Anda di halaman 1dari 10

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Fisiologi

Sistem persarafan terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron dan jaringan penunjang
yang disebut neuroglia. Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi
(SST). SSP terdiatas otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi merupakan susunan
saraf diluar SSP yang membawa pesan ke dan dari sistem saraf pusat. Sistem persarafan
berfungsi dalam mempertahankan kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme sehingga
tubuh tetap mencapai keseimbangan. Stimulasi yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber
dari lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut
tubuh dapat mengadaptasi sehingga tubuh tetap seimbang. Upaya tubuh dalam mengadaptasi
perubahan berlangsung melalui kegiatan saraf yang dikenal sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh
tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang tidak seimbang atau sakit
(Suddart & Brunner, 2002).
Fungsi saraf:
a. Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf sensori.
Saraf sensori disebut juga Afferent Sensory Pathway.
b. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
c. Mengolah informasi yang diterima baik ditingkat medula spinalis maupun di otak untuk
selanjutnya menentukan jawaban atau respon.
d. Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai
kontrol atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga Efferent Motorik Pathway.
Medula spinalis merupakan perpanjangan medula oblongata ke arah kaudal di dalam
kanalis vertebralis mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I memanjang hingga setinggi cornu
vertebralis lumbalis I - II. Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmennya terdiri dari satu pasang
saraf spinal. Dari medula spinalis bagian cervical keluar 8 pasang, dari bagian thorakal 12
pasang,dari bagian lumbal 5 pasang dan dari bagian sacral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1
pasang saraf spinal. Salah satu fungsi medulla spinalis sebagai system saraf pusat adalah sebagai
pusat reflex. Fungsi tersebut diselenggrakan oleh subtansia grisea medulla spinalis. Reflex
adalah jawaban individu terhadap rangsangan. Melindungi tubuh terhadap perbuahan yang
terjadi baik baik di lingkungan internal maupun eksternal . kegiatan reflex terjadi melalui jalur
tertentu yang di sebut lengkung reflex.
Fungsi medulla spinalis:
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikormu motoric atau kormu ventralis
b. Mengurus kegiatan reflex spinalis dan reflex tungkai
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
d. Mengadakan komunikasi anatar otak dengan semua bagian tubuh.

1.2 Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan
kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman
pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuscular
(neuromuscular junction) dan saraf otonom.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh
clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Sampai saat ini
tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang karena akses
program imunisasi yang buruk (Jaya & Aditya, 2018)

1.3 Epidemiologi
Tetanus merupakan penyakit serius yang mengancam nyawa yang menjadi masalah
kesehatan dunia terutama di negara yang berkembang dengan angka kejadian 1.000.000 pasien
setiap tahunnya di dunia. Di Indonesia, insidensi berkisar 0.2/100.000 populasi. Berdasarkan data
dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), angka kejadian tetanus telah menurun
melebihi 95% dibandingkan sejak pertama kali penyakit ini ditemukan pada tahun 1947, dan
angka kematian telah menurun 99%. Pada tahun 2015, di United States, terdapat 29 kasus
tetanus, dengan case fatality rate 13.2%.3,8 Angka kematian bervariasi, berkisar 60.000
kematian setiap tahun di dunia (Clarissa Tertia et al., 2019).
Di negara-negara dengan sumber daya tinggi, seperti Amerika Serikat, kasus tetanus
terjadi pada orang yang tidak diimunisasi atau pada orang tua yang mengalami penurunan
kekebalan dari waktu ke waktu. Pengguna narkoba intravena juga berisiko karena jarum atau
obat yang terkontaminasi (Bae & Bourget, 2022).
Tetanus adalah penyakit dunia yang belum berkembang. Ini lebih sering ditemukan di
daerah di mana tanah dibudidayakan, di iklim hangat, dan di antara laki-laki. Ini juga lebih sering
terlihat pada neonatus dan anak-anak di negara-negara di mana tidak ada program imunisasi (Bae
& Bourget, 2022).

1.4 Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium tetani. Bakteri ini berspora,
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun. Jika spora menginfeksi luka seseorang, bersamaan dengan daging atau bakteri
lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin (Jaya & Aditya, 2018)
1.5 Klasifikasi
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang
lebih satu bulan, dimana makin pendek masa inkubasi makin buruk. Terdapat hubungan anatara
jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat , dengan interval
antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit, makin jauh tempat invasi , masa inkubasi
makin panjang.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 2
hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul
gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap. Yaitu : 1. Tahap awal Rasa
nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini.
Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita mengalami kesulitan
menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung. 2. Tahap
kedua Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot penguyah (Trismus). Gejala
tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengantup
dengan ketat, dan mulut tidak bias dibuka sama sekali. Kekakuan ini bias menjalar ke otototot
wajah, sehingga wajah penderita akan melihat menyerinagi(Risus Sardonisus), karena tertarik
dari otot- otot disudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa
nyeri. Kekuatan tersebut akan semakin meningkat sehingga kepala pendrita akan tertarik ke
belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap
ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk
bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan nadi daerah dada, suara berubah
karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkaru berat, dan gerakan dari langitlangit mulut
menjadi terbatas. 3. Tahap ketiga Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat. Maka
terjadilah kejang reflex. Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot.
Kejang otonomi bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya
rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyiandan sebagainya. Pada awalnya,
kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan
dengan frekuensi yang lebih sering. Disfungsi autonomic nervous system (ANS) terjadi pada
bentuk yang berat pada tetanus. Sirkulasi ketolamin meningkat yang menyebabkan terjadinya
radang otot jantung (Mycarditis). Bradyaritma, refraktori hipotensi dan henti jantung dapat
terjadi. Tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kencing dan sembelit. Perlukan indah,
bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat terjadi akibat adanya kejang otot ini, sehingga
beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran
nafas, sehingga reflex batuk tidah memadai, dan penderita tidak dapat menelan. Adapun
klasifikasi dari tetanus ini, adalah sebagai berikut :
1. Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang
menjadi bentuk umum, kasus dapat berakibat fatal kira-kira 1% dari seluruh kasus.
2. Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus ototmaseter dapat terjadi
bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan
dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa
risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan
kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus dan dapat pula timbul kejang
tetani akibat kekakuan beberapa grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas
bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.
3. Tetanus Sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka dikepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai
prognosis buruk karena dapat melibatkan kerusakan pada saraf kranialis dan fungsi batang otak
serta gangguan ANS yang dapat menyebabkan kematian. Gangguan nervus VII merupakan
gejala yang paling sering terjadi pada tetanus sefalik biasanya terlihat gejala Bells palsy, selain
nervus VII, gangguan nervus III juga bisa terjadi (Mahadewa, 2017)

1.6 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada dilingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila
ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah yaitu pada jaringan
nekrosis atau jaringan yang terinfeksi. Kuman ini dapat membentuk metaloexptosin tetanus,
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin dapat menyebabkan kerusakan secara lokal dan
jaringan sekitar serta mengoptimalkan daerah multipikasi bakteri. Yang terpenting untuk
manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin tetanospasmin
pada sinaps ganglion spiral dan neuromuskular junction serta saraf otonom. Toksin dari tempat
luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglionside di jalarkan secara
intraaxonal kedalam sel saraf tepi kemudian ke kornu anteriorsumsum tulang belakang, akirnya
menyebar ke SSP. Eksotoksin ini dapat mengganggu fungsi dari sel-sel Renshaw, yang bertugas
sebagai penghambat sel motorneuron. Oleh karena terganggunya sel Renshaw, maka timbulah
depresi dari sinapsis penghambat dari motor neuron. Pengaruh tersebut berupa gangguan
terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neuro transmitter inhibisi yaitu
GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada
tempat masuk kuman atau pada oto masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum
belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut
dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga
berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernapasan, metabolisme, hemodinamika,
hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular.
1.7 Manifestasi klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan
kadang lebih satu bulan, dimana makin pendek masa inkubasi makin buruk. Terdapat hubungan
anatara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan
interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit, makin jauh tempat invasi, masa
inkubasi makin panjang.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga
2 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul
gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap. yaitu :
1. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal
penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita mengalami
kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
2. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot penguyah (Trismus). Gejala tahap
kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengantup dengan
ketat, dan mulut tidak bias dibuka sama sekali. Kekakuan ini bias menjalar ke otototot wajah,
sehingga wajah penderita akan melihat menyerinagi(Risus Sardonisus), karena tertarik dari otot-
otot disudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekuatan tersebut akan semakin meningkat sehingga kepala pendrita akan tertarik ke belakang
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala
lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan
menelan makanan. Penderita mengalami tekanan nadi daerah dada, suara berubah karena
berbicara melalui mulut atau gigi yang terkaru berat, dan gerakan dari langitlangit mulut menjadi
terbatas.
3. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat. Maka terjadilah kejang reflex.
Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otonomi bisa terjadi
spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya
cahaya, sentuhan, bunyi-bunyiandan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung
singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Disfungsi autonomic nervous system (ANS) terjadi pada bentuk yang berat pada tetanus.
Sirkulasi ketolamin meningkat yang menyebabkan terjadinya radang otot jantung (Mycarditis).
Bradyaritma, refraktori hipotensi dan henti jantung dapat terjadi. Tetanus dapat menyebabkan
sulit buang air kencing dan sembelit. Perlukan indah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi
akibat terjadi akibat adanya kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan
karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga reflex batuk tidah
memadai, dan penderita tidak dapat menelan.

1.8 Pemeriksaan penunjang


Cara mendiagnosis tetanus berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tidak ada
konfirmasi tes yang digunakan, walaupun kultur C. Tetani dari luka dapat membantu. Pencarian
fokal infeksi sangat penting, walaupun beberapa kasus tetanus terjadi tanpa ditemukan luka yang
jelas. Diagnosis tetanus berdasarkan adanya gejala-gejala tetanus dan bukan berdasarkan hasil
isolasi bakteri, karena hanya 30% kasus pada luka ditemukan isolasi bakteri.
Tes spatula merupakan tes klinis untuk tetanus dengan cara menyentuh dinding posterior
faring menggunakan spatula yang steril. Hasil positive menunjukkan bila ditemukan kontraksi
involunter dari otot rahang (pasien menggigit spatula) dan hasil negative adalah akan terjadi
reflek muntah akibat adanya benda asing.
Adapun pemeriksaan penunjang lainnya, diantaranya adalah :
1. Darah
- Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N : <200mq/dl)
- BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat
- Elektrolit : Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang Kalium (N :
3,80-5,00meq/dl Natrium (N : 135-144meq/dl)
2. Skull ray untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
3. EEG teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

1.9 Penatalaksanaan medis


a. Farmakologis

1) Antitoksin
Antitoksin yang dianjurkan adalah human tetanus immunoglobulin (HTIG) dengan dosis
3000-6000 unit intramuskular dibagi dalam beberapa kali pemberian dengan dosis yang
sama. Dosis bayi adalah 500 unit intramuskular tunggal.
2) Antibiotik
Antibiotik digunakan untuk mengeradikasi bakteri. Antibiotik pilihan
adalah metronidazole dengan dosis 500 mg intravena setiap 6 jam atau 1 gram setiap 12 jam
untuk pasien dewasa dan 7,5 mg/kg BB tiap 8 jam. Antibiotik lain yang dapat digunakan
adalah klindamisin, tetrasiklin, eritromisin, kloramfenikol, dan penisilin.
3) Benzodiazepin
Untuk mengurangi spasme yang terjadi akibat efek toksin, dapat diberikan obat golongan
benzodiazepin. Diazepam dapat diberikan secara berkelanjutan dengan dosis 0,5-15
mg/kg/hari atau diberikan intermiten dengan dosis 5 atau 10 mg maksimal 3 dosis setiap jam.
Beberapa pasien dapat mentoleransi dosis diazepam hingga 600 mg per 24 jam.
b. Non farmakologis
Terapi suportif meliputi membebaskan jalan nafas , menghindari aspirasi dengan cara
menghisap lendir perlahan-lahan dan memindahkan posisi pasien, pemberian oksigen,
perawatan dengan stimulasi minimal, pemberian cairan dan nutrisi adekuat bila perlu dapat
dipasang sonde nasogatrik, tetapi jangan sampai memperkuat kejang, pemberian bantuan
nafas pada tetanus dan pemantauan kejang, isolasi penderita di tempat gelap.

1.10 Pathway
DAFTAR PUSTAKA

Bae, C., & Bourget, D. 2022. Tetanus. StatPearls.


Clarissa Tertia, I Ketut Sumada, & Ni Ketut Candra Wiratmi. 2019. Laporan Kasus: Tetanus
Tipe General pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi. Callosum Neurology, 2(3), 9–10.
https://doi.org/10.29342/cnj.v2i3.82
Jaya, H. L., & Aditya, R. 2018. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit. Majalah
Anestesia Dan Critical Care, 36(3), 114–121. http://journal.perdatin.org
Mahadewa, T. G. . 2017. Penanganan Praktis Bedah Saraf. CV Sagung Seto.
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai