Anda di halaman 1dari 10

Nama : Siti Nabilah Izwanda

NIM : 04011281924123
Kelas : Delta 2019

Learning Issue Skenario A blok 28


1. Pemeriksaan Fisik Forensik Klinik
1.1. Indikasi
Indikasi pemeriksaan fisik forensik adalah apabila adanya luka
disebabkan karena suatu kejadian yang dapat dibawa ke ranah hukum/jika pasien
mengalami luka dan membutuhkan pemeriksaan fisik forensik untuk mencari
keadilan hukum. Berikut merupakan kategori pasien forensik, yaitu (Darnell and
Michel, 2012) :
a. Kekerasan pada penyandang disabilitas
b. Penyerangan
c. Korban gigitan hewan
d. Korban kebakaran
e. Kekerasan pada anak
f. Kasus kematian
g. Kekerasan dalam rumah tangga
h. Kekerasan pada orang tua
i. Kondisi terminal
j. Cedera akibat tembakan
k. Kasus malpraktik dan penelantaran
l. Terorisme
m. Cedera terkait pekerjaan
n. Donasi organ dan jaringan
o. Kekerasan seksual
p. Cedera benda tajam
q. Cedera transportasi
1.2. Klasifikasi luka
Luka terbagi menjadi luka akibat benda tajam dan luka akibat benda
tumpul. Luka akibat benda tajam meliputi luka insisi dan luka tusuk. Luka insisi
disebabkan oleh benda tajam yang mengenai kulit dengan besar tekanan yang
cukup untuk membelah kulit (contoh: pisau, pisau cukur, atau pecahan kaca).
Lebar luka insisi lebih panjang ketimbang kedalamannya. Berbeda dengan luka
insisi, luka tusuk disebabkan oleh benda tajam yang didorong kearah dalam
dengan tekanan yang besar sehingga kedalaman luka lebih panjang
dibandingkan lebar luka. Kedua jenis luka akibat benda tajam ini memiliki
karakteristik yang sama, yaitu tepi lukanya halus (Darnell and Michel, 2012).

Luka akibat benda tumpul meliputi luka lecet, memar, luka gigitan, dan
laserasi. Luka lecet ditandai dengan terlepasnya lapisan kulit terluar akibat gaya
gesekan yang diberikan ke kulit. Luka lecet terdiri dari luka cakar (disebabkan
oleh kuku atau cakar kucing) dan luka gores (disebabkan oleh permukaan rata
seperti jalan beraspal). Luka memar merupakan perubahan warna kulit yang
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kecil yang menyebabkan pendarahan
di jaringan subkutan. Gelapnya warna memar ditentukan oleh banyaknya lemak,
kedalaman, kekuatan serta tipe benda tumpul yang digunakan untuk menyerang.
Adanya luka lecet pada memar mengindikasikan titik dimana tekanan diberikan
(Darnell and Michel, 2012).

1.3. Dokumentasi luka


Dokumentasi luka diperlukan untuk memeriksa apakah luka yang
dialami konsisten dengan penjelasan pasien ataupun keluarga. Setiap luka
dideskripsikan sedetail mungkin meliputi (Darnell and Michel, 2012):

a. Lokasi
b. Ukuran
c. Bentuk (bulat, oval, linear, ireguler, dll)
d. Warna
e. Kemerahan, bengkak, keras, atau indurasi
Contoh pada kasus :
Pada leher samping kiri, 5 cm dari garis tengah, 3 cm di bawah telinga
(lokasi)
Terdapat luka terbuka berukuran 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm
Bentuk teratur, tepi rata, tidak terdapat jembatan jaringan
Warna merah.

1.4. Interpretasi pada kasus


a. Pada pelipis kanan, 2 cm di atas telinga, terdapat luka lecet berukuran
3 cm x 2 cm, batas tegas, bentuk tidak teratur, warna merah.
→ Luka akibat benda tumpul, kemungkinan akibat dipukul
b. Pada pipi kanan, 3 cm dari garis tengah, terdapat luka memar disertai
pembengkakan berukuran 4 cm x 3 cm, bentuk tidak teratur, warna
merah keunguan.Dari hidung tampak keluar cairan kemerahan +/+,
tidak aktif
→ Luka akibat benda tumpul, kemungkinan akibat dipukul
c. Pada leher samping kiri, 5 cm dari garis tengah, 3 cm di bawah
telinga, terdapat luka terbuka berukuran 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm, dasar
jaringan bawah kulit, bentuk teratur, tepi rata, tidak terdapat jembatan
jaringan, warna merah.
→ Luka akibat benda tajam, kemungkinan diancam menggunakan
pisau
d. Pada dada kiri bawah, tepat pada tulang iga ketujuh, teraba derik
tulang dan rasa nyeri hebat saat disentuh. Disekitarnya tampak luka
memar berukuran 5 cm x 3 cm, bentuk tidak teratur, warna kehijauan.
→ Luka akibat benda tumpul, kemungkinan akibat ditendang

2. Visum et Repertum
2.1. Definisi
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas
permintaan penyidik secara resmi yang memuat tentang pemeriksaan medis
terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh
manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk
kepentingan peradilan (Afandi, 2017).

2.2. Landasan hukum


Visum et Repertum memiliki landasan hukum yaitu pasal 133 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ayat (1) yang berbunyi
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya” (Safitry,
2013).

2.3. Klasifikasi / jenis


VER diklasifikasikan menjadi VER untuk korban hidup dan VER untuk
orang mati. Untuk korban hidup, VER dapat berupa VER luka, VER perkosaan,
VER psikiatrik, dan sebagainya. Untuk korban mati akan disusun VER jenazah
(Afandi, 2017).

2.4. Fungsi
Fungsi dari visum et repertum adalah sebagai salah satu bentuk alat bukti
yang sah berupa surat. Hal ini tertulis di dalam pasal 184 KUHAP (Safitry,
2013).

2.5. Mekanisme permintaan visum (Afandi, 2017)


a. Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum
c. Pemeriksaan korban secara medis
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum
e. Penandatanganan surat
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
g. Penyerahan surat
2.6. Aturan penulisan VER
Unsur penting yang harus ada pada visum et repertum menurut para ahli
adalah sebagai berikut (Afandi, 2017):

a. Pro Justicia
Kata “Pro Justicia” berarti dibuat hanya untuk kepentingan
peradilan, wajib diletakkan di kiri atas surat visum. Di bagian atas
tengah dapat dituliskan judul surat yaitu : Visum et Repertum.
b. Pendahuluan
Bagian ini memuat identitas pemohon VER, tanggal dan
pukul diterimanya permohonan VER, identitas dokter yang
melakukan pemeriksaan, indentitas pasien yang diperiksa (nama,
jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, tanggal dan tempat dilakukan
pemeriksaan).
c. Pemberitaan
Bagian ini memuat hasil pemeriksaan sesuai dengan apa yang
diamati atau ditemukan pada korban. Pada pemeriksaan korban
hidup, bagian ini terdiri dari :
i. Seluruh hasil pemeriksaan
ii. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya
iii. Keadaan akhir korban
d. Kesimpulan
Kesimpulan memuat hasil interpretasi dan dikaitkan dengan
maksud dan tujuan dimintakannya VER. Bagian ini harus memuat
minimal dua unsur, yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat
kualifikasi luka.
Rumusan hukum terkait penganiayaan diatur di dalam pasal
352 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan”. Untuk penganiayaan sedang apabila pasien menjadi sakit
akibat penganiayaan tersebut. Untuk penganiayaan berat
dicantumkan di dalam pasal 90 KUHP yaitu berupatidak mampu
terus-menerus menjalankan tugas jabatan atau pencarian,
kehilangan salah satu panca indra, menderita cacat berat, menderita
lumpuh, terganggunya daya piker, atau gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan.
Contoh kesimpulan :
i. Kualifikasi luka derajat 1 (ringan)
“Pada pemeriksaan korban laki-laki yang menurut
surat keterangan permintaan visum et repertum
berusia tiga puluh ini ditemukan luka lecet pada
lengan kanan dan kaki kiri akibat kekerasan tumpul.
Cedera tersebut tidak menyebabkan halangan
dalam menjalankan pekerjaan”
ii. Kualifikasi luka derajat 2 (sedang)
“Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga
puluh empat tahun ini ditemukan cedera kepala
ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan
dagu serta patah tulang tertutup pada lengan atas kiri
akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah
mengakibatkan penyakit /halangan dalam
menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian
untuk sementara waktu.”
iii. Kualifikasi luka derajat 3 (berat)
“Pada pemeriksaan korban perempuan berusia dua
puluh lima tahun ini ditemukan luka terbuka pada
daerah dada kiri yang menmbus sampai ke rongga
dada dan mengenai paru-paru kiri lobus atas akibat
kekerasan tajam. Luka tersebut telah
mengakibatkan/mendatangkan bahaya maut
pada korban.”
2.7. Snppdi
Pembuatan VER memiliki tingkat kompetensi 4A (Henky et al., 2017)

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


3.1. Definisi
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan Tindakan kekerasan yang
terjadi diantara anggota keluarga, termasuk suami, istri, anak, orang tua, maupun
saudara (Darnell and Michel, 2012). Menurut UU no. 23 tahun 2004, kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (DPR, 2004).

3.2. Jenis-jenis kekerasan pada perempuan


Kekerasan yang dapat terjadi pada perempuan tidak hanya kekerasan fisik,
tetapi juga kekerasan seksual dan kekerasan emosional/psikologis. KDRT
(Domestic Violence/DV) mengandung perilaku tanpa konsen yang
menyebabkan korban ketakutan, membahayakan fisik, mengganggu finansial,
dan membatasi kebebasan seseorang (Darnell and Michel, 2012).

KDRT juga memiliki siklus meliputi (Darnell and Michel, 2012) :

a. Build-up, dimana kedua pihak mulai menemukan kesalahan, saling


menyalahkan dan adu argumen.
b. Explosion, yaitu terjadi kekerasan baik fisik, verbal, seksual, finansial,
dan emosional.
c. Remorse, dimana kedua belah pihak mulai kembali berbaikan,
merayu, memperbaiki suasana, atau mengajak jalan-jalan.
d. Honeymoon phase, dimana semuanya terasa menyenangkan, saling
memuji dan sama sekali tidak ada argumen.
3.3. Peraturan perundang-undangan
Di Indonesia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) diatur di
dalam UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Dalam UU tersebut dijelaskan mulai dari larangan KDRT,
hak-hak korban, pemulihan korban, hingga ketentuan pidana yang
membahas terkait sanksi dan denda yang dapat diberikan kepada pelaku
(DPR, 2004).

3.4. Prosedur pemeriksaan


a. Anamnesis
Untuk melakukan anamnesis, diperlukan lingkungan yang aman
dan tenang serta menjamin privasi, kerahasiaan dan keamanan pasien.
Pastikan pasien nyaman dan dengarkan keluhan pasien atau yang
mengantar. Berikan pasien pertanyaan terbuka terkait keluhannya,
seperti “Ada yang bisa saya bantu?”, “Boleh dijelaskan bu apa yang
ibu alami?”, dan sebagainya. Dengarkan pasien dengan seksama, dan
klarifikasi pada pernyataan-pernyataan yang ambigu. Jangan lupa
untuk memperhatikan secara detail suara pasien dan bahasa tubuh
pasien yang seolah mengisyaratkan bahwa pasien ketakutan
(misalnya ketakutan terhadap yang mengantar, baik pasangan, orang
tua, ataupun perawat yang mengurus). Jangan berasumsi, cukup
tanyakan pertanyaan saja (Darnell and Michel, 2012).
Pertanyaan yang wajib ditanyakan pada pasien yang diduga
mengalami KDRT adalah sebagai berikut :
▪ “Apakah anda pernah (dipukul, ditendang, didorong,
atau dilukai secara fisik) oleh (anggota keluarga,
pasangan, atau suster)?”
▪ “Selama satu tahun ke belakang, apakah anda dipaksa
melakukan aktivitas seksual yang membuat anda tidak
nyaman atau terasa seperti dipaksa?
▪ Jika jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah
iya, maka tanyakan, “Apakah anda takut orang tersebut
melakukannya lagi?”
Dokter yang memeriksa juga harus memperhatikan kalimat
serta bahasa tubuh yang digunakan oleh yang mengantar korban
KDRT. Pelaku KDRT biasanya menjauhkan korban dari teman-
temannya. Selain itu pelaku KDRT juga meremehkan perasaan
korban dan berusaha untuk mengendalikan pikiran korban. Pelaku
KDRT berusaha untuk mengetahui semua urusan korban, tetapi
sangat merahasiakan urusannya sendiri dari korban (Darnell and
Michel, 2012).
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan tanda
vital dan pemeriksaan fisik forensik. Pemeriksaan fisik forensik hanya
dilakukan pada pasien yang membutuhkan dokumentasi cedera untuk
dibawa ke ranah hukum (Darnell and Michel, 2012).
3.5. Intervensi
Dokter harus mencatat tanggal dan waktu kejadian KDRT dan pemeriksaan
fisik korban. Catatan tersebut harus disimpan di tempat yang aman. Pasien juga
harus mencari pertolongan untuk cedera yang dialami, sarankan pasien untuk
tidak menutupi penyebab luka-lukanya. Sarankan pasien untuk meminta
perrtolongan hukum dan meminta dukungan anggota keluarga yang lain
(Darnell and Michel, 2012).
Daftar Pustaka
Afandi, D., 2017. Tata Laksana dan Teknik Pembuatan Visum et Repertum,
University of Riau Press. FK Universitas Riau.
Darnell, C., Michel, C., 2012. Forensic Notes. F. A. Davis Company, Philadelphia.
DPR, 2004. UU no. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. DPR RI, Jakarta.
Henky, Yulianti, K., Alit, I.B.P., Rustyadi, D., 2017. Buku Panduan Belajar Koas
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, Rajawali Pers. FK Universitas
Udayana, Denpasar.
Safitry, O., 2013. Mudah Membuat Visum Et Repertum Kasus Luka. FK UI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai