Anda di halaman 1dari 67

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO B BLOK 14 2019

DISUSUN OLEH : KELOMPOK A4


Nurul Hidayati 04011181722018
Anabella Pricillia 04011181722020
M. Nur Richard S. 04011181722040
Deva Wulandari 04011181722042
Sarah Mareta Azzahra 04011181722054
Nurul Shafira 04011181722056
Fadiya Nur Fadhila 04011181722152
R.A Mitha Aulia 04011281722078
Dwi Tantri Marylin 04011281722082
Dary Dzakwan Bara 04011281722092
Amira Azra Arisa P. 04011281722112
Faiza Al Khalifa C. 04011281722118

PRORGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2017/2018
Lampiran Struktur Kelompok

Tutor : dr. R.A Linda, SpPD


Moderator : Anabella Pricillia
Sekretaris 1 : Dwi Tantri Marylin
Sekretaris 2 : Fadiya Nur Fadhila
Presentan : 1. Amira Azra Arisa P. dan Sarah Mareta Azzahra
Pelaksanaan : 1 April 2019 dan 4 April 2019
13.00 – 15.30 WIB

Peraturan selama tutorial :


- Angkat tangan bila inginberpendapat dan jikadiberikesempatan
- Hanya menggunakan gadget untuk kepentingan tutorial
- Dilarang memotong pembicaraan orang lain
- Selama tutorial dilarang makan tapi diperbolehkan minum
- Diperbolehkan ke toilet seizin tutor tapi diperbolehkan langsung keluar apabila tutor
sedang tidak ada di ruangan
- Semua anggota harus berpendapat
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat,
hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Skenario B Blok
XIV.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan laporan ini, penulis sangat mengharapkan
masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan
laporan ini.Cukup banyak kesulitan yang penulis temui dalam penulisan laporan ini, tetapi
penulis menyeselesaikannya dengan cukup baik. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. R.A Linda, SpPD
2. Seluruh mahasiswa kelas Alpha 2017 Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Palembang, 27 Maret 2019


Penulis,

Kelompok A4 Alpha 2017


Daftar Isi

Lampiran Struktur Kelompok ..................................................................................................... i

Kata Pengantar ............................................................................................................................. ii

Daftar Isi ....................................................................................................................................... iii

Skenario A Blok 13 2019 .............................................................................................................. 1

I. Klarifikasi Istilah ................................................................................................................. 1

II. Identifikasi Masalah ............................................................................................................ 2

III. Analisis Masalah .................................................................................................................. 4

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan........................................................................................ 7

V. Sintesis Masalah................................................................................................................... 8

VI. Kerangka Konsep ................................................................................................................ 8

VII. Kesimpulan ........................................................................................................................ 60

Daftar Pustaka ............................................................................................................................ 61


Skenario B Blok 14 tahun 2019

I. Skenario
A man 17 years old with chief complain nasal obstruction, since 10 days ago. There was
mucopurulent rhinorrhea. On the 5th day, the complaint improves. On the next day repeated
complaints accompanied by fever 39 degree C and there was discomfort in face and
forehead.
Physical examination:
Vital sign:
Blood pressure : 110/70 mmHg
Respiratory rate : 24x/min
Pulse : 105x/min
Core temp. : 39 degree C
ENT Examination:
Right ear Left ear
Otoscopy Ear canal: within normal Ear canal: within normal
Ear canal: within normal Ear canal: within normal

Right nose Left nose


Nasal mucosa: swollen Nasal mucosa: swollen
and hyperemic and hyperemic
Inferior turbinate: Inferior turbinate:
hipertrofi and hyperemic hipertrofi and hyperemic
Anterior rhinoscopy
Osteomeatal complex obstruction, medial turbinate
oedema, middle meatus secret +, no deviation septum
Nasal secret (+) Nasal secret (+)
mucopurulent mucopurulent

Tonsil: T1-T1, Hyperemis (-)


Oropharynx Posterior wall: Hyperemis (-), Granules
(-), Post nasal drip (+)

Laboratory examination:
Hb 13 gr%, WBC: 11.000/mm3, CRP: 90 mg/L
II. Klarifikasi Istilah

No. Istilah Pengertian


A narrowing of the nasal cavity, which reduces breathing
1. Nasal
capacity. Caused by an irregular septum, nasal polyps, foreign
obstruction
bodies, or enlarged turbinates. (Farlex)
2. Mucopurulent Mengandung mukus maupun nanah. (Dorland)
3. Rhinorrhea Excessive mucous secretion from the nose. (Merriam Webster)

4. Pemeriksaan untuk melakukan inspeksi atau auskultasi pada


Otoscopy
telinga. (Dorland)
5. Rhinoscopy Examination of the nasal passages. (Merriam Webster)
6. Hyperemic Excess of blood in abody part. (Merriam Webster)
A separate curved bony plate that is the largest of the three and
7. Inferior separates the inferior and middle meatuses of the nose. (Merriam
turbinate
Webster)
The middle turbinate and the middle meatus of the nose.
8. Osteomeatal
complex (Merriam Webster)
Aliran sekresi lender dari bagian posterior rongga hidung ke
9. Post nasal drip dinding faring. Terjadi biasanya sebagai iringan kronis dari
keadaan alergi. (Merriam Webster)
C Reaktif Protein. Protein hadir dalam serum darah di berbagai
10. CRP keadaan abnormal (seperti peradangan atau neoplasia). Penanda
fase akut. (Merriam Webster)

III. Identifikasi Masalah


No. Masalah Prioritas
1. A man 17 years old with chief complain nasal VV
obstruction, since 10 days ago. There was
mucopurulent rhinorrhea. On the 5th day, the
complaint improves. On the next day repeated
complaints accompanied by fever 39 degree C and
there was discomfort in face and forehead.
2. Physical Examination V
Vital sign:
Blood pressure : 110/70 mmHg
Respiratory rate : 24x/min
Pulse : 105x/min
Core temp. : 39 degree C
ENT Examination: (terlampir)
3. Laboratory examination: V
Hb 13 gr%, WBC: 11.000/mm3, CRP: 90 mg/L
IV. Analisis Masalah
1. A man 17 years old with chief complain nasal obstruction, since 10 days ago. There was
mucopurulent rhinorrhea. On the 5th day, the complaint improves. On the next day
repeated complaints accompanied by fever 39 degree C and there was discomfort in
face and forehead.
a) Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
Jawab: Perempuan lebih rentan terkena karena imunitas pada perempuan tidak
sebaik laki-laki. Lebih banyak terkena pada usia dewasa daripada anak-anak
karena perkembangan sinusnya belum maksimal pada anak-anak.
b) Apa saja penyebab obstruksi nasal?
Jawab: Hidung tersumbat atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran
udara yang terhambat dikarenakan rongga hidung yang menyempit.
Penyempitan rongga ini bisa terjadi akibat proses inflamasi yang memberikan
efek vasodilatasi atau sekresi mukus yang berlebih, kelainan struktural anatomi
yang mempersempit rongga, serta infeksi.
c) Bagaimana mekanisme obstruksi nasal?
Jawab: Jaringan submukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya
kering. Leukosit juga mengisi rongga jaringan submukosa. Kapiler berdilatasi,
dan mukosa sangat menebal dan merah akibat edem dan pembengkakan
struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada kelainan epitel. Setelah
beberapa jam atau sehari dua hari, serum dan leukosit keluar melalui epitel
yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan bakteri, debris epitel, dan
mucus.
d) Apa saja penyebab mucopurulent rhinorrhea?
Jawab: Adanya infeksi bakteri dan alergi pada rongga sinus.
e) Bagaimana mekanisme mucopurulent rhinorrhea?
Jawab: Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif
di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bakterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
f) Mengapa keluhan membaik di hari ke-5 dan terjadi pengulangan pada hari ke-
6?
Jawab: karena pada 5 hari pertama merupakan infeksi virus sehingga ada
perbaikan, tetapi karena daya tahan tubuhnya tidak baik terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri.
g) Apa diagnosis banding dari keluhan pasien?
Jawab:
Rhinosinusitis Akut Rhinosinusitis Kronis
Rekurens pada rinosinusitis kronis Refluks gastro-esofageal
Bronkitis akut Tumor ganas rongga hidung
RInitis akut Tumor ganas nasofaring
Asma bronkial Tumor pada sinus
Influenza Benda asing pada saluran napas
Cluster headache Fibrosis kistik
Migrain Sinusitis jamur

h) Mengapa terdapat rasa tidak nyaman pada wajah dan dahi pasien?
Jawab: Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan. Bila terjadi
oedema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Karena adanya sumbatan tersebut,
terjadilah rasa tidak nyaman di daerah wajah dan dahi.

2. Physical Examination
Vital sign:
Blood pressure : 110/70 mmHg
Respiratory rate : 24x/min
Pulse : 105x/min
Core temp. : 39 degree C
ENT Examination: (terlampir)
a) Bagaimana interpretasi vital sign dan ENT Examination pada pasien?
Jawab :
Pemeriksaan Fisik Nilai Normal Interpretasi
BP: 110/70 mmHg Sistolik <120, Diastolik <80 Normal
HR: 105x/min 60-100x/min Takikardi
RR: 24x/min 14-20x/min Normal
Temp: 39˚C 36-37,5˚C Demam

b) Bagaimana mekanisme abnormal vital sign dan ENT examination pada pasien?
Jawab :
Demam
Pada kasus ini pasien mengalami infeksi. Pirogen eksogen akibat infeksi tersebut
menginduksi sel imun host (leukosit dan makrofag jaringan) untuk memproduksi
mediator demam yang disebut pirogen endogen (ex. EL-1). Pirogen endogen ini
akan meningkatkan set point pusat termoregulator hipotalamus melalui PG
(prostaglandin) E2. Sebagai respon dari peningkatan set point yang mendadak,
hipotalamus memulai mekanisme fisiologis peningkatan suhu (menggigil dan
vasokonstriksi) yang akan meningkatkan suhu tubuh ke set point yang baru, dan
demam pun terjadi.
Takikardi
Terdapat pola hubungan antara peningkatan suhu tubuh dengan denyut nadi.
Biasanya, kenaikan suhu 1°C akan menghasilkan peningkatan denyut nadi
15x/menit (1° F, 10 bpm) . Kebanyakan orang merespons peningkatan suhu
dengan peningkatan detak jantung yang sesuai.

3. Laboratory examination:
Hb 13 gr%, WBC: 11.000/mm3, CRP: 90 mg/L.
a) Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?
Jawab :
Pemeriksaan Laboratorium Nilai Normal Interpretasi
Hb: 13 gr% 13-16 gr% Normal
WBC: 11.000/mm3 5000-10.000/mm3 Leukositosis
Trombosit: 150.000/mm3 165.000-415.000/mm3 Normal
CRP: 90 mg/L 0,2-3,0 mg/L Meningkat

b) Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan laboratorium pada pasien?


Jawab :
Leukositosis
Pirogen endogen juga akan memediasi sejumlah respon lain. Misalnya,
interleukin-1adalah mediator inflamasi yang menghasilkan tanda-tanda lain
inflamasi, salah satunya adalah leukositosis.
Peningkatan CRP
C-reactive protein (CRP) adalah serum marker inflamasi sistemik, terutama pada
infeksi bakteri. Kemungkinan pasien dalam kasus ini mengalami infeksi bakteri,
maka CRP meningkat.

V. Hipotesis
Laki-laki, 17 tahun mengalami rhinosinusitis akut.
VI. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan
What I
No What I Don’t How I
Learning Issue What I Know Have To
. Know Learn
Prove
1. Anatomi dan Anatomi dan Fisiologi secara Tatalaksana
fisiologi Fisiologi secara detail
pernapasan atas umum
2. Rhinosinusitis Definisi Patofisiologi Tatalaksana Textbook,
Akut Artikel,
3. Pemeriksaan Hasil Normal Mekanisme - Jurnal
Fisik Abnormal
4. Pemeriksaan Hasil Normal Mekanisme -
Laboratorium abnormal
VII. Sintesis Masalah

1. Anatomi dan fisiologi pernapasan atas

Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan Atas

a. Anatomi
Saluran Napas Bagian Atas
1. Hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari:
a. Os nasalis
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak dibagian bawah hidung yaitu:
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago ala mayor)
c. Beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.
Pada dinding lateral terdapat:
a. 4 konka yakni konka inferior,media,superior,rudimenter
b. Kartilago nasalis lateralis superior
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.
Tergantung dari letak meatus, ada 3 meatus yakni meatus inferior, media, dan superior.
a. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat ostium duktus nasolakrimalis.
b. Meatus medius terletak diantara konka media dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Terdapat suatu celah sempit yakni hiatus semilunaris yang merupakan
muara dari sinus frontalis, maksila, dan sinus etmoid anterior.
c. Meatus superior terletak diantara konka superior dengan konka media. Terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Meatus-meatus ini yang dilewati oleh udara pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang
yang berhubungan dengan tekak yang disebut koana.
Kompleks Osteomeatal (KOM)

Merupakan merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media
dan lamina papirasea. KOM merupakan juga jalur pertemuan drainase kelompok sinus anterior
yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris, infundibulum etmoid,
bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksillaris, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit karena
mukosa yang inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia
dan terjadi infeksi sinus.
Sinus Paranasal

Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai pertahanan
tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks osteomeatal, transport
mukosiliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting
sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan
normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung
pada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga
bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport
mukosiliar.
Dasar rongga hidung dibentuk oleh rahang atas ke atas rongga hidung berhubungan
dengan rongga yang disebut sinus paranasalis yaitu sinus maksilaris pada rahang atas sinus
frontalis pada tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji, dan sinus etmoidalis pada
rongga tulang tapis.
Pada sinus etmoidalis keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka nasalis
. Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman, sel tersebut terutama terdapat pada di bagian
atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut saraf atau reseptor dari saraf penciuman
(Nervus olfaktorius).
Di sebelah konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu
lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah .
Saluran ini disebut tuba auditiva eustachi yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan
laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata atau tuba lakrimalis.
Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung
vaskular yang disebut mukosa hidung. Mukosa dibagi 2 yakni mukosa respiratori dan mukosa
olfaktorius. Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel kolumner pseudostratified bersilia dan diantaranya terdapat sel-sel gpble yang
mensekresikan lendir. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel kolumner pseudostratified non silia. Epitel
dibentuk oleh 3 macam sel yakni sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Pada bagian
yang lebih terkena aliran udara mukosa lebih tebal dan terkadang terjadi metaplasia, menjadi sel
epitel squamosal.
Semua sinus-sinus ini, dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung,
berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Sinus paranasal yang sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksila. Sinus maksila
sering disebut antrum highmore, letaknya dekat akar rahang gigi atas, maka infeksi mudah
menyebar ke sinus disebut sinusitis dentogen.

V Tabel. Sinus Paranasales dan Tempat Muaranya ke Dalam Rongga


Hidung
Sinus Tempat Muara
Sinus Meatus nasi medius melalui hiatus semilunaris
maxillaris
Sinus frontalis Meatus nasi media via infundibulum
Sinus Recessus sphenoethmoidalis
sphenoidalis
Sinus
ethmoidalis
-Kelompok anterior Infundibulum dan ke dalam meatus nasi media
-Kelompok Meatus nasi media pada atau di atas bulla
media ethmoidalis
-Kelompok Meatus nasi superior
posterior
*Perhatikan bahwa sinus maxillaris dan sinus sphenoidalis pada waktu lahit
terdapat dalam bentuk yang rudimenter, setelah usia delapan tahun menjadi lumayan
besar, dan pada masa remaja telah terbentuk sempurna.
Vaskularisasi

Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang dari a.
oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan dinding lateral hidung
mendapatkan aliran darah dari a. etmoid anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang
lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius.

Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi predisposisi penyebaran
infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksila nervus trigeminus

2. Faring
Merupakan pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya
dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil
dan Tuba Eustachius).
Nasofaring terletak tepat di belakang cavum nasi , di bawah basis crania dan di depan
vertebrae cervicalis I dan II. Nasofaring membuka bagian depan ke dalam cavum nasi dan ke
bawah ke dalam orofaring. Tuba eusthacius membuka ke dalam didnding lateralnya pada setiap
sisi. Pharyngeal tonsil (tonsil nasofaring) adalah bantalan jaringan limfe pada dinding
posteriosuperior nasofaring.
Orofaring
Merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah). Orofaring
adalah gabungan sistem respirasi dan pencernaan , makanan masuk dari mulut dan udara masuk
dari nasofaring dan paru.
Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan) Laringofaring
merupakan bagian dari faring yang terletak tepat di belakang laring, dan dengan ujung atas
esophagus.
Pasokan Saraf Sensorik dari Pharyngeal

Selaput lendir

Nasal faring : Saraf maksila (V2)

Nasal Oral: Faring laring nervus glossopharyngeal (di sekitar pintu masuk ke larynx):
Cabang laring internal dari saraf vagus Pasokan Darah dari Pharynx Ascending pharyngeal,
cabang tonsil arteri wajah, dan cabang dari arteri maxillary dan lingual.

3. Laring (tenggorok)
Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara. Pada bagian pangkal ditutup oleh
sebuanh empang tenggorok yang disebut epiglottis, yang terdiri dari tulang-tulanng rawan yang
berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup laring.
Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula tyroidea,
dan beberapa otot kecila, dan didepan laringofaring dan bagian atas esopagus.

Rongga Laring

Rongga laring keluar dari inlet ke batas bawah kartilago krikoid, di mana kontinyu
dengan rongga trakea. Ini dibagi menjadi tiga wilayah: Ruang depan, yang terletak di antara
saluran masuk dan lipatan vestibular Daerah tengah, yang terletak di antara lipatan vestibular di
atas dan lipatan vokal di bawah Daerah bawah, yang terletak di antara pita suara di atas dan batas
bawah kartilago krikoid di bawah

Sinus dari Laring

Sinus laring adalah reses kecil di setiap sisi laring terletak di antara lipatan vestibular dan
vokal. Ini dilapisi dengan selaput lendir (Gambar 11,99).

Saccule of the Larynx

Saccule laring adalah diverticulum selaput lendir yang naik dari sinus (Gambar 11,99).
Sekresi lendir melumasi pita suara.

4. Tonsil
Tonsil adalah bagian dari MALT (mucosa associated lymphoid tissue). MALT juga dapat
ditemukan di usus, di patch Peyer. Secara umum MALT relatif belum berkembang saat lahir
dengan seluleritas rendah. Tonsil mulai berkembang sekitar 14-15 minggu kehidupan embrio,
sementara germinal senter tidak ada pada tahap ini. Palatine tonsil dan fosa tonsil diyakini
sebagai turunan dari kantong faring ke-2. Lapisan epitel berproliferasi dan membentuk “bud”
atau tunas, yang membentuk primordium dari tonsila palatine.

b. Fisiologi
a. Hidung
 Fungsi Respirasi
Udara masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasofaring. Fungsi pengatur suh
dimungkinkan oleh banyak pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh: rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan
melekat pada palut lendir dan partikel- partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin.
 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau (rinolalia).
 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
napas berhenti.
b. Faring
 Fungsi Menelan
Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disengaja. Fase faringal
yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja. Fase
esofagal, bolus makanan bergerak secara peristaltik di esophagus menuju lambung.
 Fungsi Faring dalam Proses Bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring.
c. Laring
 Fungsi Proteksi
Mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup
aditus laring dan rima glotis secara bersamaan.
 Fungsi Respirasi
Mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan
menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis
terbuka (abduksi).
 Fungsi Fonasi
Membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur
oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m. krikotiroid akan
merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid.

Sumbatan Hidung/ Obstruksi Nasal


Hidung tersumbat atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran udara yang
terhambat dikarenakan rongga hidung yang menyempit. Penyempitan rongga ini bisa terjadi
akibat proses inflamasi yang memberikan efek vasodilatasi atau sekresi mukus yang berlebih,
kelainan struktural anatomi yang mempersempit rongga, serta infeksi.
Rhinorrhea

Penyebab
a. Dingin suhu
Rhinorrhea sangat umum selama musim dingin. Dingin diinduksi Rhinorrhea terjadi
karena kombinasi termodinamika dan reaksi alami tubuh terhadap rangsangan cuaca dingin.
Salah satu tujuan dari lendir hidung adalah untuk menghangatkan udara yang dihirup dengan
suhutubuh karena memasuki tubuh. Agar hal ini terjadi, rongga hidung harus selalu
dilapisidengan lendir cair. Selama dingin, musim kering, lendir yang melapisi saluran
hidungcenderung kering, yang berarti bahwa selaput lendir harus bekerja lebih keras,
memproduksilebih banyak lendir untuk menjaga rongga berjajar. Akibatnya, rongga hidung
dapat mengisi dengan lendir. Pada saat yang sama, saat udara dihembuskan, uap air mengembun
di napassebagai udara hangat memenuhi dingin suhu di luar dekat lubang hidung. Hal ini
menyebabkan jumlah kelebihan air untuk membangun di dalam rongga hidung. Dalam kasusini,
kelebihan cairan biasanya menciprat eksternal melalui lubang hidung.
b. Infeksi
Rhinorrhea dapat merupakan gejala penyakit lain, seperti common cold atau
influenza.Selama infeksi ini, selaput lendir hidung memproduksi lendir berlebih, mengisi
ronggahidung. Hal ini untuk mencegah infeksi dari penyebaran ke paru-paru dan
saluran pernapasan, di mana ia dapat menyebabkan kerusakan jauh lebih buruk. Rhinorrhea
disebabkan oleh infeksi biasanya terjadi pada ritme sirkadian .Selama infeksi virus,sinusitis yang
peradangan pada jaringan hidung, dapat terjadi, menyebabkan membran mukosa
untuk melepaskan lebih banyak lendir. Sinusitis akut terdiri dari saluran hidung bengkak selama
infeksi virus. Sinusitis kronis terjadi ketika satu atau lebih polip hidung muncul. Hal ini
dapatdisebabkan oleh septum menyimpang serta infeksi virus.
c. Alergi
Serbuk sari dari berbagai tanaman yang umum dapat menyebabkan reaksi
alergi.Rhinorrhea juga dapat terjadi ketika individu yang alergi terhadap zat tertentu, seperti
serbuk sari, debu, lateks, kedelai, kerang, atau bulu binatang, terpapar terhadap alergen
tersebut.Pada orang dengan sistem kekebalan yang peka, menghirup salah satu zat ini
memicu produksi antibodi imunoglobulin E (IgE), yang mengikat sel mast dan basofil.
IgE terikat pada sel mast dirangsang oleh serbuk sari dan debu, menyebabkan pelepasan mediato
r inflamasi seperti histamin . Pada gilirannya, ini penyebab, antara lain, peradangan
dan pembengkakan pada jaringan dari rongga hidung serta lendir meningkat produksi. Materi par
tikulat di udara tercemar dan bahan kimia seperti klorin dan deterjen, yang biasanya bisa
ditoleransi, dapat membuat kondisi jauh lebih buruk.
d. lakrimasi
Rhinorrhea juga berhubungan dengan air mata shedding, baik dari peristiwa emosional
atau dari iritasi mata. Ketika jumlah yang lebih dari air mata yang diproduksi, cairan
mengalir melalui sudut dalam kelopak mata , melalui saluran nasolacrimal , dan masuk ke
rongga hidung. Seperti air mata lebih adalah gudang, arus lebih cair ke dalam rongga
hidung.Penumpukan cairan biasanya diselesaikan melalui pengusiran lendir melalui lubang
hidung.
e. Kepala trauma
Jika disebabkan oleh cedera kepala, Rhinorrhea dapat kondisi yang jauh lebih serius.
Sebuah patah tulang tengkorak basilar dapat mengakibatkan pecahnya penghalang antara rongga
sinonasal dan fosa kranial anterior atau fosa kranial tengah . Pecah ini dapat menyebabkanrongga
hidung terisi dengan cairan cerebrospinal. Kondisi ini, dikenal sebagai cairan serebrospinal
rhinorrhoea atau Rhinorrhea CSF, dapat menyebabkan sejumlah komplikasi yang serius dan
kemungkinan kematian jika tidak ditangani dengan benar.

Sistem Mukosiliar
Histologi mukosa
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml.
Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius.Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari
palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina
propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda.
Gambar gambaranhistologimukosahidung

Epitel

Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis
semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius.Epitel kolumnar sebagian besar memiliki
silia.Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada
bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk
kerja silia.Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel
basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet.Sel goblet atau
kelenjar mukus merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk
lendir dalam air.Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak
11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2.Sel basal tidak pernah
mencapai permukaan.Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Kavum nasi bagian anterior pada tepi bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan
memperlihatkan sedikit silia (10%) dari total permukaan. Lebih kebelakang epitel bersilia
menutupi 2/3 posterior kavum nasi.Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.
Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat
mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur
silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis
yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat
dibawah permukaan sel.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke)
dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini..Kemudian silia
bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke).
Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya. Sumber
energinya ATP yang berasal dari mitokondria.ATP berasal dari pemecahan ADP oleh
ATPase.ATP berada di lengan dinein yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya.
Sedangkan antarapasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis yang
diduga neksin. Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan
diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak seperti silia.Semua epitel
kolumnar bersilia atau tidak bersilia memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya
mencapai 300-400 buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal
silia.Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas permukaan sel.
Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit dari dan ke dalam sel epitel.Dengan
demikian mencegah kekeringan permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik
dibanding dengan sel epitel gepeng.
Palut lendir

Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal.Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar.Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket.Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih
kental (gel layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.Lapisan
superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada
cairan perisiliar dibawahnya.
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan
berat molekul rendah.Lapisan ini sangat berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian
besar batang silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan
ini.Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung mukus.Diduga mukoglikoprotein
ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan
bersin.Lapisan ini juga berfungsi sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah,
gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang terperangkap.
Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi antara silia dan palut
lendir, serta sangat menentukan pengaturan transportasi mukosiliar. Pada lapisan perisiliar yang
dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisiliar. Sebaliknya
pada keadaan peningkatan perisiliar, maka ujung silia tidak akan mencapai lapisan superfiasial
yang dapat mengakibatkan kekuatan aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali (Sakakura
1994).

Membrana basalis

Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel.Di bawah
lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril
retikulin.

Lamina propria

Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan
media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini
terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan
saraf.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung.Mukosanya lebih
tipis dan kelenjarnya lebih sedikit.Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.
Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui
ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi.

Transportasi mukosiliar

Transportasi mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk


membersihkan dirinya dengan mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut
lendir ke arah nasofaring.Merupakan fungsi pertahanan lokal pada mukosa hidung.Transportasi
mukosiliar disebut juga clearance mukosiliar.

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari lapisan
mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan.Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia
yang mendorong gumpalan mukus.Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase),
dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri.Enzim tersebut sangat mirip dengan
imunoglobulin A (Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (Ig G) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu
serangan akut infeksi virus.Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus
gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang
terperangkap didalamnya ke arah faring. Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah
posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi
mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus
dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus
komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,
dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.Kecepatan gerakan silia bertambah secara
progresifsaat mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan
15 hingga 20 mm/menit.Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda di berbagai bagian
hidung.Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen
posterior, sekitar 1 hingga 20 mm/menit.
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan
sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,
kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring.
Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus
sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring.
Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan.

Pemeriksaan fungsi mukosiliar

Fungsi pembersih mukosiliar atau transportasi mukosiliar dapat diperiksa dengan


menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti
sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid
sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon,
bismuth trioxide.

Sebagai pengganti partikel dapat digunakan sakarin yang disebut uji sakarin.Uji ini telah
dilakukan oleh Anderson dan kawan pada tahun 1974dan sampai sekarang banyak dipakai untuk
pemeriksaan rutin.Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik.Penderita di periksa dalam
kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan
bersin.Penderita duduk dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakarin diletakkan 1
cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara
periodik tertentu kira-kira 1/2-1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai
sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai
waktu transportasi mukosiliar atau waktu sakarin. Dengan menggunakan bahan celupan, warna
dapat dilihat di orofaring.

Transportasi mukosiliar normal sangat bervariasi.Mahakit (1994) mendapatkan waktu


transportasi mukosiliar normal adalah 12 menit. Sedangkan pada penderita sinusitis, waktu
transportasi mukosiliar adalah 16,6 ± 7 menit. Waguespack (1995) mendapatkan nilai rata-rata
adalah 12-15 menit. Elynawaty (2002) dalam penelitian mendapatkan nilai normal pada kontrol
adalah 7,61 menit untuk wanita dan 9,08 menit untuk pria
2. Rhinosinusitis Akut

1. Definisi
"Rhinitis" adalah peradangan pada mukosa hidung. Dapat didefinisikan sebagai gejala
iritasi hidung, bersin, rhinorrhoea dan penyumbatan hidung yang berlangsung selama setidaknya
1 jam sehari pada sebagian besar hari. Istilah "sinusitis" mengacu pada peradangan pada mukosa
sinus paranasal, terlepas dari penyebabnya. Ketika pemahaman tentang patofisiologi mukosa
hidung telah berevolusi, diferensiasi antara rinitis dan sinusitis menjadi kurang jelas. Karena
sinusitis selalu disertai dengan rinitis, istilah rinosinusitis alih-alih sinusitis direkomendasikan
oleh Satgas Rhinologi dan Komite Paranasal Sinus 1997.
Istilah rinosinusitis akut menggambarkan timbulnya dua atau lebih gejala secara tiba-tiba
dari keluarnya cairan hidung, penyumbatan atau kongesti hidung, nyeri atau tekanan pada wajah
dan pengurangan atau kehilangan indra penciuman, yang durasinya kurang dari 12 minggu. Jika
gejala-gejala ini kurang dari 10 hari, itu dianggap sebagai etiologi virus dan karenanya disebut
rinosinusitis virus akut (flu biasa).
Mukosa kavum nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka
inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal. Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah
kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi
dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara
simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama. Alasan lainnya karena sebagian besar
penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu
hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.Fakta tersebut
menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep “one
airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung
berkembang ke bagian yang lain. Sejumlah kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut
sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.
Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1
dibawah ini.
2. Etiologi
ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti
pada sindrom Kartagenener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.
Infeksi bakteri atau virus,alergi dan berbagai bahan iritan dapat menyebabkan inflamasi
mukosa hidung. Infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus merupakan faktor
penyebab terbanyak dari RS viral. Udem mukosa hidung dan sinus maksila yang berakibat
penyempitan ostium sinus maksila ditemukan pada 80% pasien common cold. Adanya cairan
dapat diikuti pertumbuhan bakteri sekunder sehingga timbul gejala peradangan akut (RS akut
bakterial)

3. Epidemiologi
Kejadian sinusitis akut berkisar antara 15 hingga 40 episode per 1000 pasien per tahun,
tergantung pada keadaan. Ini jauh lebih umum pada orang dewasa daripada pada anak-anak,
yang sinusnya belum berkembang sepenuhnya. Sinusitis akut adalah penyakit menular kedua
yang paling umum dijumpai oleh dokter. Kebanyakan sinusitis akut disebabkan oleh virus yang
sama yang menyebabkan flu biasa. Berdasarkan data DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan
bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringka
tutama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
4. Klasifikasi

Klasifikasi RS menurut the American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA) dan American
Rhinologic Society (ARS) :
1. Rinosinusitis akut (RSA)
Bila gejala RS berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak, biasanya akibat
infeksi virus dan sembuh sebelum 4 minggu. Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala
RSA viral yang memburuk setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan
adanya infeksi kuman (RSA bakterial).
2. Rinosinusitis akut berulang (Recurrent acute rhinosinusitis).
Gejala dan tanda sesuai dengan RSA,tetapi memburuk setelah 5 hari atau menetap selama
lebih dari 10 hari. Kriteria gejala untuk RSA berulang identik dengan kriteria untuk RSA.
Episode serangan berlangsung selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4
atau lebih dalam 1 tahun. Diantara masing-masing episode terdapat periode bebas gejala tanpa
terapi antibiotik.
3. Rinosinusitis sub akut (RSSA).
RS dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi ini merupakan
kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari
RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi RSA tetapi mengalami
kegagalan atau terapinya tidak adekuat.
4. Rinosinusitis kronis (RSK).
Bila gejala RS berlangsung lebih dari 12 minggu.
5. Rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut.
RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat terjadi
gejala yang tiba-tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan kembali seperti
semula setelah pengobatan dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh
5. Faktor Resiko
Tabel 2. Faktor Predisposisi Untuk Sinusitis
 Upper respiratory infections
 Anatomic variations
 Allergic rhinitis
 Nasal dryness
 Dental infections and procedures, trauma
 Barotrauma
 Hormone factors
 Immunodeficiency disease
 Inhalation of irritants
 Mechanical ventilation
 Nasotracheal and nasogastric tubes

6. Patogenesis & Patofisiologi


Kesehatan sinus dipengaruhi oleh ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
di dalam KOM. Mukus juga mengandung antimicrobial dan zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahana tubuh.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang saling berhadapan akan bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat.
Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya bakteri. Sekret menjadi purulent. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis
akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotic. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada
factor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia, dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polypoid, polip atau pembentukan
kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
Osteo-meatal compllex

Inflamasi mukosa hidung → pembengkakan (udem) dan eksudasi → obstruksi (blokade)


ostium sinus → gangguan ventilasi dan drainase,resorpsi oksigen dalam rongga sinus →
hipoksia (oksigen menurun,pH menurun,tekanan negatif) → permeabilitas kapiler meningkat →
transudasi,peningkatan eksudasi serous,penurunan fungsi silia → retensi sekresi di sinus atau
pertumbuhan kuman.
Gambar 3. Perbandingan fisiologi sinus normal dan rinosinusitis (Strong JF, 2002)

Sinus paranasal dilapisi dengan epitel kolumnar pseudo-stratified, yang terus menerus dengan
lapisan rongga hidung. Epitel ini mengandung sejumlah sel goblet penghasil lendir. Dalam
kondisi fisiologis, sinus biasanya steril. Fungsinya tergantung pada transportasi reguler lapisan
lendir dari sinus paranasal melalui lubang alami mereka ke area umum, yang dikenal sebagai
infundibulum, di meatus tengah rongga hidung. Area ini adalah titik fokus dari drainase sinus
dan dikenal sebagai kompleks osteomeatal. Terletak di dinding lateral hidung. Dari rongga
hidung lendir kemudian mengalir ke orofaring.

Rinosinusitis akut dimulai sebagai infeksi virus pada hidung yang mengakibatkan peradangan
dan / atau infeksi virus pada sinus yang berdampingan. Mungkin ada perkembangan tekanan
atmosfer negatif di dalam rongga sinus dan penurunan tekanan parsial oksigen. Ada juga
produksi lendir yang berlebihan dengan atau tanpa transudasi plasma. Hal ini menyebabkan
malfungsi atau penghentian total pergerakan silia yang melapisi sinus yang menyebabkan stasis
lendir dan penyumbatan kompleks osteomeatal. Ini menciptakan lingkungan di dalam sinus yang
mendukung pertumbuhan organisme patogen. Oleh karena itu, perkembangan rinosinusitis
terutama disebabkan penyumbatan kompleks osteomeatal.

Berbagai macam faktor predisposisi untuk obstruksi dan penurunan fungsi silia sinus (kotak 1).
Ini bisa viral atau non-viral. Penyebab paling umum dari rinosinusitis akut adalah infeksi
pernapasan atas virus. Sekitar 9 dari 10 pasien yang memiliki infeksi saluran pernapasan bagian
atas virus memiliki keterlibatan sinus yang berdekatan. Hingga 0,5% infeksi saluran pernapasan
atas pada orang dewasa berkembang menjadi sinusitis yang terdokumentasi. Namun, hanya 5-
10% dari pasien ini memiliki superinfeksi bakteri yang membutuhkan perawatan antimikroba

Walaupun sinusitis dianggap berasal dari rhogenik, infeksi gigi merupakan faktor predisposisi
yang penting untuk dipertimbangkan, karena dapat menyebabkan sekitar 10-12% kasus sinusitis
maksilaris akut.9 Sumber odontogenik harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala
sinusitis maksilaris. yang memiliki riwayat positif untuk infeksi odontogenik atau operasi
dentoalveolar. Tinjauan literatur menunjukkan bahwa banyak kasus sinusitis akut rekuren
disebabkan oleh kolonisasi bakteri rhinogen sekunder dari mukosa antral yang telah melemah
dan mengalami degenerasi oleh infeksi / peradangan gigi kronis.

Rinosinusitis non-viral akut terutama disebabkan oleh bakteri. Haemophilus influenzae telah
dilaporkan menghasilkan toksin yang mengganggu fungsi siliaris dan merusak sel mukosa. 10
Organisme khas dalam sinusitis odontogenik meliputi streptokokus anaerob (Streptococcus
sanguis, Streptococcus salivarius, Streptococcus mutans), Bacteroides, Protei, dan coli. Studi
eksperimental pada kelinci telah menunjukkan bahwa infeksi dengan Streptococcus pneumoniae
atau H influenzae dengan cepat diikuti oleh penghancuran sebagian besar sel epitel bersilia di
sinus maksilaris yang menyebabkan akumulasi mukopus di rongga sinus.Selanjutnya, ini dapat
menyebabkan resolusi. gejala atau berkembang menjadi infeksi kronis. Ini juga dapat
menyebabkan pengembangan salah satu komplikasi dari rinosinusitis bakteri. Komplikasi ini
dapat bersifat orbital atau intrakranial. Mereka timbul baik sebagai erosi langsung pada dinding
tipis sinus yang berdampingan dengan orbit dan cranium atau melalui penyebaran hematogen.
Pengenalan dini terhadap komplikasi ini sangat penting. Gejala dan tanda yang harus dicari
termasuk edema inflamasi kelopak mata dengan atau tanpa edema isi orbital, bola mata yang
tergeser, ophthalmoplegia, diplopia, ketajaman visual berkurang, pembengkakan frontal, sakit
kepala frontal parah, tanda-tanda meningitis atau tanda-tanda neurologis fokal.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium terseumbat.
Akibat dari tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,
mula-mula serous. Kondisi ini bisa disebut sebagai rinoinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip
dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan operasi.

7. Manifestasi Klinis
Tabel 3. Gejala Klinis
Mayor Minor
 Nyeri/rasa tebal pada wajah  Sakit kepala
 Hidung tersumbat  Nafas berbau
 Ingus Kental  Batuk
 Postnasal drip purulent  Nyeri telinga
 Gangguan penghidu  Rasa penuh di telinga
 Demam
 Adanya secret purulent pada pemeriksaan
endoskopi nasal
Menurut EPOS 2007, rinosinusitis ditegakkan apabila ada hidung
terrsumbat/obstruksi/kongesti ditambah salah satu atau lebih dari gejala berikut:

 Nyeri wajah/rasa tertekan di wajah


 Penurunan/hilangnya kemampuan penghidu

ditambah salah satu dari temuan nasondoskopi berikut:

 Sekret mukopurulen dari meatus medius


 Edema/obstruksi mukosa di meatus medius
 Polipdan/atau ditemukan gambaran tomografi komputer berupa perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.
8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinosinusitis tergantung dari gejala klinis pada pasien. Dari anamnesis
bila didapatkan keluhan hidung terseumbat dan berair, cairan putih kekuningan dapat difikirkan
adanya common cold, korpus alienum di hidung dan adenoitis. Jika ditemukan sakit kepala dapat
difikirkan tension headache, migraine headache, cluster headache atau reffered pain headache,
sedangkan batuk kronik dapat difikirkan pertusis, bronkitis, tuberkulosis, dan GERD.

Pada polip nasi, diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat
tumbuh di hidung seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi
(Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai klinisnya
ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh kembali, penampakannya
sangat merupai polip. Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral,
ada rasa nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan destruksi tulang. Diagnosis banding
lain adalah meningokel / meningoensefalokel pada anak. Biasanya akan menjadi lebih besar pada
saat mengejan atau menangis.
9. Algoritma Penegakan Diagnosis

Pada RSA dapat terlihat adanya hiperemi dan daerah sembab sekitar hidung dan orbita.
Pada anak gejala ini lebih terlihat jelas terutama pada RSA berat atau dengan komplikasi. Gejala
nyeri tekan di daerah sinus terutama sinus frontal dan maksila kadang dapat ditemukan,akan
tetapi nyeri tekan di sinus tidak selalu identik dengan sinusitis.
Pemeriksaan yang penting adalah rinoskopi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat
dijumpai adanya kelainan-kelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan RS seperti
hiperemi,sekret,udem,krusta,septum deviasi,polip atau tumor. Sedangkan rinoskopi posterior
adalah pemeriksaan untuk melihat rongga hidung bagian belakang dan nasofaring. Melalui
pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung dan
nasofaring seperti post nasal drib dan lain-lain.
10. Tata Laksana
Penatalaksanaan rinosinusitis tergantung dari jenis,derajat serta lama penyakit masing-
masing penderita. Pada RSA terapi medikamentosa merupakan terapi utama,sedang pada RSK
terapi bedah mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dari pada medikamentosa. Terapi
medikamentosa merupakan terapi yang penting karena lebih sederhana,mudah dilaksanakan serta
relatif lebih murah dari terapi pembedahan.
1. Terapi Medikamentosa.
Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam penanganan RS. Tujuan
terapi medikamentosa yang utama adalah untuk mengembalikan fungsi drainase sinus. Hal
ini dapat dilakukan dengan melakukan pelembaban (moisturizing,humidification) untuk
mengurangi/menghilangkan udem mukosa serta mengembalikan fungsi transpor mukosiliar.
Beberapa upaya diantaranya adalah : saline nasal spray,humidification dan pemberian
mukolitik. Irigasi dengan larutan garam faal dapat membersihkan rongga hidung dari krusta
dan sekret yang kental,sedangkan humidification dapat mencegah kekeringan dan
pembentukan krusta.
2. Dekongestan
Obat dekongestan yang digunakan dalam pengobatan RS pada umumnya adalah
perangsang reseptor α-adrenergik,yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh kapiler
mukosa rongga hidung sehingga mengurangi udem dan menghilangkan sumbatan hidung
serta mengembalikan patensi ostia sinus. Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal
maupun sistemik (oral).
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik banyak bermanfaat pada RSK dengan pembentukan polip
atau pada allergic fungal rhinosinusitis. Pada RSA mungkin bermanfaat untuk
menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus. Pengobatan
jangka pendek cukup efektif dan aman,namun untuk jangka panjang penghentian
pengobatan harus dilakukan secara bertahap (tappering off).
4. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi penting pada RSAB disamping terapi medikamentosa
lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu pengetahuan tentang kuman penyebab
serta kepekaannya terhadap antibiotik yang tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka
pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin (first line drugs),karena obat ini
efektif terhadap Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang merupakan
dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB.
Pilihan antibiotik lini pertama ditentukan bila RSA baru pertama kali diderita dan
tidak ada riwayat pemberian antibiotik sebelumnya. Apabila penderita mengalami RSA
berulang atau ada riwayat pemberian antibiotik sebelumnya maka pilihan lini kedua perlu
dipertimbangkan.
11. Komplikasi

12. Prognosis
Sebanyak 98 % rinosinusitis viral akut akan sembuh sendiri (self lomiting), sementara
rinosinusitis bakterialis memiliki angka insiden kekambuhan sekitar 5% jikia setelah 48 jam
pengobatan belum ada perbaikan gejala secara bermakna, terapi perlu di evaluasi kembali.
Rinosinusitis akut yang tidak ditangani secara adekuat dapat menjadi kronis, dan rinosinusitis
kronis maupun akut berpotensi menimbulkan komplikasi berupa meningiti, abses orbita, abses
otak hingga tromboflebitis sinus kavernosus.
A. EDUKASI PENCEGAHAN
1. Biasakan mencuci tangan sesering mungkin untuk menghindari bakteri menempel di
tangan dan menimbulkan alergi
2. Jaga pula lingkungan agar tetap bersih
3. Mencegah stress
4. Mengonsumsi makanan yang kaya akan antioksidan, terutama sayur dan buah yang dapat
menguatkan system kekebalan tubuh sehingga akan mencegah serangan sinus musiman
5. Jaga kondisi sinus agar tetap kering dan bersih dengan minum air yang cukup agar cairan
hidung tetap encer
6. Gunakan obat semprot hidung untuk melawan allergen
7. Hindari zat-zat yang menyebabkan alergi yang terdapat di lingkungan seperti debu dan
asap rokok
8. Konsumsilah makanan bergizi serta vitamin C untuk menjaga daya tahan tubuh.
9. Mulailah rajin berolahraga, karena tubuh yang sehat tidak mudah terinfeksi virus
penyakit.
10. Kemudian Hindari juga merokok karena merokok bisa menyebabkan hidung iritasi dan
mempermudah kuman masuk.
11. Selain itu usahakan hidung selalu lembab meskipun udara sedang panas terik atau dingin
karena hidung yang kering lebih rentan terkena infeksi.
12. Hindari juga efek buruk dari polusi udara dengan mengenakan masker.
13. Bersihkan juga ruang tempat tinggal dari debu serta partikel kecil lainnya yang dapat
memicu berkembangnya virus penyakit
14. Istirahat yang cukup

13. SKDI

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan


Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai
penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter
juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk


3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.

4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan.
Penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Nilai Normal Interpretasi
BP: 110/70 mmHg Sistolik <120, Diastolik Normal
<80
HR: 105x/min 60-100x/min Takikardi
RR: 24x/min 14-20x/min Normal
Temp: 39˚C 36-37,5˚C Demam
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium Nilai Normal Interpretasi
Hb: 13 gr% 13-16 gr% Normal
WBC: 11.000/mm3 5000-10.000/mm3 Leukositosis
Trombosit: 150.000/mm3 165.000-415.000/mm3 Normal
CRP: 90 mg/L 0,2-3,0 mg/L Meningkat

Mekanisme Abnormal
1.) Demam
Pada kasus ini pasien mengalami infeksi. Pirogen eksogen akibat infeksi tersebut
menginduksi sel imun host (leukosit dan makrofag jaringan) untuk memproduksi
mediator demam yang disebut pirogen endogen (ex. EL-1). Pirogen endogen ini akan
meningkatkan set point pusat termoregulator hipotalamus melalui PG (prostaglandin)
E2. Sebagai respon dari peningkatan set point yang mendadak, hipotalamus memulai
mekanisme fisiologis peningkatan suhu (menggigil dan vasokonstriksi) yang akan
meningkatkan suhu tubuh ke set point yang baru, dan demam pun terjadi.
2.) Takikardi
Terdapat pola hubungan antara peningkatan suhu tubuh dengan denyut nadi.
Biasanya, kenaikan suhu 1°C akan menghasilkan peningkatan denyut nadi 15x/menit
(1° F, 10 bpm) . Kebanyakan orang merespons peningkatan suhu dengan peningkatan
detak jantung yang sesuai.
3.) Leukositosis
Pirogen endogen juga akan memediasi sejumlah respon lain. Misalnya,
interleukin-1
adalah mediator inflamasi yang menghasilkan tanda-tanda lain inflamasi,
salah satunya adalah leukositosis.
4.) Peningkatan CRP
C-reactive protein (CRP) adalah serum marker inflamasi sistemik, terutama pada
infeksi bakteri. Kemungkinan pasien dalam kasus ini mengalami infeksi bakteri,
maka CRP meningkat.

ENT Examination
Hasil telinga kanan Hasil telinga kiri Interpretasi
Otoscopy Liang telinga normal Liang telinga Tidak ada kelainan pada
normal telinga dan produksi
mukus tidak melalui
tuba eustachius
Membran timpani Membran timpani Tidak ada kelainan pada
normal normal telinga dan produksi
mukus tidak melalui
tuba eustachius
Hidung kanan Hidung kiri Interpretasi
Rinoskopi Mukosa hidung edema Mukosa hidung Adanya reaksi inflamasi
anterior dan hiperemis edema dan akut pada mukosa
hiperemis hidung (rhinitis akut)
Conchae inferior Conchae inferior Adanya rhinitis
hipertrofi dan hiperemis hipertrofi dan hipertrofi
hiperemis
Obstruksi kompleks Adanya obstruksi
osteomeatal, edema pada KOM
conchae media, adanya sehingga
sekret pada meatus menyebabkan
media, tidak ada deviasi rhinosinusitis, tapi
septum bukan disebabkan
oleh kelainan
anatomi (deviasi
septum)
Nasal secret (+) Nasal secret (+) Mukus yang dihasilkan
mucopurulent mucopurulent sudah bercampur dengan
bakteri dan sel darah
putih

Oropharynx Tonsil: T1-T1, hyperemis (-) Tidak ada pembesaran


tonsil
Posterior : Hyperemis (-), Adanya aliran mukus
granules (-), post nasal drip (+) berlebih ke belakang
tenggorokan

MEKANISME ABNORMALITAS

 Mukosa hidung hiperemis dan edema:


Adanya infeksi virus akan menyebabkan system imun teraktifasi dan terjadi reaksi
inflamasi. Setelah terjadi inflamasi maka terjadi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya
permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi
yang sudah dikenal ialah kemerahan (rubor), rasa panas (kalor), nyeri (dolor),
pembengkakan (tumor), dan fungsio laesa. Maka dari itu mukosa hidung terlihat bengkak
dan merah. Kemudian penyakit berkembang menjadi rhinosinusitis dimana terjadi
gangguan drainase cairan sehingga mukus menumpuk pada rongga sinus dan
memudahkan terinfeksi bakteri. Infeksi bakteri menyebabkan proses inflamasi bertambah
parah dan mukosa semakin hipertrofi dan hiperemis.
 Konka inferior hipertrofi dan hiperemis:
Konka inferior yang hipertrofi dan hiperemis menunjukkan adanya rhinitis hipertrofi.
Rhinitis hipertrofi merupakan proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri primer atau sekunder, dan dapat juga disebabkan lanjutan dari rhinitis alergi dan
vasomotor. Pada kasus ini karena onset gejala baru 10 hari yang lalu (akut), kemungkinan
rhinitis hipertrofi disebabkan adanya rhinitis alergi atau vasomotor.
 Obstruksi kompleks osteomeatal, edema conchae media, adanya sekret pada meatus
media, nasal mucopurulent:
Inflamasi hidung dan sinus dari infeksi virus dapat mengakibatkan obstruksi ostium-
ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi. Respon peradangan
terhadap virus menyebabkan terjadinya edemapada KOM, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu, akibatnya silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Gerakan silia pada mukosa sinus menjadi sangat
terganggu sehingga timbul penumpukan sekret dan penebalan mukosa sinus. Hal ini
menimbulkan tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah
keluarnya cairan, lalu secret akan menumpuk pada meatus media dan menjadi tempat
yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri sehingga sekret akan berubah menjadi
purulent. Keadaan ini menyebabkan hipertrofi pada mukosa sinus dan pada konka media.
 Post nasal drip:
Lendir dari sinus secara normal mengalir dalam jumlah kecil
ke dalam hidung dan turun ke belakang tenggorokkan sebelum tertelan. Karena sekresi
mucus berlebihan, maka ada beberapa yang mengalir ke tenggorokan.

Telinga
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala, corong telinga,
otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan garputala.
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit ke depan dan kepala lebih tinggi
sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membrane timpani.
Mula-mula dilihat dari keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang dun telinga
(retro-aurikuler) apakah terdapat tanda peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik
daun telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga menjadi lebih lurus dan akan mempermudah
untuk melihat keadaan liang telinga dan membrane timpani. Pkailah otoskop untuk melihat lebih
jelas bagian-bagian membrane timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk
memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya
posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan pada
pipi pasien.
Bila terdapat serumen dalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini harus
dikeluarkan. Jika konsistensinya lunak atau liat dapat dikeluarkan dengan pengait dan bila
berbentuk lempengan dapat dipegang dan dikeluarkan dengan pinset. Jika serumen ini sangat
keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih baik dilunakkan dulu dengan minyak atau
karbogliserin. Bila sudah lunak atau cair dapat dilakukan irigasi dengan air supaya liang telinga
bersih.

Hidung
Keluhan utama penyakit atau kelainan di hidung adalah 1) sumbatan hidung, 2) secret di
hidung dan tenggorok,3) bersin, 4) rasa nyeri di daerah muka dan kepala, 5) perdarahan dari
hidung dan 6)gangguan penghidu.
Pemeriksaan hidung
Bentuk luar hidung diperhatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung. Adakah
pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat dipalpasi adanya
krepitasi tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan
sinus paranasal.

Inspeksi
Yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi
sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan sinusitis
maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut.
Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila terbentuk abses.
Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila.
Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap
orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.
Sinus maksila, sinus frontal, dan ethmoid harus dipalpasi untuk mendapatkan nyeri tekan
setiap kali dicurigai terdapat sinusitis akut. Sinus sphenoid tidak dapat dipalpasi. Sinus maksila
diraba dengan menekan lembut atas fossa canine dengan jari telunjuk. Tekanan pada saraf
infraorbital / foramen infraorbital harus dihindari. Sinus frontal harus dipalpasi dengan menekan
pada aspek medial dari atap orbit (lantai sinus frontal) oleh ibu jari. Tekanan pada foramina dan
saraf supraorbital harus dihindari. Sinus ethmoid dipalpasi dengan menekan jari telunjuk secara
medial ke arah hidung hingga ke medial canthus. Adalah penting bahwa siswa melihat ekspresi
wajah pasien sambil meraba sinus daripada bertanya kepada pasien apakah itu menyakitkan.
Transiluminati
Transiluminati mempunyai manfaat yang terbatas, tidak dapat menggantikan peranan
pemeriksaan radiologic, hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan frontal, bila
fasilitas pemeriksaan radiologic tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminati tampak
gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal
atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Pada pemeriksaan transiluminati sinus maksila dan
sinus frontal, dipakai lampu khusus sebagai sumber cahaya dan pemeriksaan dilakukan pada
ruangan yang gelap. Transiluminati sinus maksila dilakukan dengan memasukkan sumber cahaya
ke rongga mulut dan bibir dikatupkan sehingga sumber cahay tidak tampak lagi. Setelah
beberapa menit tampak daerah infra orbita terang seperti bulan sabit. Untuk pemeriksaan sinus
frontal, lampu diletakkan di daerah bawah sinus frontal dekat kantus medius dan di daerah sinus
frontal tampakcahaya terang.
Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transiluminati, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas
tegas di dalam sinus maksila.
Transiluminati pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua
sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti
sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.

Anterior Rhinoscopy
Rhinoskopi anterior memungkinkan pemeriksaan septum hidung, inferior turbinate dan
middle turbinate serta meatus yang sesuai dan sebagian besar rongga hidung kecuali bagian
posteriornya. Namun, turbinate superior dan meatus superior tidak dapat divisualisasikan pada
rinoscopy anterior. Endoskopi adalah metode terbaik untuk memeriksa turbinate superior, meatus
superior dan bagian posterior rongga hidung di samping area lain di rongga hidung.
Rinoskopi anterior dilakukan dengan bantuan spekulum hidung. Spekulum hidung
dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan bilah tertutup dan bilah dibuka dengan lembut
untuk pemeriksaan rongga hidung. Saat mengeluarkan spekulum dari hidung, bilah harus sedikit
terbuka untuk menghindari avulsi rambut dari ruang depan. Kadang-kadang karena septum nasal
yang menyimpang atau turbinat pembesaran ada kesulitan dalam memeriksa bagian yang lebih
dalam dari rongga hidung dan dalam kasus-kasus seperti itu, rhinoscopy anterior dilakukan
setelah menyusutkan turbinate dengan memasukkan bungkusan hidung yang dicelupkan ke
dalam larutan dekongestan.
Speculum dimasukkan ke dalam lubang hidung dengan hati-hati dan dibuka setelah
speculum berada di dalam dan waktu mengeluarkannya jangan ditutup dulu di dalam, supaya
bulu hidung tidak terjepit. Vestibulum hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior,
konka media, serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus
diperhatikan. Begitu juga rongga hidung sisi yang lain. kadang-kadang rongga hidung ini sempit
karena adanya edema mukosa. Pada keadaan seperti ini untuk melihat organ-organ yang disebut
di atas lebih jelas perlu dimasukkan tampon kapas adrenalin pantokain beberapa menit untuk
mengurangi edema mukosa dan menciutkan konka, sehingga rongga hidung lebih lapang.
Inferior dan middle meatus
Meatus inferior dan tengah harus diidentifikasi selanjutnya. Middle meatus adalah kunci
untuk diagnosis sebagian besar penyakit sinus dan harus diperiksa secara menyeluruh. Keluarnya
purulen dari meatus tengah menunjukkan sinusitis akut. Edema dan polip kecil mungkin sangat
besar dan mengisi seluruh rongga hidung dan obstruksi di middle meatus.
Rinoskopi posterior
Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rinoskopi posterior
sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan rinoskopi posterior
diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring yang telah dihangatkan dengan api lampu spiritus
untuk mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca. Sebelum kaca ini di masukkan, suhu
kaca dites dulu dengan menempelkannya pada kulit belakang dengan tangan kiri pemeriksa.
Pasien diminta membuka mulut, lidah dua pertiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien
bernapas melalui mulut supaya uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap ke
atas dimasukkan melalui mulut, ke bawah uvula dan sampai nasofaring. Setelah kaca berada di
nasofaring pasien diminta bernapas biasa melalui hidung, uvula akan turun kembali dan rongga
nasofaring terbuka. Mula-mula diperhatikan bagian belakang septum dan koana.kemudian kaca
diputar ke lateral sedikit untuk melihat konka inferior serta meatus superior dn meatus media.
Kaca diputar lebih ke lateral lagi sehingga dapat diidentifikasi torus tubarius, muara tuba
Eustachius dan fosa Rossenmuler kemudian kaca diputar ke sisi lainnya. Daerah nasofaring lebih
jelas terlihat bila pemeriksaan terlihat bila pemeriksaan dilakukan dengan memakai
nasofaringoskop.
Pemeriksaan faring dan rongga mulut
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa
rongga mulut, lidah, dan pergerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai
spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan
melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta
gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi geligi. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada
massa tumor, kista dan lain-lain. apakah ada rasa nyeri di temporo mandibular ketika membuka
mulut.
Otoscopy
Tujuan
Pemeriksaan Ini dilakukan untuk memeriksa 'saluran pendengaran eksternal' - terowongan yang
mengarah dari telinga luar (pinna) ke gendang telinga. Pemeriksaan gendang telinga juga dapat
memberikan banyak informasi tentang apa yang terjadi di telinga tengah - ruang di dalam
tengkorak tempat mekanisme pendengaran dan keseimbangan berada.
Cara Pemeriksaan Otoscopy
1.) Menarik daun telinga secara perlahan ke atas dan ke belakang. Pada
anak-anak, daun telinga harus ditarik ke bawah dan ke belakang.
Proses ini akan memindahkan meatus akustik sejalan dengan kanal.
Pegang otoskop seperti pena / pensil dan gunakan area jari kelingking
sebagai titik tumpu. Ini mencegah cedera jika pasien tiba-tiba berubah.

2.) Periksa saluran pendengaran eksternal.


3.) Mengevaluasi membran timpani
4.) Perhatikan warna (merah, putih, kuning) dan tembus cahaya
(transparan, buram) dan posisi (ditarik, netral atau menggembung) dari
drum
5.) Identifikasi pars tensa dengan kerucut cahaya, pegangan dan proses
pendek malleus, dan lipatan anterior dan posterior dari pars flaccida
dan posisi pegangan malleus.
a. Hasil Pemeriksaan (Normal)
1.) Saluran auditori: Sebagian rambut, seringkali dengan serumen
kuning ke coklat.
2.) Gendang telinga: Warna abu-abu merah muda, tembus cahaya dan
dalam posisi netral. Malleus terletak pada posisi miring di belakang
bagian atas drum.Ponsel dengan inflasi udara. Inflasi udara otoscopy
(pneumatik-otoskop) sangat berguna untuk mengevaluasi penyakit
telinga tengah. Menilai mobilitas membran timpani dengan
menerapkan tekanan positif dan negatif dengan bola karet memeras.
Rhinoscopy

Tujuan
1.) Pemeriksaan vestibulumnasi.
2.) Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
3.) Fenomena palatum mole.
4.) Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
5.) Pemeriksaan septum nasi.
Indikasi pemeriksaan rhinoskopi anterior
1) Obstruksi hidung
2) Sekret pada daerah hidung/sekret belakang hidung yang sering disebut
PND (post nasal drip)
3) Kongesti pada daerah wajah
4) Nyeri /rasa tertekan pada wajah
5) Kelainan penciuman(hiposmia/anosmia)
6) Demam (hanya pada akut)

Cara Pemeriksaan Rhinoscopy


1.) Lakukan tamponade ± selama 5 menitdengan kapas yang dibasahi
larutan lidokain 2% dan efedrin.
2.) Angkat tampon hidung.
3.) Lakukan inspeksi, mulai dari:

a.) Cuping hidung (vestibulum nasi)


b.) Bangunan di rongga hidung
c.) Meatus nasi inferior :normal/tidak
d.) Konka inferior :normal/tidak
e.) Meatus nasi medius :normal/tidak
f.) Konka medius :normal/tidak
g.) Keadaan septa nasi : normal/tidak, adakah deviasi septum
h.) Keadaan rongga hidung : normal/ tidak; sempit/ lebar; ada
pertumbuhan abnormal: polip, tumor; ada benda asing/ tidak :
berbau/tidak
Adakah discharge dalam rongga hidung,bila ada
bagaimana deskripsi discharge (banyak/ sedikit, jernih,
mucous, purulen, warna discharge, apakah berbau).
a. Hasil Pemeriksaan
1.) Normal
Anatomi dan warna mukosa yang normal. Tidak ada massa atau polip,
tidak ada rhinorrheae, free meatus, dan hemoragik. Permeabilitias baik
(2-3 mm).
2.) Abnormal
Reduksi permeabilitas, anatomi dan warna mukosa yang
abnormal. Terdapat tumor, polip, inflamasi, rhinorrhea,
dan/atau hemoragik.
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Rhinoscopy

Hasil Pemeriksaan Keterangan (Interpretasi)


Left nostrils healthy
rhinoscopy/endoscopic view.
Right inferior turbinate hypertrophy (i.e. allergy
rhinitis).

Left purulent rhinorrhea from middle meatus (acute


or chronic rhinosinusitis)

Left chronic rhinosinusitis with nasal polyps.


Oropharynx
Tujuan : Untuk mengetahui apakah ada abnormalitas pada Orofaring

Cara Pemeriksaan Oropharynx:

1) Minta pasien untuk menjaga kepala mereka lurus.


2) Minta mereka untuk membuka mulut mereka lebar-lebar, menjaga
lidah di dasar mulut.
3) Menyinar cahaya pada lengkungan faring.
4) Pemeriksa sekarang dapat memeriksa lengkungan palatal dan uvula.
Berikan perhatian khusus pada simetri lengkungan palatal dan posisi
uvula. Ini harus diposisikan di tengah dan menggantung lurus ke
bawah. Untuk pemeriksaan ini Pemeriksa dapat menahan lidah
dengan spatula jika perlu, dengan menekan dua pertiga bagian lidah
(dengan lidah di dalam mulut seperti yang dijelaskan di atas
pemeriksa tidak akan menyakiti pasien, karena lidah tidak ditekan ke
gigi, juga tidak akan pemeriksa sentuh situs refleks gag di bagian
belakang lidah).
5) Minta pasien untuk mengatakan "ah" dan periksa apakah lengkungan
palatal bergerak ke atas secara simetris dan apakah uvula berada di
tengah.

Derajat pembesaran tonsil:


1) T1: tonsil tidak melewati pilar faring posterior
2) T2: tonsil melewati pilar posterior namun tidak melewati garis
pertengahan (imajiner antara uvula dan pilar posterior)
3) T3: tonsil mencapai garis pertengahan antara uvula dan pilar
posterior
4) T4: tonsil saling menempel (kissing tonsil) atau mendorong uvula
Gambar 3. Derajat Pembesaran Tonsil
VIII. Kerangka Konsep
IX. Kesimpulan
Laki-laki, 17 tahun mengalami rhinosinusitis akut disebabkan oleh infeksi bakteri.
Daftar Pustaka

1. Adams,G.L.1997.Obat-obatan ototoksik.Dalam:Boies,Buku Ajar Penyakit


THT,hal.129.EGC,Jakarta.
2. Andrianto,Petrus.1986.Penyakit Telinga,Hidung dan Tenggorokan,75-76.EGC,Jakarta
3. Arif, M. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan Media
Aesculapius FKUI.
4. Aring, A. M., & Chan, M. M. (2016). Current Concepts in Adult Acute
Rhinosinusitis. American family physician, 94(2).
5. Ballistrieri, T., Mussato, K., Patophysiology Concepts of Altered Health States.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
6. BP-FKUI. 2012. Buku Ajar THT. Edisi ke 7. FKUI: Indonesia
7. Brevard Ear Nose & Throat Center, P.
https://www.brevardentcenter.com/library/4078/AllergicRhinitis%2CSinusitis%2CandRh
inosinusitis.html?ofc_ada=on 2 April 2019
8. Chris tanto, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius.
9. Chow AW, Benninger MS, Brook I, et al. IDSA clinical practice guideline for acute
bacterial rhinosinusitis in children and adults. Clin Infect Dis. 2012;54(8):1042
10. Cuvillo, A del. (2015) Rhinoscopy / Nasal endoscopy.
http://www.eaaci.org/congresses/eaaci2015/clinical_village/posters/eaaci2015_clinicalvil
lage_station13_nasal.pdf 2 April 2019
11. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
12. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
13. Fokkens W, et al.2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps..
Rhinology , Supplement 20; http://www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
14. Hall, John E. dan Arthur C. Guyton. 2014. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Elsevier.
15. IDSA Guidelines. 2012. Acute Bacterial Rhinosinusitis Treatment in Emergency. IDSA:
America
16. Indonesia, K.K.R., 2011. Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
17. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke- 6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
18. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer [Internet]. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan . Didapat dari: www.depkes.go.id
19. Kumpulan Makalah Simposium “Current and Future Approach in Treatment of Allergic
Rhinitis” kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT FK UI / RSCM, Jakarta,pp.14-18
20. Liew, S. M. (2018). Otorhinolaryngology articles in the Malaysian Family
Physician. Malaysian Family Physician: the Official Journal of the Academy of Family
Physicians of Malaysia, 13(1), 1.
21. Netter FH.2011. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadelphia, PA: Saunders: Elsevier
22. Oropharynx. https://simbrazil.mediviewprojects.org/index.php/the-mouth-a-
oropharynx/inspection-a-palpation-oropharynx 3 April 2019
23. Paulsen, F., & Waschke,. (2013). Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. Penerjemah: Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC.
24. Prastyo, S. J. (2012). Karakteristik Penderita Rinosinusitis Di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan Tahun 2011.
25. Rhinoscopy Anterior. https://simbrazil.mediviewprojects.org/index.php/the-nose/anterior-
rhinoscopy 3 April 2019
26. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar, SS, et al. Clinical Practice Guideline: Adult
Sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. April 2015; 152(S2):s1-s39
27. Sambuda, A., 2008. Korelasi antara rhinitis dengan sinusitis pada pemeriksaan sinus
paranasalis di instalasi radiologi RSUD dr. Moewardi Surakarta (Doctoral dissertation,
Universtas Sebelas Maret).
28. Setiawati, Siti. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
29. Sinusitis. http://www.ucihealth.org/medical-services/ear-nose-throat-ent/nose-sinus-
disorders/sinusitis 2 April 2019
30. Soetirto Indro,Bashiruddin Jenny,Bramantyo Brastho,Gangguan pendengaran Akibat
Obat ototoksik,Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga ,Hidung ,Tenggorok Kepala &
Leher.Edisi IV.Penerbit FK-UI,jakarta 2007,halaman 9-15,53-56.
31. Soetjipto D, 4 E, Wardani RS. 2012.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; hal.118-
122

Anda mungkin juga menyukai