Anda di halaman 1dari 19

Kelompok

STIGMA PADA KLIEN


GANGGUAN JIWA
Konsep dan Teori Keperawatan Jiwa Lanjut

Yonathan Kristian Yuan .P 215121212


Anggi Ulfah Mawaddah 215121227
Inggit Sri Kusdiyanty 215121022
Ester Suryani Tampubolon 215121009
Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa atau gangguan mental ialah sindrom atau
pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik
cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu
gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment
/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting
dari manusia. Gangguan jiwa dalam (DSM- IV) adalah
konsep sindrom perilaku atau psikologis klinis yang
signifikan atau pola yang terjadi pada individu yang
berhubungan dengan gejala nyeri atau cacat yaitu
penurunan satuatau lebih fungsi yang penting atau resiko
peningkatan kematian, nyeri, kecacatan, atau kerugian
(Prabowo, 2014).
Prevensi
01
Prevensi Primer
Definisi
Prevensi primer merupakan aktivitas yang didesain untuk mengurangi
insidensi gangguan atau kemungkinan terjadi insiden dalam resiko.

Tujuan
Prevensi primer bertujuan untuk mengurangi angka kejadian dan jumlah pasien
gangguan jiwa yang ada di masyarakat dengan cara langsung terhadap penyebab
gangguan jiwa yang melanda sekelompok manusia atau dengan merubah faktor
lingkungan yang diperkirakan ada hubungannya dengan satu atau beberapa
gangguan jiwa.
Teknik Prevensi Primer
Pendidikan
Ahli-ahli kesehatan jiwa yang menyediakan pertolongan kepada perorangan atau suatu badan yang ada
hubungannya dengan persoalan-persoalan Kesehatan Jiwa
Intervensi langsung
• Staf ahli kedokteran jiwa secara langsung melakukan tindakan, dalam usaha pencegahan serangan
gangguan jiwa.
• Menggunakan cara-cara apapun dari pengobatan yang sudah diterima, bekerja sendiri atau bekerja
sama dengan orang lain. Intervensi langsung ini sangat membutuhkan cara-cara untuk menetapkan
suasana yang disebut persoalan kesehatan jiwa yang menanti untuk berkembang

Konsultasi
Ahli-ahli kesehatan jiwa yang menyediakan pertolongan kepada perorangan atau suatu badan yang
ada hubungannya dengan persoalan-persoalan Kesehatan Jiwa

Intervensi
Pendidikan langsung terhadap :
• Masyarakat umum.
• Kelompok-kelompok kecil yang dipilih berdasarkan atas tingginya jumlah gangguan jiwa pada kelompok
tersebut.
• Orang-orang tertentu yang sangat dihormati dan berpengaruh terhadap masyarakat secara umum
sekelompok masyarakat.
• Profesi tertentu dari berbagai macam tingkatan, yang dianggap menjadi sumber untuk meminta
pertolongan bila mereka mendapat kesulitan; profesi itu umpamanya: dokter umum, pamong, guru,
pekerja sosial dll.
Peran Perawat dalam Prevensi Primer
1. Memberikan penyuluhan tentang prinsip-prinsip sehat jiwa
2. Mengefektifkan perubahan dalam kondisi kehidupan,
tingkat kemiskinan, & pendidikan
3. Memberikan pendidikan kesehatan
4. Melakukan rujukan yang sesuai dengan sebelum gangguan
jiwa terjadi
5. Membantu klien di RSU untuk menghindari masalah
psikiatri dimasa mendatang
6. Bersama-sama keluarga memberi dukungan pada
anggota keluarga & meningkatkan fungsi kelompok
7. Aktif dalam kegiatan masyarakat & politik yang berkaitan
dengan kesehatan jiwa
02
Prevensi Sekunder
merupakan yang dilakukan pada fase awal patogenik
yang bertujuanunuk mendeteksi dan melakukan
intervensi segera guna menghentikan penyakit tahap
dini,mencegah penyebaran penyakit, menurunkan
intensitas penyakit atau mencegah penyebaran
penyakit, menurunkan intensitas penyakit atau
mencegah komplikasi, serta mempersingkatfase
ketidakmampuan.
Tujuan
Tujuan prevensi ini adalah mencari kasus-kasus gangguna jiwa yang masih
dalam tahap perkembangan dini dan mencegah terjadinya atau mengurangi
hendaya yang khronik, dengan jalan pengobatan yang cepat dan tepat. Dengan
ini berarti melakukan intervensi awal yang efektif yang dapat mengurangi
jangka waktu lamanya sakit (Kaplan et al., 1985).

Pengobatan
Dalam prevensi sekunder diperlukan bahwa pengobatan siap, mudah didapat untuk
semua kasus yang ditemukan. Meskipun tampaknya sederhana, tetap tindakan
pengobatan ini mengandung risiko yang lebih berat dibanding dengan prevensi
primer. Tindakan pengobatan harus menghasilkan.
Peran Perawat dalam Prevensi sekunder
1) Melakukan skrining & pelayanan evaluasi kesehatan jiwa
2) Melaksanakan kunjungan rumah atau pelayanan penanganan dirumah
3) Memberikan pelayanan kedaruratan psikiatri di RSU
4) Menciptakan lingkungan yang terapeutik
5) Melakukan supervisi klien yang mendapatkan pengobatan
6) Memberikan pelayanan pencegahan bunuh diri
7) Memberikan konsultasi
8) Melaksanakan intervensi krisis
9) Memberikan psikoterapi individu, keluarga, dan kelompok pada berbagai
tingkat usia
10) Memberikan intervensi pada komunitas & organisasi yang telah teridentifikasi
masalah yang dialaminya
Prevensi tersier ini memiliki pengertian yang
sama dengan rehabilitasi. Namun penekanan
kedua hal ini berbeda. Menurut caplan (1963),
rehabilitasi lebih bersifat individual dan mengacu
pada pelayanan medis. Sementara prevensi

03
tersier lebih menekankan pada aspek komunitas,
sasarannya adalah masyarakat dan mencakup
perencanaan masyarakat dan logistik. Tentunya
dalam prevensi tersier merupakan intervensi
yang anti-hospitalisasi.

Prevensi
Tersier
Tujuan
Tujuan dari prevensi tersier adalah untuk menghilangkan hendaya yang
mungkin tersisa meskipun gangguan jiwa sudah mengalami kesembuhan,
umpamanya :
1) Kesulitan untuk mencari pekerjaan.
2) Isolasi sosial
3) Ketergantungan yang berlebihan (terhadap orang lain).

Tehnik pelaksanaan dari prevensi tersier


1)Mencegah kemungkinan terjadinya isolasi pasien, yang dimulai pada saat pasien
masih diobati di RS.
2)Menolong pasien agar mampu mandiri setelah keluar dari RS :
Peran Perawat dalam Prevensi Tersier
1) Melaksanakan latihan vokasional & rehabilitasi
2) Mengorganisasi “after care” untuk klien yang telah
pulang dari fasilitas kesehatan jiwa untuk memudahkan
transisi dari rumah sakit ke komunitas
3) Memberikan pilihan “partial hospitalization”
(perawatan rawat siang) pada klien
STIGMA
Stigma berasal dari kecenderungan manusia untuk
menilai (judge) orang lain. Berdasarkan penilaian
tersebut, kategorisasi atau sterotip dilakukan tidak
berdasarkan fakta, tetapi pada apa yang masyarakat
anggap sebagai tidak pantas, luar biasa, memalukan,
atau tidak dapat diterima. Stigmatisasi terjadi pada
semua aspek kehidupan manusia. Seseorang dapat
dikenai stigma karena penyakit yang diderita, cacat
fisik, pekerjaan dan status ekonomi atau gangguan
jiwa yang dialami. Gangguan iwa ini dapat bersifat
psikogenis atau organis, mencakup kasus-kasus
psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat
(Syahria, 2008).
Faktor penyebab stigma gangguan jiwa
• Adanya miskonsepsi mengenai gangguan jiwa yang disebabkan kurangnya pemahaman tentang
gangguan jiwa sehingga muncul anggapan bahwa ganguan jiwa identik dengan istilah “gila”
• Adanya kepercayaan sebagaian masyarakat terhadap hal-hal gaib sehingga ada asumsi bahwa
gangguan jiwa disebabkan hal-hal yang bersifat supranatural, seperti makhluk halus, setan, roh
jahat, atau akibat terkena pengaruh sihir.
• Adanya kecenderungan keluarga memiliki rasa malu bila tetangganya tahu anggota keluarganya
menderita gangguan jiwa sehingga memilih untuk mengurungnya.

Dampak Stigma gangguan jiwa


Dengan adanya stigma dimasyarakat, penderita gangguan jiwa lebih memilih tidak
memberitahukan kondisinya pada masyarakat, seingga cenderung menarik diri dan hal ini akan
memperparah keadaannya. Disamping itu, terjadi pengucilan yang dilakukan oelh masyarakat
terhadap pasien gangguan jiwa yang baru ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini
dapat berakibat pada gangguan yang kebih parah yang dapat berdampak pada kekambuhan yang
kebih cepat.
Manajemen stigma gangguan jiwa
1) Melakukan kampanye pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa. Kampanye
tersevut dapat diakukan dimasayarakat melalaui desa siaga ataupun dengan media massa.
Kita berikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat atauapun wartawan akurat secara akurat
terbaru tentang kesehatan jiwa.
2) Menanamkan pendidikan kesehatan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui
sekolah-sekolah. Pendiidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukan dalam kurikulum
disekolah-sekolah atau melalaui kegiatan kurikuler.
3) Melibatkan keluarga ataupun masayarakat dalam pelaksanaan tindakan terhadap
pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara pandang
mereka pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu menanganinya.
4) Pemerintah atauapun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan yang
layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-orang yang mengalami gangguan
jiwa ataupun orang-orang yang telah sembuh dari gangguan jiwa
5) Tenaga kesehatan maupun tokoh masyarakat harus mampu menunjukkan atau
memberi contoh bahwa tidak melakukan stigma tersebut. Kita harus merentang
kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa penyakit
mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan manajemen tindakan yang tepat.
Strategi untuk mengubah stigma
Departemen kesehatan indonesia tahun 2014 menganjurkan agar seluruh
pelayanan kesehatan dengan dukungan masyarakat agar menerapkan empat
seruan nasional stop stigma dan diskriminasi terhadap ODGJ (Orang Dengan
Gangguan Jiwa), yaitu:
 Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi kepada siapapun juga dalam
pelayanan kesehatan
 Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengangan untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada 0DGJ
 Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik
akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun terintegrasi ke
masyarakat pasca perawatan dirumah sakit jiwa atau di panti sosial
 Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah
terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya
gangguan jiwa, meminimalisasi faktor resiko masalah kesehatan jiwa, serta
mencegah timbulnya dampak psikososial.
“TERIMAKASIH”

Anda mungkin juga menyukai