Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu strategi pembelajaran sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) ini adalah Tutorial. Tutorial merupakan pengimplementasian dari
metode Problem Based Learning (PBL). Dalam tutorial mahasiswa dibagi
dalam kelompok-kelompok kecil dan setiap kelompok dibimbing oleh seorang
tutor/dosen sebagai fasilitator untuk memecahkan kasus yang ada.
Pada blok XIII yaitu sistem respirasi dilaksanakan tutorial studi kasus
skenario yang berjudul “Sulitnya Bernafas”, guna melatih kemapuan
mahasiswa.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu :
1. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
2. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Tutor : dr. Noor Zaki
Moderator : Syabrina Afni Mahmuda
Sekretaris Meja : Vinna Ezka Chairunnisa
Waktu : Senin, 11 Mei 2020
Pukul 08.00 – 10.00 WIB
Rabu, 13 Mei 2020
Pukul 08.00 – 10.30 WIB

Peraturan Tutorial:
1. Saling menghormati antar sesama peserta tutorial
2. Menggunakan komunikasi yang baik dan tepat
3. Mengacungkan tangan saat akan mengajukan pendapat
4. Tidak mengaktifkan alat komunikasi selama proses tutorial berlangsung
5. Tepat waktu

2
2.2 Skenario A Blok 13 Angkatan 2018
“Sulitnya Bernafas”
Bpk. Didi, 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD RSMP
dengan keluhan sesak hebat sejak 6 jam yang lalu setelah membersikan kipas angin
yang berdebu. Sesak disertai batuk berdahak, nafas berbunyi dan tidak ada demam.
Bpk. Didi hanya dapat berbicara kata demi kata karena sesak hebat tersebut.
Bpk. Didi sering sesak sejak 10 tahun yang lalu, sesak setelah terhirup bau-
bauan, debu dan pada saat cuaca dingin, dengan frekuensi serangan 3 kali
seminggu. Bpk. didi juga mengeluh sering sesak nafas saat malam dengan frekuensi
2 sampai 3 kali dalam sebulan. Satu tahun terakhir terutama dalam 4 minggu
terakhir ia mengalami sesak setiap hari dan sering terbangun malam hari oleh
karena sesak sehingga ia mengkonsumsi obat pelega asma yang dibeli di warung.
Sesak berkurang bila ia minum obat yang dibeli di warung tersebut. Sesak lebih
sering pada malam dan dini hari.
Satu minggu yang lalu ia melakukan check up rutin tahunan dan dilakukan
spirometry dalam keadaan tidak sesak. Riwayat merokok sejak usia 15 tahun,
sebanyak 1 bungkus/hari. Penderita sering mengalami bersin-bersin bila udara
dingin atau terhirup debu sejak kecil. Ibunya mempunyai riwayat penyakit ekzema.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.
Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum: Tampak sakit berat; Kesadaran kompos mentis; Suhu 36.8°C;
Tekanan darah 120/80 mmHg; Pernapasan 36x/mnt; Nadi 128x/mnt, reguler. BB:
56 Kg, TB: 162 cm.

Keadaan spesifik:

Kepala: normal

Leher: JVP 5-2 cmH20

Dada:

Jantung: dalam batas normal

3
Paru:

Inspeksi : tampak retraksi sela iga

Palpasi dan perkusi : dalam batas normal

Auskultasi: ekspirasi memanjang, rhonki (-) dan whezing inspirasi dan


ekspirasi (+)

Pemeriksaan Penunjang:

Laboratorium : Hb: 12,5 gr%, leukosit: 9100/mm³, diff. count: 0/5/6/70/18/1, LED:
10mm/jam.

Saturasi oksigen: 91%

2.3. Klarifikasi Istilah

Sesak Kondisi akibat tidak terpenuhinya pasokan oksigen


ke paru-paru; ketidaknyamanan dalam inspirasi dan
ekspirasi saat bernapas (Dorland, 2014).
Spirometry Pengukuran kapasitas pernapasan (kapasitas paru-
paru) seperti pada uji fungsi paru.
Ekzema Eczema adalah kondisi kulit yang ruam kemerahan
dan biasanya disertai dengan rasa gatal.
Batuk Berdahak Proses pengeluaran bahan berupa sekret yang
dikeluarkan lewat mulut berasal dari trakea, bronkus
dan paru
Nafas Berbunyi Suara terus menerus, kasar, yang dihasilkan
disaluran pernapasan saat bernafas (dorland, 2014)
Leukosit Sel darah putih; sel darah tidak berwarna yang
mampu bergerak secara ameboid dengan fungsi
utamanya untuk melindungi tubuh terhadap

4
mikroorganisme yang menyebabkan penyakit
(Dorland, 2014).
Wheezing Jenis bunyi kontinu seperti bersiul; suara pernapasan
frekuensi tinggi nyaring yang terdengar di akhir
ekspirasi (Dorland, 2014).
Saturasi Oksigen Persentase hemogkobin yang berikatan dengan
oksigen dalam arteri
Ronki Suara napas tambahan berupa vibrasi terputus-putus
(tidak kontinu) (dorland, 2014).
Asma Serangan dispnea paroksimal berulang disertai
mengi akibat kontraksi spasmodik bronki (dorland,
2014).

2.4 Identifikasi Masalah

1. Bpk. Didi, 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD RSMP


dengan keluhan sesak hebat sejak 6 jam yang lalu setelah membersikan kipas
angin yang berdebu. Sesak disertai batuk berdahak, nafas berbunyi dan tidak
ada demam. Bpk. Didi hanya dapat berbicara kata demi kata karena sesak hebat
tersebut.

2. Bpk. Didi sering sesak sejak 10 tahun yang lalu, sesak setelah terhirup
bau-bauan, debu dan pada saat cuaca dingin, dengan frekuensi serangan 3 kali
seminggu. Bpk. didi juga mengeluh sering sesak nafas saat malam dengan
frekuensi 2 sampai 3 kali dalam sebulan.

3. Satu tahun terakhir terutama dalam 4 minggu terakhir ia mengalami sesak


setiap hari dan sering terbangun malam hari oleh karena sesak sehingga ia
mengkonsumsi obat pelega asma yang dibeli di warung. Sesak berkurang bila
ia minum obat yang dibeli di warung tersebut. Sesak lebih sering pada malam
dan dini hari.

5
4. Satu minggu yang lalu ia melakukan check-up rutin tahunan dan
dilakukan spirometry dalam keadaan tidak sesak. 5. Riwayat merokok sejak
usia 15 tahun, sebanyak 1 bungkus/hari. Penderita sering mengalami bersin-
bersin bila udara dingin atau terhirup debu sejak kecil. Ibunya mempunyai
riwayat penyakit ekzema. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
disangkal.

6. Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum: Tampak sakit berat; Kesadaran kompos mentis; Suhu 36.8°C;
Tekanan darah 120/80 mmHg; Pernapasan 36x/mnt; Nadi 128x/mnt, reguler.
BB: 56 Kg, TB: 162 cm.

Keadaan spesifik:
Kepala: normal
Leher: JVP 5-2 cmH20
Dada:
Jantung: dalam batas normal
Paru:
Inspeksi : tampak retraksi sela iga
Palpasi dan perkusi : dalam batas normal
Auskultasi: ekspirasi memanjang, rhonki (-) dan whezing inspirasi dan
ekspirasi (+)
7. Pemeriksaan Penunjang:

Laboratorium : Hb: 12,5 gr%, leukosit: 9100/mm³, diff. count: 0/5/6/70/18/1,


LED: 10mm/jam.

Saturasi oksigen: 91%

2.5 Prioritas Masalah


Nomor 1 :
Bpk. Didi, 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD RSMP
dengan keluhan sesak hebat sejak 6 jam yang lalu setelah membersikan kipas

6
angin yang berdebu. Sesak disertai batuk berdahak, nafas berbunyi dan tidak
ada demam. Bpk. Didi hanya dapat berbicara kata demi kata karena sesak hebat
tersebut.

Alasan :

Karena jika tidak di tatalaksana dengan baik akan menimbulkan komplikasi


sehingga meningkatkan mortalitas dan morbiditas.

2.6 Analisis Masalah


1. Bpk. Didi, 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke UGD RSMP
dengan keluhan sesak hebat sejak 6 jam yang lalu setelah membersikan kipas
angin yang berdebu. Sesak disertai batuk berdahak, nafas berbunyi dan tidak
ada demam. Bpk. Didi hanya dapat berbicara kata demi kata karena sesak hebat
tersebut.
a. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi pada kasus?
Jawab:
Anatomi Organ Paru
Paru manusia terdiri dari paru kiri dan kanan yang lunak,
berbentuk seperti spons dan sangat elastis. Pada anak-anak, paru
berwarna merah muda tetapi dengan bertambahnya usia warna paru
menjadi lebih gelap dan berbintik-bintik akibat inhalasi partikel debu
yang akan terperangkap di dalam fagosit paru. Organ paru terletak di
kanan dan kiri mediastinum. Masing-masing paru berbentuk kerucut dan
diliputi oleh pleura viseralis, terletak bebas didalam cavum mediastinum
dan masing-masing dilekatkan pada cavum mediastinum dengan radix
pulmonalis. Radix pulmonalis dibentuk oleh alat-alat yang masuk dan
keluar paru yaitu bronkus, arteri dan vena pulmonalis, pembuluh
limfatik, arteri dan vena bronkialis. Radix pulmonalis dikelilingi oleh
selubung pleura yang menghubungkan pleura parietalis pars
mediastinalis denga pleura visceralis yang membungkus paru (Roger.
2011).

7
Paru memiliki area permukaan alveolus seluas 40 m2 untuk
pertukaran udara. Tiap paru memiliki apeks yang mencapai ujung sternal
kosta ke-1 dan basis paru terletak diatas diafragma. Paru kanan sedikit
lebih besar dari paru kiri, dibagi oleh fissura obliqua dan fissura
horizontalis menjadi tiga lobus yaitu lobus superior, lobus medius, dan
lobus inferior. Sedangkan paru kiri dibagi oleh fissura obliqua menjadi
dua lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior (Roger. 2011).
Bronkus dan parenkim paru mendapat perdarahan dari arteri
bronkialis cabang-cabang dari aorta torakalis descenden. Vena
bronkialis, yang juga berhubungan denga vena pulmonalis mengalirkan
darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli menerima darah
terdeoksigenasi dari cabang-cabang arteriae pulmonales. Darah yang
terdeoksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk ke cabang-
cabang vena pulmonalis yang mngikuti jaringan ikat septa
intersegmentalis ke radix pulmonalis. Dua vena pulmonales
meninggalkan setiap radix pulmonis untuk bermuara ke atrium dan
sinistrum cor (Roger. 2011).
Pembuluh limfe berasal dari plexus superficialis dan plexus
profundus, pembuluh-pembuluh ini tidak terdapat pada dinding alveoli.
Semua cairan limfe paru meninggalkan hilum pulmonis mengalir ke nadi
tracheobronchiales dan kemudian masuk ke trunkus limfatikus
bronkomediastinales (Roger. 2011).
Pleksus pulmonales terletak di pangkal tiap paru dan terdiri dari
serabut eferen dan aferen saraf otonom. Plexus dibentuk dari cabang-
cabang trunkus simpatikus dan menerima serabut-serabut parasimpatis
dari nervus vagus. Serabut-serabut eferen simpatis mengakibatkan
bronkodilatasi dan vasokonstriksi. Serabut-serabut eferen parasimpatis
mengakibatkan bronkokonstriksi, vasodilatasi, dan peningkatan sekresi
kelenjar. Impuls aferen yang bersal dari mukosa bronkus dan dari
reseptor regang pada dinding alveoli berjalan ke susunan saraf pusat
dalam sistem saraf simpatis dan parasimpatis (Roger. 2011).

8
Gambar 1. Anatomi Paru
Fisiologi Organ Paru
Sistem respirasi secara fundamental merupakan sarana untuk
menghirup udara, memfasilitasi pertukaran gas dalam udara dengan
suatu cairan (darah) dan akhirnya menghembuskan keluar udara dengan
komposisi berbeda. Fungsi paru yang utama adalah melaksanakan
pertukaran gas antara O2 dan CO2 di membrane respirasi (pada
pernapasan eksterna) dan pada pernapasan interna meliputi
pengangkutan O2 dan CO2 dalam peredaran darah serta utilitas O2 di
jaringan-jaringan dan pembebasan sisa metabolisme CO2 untuk dibuang
keluar tubuh oleh membrane respirasi.
Proses respirasi dibagi atas tiga tahap utama, yaitu:
1. Ventilasi: Peristiwa masuk dan keluarnya udara kedalam paru
(inspirasi dan ekspirasi).
2. Difusi: Perpindahan oksigen (O2) dari alveoli ke dalam darah dan
diikat oleh Hemoglobin (Hb) menjadi senyawa Oksi-Hb dan
karbondioksida (CO2) lepas dari ikatan karbomino keluar dari darah ke
alveoli.
3. Perfusi: Distribusi Oksi-Hb dalam darah ke jaringan seluruh tubuh dan
CO2 dari jaringan ke alveoli paru.

9
Fungsi lain dari sistem respirasi adalah fungsi fenosi (bicara), pertahanan
tubuh oleh paru dan saluran napas, fungsi keseimbangan asam-basa dan
keseibangan air (Bakhtiar, 2018).
Sistem respirasi atau pernapasan tidak hanya memiliki fungsi
respiratorik saja, tetapi juga menjalankan fungsi nonrespiratorik yaitu
sebagai rute mengeluarkan air dan panas, meningkatkan aliran balik
vena, mempertahankan keseimbangan asam dan basa, sebagai organ
penciuman, berbicara, serta merupakan sistem pertahanan terhadap
benda asing dan sistem pertahanan imunologi tubuh (Roger. 2011).
Partikel yang masuk sistem respirasi yang lebih besar dari 10 µm
akan tertahan di rongga hidung dan partikel berukuran 2 sampai 10 µm
akan tertangkap oleh epitel bersilia yang berlapiskan mukus. Partikel
yang lebih kecil dibersihkan oleh makrofag alveolus. Makrofag akan
menelan partikel debu dan mikroorganisme patogen yang masuk ke
alveoli paru dan bertindak pula sebagai Antigen Precenting Cell (APC).
Sel makrofag akan mensekresikan interleukin, TNF (Tumor Necrosis
Factor) dan kemokin. Interleukin dan TNF akan mengaktifkan sistem
imun sistemik dan kemokin akan menarik sel-sel darah putih ke lokasi
inflamasi (Roger. 2011).
Terjadi proses imunologis rumit dalam jaringan limfoid bronkus,
terutama di kelenjar getah bening yang mengandung limfosit T dan B
yang berinteraksi dengan makrofag paru. Defensin dan cathelicidins
adalah peptida antimikroba yang terdapat di sel epitel dari saluran
respirasi. Neutrofil, limfosit, makrofag dan Natural Killer cell (sel NK)
hadir dalam paru dan bertindak sebagai pertahan terhadap bakteri dan
virus. Komponen penting dari sistem imun disebut BALT (bronchus-
associated lymphatic tissue) (Roger. 2011).

10
Histologi Organ Paru
Sistem pernapasan terdiri atas paru dan saluran pernapasan yang
terdiri dari bagian konduksi dan bagian respiratorik. Bagian konduksi
sistem pernapasan terdiri atas saluran pernapasan ekstrapulmonal
maupun intrapulmonal. Saluran pernapasan ekstrapulmonal terdiri dari
trakea, bronkus dan bronkiolus besar. Bronkiolus merupakan saluran
pernapasan intrapulmonal dan bagian akhir dari saluran konduksi.
Bagian respiratorik terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolus,
sakus alveolaris dan alveoli (Roger. 2011).
Histologi bronkus intrapulmonal mirip dengan histologi trakea
dan bronkus ekstrapulmonal, akan tetapi bronkus intrapulmonal
diidentifikasi oleh adanya lempeng tulang rawan hialin. Bronkus juga
dilapisi oleh epitel bertingkat semu silindris bersilia dengan sel goblet.
Dinding bronkus intrapulmonal terdiri dari lamina propia yang tipis,
lapisan tipis otot polos, submukosa dengan kelenjar bronkialis, lempeng
tulang rawan hialin, dan adventisia. Bronkus intrapulmonal bercabang
menjadi bronkiolus yang tulang rawan di sekitar bronkus berkurang
(Roger. 2011).
Bronkiolus berdiameter 5mm atau kurang, tidak memiliki tulang
rawan atau kelenjar dalam mukosanya, hanya sebaran sel goblet di dalam
epitel segmen awal. Bronkiolus dilapisi epitel bertingkat silinder bersilia
yang semakin memendek dan sederhana sampai menjadi epitel selapis
silinder bersilia atau epitel selapis kuboid pada bronkiolus terminalnya.
Epitel bronkiolus terminal mengandung sel Clara yang tidak mimiliki
silia dan memiliki granul sekretori di dalam apeksnya. Sel Clara
diketahui menyekresi protein yang melindungi lapisan bronkiolus
terhadap polutan oksidatif dan inflamasi (Roger. 2011).
Bronkiolus terminalis bercabang menjadi dua atau lebih
bronkiolus respiratorius. Mukosa bronkiolus respiratorius secara
struktural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis. Bagian
bronkiolus respiratorius dilapisi epitel kuboid bersilia dan sel Clara,

11
dindingnya diselingi oleh banyak alveolus yang semakin ke distal
jumlahnya semakin banyak. Otot polos dan jaringan ikat elastis terdapat
di bawah epitel bronkiolus respitorius (Roger. 2011).
Duktus alveolaris merupakan kelanjutan dari bronkiolus
respiratorius dengan alveoli yang bermuara ke dalamnya. Alveoli
merupakan suatu invaginasi kecil yang dilapisi oleh selapis tipis sel
alveolus gepeng atau sel pneumosit tipe 1. Alveoli yang berdekatan
dipisahkan oleh septum intraalveolaris atau dinding
alveolus yang terdiri dari sel alveolus selapis gepeng, serat jaringan ikat
halus dan kapiler. Alveoli juga mengandung makrofag alveolaris dan
juga ditemukan sel alveolus besar atau pneumosit tipe 2. Struktur pada
dinding alveoli dikhususkan untuk difusi antar lingkungan eksterna dan
interna, sehingga berlangsung pertukaran oksigen dan karbondioksida
antara udara dengan darah (Roger. 2011).

Gambar 2. Histologi Paru

b. Apa makna Bpk. Didi, 30 tahun seorang karyawan swasta datang ke


UGD RSMP dengan keluhan sesak hebat sejak 6 jam yang lalu setelah
membersikan kipas angin yang berdebu. Sesak disertai batuk berdahak,
nafas berbunyi dan tidak ada demam?
Jawab:
Makna keluhan sesak sejak 6 jam yang lalu setelah membersihkan
kipas angin yang berdebu adalah telah terjadi bronkokostriksi. Terjadi

12
bronkokonstriksi serta bersin atau batuk yang mampu mengurangi
penetrasi debu dan gas toksik ke dalam saluran napas (Darmawan, 2013).
Makna keluhan sesak disertai batuk berdahak dan nafas berbunyi,
adanya penyempitan saluran nafas atau bronkokonstriksi dan
hipersekresi mukus sehingga menjadi batuk berdahak dan udara batuk
yang dikeluarkan sedikit tertahan dan menyebabkan nafas berbunyi.

Makna tidak ada demam berarti menyingkirkan kemungkinan


penyakit PPOK (Price dan wilson, 2012).

c. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pada kasus?
Jawab:
a. laki-laki lebih banyak terpapar penyakit asma bronkhial, hal ini di
sebabkan karena laki-laki cenderung memiliki beban kerja yang
lebih berat, gaya hidup yang tidak tepat. Selain itu, merokok juga
dapat memicu terjadinya kekambuhan penyakit asma bronkhia
b. Usia pasien terbanyak pada rentang 40 – 60 tahun karena pada usia
tersebut pasien asma dapat menderita asma sejak masa anak atau
remaja yang berlangsung terus atau timbul setelah periode remisi
tetapi dapat juga terjadi pada dewasa tua atau lebih dari 65 tahun
(Andriani et al., 2019)

d. Apa kemungkinan penyakit sesak?


Jawab:
Kemungkinan penyakit dengan gejala sesak yaitu :
• Penyakit paru obstruktif
• Gagal jantung
• Edema paru
• Pneumonia
• Acute respiratory distress syndrome (ARDS) (McCance, 2017).

13
1. Gangguan Respirasi
a. Asma bronkial - Penyebabnya adalah peradangan kronis
pada saluran udara yang menyebabkan obstruksi jalan napas yang
bervariasi. Para pasien mengeluh sering terserang sesak napas, sering
juga di malam hari. Beberapa alergi mungkin ada. Faktor pencetus
dapat termasuk iritasi pernafasan, paparan alergen, olahraga, perubahan
cuaca, dan infeksi (saluran pernapasan). Auskultasi mengungkapkan
mengi ekspirasi karena obstruksi.
b. Pneumonia— Dispnea adalah gejala utama pneumonia
terutama pada pasien di atas usia 65 (sekitar 80%) ( 29 ). Nyeri
pleuritik, demam, dan batuk adalah gejala khas yang
menyertai. Pemeriksaan mengungkapkan takipnea, r inspirasi, dan
kadang-kadang pernapasan bronkial. Pengujian laboratorium
(parameter inflamasi; hipoksemia dalam analisis gas darah arteri, dalam
kasus yang parah), rontgen dada, dan dalam beberapa kasus CT dada
sangat membantu secara diagnostik.
c. Emboli paru— Gambaran klinis emboli paru akut sering
ditandai dengan dispnea onset akut. Pasien sering melaporkan nyeri
pleuritik dan terkadang mengalami hemoptisis. Pemeriksaan
mengungkapkan pernapasan dangkal dan takikardia. Seringkali ada
bukti trombosis vena dalam pada ekstremitas bawah sebagai sumber
emboli paru (Berliner, 2016).
2. Gangguan Kardiovaskular
a. Gagal jantung
b. Kardiomiopati
c. Aritmia
d. Perikarditis
3. Gangguan metabolic
a. Asidosis
(Price & Wilson , 2012)

14
e. Apa saja etiologi dari sesak?
Jawab:
Etiologi sesak napas menurut Loscalzo (2015) adalah :
a. Efek motorik
Gangguan pompa ventilasi terutama peningkatan resistensi saluran
napas atau kekakuan (penurunan komplians) sistem pernapasan
biasanya menyebabkan peningkatan kerja atau upaya napas/sensasi
peningkatan usaha untuk bernapas.
b. Aferen sensorik
Kemoreseptor di badan karotis dan medulla diaktifkan oleh kondisi
hipoksemia, hiperkapnia akut dan asidemia stimulasi reseptor-
reseptor ini, serta reseptor lain yang menyebabkan peningkatan
ventilasi, menimbulkan sensasi kehabisan napas.
c. Integrasi: ketidaksesuaian eferen-reaferen
Ketidaksesuaian atau perbedaan antara pesan feed-forward ke otot
pernapasan dan umpan balik dari reseptor yang memantau response
pompa ventilasi dapat meningkatkan intensitas dispnea. Hal ini
penting, terutama ketika terjadi gangguan mekanis pompa ventilasi,
misalnya pada asma atau penyakit paru obstruksi kronik.
d. Rasa cemas
Kecemasan akut dapat meningkatkan keparahan dispnea baik
dengan mengubah interpretasi data sensorik maupun dengan
menyebabkan pola bernapas yang memperparah kelainan fisiologis
di sistem pernapasan.

f. Bagaimana mekanisme sesak disertai batuk berdahak, nafas berbunyi dan


tidak ada demam?
Jawab:
Tidak ada demam menandakan sesak bukan dikarenakan adanya
infeksi dari bronkus (bukan karena pengeluaran IgG atau IgM).

15
Mekanisme sesak:
Faktor genetik & lingkungan → terjadi proses sensitifisasi (keadaan bila
tubuh pertama kali terpajan pemicu yaitu alergen) → alergen berikatan
dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast → mengeluarkan
mediator inflamasi (histamin, bradikinin, leukotrien, dan faktor
kemotatik eosinofil) → terjadi proses inflamasi, spasme otot polos
bronkus (bronkospasme) dan hipersekresi mukus → edema mukosa
bronkus dan lumen bronkus menyempit (bronkokontriksi) → tekanan
saluran napas meningkat → ekspirasi terhambat → tekanan intratorakal
meningkat sebagai upaya kompensasi untuk mendorong udara keluar dan
terjadi obstruksi lumen bronkus → ekpirasi paksa → terjadi gangguan
pertukaran masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida → Sesak
napas.
Mekanisme batuk berdahak:
Faktor genetik & lingkungan → terjadi proses sensitifisasi (keadaan bila
tubuh pertama kali terpajan pemicu yaitu alergen) → alergen berikatan
dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast → mengeluarkan
mediator inflamasi (histamin, bradikinin, leukotrien, dan faktor
kemotatik eosinofil) → terjadi proses inflamasi, spasme otot polos
bronkus (bronkospasme) dan hipersekresi mukus → edema mukosa
bronkus dan lumen bronkus menyempit (bronkokontriksi) → tekanan
saluran napas meningkat → tubuh mengkompensasi untuk mengeluarkan
benda asing → mukus merangsang reseptor batuk (trakea, laring,
bronkus dan pusat batuk Carina) → memberi rangsangan medulla
oblongata → menimbulkan reaksi saraf aferen ke otot-otot pernapasan
→ Batuk dan bercampur mukus menjadi batuk berdahak.
Mekanisme napas berbunyi:
Faktor genetik & lingkungan → terjadi proses sensitifisasi (keadaan
bila tubuh pertama kali terpajan pemicu yaitu alergen) → alergen
berikatan dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast →
mengeluarkan mediator inflamasi (histamin, bradikinin, leukotrien, dan

16
faktor kemotatik eosinofil) → terjadi proses inflamasi, spasme otot polos
bronkus (bronkospasme) dan hipersekresi mukus → edema mukosa
bronkus dan lumen bronkus menyempit (bronkokontriksi) → obstruksi
berat saat ekspirasi → ekspirasi memanjang → sesak napas → terdengar
bunyi saat napas karena udara dipaksa melalui saluran napas yang kecil
dan sempit → terdengar wheezing.
(Silbernagl & Lang, 2016)

g. Apa saja macam macam sesak?


Jawab:
Sesak nafas dapat dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan
keadaan pasien, yaitu (Lighezan, 2006):
1. Deefort dyspnea, yaitu sesak yang timbul saat bekerja dan hilang
saat istirahat.
2. Ortopnea, yaitu, yaitu sesak yang timbul saat baring dan hilang saat
tegak.
3. Dypsnea deeropost, yaitu sesak yang timbul saat duduk istirahat.
4. Paroksimal noktural dyspnea (PND) adalah sesak nafas timbul
pada saat malam hari, pada waktu tidur.
5. Asma cardial adalah sesak nafas timbul akibat adanya gagal
jantung kiri, sehingga terjadi pembendungan pada paru
mengakibatkan oedem paru dan kongestif kapiler serta transudasi
cairan ke dalam alveoli.
(Lighezan, 2006)
Berdasarkan onset:
a. Dyspnea acute: kurang dari 1 bulan, biasanya akibat penyakit
pernafasan, penyakit jantung, trauma dada, dan obstruksi mekanis)
b. Dyspnea chronic: lebin dari 1 bulan, biasanya akibat penyakit asma
menahun, PPOK, emfisema, inflamasi kronis paru, dan tumor)
(Sundaru & Sukamto, 2014)

17
h. Bagaimana derajat sesak?
Jawab:
(Andayani et al., 2014)
TINGKAT SESAK
GAMBARAN KLINIS
NAPAS
• Tidak ada hambatan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari
I
• Sesak napas terjadi bila melakukan aktivitas
berat
• Mulai sesak napas tiap melakukan aktivitas
II
biasa seperti naik tangga
• Sesak napas saat mandi, berpakaian, tetapi
masih dapat melakukan kegiatan tanpa
III
bantuan orang lain
• Tidak timbul saat istirahat
• Bergantung pada orang lain ketika
melakukan kegiatan
IV
• Sesak napas belum tampak saat sedang
beristirahat
• Membatasi diri dalam segala hal,
V bergantung pada orang lain
• Menghabiskan banyak waktu di tempat tidur

i. Apa makna bpk. Didi hanya dapat berbicara kata demi kata karena sesak
hebat tersebut?
Jawab:
Makna dari bpk. Didi hanya dapat berbicara kata demi kata karena
sesak hebat menunjukkan bahwa klasifikasi asma yang didertita bapak
Didi yaitu tipe yang berat menurut klasifikasi asma berdasarkan derajat
serangan (McCance. 2017).

18
2. Bpk. Didi sering sesak sejak 10 tahun yang lalu, sesak setelah terhirup
bau-bauan, debu dan pada saat cuaca dingin, dengan frekuensi serangan 3 kali
seminggu. Bpk. didi juga mengeluh sering sesak nafas saat malam dengan
frekuensi 2 sampai 3 kali dalam sebulan.

a. Apa makna sering sesak sejak 10 tahun yang lalu, sesak setelah terhirup
bau-bauan, debu dan pada saat cuaca dingin, dengan frekuensi serangan
3 kali seminggu?
Jawab:
Maknanya adalah merupakan faktor resiko timbulnya asma dimana
faktor resiko asma yaitu allergen (debu, bau bauan, bulu hewan) dan
cuaca. Faktor ini akan mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan
gejala-gejala asma yang bersifat menetap ataupun berulang (Antariksa,
2009).
Makna sering sesak sejak 10 tahun yang lalu, sesak setelah terhirup
bau-bauan, debu dan pada saat cuaca dingin, dengan frekuensi serangan
3 kali seminggu yaitu menunjukkan bapak didi menderita asthma kronis
dengan penyebab dari allergen ekstrinsik (McCance. 2017).

b. Apa makna Bpk. Didi juga mengeluh sering sesak nafas saat malam
dengan frekuensi 2 sampai 3 kali dalam sebulan?
Jawab:
Maknanya berdasarkan keluhan tersebut pak didi sedang mengalami
asma persisten ringan dimana salah satunya ditandai dengan:
1. gejala asma malam >2x/bulan;
2. eksaserbasi >1x/minggu, (GINA, 2018).

c. Bagaimana klasifikasi asma menurut derajat serangan dan pada saat


stabil?

19
Jawab:
Selanjutnnya Global Initiative for Asthma (GINA) mengajukan
klasifikasi asma intermitan dan persisten ringan, sedang dan berat. Baru-
baru ini, GINA melakukan klasifikasi asma menjadi :
1. Asma terkontrol
2.Asma terkontrol Sebagian
3. Asma tidak terkontrol, berdasarkan gejala siang/ malam, aktivitas,
pemakaian obat penjaga, serta eksasebasi.
(Sudoyo, 2015).

Table 2. klasifikasi derajat asma berdasar gambaran klinis secara umum

(GINA, 2018)

20
Tabel 3. klasifikasi asma menurut derajat serangan

(GINA, 2018)

d. Apa hubungannya terhirup bau bauan, debu dan cuaca dingin dengan
sesak?
Jawab:
Hubungan terhirup bau-bauan, debu dan cuaca dingin dengan sesak
yaitu merupakan etiologi dari asma yang berasal dari environmental
allergens (Kowalak, 2017).

e. Bagaimana mekanisme sesak setelah terhirup bau-bauan, debu dan pada


saat cuaca dingin?
Jawab:
Penderita menghirup alergen (debu, bau dan udara dingin) → terjadi
fase sensitisasi → antibodi IgE meningkat → Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast → sel Mast
berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator → Beberapa
mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor

21
kemotaktik eosinofil dan bradikinin → edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus → tekanan saluran napas meningkat →
ekspirasi terhambat → tekanan intratorakal meningkat sebagai upaya
kompensasi untuk mendorong udara keluar dan terjadi obstruksi lumen
bronkus → ekpirasi paksa → terjadi gangguan pertukaran masuknya
oksigen dan keluarnya karbon dioksida → Sesak napas.
(Silbernagl & Lang, 2016).

3. Satu tahun terakhir terutama dalam 4 minggu terakhir ia mengalami sesak


setiap hari dan sering terbangun malam hari oleh karena sesak sehingga ia
mengkonsumsi obat pelega asma yang dibeli di warung. Sesak berkurang bila
ia minum obat yang dibeli di warung tersebut. Sesak lebih sering pada malam
dan dini hari.
a. Apa makna Satu tahun terakhir terutama dalam 4 minggu terakhir ia
mengalami sesak setiap hari dan sering terbangun malam hari oleh karena
sesak sehingga ia mengkonsumsi obat pelega asma yang dibeli di
warung?
Jawab:
Makna 1 tahun terakhir terutama 4 minggu terakhir menandakan
progesivitas asma yaitu dari persisten sedang menuju ke persisten berat
dokter (GINA, 2018).
Artinya keterbatasan aliran udara yang terjadi tidak seluruhnya
reversible yang mana merupakan ciri dari PPOK yang irreversible atau
parsial reversible. Berbeda dengan asma yang saat diberikan obat asma
atau obat yang memperbaiki obstruksi saluran nafas akan reversible
atau hilang sampai tuntas. Hal ini berarti menyingkirkan diagnosis
asma (Khairani, 2013).
.

22
b. apa saja kemungkinan obat yang dikonsumsi oleh bpk. Didi?
Jawab:
Kemungkinan obat yang dibeli di warung yaitu jenis obat golongan: .
1. brokodilator
2. kortikostroid
3. leukotriene modifiers
4. ipratopium (atrovent)
5. teofilin
6. teobromin
7. kafein
(Junaidi, Iskandar, 2010)
Bronkodilator bekerja terutama pada otot polos saluran napas untuk
mengatasi bronkokonstriksi pada asma. Hal ini cepat meredakan gejala
tetapi tidak atau hanya sedikit berefek pada proses peradangan yang
mendasari penyakit. Karena itu, bronkodilator kurang memeadai untuk
mengontrol asma pada pasien yang gejalanya persisten. Terdapat tiga
kelas bronkodilator yang saat ini digunakan : agonis beta 2 adrenergik,
antikolinergik, dan teofilin; dari ketiganya, agonis beta 2 sejauh ini
adalah yang paling efektif.
Sintesis:
Cara kerja. Efek utama agonis beta 2 mengaktifkan reseptor adrenergik
beta 2 yang tersebar luas di saluran napas. Reseptor beta 2 dikatikan oleh
protein G stimulatorik ke adenilil siklase, yang menyebabkan

23
peningkatan adenosin monofosfat siklik intrasel dan hal ini
menyebabkan relaksasi otot polos dan inhibisi sel radang tertentu,
terutama sel mast.
Penggunaan klinis agonis beta 2, biasanya diberikan secara inhalasi
untuk mengurangi efek samping. Agonis beta 2 kerja singkat (short
acting beta 2 agonists, SABA) misalnya albuterol dan terbutalin memiliki
lama kerja 3-6 jam. Kedua obat ini memiliki awitan bronkodilatasi yang
cepat dan karenananya digunakan sesuai kebutuhan untuk meredakan
gejala.
Efek samping agonis beta 2 biasanya tidak menimbulkan masalah jika
diberikan secara inhalasi. Efek samping tersering adalah tremor otot dan
palpitasi, yang lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia. Terjadi
sedikit penurunan kada kalium plasma karena meningkatnya penyerapan
oleh sel-sel otot rangka tetapi efek ini biasanya tidak menyebabkan
masalah klinis (Loscalzo, 2015).

c. Apa makna Sesak berkurang bila ia minum obat yang dibeli di warung
tersebut?
Jawab:
Maknanya bahwa obat yang dibeli diwarung hanya bekerja sebagai
reliver atau pelega yang kerjanya singkat berupa merelaksasi otot polos
bronkus (beta-2 agonis) seperti yang telah dibahas. Untuk cara kerja dari
bronkodilator sendiri yaitu, Efek utama agonis beta 2 mengaktifkan
reseptor adrenergik beta 2 yang tersebar luas di saluran napas. Reseptor
beta 2 dikatikan oleh protein G stimulatorik ke adenilil siklase, yang
menyebabkan peningkatan adenosin monofosfat siklik intrasel dan hal
ini menyebabkan relaksasi otot polos dan inhibisi sel radang tertentu,
terutama sel mast (Farmakologi UI, 2019).

d. Bagaimana makna dan mekanisme Sesak lebih sering pada malam dan
dini hari?

24
Jawab:
Penderita menghirup alergen (udara digin pada saat malam
dan dini hari) → terjadi fase sensitisasi → antibodi IgE meningkat →
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel
mast → sel Mast berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator
→ Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien,
faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin → edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan
spasme otot polos bronkiolus → tekanan saluran napas meningkat →
ekspirasi terhambat → tekanan intratorakal meningkat sebagai upaya
kompensasi untuk mendorong udara keluar dan terjadi obstruksi lumen
bronkus → ekpirasi paksa → terjadi gangguan pertukaran masuknya
oksigen dan keluarnya karbon dioksida → Sesak napas.
(Silbernagl & Lang, 2016).

4. Satu minggu yang lalu ia melakukan check-up rutin tahunan dan


dilakukan spirometry dalam keadaan tidak sesak.
a. Apa makna Satu minggu yang lalu ia melakukan check-up rutin tahunan
dan dilakukan spirometri dalam keadaan tidak sesak?
Jawab:
Makna satu minggu yang lalu ia check-up dan dilakukan
spirometri,dalam keadaan tidak sesak maknanya adalah tindakan
pemeriksaan yang dilakukan dokter telah benar penegakan diagnosis
asma dibantu oleh spirometri yang bertujuan untuk mengukur efektivitas
dan kecepatan paru dalam mengisi dan mengosongkan udara, dengan
salah satu syaratnya yaitu posisi pasien sedang tidak dalam keadaan sesak
nafas (Pierce, 2012).

b. Bagaimana prosedur spirometri?


Jawab:

25
Sebelum melakukan pemeriksaan, yang terlebih dahulu dilakukan
adalah:
1. Mempersiapkan alat yang dipakai secara benar, termasuk kalibrasi
alat-alat, masa atau waktu yang diperlukan untuk pengaliran gas telah
dilakukan sesuai pentunjuk yang diberikan.
2. Ukur tinggi badan, berat badan dan usia serta jenis kelamin, suku
bangsa karena ini akan dimasukkan dalam pendataan komputer pada alat
spirometer untuk memperoleh nilai prediksi. Bila penderita dalam
keadaan berbaring tinggi badan ditentukan dengan mengukur panjang
kedua lengan yang direntangkan kesamping.
3. Penderita diberi petunjuk dan cara melakukan manuver
pemeriksaan sampai penderita melaksanakan peragaan dengan benar
(Bakhtiar, 2018).
Prosedur atau tatacara pelaksanaan Spirometri:
1. Persiapan tindakan
a. Alat dan bahan
• Alat spirometri yang telah dikalibrasi untuk volume dan arus
minimal 1 kali dalam seminggu
• Mouth piece sekali pakai.
b. Pasien:
• Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan
• Tidak boleh makan terlalu kenyang, sesaat sebelum pemeriksaan
• Tidak boleh berpakaian terlalu ketat
• Penggunaan bronkodilator kerja singkat minimal 8 jam sebelum
pemeriksaan dan 24 jam untuk bronkodilator kerja panjang.
• Massukkan data ke dalam alat spirometri, data berikut :
o Identitas diri (Nama)
o Jenis kelamin
o Umur
o Berat badan
o Tinggi badan

26
o Suhu ruangan
• Ruang dan fasilitas:
o Ruangan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik
o Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh <17°C atau
>40°C
o Pemeriksaan terhadap pasien yang dicurigai menderita
penyakit infeksi saluran napas dilakukan pada urutan
terakhir dan setelah itu harus dilakukan tindakan
antiseptik pada alat
2. Prosedur Tindakan
• Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian ditentukan besar
nilai dengan berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile
Project Indonesia
• Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi berdiri
• Penilaian meliputi pemeriksaan VC, FVC, FEV1, MVV:
Kapasitas Vital (Vital Capasity, VC)
o Pilih pemeriksaan kapasitas vital pada alat spirometri
o Menerangkan manuver yang akan dilakukan
o Pastikan bibir pasiem menghirup udara sebanyak
mungkin (inspirasi ) kemudian udara dihembuskan
(ekspirasi) sebnyak mungkin melalui mouthpiece
o Manuver dilakukan minimal 3 kali
Kapasitas Vital Paksa (FVC) dan Volume Ekspirasi Paksa detik
pertama (FEV1)
o Pilih pemriksaan FVC pada alat spirometri
o Menerangkan manuver yang akan dilakukan
o Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouthpiece
sehungga tidak ada kebocoran
o Instruksikan pasien melakukan inspirasi maksimal dan
sesegera mungkin melakukan ekspirasi melalui mouth

27
piece dengan tenanga maksimal hingga udara dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya
o Nilai FEV1 ditentukan dai FEV dalam 1 detik pertama
o Pemeriksaan dilakukan 3 kali.
Maksimal Voluntary Ventilation (MVV)
o Pilih pemriksaan MVV pada alat spirometri
o Menerangkan manuver yang akan dilakukan
o Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling muoth piece
sehingga tidak ada kebocoran
o Instruksikan pasien bernapas cepat dan dalam selama 15
detik
o Manuver dilakukan 1 kali
• Menampilkan hasil di layar spirometri dan mencetak hasil grafik
• Menentukan interpretasi hasil uji faal paru (Unhas, 2015)

c. Bagaimana klasifikasi gangguan fungsi paru berdasarkan spirometri?


Jawab:

Nilai FEV, yang banyak dipakai adalah FEV1/FVC, abnormal bila


<80% Parameter ini sangat penting karena tingkat akurasi untuk
obstruksi di sentral airway cukup besar. FEV1/FVC akan normal apabila
FVC nya sangat rendah. Klasifikasi gangguan fungsi paru berdasarkan
spirometry dapat dilihat pada tabel. (Bakhtiar,2017).

28
(Uyainah, A et all. 2014).

d. Apa saja indikasi dan kontraindikasi dari pemeriksaan spirometri?


Jawab:
• Ada beberapa indikasi dilakukan spirometri, antara lain:
1. Menilai status faal paru yaitu menentukan apakah seseorang
mempunyai faal paru normal, hiperinflasi, obstruksi, restriksi atau
bentuk campuran.
2. Menilai manfaat pengobatan yaitu menentukan apakah suatu
pengobatan memberikan perubahan terhadap nilai faal paru
3. Evaluasi penyakit yaitu menilai laju perkembangan penyakit
terdapat perbaikan atau perubahan nilai faal paru.
4. Menentukan prognosis yaitu meramalkan kondisi penderita
selanjutnya dengan melihat nilai faal paru yang ada.
5. Menentukan toleransi tindakan bedah
6. Menentukan apakah seseorang mempunyai risiko ringan, sedang
atau berat pada tindakan bedah.

29
Menentukan apakah dapat dilakukan tindakan reseksi paru (Uyainah
A, 2014)
• Indikasi spirometri dibagi dalam 4 manfaat, yaitu:
1. Diagnostik: evaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, atau
hasil laboratorium yang abnormal; skrining individu yang
mempunyai risiko penyakit paru; mengukur efek fungsi paru pada
individu yang mempunyai penyakit paru; menilai risiko preoperasi;
menentukan prognosis penyakit yang berkaitan dengan respirasi dan
menilai status kesehatan sebelum memulai program latihan.
2. Monitoring: menilai intervensi terapeutik, memantau perkembangan
penyakit yang mempengaruhi fungsi paru, monitoring individu yang
terpajan agen berisiko terhadap fungsi paru dan efek samping obat
yang mempunyai toksisitas pada paru.
3. Evaluasi kecacatan/kelumpuhan: menentukan pasien yang
membutuhkan program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan
hukum.
Kesehatan masyarakat: survey epidemiologis (skrining penyakit
obstruktif dan restriktif) menetapkan standar nilai normal dan
penelitian klinis (Uyainah, 2014).
• Kontraindikasi Spirometri:
Kontraindikasi spirometry terbagi dalam kontra indikasi absolut dan
relatif. Kontraindikasi absolut meliputi:
1. Peningkatan tekanan intracranial
2. Space Occupying Leston (SOL) pada otak
3. Ablasio retina, dll
Kontraindikasi relatif, antara lain:
1. Hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya
2. Pneumotoraks
3. Angina pektoris tidak stabil
4. Hernia Skrotalis
5. Hernia inguinalis

30
6. Hernia umbilicalis
7. Hernia Nucleous Pulposus (HNP) tergantung derajat keparahan, dll
(ZN, 2014).
Kontra indikasi Spirometri terbagi dalam kontra indikasi
absolute dan relatif. Kontra indikasi absolute meliputi: Peningkatan
tekanan intrakranial, space occupying lesion (SOL) pada otak, ablasio
retina, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk dalam kontra indikasi
relative antara lain: hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya,
pneumotoraks, angina pectoris tidak stabil, hernia skrotalis, hernia
inguinalis, hernia umbilikalis, Hernia Nucleous Pulposus (HNP)
tergantung derajat keparahan, dan lain-lain (Uyainah, 2014).

5. Riwayat merokok sejak usia 15 tahun, sebanyak 1 bungkus/hari.


Penderita sering mengalami bersin-bersin bila udara dingin atau terhirup debu
sejak kecil. Ibunya mempunyai riwayat penyakit ekzema. Riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga disangkal.

a. Apa makna Bpk. Didi memiliki riwayat merokok sejak usia 15 tahun,
sebanyak 1 bungkus/hari?
Jawab:
Maknanya, merupakan faktor resiko terjadinya asma. Asap rokok
dapat memicu inflamasi pada saluran napas. Nikotin dalam tembakau
berkaitan dengan efek immunomodulator sekunder dari fungsi
eosinophil, dengan menghambat pelepasan proinflamasi sitokin dari
makrofag. Airway remodelling juga terjadi lebih parah pada penderita
asma. Asap rokok menunjukkan kesamaan IgE antibodi spesifik dengan
tungau debu rumah. Jadi, terdapat kemungkinan bahwa paparan asap
rokok dapat memicu respon imunologis terhadap allergen pada penyakit
asma (Aryanto, 2014).
Merokok akan mempengaruhi inflamasi dan peningkatan
permeabilitas epitel saluran pernapasan sehingga dapat menurunkan

31
fungsi paru dan meningkatkan faktor resiko timbulnya penyakit asma.
(Thomson et,al , 2010).

b. Apa makna bpk. Didi sering mengalami bersin-bersin bila udara dingin
atau terhirup debu sejak kecil?
Jawab:
Makna nya bahwa bapak didi menderita rhinitis alergi. Rhinitis
alergi merupakan radang selaput lendir hidung yang disebabkan oleh
proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi oleh rekasi
hipersensitivitas tipe 1, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin, rinore
encer dan hidung tersumbat yang reversible secara spontan maupun
dengan pengobatan (Alsagaff H, 2010).
Bersin-bersin bila udara dingin/terhirup debu sejak kecil
kemungkinan dikarenakan rhinitis alergi. Dimana 70% penderita asma
juga mengalami rhinitis alergi. Rhinitis sering mendahului asma,
sebagian besar penderita asma yaitu 75% asma alergi dan 80% asma non
alergi mempunyai gejala rhinitis alergi musiman.

c. Apa makna ibunya nemiliki riwayat penyakit ekzema?


Jawab:
Maknanya, riwayat penyakit ekzema yang dialami oleh ibunya
merupakan faktor presipitasi dari penyakit asma bronkial yaitu riwayat
alergi/atopi.
Riwayat Ibu penyakit ekzema merupakan faktor keturunsn yang
berperan dalam penyakit asma. Ibunya mengalami dermatitis atopi yang
berkaitan dengan penyakit asma. Makna mempunyai riwayat penyakit
eczema menandakan bahwa ibu dari bapak didi memiliki atopi yaitu
kecenderungan genetik dalam keluarga untuk terjadinya hipersensitivitas
kulit dan membrane mukosa terhadap bahan dalam lingkungan yang
disertai dengan peningkatan IgE dan perubahan reaktivitas non spesifik
yang menimbulkan penyakit alergi berupa AB (Karnen, dkk. 2009).

32
Riwayat orangtua dengan penyakit atopik telah lama diketahui
menjadi faktor risiko kuat asma pada anak-anak. Penelitian genetik telah
menunjukkan bahwa asma bersifat genetik heterogen, dan telah
mengidentifikasi suatu region yang mengandung ORMDL3 di
kromosom 17q21 yang sangat terkait dengan childhood onset asthma dan
secara signifikan terkait dengan banyaknya transkrip ORMDL3. Hasil ini
telah berhasil direplikasi di kohort childhood onset asthma lainnya.
Dengan demikian, kecenderungan genetic memainkan peran utama
dalam timbulnya asma pada anak usia dini (Yudhawati & Krisdanti,
2019).

d. Apa makna Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal?


Jawab:
Maknanya adalah menyingkirkan bahwa penurunan disebabkan
oleh faktor genetik. penyakit asma bukan dari riwayat keluhan yang sama
yaitu asma, tetapi dari riwayat lain (Wahyudi, A., Yani, Fi., & Erkadius,
2016). Serta bahwa didalam keluarga nya tidak mempunyai riwayat sesak
nafas berat, namun ibu penderita memiliki riwayat ekzima (merupakan
alergi kulit) → memungkinkan riwayat alergi ini lah yang diturunkan
kepada anaknya.

e. Bagaimana mekanisme bersin bila udara dingin dan terhirup debu?


Jawab:
Faktor pencetus (debu dan udara dingin) → alergen terpapar dalam tubuh
→ alergen berikatan dengan IgE → melepaskan mediator inflamasi
(histamin, eosinofil, bradikinin) → bronkospasme, edema mukosa,
hipersensitifitas mukus, dan inflamasi → kompensasi tubuh oleh sistem
imun non spesifik di hidung → bulu (silia) pada hidung akan memfiltrasi
dan mengeluarkan benda asing → Bersin.
(Silbernagl & Lang, 2016).

33
6. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Tampak sakit berat; Kesadaran kompos mentis; Suhu
36.8°C; Tekanan darah 120/80 mmHg; Pernapasan 36x/mnt; Nadi 128x/mnt,
reguler. BB: 56 Kg, TB: 162 cm.

Keadaan spesifik:
Kepala: normal
Leher: JVP 5-2 cmH20
Dada:
Jantung: dalam batas normal
Paru:
Inspeksi : tampak retraksi sela iga
Palpasi dan perkusi : dalam batas normal
Auskultasi: ekspirasi memanjang, rhonki (-) dan whezing inspirasi dan
ekspirasi (+)
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik?
Jawab:

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Fisik Pemeriksaan
Keadaan umum Tampak sakit Tidak tampak Sakit Berat
berat sakit
Keadaan Kompos mentis Komposmentis Normal
Suhu 36.8oC 36,8-37,5 C Normal
Tekanan darah 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
Pernafasan 36x/m 12-24 x/menit Takipneu
Nadi, reguler 128x/menit, 60-100x/menit Takikardi
regular
BB dan TB BB: 56 kg, TB: Normal: 18.5- Normal
(IMT) 162 cm 24.99
Obesitas 1: 25-
29.99

34
IMT = Obesitas 2: 30-
BB(kg)/TB(m2) = 39.99
21,33

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi


Fisik Pemeriksaan
Kepala Normal Normal Normal
Leher JVP 5-2 cmH2O JVP 5-2 cmH2O Normal
Dada : Dalam Batas Dalam Batas Normal
Jantung Normal Normal
Paru : Retraksi sela iga Normal Pelebaran di
Inspeksi Sela Iga
Palpasi dan Dalam Batas Dalam Batas Normal
Perkusi Normal Normal
Auskultasi Ekspirasi Normal Suara nafas
memanjang dan tambahan
wheezing

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?


Jawab:
Mekanisme Takipneu dan Takikardi:
Terpapar faktor pencetus → fase sensitisasi (alergen terpapar dalam
tubuh) → alergen berikatan dengan IgE → melepaskan mediator
inflamasi yaitu histamin → terjadi bronkospasme → lumen bronkus
menyempit (bronkokontriksi) → suplai oksigen yang masuk menurun →
kompensasi tubuh menaikkan laju pernapasan → RR meningkat →
Takipneu → tubuh merespon sebagai keadaan stress → sekresi hormon
adrenalin → vasokontriksi → HR meningkat → Takikardi.
(Silbernagl & Lang, 2016).

35
Mekanisme napas berbunyi:
Faktor genetik & lingkungan → terjadi proses sensitifisasi (keadaan
bila tubuh pertama kali terpajan pemicu yaitu alergen) → alergen
berikatan dengan antibody IgE yang melekat pada sel mast →
mengeluarkan mediator inflamasi (histamin, bradikinin, leukotrien, dan
faktor kemotatik eosinofil) → terjadi proses inflamasi, spasme otot polos
bronkus (bronkospasme) dan hipersekresi mukus → edema mukosa
bronkus dan lumen bronkus menyempit (bronkokontriksi) → obstruksi
berat saat ekspirasi → ekspirasi memanjang → sesak napas → terdengar
bunyi saat napas karena udara dipaksa melalui saluran napas yang kecil
dan sempit → terdengar wheezing → otot daerah dada berkontraksi
karena tekanan dalam paru meningkat → retraksi sela iga.
(Silbernagl & Lang, 2016).

7. Pemeriksaan Penunjang:

Laboratorium : Hb: 12,5 gr%, leukosit: 9100/mm³, diff. count: 0/5/6/70/18/1,


LED: 10mm/jam. Saturasi oksigen: 91%

a. Apa interpretasi dari pemeriksaan laboratorium?


Jawab:
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
Penunjang Pemeriksaan
Hb 12,5 gr% 13-18 gr% Normal
Leukosit 9100 /mm3 4000-10000/mm3 Normal
Diff.Count 0/5/6/70/18/1 Basophil 0-2 Eosinofilia
Eosinofil 1-3
N.Batang 0-12
N.Segmen 36-73
Limfosit 15-45
Monosit 0-11

36
LED 10m/jam 0-15m/jam Normal
Saturasi 91% 95%-99% Penurunan
Oksigen O2
(Kemenkes. 2011)

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan laboratorium?


Jawab:
Penurunan saturasi oksigen :
Alergi → respon imun → proses inflamasi → penimbunan mucus dan
spasme otot polos → penyempitan saluran napas → gangguan difusi gas
di alveoli → suplai oksigen berkurang → saturasi oksigen menurun.
Eosinophilia:
Terpajan alergen → muncul reaksi hipersensitivitas (alergi) → IgE
mengeluarkan histamin, bradykinin dan faktor kemotatik eosinofil →
eosinofilia.
(Silbernagl & Lang, 2016).

8. Pemeriksaan Tambahan:

Spirometri 1 minggu yang lalu


Pemeriksaan Prediksi pre % post % perbaikan

VEP1 3,36 1,68 50 2,52 75 25

KVP 4,072 2,81 69 3,90 96 -

VEP1/KVP 86,95 62,6 72 67,82 78 -

a. Apa interpretasi dari pemeriksaan Tambahan?

Jawab:
Sesuai dengan teori dari Anna Uyainah (2014), Pada obstruksi nilai
VEP1 dan VEP1/KVP nya menurun. Pada retriksi nilai VEP1 menurun

37
sedangkan nilai VEP1/KVP nya normal. Hasil dari pemeriksaan
spirometri menunjukkan:

1. Adanya obstruksi dilihar apabila FEV1 <80%, rasio FEV1/ FVC <
70 %. Parameter ini sangat penting karena tingkat akurasi untuk
obstruksi di sentral airway cukup besar. FEV1/FVC akan normal
apabila FVC nya sangat rendah. Pada kasus ditemukan hasil VEP1 50%
dan ratio FEV1/FVC 62,6%. Maka kesimpulannya adalah obstruksi.

2. Reversibility yaitu perbaikan VEP1 lebih dari atau sama dengan 15%
secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),
atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah
pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Pada kasus hasil
VEP1 pre 50% dan VEP1 post 75% dan perbaikan 25. kesimpulannya
adalah reversibility dan menyingkarkan diagnosis PPOK. Pemeriksaan
spirometri pada PPOK, setelah pemberian inhalasi bronkidilator
peningkatan VEP1 post bronkonya <20%.
Pada kasus ini diagnosisnya berdasarkan hasil spirometri yaitu asma
bronkial.

9. Bagaimana cara mendiagnosis?

Jawab:

• Anamnesis
Keluhan utama: sesak hebat sejak 6 jam yang lalu setelah membersikan kipas
angin yang berdebu
Keluhan tambahan: Sesak disertai batuk berdahak,bersin- bersin bila udara
dingin, nafas berbunyi dan sering sesak nafas saat malam
Riwayat kebiasaan: Riwayat merokok sejak usia 15 tahun, sebanyak 1
bungkus/hari.
Riwayat keluarga: Ibunya mempunyai riwayat penyakit ekzema.

38
• Pemeriksaan fisik, ditemukan:
Keadaan umum: tampak sakit berat
Pernapasan: 36x/menit (Takipneu)
Nadi: 128x/menit,regular (Takikardi)
Inspeksi pada paru: retraksi sela iga (terjadi pelebaran pada sela iga)
Auskultasi pada paru: ekspirasi memanjang dan wheezing (terdapat suara
tambahan ketika bernapas)
• Pemeriksaan laboratorium, ditemukan:
Diff count: 0/5/6/70/18/1 (Eosinophilia)
Saturasi oksigen: 91% (penurunan kadar oksigen)
• Pemeriksaan tambahan (Spirometri), ditemukan:
VEP1: Obstruksi
Nilai pre: 50%
Nilai post: 75%
Perbaikan: 25
KVP: Normal
Nilai pre: 50%
Nilai post: 96%
VEP1/KVP: Normal
Nilai pre: 72%
Nilai post: 78%

10. Bagaimana diagnosis banding pada kasus?


Jawab:
Gejala Asma PPOK Bronkitis Kronik
Bronkial
Sesak + + -
(reversible) (irreversible)
Batuk + + +
(batuk kronik)

39
(batuk (batuk kronik
berdahak) disertai nyeri
dada)
Wheezing + + +
Alergi dingin + - -
Alergi debu + - -
Sesak saat malam + - -
hari
Riwayat Merokok + + +
VEP1 ≥ 20% ≤ 20% -
Takikardi + + -
Otot bantu + - +
pernapasan
(retraksi sela iga)

(Sundaru & Sukamto, 2014)

11. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?


Jawab:
• Foto rontgen dada dan sinar X leher: Dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
• Analisis Gas Darah
• Monitor irama jantung atau EKG
• Uji provokasi bronkus
• Pemeriksaan sputum
• Uji Alergi: Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk
menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen
yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara

40
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak
dapat dilakukan (pada dermographism).
• Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
(Sundaru & Sukamto, 2014)

12. Apa working diagnosis pada kasus?


Jawab: Asma Bronkial Derajat Serangan Berat

a. Definisi
Jawab:
Definisi Asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA, 2018)
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
inflamasi kronik saluran napas. Asma ditandai dengan riwayat gejala
saluran pernapasan seperti wheezing (mengi), sesak napas, dada
terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas dan
disertai dengan hambatan jalan napas ekspirasi yang bervariasi. Variasi
yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti olahraga, paparan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus pada saluran
napas.
Asma Bronkial adalah kelainan yang berupa inflamasi kronik
saluran pernapasan yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang
berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat didada (Astuti, Nurul
Dwi. 2017).
b. Etiologi
Jawab:
Etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti tetapi
berhubungan dengan adanya Riwayat alergi pada penderitanya. Serangan
asma sering dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Selain itu terdapat
peranan faktor genetik yang diturunkan yaitu, kecenderungan
memproduksi antibody jenis IgE yang berlebihan, seseorang yang

41
mempunyai predisposisi memproduksi antibody jenis IgE yang
berlebihan disebut mempunyai sifat atopic. Namun pada penderita asma
yang tidak atopic dan serangannya tidak dipicu pemajanan alergen maka
disebut jenis asma idiosinkratik yang biasanya serangan asma didahului
oleh infeksi saluran napas bagian atas (Djojodibroto, 2014). Beberapa
faktor pemicu dan pencetus asma:
Alergen ekstrinsik meliputi:
• Polen (tepung sari bunga)
• Bulu binatang
• Debu rumah atau kapang
• Bantal kapuk atau bulu
• Zat aditif pangan yang mengandung sulfit
• Zat lain yang menimbulkan sensitasi
Allergen intrinsic meliputi:
• Iritan
• Stress emosi
• Kelelahan
• Perubahan endokrin
• Perubahan suhu
• Perubahan kelembapan
• Pajanan asap yang berbahaya
• Kecemasan
• Factor genetic
(Kowalak. 2017)

c. Epidemiologi
Jawab:
Prevalensi asma bronkial meningkat pada anak maupun dewasa.
Pevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada
dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi pada

42
tiap negara dan bahkan perbedaan juga di dapat antar daerah dalam suatu
negara (Nuari, 2018).
Dinegara berkembang angka kematian asma mencapai lebih 8%
(WHO, 2011). Prevalensi asma pada orang dewasa sekitar 9,5%
sedangkan menurut jenis kelamin sebanyak 9,7% pada perempuan dan
7,2% pada laki-laki (Astuti, 2017).
Di Indonesia, provinsi dengan prevalensi asma tertinggi adalah
provinsi Sulawesi Tengah dengan persentase 7,8% dan Jawa Tengah 4,3
% (Depkes RI, 2013).
Menurut data World health organization pada tahun 2013 angka
kematian akibat penyakit asma bronkhial di Indonesia mencapai 24.773
orang dari total jumlah kematian penduduk dan menempatkan Indonesia
di urutan ke 19 di dunia akibat penyakit asma bronchial dan terdapat 300
juta penduduk di seluruh dunia menderita penyakit asma bronkhial pada
berbagai kelompok usia dan semakin meningkat terutama di negara maju.
Angka mobilitas dan mortalitas terus meningkat baik di Indonesia
maupun di dunia sehingga perlu perhatian yang serius. Dalam
penanganan penyakit ini penyakit asma bronkhial di dunia menduduki
peringkat ke 5 besar sebagai penyebab kematian (Astuti, Rita, dkk.
2018).
d. pathogenesis
Jawab:
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui
dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar
gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.
Asma sebagai Penyakit Inflamasi ema saat ini dipandang sebagai
penyakit inflamasi saluran napas. Infiamasi ditandai dengan adanya kalor
inanas karena vasodilatasi), rubor (kemerahan karena vasodilatasi),
tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor rasa sakit karena rangsangan
sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini
syarat terjadinya radang harus disértai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-

43
sel radang. Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa
membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh
karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan
tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur
saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan
diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen), untuk
selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T
penolong). SelT penolong inilah yang akan memberikan instruksi
melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta
sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-
mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF),
bradikinin, tromboksan (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ
sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus
dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran
napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga
merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi
dan HSN.
Hipereaktivitas Saluran Napas (HSN) Vang membedakan asma
dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien asma yang sangat
peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia
(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik,
selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka
terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir,
tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan
hipereaktivitas saluran napas seseorang yaitu: Inflamasi saluran napas.
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti

44
berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh
fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat
menurunkan derajat HSN dan gejala asma. Kerusakan epitel. Salah satu
konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan
meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan
iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel
epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat
bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan
mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi. Mekanisme
neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf
parasimpatis. Gangguan intrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi
otot polos pada saluran napas diduga berperan pada HSN. Obstruksi
saluran napas. Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas
diduga ikut berperan pada HSNI (Sundaru & Sukamto, 2014).

e. Faktor resiko
Jawab:
Faktor risiko berkembangnya asma bronkhial merupakan interaksi
antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu
disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti
bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi
individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk berkembang
menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok,
polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosialekonomi dan
besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/pejamu dengan lingkungan
dipikirkan melalui kemungkinan : lingkungan hanya meningkatkan
risiko asma pada individu dengan genetik asma. baik lingkungan

45
maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma
(National Institute of Health, 2012).
f. Manifestasi klinis
Jawab:
Gambaran klinis asma adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa
berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin.
Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor
pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi
saluran napas atas ataupun perubahan cuaca. Batuk di malam hari atau
sesak dada merupakan keluhan yang sering ditampilkan. Mengi
merupakan suara siulan tinggi melengking saat menghembuskan napas
(Yudhawati & Krisdanti, 2019).

13. Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Jawab:
Pada kasus saat serangan Berat
1) Oksigen (13-15 liter dengan non rebreathing mask)

2) Nebulizer Salbutamol + anti kolinergik (Ipratropiumbromide), nebulisasi


dilakukan sampai 3x, jika keadaan tidak membaik di bawa ke ICU.

Pada kasus saat masa tenang (persisten berat)

1) Reliever: SABA (Short Acting Beta 2 Agonis) seperlunya saat serangan.


Sediaan 100-200 mcg, pemakaina 1-2 kali puff (hirup).
2) Controller: LABA (Long Acting Beta 2 Agonis) yaitu, Formoterol 12
mcg ditambah low dose ICS yaitu, budesonide 200-400 mcg, digunakan
2x1 puff (hisap).
3) Kortikosteroid oral: metil prednisolon 40-50mg perhari.
(GINA, 2018).

46
Menurut teori dari GINA (2018):

Langkah I : Pada langkah I, opsi yang lebih direkomendasikan adalah


penggunaan inhaler jika diperlukan. Pilihan lainnya adalah penambahan
ICS dosis rendah. Pilihan lain yang dapat digunakan tetapi tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin adalah ipratropium inhalasi,
teofilin atau SABA oral, dan LABA onset cepat.

Langkah II : Pada langkah II, opsi yang lebih direkomendasikan adalah ICS
dosis rendah secara reguler, dengan SABA yang digunakan jika perlu
sebagai reliever.

Langkah III : Pada langkah III, opsi yang direkomendasikan untuk pasien
dewasa adalah penggunaan 1 atau 2 controller dengan reliever yang
digunakan jika perlu. Untuk anak usia 6-11 tahun, pilihannya adalah ICS
dosis sedang dengan SABA jika perlu sebagai reliever.

47
Langkah IV : Pada langkah IV, opsi rekomendasi bagi pasien dewasa adalah
kombinasi ICS/formoterol sebagai rumatan ditambah dengan reliever, atau
kombinasi ICS/LABA dosis sedang ditambah SABA jika perlu.

Langkah V : Pada langkah V, rekomendasinya adalah merujuk atau


penggunaan terapi tambahan. Terapi tambahan dapat berupa tiotropium atau
anti IL-5.

(GINA, 2018)

14. Bagaimana komplikasi pada kasus?


Jawab:

• Status asmatikus
• Pneumotoraks
• Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
• Atelektasis
• Gagal napas
• Fraktur iga
• Bronkitis
(Sundaru & Sukamto, 2014)

15. Bagaimana prognosis pada kasus?


Jawab:
1. Quo ad vitam : Bonam
2. Quo ad fungsionam : Bonam

3. Quo ad sanasionam : Dubia

16. Bagaimana SKDU pada kasus?


Jawab:
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan
penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas

48
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta
mengusulkan penatalaksanaan penyakit atau melakukan penatalaksanaan
penyakit secara mandiri sesuai tugas klinik yang dipercayakan (entrustable
professional activity) pada saat pendidikan dan pada saat penilaian
kemampuan (Konsil Kedokteran Indonesia, 2019).

17. Bagaimana NNI pada kasus?


Jawab:
Surah ar-ra’d : 11
Artinya: “..sesungguhya Allah tidak akan merubah keadan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri…..”.
Maknanya adalah Allah tidak akan merubah keadaan bapak Didi yang
mengeluh sesak sebelum bapak Didi berusaha berobat untuk
menghilangkan sesak dan meminum obat untuk mencegah sesak nya
kambuh lagi, dan menghindari faktor pencetus sesak tersebut.
QS. Yunus 11: 57
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an)
dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan
petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”

2.7 Kesimpulan

Bpk. Didi, 30 tahun mengeluh sesak hebat yang disertai batuk berdahak,
nafas berbunyi (wheezing) dan tidak demam serta hanya dapat berbicara kata
demi kata karena mengalami asma bronkial derajat serangan berat akibat alergi
(faktor lingkungan dan faktor genetik).

49
2.8 Kerangka Konsep

FR: alergi (cuaca Faktor keturunan FR: usia & jenis


dingin, debu, dan (alergi ibu kelamin (merokok)
bau) ekzema)

Fase sensitisasi (reaksi


alergi)

IgE melepas mediator


(histamin, bradikinin,
eosinophil, leukotrien)

Bronkospasme Hipersekresi Inflamasi


mukus

Bronkokontriksi + edema mukosa

Asma bronkial derajat


serangan berat

Sesak Hebat Batuk berdahak Hanya dapat


Wheezing
berbicara kata
per kata

50
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff H, dan Mukty H.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.

Andayani, N., Rizki, M., & Lubis, R. (2014). Hubungan Derajat Sesak Napas
Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan Simptom Ansietas. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 14(2), 92–97.

Andriani, F. P., Sabri, Y. S., & Anggrainy, F. (2019). Gambaran Karakteristik


Tingkat Kontrol Penderita Asma Berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) di
Poli Paru RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada Tahun 2016. Jurnal Kesehatan
Andalas, 8(1), 89. https://doi.org/10.25077/jka.v8i1.975

Antariksa, Budhi. 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. Jakarta:


Departemen Pulmonologi dan ilmu kedokteran Respiratori FKUI.

Aryanto, A. F. 2014. Hubungan Paparan Asap Rokok Dengan Kejadian Asma


Pada Anak Usia 13-14 Tahun di Kota Semarang. Jurnal Media Media
Muda: Universitas Diponegoro.

Astuti, N. D., Azam, M. 2017. Terapi Slow Deep Breathing (SDB) Terhadap
Tingkat Kontrol Asma. Journal Of Public Health Research And
Development: Universitas Negeri Semarang.

Astuti, Rita, dkk. 2018. HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN UPAYA


PENCEGAHAN KEKAMBUHAN ASMA BRONKHIAL. Aceh: Jurnal
Unsyiah.

Bakhtiar. 2017. Jurnal Respirasi: Faal Paru Dinamis. Surabaya: Departemen


Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo

Berliner D, Nils S, Tobias W, and Johann B. 2016. The Differential Diagnosis of


Dyspnea. Dtsch Arztebl Int; 113: 834–45.

51
Darmawan, Armaidi. 2013. Penyakit Sistem Respirasi akibat Kerja. JMJ, Volume
1, Nomor 1, Mei 2013, Hal : 68 – 83. (http://online-
journal.unja.ac.id/index.php/kedokteran/article/view/2691/1954)(diakses pada
12 Mei 2020)

Djojodibroto, Darmanto. 2014. Respirologi (Respiratory Medicine) Edisi 2.


Jakarta: EGC

Gina. (2018). AT ER - D Global Strategy for Asthma Management and Prevention


IS AT ER - D. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, 32.
https://ginasthma.org/wp-content/uploads/2018/04/wms-GINA-2018-report-
tracked_v1.3.pdf

Junaidi, Iskandar. 2010. Penyakit Paru & Saluran napas. Jakarta: BIP Gramedia

Kemenkes. 2011. Panduan Data Interpretasi Klinik. Jakarta: Kemenkes

Khairani, F. 2013. PenyakitParu Obstruksi Kronik (PPOK).Diambil dari:


http://eprints.undip.ac.id [diakses tanggal 23 Juni 2015].

Konsil Kedokteran Indonesia. 2019. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter


Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.

Kowalak. 2017. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Lighezan. 2006. Acute Dyspnea: From Pathophysiologi, Evaluation to Diagnosis.


Romania: Timisoara Medical Journal Vol.56, No. 2-3. Hal: 237-239.
(http://www.tmj.ro/pdf/2006_number_2_3_9084344667124495.pdf)
(diakses pada 12 Mei 2020).

Loscalzo, Joseph. 2015. Harrison Pulmonologi dan Penyakit Kritis. Jakarta : EGC.

McCance, Kathryn L.; Sue E. Huether; Valentina L. Brashes; Neal S. Rote. 2017.
Buku Ajar Patofisiologi. Singapore : ELSEVIER

National Institute of Health. 2012. National Heart, Lung and Blood Institute.
Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention: NIH Publication.

52
Nuari, A., Soleha, T. U., & Maulana, M. (2018). Penatalaksanaan Asma Bronkial
Eksaserbasi pada Pasien Perempuan Usia 46 Tahun dengan Pendekatan
Kedokteran Keluarga di Kecamatan Gedong Tataan. Management of
Exacerbation Bronchial Asthma in 46 Years Old Woman Through Family
Medicine Approach in East Gedon. Majority, 7(3), 144–151.

Price S, A., Wilson L, M. 2012. Patofisiologi ‘Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit’. Jakarta: EGC.

Roger. 2011. The Respiratory System. USA: Britannica Educational Publishing

Silbernagl, S., Florian Lang. 2016. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta
: EGC
Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam.
Sundaru, H., Sukamto. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam “Asma Bronkial”
(Jilid I, Edisi VI). Jakarta: Interna Publishing.

Uyainah Anna, Dkk .2014. Spirometri. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
FKUI/RSCM.

Wahyudi, A., Yani, Fi., & Erkadius. 2016. Hubungan Faktor Risiko terhadap
Kejadian Asma pada Anak. Artikel Penelitian, 5(2), 312–318.

Yudhawati, R., & Krisdanti, D. P. A. (2019). Imunopatogenesis Asma. Jurnal


Respirasi, 3(1), 26. https://doi.org/10.20473/jr.v3-i.1.2017.26-33

ZN, A. U., Amin, Z., Thufeilsyah, F. 2014. Spirometri. Vol. 1 No. 1. Ina J Chest
Crit and Emerg Med: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Available in:
http://www.respirologi.com/upload/file_1455185923.pdf.

53

Anda mungkin juga menyukai