkan bunyi redup.
Auskultasi paru: peningkatan suara nafas vesikuler
Infeksi bakteri → makrofag menangkap bakteri → inflamasi → konsolidasi (RBC, fibrin,
dan leukosit PMN mengisi alveoli) → peningkatan suara nafas vesikuler.
Auskultasi paru: ronki basah halus nyaring
Ronkhi basah halus terjadi bila cairan berada di duktus alveolus, bronkiolus, dan bronkus
halus. Ronkhi basah sedang terjadi bila cairan berasal dari bronkus kecil dan sedang.

E. Pemeriksaan Penunjang
5.1. Darah Perifer Lengkap

47
Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan
PMN. Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat
(>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada
keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia
pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat
dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif
lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju
endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer
lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
5.2. C-Reactive Protein (CRP)
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel yang rusak.
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi bakteri superfisialis daripada
infeksi bakteria profunda. Dengan pengobatan abtibiotik, kadar CRP turun secara
meyakinkan pada hari pertama pengobatan. Meskipun demikian, secara umum CRP belum
terbukti secara konklusif dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri.
Tabel 9. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium (Agus, laki-laki, 9 tahun)
Hasil Pemeriksaan Hasil Normal Interpretasi
Hb 12,1 gr/dl 10,5-14 g/dl Normal
Ht 36 vol% 33-42 vol% Normal
Leukosit 25.000/mm3 6.000-15.000/mm3 Meningkat/
leukositosis
LED 25 mm/jam Untuk anak, LED Meningkat
normal: 16 mm/jam
Trombosit 280.000/mm3 150.000- Normal
3
350.000/mm

48
Hitung Jenis 0/2/1/80/14/3 0-1/0-3/5-11/15- Basofil : Normal
Leukosit 35/50-70/3-6 Eosinofil : Normal
(B/E/NB/NS/L/M Neutrofil Batang :
Menurun
Neutrofil Segmen :
Meningkat
Limfosit : Menurun
Monosit : Normal
CRP 24 <10mg/dl Meningkat
Mekanisme abnormal:
Leukositosis
Neutrofil yang bertugas melawan bakteri. Jika kadar neutrofil meningkat, maka bisa jadi
ada suatu infeksi bakteri di dalamnya. Adanya infeksi menyebabkan tubuh memfagositosis
bakteri tersebut sehingga terjadi leukositosis.
LED meningkat
Peningkatan LED menunjukkan adanya penyakit infeksi. Protein pada fase akut yang
bermuatan positif muatan negatif zeta potensial eritrosit menjadi netral gaya tolak gaya
tolak eritrosit cepat membentuk roulleaux (gumpalan eritrosit → karena tarik-menarik
diantara permukaan sel) dan proses pengendapan akan lebih cepat, sehingga nilai LED
melebihi normal.
Neutrofil batang: menurun, Neutrofil segmen: meningkat, Limfosit: menurun
Penurunan jumlah neutrophil batang dan peningkatan jumlah neutrophil segmen
menujukkan adanya shift to the left. Kondisi shift to the left artinya infeksi terjadi secara
akut.
Infeksi bakteri pada parenkim paru → respon imun → sel melepaskan berbagai sitokin
(tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa golongan IL-8) →
merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit spesifik oleh
antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan monosit pada endotel
vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel
inflamasi.
IL-8 → merangsang sumsum tulang → produksi lebih banyak neutrophil dengan
cara mempercepat proses pematangan di setiap fasenya → precursor pembentukan
leukosit diutamakan dalam pembentukan leukosit fase akut → limfosit yang lebih berperan

49
dalam fase kronis menurun, sedangkan neutrofil akan dikirim ke pusat infeksi dalam
upaya untuk menhilankan focus infeksi → peningkatan umlah neutrofil dalam darah.
CRP meningkat
Pada proses inflamasi, sel melepaskan berbagai sitokin antara lain IL-6. IL-6 menginduksi
sel hati untuk mensintesi protein fase akut seperti C-reactive protein dan fibrinogen yang
berfungsi sebagai opsonin (antibodi yang bersifat merangsang leukosit untuk menyerang
antigen atau kuman) non spesifik pada proses fagositosis bakteri.
Nilai CRP tinggi menunjukan adanya peradangan akut didalam tubuh, tetapi tidak dapat
menunjukan dimana lokasi peradangan tersebut. Kadar CRP kadang lebih rendah pada
infeksi virus.

5.3.Pemeriksaan Radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan.
a. Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan
infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi
b. Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang dirawat
inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan
c. Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps
lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap
atau memburuk, atau tidak respons terhadap antibiotic
d. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan
gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau
tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
b. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round
pneumonia.

50
c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru.

Kasus: Infiltrat di parahilar kedua paru


Mekanisme abnormal:
Infiltrat di parahilar kedua paru memiliki makna dapat ditemui bercak/berkas
infiltrate (patchy) pada daerah dekat hilus paru, yang menandai adanya konsolidasi pada
parenkim paru, akibat terisi air, eksudat maupun transudate.
Infeksi mikroorganisme di alveolus  aktivasi makrofag  pelepasan sitokin-
stitokin  peningkatan permeabilitas vaskular & aktivasi dan kemotaksis neutrofil 
reaksi inflamasi di alveolus  eksudat di alveolus  bercak-bercak konsolidasi di lobuli
yang berdekatan  gambaran infiltrat pada rontgen.
Gambaran infiltrat pada rontgen thoraks terjadi karena adanya eksudat pada
bronkus, bronkiolus, dan alveolus disekitarnya. Cairan (eksudat) lebih padat dari udara,
sehingga ketika dirontgen daerah paru yang terisi eksudat terlihat lebih radio opaque
daripada daerah disekitarnya yang hanya terisi udara.

51
VII. Kerangka Konsep

Agus, laki-laki, 2 tahun Tidak mendapat


imunisasi, tidak
mendapat ASI
Inhalasi m.o. menuju saluran napas ekslusif

Infeksi mukosa saluran napas

Menuju paru Membentuk koloni di mukosa epitel

Produksi sitokin, kemokin Gangguan motilitas Bakteri masuk ke


dan mediator inflamasi silier alveoli

Aktivasi makrofag Batuk Terjadi eksudat


alveoli

Reaksi inflamasi
Alveoli penuh cairan

Pirogen endogen
dilepas ke sirkulasi RR meningkat

Takipneu
Produksi IL-6, IL-1, TNF-α Konsolidasi jaringan
PGE2 menginduksi sel hepar paru
Napas cuping
hidung & retraksi
Aktivasi C- Sintesis protein: interkostal
AMP CRP ↑

↑ set point di Redup pada Deposisi fibrin Kapasitas vital ↑ suara


hipotalamus basal kedua & leukosit PMN & compliance napas
lapangan paru paru ↓ vesikuler
Demam Leukositosis
Hipoksia

Saturasi O2 ↓

52
VIII. Kesimpulan
Agus, 2 tahun, mengalami pneumonia akibat infeksi bakteri.

53
Daftar Pustaka

Efni, Y., Machmud, R. and Pertiwi, D., 2016. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia pada balita di Kelurahan Air Tawar Barat Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(2).

Guyton SC, Hall JE. Fisiologi Kedokteran (Textbook of MedicalPhysiology). 11th ed. Jakarta:
ECG; 2012:496-500.

Kartasasmita CB. Pneumonia Pembunuh Balita. Vol 3. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2010:22-26.

Marcdante, dkk., 2013. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Elsevier - Local.
Jakarta.

Mitchell RN. Paru. In: Mitchell RN, dkk. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins dan
Cotran. Ed.7. Jakarta; EGC; 2009:446-448.

Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia infants and children.


Am Fam Physician 2004;70: 899-908.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komunitas, pedoman diagnosis &


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003.

Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. 21th ed. Jakarta: ECG; 2003.

Rahajoe, Nastiti N., Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto. 2008. Buku Ajar
Respirologi Anak, edisi pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sakina, M. and Larasati, T.A., 2016. Manajemen Bronkopneumonia pada Bayi 2 Bulan dengan
Riwayat Lahir Prematur. Jurnal Medula, 4(3), pp.104-109.

Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan. In: Price SA, Wilson LM, eds.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Jakarta: ECG; 2006.

54

Anda mungkin juga menyukai