DISUSUN OLEH :
ANI HERAWATI
1590123022
Oleh :
ANI HERAWATI
1590123022
Kaprodi
2. Etiologi
Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini banyak
ditemukan di sekitar manusia, seperti di tanah, debu, tinja manusia atau hewan, serta di
permukaan benda-benda yang berkarat. Saat masuk ke dalam tubuh manusia,
bakteri Clostridium tetani akan mengeluarkan racun tetanospasmin yang menyerang
sistem saraf pusat. Racun ini nantinya akan menghalangi sinyal saraf dari sumsum
tulang belakang ke otot. Akibatnya, otot menjadi kaku dan tegang.
Tanda Gejala
Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot volunter berupa kekakuan dan
kejang. Kekakuan adalah kontraksi otot yang tonik dan tidak disengaja, sedangkan
kejang adalah kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat yang dapat dipicu oleh
peregangan otot atau rangsangan sensorik; mereka disebut kejang refleks. Misalnya,
kekakuan otot temporal dan otot maseter menyebabkan trismus (rahang terkunci), yaitu
berkurangnya kemampuan membuka mulut. Upaya membuka mulut, misalnya saat
pemeriksaan fisik, dapat menyebabkan kejang yang menyebabkan rahang mengatup
sepenuhnya.
Tetanus dikategorikan menjadi generalisata, neonatal (bentuk umum pada anak
kurang dari satu bulan), lokal, dan cephalic (yaitu tetanus yang terlokalisasi di daerah
kepala). Tetanus umum dan neonatal mempengaruhi otot-otot seluruh tubuh dan
menyebabkan opistotonus (melengkung ke belakang dari kolumna karena kekakuan otot
ekstensor leher dan punggung) dan dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan
kematian karena kekakuan dan kejang pada laring dan otot pernapasan. Tetanus lokal
dan sefalik hanya mencakup sebagian kecil kasus; namun, mereka dapat berkembang
menjadi bentuk umum.
Tergantung pada apakah tetanus bersifat lokal/cephalic atau
generalized/neonatal, tetanus biasanya bermanifestasi sebagai trismus/lockjaw, risus
sardonicus, disfagia, kekakuan leher, kekakuan perut, dan opistotonus, yaitu hiperaktif
otot kepala, leher, dan badan . Anggota badan cenderung tidak terlalu terkena
dampaknya, tetapi dengan opistotonus penuh juga terdapat fleksi lengan dan ekstensi
kaki, seperti pada postur dekortikasi. Trismus sering kali merupakan gejala awal pada
tetanus lokal/sefalik dan umum, namun penyakit ini dapat muncul dengan salah satu
gejala yang disebutkan di atas. Selain itu, nyeri otot umum, kelumpuhan fokal flaccid,
dan serangkaian gejala tidak biasa yang mencerminkan pola inaktivasi saraf yang tidak
biasa, termasuk diplopia, nistagmus, dan vertigo, dapat terjadi.
Tindakan toksin tetanus tidak terbatas pada sistem motorik. Disfungsi otonom
dengan episode takikardia, hipertensi, dan berkeringat, kadang-kadang bergantian
dengan bradikardia dan hipotensi sering terjadi, terutama pada tetanus umum. Gejala-
gejala tersebut disejajarkan dengan peningkatan dramatis dalam sirkulasi adrenalin dan
noradrenalin, yang dapat menyebabkan nekrosis miokard. Gejala otonom cenderung
timbul seminggu setelah timbulnya gejala motorik. Mereka telah ditafsirkan untuk
mencerminkan efek toksin tetanus pada batang otak, meskipun masuknya toksin tetanus
ke terminal saraf preganglionik sistem saraf simpatis telah dibuktikan pada hewan
percobaan, efek toksin tetanus pada neuron ini diperkirakan menyebabkan disregulasi
otonom. Dengan kemajuan perawatan intensif modern, yang membuat insufisiensi
pernapasan yang dimediasi tetanus menjadi kondisi yang dapat diobati, disfungsi
otonom telah menjadi penyebab utama kematian pada korban tetanus.
Saraf sensorik juga dapat diserang oleh toksin tetanus, menyebabkan perubahan
sensasi, seperti nyeri dan allodynia. Tidak jelas di mana efek ini terjadi, karena bukti
eksperimental menunjukkan bahwa toksin tidak mampu melewati ganglia sensorik
tulang belakang. Oleh karena itu, efek sensorik dari toksin harus bersifat
perifer. Namun, pelepasan neurotransmitter vesikular dari neuron sensorik terjadi secara
terpusat, di sumsum tulang belakang atau batang otak. Paradoks yang tampak ini
mungkin mencerminkan fakta bahwa perubahan sensasi pada tetanus sebagian besar
terlihat di daerah kepala, yaitu di daerah saraf trigeminal (kranial), yang ganglionnya
mungkin berbeda dari saraf tulang belakang. saraf sensorik sehubungan dengan
transportasi aksonal toksin tetanus.
Tidak diketahui apakah toksin tetanus yang masuk ke batang otak menyebar ke
struktur yang terlibat dalam fungsi yang lebih tinggi, seperti kognisi dan pengaturan
suasana hati. Gejala seperti ini jarang dilaporkan. Dalam survei terbaru terhadap 68
pasien dari Ethiopia, perubahan mental tercatat pada tahap awal pada tiga pasien, namun
tidak disebutkan apakah gejala tersebut dapat dikaitkan dengan tetanus itu
sendiri. Gejala sisa tetanus pada bayi baru lahir termasuk cacat intelektual, yang
mungkin menunjukkan efek toksin tetanus pada fungsi otak yang lebih tinggi. Penelitian
pada hewan menunjukkan efek yang jelas dari toksin tetanus pada aktivitas saraf setelah
penerapan fokus pada korteks serebral, yang menyiratkan bahwa jika toksin mencapai
otak pada korban tetanus, fungsi otak yang lebih tinggi mungkin akan terpengaruh.
Gejala utama tetanus adalah otot rahang (trismus) yang mengencang. Kondisi ini
dapat menyebabkan mulut sulit terbuka dan penderitanya sulit menelan
makanan. Gejala lain yang muncul akibat tetanus adalah :
1. Kaku otot yang meluas hingga ke leher, lengan, dan perut.
2. Sakit kepala
3. Sesak napas
4. Gelisah dan sensitif terhadap cahaya, suara, dan sentuhan.
5. Demam lebih dari 38°C.
6. Keringat berlebihan
7. Air liur keluar terus-menerus.
8. Tekanan darah meningkat.
9. Peningkatan detak jantung (takikardia).
10. Gangguan irama jantung (aritmia).
Kemunculan gejala tersebut bisa terjadi dalam 3-21 hari setelah infeksi terjadi,
tetapi biasanya muncul di hari ke-14. Sementara pada bayi, butuh waktu selama 3
hingga 2 minggu sampai gejala pertama kali muncul.
3. Patofisiologi
Melalui mekanisme yang mirip dengan toksin botulinum, toksin tetanus diserap
ke terminal saraf neuron motorik bawah, sel saraf yang mengaktifkan otot-otot
sadar. Toksin tetanus adalah metalloproteinase yang bergantung pada seng yang
menargetkan protein (synaptobrevin/vesicle-associated membran protein—VAMP)
yang diperlukan untuk pelepasan neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel
sinaptik dengan membran plasma neuron. Oleh karena itu, gejala awal infeksi tetanus
lokal mungkin berupa kelumpuhan lembek, yang disebabkan oleh gangguan pelepasan
asetilkolin secara vesikuler pada sambungan neuromuskular, seperti yang terjadi pada
toksin botulinum. Namun, tidak seperti toksin botulinum, toksin tetanus mengalami
transpor retrograde yang luas di akson neuron motorik bawah dan dengan demikian
mencapai sumsum tulang belakang atau batang otak. Di sini, toksin diangkut melintasi
sinapsis dan diambil oleh ujung saraf dari neuron penghambat GABAergik dan/atau
glisinergik yang mengontrol aktivitas neuron motorik bawah. Begitu berada di dalam
terminal saraf penghambat, toksin tetanus membelah VAMP, sehingga menghambat
pelepasan GABA dan glisin. Hasilnya adalah denervasi parsial fungsional dari neuron
motorik bawah, yang menyebabkan hiperaktif dan peningkatan aktivitas otot dalam
bentuk kekakuan dan kejang. Tidak jelas sejauh mana toksin tetanus di sumsum tulang
belakang dan batang otak juga diserap ke dalam ujung saraf rangsang, seperti ujung
saraf yang berasal dari neuron motorik atas, atau ujung saraf yang menyampaikan
impuls dari gelendong otot dan merupakan bagian sensorik dari saraf tersebut.
4. Pengkajian
Tempat : Puskesmas Cidolog
Tanggal Pengkajian : 23 Oktober 2023, Jam 16.00 WIB
Nama Pengkaji : Ani Herawati
A. Subjektif
1. Identitas
Data Istri Suami
Nama Pasien Ny. Y Tn. S
Usia 18 Tahun 21 Tahun
Alamat Dusun Gunungsari 08/04, Desa Dusun Sukamulya, RT 02/01 Desa
Hegarmanah, Kecamatan Cidolog Hegarmanah, Kecamatan Cidolog
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Suku Sunda Suku Sunda
Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Buruh Harian Lepas
Pendidikan SMA SMA
Golongan Darah
2. Keluhan Utama
Pasien datang untuk melakukan pemerikisaan calon pengantin
B. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda Vital Tekanan Darah : 118 / 73 mmHg
Nadi : 95 kali /
menit Pernafasan :
20 kali / menitSuhu :
36,3 ‘C
d. Antropometri Berat Badan Sekarang : 75 kg
Tinggi Badan : 161 cm
LILA : 27 cm
3. Pemeriksaan Laboratorium
5. Perumusan Diagnosa
a. Ny. Y dan Tn. S calon pengantin dalam keadaan sehat.
6. Perencanaan
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan calon pengantin pasangan
diperbolehkan menikah dengan menunda kehamilan terlebih
dahulu yang diikuti dengan program pemasangan KB sampai
usia 20 tahun
8. Evaluasi
Bidan melakukan konseling sekaligus melakukan edukasi terkait
pemeriksaan kesehatan calon pengantin yang sudah dilakukan. Hasil dari
konseling tersebut menunjukan klien paham mengenai hasil tersebut dan paham
akan batasan resiko pernikahan, kehamilan, persalinan apabila terjadi dalam usia
resiko tinggi. Bidan menyarankan untuk dilakukan pemasangan KB terlebih
dahulu agar penundaan kehamilan dapat terjadi edukasi dilakukan bukan hanya
pada calon istri tetapi pada calon suami juga, pasangan memahmi dan akan
memikirkan terlebih dahulu.