Anda di halaman 1dari 6

Klasifikasi dan Morfologi Clostridium tetani

Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah:


Kingdom

: Bacteria

Division

: Firmicutes

Class

: Clostridi

Order

: Clostridiales

Family

: Clostridiaceae

Genus

: Clostridium

Species

: Clostridium tetani

Clostridium tetani Bentuk batang, berukuran panjang 2-5 mikron, lebar 0,4-0,5
mikron, dapat bergerak, termasuk gram positif anaerob berspora, membentuk
exotoxin yang disebut tetanospasmin (tetanus spasmin), dan ketika bakteri ini
mengeluarkan

eksotoxin

tetanospasmin

dan

maka

akan

tetanolisin.

menghasilkan

Tetanospasminlah

eksotoxin

yaitu

yang

dapat

menyebabakanpenyakit tetanus karena bersifat neurotoxin yang mula-mula


akan menyebabkan kejang otot dan saraf parifer setempat, hidup anaerob,
bentuk sporanya lebih besar dari pada selnya, dan letaknya terminal (diujung)
menyerupai sendok. Bentuk sporanya dapat betahan hidup sampai bertahuntahun.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5
nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram
(154lb)

manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah


protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan
gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari Clostridium
tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya
juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015
menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. Timbulnya
tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka
yang dalam dengan perawatan yang salah.

Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan


pengeringan. Bakteri ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan
pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif
dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin,
yaitu

tetanolisin

dan

tetanospasmin.

Tetanolisin

belum

diketahui

kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in


vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf
pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang

Patogenesis dan Patofisiologi


Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode
inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi
klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme).
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan Di alam, tanah, kotoran
manusia dan hewan terutama kuda peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat
masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam
bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi
luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat.

Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga


ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi
penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini,
namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.

Clostridium tetani

Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai
cara,

sebagai

berikut

1. Masuk ke dalam otot


Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau
sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya
secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat
masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem
limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
2. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
3. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem
limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka.
Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting
sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia
sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian
antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran

darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang
sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan
ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak
langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf
pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut
saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf
motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior
medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian
bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Mekanisme kerja toksin tetanus:


1. Jenis toksin
Clostridium

tetani menghasilkan

tetanolisin

dan

tetanospsmin.

Tetanolisin

mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik
dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum
diketahui

pasti. Tetanospasmin

mempunyai

efek

neurotoksik,

penelitian

mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin


tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf


Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik
pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini
penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara
pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984)
berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang
mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan
dengan

sel

saraf.

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter


Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat,
yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang
berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak

mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara


spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus:


1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik
yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari
SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak
saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti
suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena
motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal
ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa
yang resisten terhadap toksin.
a. Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada
kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion
posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.
b. Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak,
seberapa

jauh

efek

hipoksia,

gangguan

metabolisme

dan

sedatif

atau

antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer


Toksin

tetanus

menyebabkan

penurunan

pelepasan

asetilkolin

sehingga

mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP

tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke
SSP. Kadang-kadang

efek

neuroparalitik

terlihat pada

tetanus

sefal

yaitu

paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek
paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

Anda mungkin juga menyukai