Anda di halaman 1dari 14

PATOLOGI TETANUS

Faza Al Apdarrovis

04011281924051

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh
bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara
mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d'entree tak selalu dapat diketahui dengan
pasti, namun diduga melalui :

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab
utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus
tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh
tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga
berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi.

Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang
sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.
Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan
pengaruhnya di keempat sistem saraf yang dibawa melalui pembuluh darah ataupun limfe
:

(1) motor end plate di otot rangka,


(2) medula spinalis,
(3) otak, dan
(4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis.

Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat
badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat
badan 70 kg.

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai
berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-
otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf
pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus,
selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat
pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada
manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan
dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan
saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal
yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain
melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin
ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang
mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian
bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate
dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke
susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah.
Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor
khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan
kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara
ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi
pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila
tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.

Dampak toksin antara lain :

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena


eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi
impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan
gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block,
atau takikardia.

Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi
tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patab tulang jari
dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril.

Spora Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang
oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetativ dan
berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis
sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetativ yang sedang
tumbuh. Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin yang dihasilkan bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri
ini dengan merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana
anaerob yang terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis tetapi tidak
berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian menjadi agen
penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.

Dalam kondisi normal, sistem musculoskeletal akan bereaksi sesuai dengan sinyal (aktif
potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik). Sel-sel neuron
akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan menghasilkan neurotransmiter dan
dikeluarkan menggunakan suatu protein membran (synaptobrevin) menuju saraf motorik.
Neurotransmiter tersebut kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan
merangsang serat otot untuk bereaksi.

Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan neurotransmiter


seperti asetilkolin untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke motor neuron yang
merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron inhibitorik juga akan
menghasilkan neurotransmitter seperti GABA untuk membatasi gerakan dan menodulasi
kontraksi yang terjadi, di mana pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat
bersamaan terdapat otot lain yang relaksasi (antagonis refleks). Infeksi Clostridium tetani
menyebabkan neuron inhibitorik gagal mengeluarkan neurotransmitter inhibitori,
sehingga kontraksi yang terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya
baik otot agonis maupun antagonis mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga
terjadi spasme otot yang menjadi gambaran khas pada tetanus.
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin :

 Tetanus lokal
Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang
masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di
sekitar luka.
 Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang
terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan
medula spinalis servikalis.
 Ascending Tetanus
Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai
tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal,
toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.
 Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan
kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian
mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang
sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang mengurus
otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang
saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:

Ketika paku menusuk ke dalam jaringan, terjadi nekrosis jaringan akibat tusukan paku
tersebut. Jaringan yang nekrosis tersebut menyebabkan lingkungan yang sempurna bagi
bakteri Clostridium tetani, dikarenakan bakteri tersebut merupakan bakteri anaerob,
sehingga memungkinkan untuk Clostridium tetani untuk membelah diri. Ketika
clostridium tetani membelah diri, dikeluarkan lah toksin tersebut. Toksin tersebut adalah
tetanospasmin dan tetanolysin.
Protein toksin tetanus memiliki berat molekul 150  kDa . Protein ini ditranskripsikan
dari gen tetX sebagai satu protein yang kemudian dibelah menjadi dua bagian: Heavy
chain 100 kDa atau rantai B dan Light chain 50 kDa atau rantai A. Rantai tersebut
dihubungkan oleh ikatan disulfida .

 Rantai-B mengikat disialo gangliosida (GD2 dan GD1b) pada membran saraf


yang akan membantu pergerakan protein melintasi membran itu dan masuk ke neuron
selain itu juga terdapat fragmen C yang akan dikenali oleh reseptor gangliosidik di akson
terminal
 Rantai-A, endopeptidase seng keluarga-M27 , menyerang protein membran terkait
vesikel (VAMP).
Tetanospasmin akan memasuki pembuluh darah, dan beredar ke tubuh atau dapat
langsung kemudian ketika sampai di otot, Tetanospasmin akan memasuki neuron motorik
di Neuromuscular junction. Ketika tetanospasmin sampai di Neuromuscular junction,
tetanospasmin akan berikatan dengan reseptor pada ujung sinaps atau axon terminal dari
Neuron motorik. Tetanospasmin kemudian akan dibawa masuk, dan akan ditranspor
secara retrograde atau melawan arah transport menuju ke arah balik ke Soma atau badan
sel di Medulla Spinalis, lalu dibawa keluar ke celah sinaps antara Inhibitory neuron dan
Motor neuron. Kemudian, Tetanospasmin akan berikatan dengan reseptor di terminal
axon Inhibitory neuron, kemudian akan di endocytosis oleh neuron inhibitor, membentuk
vesikel dengan berisi tetanospasmin. Di dalam sel, ikatan disulfide dari pada
tetanospasmin akan terputus akibat pH yang rendah di dalam sel. Tetanospasmin
memiliki dua bagian. Salah satu bagian tetanospasmin tersebut akan bertindak sebagai
transporter agar bagian lain dari Tetanospasmin dapat keluar dari vesikel tersebut.
Pada axon terminal neuron inhibitor motorik, Vesikel vesikel yang berisi
Neurotransmitter inhibitor agar dapat menghentikan Potensial aksi neuron motorik agar
tidak menghasilkan asetilkolin yang berfungsi untuk membuat kontraksi otot.

Vesikel yang berisi neurotransmitter inhibitorik, memiliki protein VAMP di membrane


vesikelnya. VAMP akan berikatan dengan reseptor VAMP di ujung membrane axon
terminal, sehingga dapat menyebabkan fusi membrane vesikel sehingga dapat
menyebabkan keluarnya molekul neurotransmitter.
Bagian tetanospasmin yang keluar dari vesikel tadi, akan bersifat sebagai protease yang
akan memecah ikatan protein pada VAMP, sehingga menyebabkan vesikel yang berisi
neurotransmitter inhibitorik tidak dapat dikeluarkan oleh neuron inhibitorik.

Perubahan akibat toksin tetanus:

1. Susunan saraf pusat


Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat
menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic
pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini
diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu
posterior dan interneuron.

Fungsi luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer


Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek
neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparal itik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus
terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

a. Neuropati perifer
b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah
sembuh.
c. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot
(retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis
medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai
berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu
dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan


Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi
sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu
ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia
dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di
pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan
dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat
menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi
bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan
ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti
sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

e. Gangguan pusat pernafasan


Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat
terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung
dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu
ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan

pada penderita tetanus adalah :

 Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada
jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai /2-1 jam.
 Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory
arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
 Henti nafas akut dan mati mendadak.
Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder
seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.

5. Gangguan hemodinamika
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik

 Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis,


infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang
kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
 Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
 penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutamma fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan
maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat,
ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan
mengurangi pembentukan ATP, keadaan

ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai
antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini
mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh
tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.

7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada
penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya
demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness
menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi
hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal.
Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya
hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin.

8. Gangguan pada sistem lain


Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mito sis hepatosit dan kongesti-pendarahan-
ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efektoksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat
terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di
tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis.
Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan
permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

Anda mungkin juga menyukai