BLOK PSIKIATRI
“Gangguan Jiwa”
Disusun Oleh:
NIM : 020.06.0037
Kelas :A
FAKULTAS KEDOKTERAN
MATARAM
2022
“Psikopatologi & Diagnosis Gangguan Jiwa”
Latar Belakang
Psikiatri adalah cabang ilmu medis yang mempelajari tentang cara mendiagnosis,
pengobatan, dan pencegahan gangguan jiwa, emosional, sampai dengan prilaku.
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan kejiwaan akut pada pikiran, perilaku, suasana
hati, atau hubungan sosial yang memerlukan penanganan segera. Akut berarti keluhan baru
saja terjadi atau muncul secara tiba-tiba. Keadaan darurat ini harus segera ditangani untuk
menyelamatkan pasien dan/atau orang lain dari bahaya yang mungkin terjadi karena
gangguan tersebut. Pasien yang datang dengan keadaan darurat psikiatri biasanya memiliki
gangguan mania, psikosis akut, ide bunuh diri, atau ide pembunuhan. Psikosis adalah ketika
seseorang mengalami gangguan hubungan dengan kenyataan sehingga tidak dapat
membedakan mana yang nyata dan tidak nyata. (Sylvia, 2017)
Psikopatologi tersusun atas dua kata yaitu “psiko” dan “patologi”. Psiko merupakan
serapan dari psyche (secara harafiah artinya jiwa atau perilaku), dan patologi sebagai ilmu
tentang penyakit, yaitu sesuatu yang menyebabkan gangguan pada makhluk hidup. Dalam
pandangan ini, psikopatologi diartikan sebagai kajian ilmiah mengenai gangguan jiwa atau
perilaku. (Sylvia, 2017)
Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih fungsi penting dari manusia, yaitu
fungsi psikologik, perilaku, biologik, gangguan tersebut mempengaruhi hubungan antara
dirinya sendiri dan juga masyarakat. Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk
penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditentukan ketidakwajaran
dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan. Gangguan
jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa. Ganguan jiwa adalah
gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi
(penangkapan panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi
penderita dan keluarganya. (Maslim, 2013)
Isi/Pembahasan
Istilah yang digunakan dalam PPDGJ adalah Gangguan Jiwa atau sering disebut
dengan Gangguan Mental (mental disoder), dan tidak menggunakan istilah “penyakit jiwa”
(mental disease/mental illness). Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku individu yang
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau lebih fungsi
penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, gangguan tersebut
mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga masyarakat. (Maslim, 2013)
Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III. Sindrom atau pola
perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cuhup bermakna, dan yang secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari rnanusia. Sebagai
tambahan, disimpulhan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik,
atau biologis, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang
itu dengan masyarakat. (Maslim, 2013)
Konsep gangguan jiwa dari DSM-IV (yang merupakan rujukan dai PPDGJ-III).
Gangguan Mental dikonseptualisasikan sebagai signifikan secara klinis sindrom atau pola
perilaku atau psikologis yang terjadi pada seorang individu dan yang terkait dengan
kesusahan saat ini (misalnya, gejala yang menyakitkan) atau kecacatan (yaitu, gangguan pada
satu atau lebih area fungsi penting) atau dengan peningkatan risiko yang signifikan menderita
kematian, rasa sakit, kecacatan, atau hilangnya kebebasan yang penting. (Maslim, 2013)
1. Adanya Gejala Klinis yang bermahna, berupa : - Sindrom atau Pola Perilaku -
Sindrom atau Pola Psikologik
2. Gejala klinis tersebut menjmbulkan "penderitaan" (disfress), antara lain dapat berupa:
rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3. Gejala klinis tersebut menimbulkan "disabilitas" (disability) dalam aktivitas
kehidupan seharihari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll. (Maslim, 2013)
Perilaku pasien di hadapan dokter sebagian besar merupakan respon terhadap apa
yang dikatakan oleh dokter dan bagaimana dokter mengatakan itu, sikap dokter, dan
bagaimana pendapat pasien mengenai perilaku serta kepri badian dokter. Agar wawancara
dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan hendaknya senantiasa diusahakan untuk
menciptakan dan memelihara hubungan yang optimal antara dokter dengan pasien.
Kepentingan memelihara hubungan ini mendahului kepentingan memperoleh data, karena
bagaimanapun data mengenai kejiwaan yang diperoleh tanpa hubungan yang optimal, dapat
mengelirukan kesan-kesan klinis tentang pasien. Jika kita ingin bertanya tentang gejala
pasien, senantiasa harus dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan menanyakan itu
kepada pasien. Jika konteksnya kurang tepat, misalnya jika pasien dipermalukan atau
tersinggung oleh pertanyaan itu (nyata atau tidak nyata), dia mungkin akan menolak atau
menyangkal, atau akan membuat-buat jawabannya. (Sylvia, 2017)
Pada umumnya wawancara akan efektif jika berlangsung dengan " alamiah " (natural),
dengan nada yang mirip "percakapan biasa", tidak kaku atau seperti serangkaian pertanyaan
gaya kuesioner yang "ditembakkan" kepada pasien. Wawancara akan lebih efektif bila tidak
memberi kesan bahwa dokter "memburu" gejala, rajin berusaha menemukan dan
mengumpulkan sifat-sifat psikopatologik saja pada pasiennya, bahkan kadang-kadang dengan
mencoba "memprovokasi" gejala-gejala itu. (Sylvia, 2017)
5. Persepsi/Penginderaan
Sebuah proses mental yang merupakan pengiriman stimulus fisik menjadi
informasi psikologis sehingga stimulus sensorik dapat diterima secara sadar. Beberapa
contoh gangguan persepsi (Perlis, 2007):
1) Depersonalisasi: suatu kondisi pato logis yang muncul sebagai akibat dari perasaan
subyektif dengan gambaran seseorang mengalami atau merasakan diri sendiri (atau
tubuhnya) sebagai tidak nyata atau khayal asing, tidak dikenali)
2) Derealisasi : perasaan subyektif bahwa lingkungannya menjadi asing, tidak nyata
3) Ilusi : suatu persepsi yang keliru atau menyimpang dari stimulus eksternal yang nyata
4) Halusinasi : persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan stimulus
eksternal yang nyata, menghayati gejala-gejala yang dikhayalkan sebagai hal yang
nyata. Jenis - jenis halusinasi (Perlis, 2007):
Halusinasi hipnogogik: persepsi sen sorik keliru yang terjadi ketika mulai jatuh
tertidur, secara umum bukan tergolong fenomena patologis.
Halusinasi hipnopompik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika seseorang
mulai terbangun, secara umum bukan tergolong fenomena patologis
Halusinasi auditorik: persepsi suara yang keliru, biasanya berupa suara orang meski
dapat saja berupa suara lain seperti musik, merupakan jenis halusinasi yang paling
sering ditemukan pada gangguan psikiatri
Halusinasi visual: persepsi peng lihatan keliru yang dapat berupa bentuk jelas
(orang) atau pun bentuk tidak jelas (kilatan cahaya), sering kali terjadi pada
gangguan medis umum
Halusinasi penciuman: persepsi penghidu keliru yang seringkali terjadi pada
gangguan medis umum
Halusinasi pengecapan: persepsi pengecapan keliru seperti rasa tidak enak sebagai
gejala awal kejang, seringkali terjadi pada gangguan medis umum
Halusinasi taktil: persepsi perabaan keliru seperti phantom libs (sensasi anggota
tubuh teramputasi), atau formikasi (sensasi merayap di bawah kulit)
Halusinasi somatik: sensasi keliru yang terjadi pada atau di dalam tubuhnya, lebih
seringmenyangkut dalam (juga dikenal sebagai organ cenesthesic hallucination)
Halusinasi liliput: persepsi keliru yang mengakibatkan obyek ter lihat lebih kecil
(micropsia). (Perlis, 2007)
Diagnosis Multiaksial
Kata DSM IV, sistem multiaksial merupakan sistem yang terdiri dari 5 aksis, 5 aksis
tersebut berfungsi untuk menilai pasien. Aksis I dan 2 terdiri dari semua klasifikasi gangguan
mental. Aksis 3 tentang kondisi medis umum (fisik) yang muncul bersamaan dengan
gangguan mental. Aksis 4 tentang masalah psikososial dan lingkungannya, sedang aksis 5
tentang penilaian fungsi-fungsi secara global. (Maramis, 2005)
Metode diagnosis dengan pendekatan multiaksial ini pertama kali dipakai oleh Swedia
dengan mengacu pada proposal Essen Moller. Sistem baru yang memakai metode multiaksial
adalah sistem DSM IV (DSM= Diagnostic & Statistical manual of Mental disorder) yang
dipakai oleh American Psychatric Association (APA), juga ICD 10 yang dikeluarkan oleh
WHO-yang merupakan acuan diagnostik di seluruh dunia. (Departemen Kesehatan R.I. 1993)
DSM-IV didesain untuk mendampingi ICD-10, disusun pada tahun 1992. Pada waktu
itu terdapat konsensus yang kuat bahwa sistem diagnosis di USA harus sesuai dengan
klasifikasi penyakit interrnasional (ICD-10) sedangkan ICD-10 merupakan sistem klasifikasi
tertinggi yang digunakan di Eropa dan negara- negara lain di dunia. Semua kategori yang
digunakan dalam DSM-IV ditemukan dalam ICD-10, tetapi tidak semua kategori ICD-10 ada
dalam DSM-IV. Menurut DSM-IV Diagnosis multiaksial terdiri dari lima aksis, yaitu
(Departemen Kesehatan R.I. 1993):
Aksis I
Axis I mengandung gangguan klinis dan kondisi lain yang mungkin merupakan
pusat perhatian klinis. (Departemen Kesehatan R.I. 1993)
Aksis I: Gangguan Klinis dan Kondisi lain yang Mungkin Merupakan Pusat Perhatian
Klinis.
Gangguan yang biasanya didiagnosis pertama kali pada masa bayi,masa anak-anak,
atau masa remaja (kecuali retardasi mental, yang didiagnosis pada Aksis II)
Delirium, demensia, dan amnesia,dan gangguan kognitip lain
Gangguan mental karena kondisi medis umum
Gangguan berhubungan zat
Skizofrenia dan gangguan psikotik lain
Gangguan mood
Gangguan kecemasan
Gangguan Somatoform
Gangguan buatan
Gangguan disosiatif
Gangguan seksual dan identitas jenis kelamin
Gangguan makan
Gangguan tidur
Gangguan pengendalian impuls yang tidak diklasifikasikan di tempat lain
Gangguan penyesuaian
Kondisi lain yang mungkin menjadi pusat perhatian klinis.
Aksis II
Aksis II terdiri dari gangguan kepribadian dan retardasi mental. (Departemen
Kesehatan R.I. 1993)
Axis II: Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental
Gangguan Kepribadian Paranoid
Gangguan Kepribadian Skizoid
Gangguan Kepribadian Skizotipal
Gangguan Kepribadian Antisosial
Gangguan Kepribadian Ambang
Gangguan Kepribadian Histrionik
Gangguan Kepribadian Narsistik
Gangguan Kepribadian Menghindar
Gangguan Kepribadian Tergantung
Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
Gangguan Kepribadian yang tidak ditentukan Retardasi Mental.
Aksis III
Terdiri dari gangguan fisik/medis yang muncul bersamaan dengan gangguan
mental. Kondisi fisik tersebut dapat kausatif (ex: gagal hati menyebabkan delirium),
interaktif (ex: gastritis akibat ketergantungan alkohol), dan akibat (ex: demensia dan
infeksi HIV dapat menyebabkan pneumonia). Ketika kondisi medis berhubungan secara
kausal dengan gangguan mental, gangguan mental tersebut dimasukkan dalam aksis I &
kondisi medis yang berkaitan dimasukkan dalam aksis III. (Departemen Kesehatan R.I.
1993)
Aksis IV
Aksis IV digunakan untuk memberi kode pada masalah psikologis dan lingkungan
yang secara bermakna berperan pada perkembangan/eksaserbasi gangguan yang sekarang.
(Departemen Kesehatan R.I. 1993)
Aksis V
Aksis V adalah skala penilaian global terhadap fungsi-sering-disebut GAF (Global
Asesment of Functioning) dimana dokter mempertimbangkan keseluruhan tingkat
fungsional pasien selama periode waktu tertentu (mis: saat pemeriksaan / tingkat
fungsional pasien tertinggi untuk sekurangnya 1 bulan selama 1 tahun terakhir).
Fungsional diartikan sebagai kesatuan dari 3 bidang utama yaitu fungsi sosial, fungsi
pekerjaan, fungsi psikologis. Fungsi berupa skala dengan 100 poin. 100 mencerminkan
tingkat fungsi tertinggi dalam semua bidang. Pasien yang memiliki tingkat fungsional
tertinggi sebelum suatu episode penyakit biasanya mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan mereka yang mempunyai tingkat fungsioal rendah. (Departemen Kesehatan
R.I. 1993)
GLOBAL ASSESMENT OF FUNCTIONING (GAF) SCALE
100-91: Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak
tertanggulangi.
90-81 : Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian
yang biasa.
80-71 : Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial, pekerjaaan,
sekolah, dll.
70-61 : Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara
umum masih baik.
60-51 : Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.
50-41 : Gejala berat (serious), disabilitas berat.
40-31 : Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas
berat dalam beberapa fungsi.
30-21 : Disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu berfungsi
hampir semua bidang.
20-11 : Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam komunikasi
dan merawat/mengurus diri.
10-01 : Seperti di atas, persisten dan lebih serius.
0 : Informasi tidak adekuat. (Departemen Kesehatan R.I. 1993)
Kesimpulan
Psikiatri adalah cabang ilmu medis yang mempelajari tentang cara mendiagnosis,
pengobatan, dan pencegahan gangguan jiwa, emosional, sampai dengan prilaku.
Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan kejiwaan akut pada pikiran, perilaku, suasana
hati, atau hubungan sosial yang memerlukan penanganan segera. Akut berarti keluhan baru
saja terjadi atau muncul secara tiba-tiba. Gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku
individu yang berkaitan dengan suatu gejala penderitaan dan pelemahan didalam satu atau
lebih fungsi penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, gangguan
tersebut mempengaruhi hubungan antara dirinya sendiri dan juga masyarakat. Gangguan jiwa
merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi
sehingga ditentukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena
menurunnya semua fungsi kejiwaan. Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu
atau lebih fungsi jiwa. Ganguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).
Sistem multiaksial merupakan sistem yang terdiri dari 5 aksis, 5 aksis tersebut
berfungsi untuk menilai pasien. Aksis I dan 2 terdiri dari semua klasifikasi gangguan mental.
Aksis 3 tentang kondisi medis umum (fisik) yang muncul bersamaan dengan gangguan
mental. Aksis 4 tentang masalah psikososial dan lingkungannya, sedang aksis 5 tentang
penilaian fungsi-fungsi secara global.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (APA). 2012. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fifth, N.W, Washington, DC. Hal. 298-306.
Butzlaff, RL., Hooley, JM. 1998. Expressed emotion and psychiatric relapse. Arch Gen
Psychiatry. 55 : 547-552 .
Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI : Jakarta.
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya.
Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Maslim, R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-lII dan DSM-5.
Cetakan 2 -Bagian Ilmu Kedokleran Jiwa FK Unika Atma Jaya Jakarta.
Perlis, RH. 2007. Use treatment guidelines in clinical decision making in bipolar disorder : a
pilot survey of clinicians. Curr Med Res Opin. 23 : 467-475 .
Sadock, BJ., Sadock, VA. 2015. Comprehensive Textbook of Psychiatry, edit, Eleventh Ed,
Lippncott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Company. Philadelphia. Hal . 1169-1189.
Sylvia, D.E., Gitayanti, H. 2017. Buku Ajar PSIKIATRI. Edisi Ketiga. Badan Penerbit FKUI,
Jakarta.