Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2

BLOK NEUROMUSKULOSKELETAL 2

Disusun oleh :

NAMA : Isnatiya Noviana


NIM : 020.06.0037
KELOMPOK SGD : 2
KELAS :A
TUTOR : dr. Rohmatul Hajiriah Nurhayati, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjat kan kehadirat tuhan yang mahaesa karena atas
rahmat-nya penulis dapat melaksanakan dan menyusun makalah yang berjudul “Small Group
Discussion Lbm 2”.
Makalah ini penulis susun untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
tulus kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan
laporan dengan baik.
2. dr. Rohmatul Hajiriah Nurhayati, S.Ked, selaku Fasilitator SGD kelompok 2 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
3. Keluarga dan teman yang saya cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman
lebih lanjut. Oleh karna itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 31 Maret 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
- Skenario LBM 2 4
- Deskripsi Masalah 4
BAB II
- Pembahasan LBM 2 6
BAB III
- Kesimpulan 18
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO LBM 2
“BADAN KAKU”
Seorang laki-laki berusia 30 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan kaku seluruh
tubuh pagi ini. Kaku seluruh tubuh muncul jika pasien mendengar suara atau dikagetkan.
Keluhan disertai trismus dan kesulitan menelan. Pasien seorang pekerja bangunan dan seminggu
yang lalu tertusuk paku di kaki kanannya, namun tidak berobat karena lukanya kecil.

Pada pemeriksaan didapatkan kesadaran kompos mentis, TD 120/80 mmHg, denyut nadi
100/menit, frekuensi napas 32x/menit, suhu aksila 37,2˚C.
DESKRIPSI MASALAH
Dari skenario tersebut, seorang laki-laki berusia 30 tahun darang ke UGD RS dengan
keluhan kaku seluruh tubuh pagi ini. Kaku seluruh tubuh muncul jika pasien mendengar suara
dikagetkan. Keluhan disertai trismus dan sulit menelan. Pasien seorang pekerja bangunan dan
seminggu yang lalu tertusuk paku di kaki kanannya, namun tidak berobat karena lukanya kecil.
Tertusuk paku dapat menyebabkan bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka tusukan. Ketika
memasuki kulit bakteri mengeluarkan racun yang dapat mengganggu kesehatan. Racun ini akan
menyebar pada saraf, tulang belakang hingga otak. Terdapat dua mekanisme yang dapat
menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat diantaranya yaitu toksin diabsorpsi di
neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf
pusat, Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. (Saraswati, 2014)
Berdasarkan penjelasan pada skenario, pasien mengalami kaku seluruh tubuh, trismus
dan kesulitan menelan. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar
dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot masseter, pada muka
juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang
disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot-otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri
waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus, hal ini sesuai dengan yang dialami oleh pasien. (Saraswati, 2014)
Kekakuan otot, trismus dan kesulitan menelan hal ini berkaitan dengan luka karena
tusukan paku tersebut yang mengeluarkan racun dan menyebar pada saraf. Trismus merupakan
gangguan pada temporo mandibular joint. Trismus adalah ketidak mampuan mulut untuk
membuka lebih dari 20mm, ini terjadi karena berkurangnya mobilitas pada temporo mandibular
joint untuk menggerakan rahang. Trismus ini dapat terjadi karena adanya gangguan local, seperti
halnya pada skenario yaitu terjadinya luka tusuk paku menyebabkan bakteri dapat masuk ke
tubuh sehingga ketika bakteri menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan
berkembang dan melepaskan toksin yang menyebar pada saraf dan dapat mengganggu kesehatan.
Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka. (Saraswati, 2014)
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pembahasan DD (Definisi, Etiologi, Manifestasi Klinis)
TETANUS
Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologik yang ditandai oleh meningkatnya tonus otot dan
spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh clostridium tetani. Tetanus merupakan infeksi yang ditandai dengan keadaan hipertonia
generalisata yang bermanifestasi berupa spasme otot rahang dan leher yang nyeri (Hendra,
Ricky. 2018)
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani, yang ditemukan di tanah,
debu, atau kotoran hewan. Ini adalah basil gram positif, pembentuk spora, anaerobik obligat.
Bakteri ini dan sporanya ditemukan di seluruh dunia, namun lebih sering ditemukan di iklim
panas dan basah di mana tanahnya kaya dengan bahan organic. (Dong M dkk, 2019)
C. tetani dapat masuk ke tubuh manusia melalui luka tusukan, laserasi, kulit pecah,
atau inokulasi dengan jarum suntik yang terinfeksi atau gigitan serangga. Sumber infeksi
yang paling umum adalah luka yang sering kali sepele dan mungkin tidak disadari, seperti
laserasi kecil dari serpihan kayu atau logam atau duri. Populasi berisiko tinggi termasuk
mereka yang belum divaksinasi, pengguna narkoba suntikan, dan mereka yang imunosupresi.
Penyebab lain infeksi telah didokumentasikan melalui prosedur bedah, suntikan
intramuskular, patah tulang majemuk, infeksi gigi, dan gigitan anjing. (Fava JP dkk, 2020)

Gambar Bakteri Clostridium Tetani. (Fava JP dkk, 2020)


Klasifikasi Tetanus
Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, lokal, dan sefalik. Sekitar
80% tetanus merupakan tipe generalisata. (Danawan R, 2016)
1) Tetanus generalisata
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya
bentuk tetanus generalisata ini berhubungan dengan jalan masuk kuman. Biasanya
dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan
opistotonus. Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke
ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka,
sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot masseter, pada muka
juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan
yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot-otot leher bagian belakang
menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala
kuduk kaku sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang
umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan,
sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. (Danawan R, 2016)
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita Nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot-otot
laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis.
Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung kemih. Kenaikan temperature
badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati-
hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu
tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.
(Danawan R, 2016)
2) Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada
bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka
kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
(Danawan R, 2016)
3) Tetanus sefalik
Salah satu varian tetanus lokal, terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah
mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilektomi.
Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI. Cephalic
Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus generalisata. Pada umumnya prognosis
bentuk cephalic tetanus buruk. (Danawan R, 2016)
4) Tetanus neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak
yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama
kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta
menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang
tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai
dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.
(Danawan R, 2016)
Manifestasi Klinis
Masa inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari), namun dapat lebih singkat
atau dapat lebih lama. Semakin pendek masa inkubasi semakin jelek prognosisnya. Terdapat
hubungan antara jarak tempat invasi C. tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara
luka dan permulaan penyakit, dimana semakin jauh tempat invasi maka inkubasi akan
semakin panjang. (Hendra, 2018)
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, trismus,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot yang lebih
dahulu terjadi pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek. Oleh karena itu, gejala
yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher,
dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot trunkal
mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering
terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris. (Hendra, 2018)
Spasme otot yang muncul spontan dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur
tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi dalam waktu singkat,
mengakibatkan obstruksi saluran napas atas akut dan henti napas. Pernapasan juga dapat
terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada. Bila spasme berkepanjangan,
dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu,
setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi. (Hendra, 2018)

Grading
1) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya kriteria 1 atau 2 (tidak ada
kematian).
2) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya kriteria 1 dan 2. Biasanya masa
inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%).
3) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari atau
onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
4) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%).
5) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%). (PERDOSSI, 2016)

2. Penegakan Diagnosis
Dari keluhan yang dialami, pasien diskenario yaitu laki-laki berusia 30 tahun datang
ke UGD RS dengan keluhan kaku seluruh tubuh pagi ini. Kaku seluruh tubuh muncul jika
pasien mendengar suara atau dikagetkan. Keluhan disertai trismus dan kesulitan menelan.
Pasien seorang pekerja bangunan dan seminggu yang lalu tertusuk paku di kaki kanannya,
namun tidak berobat karena lukanya kecil.
Dari keluhan utama pasien yaitu adanya kaku seluruh tubuh pada pagi disertai dengan
keluhan penyerta yaitu trismus dan kesulitan menelan dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami “tetanus generalisata derajat II”. Bentuk tetanus generalisata dimulai dengan
trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan opistotonus. Dalam 24 –
48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang
terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock
jaw.
Selain kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga
muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke
atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat
kekakuan otot-otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher
dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus, hal ini sesuai
dengan yang dialami oleh pasien. Derajat II yaitu trismus sedang, deengan rigiditas jelas,
spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi nafas
lebih dari 30 x/menit, disfagia ringan, sama halnya dengan yang dialami pasien yaitu
memiliki frekuensi pernapasan 32 x/menit.
Pasien memiliki riwayat tertusuk paku dapat menyebabkan bakteri masuk ke dalam
tubuh melalui luka tusukan sehingga dapat menghasilkan toksin yaitu toksin tetanospasmin
yang akan menyebar. Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
120/80mmhg yang dimana itu normal karena rentan normal tekanan darah 90/60 mmHg –
120/80 mmHg. Denyut nadi 100x/menit dimana itu masih normal karena normal dari denyut
nadi 60 – 100x/menit. Frekuensi pernafasan 32x yang dimana itu abnormal karena normal
dari frekuensi pernafasan 14 - 20x, kemudian suhu 37,2℃ merupakan suhu normal yang
dimana normalnya suhu 35,5 - 37,5 derajat. Maka dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami “tetanus generalisata derajat II”.
3. Pembahasan DX
 Epidemiologi
Meskipun tetanus mempengaruhi orang-orang dari segala usia. Namun, prevalensi
tertinggi terlihat pada bayi baru lahir dan orang muda. World Health Organization
(WHO) melaporkan peningkatan angka kematian akibat tetanus, terkait dengan
kampanye vaksinasi agresif dalam beberapa tahun terakhir. WHO memperkirakan
kematian tetanus di seluruh dunia pada tahun 1997 sekitar 275.000 dengan tingkat
peningkatan pada tahun 2011 dengan 14.132 kasus. Namun, dari kasus-kasus ini,
prevalensi tetanus masih secara tidak proporsional lebih tinggi (beberapa penelitian
menunjukkan 135 kali lebih tinggi) di rangkaian sumber daya rendah daripada di negara
maju, dengan tingkat kematian 20% hingga 45% dengan infeksi. Tingkat kematian
bervariasi berdasarkan ketersediaan sumber daya, terutama ventilasi mekanis,
pemantauan tekanan darah invasif, dan pengobatan dini. (Blenchowe H dkk, 2011)
Insiden tetanus neonatal menurun karena vaksinasi rutin di seluruh dunia, yang
dikombinasikan dengan vaksin lain, pertusis, dan difteri (DPT). Terjadinya tetanus pada
neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang tidak lengkap. Pada tahun
2013, sekitar 84% anak usia kurang dari 12 bulan memiliki cakupan tetanus di seluruh
dunia. (Fetuga BM dkk, 2010)
Di negara-negara dengan sumber daya tinggi, seperti Amerika Serikat, kasus
tetanus terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang tua yang mengalami
penurunan kekebalan dari waktu ke waktu. Pengguna narkoba intravena juga berisiko
karena jarum atau obat yang terkontaminasi. (Fetuga BM dkk, 2010)
 Patofisiologi
C. tetani mengeluarkan racun, tetanospasmin, dan tetanolysin, menyebabkan
karakteristik "tetanic spasme," kontraksi umum otot agonis dan antagonis. Secara khusus,
tetanospasmin mempengaruhi nerve dan interaksi motor endplate otot, menyebabkan
sindrom klinis kekakuan, kejang otot, dan ketidakstabilan otonom. Di sisi lain,
tetanolysin merusak jaringan. (Cardinal PR dkk, 2020)
Di tempat inokulasi, spora tetanus masuk ke dalam tubuh dan germinate di luka.
Germination membutuhkan kondisi anaerobik tertentu, seperti jaringan mati dan yang
memiliki potensi oksidasi-reduksi rendah. Setelah germination, mereka melepaskan
tetanospasmin ke dalam aliran darah. Toksin ini memasuki terminal prasinaps di endplate
ujung neuromuskular dari neuron motorik dan menghancurkan protein membran sinaptik
vesikular yang mengakibatkan inaktivasi neurotransmisi penghambat yang biasanya
menekan neuron motorik dan aktivitas otot. Ini melumpuhkan muscle fibers. Selanjutnya,
toksin ini melalui transpor aksonal retrograde, berjalan ke neuron di sistem saraf pusat, di
mana ia juga menghambat pelepasan neurotransmitter; ini terjadi sekitar 2 sampai 14 hari
setelah inokulasi. Karena glisin dan GABA adalah neurotransmiter penghambat utama,
sel gagal menghambat respons refleks motorik terhadap stimulasi sensorik, menyebabkan
kejang tetanik. Hal ini dapat menyebabkan aktivitas dan kontraksi otot yang begitu kuat
sehingga patah tulang dan robekan otot dapat terjadi. (Cardinal PR dkk, 2020)
Masa inkubasi dapat berlangsung dari satu sampai 60 hari tetapi rata-rata sekitar 7
sampai 10 hari. Tingkat keparahan gejala tergantung pada jarak dari sistem saraf pusat,
dengan gejala yang lebih parah terkait dengan masa inkubasi yang lebih pendek. Setelah
neurotoksin memasuki batang otak, terjadi disfungsi otonom, biasanya pada minggu
kedua onset gejala. Dengan hilangnya kontrol otonom, pasien dapat datang dengan
tekanan darah dan detak jantung yang labil, diaforesis, bradiaritmia, dan henti jantung.
Gejala dapat berlangsung selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan, dengan
tingkat kematian 10% pada mereka yang terinfeksi; bahkan lebih tinggi pada mereka
yang tidak divaksinasi sebelumnya. Ada komplikasi neuropsikiatri motorik dan jangka
panjang yang sering terjadi pada orang yang selamat; namun, banyak yang sembuh total.
(Yeh FL dkk, 2010)
 Tatalaksana
Pengobatan tetanus didasarkan pada tingkat keparahan penyakit. Namun, semua
pasien harus memiliki tujuan pengobatan sebagai berikut (Petitjeans dkk, 2010):
1) Debridement luka dini
2) Penatalaksanaan suportif
3) Terapi antibiotic
4) Pemberian human tetanus immunoglobulin (HTIG) intramuskular atau intravena
5) Blokade neuromuscular
6) Mengontrol berbagai manifestasi
7) Mengelola komplikasi
Pengobatan lini pertama termasuk HTIG, yang menghilangkan tetanospasmin
yang dilepaskan toksin; Namun, itu tidak mempengaruhi toksin yang sudah terikat pada
sistem saraf pusat. HTIG juga memperpendek perjalanan penyakit dan dapat membantu
mengurangi keparahan. Dosis 500 U, baik intramuskular atau intravena, sama efektifnya
dengan dosis yang lebih besar. HTIG disuntikkan secara intratekal, terutama pada kasus
tetanus serebral. Dalam kasus tetanus umum, dosis terapeutik (3000-6000 U) juga
dianjurkan. Debridement luka akan mengontrol sumber produksi toksin. (Petitjeans dkk,
2010)
Meskipun racun adalah penyebab utama penyakit, metronidazol telah terbukti
memperlambat perkembangan penyakit. Metronidazol juga telah terbukti menurunkan
angka kematian. Penisilin, yang digunakan di masa lalu untuk pengobatan, tidak lagi
direkomendasikan setelah menemukan bahwa mungkin memiliki efek sinergis dengan
tetanospasmin. Antispasmodik seperti benzodiazepin, baclofen, vecuronium,
pancuronium, dan propofol telah digunakan berdasarkan skenario klinis. Baclofen juga
dapat diberikan secara intratekal dan terbukti efektif dalam mengontrol kekakuan otot.
Untuk tetanus yang lebih parah, pasien kemungkinan dirawat di rumah sakit di unit
perawatan intensif (ICU) dengan sedasi dan ventilasi mekanis, yang dapat mempengaruhi
mortalitas dan gejala sisa jangka panjang. Trakeostomi lebih disukai karena pipa
endotrakeal dapat menjadi stimulus spasme otot. Trakeostomi juga diindikasikan dalam
kasus di mana intubasi diperlukan selama lebih dari 10 hari. (Petitjeans dkk, 2010)
Benzodiazepin dianggap sebagai terapi landasan untuk manifestasi tetanus, dan
diazepam adalah obat yang paling sering dipelajari dan digunakan dalam hal ini. Ini tidak
hanya mengurangi kecemasan tetapi juga menyebabkan sedasi dan melemaskan otot,
sehingga mencegah komplikasi pernapasan yang mematikan. Magnesium intravena telah
terbukti mencegah kejang otot. Diazepam atau midazolam, benzodiazepin agonis GABA,
diberikan sebagai infus kontinu untuk mencegah komplikasi pernapasan atau
kardiovaskular. Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih dari 5-10 detik,
diazepam harus diberikan IV, 10-40 mg setiap 1-8 jam. Dosis midazolam adalah 5-15
mg/jam IV. (Petitjeans dkk, 2010)
Penyedia juga harus memberikan perawatan suportif, terutama untuk pasien
dengan ketidakstabilan otonom (tekanan darah labil, hiperpireksia, hipotermia).
Magnesium sering digunakan dalam kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengelola
komplikasi ini. Ini harus diberikan IV dalam bentuk bolus 5 g diikuti dengan infus terus
menerus dengan kecepatan 2-3 g/jam sampai kontrol kejang tercapai. Selama infus
magnesium, refleks patela perlu dipantau; jika arefleksia berkembang, dosis harus
dikurangi. Morfin sering digunakan untuk mengelola tekanan darah tinggi. Beta-blocker
dapat menyebabkan hipotensi dan kematian. Esmolol dalam dosis kecil dapat digunakan
di bawah pengawasan ketat. (Petitjeans dkk, 2010)
Memberikan diet berkalori tinggi untuk mengkompensasi peningkatan
penggunaan metabolik dari kontraksi otot juga penting. Manajemen status pernapasan,
komplikasi kardiovaskular, dan disfungsi otonom sangat penting untuk kelangsungan
hidup. Selain itu, semua pasien memerlukan imunisasi tetanus toksoid lengkap saat
pemulihan; memiliki infeksi tidak memberikan kekebalan di masa depan. (Fletcher M
dkk, 2019)
 Komplikasi
Komplikasi meliputi kontraksi otot pernapasan, vocal cords (pita suara), dan area
kritis tubuh lainnya. Sympathetic berlebihan adalah penyebab paling signifikan kematian
terkait tetanus pada pasien kritis. Komplikasi lebih lanjut meliputi (Bunch TJ, 2012):
a) Kelumpuhan vocal cord (pita suara) yang menyebabkan gangguan pernapasan
b) Disfungsi otonom yang menyebabkan hipertensi
c) Asfiksia
d) Fraktur tulang panjang
e) Ileus paralitik
f) Dislokasi sendi
g) Pneumonia aspirasi
h) Pressure sores
i) Stess ulcers
j) Koma
k) Kelumpuhan saraf
l) Retensi urin
m) Seizures (Kejang). (Bunch TJ, 2012)
 Pencegahan
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu imunisasi, perawatan luka, dan pemberian
ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan proteksi
pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit
dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan yang
sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali diproduksi pada
tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer selama perang dunia II.
Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid
dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi
dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis
aselular sebagai DaPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung
10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin
pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk
mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian
imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). (Simanjuntak, 2018)
Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan
kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang
bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2
kali dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera pada saat WUS
kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan
hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat
diberikan 6 – 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan
berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat
diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau
diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS
akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah
memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anak anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada
saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang
akan dilahirkan. (Simanjuntak, 2018)
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari
imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan adalah jangan
membungkus punting tali pusat atau mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam
punting tali pusat, mengoleskan alcohol atau povidon iodine masih diperkenankan
tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab. (Simanjuntak,
2018)
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari
6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis
3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak
kurang dari 7 tahun yaitu 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak lebih
dari sama dengan 7 tahun: 250 IU IM dosis tunggal. (Simanjuntak, 2018)
 Prognosis
Prognosis setelah tetanus tergantung pada gejala pertama sampai spasme pertama.
Secara umum, dengan manifestasi gejala yang singkat, prognosisnya buruk. Pemulihan
setelah tetanus lambat dan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Baik tetanus
neonatorum dan cephalic memiliki prognosis yang buruk. (Flecher M dkk, 2019)
Beberapa pasien mengalami hipotonia dan disfungsi otonom yang berlangsung
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Bahkan mereka yang bertahan hidup,
membutuhkan toksoid tetanus karena infeksi tidak memberikan kekebalan. Biasanya,
pasien bertahan dari penyakit ini meskipun pemulihannya lambat dan beberapa pasien
mungkin tetap hipotonik. (Flecher M dkk, 2019)
Skala yang ditetapkan dapat digunakan untuk memprediksi prognosis tetanus. Satu poin
diberikan untuk setiap hal berikut (Flecher M dkk, 2019):
- Inkubasi - kurang dari 7 hari
- Onset - kurang dari 48 jam
- Penyebab tetanus - luka bakar, luka operasi, aborsi septik, tali pusat, compound
fractures, atau injeksi intramuscular
- Kecanduan opiate
- Generalized tetanus
- Suhu - lebih dari 104 F (40℃)
- Takikardia - lebih dari 120/menit (150/menit pada neonatus). (Flecher M dkk,
2019)
Skor total menunjukkan tingkat keparahan penyakit (Flecher M dkk, 2019):
- 0-1- mortalitas kurang dari 10%
- 2-3 - mortalitas 10-20%
- 4 - Mortalitas 20-40%
- 5-6 - Mortalitas lebih dari 50%. (Flecher M dkk, 2019)
 KIE
Edukasi dan promosi kesehatan pada tetanus meliputi (Danawan, 2016):
1) Himbauan untuk melakukan imunisasi dasar
2) Edukasi cara perawatan luka yang benar
3) Pelatihan teknik persalinan aseptik bagi bidan atau tenaga penolong lainnya
4) Cara perawatan tali pusat yang baik.
Masyarakat juga harus mendapatkan edukasi mengenai gejala dan tanda klinis
awal yang muncul pada pasien tetanus. Dengan begitu, pasien dapat lebih cepat dibawa
ke fasilitas kesehatan dan mendapatkan penanganan. Masyarakat terutama pekerja yang
berisiko tinggi, diedukasi untuk selalu menggunakan alas kaki yang sesuai serta alat
pelindung diri yang telah disediakan untuk menghindari terjadinya luka atau kontaminasi
luka oleh spora Clostridium Tetan. (Danawan, 2016)
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa skenario LBM 2 yang berjudul
“Badan Kaku” dapat disimpulkan bahwa seorang pasien laki-laki berusia 30 tahun datang ke
UGD RS dengan keluhan kaku seluruh tubuh pagi ini. Kaku seluruh tubuh muncul jika pasien
mendengar suara atau dikagetkan. Keluhan disertai trismus dan kesulitan menelan. Pasien
seorang pekerja bangunan dan seminggu yang lalu tertusuk paku di kaki kanannya, namun tidak
berobat karena lukanya kecil. Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
120/80mmhg yang dimana itu normal karena rentan normal tekanan darah 90/60 mmHg - 120/80
mmHg. Denyut nadi 100x/menit dimana itu masih normal karena normal dari denyut nadi 60 -
100x/menit. Frekuensi pernafasan 32x yang dimana itu abnormal karena normal dari frekuensi
pernafasan 14 - 20x, kemudian suhu 37,2˚C merupakan suhu normal yang dimana normalnya
suhu 35,5 - 37,5 derajat.
Dari keluhan yang dialami pasien tersebut kami dari SGD 2 mendiagnosis pasien
mengalami “tetanus generalisata derajat II”. Tetanus adalah gangguan neurologik yang ditandai
oleh meningkatnya tonus otot dan spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh clostridium tetani. Bentuk tetanus generalisata dimulai
dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan opistotonus. Dalam
24-48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang
terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock
jaw.
DAFTAR PUSTAKA
Bae, C, Bourget, D. (2021). Tetanus. StatPearls Publishing [Internet], [PubMed].
Hijrah, M. (2020). Karakteristik Penyandang Epilepsi di Poliklinik Saraf, Fakultas Kedokteran
Muhammadiyah Makassar.
Hinfey, P1., Brusch, J2. (2016). Tetanus. Medscape News and Perspective.
Kementerian Kesehatan, RI. (2012). Buletin Jendela Data Dan Informasi Eliminasi Tetanus
Maternal & Nenatal, Jakarta : Bakti Husada
Laksamana, H1., Aditya, R2. (2018). Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit, Vol.
36, No. 3, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Laksmi, N. (2018). Penatalaksanaan Tetanus, Vol. 41, No. 11, Bali, Indonesia.
Rahmanto, D. (2016). Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Pada Kematian Pasien Tetanus
Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
Saraswita, K. (2014). Penatalaksanaan Tetanus, Puskesmas Mendoyo I, Bali, Indonesia.
Setiati, S., Dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. InternaPublishing, Diponegoro 71
Jakarta Pusat.
Simanjuntak, P. (2018). Penatalaksanaan Tetanus Pada Pasien Anak. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Vol. 1, No. 4.
Sudoyo, A., Dkk. (2017). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai