Anda di halaman 1dari 23

ESSAY

BLOK PSIKIATRI

“Gangguan Jiwa”

Disusun Oleh:

Nama : Isnatiya Noviana

NIM : 020.06.0037

Kelas :A

Tutor : Dr. dr. Putu Asih Primatanti, Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2022
“Psikopatologi & Diagnosis Gangguan Jiwa”

Latar Belakang

Psikiatri adalah cabang ilmu medis yang mempelajari tentang cara mendiagnosis,
pengobatan, dan pencegahan gangguan jiwa, emosional, sampai dengan prilaku.
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan kejiwaan akut pada pikiran, perilaku, suasana
hati, atau hubungan sosial yang memerlukan penanganan segera. Akut berarti keluhan baru
saja terjadi atau muncul secara tiba-tiba. Keadaan darurat ini harus segera ditangani untuk
menyelamatkan pasien dan/atau orang lain dari bahaya yang mungkin terjadi karena
gangguan tersebut. Pasien yang datang dengan keadaan darurat psikiatri biasanya memiliki
gangguan mania, psikosis akut, ide bunuh diri, atau ide pembunuhan. Psikosis adalah ketika
seseorang mengalami gangguan hubungan dengan kenyataan sehingga tidak dapat
membedakan mana yang nyata dan tidak nyata. (Sylvia, 2017)

Psikopatologi tersusun atas dua kata yaitu “psiko” dan “patologi”. Psiko merupakan
serapan dari psyche (secara harafiah artinya jiwa atau perilaku), dan patologi sebagai ilmu
tentang penyakit, yaitu sesuatu yang menyebabkan gangguan pada makhluk hidup. Dalam
pandangan ini, psikopatologi diartikan sebagai kajian ilmiah mengenai gangguan jiwa atau
perilaku. (Sylvia, 2017)

Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih fungsi penting dari manusia, yaitu
fungsi psikologik, perilaku, biologik, gangguan tersebut mempengaruhi hubungan antara
dirinya sendiri dan juga masyarakat. Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk
penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditentukan ketidakwajaran
dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan. Gangguan
jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa. Ganguan jiwa adalah
gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi
(penangkapan panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi
penderita dan keluarganya. (Maslim, 2013)
Isi/Pembahasan

Konsep Gangguan Jiwa menurut PPDGJ

Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah Gangguan Jiwa atau sering disebut
dengan Gangguan Mental (mental disoder), dan tidak menggunakan istilah “penyakit jiwa”
(mental disease/mental illness). Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih fungsi
penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, gangguan tersebut
mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga masyarakat. (Maslim, 2013)

Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III. Sindrom atau pola
perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cuhup bermakna, dan yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari rnanusia. Sebagai
tambahan, disimpulhan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik,
atau biologis, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang
itu dengan masyarakat. (Maslim, 2013)

Konsep gangguan jiwa dari DSM-IV (yang merupakan rujukan dai PPDGJ-III).
Gangguan Mental dikonseptualisasikan sebagai signifikan secara klinis sindrom atau pola
perilaku atau psikologis yang terjadi pada seorang individu dan yang terkait dengan
kesusahan saat ini (misalnya, gejala yang menyakitkan) atau kecacatan (yaitu, gangguan pada
satu atau lebih area fungsi penting) atau dengan peningkatan risiko yang signifikan menderita
kematian, rasa sakit, kecacatan, atau hilangnya kebebasan yang penting. (Maslim, 2013)

Konsep "Disability" dari "The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural


Disorders": Gangguan kinerja (performance) dalam peran sosial dan pekerjaan tidak
digunakan sebagai komponen esensial untuk diagnosis gangguan jiwa, oleh karena itu ini
berkaitan dengan variasi sosial-budaya yang sangat luas. Diartikan sebagai "Disability" yaitu
keterbatasan/ kekurangan kemampuan untuk melaksanakan suatu aktivitas pada tingkat
personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup seperti (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri,
buang air besar dan kecil). (Maslim, 2013)
Dari konsep tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa di dalam Konsep Gangguan
Jiwa, didapatkan butir-butir (Maslim, 2013):

1. Adanya Gejala Klinis yang bermahna, berupa : - Sindrom atau Pola Perilaku -
Sindrom atau Pola Psikologik
2. Gejala klinis tersebut menjmbulkan "penderitaan" (disfress), antara lain dapat berupa:
rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan "disabilitas" (disability) dalam aktivitas
kehidupan seharihari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll. (Maslim, 2013)

Pemeriksaan dan Wawancara

Perilaku pasien di hadapan dokter sebagian besar merupakan respon terhadap apa
yang dikatakan oleh dokter dan bagaimana dokter mengatakan itu, sikap dokter, dan
bagaimana pendapat pasien mengenai perilaku serta kepri badian dokter. Agar wawancara
dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan hendaknya senantiasa diusahakan untuk
menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dengan pasien.
Kepentingan memelihara hubungan ini mendahului kepentingan memperoleh data, karena
bagaimanapun data mengenai kejiwaan yang diperoleh tanpa hubungan yang optimal, dapat
mengelirukan kesan-kesan klinis tentang pasien. Jika kita ingin bertanya tentang gejala
pasien, senantiasa harus dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan menanyakan itu
kepada pasien. Jika konteksnya kurang tepat, misalnya jika pasien dipermalukan atau
tersinggung oleh pertanyaan itu (nyata atau tidak nyata), dia mungkin akan menolak atau
menyangkal, atau akan membuat-buat jawabannya. (Sylvia, 2017)

Wawancara selalu mengandung tanggung jawab baik diagnostik maupun terapeutik.


Berhadapan dengan pasien, dokter memengaruhi pasiennya dengan sikap dan perkataannya,
dari saat ke saat membuat pasien lebih tenang atau lebih tegang, membuatnya lebih terbuka
atau lebih tertutup, membuatnya lebih percaya atau lebih curiga. Selalu ada pengaruh
terapeutik atau kontraterapeutik dalam proses wawancara, tidak pernah netral. Wawancara
merupakan teknik yang diterapkan oleh dokter terhadap pasien untuk tujuan diagnostik
dan/atau tera peutik, tidak hanya menghasilkan pengaruh dokter terhadap pasien melainkan
juga sebaliknya. Disadari atau tidak, seorang dokter akan terpengaruh pula oleh sikap dan
perkataan pasien; hal tersebut akan tercermin dalam sikap, perkataan, dan perasaan dokter.
Dipicu oleh sikap dan perilaku pasien terhadapnya (belum lagi dipacu oleh kehidupan
fantasinya sendiri), dokter dapat menjadi tegang, tenang, kuatir, santai, tertutup, terbuka,
bosan, kesal, sedih, malu, terangsang, dll. Hal ini turut menentukan apa yang dikatakan
seorang dokter terhadap pasiennya (atau tidak dikatakannya), dan bagaimana dokter
mengatakannya. Dokter perlu belajar untuk memantau perasaan-perasaan reaktif tersebut,
agar ucapan-ucapannya kepada pasien sedapat-dapatnya beralasan profesional dan sesedikit
mungkin tercampur dengan unsur-unsur yang berasal dari respons emosional subjektifnya
sendiri. (Sylvia, 2017)

Pada umumnya wawancara akan efektif jika berlangsung dengan " alamiah " (natural),
dengan nada yang mirip "percakapan biasa", tidak kaku atau seperti serangkaian pertanyaan
gaya kuesioner yang "ditembakkan" kepada pasien. Wawancara akan lebih efektif bila tidak
memberi kesan bahwa dokter "memburu" gejala, rajin berusaha menemukan dan
mengumpulkan sifat-sifat psikopatologik saja pada pasiennya, bahkan kadang-kadang dengan
mencoba "memprovokasi" gejala-gejala itu. (Sylvia, 2017)

Proses wawancara dapat dilakukan pada pasien sendiri (autoanamnesa) maupun


dengan orang lain yang mengantar/keluarganya (heteroanamnesa) atas seijin pasien dan
sesuai indikasi. Dahulukan autoanamnesa secara terpisah sebagai penghargaan terhadap
penderita dan tidak menimbulkan kecurigaan, terutama pada penderita dengan kepribadian
agak curiga. (Sylvia, 2017)

Mengawali dengan pertanyaan terbuka (open ended question), kemudian sesuaikan


gaya wawancara dengan komunikasi yang berjalan spontan saat itu. Menginat untuk tetap
fleksibel, menjauhkan dari asumsi pribadi terhadap keadaan penderita, dan waspada terhadap
reaksi emosional yang mungkin terjadi. Gunakan pertanyaan tertutup (closed ended question)
pada saaat yang tepat untuk mengumpulkan berbagai detil yang tidak dapat diformulasikan
menjadi gambaran klinis atau diagnosis. Pendekatan yang baik adalah dengan
mengkombinasikan keduanya dengan teknik yang berkelanjutan dari pertanyaan luas ke
pertanyaan yang terfokus dan tajam. Memulai topik baru dengan pertanyaan terbuka yang
luas, lanjutkan dengan memfokuskan pada satu topik target, dan akhiri dengan pertanyaan
yang semakin menyempit, sesekali tertutup-tipe ya/tidak. Pertanyaan ya/tidak dapat
digunakan untuk verifikasi, spesifik, atau memancing respon. Jika ingin menghindari
pertanyaan tertutup, gunakan pertanyaan terbuka yang tajam dan fokus. (Sylvia, 2017)

Penderita gangguan jiwa sering mengalami distorsi tranferensi. Kewaspadaan dan


penghargaan tetang dinamika hubungan penderita dan dokter serta potensinya untuk distorsi
transferensi tentang dokter dari penderita, merupakan faktor yang sangat penting bagi dokter
agar tetap obyektif, menjaga jarak, menunjukkan empati dan tidak terlalu banyak sehingga
tidak hanyut dalam perasaan terhadap pasien. Dengan pandangan demikian maka dokter akan
tetap sabar, toleran dan cukup bebas dari cemas pribadi menghadapi penderita. (Sylvia, 2017)

Anamnesis, bertujuan untuk menggali data subyektif dengan menanyakan alasan


berobat dari keluhan utama pasien, riwayat gangguan sekarang, gangguan dahulu, riwayat
perkembangan diri, latar belakang sosial, keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan.
Jangan terlalu berharap pada wawancara yang pertama, tapi pupuklah kepercayaan pelan-
pelan sehingga dengan pertanyaan-pertanyaan yang halus kita dapat membuka rahasia hidup
penderita tanpa menimbulkan rasa cemas yang berlebihan. Penderita yang sangat terganggu
secara akut harus diperiksa secepat mungkin sebab keadaannya mungkin cepat berubah.
(Sylvia, 2017)

Gejala dan Tanda Gangguan Psikiatri

Gejala pengalaman subyektif yang dideskripsikan oleh pasien (sering diungkapkan


sebagai keluhan utama). Tanda yaitu pengamatan dan temuan objektif yang diperoleh klinis,
sindrom yaitu kumpulan gejala dan tanda. (Sadock, 2015)

1. Kesadaran dan Kognisi


a. Kesadaran/Sensorium
Kesadaran atau sensorium adalah suatu kondisi kesigapan mental individu
dalam menanggapi rangsang dari luar maupun dari dalam diri. Gangguan kesadaran
seringkali merupakan pertanda, keru sakan organik pada otak. Terdapat ber bagai
tingkatan kesadaran, yaitu (Sadock, 2015):
 Kompos mentis adalah suatu derajat optimal dari kesigapan mental indi vidu dalam
menanggapi rangsang dari luar maupun dari dalam dirinya. Individu mampu
memahami apa yang terjadi pada diri dan lingkungannya serta bereaksi secara
memadai.
 Apatia adalah suatu derajat penu runan kesadaran, yakni individu berespons lambat
terhadap stimulus dari luar. Orang dengan kesadaran apatis tampak tak acuh
terhadap situasi disekitarnya.
 Somnolensi adalah suatu keadaan kesadaran menurun yang cenderung tidur. Orang
dengan kesadaran som nolen tampak selalu mengantuk dan bereaksi lambat terhadap
stimulus dari luar.
 Sopor adalah derajat penurunan kesadaran berat. Orang dengan kesa daran sopor
nyaris tidak berespons terhadap stimulus dari luar, atau hanya memberikan respons
minimal terhadap perangsangan kuat.
 Koma adalah derajat kesadaran paling berat. Individu dalam keadaan koma tidak
dapat bereaksi terhadap rangsang dari luar, meskipun sekuat apapun perangsangan
diberikan padanya.
 Kesadaran berkabut yaitu suatu perubahan kualitas kesadaran yakni individu tidak
mampu berpikir jernih dan berespons secara memadai terhadap situasi di sekitarnya.
Seringkali individu tampak bingung, sulit memusatkan perhatian dan mengalmi
disorientasi.
 Delirium merupakan suatu perubahan kualitas kesadaran yang disertai gangguan
fungsi kognitif yang luas. Perilaku orang yang dalam keadaan delirium dapat sangat
berfluktuasi, yaitu suatu saat terlihat gaduh gelisah lain waktu nampak apatis.
Keadaan delirium sering disertai gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi
Biasanya orang dengan delirium akan sulit untuk memusatkan, mempertahankan dan
mengalihkan perhatian (3 P terganggu).
 Kesadaran seperti mimpi (Dream like state) adalah gangguan kualitas kesa daran
yang terjadi pada serangan epilepsi psikomotor. Individu dalam keadaan ini tidak
menyadari apa yang dilakukannya meskipun tampak seperti melakukan aktivitas
normal Perlu dibedakan dengan tidur berjalan (sleep walking) yang akan tersadar
bila diberikan perangsangan (dibangunkan), sementara pada draw like state
penderita tidak bereaksi terhadap perangsangan.
 Twilight state yaitu keadaan perubahan kualitas kesadaran yang disertai halu sinasi.
Seringkali terjadi pada gangguan kesadaran oleh sebab gangguan otak organik.
Penderita seperti berada dalam keadaan separuh sadar, respons terhadap lingkungan
terbatas, perilakunya impulsif, emosinya labil dan tak terduga. (Sadock, 2015)
b. Kognisi
Kognisi adalah kemampuan untuk mengenal/mengetahui mengenai benda atau
keadaan atau situasi, yang dikaitkan dengan pengalaman pembelajaran dan kapasitas
intelejensi seseorang. Termasuk dalam fungsi kognisi yaitu memori/daya ingat,
konsentrasi/perhatian, orientasi, kemampuan berbahasa, berhitung visuospatial, fungsi
eksekutif, abstraksi dan taraf intelejensi. (Sadock, 2015)
c. Perhatian/konsentrasi
Konsentrasi adalah usaha untuk mengarahkan akti vitas mental pada
pengalaman tertentu. Gangguan perhatian meliputi ketidakmampuan memusatkan
perhatian, mempertahankan perhatian ataupun mengalihkan perhatian. Pada gangguan
kesadaran khususnya pada delirium ketiga ranah perhatian tersebut terganggu. Terdapat
beberapa jenih gangguan perhatian/konsentrasi, yaitu (Sadock, 2015):
1. Distraktibilitas adalah ketidakmampuan individu untuk memusatkan dan mem
pertahankan perhatian. Konsentrasi nya sangat mudah teralih oleh berbagai stimulus
yang terjadi disekitarnya. Lazim ditemui pada gangguan cemas akut dan keadaan
maniakal.
2. Inatensi selektif adalah ketidakmampuan memusat kan perhatian pada obyek atau
situasi tertentu, biasanya situasi yang mem bangkitkan kecemasan. Misalnya seorang
dengan fobia simplek tidak mampu memusatkan perhatian pada obyek atau situasi
yang memicu fobianya.
3. Kewaspadaan berlebih (hypervigilance) adalah pemusatan perhatian yang berlebihan
terhadap stimulus eks ternal dan internal sehingga penderita tampak sangat tegang.
(Sadock, 2015)
d. Orientasi
Orientasi adalah kemampuan individu untuk mengenali obyek atau situasi
sebagaimana adanya. Dibedakan atas orientasi personal/orang, yaitu kemampuan untuk
mengenali orang orang yang sudah dikenalnya. Orientasi ruang/spatial, yaitu
kemampuan individu untuk mengenali tempat dimana ia berada. Orientasi waktu, yaitu
kemampuan individu untuk mengenali secara tepat waktu dimana individu berada.
Sesuai dengan ranah yang terganggu maka dibedakan gangguan orientasi orang, tempat
dan waktu. Gangguan orientasi sering terjadi pada kerusakan organik di otak. (Sadock,
2015)
e. Memori/Daya ingat
Memori/daya ingat adalah proses pengelolaan informasi, meliputi perekaman-
penyimpanan-dan pemanggilan kembali. Terdapat beberapa jenis gangguan
memori/daya ingat, yaitu (Sadock, 2015):
1. Amnesia adalah ketidakmampuan untuk mengingat sebagian atau seluruh
pengalaman masa lalu. Amnesia dapat disebabkan oleh gangguan organik di otak,
misalnya; pada kontusio serebri, namun dapat juga disebabkan oleh faktor
psikologik misalnya pada gangguan stres pasca trauma, individu dapat kehilangan
memori dari peristiwa yang sangat traumatis. Berdasarkan waktu kejadian, amnesia
dibedakan menjadi:
 Amnesia anterograd, yaitu apabila hilangnya memori terhadap penga
laman/informasi setelah titik waktu kejadian. Misalnya, seorang pengendara
motor yang mengalami kecelakaan, tidak mampu mengingat peristiwa-peristiwa
yang terjadi setelah kecelakaan.
 Amnesia retrograd, yaitu hilangnya memori terhadap pengalaman/informasi
sebelum titik waktu kejadian. Misalnya, seorang gadis yang terjatuh dari atap dan
mengalami trauma kepala, tidak mampu mengingat berbagai peristiwa yang
terjadi sebelum kecelakaan tersebut. (Sadock, 2015)
2. Paramnesia yaitu sering disebut sebagai ingatan palsu, yakni terjadinya distorsi
ingatan dari informasi/pengalaman yang sesung guhnya. Dapat disebabkan oleh
faktor organik diotak misalnya pada demensia, namun dapat juga disebabkan oleh
faktor psikologik misalnya pada gangguan disosiasi. Beberapa jenis paramnesia,
antara lain(Sadock, 2015):
 Konfabulasi adalah ingatan palsu yang muncul untuk mengisi keko songan
memori. Biasa terjadi pada orang dengan demensia.
 Deja Vu adalah suatu ingatan palsu terhadap pengalaman baru. Individu merasa
sangat mengenali suatu situasi baru yang sesung gahnya belum pernah
dikenalnya.
 Jamais Vu adalah kebalikan dari Deja Vu, yaitu merasa asing terhadap situasi
yang justru pernah dialaminya.
 Hiperamnesia adalah ingatan yang mendalam dan berlebihan terhadap suatu
pengalaman.
 Screen memory adalah secara sadar menutupi ingatan akan pengalaman yang
menyakirkan atau traumatis ditoleransi dengan ingatan yang lebih dapat.
 Letologika adalah ketidak mampuan yang bersifat sementara dalam mene
mukan kata kata yang tepat untuk mendeskripsikan pengalamannya Lazim
terjadi pada proses penuaan atau pada stadium awal dari demensi. (Sadock,
2015)
Berdasarkan rentang waktu individu kehilangan daya ingatnya, dibedakan
menjadi (Sadock, 2015):
1) Memori segera (immidiate memory) adalah kemampuan mengingat peristiwa yang
baru saja terjadi, yakni rentang waktu beberapa detik sampai beberapa menit
2) Memori baru (recent memory) adalah ingatan terhadap pengalaman/informasi yang
terjadi dalam beberapa hari terakhir.
3) Memori jangka menengah (recent past Memory) adalah ingatan terhadap peristiwa
yang terjadi selama bebe rapa bulan yang lalu.
4) Memori jangka panjang adalah ingatan terhadap peristiwa yang sudah lama terjadi
(bertahun tahun yang lalu). (Sadock, 2015)
2. Alam Perasaan/Emosi
Emosi adalah suasana perasaan yang dihayati secara sadar, bersifat kompleks,
melibatkan pikiran , persepsi dan perilaku individu . Secara deskriptif fenomenologis
emosi dibedakan antara mood dan afek. (APA, 2012)
 Mood adalah suasana perasaan yang bersifat pervasif dan bertahan lama, yang
mewarnai persepsi seseorang terhadap kehidupannya.
a) Mood eutimia: adalah suasa perasaan dalam rentang "normal", yakni individu
mempunyai peng hayatan perasaan yang luas dan serasi dengan irama hidupnya.
b) Mood hipotimia: adalah suasana perasaan yang secara pervasif diwarnai dengan
kesedihan dan kemurungan. Individu secara subyektif mengeluhkan tentang
kesedihan dan kehilangan sema ngat. Secara obyektif tampak dari sikap murung dan
perilakunya yang lamban.
c) Mood disforia: menggambarkan suasana perasaan yang tidak menyenangkan.
Seringkali diung kapkan sebagai perasaan jenuh, jengkel, atau bosan.
d) Mood hipertimia: suasana pera saan yang secara pervasip memperlihatkan semangat
dan kegairahan yang berlebihan terhadap berbagai aktivitas kehidupan . Perilakunya
menjadi hiperaktif dan tampak enerjik secara berlebihan.
e) Mood eforia: suasana perasaan gembira dan sejahtera secara berlebihan.
f) Mood ekstasia: suasana perasaan yang diwarnai dengan kegairahan yang meluap
luap. Sering terjadi pada orang yang menggunakan zat psikostimulansia.
g) Aleksitimia: adalah suatu kon disi ketidakmampuan indi vidu untuk menghayati sua
sana perasaannya. Seringkali diungkapkan sebagai kedang kalan kehidupan emosi.
Seseorang dengan aleksitimia sangat sulit untuk mengungkapkan perasaannya
h) Anhedonia: adalah suatu sua sana perasaan yang diwarnai dengan kehilangan minat
dan kesenangan terhadap berbagai aktivitas kehidupan.
i) Mood kosong adalah kehidupan emosi yang sangat dangkal, tidak atau sangat sedikit
memiliki penghayatan suasana perasaan. Individu dengan mood kosong nyaris
kehilangan keterlibatan emosinya dengan kehidupan disekitarnya. Keadaan ini dapat
dijumpai pada pasien skizofrenia kronis.
j) Mood labil: suasana perasaan yang berubah ubah dari waktu ke waktu. Pergantian
perasaan dari sedih, cemas, marah, eforia, muncul bergantian dan tak terduga. Dapat
ditemukan pada gangguan psikosis akut. (APA, 2012)
k) Mood iritabel: suasana perasaan yang sensitif, mudah tersinggung, mudah marah dan
seringkali bereaksi berlebihan terhadap situasi yang tidak disenanginya. (APA,
2012)
 Afek adalah respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai dari ekspresi wajah,
pembicaraan, sikap dan gerak gerik tubuhnya (bahasa tubuh). Afek mencerminkan
situasi emosi sesaat. (APA, 2012)
a) Afek luas: adalah afek pada rentang normal, yaitu ekspresi emosi yang luas dengan
sejumlah variasi yang beragam dalam ekspresi wajah, irama suara maupun gerakan
tubuh, serasi dengan suasana yang dihayatinya.
b) Afek menyempit: menggam barkan nuansa ekspresi emosi yang terbatas. Intensitas
dan keluasan dari ekspresi emosinya berkurang, yang dapat dilihat dari ekspresi
wajah dan bahasa tubuh yang kurang bervariasi.
c) Afek menumpul: merupakan penurunan serius dari kemam puan ekspresi emosi yang
tampak dari tatapan mata kosong, irama suara monoton dan bahasa tubuh yang
sangat kurang.
d) Afek mendatar: adalah suatu hendaya afektif berat lebih parah dari afek menumpul.
Pada keadaan ini dapat dikatakan individu kehilangan kemampuan ekspresi emosi.
Ekspresi wajah datar, pandangan mata kosong, sikap tubuh yang kaku, gerakan
gerakan sangat minimal, dan irama suara datar seperti ' robot '.
e) Afek serasi: menggambarkan keadaan normal dari ekspresi emosi yang terlihat dari
keserasian antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.
f) Afek tidak serasi: kondisi sebalik nya yakni ekspresi emosi yang tidak cocok dengan
suasana yang dihayati. Misalnya seseorang yang menceritakan suasana duka cita tapi
dengan wajah riang dan tertawa-tawa.
g) Afek labil: Menggambarkan cepat dan tiba tiba, yang tidak perubahan irama
perasaan yang berhubungan dengan stimulus eksternal. (APA, 2012)
3. Perilaku Motorik
Perilaku adalah ragam perbuatan manusia dilandasi motif dan tujuan tertentu
melibatkan seluruh aktivitas mental individu. Perilaku merupakan respons total individu
terhadap situasi kehidupan. Perilaku motorik adalah ekspresi perilaku individu yang
terwujud dalam ragam aktivitas motorik. Berikut ini diuraikan berbagai ragam gangguan
perilaku motorik yang lazim dijumpai dalam praktek psikiatri, yaitu (Departemen
Kesehatan RI, 1992):
a) Katatonia Stupor : penurunan akti vitas motorik secara ekstrim, bermanifestasi sebagai
gerakan yang lambat hingga keadaan tak bergerak dan kaku seperti patung, Keadaan ini
dapat dijumpai pada skizofrenia katatonik.
b) Katatonia Furor : suatu keadaan agitasi motorik yang ekstrim, kegaduhan motorik tak
bertujuan, tanpa motif yang jelas dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal. Dapat
ditemukan pada skizofrenia katatonik, seringkali silih berganti dengan gejala stupor
katatonik.
c) Katalepsia : adalah keadaan mem pertahankan sikap tubuh dalam posisi tertentu dalam
waktu lama. Individu dengan katalepsi dapat berdiri di atas satu kaki selama berjam-
jam tanpa bergerak. Merupakan salah satu gejala yang bisa ditemukan pada skizofrenia
katatonik.
d) Flexibilitas arer keadaan sikap tubuh yang sedemikian rupa dapat diatur tanpa
perlawanan sehingga diistilahkan seluwes lilin.
e) Akinesia : menggambarkan suatu kondisi aktivitas motorik yang sangat terbatas, pada
keadaan berat menyerupai stupor pada skizofrenia katatonik.
f) Bradikinesia : perlambatan gerakan motorik yang biasa terjadi pada parkinsonisme atau
penyakit Parkinson. Individu memperlihatkan gerakan yang kaku dan kehilangan
respons spontan. (Departemen Kesehatan RI, 1992)
4. Proses Pikiran
a) Proses pikir primer: terminologi yang umum untuk pikiran yang dereistic, tidak logis,
magis, secara normal ditemukan pada mimpi, tidak normal seperti pada psikosis.
(Butzlaff, 1998)
b) Gangguan bentuk piker/arus pikir:
 Asosiasi longgar : gangguan arus pikir dengan ide-ide yang berpindah dari satu
subyek ke subyek lain yang tidak berhubungan sama sekali, dalam bentuk yang lebih
parah disebut inkoherensia.
 Inkoherensia : pikiran yang secara umum tidak dapat kita mengerti, pikiran atau kata
keluar bersama sama tanpa hubungan yang logis atau tata bahasa tertentu hasil
disorganisasi piker.
 Flight of Idem/lompat gagasan pikiran yang sangat cepat, verbalisasi berlanjut atau
permainan kata yang menghasilkan perpin dahan yang konstan dari satu ide ke ide
lainnya, ide biasanya berhubungan dan dalam bentuk yang tidak parah, pendengar
mungkin dapat mengikuti jaln pikirnya.
c) Sirkumstansial : pembicaraan yang tidak langsung sehingga lambat mencapai point
yang diharapkan, tetapi seringkali akhirnya mencapai point atau tujuan yang
diharapkan, sering diakibatkan keterpakuan yang berlebihan pada detail dan petunjuk
petunjuk.
d) Tangensial : ketidakmampuan untuk mencapai tujuan secara langsung dan seringkali
pada akhirnya tidak mencapai point atau tujuan yang diharapkan. (Butzlaff, 1998)
Isi Pikir
Gangguan isi pikir disini yang terganggu adalah buah pikiran atau keyakinan
seseorang, dan bukan cara penyampaiannya. Dapat berupa miskin isi pikir, waham, obsesi,
fobia, dan lain lain. (Butzlaff, 1998)
 Kemiskinan isi pikir : pikiran yang hanya menghasilkan sedikit informasidikarenakan
ketidakjelasan, pengulangan yang kosong, atau frase yang tidak dikenal .
 Waham/delusi : suatu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru, berdasarkan
simpulan yang keliru tentang kenyataan eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia
dan latar belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau dengan
jalan penyajian fakta . Jenis - jenis waham/delusi (Butzlaff, 1998):
Waham bizzare, yaitu keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh (contoh: makhluk
angkasa luar menanamkan elektroda di otak manusia).
Waham sistematik, yaitu keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung
dengan satu tema/kejadian yang dapat diikuti akhirnya (contoh: orang yang dikejar-
kejar polisi atau mafia).
Waham nihilistic, perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia
tidak ada atau menuju kiamat.
Waham somatik : keyakinan yang keliru melibatkan fungsi tubuh (contoh : yakin
otaknya meleleh).
Waham paranoid: termasuk didalamnya waham kebesaran, waham
kejaran/persekutorik, waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
o Waham kebesaran: keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya,
bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
o Waham kejaran (perseku torik): suatu delusi yang menandai seorang paranoid,
yang mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau
yang mendorong agar dia dalam tindakannya. Kepercayaan ini sering dirupakan
dalam bentuk komplotan yang khayali, dokter dan keluarga pasien dicurigasi
Bersama-sama berkomplot untuk merugikan, merusak, mencederai, atau
menghancurkan dirinya.
o Waham rujukan (delusion of reference): satu kepercayaan keliru yang meyakini
bahwa tingkah laku orang lain itu pasti akan memfitnah, membahayakan, atau
akan menjahati dirinya.
o Waham dikendalikan: keyaki nan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau
perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar. (Butzlaff, 1998)
Waham cemburu, keyakinan yang keliru berasal dari cemburu patologis tentang
pasangan yang tidak setia.
Erotomania, keyakinan yang keliru, biasanya pada perempuan, merasa yakin
bahwa seseorang sangat mencintainya. (Butzlaff, 1998)
 Obsesi suatu ide yang tegar menetap dan seringkali tidak rasional, yang biasanya
dibarengi suatu kompulsi untuk melakukan suatu perbuatan, tidak dapat dihilangkan
dengan usaha yang logis, berhubungan dengan kecemasan.
 Kompulsi: kebutuhan dan tindakan patologis untuk melaksanakan suatu impuls, jika
ditahan akan menim bulkan kecemasan, perilaku berulang sebagai respons dari obsesi
atau timbul untuk memenuhi satu aturan tertentu.
 Fobia: ketakutan patologis yang persisten, irasional, berlebihan, dan selalu terjadi
berhubungan dengan stimulus atau situasi spesifik yang mengakibatkan keinginan yang
memaksa untuk menghindari stimulus tersebut. Beberapa contoh di antaranya (Butzlaff,
1998):
a) Fobia spesifik: ketakutan yang terbatas pada obyek atau situasi khusus (contoh takut
pada laba laba atau ular.
b) Fobia sosial: ketakutan diper malukan di depan publik seperti rasa takut untuk
berbicara, tampil, atau makan di depan umum.
c) Akrofobia: ketakutan berada di tempat yang tinggi.
d) Agorafobia: ketakutan berada di terbuka tempat yang terbuka.
e) Klaustrofobia: ketakutan berada di tempat yang sempit
f) Ailurofobia: ketakutan pada kucing.
g) Zoofobia: ketakutan pada binatang.
h) Xenofobia: ketakutan pada orang asing.
i) Fobia jarum: ketakutan yang ber lebihan menerima suntikan. (Butzlaff, 1998)

5. Persepsi/Penginderaan
Sebuah proses mental yang merupakan pengiriman stimulus fisik menjadi
informasi psikologis sehingga stimulus sensorik dapat diterima secara sadar. Beberapa
contoh gangguan persepsi (Perlis, 2007):
1) Depersonalisasi: suatu kondisi pato logis yang muncul sebagai akibat dari perasaan
subyektif dengan gambaran seseorang mengalami atau merasakan diri sendiri (atau
tubuhnya) sebagai tidak nyata atau khayal asing, tidak dikenali)
2) Derealisasi : perasaan subyektif bahwa lingkungannya menjadi asing, tidak nyata
3) Ilusi : suatu persepsi yang keliru atau menyimpang dari stimulus eksternal yang nyata
4) Halusinasi : persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan stimulus
eksternal yang nyata, menghayati gejala-gejala yang dikhayalkan sebagai hal yang
nyata. Jenis - jenis halusinasi (Perlis, 2007):
 Halusinasi hipnogogik: persepsi sen sorik keliru yang terjadi ketika mulai jatuh
tertidur, secara umum bukan tergolong fenomena patologis.
 Halusinasi hipnopompik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika seseorang
mulai terbangun, secara umum bukan tergolong fenomena patologis
 Halusinasi auditorik: persepsi suara yang keliru, biasanya berupa suara orang meski
dapat saja berupa suara lain seperti musik, merupakan jenis halusinasi yang paling
sering ditemukan pada gangguan psikiatri
 Halusinasi visual: persepsi peng lihatan keliru yang dapat berupa bentuk jelas
(orang) atau pun bentuk tidak jelas (kilatan cahaya), sering kali terjadi pada
gangguan medis umum
 Halusinasi penciuman: persepsi penghidu keliru yang seringkali terjadi pada
gangguan medis umum
 Halusinasi pengecapan: persepsi pengecapan keliru seperti rasa tidak enak sebagai
gejala awal kejang, seringkali terjadi pada gangguan medis umum
 Halusinasi taktil: persepsi perabaan keliru seperti phantom libs (sensasi anggota
tubuh teramputasi), atau formikasi (sensasi merayap di bawah kulit)
 Halusinasi somatik: sensasi keliru yang terjadi pada atau di dalam tubuhnya, lebih
seringmenyangkut dalam (juga dikenal sebagai organ cenesthesic hallucination)
 Halusinasi liliput: persepsi keliru yang mengakibatkan obyek ter lihat lebih kecil
(micropsia). (Perlis, 2007)

6. Tilikan dan Daya Nilai Sosial


Kemampuan seseorang untuk memahami sebab sesungguhnya dan arti dari suatu
situasi (termasuk di dalamnya dari gejala itu sendiri). Dalam arti luas, tilikan sering
disebut sebagai wawasan diri, yaitu pemahaman seseorang terhadap kondisi dan situasi
dirinya dalam konteks realitas sekitarnya. Dalam arti sempit merupakan pemahaman
pasien terhadap penyakitnya. (Maramis, 2005)
Tilikan terganggu artinya kehilangan kemampuan untuk memahami kenyataan
obyektif akan kondisi dan situasi dirinya. Jenis-jenis tilikan, yaitu (Maramis, 2005):
 Tilikan derajat 1 : penyangkalan total terhadap penyakitnya
 Tilikan derajat 2 : ambivalensi terhadap penyakitnya
 Tilikan derajat 3 : menyalahkan faktor lain sebagai penyebab penyakitnya
 Tilikan derajat 4 : menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namum tidak memahami
penyebab sakitnya
 Tilikan derajat 5 : menyadari penya kitnya dan faktor-faktor yang berhu bungan dengan
penyakitnya namun tidak menerapkan dalam perilaku praktisnya
 Tilikan derajat 6 (sehat) : menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya. (Maramis,
2005)
Daya Nilai
Kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan bertindak yang sesuai dengan
situasi tersebut. (Maramis, 2005)
1) Daya Nilai Sosial: kemampuan seseorang untuk menilai situasi secara benar (situasi
nyata dalam kehidupan sehari-hari) dan bertindak yang sesuai dalam situasi tersebut
dengan memperhatikan kaidah sosial yang berlaku di dalam kehidupan sosial
budayanya. Pada gangguan jiwa berat atau kepribadian antisosial maka daya nilai
sosialnya sering terganggu.
2) Uji Daya Nilai: kemampuan untuk menilai situasi secara benar dan bertindak yang
sesuai dalam situasi imajiner yang diberikan. (Maramis, 2005)

Diagnosis Multiaksial
Kata DSM IV, sistem multiaksial merupakan sistem yang terdiri dari 5 aksis, 5 aksis
tersebut berfungsi untuk menilai pasien. Aksis I dan 2 terdiri dari semua klasifikasi gangguan
mental. Aksis 3 tentang kondisi medis umum (fisik) yang muncul bersamaan dengan
gangguan mental. Aksis 4 tentang masalah psikososial dan lingkungannya, sedang aksis 5
tentang penilaian fungsi-fungsi secara global. (Maramis, 2005)

Metode diagnosis dengan pendekatan multiaksial ini pertama kali dipakai oleh Swedia
dengan mengacu pada proposal Essen Moller. Sistem baru yang memakai metode multiaksial
adalah sistem DSM IV (DSM= Diagnostic & Statistical manual of Mental disorder) yang
dipakai oleh American Psychatric Association (APA), juga ICD 10 yang dikeluarkan oleh
WHO-yang merupakan acuan diagnostik di seluruh dunia. (Departemen Kesehatan R.I. 1993)

DSM-IV didesain untuk mendampingi ICD-10, disusun pada tahun 1992. Pada waktu
itu terdapat konsensus yang kuat bahwa sistem diagnosis di USA harus sesuai dengan
klasifikasi penyakit interrnasional (ICD-10) sedangkan ICD-10 merupakan sistem klasifikasi
tertinggi yang digunakan di Eropa dan negara- negara lain di dunia. Semua kategori yang
digunakan dalam DSM-IV ditemukan dalam ICD-10, tetapi tidak semua kategori ICD-10 ada
dalam DSM-IV. Menurut DSM-IV Diagnosis multiaksial terdiri dari lima aksis, yaitu
(Departemen Kesehatan R.I. 1993):

Aksis I - Gangguan Klinis


- Kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Aksis II - Ciri atau Gangguan Kepribadian
- Retardasi mental (bisa tidak ada satupun)
Aksis III Kondisi Medik Umum (yaitu gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental)
Aksis IV Masalah Psikososial dan Lingkungan (biasanya selama setahun
sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya pekerjaan,
perceraian, masalah keuangan, korban penelantaran anak dan lainnya)
Aksis V Penilaian Fungsi Secara Global (GAF, Global Assesment of Fungsional
Scale), yang merupakan pengukuran, khususnya, fungsi umum saat ini,
tetapi pada saat fungsi tertinggi selama satu tahun sebelumnya (kisaran
skala 1 sampai 100), dan yang digunakan dalam merencanakan
penatalaksanaan serta meramalkan hasil.
Antara aksis I, II, III, tidak selalu harus ada hubungan etiologi atau patogenesis.
Namun, hubungan antara aksis I-II-III dan aksis IV dapat timbal balik saling mempengaruhi.
Seorang pasien belum sepenuhnya diklasifikasikan sampai kelima aksis diberi nomor
(walaupun hanya diperlukan tiga aksis pertama sebagai diagnosis resmi). (Departemen
Kesehatan R.I. 1993)

 Aksis I
Axis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan
pusat perhatian klinis. (Departemen Kesehatan R.I. 1993)

Aksis I: Gangguan Klinis dan Kondisi lain yang Mungkin Merupakan Pusat Perhatian
Klinis.
 Gangguan yang biasanya didiagnosis pertama kali pada masa bayi,masa anak-anak,
atau masa remaja (kecuali retardasi mental, yang didiagnosis pada Aksis II)
 Delirium, demensia, dan amnesia,dan gangguan kognitip lain
 Gangguan mental karena kondisi medis umum
 Gangguan berhubungan zat
 Skizofrenia dan gangguan psikotik lain
 Gangguan mood
 Gangguan kecemasan
 Gangguan Somatoform
 Gangguan buatan
 Gangguan disosiatif
 Gangguan seksual dan identitas jenis kelamin
 Gangguan makan
 Gangguan tidur
 Gangguan pengendalian impuls yang tidak diklasifikasikan di tempat lain
 Gangguan penyesuaian
 Kondisi lain yang mungkin menjadi pusat perhatian klinis.

 Aksis II
Aksis II terdiri dari gangguan kepribadian dan retardasi mental. (Departemen
Kesehatan R.I. 1993)
Axis II: Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental
 Gangguan Kepribadian Paranoid
 Gangguan Kepribadian Skizoid
 Gangguan Kepribadian Skizotipal
 Gangguan Kepribadian Antisosial
 Gangguan Kepribadian Ambang
 Gangguan Kepribadian Histrionik
 Gangguan Kepribadian Narsistik
 Gangguan Kepribadian Menghindar
 Gangguan Kepribadian Tergantung
 Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
 Gangguan Kepribadian yang tidak ditentukan Retardasi Mental.

 Aksis III
Terdiri dari gangguan fisik/medis yang muncul bersamaan dengan gangguan
mental. Kondisi fisik tersebut dapat kausatif (ex: gagal hati menyebabkan delirium),
interaktif (ex: gastritis akibat ketergantungan alkohol), dan akibat (ex: demensia dan
infeksi HIV dapat menyebabkan pneumonia). Ketika kondisi medis berhubungan secara
kausal dengan gangguan mental, gangguan mental tersebut dimasukkan dalam aksis I &
kondisi medis yang berkaitan dimasukkan dalam aksis III. (Departemen Kesehatan R.I.
1993)

Axis III: Kondisi Medis Umum menurut ICD-10 CM


 Penyakit infeksi dan parasit tertentu
 Neoplasma
 Penyakit endokrin, nutrisi, dan metabolik dan gangguan imunitas
 Penyakit susunan saraf
 Penyakit mata dan adneksa
 Penyakit telinga dan proses mastoid
 Penyakit sistem sirkulasi
 Penyakit sistem pernapasan
 Penyakit sistem pencernaan
 Penyakit kulit dan jaringan subkutan
 Penyakit sistem muskuloskletal dan jaringan ikat
 Penyakit sistem genitourinaria
 Kehamilan, kelahiran anak dan masa nifas
 Malformasi kongenital, deformasi, kelainan kranial
 Gejala, tanda dan temuan klinis laboratorium abnormal
 Cedera dan keracunan.

 Aksis IV
Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan
yang secara bermakna berperan pada perkembangan/eksaserbasi gangguan yang sekarang.
(Departemen Kesehatan R.I. 1993)

Axis IV: Masalah Psikososial dan Lingkungan


 Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
 Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
 Masalah pendidikan
 Masalah pekerjaan
 Masalah perumahan
 Masalah ekonomi
 Masalah akses ke pelayanan kesehatan
 Masalah berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal
 Masalah psikososial dan lingkungan lain

 Aksis V
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi-sering-disebut GAF (Global
Asesment of Functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat
fungsional pasien selama periode waktu tertentu (mis: saat pemeriksaan / tingkat
fungsional pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir).
Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial, fungsi
pekerjaan, fungsi psikologis. Fungsi berupa skala dengan 100 poin. 100 mencerminkan
tingkat fungsi tertinggi dalam semua bidang. Pasien yang memiliki tingkat fungsional
tertinggi sebelum suatu episode penyakit biasanya mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan mereka yang mempunyai tingkat fungsioal rendah. (Departemen Kesehatan
R.I. 1993)
GLOBAL ASSESMENT OF FUNCTIONING (GAF) SCALE
 100-91: Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak
tertanggulangi.
 90-81 : Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian
yang biasa.
 80-71 : Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaaan,
sekolah, dll.
 70-61 : Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum masih baik.
 60-51 : Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.
 50-41 : Gejala berat (serious), disabilitas berat.
 40-31 : Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas
berat dalam beberapa fungsi.
 30-21 : Disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi
hampir semua bidang.
 20-11 : Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi
dan merawat/mengurus diri.
 10-01 : Seperti di atas, persisten dan lebih serius.
 0 : Informasi tidak adekuat. (Departemen Kesehatan R.I. 1993)

Kesimpulan

Psikiatri adalah cabang ilmu medis yang mempelajari tentang cara mendiagnosis,
pengobatan, dan pencegahan gangguan jiwa, emosional, sampai dengan prilaku.
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan kejiwaan akut pada pikiran, perilaku, suasana
hati, atau hubungan sosial yang memerlukan penanganan segera. Akut berarti keluhan baru
saja terjadi atau muncul secara tiba-tiba. Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku
individu yang berkaitan dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau
lebih fungsi penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, gangguan
tersebut mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga masyarakat. Gangguan jiwa
merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi
sehingga ditentukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena
menurunnya semua fungsi kejiwaan. Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu
atau lebih fungsi jiwa. Ganguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).

Sistem multiaksial merupakan sistem yang terdiri dari 5 aksis, 5 aksis tersebut
berfungsi untuk menilai pasien. Aksis I dan 2 terdiri dari semua klasifikasi gangguan mental.
Aksis 3 tentang kondisi medis umum (fisik) yang muncul bersamaan dengan gangguan
mental. Aksis 4 tentang masalah psikososial dan lingkungannya, sedang aksis 5 tentang
penilaian fungsi-fungsi secara global.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (APA). 2012. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fifth, N.W, Washington, DC. Hal. 298-306.

Butzlaff, RL., Hooley, JM. 1998. Expressed emotion and psychiatric relapse. Arch Gen
Psychiatry. 55 : 547-552 .

Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI : Jakarta.

Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya.

Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.

Maslim, R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-lII dan DSM-5.
Cetakan 2 -Bagian Ilmu Kedokleran Jiwa FK Unika Atma Jaya Jakarta.

Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia III. Departemen Kesehatan


RI, hal 103-118, 1992.

Perlis, RH. 2007. Use treatment guidelines in clinical decision making in bipolar disorder : a
pilot survey of clinicians. Curr Med Res Opin. 23 : 467-475 .

Sadock, BJ., Sadock, VA. 2015. Comprehensive Textbook of Psychiatry, edit, Eleventh Ed,
Lippncott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Company. Philadelphia. Hal . 1169-1189.
Sylvia, D.E., Gitayanti, H. 2017. Buku Ajar PSIKIATRI. Edisi Ketiga. Badan Penerbit FKUI,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai