Anda di halaman 1dari 172

SOCIAL SKILL TRAINING (SST) UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN SOSIAL PADA ANAK AUTISTIC


SPECTRUM DISORDER (ASD)

TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Magister Psikologi Profesi

Oleh

WINIDA MARPAUNG

117029015

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama : Winida Marpaung
NIM : 117029015
Kekhususan : Psikologi Klinis Anak
Judul Tesis : Social Skill Training (SST) Untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial Pada Anak Autistic Spectrum
Disorder (ASD).

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Profesi
pada kekhususan Psikologi Klinis Anak Magister Psikologi Profesi Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara, dihadapan para dewan penguji

DEWAN PENGUJI

Penguji I/ Pembimbing : Elvi Andriani, M.Si, psikolog [ ]


NIP 196405232000032001

Penguji II : Eka Ervika, M.Si, psikolog [ ]


NIP 197710142002122001

Medan, 14 Mei 2014

Koordinator Program Pasca Sarjana Dekan Fakultas Psikologi USU


Fakultas Psikologi USU

Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, psikolog Prof. Dr. Irmawati, psikolog


NIP 196501122000032001 NIP 195301311980032001

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa tesis yang saya susun


sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Psikologi dari Magister
Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil
karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis saya yang saya kutip dari
hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, saya
bersedia menerima sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 8 Mei 2014

Winida Marpaung

NIM 117029015

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan atas kuasa dan penyertaanNya kepada

penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan tesis ini. Peyusunan tesis dengan

judul “Social Skill Training (SST) Untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Pada

Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)” dilakukan dalam rangka memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terimakasih yang tidak ternilai kepada kedua orangtua Ir. Selwin

Marpaung dan Parida Panggabean atas doa, dukungan moril dan materil, serta

bimbingan yang diberikan kepada saya dalam proses pengerjaan tesis ini. Juga

kepada kedua adik yang sangat saya sayangi Virdoan Marpaung, SP dan Lia

Pontina Marpaung, Amd yang terbagi waktunya untuk menemani saya dalam

mengerjakan tesis ini. Dukungan dan doa yang diberikan memberi kekuatan dan

semangat bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

baik dari masa awal perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini, sehingga

penulis ingin berterima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi.

2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psikolog selaku koordinator program

Magister Psikologi Profesi dan selaku dosen Departemen Klinis Anak atas

ilmu dan bimbingan untuk dapat menyelesaikan tesis ini sebaik-baiknya.

Universitas Sumatera Utara


3. Ibu Elvi Andriani, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing atas ilmu,

saran, bantuan, nasehat, dan dukungan dalam mengerjakan tesis ini, serta

berbagai kesempatan yang diberikan di luar bangku kuliah dalam

mengaplikasikan ilmu.

4. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik dan

penguji tesis, terimakasih atas saran, ilmu dan dorongan yang diberikan

kepada saya.

5. Ibu Etty Rahmawaty, M.Si selaku dosen psikometri dan statistika yang

memberi masukan dan bimbingannya.

6. Keluarga besar saya kedua Oppung yang masih memberikan doa dan

dukungannnya di tengah-tengah kondisi kesehatan yang kurang baik.

Kepada Bou Trisna terimakasih atas arahan dan bantuannya mengerjakan

tesis ini, serta Bou Helmina yang sudah disibukkan untuk membantu

mencari informasi mengenai subjek penelitian. Serta kepada Pak tua, Mak

tua, Pak uda dan inanguda, Bou Nur, Dame, dan Bou Man, Tante, Tulang

dan Nantulang atas dukungan dan bimbingan yang diberikan.

7. Rahmat Putra Warman Girsang yang menjadi kekasih dan teman berbagi

banyak hal dan berjuang bersama. Terimakasih buat semangat, doa, ilmu,

dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.

Tetap semangat dan optimis mengerjakan tesis dan cita-citanya, Tuhan

menyertaimu.

Universitas Sumatera Utara


8. Sahabat terdekatku Eva, Tutik, Grace, Ichin, Fenny, May, dan Joselin

terimakasih buat waktu yang kalian berikan serta memberikan semangat

untuk mengerjakan tesis ini.

9. Alm. Citra Mustika yang telah menjadi kakak yang baik dan pengertian,

penuh semangat dan teladan baik lainnya. Terimakasih kakak buat

kebersamaan yang pernah kita rasakan.

10. Teman-teman KLAbers angkatan 2011 ada Kak Nila Anggreiny yang

sudah memberikan waktu untuk memperhatikan kami, mengontrol,

memberi semangat dan nasihat untuk kebaikan penulis dan pengerjaan

tesis, Yulinda Septiani Manurung yang menjadi teman berbagi selama

perkuliahan dan pengerjaan tesis, serta teladan baik yang dapat dijadikan

contoh bagi penulis. Ayu Wardani yang membantu dengan keceriaan,

kesabaran, dan kelembutannya, Rahma Mutiah sebagai teman berbagi,

pemberi semangat, dan bimbingan, Septi Mayang Sari dengan keuletan

dan semangat yang besar memberi pengaruh yang baik kepada kami, serta

Bang Nasri Zulhaidi sebagai abang yang memberi arahan dan semangat

buat adik-adiknya. Terimakasih sudah menjadi bagian dari hidup penulis,

berbagi keceriaan dan kesedihan, menceritakan mimpi dan cita-cita

bersama. Kiranya Tuhan menyertai kita semua di dunia profesi nantinya.

11. Teman-teman MP2 angkatan 2011 Kak Ema, Ulfa, Kiki, Bang Irvan,

David terimakasih untuk kebersamaannya. Tetap semangat mengejar

mimpinya.

Universitas Sumatera Utara


12. Terimakasih buat Yustian Sinaga yang menjadi teman penulis untuk

diskusi mengenai metode penelitian tesis. Terimakasih atas ilmu dan

dukungan yang diberikan.

13. Terimakasih buat teman-teman dan adik-adik yang membantu dalam

mengambil data penelitian tesis. Dini Lestari sebagai observer yang

membantu penelitian ini dengan kelembutan dan kreativitasnya, Lia

Susanti dan Susi Bancin dengan semangat, doa, dan sarannya. Terimakasih

buat kerjasamanya dan kebersamaan selama proses pengambilan data.

14. Adik-adik UKM KMK USU Fakultas Psikologi, Erni, Tetty, Vivin, Rani

Monika, Hitler, Rini, Ita dan adik-adik lainnya. Terimakasih buat doa dan

dukungan yang diberikan. Terimakasih juga buat teman KTB Bang Frans

Judea, Sam Oliver, Yoland, dan Floreni terimakasih buat waktu berbagi

selama perkuliahan dan doa dalam penyelesaian tesis ini.

15. Semua klien dan orang tua klien mulai dari penyelesaian kasus hingga

tesis yang sangat memberikan pelajaran berarti bagi penulis berusaha

pantang menyerah dan bersyukur terhadap semua kelebihan dan

keterbatasan yang diberikanNya.

16. Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang tidak bisa

disebutkan satu persatu atas dukungan sehingga tesis ini dapat

diselesaikan.

Akhir kata, penulis berharap agar Tuhan dapat membalas segala kebaikan

saudara-saudara semuanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum cukup

sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

Universitas Sumatera Utara


untuk kesempurnaan penelitian ini serta penulis berharap kiranya hasil dari

penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi perkembangan dunia psikologi

khususnya di bidang klinis anak.

Medan, 8 Mei 2014

Penulis

Winida Marpaung

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xii
ABSTRAK ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 13
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 13
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 13
E. Sistematika Penelitian ............................................................................ 15
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 16
A. Keterampilan Sosial. ............................................................................. 16
1. Defenisi Keterampilan Sosial ......................................................... 16
2. Ciri Keterampilan Sosial Anak Autistic Spectrum Disorder
(ASD) .............................................................................................. 17
3. Aspek Keterampilan Sosial Anak ASD .......................................... 18
B. Autistic Spectrum Disorder (ASD.......................................................... 21
1. Pengertian Autistic Spectrum Disorder (ASD) ............................... 21
2. Kriteria Diagnostik ASD................................................................. 24
3. Perkembangan Anak ASD .............................................................. 26
4. Jenis Terapi Untuk Anak ASD ....................................................... 28
C. Social Skill Training (SST) .................................................................... 30
1. Pengertian SST .................................................................................. 30
2. Konsep Teori Dalam Program SST ................................................... 33
3. Metode Pelaksanaan SST .................................................................. 37

Universitas Sumatera Utara


4. Tahapan Pelaksanaan SST ................................................................ 38
D. Paradigma............................................................................................... 40
E. SST Untuk Membentuk keterampilan Sosial Anak ASD ...................... 41
F. Hipotesa ................................................................................................. 44
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 45
A. Rancangan Penelitian ............................................................................... 45
B. Identifikasi Variabel Penelitian ................................................................ 46
C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ................................................ 46
D. Subjek Penelitian Dan Lokasi .................................................................. 47
1. Karakteristik Subjek Penelitian ......................................................... 47
2. Lokasi Penelitian ............................................................................... 48
3. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 48
E. Tahap Penelitian ....................................................................................... 51
1. Tahap Persiapan Penelitian .............................................................. 51
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ........................................................... 53
F. Kriteria Keberhasilan Program Intervensi ................................................ 59
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN......................... 61
A. Pemaparan Subjek I .................................................................................. 61
1. Data Diri Subjek ............................................................................. 61
2. Deskripsi Subjek 1 .......................................................................... 61
3. Hasil Wawancara ............................................................................ 63
4. Analisi Data Fase Baseline ............................................................. 65
a. Tempat, Waktu, dan Jumlah pengambilan Baseline .................. 65
b. Hasil Pelaksanaan Baseline subjek I .......................................... 66
5. Perbandingan Perkembangan Keterampilan Sosial
Pada pretest, intervensi, dan posttest ............................................... 75
B. Pemaparan Subjek II .............................................................................. 86
1. Identitas Subjek II .............................................................................. 86
2. Deskripsi Subjek 1 ............................................................................. 86
3. Hasil Wawancara............................................................................... 90
4. Analisi Data Fase Baseline ................................................................ 92

Universitas Sumatera Utara


a. Tempat, Waktu, dan Jumlah pengambilan Baseline .................. 92
b. Hasil Pelaksanaan Baseline subjek II ......................................... 93
5. Perbandingan Perkembangan Keterampilan Sosial
Pada pretest, intervensi, dan posttest subjek II ................................... 101
C. Pembahasan............................................................................................ 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 124
A. Kesimpulan........................................................................................ 124
B. Saran .................................................................................................. 126
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 128
LAMPIRAN ................................................................................................. 132
Lampiran A ....................................................................................... 132
Lampiran B. Tabel Perbandingan Pre Test, Treatment, dan post test 140
Lampiran C. Latihan ......................................................................... 155

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Paradigma ................................................................................... 40


Gambar 2: Gambaran Hasil Baseline dari subjek I ....................................... 74
Gambar 3: Gambaran Subjek I Setelah Intervensi ........................................ 85
Gambar 4: Gambaran Hasil Baseline dari subjek II ..................................... 100
Gambar 5: Gambaran Subjek II setelah Intervensi ....................................... 111

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Level Klasifikasi ASD ................................................................ 22


Tabel 2.2 Perbedaan Perkembangan anak ASD .......................................... 26
Tabel 3.3 Metode Pemgumpulan Data ........................................................ 49
Tabel 3.4 Pelaksanaan Program Social Skill Training (SST) ..................... 55
Tabel 3.5 Kegiatan Yang dilakukan kepada Orangtua dan guru ................ 57
Tabel 3.6 Kegiatan SST meningkatkan keterampilan sosial anak ASD ..... 57
Tabel 4.7 Data Diri Subjek I ....................................................................... 61
Tabel 4.8 Hasil Baseline subjek I................................................................ 72
Tabel 4.9 Data Diri Subjek II ...................................................................... 86
Tabel 4.10 Hasil Baseline subjek II ............................................................ 97

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GRAFIK

Grafik 1: Perbandingan Perkembangan keterampilan sosial subjek I.............. 75

Grafik 2: Perbandingan Perkembangan keterampilan sosial subjek II ............ 101

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semua orangtua mendambakan agar anaknya dapat terlibat aktif di

lingkungan sosial bersama teman-teman sebaya. Banyak aktivitas sosial yang

mereka dapat lakukan, seperti bermain bersama, menyelesaikan permasalahannya

secara bersama, memiliki sahabat dekat yang dapat memberi dukungan ketika ia

mendapat masalah, atau melakukan hobi. Kegiatan tersebut pastinya sangat

menyenangkan bagi semua anak, namun apa yang dipikirkan atau dirasakan anak

ketika ia tidak dapat melakukan aktivitas sosial tersebut seperti anak normal

lainnya. Mereka tidak ingin menghindar atau menolak orang lain untuk bermain,

atau membiarkan temannya menangis, tidak memberi perlawanan ketika teman-

temannya membully, dan ciri lainnya yang muncul begitu saja dalam aktivitas

mereka sehari-hari. Secara umum kondisi di atas menunjukkan sebagian kecil

gambaran mengenai anak autistic spectrum disorder (ASD). Gambaran tersebut

menimbulkan banyaknya pertanyaan dan tanggapan masyarakat umum terkait

permasalahan anak autistic spectrum disorder (ASD).

Secara terminologi autistic spectrum disorder (ASD) disebut pervasive

developmental disorder jika berdasarkan Diagnostic and statistical Manual Of

Mental (DSM) Disorder IV TR (APA 2004). Beberapa ciri terlihat pada anak

yang mengalami gangguan pervasive Developmental Disorder (PDD), seperti

terhambatnya kemampuan keterampilan interaksi sosial atau munculnya perilaku

Universitas Sumatera Utara


stereotype, memiliki ketertarikan terbatas pada objek, dan aktivitas tertentu.

Adapun jenis gangguan yang berhubungan dengan pervasive developmental

disorder, antara lain; Autistic Spectrum Disorder, Ret’s Disorder, Childhood

Disintegrative Disorder, Asperger Disorder, dan Pervasive Developmental

Disorder NOS (PDD NOS). Perbedaan gangguan ditentukan berdasarkan

munculnya keterhambatan perkembangan di setiap usia dan kriteria

perkembangan anak. PDD dapat terlihat jelas di tahun pertama usia anak dan

sering dihubungkan dengan mental retardation. Hal ini disebabkan karena anak

PDD sama dengan anak normal lainnya yaitu memiliki perbedaan kapasitas

intelektual (APA, 2004).

Sebutan Pervasive developmental disorder (PDD) menjadi autistic

spectrum disorder berubah sejak dilakukannya revisi terhadap Diagnostic and

statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder IV TR (APA, 2004) menjadi

Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder V (Atchison, Ben J

& Dirett, 2012). Semua yang termasuk ke dalam golongan PDD, yaitu Autistic

Spectrum Disorder, Ret’s Disorder, Childhood Disintegrative Disorder, Asperger

Disorder, dan Pervasive Developmental Disorder NOS (PDD NOS) disatukan

menjadi satu spektrum, yaitu autistic spectrum disorder (ASD). Berdasarkan

DSM V, ASD didiagnosa ke dalam dua ranah yaitu mengalami keterhambatan

komunikasi sosial (deficit in social communication), minat yang terbatas, dan

perilaku berulang (Fixated interest and repetitive behavior). Melihat tingkat

keparahan ASD, diagnosa ASD juga ditentukan berdasarkan kontinum derajat

keparahan ASD yang terdiri dari level 1 hingga level 3, yaitu bergerak dari tingkat

Universitas Sumatera Utara


gangguan ringan hingga gangguan berat. Tingkatan ini disesuaikan dengan sejauh

mana anak membutuhkan dukungan orang lain dalam melakukan tugas

perkembangannya, berdasarkan kemampuan komunikasi sosial, serta berdasarkan

perilaku anak. Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak dengan tingkat ASD

ringan dan ada pula dengan tingkat gangguan lebih berat (APA, 2013).

Perkembangan ASD begitu pesat sehingga menjadi perhatian khusus

masyarakat umum dan profesional. Hingga saat ini belum ada data yang pasti

mengenai jumlah anak autistic spectrum disorder di Indonesia. Persentase

terlahirnya anak laki-laki dengan ASD lebih besar daripada anak perempuan

dengan perbandingan 4:1, anak perempuan terlahir dengan ASD memiliki tingkat

keparahan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Data dari UNESCO pada tahun

2011, dalam DetikHealth (2012), menjelaskan bahwa terdapat 35 juta orang

penyandang ASD di seluruh dunia, sedangkan di Amerika Serikat terdapat 11 dari

1000 orang atau dari 100 kelahiran didiagnosa ASD, seorang diantaranya

mengalami ASD. Hal ini menyebabkan di Amerika ASD dikatakan sebagai

national alarming. Sementara itu anak dengan ciri-ciri ASD di Indonesia terdiri

dari 8 dari 1000 orang anak yang lahir didiagnosa ASD (DetikHealth, 2012).

Peningkatan ASD di berbagai negara membuat banyak peneliti yang mencari

penyebab utama terjadinya ASD. Walaupun hasilnya masih belum ditemukan

penyebab yang jelas mengenai munculnya ASD.

Terdapat beberapa penyebab ASD antara lain; faktor genetik, faktor

lingkungan, psikologis, dan faktor neurologis. Faktor genetik diyakini memiliki

peranan yang besar bagi penyandang ASD, salah satunya kembar identik atau

Universitas Sumatera Utara


hubungan saudara kandung atau hubungan darah menjadi penyebab utama secara

genetik. Faktor neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia. Selain

itu berdasarkan teori medis dan penelitian yang dilakukan pada otak orang dengan

ASD menunjukkan bahwa adanya ketidakfungsian antara bagian-bagian otak yang

disebut korteks serebral, amigdala dan sistem limbik yang menyebabkan anak

ASD mengalami respon emosional yang ekstrim ketika rencana atau kegiatan

mereka tidak sesuai dengan rutinitas. Faktor lainnya adalah lingkungan.

Seseorang dilahirkan dengan kerentanan terhadap ASD, tetapi kondisi

berkembang hanya jika orang yang terkena pemicu lingkungan tertentu. Beberapa

faktor lingkungan termasuk yang lahir sebelum 35 minggu kehamilan (lahir

prematur) dan paparan alkohol atau obat-obatan seperti sodium valproate (obat

kadang-kadang digunakan untuk mengobati epilepsi) selama kehamilan. Selain itu

masalah psikologis yaitu adanya kemampuan seseorang untuk memahami keadaan

mental orang lain, mengakui bahwa setiap orang memiliki keinginan personal,

keyakinan, perasaan suka dan tidak suka (dalam Choise, NHS 2014).

Menurut Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM) Fifth

Edition (DSM V, dalam APA 2013), ASD memiliki ciri mendasar yaitu

terhambatnya dalam masalah komunikasi dan interaksi sosial, terhambatnya

masalah perilaku, gejala yang muncul mempengaruhi fungsi dalam pekerjaan,

sekolah, dan lingkungan sosial lainnya (APA, 2013). Ciri-ciri ini akan dilihat

secara nyata dari pengalaman remaja penyandang ASD, seperti yang dialami J

ketika merefleksikan caranya yang berbeda dalam berkomunikasi dan berperilaku

di masa lampau. J menceritakan pengalamannya dalam suasana menyenangkan,

Universitas Sumatera Utara


yaitu setelah bernyanyi dan tertawa bersama atau bercerita sambil melihat koleksi

foto miliknya di ipad. Ia mengambil posisi tubuh yang nyaman sebelum mulai

bercerita;

“Waktu masih kecil mama yang mengajar J berbicara. Memulainnya


dengan belajar bahasa Inggris. Mama mengatakan bahasa Inggris struktur
kalimatnya lebih mudah dimengerti dan jelas. Setelah J bisa berbicara,
mama mengajarkannya bahasa Indonesia. J senang jika ada teman yang
minta ajak sharing, memberikan pendapat, saran, dan mendengarkan.
Dalam hal mengungkapkan perasaan J mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan perasaan sedih. J hanya akan menggambar di kertas. Jika
mengungkapkan perasaan lainnya J lebih mudah mengungkapkannya
misalnya marah, tidak suka, atau menginginkan sesuatu. Sedangkan
perasaan sedih, sakit, atau bosan belum bisa mengatakannya secara
langsung (Komunikasi interpersonal, Juli 2013).

Selain itu J tidak mampu menggunakan kata nonbaku. J akan sulit

mengartikan kata “muka” dengan “wajah” ketika konteks pembicaraan mengenai

pembersih wajah. Selain itu J akan sulit mengartikan kata “buatin” (dalam bahasa

nonbaku) yang artinya adalah membuat. Pemahaman mereka mengenai kata

“membuat” pada kata “buatin” akan diartikan oleh J sebagai panggilan kepada “bu

Atin”. Mengulang kata (echollali) akan muncul pada J jika ia sedang melanggar

diet, pada saat pemulihan dari sakit demam, atau sedang cemas (Observasi,

Oktober 2013).

Kemampuan komunikasi J tergolong rata-rata, ia memiliki perbendaharaan

kata yang cukup baik dan pola bahasa yang mudah dimengerti orang lain.

Walaupun mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia

nonbaku. J lebih mudah berbicara jika menggunakan bahasa daerah, Mandarin,

Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yaitu menggunakan kata baku. J lebih

mudah melakukan komunikasi ekspresif, seperti mengungkapkan perasaan takut,

Universitas Sumatera Utara


marah, atau senang secara langsung dan spontan tanpa melihat situasi sosial.

Berbeda halnya ketika J mengungkapkan perasaan sedih, bosan, dan sakit.

Biasanya J akan mengungkapkan perasaannya dengan perilaku impulsif, misalnya

jalan berulang-ulang, menggigit tangan, tidak makan ketika sedih, bersembunyi

jika takut, dan menggunakan gesture ketika sakit dan mengalami kesulitan untuk

mengungkapkan perasaan sedih, sakit, dan bosan. Berdasarkan komunikasi N

(inisial nama pengasuh J), mengungkapkan bagaimana ia sulit mengatakan bahwa

ia sedang merasa sedih;

“Ms, J sudah 3 hari ini menangis kalau tidur sambil memanggil


“aunt...aunt..” dibangunin J gak mau bangun. J pulas sekali tidurnya.
Sepertinya J mimpi. Kemarin saya tanya kepada J, katanya “aunt
meninggal karena Leukimia” begitu saja. Tapi wajahnya datar aja Ms,
tidak kelihatan sedih hanya saja marah karena J tidak diberitahu jika aunt
sakit” (komunikasi interpersonal, 12 oktober).

Berdasarkan komunikasi di atas menunjukkan bahwa J merasakan

kehilangan, sedih, dan ia memahami konsep meninggal. J paham meninggal

adalah pergi kepada Tuhan dan tidak akan bertemu dengan manusia di dunia. J

tidak dapat mengekspresikan perasaan sedih yang ia rasakan secara spontan

seperti anak lainnya. J hanya mampu merasakan kesedihan di dalam hatinya.

Selain masalah kemampuan komunikasi, ciri lain yang terlihat pada anak ASD

adalah kemampuan interaksi sosial. Anak ASD mengalami kesulitan untuk

melakukan interaksi dengan orang lain seperti anak normal lainnya. Hal ini dapat

terlihat dari komunikasi interpersonal yang dilakukan kepada J:

“ Sewaktu SD teman J ada yang menangis, lalu J tertawa karena melihat


wajahnya yang lucu. Teman J menjadi marah dan tambah menangis. J
tertawa karena wajahnya lucu dan matanya kena cabe (maksudnya adalah
karena mata terlihat merah dan mengeluarkan air mata). Guru marah
kepada J ketika tertawa melihat orang menangis. Bagaimana supaya J bisa

Universitas Sumatera Utara


memiliki empati dengan orang lain miss? (sambil melihat ke arah
peneliti). Besoknya J minta maaf kepada teman J dan mengatakan kamu
lucu ketika menangis, tidak perlu menangis lagi ya” (Komunikasi
personal, Oktober 2013).

Kesulitan memahami emosi orang lain merupakan salah satu komponen

keterampilan sosial. Pada kasus J, ia mengalami kesulitan memahami bahwa

ketika melihat orang bersedih reaksi yang ia tunjukan adalah tidak menertawainya

melainkan ikut merasakan kesedihannya. J kurang paham mengenai dampak

perilakunya ketika ia menertawai orang yang sedang menangis, seperti marah atau

kecewa. Situasi tersebut bisa saja muncul pada situasi lainnya yang tidak

memahami kondisi J sehingga menimbulkan permasalahan baru bagi orang

disekitarnya.

Keterbatasan keterampilan sosial anak ASD berkaitan dalam memproses

informasi emosi sosial, seperti ekspresi emosi, suara, dan ekspresi wajah.

Perbedaan antara tuntutan sosial dan informasi yang mereka miliki akan memberi

arti yang berbeda, seperti mengatakan “beruang” pada orang yang memiliki

bentuk tubuh yang gemuk. Ia tidak menyadari jika mengatakan “beruang” akan

membuat orang lain marah atau berkecil hati. Mereka mengalami kesulitan untuk

memahami makna kata “tersinggung” secara normal, sehingga efeknya tidak

membuat mereka merasa bersalah ketika melakukan kesalahan kepada orang lain.

Istilah di atas disebut sebagai processing social-emotional information, yaitu

mengalami kesulitan untuk melakukan proses informasi yang berkaitan dengan

hubungan sosial dan emosional (Bellini, 2011).

Keterampilan sosial berpengaruh terhadap keterampilan hidup seseorang,

dengan kata lain keterhambatan sosial lebih besar daripada kognitif, artinya bahwa

Universitas Sumatera Utara


“tingginya kemampuan kognitif tidak menentukan bahwa kemampuan sosial

berfungsi lebih baik”. Perbedaan antara keterampilan kognitif dan sosial dapat

dilihat pada kemampuan anak ASD berdasarkan tingkat keparahan anak

(McConnel, dalam Feng 2008). Menurut DSM V (APA, 2013) anak ASD

memiliki tingkatan keberfungsian yang lebih baik digolongkan ke dalam level 1.

Anak memiliki kemampuan dasar keterampilan sosial, seperti terhambatnya

komunikasi sosial anak, kesulitan mengawali interaksi sosial, sulit

mempertahankan hubungan, dan tampak penurunan minat dalam interaksi sosial.

Jelas bahwa anak ASD level 1 akan menerima manfaat untuk meningkatkan

fungsi sosial kognitif dengan melatih dan membangun hubungan sosial secara

positif

Kesamaan antara visual scan ketika melihat adegan sosial dan

mengidentifikasi emosi, maka akan muncul kembali ingatan tersebut baik dalam

bentuk perilaku maupun ekspresi wajah. Sebagai contoh, seorang anak ASD

pernah melihat film animasi, dimana salah satu pemeran film melempar pizza dan

menyentuh wajah temannya. Anak ASD yang melihatnya akan tertawa tidak

henti-hentinya. Setelah menonton film anak akan tertawa walaupun tanpa

menonton film tersebut. Di hari yang berbeda anak akan melempar pizza kepada

temannya tanpa merasa bersalah dan rasa takut. Ia menonton dan mempraktekkan

kepada teman-temannya karena adanya disfungsi kognitif yang terbentuk

walaupun tidak berfungsi baik dalam penerapannya secara sosial (Feng, H 2008).

Disfungsi kognitif mengacu pada kesulitan aktivitas memori, perhatian,

perencanaan, fleksibilitas mental, atau self-monitoring adalah permasalahan yang

Universitas Sumatera Utara


terjadi pada bagian kognitif ASD. Berdasarkan disfungsi ini muncul perasaan

malu dan mental yang relatif lebih kaku pada anak ASD yang menyebabkan

munculnya perilaku dan emosi yang tidak dapat terkendali, dan perilaku repetitif

(berulang-ulang), terbatasnya komunikasi sosial, dan kemampuan sosial yang

tidak tepat (Sparks & B.F & Friedman, 2007). Perilaku yang muncul ketika

berada di situasi sosial, seorang anak ASD sulit mengontrol emosi dan perilaku

ketika melihat wanita memiliki berat badan gemuk. Di bawah ini akan

digambarkan bagaimana J (yang merupakan remaja ASD) tidak dapat

menyesuaikan perilakunya dengan baik (Observasi yang dilakukan kepada J);

Ketika melihat postur tubuh yang demikian J mengatakan bahwa “Wanita


itu seperti balon dan perutnya seperti membawa helm” di dekat orang yang
bersangkutan. Selain itu J tidak mengetahui bagaimana menempatkan diri
ketika bertemu dengan orang lain yang memiliki tahi lalat besar dipipinya
dan dengan spontan mengatakan “ ibu kenapa wajahnya dicoret-coret
memakai spidol?”, “Ibu harus pulang segera ke rumah dan hapus coretan
yang dipipi ibu!” (Observasi, Juli 2013).

J akan marah jika tidak memenangkan permainan atau gagal. Ia akan


memukul ipad atau melempar barang yang ada di tangannya. Jika ia salah
menjawab, J juga akan menggigit tangan atau memukul kepalanya dengan
kuat. J akan berusaha hingga ia dapat memenangkan permainan dengan
baik.

Perilaku J menunjukkan bagaimana ia mengalami kesulitan ketika

menstrukturisasikan pikiran menjadi perilaku sesuai dengan aturan sosial yang

berlaku. Hal ini juga menyebabkan anak ASD sulit untuk mendemonstrasikan

keinginannya, sulit untuk mengontrol emosi, dan perilakunya pada situasi yang

tepat. Kesulitan untuk menerima kekalahan dan berusaha mengerjakan tugas

hingga berhasil. Salah satu faktor utamanya adalah adanya perilaku repetitif dan

impulsif, yaitu mendorong anak untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Vollmer, Barrero, Lalli, Daniel (dalam Matson, 2011) menemukan

bahwa adanya hubungan antara perilaku impulsif dengan kontrol diri yang

berpengaruh terhadap fungsi sosial anak. Beberapa aktivitas sosial yang dilakukan

masyarakat pada umumnya tidak memiliki pedoman yang jelas, sering dilakukan

secara spontan, imajinatif, abstrak dan tidak terorganisir. Sementara anak-anak

dengan permasalahan ASD memiliki cara yang berbeda. Mereka akan mengalami

kebingungan bermain ketika aturan permainan diubah, anak akan mengalami

kesulitan untuk beradaptasi dengan aturan baru dan mengakibatkan muncul

perilaku negatif seperti menyakiti diri sendiri dan orang lain (Phimley, 2007).

Pemahaman situasi sosial dan reaksi emosi anak ASD dengan kemampuan

kognitif rata-rata sampai superior memiliki kemampuan visual scan terhadap

objek dan kejadian yang mereka amati dengan baik, sehingga setiap perilaku

terekam dengan baik di kognitif. Tanpa memperhatikan penyebab perilaku, objek,

ataupun emosi yang muncul. Sulitnya memahami komunikasi reseptif

menyebabkan mereka sulit melakukan self monitoring sehingga memberi dampak

negatif pada interaksi sosial anak ASD. Walaupun kenyataannya anak ASD dapat

menunjukkan perubahan perilaku berdasarkan pelatihan atau intervensi yang

diberikan kepada mereka dengan baik (Brereton, 2005). Intervensi yang tepat

diberikan kepada anak ASD terdiri dari beberapa terapi, seperti memberikan terapi

okupasi, biomedical, terapi komunikasi, terapi perilaku seperti social skill training

yang diperuntukkan untuk memberikan penanganan permasalahan sosial anak.

Oleh karena itu, social skill training merupakan aspek penting dari perencanaan

Universitas Sumatera Utara


intervensi yang disesuaikan dengan perkembangan anak untuk melatih

keterampilan sosial yang lebih kompleks (dalam Turkington & Anan 2007)

Adapun tujuan social skill training adalah untuk membantu anak

melakukan keterampilan sosial di keluarga, sekolah, dan lingkungan umum

lainnya, membantu anak dalam melakukan pemecahan masalah, dan

mengembangkan intelektual emosional fisik yang diperlukan untuk hidup, belajar,

dan bekerja di masyarakat. SST salah satu pendekatan yang efektif untuk melatih

kemampuan keterampilan sosial anak ASD (McConnel, dalam Feng 2008).

Dimana SST memiliki komponen instruksi yang penting, terdiri dari pembukaan

dan defenisi keterampilan, identifikasi keterampilan secara rasional, menggunakan

modeling, panduan praktis, memiliki feedback, dan aplikasi keterampilan dalam

situasi kehidupan nyata yang sesuai dengan kondisi anak ASD (Bauminger, 2002;

Roeyers, 1996; Webb Miller et all, dalam Feng 2008).

Secara umum SST terdiri dari berbagai keterampilan sosial yang kompleks

antara lain kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, asertif,

hubungan dengan teman sebaya, interaksi dalam kelompok, dan kemampuan

manajemen diri (Kolb & Hanley-Maxwell, 2003, dalam Gooding 2011). Beberapa

penelitian mengadopsi keterampilan sosial yang sama hanya saja diformulasikan

ke dalam bentuk yang berbeda, namun memiliki arti yang sama yaitu social

reciprocity, social participation, detrimental behavior sosial.

Program SST menunjukkan efektivitas yang tinggi yaitu berkisar antara

60-70% tingkat keberhasilannya untuk meningkatkan keterampilan sosial

(Ang&Hughes, 2001, Beelman et al, 1994, dalam Gooding 2011). Pada literatur

Universitas Sumatera Utara


Gresham, Cook, Crews, dan Kern (2004) menemukan 2-3 anak dari 5 anak

dengan emotional dan behavior disorder berhasil ditangani dengan menggunakan

SST. SST dapat digunakan untuk menangani gangguan emosional, perilaku di

sekolah dan sosial, perilaku conduct, anak dengan emotional distress,

meningkatkan kepercayaan diri anak social phobia, membantu anak handicape

berfungsi dengan baik di lingkungan sosial, dan salah satunya penanganan kepada

anak dengan masalah perkembangan pervasif. Selain itu SST memiliki ruang

lingkup yang luas, selain berguna untuk bidang klinis, SST juga bermanfaat di

bidang medis, industri, dan pendidikan. Berdasarkan penjelasan di atas, SST

memiliki manfaat yang besar bagi banyak orang dan telah diuji efektivitasnya.

Ada beberapa metode intervensi yang dapat dilakukan dengan

menggunakan social skill training antara lain; social stories, peer-mediated

interventions, scripts and script fading, social skills group, video modeling (Gray,

dalam Matson 2011). SST merupakan salah satu jenis intervensi yang digunakan

untuk melatih kemampuan interaksi sosial khususnya community skill. Menurut

Matson (2011), Community skill terdiri dari conversational skill, play skill,

understanding emotions, dealing with conflict, dan friendship skill. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukannya menjelaskan bahwa social skill training dapat

digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial ASD (Sparrow, dalam

Reichow 2010). Hasil meta analisis dalam kajian ini menunjukkan bahwa subjek

dengan kelompok keterampilan sosial mengalami peningkatan dalam kompetensi

sosial, memiliki hubungan persahabatan yang lebih baik, dan mengalami interaksi

Universitas Sumatera Utara


sosial. Hal inilah yang mendasari penelitian ini yaitu ingin melihat apakah social

skill training dapat meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah “Bagaimana Social Skill Training dalam meningkatkan

Keterampilan Sosial Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka tujuan dari penelitian

adalah:

1. Melihat Efektivitas Social Skill Training dalam Meningkatkan Keterampilan

Sosial Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).

2. Memperoleh gambaran perkembangan keterampilan sosial berdasarkan

dimensi keterampilan sosial anak ASD, yaitu conversational skill, play skill,

friendship skill, understanding emotion, dan dealing with conflict.

D. Manfaat Penelitian

1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Klinis Anak

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai aplikasi nyata

psikologi klinis anak terkait penerapan program Social Skill Training dalam upaya

untuk meningkatkan keterampilan sosial anak, khususnya pada anak Autistic

spectrum Disorder (ASD).

Universitas Sumatera Utara


2. Perkembangan Pelayanan Psikologi

Hasil penelitian social Skill Training (SST) ini kiranya dapat menjadi

acuan atau program terapi untuk membantu dalam penanganan anak Autistic

Spectrum Disorder (ASD) sebagai cara untuk meningkatkan keterampilan sosial

anak.

3. Dunia Pendidikan

Hasil penelitian social skill training (SST) dapat berguna untuk

mengembangkan keterampilan sosial anak sekolah melalui rancangan program

pendidikan atau kurikulum sekolah. Selain itu menggunakan acuan penelitian ini

untuk menerapkan metode belajar inklusi di sekolah serta menanamkan rasa

persahabatan dan penerimaan anak normal kepada anak berkebutuhan khusus.

4. Perkembangan Riset Psikologi

Manfaat penelitian lainnya adalah sebagai dasar pengembangan riset

psikologi. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran efektivitas social skill

training pada anak dengan masalah pada keterampilan sosial. pengembangan riset

psikologi yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan dan keterampilan

psikolog dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada para orangtua atau

terapis anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) untuk meningkatkan

keterampilan sosial anak. Selain itu dapat digunakan sebagai terapi dalam

penanganan keterampilan sosial anak Autistic Spectrum Disorder (ASD).

Universitas Sumatera Utara


E. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Berisikan uraian mengenai latarbelakang permasalahan, perumusan,

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Kajian yang diperoleh dari penelaaan pustaka meliputi kajian literatur dan

hal-hal yang terkait Social Skill Training Autistic Spectrum Disorder (ASD), dan

keterampilan sosial.

Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, gambaran subjek

penelitian, dan rancangan program intervensi social skill training.

Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian

Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil

penelitian efektivitas Social Skill Training dalam meningkatkan keterampilan

sosial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula

tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keterampilan Sosial

1. Defenisi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki

seseorang untuk membantu menjalankan aktivitas di lingkungan sosial yang

ditentukan dari proses belajar, tingkat intelektual untuk menghindari perilaku

maladaptif, dan permasalahan sosial (Smiroldo&Bamburg, dalam Matson 2002).

Sementara itu menurut Weiss & Harris (dalam Matson 2011) keterampilan sosial

merupakan cara untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain

dan memberikan kesuksesan kepada setiap orang dalam bidang sosial, emosional,

serta perkembangan kognitif.

Selain itu keterampilan sosial adalah kemampuan khusus yang

menyebabkan seseorang dapat mengerjakan tugas sosial khusus secara kompeten

(cakap atau terampil). Keterampilan sosial secara umum dapat dipahami sebagai

perilaku-perilaku yang diperkuat sesuai dengan usia individu dan situasi sosial

yang mengakibatkan penerimaan dan penilaian positif dari orang lain serta tidak

mengakibatkan pengaruh buruk bagi perkembangan anak. Keterampilan sosial

merupakan keterampilan dengan menggunakan pendekatan kognitif dan behavior,

dengan kata lain keterampilan sosial bukan kemampuan yang dibawa lahir

melainkan dipelajari (Cotugna, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Sementara itu menurut (Keenan et all, 2006) menjelaskan bahwa

lingkungan sosial menginginkan setiap orang memiliki kemampuan untuk

memecahkan masalah, membaca situasi, bereaksi dengan tepat, menghasilkan

solusi alternatif, dan mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi. Keterampilan

sosial juga merupakan kompetensi sosial dengan keterampilan sosial yang terukur

pada perilaku interpersonal, misalnya membangun kontak mata, tersenyum,

bergiliran, dan membangun kompetensi sosial.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial

adalah keterampilan penting yang harus dimiliki oleh seseorang untuk membantu

menjalankan aktivitas di lingkungan sosial, serta cakap atau terampil mengerjakan

tugas sosial yang ditentukan dari proses belajar, kapasitas intelektual, dan

permasalahan sosial. Selain itu keterampilan sosial tersebut bertujuan untuk

membentuk perilaku spesifik, inisiatif, agar mampu berinteraksi dengan orang lain

untuk menunjukkan perilaku positif sesuai dengan konteks sosial, menjauhi

perilaku yang tidak disukai oleh lingkungan, memiliki kemampuan untuk

memecahkan masalah, memahami situasi, dan bereaksi dengan tepat,

menghasilkan solusi alternatif, dan mempertimbangkan kemungkinan yang

terjadi.

2. Ciri Keterampilan Sosial Pada Anak ASD

Menurut Phimley (2007) ciri keterampilan sosial anak ASD dimana

mereka lebih suka melakukan aktivitas individu, sikap acuh tak acuh,

ketidakpedulian terhadap orang lain, lebih menunjukkan sikap spontan,

penerimaan pasif terhadap kontak sosial, kurang empati, gagal untuk menghargai

Universitas Sumatera Utara


orang lain, rendahnya pemahaman terhadap aturan-aturan sosial, dan tidak dapat

mencari kenyamanan di saat tertekan. Ciri keterampilan sosial yang ditampilkan

anak ASD berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu Keterampilan sosial

merupakan kemampuan sosial anak ASD yang menyebabkan anak berfungsi

secara independen dan tidak disebabkan oleh keterbelakangan mental melainkan

disebabkan karena kriteria ASD. Anak ASD mengalami keterhambatan

komunikasi dan kecenderungan munculnya kemampuan adaptif sosial lebih besar

terjadi daripada kemampuan komunikasi. Keterhambatan pada masalah

komunikasi menyebabkan anak ASD mengalami masalah dalam menjalin

interaksi sosial dengan orang lain (Matson, 2011).

3. Aspek Keterampilan Sosial Anak ASD

Standard Keterampilan sosial pada anak ASD berbeda dengan anak

normal lainnya. Menurut Drew&Hardman (dalam Matson 2011) terdapat tiga

aspek keterampilan sosial yang dibutuhkan anak ASD antara lain domestic skill,

self care skill, dan community skill. Berdasarkan perkembangan masing-masing

anak ASD seperti mengajarkan community skill agar anak dilatih untuk dapat

berfungsi dengan baik di lingkungan sosial.

Menurut Kroeger & Sorensen Burnworth (dalam Matson 2011)

menjelaskan bahwa anak ASD perlu mendapatkan latihan community skill seperti

mengajarkan anak menolong orang lain ketika melihat orang lain mengalami

masalah atau terjatuh, terluka, atau kesulitan untuk mengikuti pelajaran di

sekolah, dan selain itu anak dilatih safety skill. Ketika dalam masyarakat individu

dengan ASD menghadapi banyak ancaman yang berisiko terhadap keselamatan

Universitas Sumatera Utara


anak. Ada beberapa hal yang harus dilatih antara lain mengenalkan anggota

keluarga terdekat dan teman sekolah. Selebihnya mengajarkan anak tidak

berbicara kepada anggota keluarga dan orang lain yang belum dikenal.

Keterampilan lainnya adalah mengajarkan sikap anak ketika berbelanja, sikap

ketika berada di angkutan umum, di sekolah, di rumah sakit. Ada tahapan yang

harus diperhatikan ketika akan melatih keterampilan community skill antara lain

mendeteksi usia anak untuk menyesuaikan kebutuhan yang paling mendasar untuk

dilatih, tetapkan tujuan atau target dari yang termudah sampai tersulit,

menyiapkan metode yang diperlukan untuk menjadi media belajar anak.

Menurut Matson (2011) community skill pada anak ASD memiliki variasi

dalam berinteraksi, seperti pada aktivitas anak untuk bermain, berkomunikasi,

menjalin persahabatan, memahami emosi seseorang, dan kemampuan dalam

mengatasi permasalahan. Keterampilan sosial anak ASD berhubungan dengan

kemampuan anak dalam melakukan hubungan dengan orang lain (social

reciprocity), seperti berkomunikasi, menjalin hubungan dengan teman sebaya.

Selain itu berpartisipasi dengan lingkungan sosial (social participation), seperti

melakukan permainan dan mengikuti kegiatan terstruktur dan tidak terstruktur.

Kemampuan untuk menyesuaikan perilaku (detrimental behavior social) dengan

tuntutan lingkungan sosial juga merupakan salah satu keterampilan sosial yang

perlu dipahami oleh anak ASD.

Keterampilan sosial oleh Matson (2011) berkembang ke dalam bentuk

dimensi yang lebih spesifik, antara lain adalah:

Universitas Sumatera Utara


a. Conversational skill seperti kemampuan anak mengucapkan salam, ikut

serta dalam percakapan, kemampuan verbal, kemampuan mendengar,

mampu menentukan topik pembicaraan, mengerti batasan pribadi orang

lain, dan mampu mengakhiri percakapan

b. Play skill keterampilan sosial yang terdiri dari kemampuan observasi,

kemampuan berbagi, kompromi, mencari solusi dalam penyelesaian

masalah, menentukan coping, memiliki kemampuan bermain timbal

balik, dan kemampuan mengakhiri permainan.

c. Understanding emotions, seperti mampu membaca ekspresi wajah,

mengetahui bahasa tubuh, kualitas suara, tekanan suara, kecepatan

berbicara, dan mengatur kata-kata yang tepat sesuai dengan kondisi

lingkungan, misalnya menyesuaikan pembicaraan pada situasi sedih atau

senang.

d. Dealing with conflict, seperti memiliki kemampuan untuk

memanajemen kemarahan, memiliki kemampuan self-regulation,

memiliki kemampuan komunikasi seperti kemampuan untuk menolong,

kemampuan untuk tetap menjalani situasi stres, bersikap asertif namun

tidak agresif, menghindari terjadinya perlakuan bullying.

e. Friendship skill, seperti mengetahui mengenai kondisi teman,

berkembangnya kemampuan untuk berbagi dengan teman, dan dapat

menghadapi tekanan dalam hubungan berteman.

Berdasarkan penjelasan di atas keterampilan sosial berhubungan dengan

kemampuan anak dalam berinteraksi dengan teman-temannya. Adapun

Universitas Sumatera Utara


kemampuan keterampilan sosial yang diperlukan adalah conversational skill

(kemampuan mendengar, mampu menentukan topik pembicaraan dan

sebagainya), play skill (kemampuan menyelesaikan masalah, menentukan coping,

dan memiliki kemampuan bermain timbal balik), understanding emotions

(membaca ekspresi wajah, mengetahui bahasa tubuh), dealing with conflict

(seperti kemampuan untuk memanajemen kemarahan, kemampuan untuk

menolong), friendship skill (kemampuan untuk mengetahui kondisi teman). Setiap

anak bisa saja mampu pada salah satu dimensi keterampilan sosial tanpa

menguasai dimensi lainnya. Hal ini sesuai dengan proses belajar anak dan

kemampuan yang ia miliki.

B. Autistic Spectrum Disorder (ASD)

1. Pengertian Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Menurut anak dengan ASD menunjukkan keterlambatan dalam

perkembangan. Beberapa anak menunjukkan permasalahan dari proses kelahiran,

seperti melakukan kontak mata daripada anak lainnya. Meskipun dalam kasusnya

karakteristik ASD dapat dideteksi antara 12 dan 36 bulan dari usia perkembangan

dengan alasan, anak dengan ASD progresnya lebih lambat pada beberapa area

perkembangan daripada perkembangan khusus anak, kesenjangan keterampilan

terajadi ketika anak normal memiliki kemampuan bahasa dan kemampuan sosial

(Atcinson, J & Dirett, 2012). Selain itu kerusakan pada otak merupakan salah satu

penyebab yang mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi,

perilaku, kemampuan sosialisasi, sensoris, dan kemampuan belajar pada anak.

Universitas Sumatera Utara


Biasanya gejala sudah mulai tampak pada usia di bawah 3 tahun. Selain itu ASD

adalah sindrom yang terdiri dari satu set perkembangan dan perilaku yang akan

didiagnosis. Ciri ASD mencakup interaksi sosial, keterhambatan komunikasi,

bermain dan perilaku (terbatas repetitif dan stereotip pola perilaku, minat, dan

aktivitas. Biasanya mereka berperilaku dengan hati-hati dan fokus pada aturan

perilaku yang dapat diterima (Brereton, 2002). Berdasarkan Diagnostic and

statistical Manual Of Mental (DSM) Disorder V edition (APA, 2013) kapasitas

pengelompokan anak ASD tergolong ke dalam level 1 hingga level 3.

Tabel 2.1. Level Untuk Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Tingkat Perilaku berulang


Komunikasi Sosial
Keparahan terbatas
Level 3 Keterhambatan yang tergolong parah. Perilaku yang tidak
“memerlukan Sulit dalam keberfungsian komunikasi fleksibel, kesulitan
dukungan verbal dan non-verbal yang ekstrim menghadapi
sangat menyebabkan gangguan komunikasi, perubahan, atau
substansial” keinginan mengawali interaksi sosial perilaku-perilaku
yang sangat terbatas, dan tanggapan berulang terbatas jelas
minimal terhadap ajakan bersosialisasi sekali tampak
dari pihak lain. Sebagai contoh, mengganggu
seseorang yang berbicara dengan jelas keberfungsian pada
dengan sedikit kata, jarang megawali semua bidang.
interaksi, dan apabila hal tersebut Kesulitan besar
dilakukannya, ia melakukannya merubah perhatian dan
dengan cara yang tak lazim untuk tindakan.
pemenuhan kebutuhannya, dan
tanggapan hanya pada pendekatan
sosial yang sangat langsung.

Universitas Sumatera Utara


Level 2 Tergolong pada kemampuan Perilaku yang tidak
“memerlukan menengah. Kemampuan komunikasi fleksibel, kesulitan
dukungan verbal dan non-verbal; gangguan menghadapi perubahan,
substansial” sosial yang nyata walaupun mendapat atau perilaku-perilaku
dukungan di tempat; keterbatasan berulang terbatas
mengawali interaksi sosial; respon lainnya. Cukup sering
yang sedikit atau abnormal terhadap terjadi sehingga tampak
ajakan bersosialisasi dari pihak lain. jelas oleh pengamat
Sebagai contoh, seseorang yang yang biasa dan
berbicara kalimat sederhana, yang mengganggu
interaksinya terbatas pada minat keberfungsian pada
tertentu, dan yang tampak jelas konteks yang beragam.
keganjilan komunikasi nonverbal. Kesulitan merubah
perhatian dan tindakan.
Level 1 Tanpa pemberian dukungan, Perilaku yang tidak
“memerlukan terhambat dalam hal melakukan fleksibel menyebabkan
dukungan” komunikasi sosial menimbulkan pengaruh yang
gangguan yang berarti. Kesulitan signifikan dalam
mengawali interaksi sosial dan contoh keberfungsian pada satu
yang jelas dari respon yang tidak konteks atau lebih.
normal atau tidak sukses terhadap Kesulitan mengalihkan
ajakan dari pihak lain. Mungkin diantara beberapa
tampak penurunan minat dalam aktivitas. Permasalahan
interaksi sosial. Sebagai contoh, dalam mengorganisir
seseorang yang dapat berbicara dan merencanakan
dengan kalimat yang utuh dan mampu sesuatu menghalangi
terlibat dalam komunikasi, namun kemandirian.
gagal dalam percakapan dua arah
dengan orang lain, dan yang memiliki
cara-cara yang ganjil dan gagal dalam
berteman.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ASD

adalah salah satu defisit perkembangan yang memiliki ciri terhambatnya

komunikasi dan bahasa, interaksi sosial misalnya berhubungan dan perilaku minat

terbatas dan berulang. Tingkatan keparahan anak ASD disesuaikan dengan

kapasitas kemampuan anak yaitu membaginya ke dalam tingkatan level 1 hingga

level 3.

2. Kriteria Diagnostik Autistic Spectrum Disorder (ASD) Berdasarkan

DSM V

Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder Fifth Edition Text Revision (APA, 2013)

kriteria diagnostik dari gangguan ASD adalah sebagai berikut:

A. Terhambatnya dalam komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat

menetap pada berbagai konteks, seperti;

a) Kekurangan dalam kemampuan komunikasi sosial dan emosional.

Contohnya pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan untuk

melakukan komunikasi dua arah; kegagalan untuk berinisiatif atau

merespon pada interaksi sosial.

b) Terganggunya perilaku komunikasi non-verbal yang digunakan untuk

interaksi sosial. Integrasi komunikasi verbal dan non-verbal yang

sangat parah, hilangnya kontak mata, bahasa tubuh dan ekspresi wajah.

c) Kekurangan dalam mengembangkan, mempertahankan hubungan.

Contohnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai konteks

Universitas Sumatera Utara


sosial, kesulitan dalam bermain imajinatif atau berteman, tidak adanya

ketertarikan terhadap teman sebaya.

B. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitive, ketertarikan, atau

aktivitas yang termanifestasi minimal dua dari perilaku berikut:

a) Pergerakan motor repetitif atau stereotype, penggunaan objek-objek

atau bahasa, misalnya: perilaku stereotype yang sederhana,

membariskan mainan-mainan atau membalikkan objek.

b) Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku atau

pola perilaku verbal atau non-verbal yang diritualkan, contohnya stress

ekstrim pada suatu perubahan yang kecil, kesulitan pada saat adanya

proses perubahan, pola pikir yang kaku.

c) Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu ketertarikan

yang abnormal. Contoh: kelekatan yang kuat atau preokupasi pada

objek-objek yang tidak biasa, pembatasan yang berlebihan atau

perseverative interest.

d) Hiperaktivitas/hipoaktivitas pada input sensori atau ketertarikan yang

tidak biasa pada aspek sensori pada lingkungan. Contoh, sikap tidak

peduli pada rasa sakit atau temperature udara, respon yang berlawanan

pada suara atau tekstur tertentu, penciuman yang berlebihan atau

sentuhan dari objek, kekaguman visual pada cahaya atau gerakan.

C. Gejala-gejala harus muncul pada periode perkembangan awal (tapi

mungkin tidak termanifestasi secara penuh sampai tuntutan sosial

Universitas Sumatera Utara


melebihi kapasitas yang terbatas, atau mungkin tertutupi dengan strategi

belajar dalam kehidupannya).

D. Gejala-gejala menyebabkan gangguan yang signifikan pada kehidupan

sosial, pekerjaan atau situasi penting lain dalam kehidupan.

E. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak disebut dengan istilah

ketidakmampuan intelektual (intellectual disability) atau gangguan

perkembangan intelektual atau keterlambatan perkembangan secara global.

4. Perkembangan Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD)

Menurut DSM V (APA, 2013) ASD berkembang pada 30 bulan pertama

dalam hidup, saat dimensi dasar dari keterkaitan antar manusia dibangun periode

perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa infant dan toddler. Di bawah

ini akan dijelaskan bagaimana perkembangan anak ASD dibandingkan dengan anak

normal.

Tabel 2.2. Perbedaan Perkembangan Anak Normal dan Anak Autis

No Usia Perkembangan anak ASD Ciri Perkembangan anak ASD

1 Usia 12-24 Bulan Keterhambatan awal yaitu kemampuan


komunikasi dan interaksi sosial pada anak di
usia 12 bulan jika gejala yang ditunjukkan
lebih berat. Selain itu usia 24 bulan jika
gejala yang ditunjukkan lebih ringan.
2 Pada usia 2 tahun lebih Mengalami penurunan atau regresi pada
kemampuan bahasa dan perilaku sosial.
3 Usia 2 tahun lebih Gejala pertama yang dapat dilihat dari anak
ASD adalah, terlambatnya perkembangan

Universitas Sumatera Utara


bahasa, disertai dengan terhambatnya
keteratarikan atau keinginan untuk
berinteraksi sosial, pola bermain yang kaku
(membawa mainannya berkeliling tetapi
tidak memainkannya atau bermain dengan
anak lain) dan kemampuan komunikasi yang
kaku atau terpola (mengetahui alfabet tetapi
tidak memberi respon ketika namanya
dipanggil). Perilaku aneh dan berulang-
ulang dan tidak adanya memiliki preferensi
yang kuat dan menikmati pengulangan
(misalnya makanan yang selalu sama dan
menonton film yang sama).
4 Usia balita Sulit membedakan diagnostik perilaku
stereotype dan mrelakukan perilaku
berulang-ulang. Perbedaan klinis didasarkan
pada jenis, frekuensi, dan intensitas perilaku
contohnya, anak dengan rutinitasnya selama
berjam-jam bersama objek tertentu dan
sangat tertekan jika item apapun
dipindahkan. Selain itu anak juga akan
emosi dan marah ketika kegiatan yang
dilakukan tidak sesuai dengan rutinitas.

ASD bukan gangguan degeneratif dan merupakan ciri khas dan

kompensasi sepanjang hidup. Gejala yang paling sering terlihat pada anak usia

dini dan sekolah awal tahun. Perkembangan khas anak di beberapa daerah

(peningkatan minat dalam interaksi sosial) bahkan individu tetap menunjukkan

permasalahan sosial, mengalami kesulitan dalam hubungan masyarakat, menderita

Universitas Sumatera Utara


stres dan tetapi adanya usaha untuk mempertahankan hubungan agar diterima

secara sosial.

5. Jenis Terapi Untuk Anak ASD

Menurut Newsom (dalam Wolfe 2005) dan Turkington, Carol & Anan,

Ruth (2007). Ada beberapa intervensi untuk meningkatkan keterampilan sosial

anak yang mengalami anak ASD antara lain adalah:

a. Teaching Appropriate Communication Skill

Dengan menggunakan operant speech training (verbal imitiation, receptive

labelling, expressive teaching, incidental training), language training.

Hampir semua anak dengan ASD mempunyai kesulitan dalam bicara dan

berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu

ASD kemampuan non-verbal atau berbicaranya sangat kurang. Kadang-

kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk

memakai kemampuannya untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan

orang lain. dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa sangat menolong.

b. Family Intervention

Behavioral parent training, parent conseling. Terapi ini digunakan untuk

mengintervensi keluarga agar dapat mendidik dan mengajar anak. Intervensi

ini juga berhubungan dengan bagaimana orangtua dapat menyikapi kondisi

anak dan memberikan penerimaan dengan baik.

c. Early Intervention

Intervensi ini diberikan pada usia awal anak yang akan masuk ke sekolah

dasar. Mengajarkan anak mengenal pola-pola dasar, pendidikan dasar, selain

Universitas Sumatera Utara


itu melatih anak bermain dengan teman-temannya. Meskipun terdengarnya

aneh, seorang anak ASD membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain.

Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan

interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini

dengan teknik-teknik tertentu.

d. Educational Intervention

Intervensi ini diberikan kepada anak ASD melalui pendidikan formal maupun

informal yang diberikan oleh terapis.

e. Psychopharmacological/somatic intervention

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam

DAN (Defeat ASD Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak

ASD. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-

gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan

berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak ASD diperiksa

secara intensif seperti pemeriksaan darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal

abnormal yang ditemukan agar segera diatasi. Ternyata lebih banyak anak

mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu

terapi dari luar dan dalam tubuh sendiri (biomedis).

f. Teaching Appropriate Social Behavior

Mengajarkan imitasi dan mempelajari ekspresi afeksi, social play, peer

mediates intervention (peer initiated procedures, child initiated procedures),

sibling mediated procedure dan social skill training salah satunya adalah

social skill group. Kekurangan yang paling mendasar bagi individu ASD

Universitas Sumatera Utara


adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini

membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah,

membuat teman dan bermain bersama ditempat bermain. Seorang terapis

sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul

dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya. Hal inilah yang

mendasari pentingnya pemberian social skill training kepada anak ASD.

Adapun tujuan dari Social skill training adalah untuk meningkatkan

keterampilan sosial di lingkungan sosialnya.

6. Social Skill Training (SST)

A. Pengertian SST

SST merupakan metode atau cara yang dilakukan untuk memberikan

gambaran perubahan perilaku setiap individu dalam mengerjakan fungisnya

dengan tepat, baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

SST merupakan bagian penting yang digunakan untuk memahami perkembangan

dan perilaku orang lain. Hal ini penting dimiliki oleh anak ASD sehingga dapat

berperilaku sesuai dengan standard aturan sosial yang berlaku. Bagaimana

menyapa orang lain, apa yang dikatakan ketika bertemu dengan orang lain, apa

yang tidak boleh dilakukan, dan cara terbaik untuk berinteraksi dengan orang lain.

SST juga berhubungan dengan kemampuan untuk mengendalikan perilaku anak

dan memenuhi aturan sosial yang berlaku. Merubah perilaku dapat dipengaruhi

oleh konsekuensinya, seperti memberi pujian atau penghargaan ketika anak

mencoba keterampilan sosial dengan baik. SST melibatkan kemampuan untuk

mengendalikan emosi dan pola berpikir yang salah, sehingga anak mampu

Universitas Sumatera Utara


memecahkan masalah atau mengendalikan diri. SST bertujuan untuk mengajarkan

anak secara tepat dan akurat dalam pengelolaan informasi termasuk ke dalam

restrukturisasi kognitif (Cotugno, 2009).

Sementara itu menurut Ozonoff (dalam Cotugno, 2009) SST dapat

digunakan untuk memberikan intervensi kepada anak ASD, berkebutuhan khusus

lainnya, dan anak normal yang memiliki tingkat intelektual rata-rata sampai di

atas rata-rata. Hal ini terkait dengan kemampuan anak untuk menggunakan

regulasi emosi, keterampilan dasar yang sudah ada, dan kemampuan rekognitif

terhadap objek lebih baik, sehingga program yang diberikan mudah dipahami dan

diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Adapun program SST untuk anak

ASD yang high functioning sesuai dengan dimensi keterampilan sosial yang

terdiri dari conversational skill, play skill, friendship skill, understanding emotion,

dan dealing with conflict.

SST merupakan modalitas pendidikan dan klinis yang digunakan secara

luas dalam mengatur kesehatan mental, keluarga, pernikahan, dan konseling

perceraian, pelatihan orangtua, dan sekolah. SST termasuk pelatihan untuk

komunikasi secara asertif, psikososial atau antarpribadi pelatihan keterampilan,

pelatihan dalam komunikasi keterampilan atau hubungan sosial, independen dan

keterampilan hidup masyarakat, dan pemecahan masalah sosial. Dalam psikiatri,

SST telah digunakan sebagai pengobatan primer atau tambahan untuk disfungsi

sosial dalam berbagai macam gangguan anak-anak, remaja, dan orang dewasa.

Selain itu SST juga digunakan sebagai modalitas rehabilitasi yang bisa

meningkatkan keberfungsian anak (Cornish&Ross, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Dasar teori SST berasal dari teori belajar sosial dan pengkondisian operan

teknik yang telah dicoba dan diuji efektif untuk berbagai macam pembelajaran

manusia dan terapi perilaku. Secara khusus, prinsip-prinsip yang mendasari SST

menekankan pentingnya menetapkan ekspektasi yang jelas dengan petunjuk

khusus dan menggunakan pemodelan atau perwakilan identifikasi, melibatkan

individu dalam bermain peran atau latihan perilaku, dan memberikan

reinforcement positive atau penguatan untuk perbaikan kecil dalam perilaku

sosial. SST juga termasuk mengajar persepsi sosial secara akurat, termasuk

mengajarkan mengenai norma-norma, aturan dan harapan sosial dalam

berinteraksi. Mampu mengenali ekspresi emosi yang ditunjukkan oleh orang lain

selama interaksi sosial adalah salah satu contoh dari tujuan persepsi sosial yang

melekat pada SST (Cornish&Ross, 2004).

Menurut Bellini (dalam DeMatteo, 2012) SST berfokus pada

pembangunan perilaku positif dengan menggunakan metode non-aversif.

Pelatihan ini dirancang agar anak menunjukkan perubahan perilaku atau

menghilangkan perilaku yang tidak baik. SST bertujuan; 1) meningkatkan

kemampuan seseorang untuk mengekspresikan apa yang dibutuhkan dan

diinginkan, 2) mampu menolak dan menyampaikan adanya suatu masalah, 3)

mampu memberikan respon saat berinteraksi sosial, 4) melakukan interaksi. SST

merupakan salah satu intervensi dengan teknik modifikasi perilaku yang dapat

diberikan kepada klien depresi, skizoprenia, dan anak yang mengalami gangguan

perilaku.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa SST adalah

suatu metode yang digunakan untuk memberikan gambaran perubahan perilaku

untuk mengurangi permasalahan dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan

aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Selain itu SST berfokus pada

pembangunan perilaku positif, membentuk perilaku baru, atau menghilangkan

perilaku yang tidak baik. Selain itu SST dapat diberikan kepada anak yang

memiliki kemampuan intelektual rata-rata sampai di atas rata-rata. Adapun

program yang dimaksud terdiri dari dimensi yang mencakup dimensi

keterampilan sosial untuk anak ASD.

B. Konsep Teori dalam Program Social Skill Training

Teori behavior dan cognitive merupakan dasar dari social skill training.

Teori ini menjelaskan bahwa perilaku dapat dipelajari. Menurut Skinner (dalam

Cornish&Ross, 2004) tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan

mengubah lingkungan. Oleh karena itu, Skinner lebih tertarik dengan aspek yang

berubah-ubah dari kepribadian bukan pada struktural dari kepribadian. Unsur

kepribadian yang dipandangnya relatif tetap adalah tingkah laku itu sendiri. Ada

dua klasifikasi tipe perilaku, yaitu:

a. Perilaku responden (Respondent Behavior) yaitu respon yang dihasilkan

(elicited) organisme untuk menjawab stimulus secara spesifik berhubungan

dengan respon tersebut. Respon refleks termasuk dalam kelompok ini, seperti

mengeluarkan air liur saat melihat makanan, mengelak dari pukulan, merasa

takut waktu ditanya guru atau merasa malu waktu dipuji.

Universitas Sumatera Utara


b. Perilaku operan (Operant Behavior), yaitu respon yang dimunculkan (emitted)

organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang berlangsung memaksa

terjadinya respon itu. Terjadinya proses pengikatan stimulus baru dengan

respon yang baru. Organisme dihadapkan pada pilihan-pilihan respon mana

yang akan dipakainya untuk menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon

mana yang dipilih tergantung kepada efeknya terhadap lingkungan (yang

tertuju padanya) atau konsekuensi yang mengikuti respon tersebut.

Menurut Skinner (dalam Cornish&Ross, 2004), prinsip yang menentukan

perkembangan tingkah laku di lingkungan objek in-animate dan lingkungan sosial

ternyata sama saja. Individu tersebut berinteraksi dengan lingkungannya

menerima reinforcement positif atau negatif dari tingkah lakunya. Respon sosial

dan penguatnya terkadang sukar diidentifikasi tetapi prinsip hukum dasar tingkah

laku berlaku sama untuk kedua kasus tersebut. Bagi Skinner (dalam

Cornish&Ross, 2004), gambaran ciri kepribadian itu dapat diterjemahkan dalam

sekelompok respon spesifik yang cenderung diasosiasikan dengan situasi tertentu.

Ketika orang berinteraksi dengan orang lain, orang tersebut menerima

reinforcerment untuk melakukan tingkah laku dominan. Semua dikembalikan

kepada riwayat reinforcement yang pernah diterima oleh seseorang. Dalam ranah

terapi, behaviorisme berkembang luas dalam bentuk modifikasi perilaku

(behavior modification). B-Mod (sebutan untuk behavior modification) adalah

senjata atau strategi untuk mengubah tingkah laku bermasalah.

Universitas Sumatera Utara


Beberapa teknik berikut merupakan teknik yang dikemukakan oleh

Skinner tetapi juga dikembangkan atau disempurnakan dari ide pakar lain

Miltenberger, Raymond G (2008), teknik yang digunakan antara lain:

a. Modeling

Perubahan perilaku merupakan hasil dari observasi pada orang lain yang

ditunjuk secara khas disebut modeling (Bandura 1969; Bandura & Walters 1963,

dalam Morris 1985). Prosedur modeling berisi seorang individu yang disebut

sebagai model (contohnya guru, pembantu, orangtua, teman sebaya, atau

therapist) dan seorang yang disebut observer (misalnya anak yang berkebutuhan

khusus). Ada 2 macam modeling, pertama, live modeling yang melibatkan

kejadian sebenarnya atau menunjukkan secara langsung akan perilaku yang

diharapkan ketika anak mengobservasi. Kedua, symbolic modeling yang

melibatkan dengan menunjukkan model melalui film, video tape, atau

membayangkan. Biasanya pada anak yang berkebutuhan khusus, biasanya lebih

sering menggunakan modeling langsung daripada symbolic modeling.

b. Shaping

Shaping digunakan untuk mengembangkan target perilaku seseorang.

Shaping menggunakan reinforcement untuk mencapai sasaran perilaku yang

diinginkan (Miltenberger, 2008).

c. Behavioral Chaining

Metode chaining merupakan metode yang digunakan dengan membuat

urutan stimulus dan adanya keterkaitan antara satu urutan ke urutan lainnya.

Menurut Miltenberger (2008) chaining merupakan sebuah perilaku yang terdiri

Universitas Sumatera Utara


dari banyak komponen perilaku yang terjadi bersama-sama secara berurutan

seperti rantai disebut dengan chaining. Chaining merupakan cara yang digunakan

untuk membentuk suatu perilaku yang sudah pernah dilatih sebelumnya sehingga

anak memiliki kemampuan dasar mengenai keterampilan tertentu. Chaining

terdiri atas tiga metode antara lain, total task presentation, backward chainig, dan

forward chaining.

d. Hadiah Atau Hukuman Secara Selektif (selective

reward/punishment)

Strategi terapi ini untuk memperbaiki tingkah laku anak dengan

melibatkan figur di sekeliling anak sehari-hari khususnya orangtua dan guru.

Terapis meneliti klien dalam seting aktual, bekerjasama dengan orang tua dan

guru untuk memberi hadiah ketika anak melakukan tingkah laku yang

dikehendaki dan menghukum kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki muncul.

Tingkah laku dan bentuk hadiah atau hukuman direncanakan secara teliti, dipilih

yang paling memberi dampak efektif.

e. Latihan Keterampilan Sosial (Social Skill Training)

Terapi dapat digunakan untuk membantu atau melatih seseorang untuk

meningkatkan keterampilan sosialnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa social skill

training merupakan teori dasar dari behavior oleh Skinner, namun semakin

berkembangnya ilmu pengetahuan, maka Skinner menganggap bahwa manusia

memiliki pikiran, perasaan, dan lingkungan sosial yang membantunya dalam

mempelajari perilaku tertentu. Sebaliknya Perilaku dapat dibentuk berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


lingkungan sosial yang membentuk, pikiran, dan perasaan seseorang. Salah

satunya adalah latihan keterampilan sosial.

C. Metode Pelaksanaan Social Skill Training

Gray (dalam Matson, 2011) telah mengembangkan pendekatan untuk

membantu remaja ASD mengenai keterampilan sosial dengan menghormati

kemampuan orang lain, dan dapat mengendalikan perilaku merusak. Adapun

komponen-kompenen keterampilan sosial yang dimaksud adalah:

1. Social stories memiliki tujuan untuk membantu anak memahami situasi

sosial dan membuat penilaian tentang situasi sosial tersebut. Cerita

berkesinambungan dari awal sampai akhir cerita. Cerita dapat ditulis, atau

direkam dalam bentuk video atau kaset agar mereka dapat membacanya.

2. Comic strip conversation digunakan untuk memperjelas interaksi dan

menggambarkan perilaku sosial yang tepat melalui penggunaan gambar

sederhana.

3. Social review merupakan ulasan dari situasi yang sebenarnya, rekayasa

kejadian untuk melihat reaksi dan respon anak ketika memperoleh stimulus

tertentu, demonstrasi langsung, role play sesuai dengan situasi dan

permasalahan yang terjadi. Berbagi informasi secara akurat dan

memberikan kesempatan untuk mengidentifikasikan perilaku yang sesuai

dengan aturan sosial.

4. Keterampilan sosial group termasuk keterlibatan terapis untuk mengajarkan

keterampilan interaksi sosial. Kegiatan role play dan menggunakan kaset

untuk mengajar atau mempraktekkan situasi sosial secara kelompok. Selain

Universitas Sumatera Utara


itu dapat menggunakan konsep drama untuk memerankan karakter tertentu

sesuai script yang digunakan.

5. Script picture adalah gambar yang mewakili situasi sosial dan membantu

anak untuk berlatih menangani permasalahan situasi sosial tersebut dengan

menggunakan gambar yang mirip dengan situasi sebenanrnya (Stone, W

2010).

Berdasarkan penjelasan di atas maka cara yang digunakan dalam

pelaksanaan SST kepada anak ASD dengan menggunakan metode visual, antara

lain social story, script picture, comic strip conversation, social review, dan

keterampilan sosial group.

D. Tahapan Pelaksanaan Social Skill Training

Menurut Cornish&Ross (2004) social skill training dilakukan dengan

memperhatikan tahapan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah

dan membantu terapis untuk pelaksanaan terapi kepada subjek.

a. Melakukan keterampilan sosial checklist

Pada tahapan ini terapis memantau perkembangan keterampilan sosial

anak dengan memberikan checklist untuk menentukan perilaku yang harus

ditangani. Perilaku yang dipilih adalah perilaku yang sangat menganggu situasi

sosial dan anak.

b. Melakukan Observasi

Tahapan ini berfungsi untuk melihat seberapa sering munculnya perilaku,

pada saat kapan munculnya perilaku, apa yang membuat munculnya perilaku,

siapa yang berada di sekitar anak ketika munculnya perilaku. Pada tahapan ini

Universitas Sumatera Utara


juga ingin dilihat apa yang disukai dan tidak disukai anak, bagaimana ciri ASD

yang dialami anak.

c. Wawancara

Mencari data dari orang terdekat anak yaitu guru dan terapis, jika

memungkinkan melakukan wawancara kepada anak dengan menggunakan bahasa

yang mudah dimengerti anak. Tujuan wawancara untuk menentukan alasan apa

yang membuat anak melakukan perilaku tersebut dan menanyakan perkembangan

anak selama ini.

d. Menentukan Perilaku yang ingin diintervensi

Pada tahap ini peneliti melakukan screening dan observasi perilaku di

situasi sosial anak. Setelah dilakukan screening dan observasi peneliti akan

memiliki catatan perilaku keterampilan sosial anak.

e. Menentukan tahapan program

Kegiatan ini dilakukan sesuai dengan komponen keterampilan sosial

(script picture, social stoies, comic strip conversation, social review, dan social

group) dan teknik lainnya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemberian

social skill training pada anak ASD harus dilakukan dengan tahapan pelaksanaan,

yaitu dimulai dari melakukan keterampilan sosial checklist, observasi, wawancara,

menentukan perilaku yang ingin diintervensi, dan menentukan tahapan program

yang akan dilakukan sesuai dengan komponen social story, script picture, comic

strip conversation, social review, dan keterampilan group social.

Universitas Sumatera Utara


E. Paradigma

Autistic Spectrum Disorder


(ASD)

Kapasitas ASD level 1

Memiliki kendala dalam komunukasi


sosial, mempertahankan dan memulai
hubungan sosial.

Domestic skill Self help Skill Community skill

Keterampilan Sosial

 Conversational skill
 Play skill
 Understanding emotions
 Dealing with conflict
 Friendship skill

Intervensi
Social skill training (SST)
 Script picture
 Comic strip conversation
 Social stories
 Social review
 Social group

Apakah SST dapat meningkatkan


keterampilan sosial ASD?

Gambar 2.1: Paradigma Penelitian

Universitas Sumatera Utara


E. Social Skill Training Untuk Membentuk Keterampilan Sosial Anak ASD

Berdasarkan DSM V autistic spectrum disorder (ASD) memiliki tiga

kriteria umum, antara lain adanya gangguan pada hubungan interpersonal,

perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau

melakukan tingkah laku yang sama secara berulang-ulang (Repetitif) dan

stereotype yaitu menunjukkan perilaku kaku anak. Anak ASD memiliki

perkembangan kognitif yang sama dengan anak normal lainnya, yaitu dimulai dari

rentang mental retardation sampai tingkat superior. Kapasitas intelektual anak

ASD tersebut mempengaruhi keberfungsian sosial anak dan kemandiriannya.

Berdasarkan perkembangan komunikasi, perilaku repetitif anak ASD terbagi ke

dalam level 1 hingga level 3. Berdasarkan kapasitas kemampuan yang mereka

miliki, anak ASD level 1 memiliki ciri kesulitan untuk melakukan komunikasi

sosial, memulai hubungan sosial, dan mempertahankan hubungan. Ciri ini

memberi tingkat pencapaian bagi masing-masing anak ASD antara lain, self care

dan komunikasi dasar bagi anak ASD. Kemampuan komunikasi yang kompleks,

interaksi sosial, dan keterampilan lain yang berhubungan dengan aktivitas

sekolah, pekerjaan, dan rumah tangga bagi anak.

Perubahan fisiologis anak memberi pengaruh terhadap perkembangan

perilaku mereka. Jika tidak ada yang memahami kebutuhan dan melatih

kemampuan anak, maka akan memberi pengaruh terhadap perkembangan anak

ASD ke tahapan selanjutnya ketika ia berada di lingkungan sosial. Hal inilah yang

menjadi dasar pentingnya pendidikan keterampilan sosial bagi anak ASD yang

mengalami keterhambatan sosial. Gangguan tersebut muncul selama awal masa

Universitas Sumatera Utara


kanak-kanak dan bertahan hingga dewasa atau selama mereka sudah memiliki

keinginan untuk bermain dengan teman sebaya. Salah satu kebutuhan anak ASD

level 1, yaitu memiliki kontak sosial dengan teman sebaya. Keinginan tersebut

menjadi masalah karena sulitnya anak ASD memulai hubungan sesuai aturan

sosial yang baik, sehingga cendrung mereka memiliki hubungan persahabatan

yang buruk karena keterbatasan pemahaman sosial emosional. Menurut Brereton

(2005), anak ASD yang tergolong level 1 memiliki pemahaman komunikasi

reseptif yang lebih baik walaupun secara ekspresif masih terhambat sehingga

berpengaruh terhadap kemampuan sosial anak. Selain itu terbatasnya kemampuan

anak untuk menentukan solusi yang tepat, kemampuan mengontrol emosi dan

perilaku, dan kemampuan komunukasi dua arah merupakan bagian kecil

gambaran keterampilan sosial anak ASD.

Salah satu ciri dari anak ASD adalah kelainan dalam hubungan

interpersonal, seperti kurang dalam hal memberi respon atas kepentingan

masyarakat, penampilan yang acuh tak acuh, terhambat untuk berhubungan

dengan orang lain, cenderung tidak terlibat dealam imitasi sosial, jarang

mengembangkan perasaan empati atau kemampuan untuk memahami orang sesuai

dengan usia mereka dengan perasaan. Semua anak ASD menunjukkan gangguan

sosial, namun sifat gangguan ini dapat bervariasi dan dapat termodifikasi beriring

bertambahnya usia. Beberapa anak ASD juga mengalami peningkatan minat

berhubungan dengan orang lain dan berkembangnya beberapa keterampilan sosial

seiring belajar secara mekanis dan fleksibel (Brereton, 2005)

Universitas Sumatera Utara


Selama masa anak sebagian besar penyandang ASD cenderung

membutuhkan beberapa tingkat dukungan, seperti melatih mereka untuk

menemukan solusi menyelesaikan masalahnya, kemandirian, dan memiliki

beberapa kontak sosial dan persahabatan. Anak ASD memiliki kecemasan tinggi

dan gangguan suasana hati dan perilaku yang mengganggu, egois, serta gangguan

komunikasi dan masalah yang berkaitan dengan masalah sosial, seperti membakar

gudang jerami di peternakan karena ia menikmati pemandangan, suara dan bau

api walaupun secara sosial perilakunya bertentangan dengan aturan sosial yang

berlaku. Selain itu mereka juga rentan dengan perilaku disruptive misalnya ketika

di sekolah mereka menganggu teman lainnya atau suasana belajar di dalam kelas.

Anak ASD memilik tingkat kemampuan kognitif, usia, sifat menganggu, atau

melakukan kerusakan. Walaupun secara sadar mereka tidak dapat mengontrol atau

mengetahui dengan pasti apa yang menyebabkan perilaku tersebut. Mereka hanya

melakukan trial error terhadap perilaku yang mereka lakukan (DeMatteo, 2012).

Keterampilan sosial ASD merupakan hal dasar yang harus dilatih, mereka

harus memahami tidak boleh berteriak, mengganggu orang lain ketika di temapt

umum, atau larangan untuk tidak menyentuh anggota tubuh orang lain.

Pendidikan yang demikian merupakan bagian dari perkembangan social skill

anak. Kemampuan domestic skill, self help skill, dan community Skill akan

berkembang seiring bertambahnya usia anak. Perkembangan kemampuan anak

tidak terlepas dari perkembangan fisiologis anak dan pengalaman yang ia peroleh

ketika bertambahnya usia yang sering membuat anak sulit mengontrol perilaku

dan emosinya (Matson, 2011). Pada anak ASD yang tergolong level 1 memiliki

Universitas Sumatera Utara


target pencapaian yaitu memiliki keterampilan sosial dalam hal community skill

antara lain cornversational skill, play skill, understanding emotions, dealing with

conflict, dan friendship skill.

Keterampilan sosial dapat dipelajari seseorang yang tidak memilikinya.

Proses belajar untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain

dalam konteks sosial yang dapat diterima dan dihargai secara sosial merupakan

salah satu tujuan dari pelaksanaan social skill training (SST). Adapun metode

yang digunakan antara lain script picture, social stories, comic script

conversation, social review, dan social group yang mencakup pemberian role play

individu dan kelompok, rekayasa kejadian, dan demontrasi secara langsung.

Kegunaan metode ini untuk mempermudah pemberian intervensi SST yang

diberikan bagi anak ASD.

F. Hipotesa

Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesa penelitian adalah ada

hubungan positif antara intervensi social skill training terhadap keterampilan

sosial anak ASD Spectrum Disorder (ASD), dengan kata lain semakin tinggi hasil

intervensi social skill training yang diberikan maka semakin tinggi keterampilan

sosial anak ASD.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen, dimana small design

yang menggunakan desain penelitian repeated measure Single Subject design

(X1-O1-X2-02-X3-03). Desain ini digunakan untuk mengukur efektivitas dari

suatu program berdasarkan pemberian perlakuan dan evaluasi secara berulang

menjawab pertanyaan penelitian dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin

muncul selama proses penelitian (Barlow, et all 2009). Eksperimen yang

dilakukan dilihat berdasarkan perbedaan waktu atau pada perlakuan yang berbeda.

Penelitian ini menggunakan desain tersebut karena bertujuan untuk mengetahui

Social Skill Training (SST) dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak

ASD. Perilaku setiap sesi akan dibandingkan perkembangannya.

Penelitian ini akan mengukur performance pada variabel yang sama

selama intervensi atau sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, menggunakan

pengukuran berdasarkan waktu terjadinya perilaku dan pemberian intervensi. Pada

penelitian ini, pengukuran akan dilakukan di setiap sesi, kemudian pengukuran

berdasarkan dimensi keterampilan sosial, dan dilanjutkan dengan pengukuran

tahap keseluruhan setelah semua sesi diberikan. Skor atau nilai yang diperoleh

akan dibandingkan berdasarkan perkembangan keterampilan sosial sesuai waktu

dilaksanakannya program terapi. Pemberian latihan melalui orangtua dan guru

serta memberikan test di setiap sesi membantu proses evaluasi kemampuan

Universitas Sumatera Utara


subjek. Tujuannya adalah ingin melihat apakah pemberian intervensi di setiap sesi

dan pada setiap dimensi efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak

ASD.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, untuk memudahkan pemahaman variabel yang dikaji

maka dapat dijelaskan variabel yang digunakan, yaitu :

1. Variabel Tergantung : Keterampilan sosial

2. Variabel Bebas : Social skill training

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan anak menjalankan aktivitas di

lingkungan sosial dengan baik yang berguna untuk memulai hubungan dan

mempertahankan hubungan sosial. Keterampilan sosial pada penelitian ini akan

diukur dengan menggunakan behavior chart yang terdiri dari dimensi

keterampilan sosial pada anak ASD, yaitu conversational skill, play skill,

friendship skill, understanding emotion, dan dealing with conflict pada anak ASD.

Behavior chart behavior modification terdiri dari score system, yaitu pemberian

nilai prompt, 0=anak melakukan keterampilan sosial tanpa prompt, 1= melakukan

keterampilan sosial dengan prompt gesture, 2=melakukan keterampilan sosial

dengan prompt verbal, 3=melakukan keterampilan sosial dengan prompt physical,

4=anak tidak melakukan keterampilan sosial. Semakin banyak keterampilan sosial

Universitas Sumatera Utara


yang dilakukan tanpa prompt maka SST efektif untuk meningkatkan keterampilan

sosial anak ASD.

2. Social skill training (SST)

Social skill training (SST) adalah suatu terapi yang digunakan untuk

membentuk keterampilan sosial sesuai dengan aturan sosial yang berlaku dengan

melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif terkait dengan

keterampilan sosial anak ASD.

D. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah subjek yang

homogen, yaitu:

a. Didiagnosa autistic spectrum diseorder (ASD) oleh Psikolog. Hasil yang

diperoleh juga menunjukkan deskripsi kriteria diagnostik anak ASD.

b. Memiliki perkembangan komunikasi dan perilaku level 1, yaitu

mengalami keterhambatan komunikasi sosial, menjalin hubungan sosial, dan

sulitnya mempertahankan hubungan sosial.

c. Sudah mengalami kemajuan dalam hal bantu diri (daily living skill),

komunikasi cukup baik secara ekspresif dan reseptif pada kapasitas golongan

usia dan perkembangan anak. Selain itu tidak mengalami masalah dalam hal

akademik, yaitu mudah memahami materi pelajaran, dan memahami instruksi

sederhana.

Universitas Sumatera Utara


2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kesepakatan antara peneliti

dengan subjek penelitian. Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu tempat terapi

anak dan rumah subjek.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitan social skill training (SST) berkaitan dengan pelaksanaan metode

modifikasi perilaku. Selain menggunakan alat ukur di atas, peneliti juga

menggunakan metode-metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Pengumpulan Data Menggunakan “Behavior Chart”

Metode pengambilan data setelah pelaksanaan “Baseline” dan pelaksanaan

intervensi dengan memberikan skor harian anak. Jika skor yang diperoleh

semakin tinggi maka keterampilan sosial anak semakin rendah atau kurang

mampu melakukannya. Sebaliknya jika skor yang diperoleh semakin rendah maka

keterampilan sosial semakin tinggi atau sudah mampu melakukannya. Prompt

yang digunakan bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan bahwa seseorang

akan terlibat perilaku yang benar pada waktu yang tepat. Cara menggunakannya,

perilaku yang ingin dicapai dimasukkan ke dalam tabel SDS dan hasil observasi

ditandai pada kolom dua dengan memberikan skor sesuai dengan jenis prompt

yang diberikan (Miltenberger, Raymond G, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 3.3. Pengumpulan Data SST

Tugas : keterampilan sosial score system:


Diberi skor 0 : Jika tanpa ada prompt
Subjek skor 1 : Jika anak di gesture
prompt
skor 2 : Verbal prompt
skor 3 : physical prompt
skor 4 : tidak dilakukan

SDS Prompt

b. Wawancara

Menurut Stewart & Cash (2000), wawancara adalah proses komunikasi

antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu

dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan. Data yang

diperoleh dari wawancara digunakan sebagai data pendukung untuk membantu

memperoleh data yang lebih mendalam mengenai kondisi anak khususnya

kemampuan keterampilan sosial anak (Poerwandari, 2007). Adapun pedoman

wawancara yang digunakan adalah dengan menggunakan skala ASSP (Autistic

Social Scale Profile). ASSP yang disusun oleh Scott Bellini (2006) dan sudah

teruji validitas dan reliabilitasnya dengan baik. Pertanyaan diberikan kepada

orangtua dan hasilnya digunakan untuk menggambarkan keterampilan sosial anak

ASD sebagai perwakilan subjek yang lebih memahami kondisi keterampilan

sosial anak. Melalui skala ini orangtua akan terbantu untuk menjelaskan

kemampuan keterampilan sosial anak dengan lebih jelas. Selain kepada orangtua,

Universitas Sumatera Utara


wawancara juga akan dilakukan kepada guru, guru sekolah minggu, dan guru

terapi anak untuk melihat keterampilan sosial anak di berbagai aktivitas kegiatan.

c. Observasi Perilaku

Patton (dalam Poerwandari, 2001) menegaskan bahwa observasi

merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian. Tujuan observasi

adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktifitas-aktifitas yang

berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian

dilihat dari perspektif mereka dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi

harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak

relevan (Poerwandari, 2007). Beberapa alat observasi yang dapat digunakan

dalam penelitian ini adalah check list behavior dan catatan berkala selama lima

hari dilaksanakannya informal tes.

Pada tahap ini juga akan dilakukannya screening, yaitu tahap pengambilan

data yang bertujuan memperjelas permasalahan yang ada dan menentukan siapa

yang berwenang untuk mendapat penanganan sesuai dengan kriteria subjek.

Selain itu pada tahap ini juga akan diketahui perilaku anak dalam berinteraksi

sosial dan kemampuan yang lain guna untuk mempersiapkan metode dan alat

intervensi yang akan dilakukan.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode observasi, wawancara, dan pemberian assestment. Pengumpulan data

dalam penelitian ilmiah dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang relevan,

akurat dan memadai. Pentingnya prosedur adalah baik buruknya penelitian

tergantung pada teknik-teknik pengumpulan datanya (Hadi, 2000).

Universitas Sumatera Utara


d. Tes Psikologi

Pada penelitian ini, subjek penelitian harus memiliki kapasitas intelektual

minimal rata-rata anak seusianya untuk bisa mengikuti proses terapi yang

berhubungan dengan pencapaian keterampilan sosial. Anak ASD yang memiliki

kapasitas intelektual rata-rata atas memiliki tugas yang harus terpenuhi, salah

satunya adalah mengenai kemampuan keterampilan sosial. Adapun tes Inteligensi

yang digunakan adalah dengan menggunakan tes WISC dan CPM (Children

Progressive Matrics).

E. Tahap Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam

penelitian, diantaranya adalah;

a. Melakukan Proses Screening Terhadap Subjek Penelitian

Proses ini meliputi pengambilan data-data mengenai identitas diri dan

identifikasi masalah. proses pemeriksaan ini berguna untuk menentukan orang

yang akan melaksanakan program terapi bermain bersama klien, meminta izin dan

membicarakan ketentuan pelaksanaan terapi, memperoleh hasil tes psikologi atau

diagnosa gangguan yang termasuk dalam DSM IV TR dan memperoleh informasi

mengenai ciri austistic spectrum disorder (ASD) yang akan diamati sebagai data

baseline.

Dalam penelitian ini proses screening dilakukan untuk memastikan apakah

subjek penelitian mengalami ASD. Proses ini dilakukan dengan cara

Universitas Sumatera Utara


mewawancara dan mengobservasi langsung perilaku yang ditampilkan. Observasi

pertama dilakukan di tempat terapi, di sekolah, dan di rumah.

b. Informed Concent

Meminta izin dan membicarakan ketentuan pelaksanaan terapi pada

orangtua subjek penelitian (informed concent). Menjelaskan prosedur pelaksanaan

terapi dan jadwal pelaksanaan terapi. selain permohonan ijin dengan orangtua

subjek penelitian, peneliti juga meminta ijin pada pihak sekolah, dan terapis. Hal

ini dilakukan agar peneliti dapat melakukan observasi secara langsung saat proses

belajar mengajar berlangsung. Selain itu dapat melakukan wawancara dengan

guru yang mengajar di sekolah dan tempat terapi.

c. Mengumpulkan Data Dan Teori Yang Berkaitan Dengan ASD

Sebelum pelaksanaan terapi yang dilakukan adalah mengumpulkan data

dan teori mengenai keterampilan sosial dan social skill training (SST). Peneliti

mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan

keterampilan sosial dan social skill training yang membahas kaitan keterampilan

sosial dengan SST.

d. Membuat lembar Observasi

Lembar observasi awal disusun berdasarkan teori keterampilan sosial yang

dikemukakan oleh Belini (2006). Lembar observasi awal digunakan pada saat

pelaksanaan baseline. Lembar observasi awal dapat dilihat di lampiran. Kemudian

peneliti membuat rancangan lembar observasi pelaksanaan yang akan digunakan

pada saat pelaksanaan terapi dan follow-up. Lembar observasi pelaksanaan

tersebut kemudian dikembangkan berdasarkan teori keterampilan sosial yang

Universitas Sumatera Utara


dikemukakan oleh Belini (2006) dan berdasarkan data hasil observasi saat

pelaksanaan baseline. Lembar observasi pelaksanaan dapat dilihat di lampiran.

e. Membuat Alat Dan Bahan Sebagai Metode Terapi

Pelaksanaan terapi SST kepada anak ASD berkaitan dengan metode

pelaksanaannya. Dibutuhkan alat dan bahan yang digunakan untuk demonstrasi

program terapi seperti social story, script picture, script comic, dan bahan lainnya

yang secara lengkap dapat dilihat di lampiran Modul.

f. Mengumpulkan Anak Normal Dan Memberikan Pikoedukasi

Terapi SST berkaitan dengan interaksi anak dengan teman sebaya dalam hal

ini peneliti mempersiapkan dan mengumpulkan anak normal untuk memahami

tugas dan perannya ketika bertemu dengan subjek. Peneliti mencari anak dengan

usia yang sesuai dengan subjek dan memiliki kemampuan sosialisasi yang baik.

g. Membuat Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan Repeated Measure PreTest Post Test Single Subject.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Pengambilan Data Baseline

Peneliti melakukan pengambilan data baseline di sekolah. Jumlah sesi

pengambilan data baseline menurut Martin & Pear (2007) adalah bervariasi,

meskipun lebih baik jika dilakukan sebanyak lima sesi karena pola perilaku

biasanya sudah stabil dan dapat diperbaiki. Oleh karena itu, pengambilan data

baseline pada proses modifikasi perilaku yang dilakukan terhadap JE dan NS

adalah sebanyak lima sesi. Data baseline diperoleh dari hasil observasi dan

Universitas Sumatera Utara


wawancara. Adapun tujuan dari pengambilan baseline adalah untuk melihat

perkembangan keterampilan sosial berdasarkan dimensi keterampilan sosial

masing-masing anak di dalam aktivitas sekolah dengan tahapan-tahapan kegiatan

yang telah dirancang.

b. Membuat Rancangan Program Terapi

Membuat modul rencana kegiatan terapi bermain yang akan digunakan

pada saat pelaksanaan terapi. Modul berisi jenis kegiatan yang akan dilakukan,

penjelasan kegiatan dan tujuan atau target perilaku yang diterapkan pada

masing-masing sesi terapi. Rancangan program terapi diperoleh dari hasil

baseline untuk melihat keterampilan sosial spesifik masing-masing subjek.

c. Penjelasan Tentang Pelaksanaan Terapi Kepada Observer

Observer dalam penelitian ini adalah saudari Dini Lestari, S.Psi, Lia

Susanti, dan Susi Bancin yang merupakan alumni dan mahasiswi Fakultas

Psikologi Universitas Sumatera Utara. Peneliti secara khusus mengadakan

pertemuan dan diskusi kepada observer untuk memberikan gambaran umum

tentang kondisi subjek, teknis selama pelaksanaan terapi dan berkaitan dengan

tugas observer. Hal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang data-data

apa saja yang diobservasi. Tugas sebagai sisten meliputi menyiapkan ruang dan

peralatan atau sebagai tokoh yang membantu dilaksanakannya rekayasa kejadian

atau role play ketika berlangsungnya terapi. Tugas sebagai observer adalah

mencatat setiap perilaku yang berhubungan dengan keterampilan sosial anak.

Universitas Sumatera Utara


d. Pelaksanaan Program Terapi

Sebelum melaksanakan program terapi, peneliti terlebih dahulu

memberikan keterangan mengenai waktu dan tempat pelaksanaan terapi serta

aturan yang diterapkan dalam program terapi kepada orangtua, terapis, dan

sekolah. program terapi bermain direncanakan sebanyak 12 sesi. Masing-masing

subjek menjalani waktu terapi yang berbeda yaitu 3 kali seminggu. Jadwal terapi

NS yaitu Senin, Rabu, dan Sabtu. Sedangkan JE pada hari Selasa, Kamis, dan

Jumat. Berdasarkan total waktu pelaksanaan terapi yang dilakukan maka

gambaran jadwal terapi adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4. Jadwal Pelaksanaan Program SST

Hari/tanggal Waktu Tempat

Senin, 10 Februari 2014 90 Menit Rumah Subjek

Selasa, 11 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Rabu, 12 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Kamis, 13 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Jumat, 14 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Sabtu, 15 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Senin, 17 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Selasa, 18 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Rabu, 19 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Kamis, 20 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Jumat, 21 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Sabtu, 22 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Universitas Sumatera Utara


Senin, 23 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Selasa, 24 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Rabu, 25 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Kamis, 26 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Jumat, 27 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Sabtu, 28 Februari 2014 90 Menit Rumah subjek

Senin, 3 Maret 2014 90 Menit Rumah subjek

Kamis, 6 Maret 2014 90 Menit Tempat terapi

Sabtu, 8 Maret 2014 90 Menit Rumah subjek

Selasa, 11 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

Kamis, 13 Februari 2014 90 Menit Tempat terapi

e. Pelaksanaan Follow Up

Pelaksanaan evaluasi yang dilakukan setelah setiap sesi terapi social skill

training dilakukan. Peneliti melakukan evaluasi dengan cara memberikan latihan,

melakukan wawancara, dan diskusi berdasarkan tugas yang diberikan di rumah.

Follow up dilakukan setelah 2 minggu dilakukannya intervensi. Follow up

diberikan setelah pemberian latihan kepada orangtua dan guru. Hal ini agar

kegiatan intervensi tetap berjalan walaupun penelitian telah selesai. Lembar follow

up sama dengan lembar observasi selama pelaksanaan intervensi.

f. Rancangan Program Penelitian

Adapun langkah-langkah dari program Social Skill Training yang akan

dilakukan kepada anak autistic spectrum disorder (ASD) sesuai dengan

komponen Social skill training antara lain conversational skill, Friendship skill,

Universitas Sumatera Utara


understanding emotion, play skill, dealing with conflict. Kegiatan terapi terdiri

dari 12 sesi untuk keterampilan sosial yang perlu dilatih kepada anak ASD.

Program terapi akan dilaksanakan setelah diberikan psikoedukasi kepada orangtua

mengenai social skill training yang akan dilaksanakan, menjelaskan tujuan

program terapi, dan memberikan psikoedukasi kepada orangtua dan guru

mengenai tugas yang akan diberikan. Penilaian dan evaluasi dilakukan oleh

orangtua dan guru. Selain itu akan dilakukan observasi sebagai tahapan baseline

mengenai perilaku subjek dalam aktifitas sosial.

Tabel 3.5. Kegiatan Yang Dilakukan Kepada Orangtua dan Guru

Nama Kegiatan Tujuan Kegiatan

Psikoedukasi kepada orangtua  Orangtua dan guru diberikan


psikoedukasi mengenai tujuan dan
manfaat dari social skill training
terhadap berkembangnya kemampuan
interaksi sosial anak.
 Orangtua dan guru diberi pemahaman
bahwa kerjasama dan adanya latihan di
rumah membantu perkembangan
interaksi sosial semakin lebih baik
Menjelaskan orientasi terapi  Pada tahap ini peneliti memberikan
penjelasan mengenai rancangan terapi
yang akan dilatih kepada anak
berdasarkan metode, waktu
pelaksanaan, dan tujuan masing-masing
sesi.

Tabel 3.6. Kegiatan SST Meningkatkan Keterampilan Sosial Anak ASD

Sesi dan Nama kegiatan Tujuan kegiatan Metode kegiatan


waktu
Sesi 1 Orientasi terapi Mengenal satu sama lain antara Menggunakan social
Waktu: 90 terapis dengan subjek dan story, demonstrasi, dan
Menit partisipan lainnya. Menjelaskan game.

Universitas Sumatera Utara


informasi dasar mengenai
program, dan tata tertib
pelaksanaan terapi menggunakan
book story.
Sesi 2 Understanding Melatih berbagai macam emosi Demonstrasi dari
Waktu: 45 baik secara ekspresif dan reseptif terapis menggunakan
Emotions
Menit (fokus pada perasaan sedih dan script picture dan
bahagia). secara langsung,
menggunakan social
story script mengenai
emosi, rekayasa
kejadian, dan feedback
dari terapis.
Sesi 3 Understanding Melatih kemampuan mengenal Demonstrasi dari
Waktu: 45 berbagai macam emosi (fokus terapis menggunakan
Emotions
Menit pada emosi rasa bersalah dengan script picture dan
mengatakan maaf dan reaksi emosi secara langsung,
marah). menggunakan social
story script mengenai
emosi, rekayasa
kejadian, dan feedback
dari terapis.
Sesi 4 Conversational Skill Melatih komunikasi non-verbal Demonstrasi, role play
Waktu: 45 dan Verbal (ekspresi wajah, dengan menghadirkan
Menit berjabat tangan dengan orang lain, anak-anak normal, dan
dan melakukan kontak mata, bermain (“jongkok
bertanya dengan kalimat tanya kring” dan tebak-
yang tepat, dan memperhatikan tebakan).
orang yang sedang berbicara).
Sesi 5 Conversational Skill Melatih kemampuan komunikasi Demonstrasi
Waktu : 45 terlibat dalam aktivitas bersama menggunakan social
Menit (mampu bekerjasama dalam suatu story dan script
kegiatan, seperti membantu teman picture, role play,
untuk mengerjakan tugasnya, rekayasa kejadian,
diskusi, dan melakukan kegiatan Game lempar bola dan
bersama dengan orang lain). perang bantal, dan
presentasi suatu topik
mengenai
persahabatan.
Sesi 6 Conversational Skill Melatih komunikasi untuk Demonstrasi dan
Waktu: 90 mengatasi situasi sulit rekayasa kejadian
Menit (berkomunikasi saat Demonstrasi script
menyampaikan maaf, bertanya picture dan social story
ketika ada tugas yang tidak dan rekayasa kejadian,
dipahami, dan menjawab presentasi mengenai
pertnyaan teman). suatu topik cerita di

Universitas Sumatera Utara


depan kelas.
Sesi 7 Play Skill Melatih komunikasi untuk Bermain bersama
Waktu: 45 menjalin persahabatan common sense dan
Menit (menawarkan pertolongan, snack time,
meminta tolong dari orang lain, demonstrasi dengan
memberikan dan menerima pujian menggunakan comic
dari orang lain, berbagi). script spongebob.

Sesi 8 Conversational Skill Melatih kemampuan bermain anak Demonstrasi


Waktu: 45 (mengerti tentang konsep giliran, menggunakan role
Menit bermain bersama, mendengarkan play, rekayasa
instruksi permainan). kejadian, dan bermain.
Sesi 9 Friendship Skill Melatih keterampilan persahabatan Demonstrasi mengenai
Waktu: 90 termasuk keterampilan sangat drama yang akan
Menit penting bagi kelompok. dilakukan dan Social
review dengan bermain
drama mengenai
hubungan pertemanan.

Sesi 10 Dealing With Conflict Membantu menyelesaikan masalah Demonstrasi kegiatan


Waktu: 45 yang terjadi dalam kehidupannya menggunakan script
Menit sehari-hari di luar kelompok. picture, social story,
dan menggunakan role
play.
Sesi 11 Transition to group Digunakan untuk melatih Rekayasa kejadian
Waktu: 45 problem solving; the menyelesaikan permasalahan di dengan melibatkan
Menit roles of leaders and dalam kelompok (Anak mampu anak-anak normal
followers melaporkan kepada guru, miss, untuk mememerankan
atau orangtua ketika di bully rakayasa kejadian
teman). dengan membully,
seperti mengambil
barang miliknya atau
mengejek anak. Selain
itu menggunakan
metode bermain.
Sesi 12 Graduation Memberikan apresiasi kepada Game dan mereview
Waktu: 90 subjek yang mengikuti SST. kegiatan terapi dalam
Menit bentuk buku harian.

F. Kriteria Keberhasilan Program Intervensi

Kriteria keberhasilan dari program intervensi ini adalah terjadinya

peningkatan keterampilan sosial yang dapat dilihat berdasarkan:

Universitas Sumatera Utara


1. Penurunan skor sesuai “behavior chart” keterampilan sosial yang ditandai

dengan penurunan penggunaan prompt pada saat pretest dan posttest.

2. Penurunan skor sesuai behavior chart dari masing-masing dimensi

keterampilan sosial pada saat pretest dan postest, seperti conversational skill,

friendship skill, play skill, dealing with conflict, dan understanding emotion.

Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin rendah keterampilan sosial

dilakukan. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin

tinggi keterampilan sosial dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Pemaparan Subjek I

1. Data Diri Subjek I

Tabel 4.7. Data Diri Subjek 1

Nama JE
Jenis Kelamin Laki-laki
Tempat Lahir Medan
Tanggal Lahir 23 Oktober 2004
Usia 9 Tahun 9 bulan
Suku Tionghoa
Kelas III SD
Sekolah National plus

2. Deskripsi Subjek 1
Subjek pertama dalam penelitian ini adalah seorang anak laki-laki berusia

9 tahun 9 bulan. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dan ia memiliki

abang dan adik perempuan. Saat ini JE duduk di bangku sekolah dasar kelas 3 di

salah satu sekolah national plus di Medan. Hasil pemeriksaan inteligensi

menunjukkan JE memiliki kapasitas kecerdasan yang berfungsi pada taraf rata-

rata (Averange, full scale IQ=104 Menurut Skala Weschler). Dimana IQ verbal 81

sedangkan kemampuan IQ performance 128. Berdasarkan kapasitas intelektual

yang ia miliki bahwa kemampuan performance JE lebih tinggi daripada

kemampuan verbal. Hal ini sesuai dengan kondisi JE yang mengalami masalah

Universitas Sumatera Utara


dalam perkembangan pervasif, dengan kata lain JE memiliki kemampuan yang

lebih baik secara visual daripada metode yang berhubungan dengan auditori

sehingga tidak sulit baginya memahami materi pelajaran di sekolah. Hanya saja

harus menyesuaikan metode belajar yang tepat yaitu penerapan dalam bentuk

visualisasi.

JE memiliki kontak mata cukup baik ketika sedang berbicara dengan

orang lain. Sudah cukup mampu mempertahankan kontak mata dalam waktu

cukup lama. Walaupun masih harus menyesuaikannya dengan topik yang

dibicarakan, jika sedang membicarakan film kartun atau pengalamannya ia akan

menunjukkan perhatian kepada lawan bicara dengan cukup optimal. Berbeda

ketika guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas atau ketika teman sedang

menceritakan suatu topik cerita, JE kurang mampu memperhatikan lawan bicara

dan mendengar topik yang diceritakan.

Kemampuan interaksi dan komunikasi sudah berkembang walaupun masih

kurang optimal. JE memiliki kemampuan komunikasi seperti mengungkapkan

keinginan, menjawab pertanyaan, bahkan pada tingkatan bercerita sudah cukup

baik. Sedangkan pergaulan dengan teman sebaya masih terkesan kaku dan

terdapat perilaku agresif (memukul) yang sudah melekat pada dirinya, sehingga

hal itu akan menghambat proses interaksi dengan lingkungan pergaulan yang

lebih luas. Selain itu untuk bekerjasama dengan kelompok masih kurang baik.

Mudah bosan hanya bisa bertahan selama 20 menit setiap kegiatan, suka

menggambar, suka bercerita, membuat komik, dan bermain ipad atau menonton

hasil download.

Universitas Sumatera Utara


JE menunjukkan beberapa perilaku negatif seperti rasa takut jika melihat

daun. Jika bertemu atau melihat daun JE akan menjerit, menangis, dan

menghindar baik di rumah atau di situasi umum. Secara imajinasi ia pernah

melihat daun raksasa yang berusaha mengejarnya. Imajinasi tersebut muncul

melalui hobi terhadap komik, video, dan gambar. Jika melihat suatu gambar ia

akan mudah untuk mengimajinasikannya. Ia akan merecall kembali memori dan

kemudian menghubungkannya dengan situasi yang ia lihat. Meniru perilaku

pengasuh memberi pengalaman kepada JE untuk melakukan hal yang sama

terhadap teman perempuan, seperti memeluk mereka pada saat sedang istrirahat

sekolah.

3. Hasil Wawancara

Hasil wawancara yang telah dilakukan kepada ibu dan guru subjek,

diperoleh gambaran umum mengenai kemampuan keterampilan sosial JE.

Perkembangan kemampuan sosial JE sudah berkembang dengan cukup baik,

walaupun belum konsisten dan menyebar di setiap dimensi keterampilan sosial.

Kemampuan JE untuk understanding emotional skill tergolong cukup baik dan

cukup sering digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Keterampilan tersebut

berhubungan dengan kemampuan menunjukkan rasa simpati terhadap orang lain,

mengetahui ketertarikan terhadap orang lain, mengenal ekspresi wajah orang lain,

mengenal bahasa tubuh, dan mengerti lelucon atau humor dari orang lain, namun

ter

kadang sulit memahami perhatian orang lain. Hal ini terlihat ketika ada yang

tertawa karena perilakunya yang lucu, JE tidak bisa menerimanya biasanya ia

Universitas Sumatera Utara


akan marah dan bertanya “kenapa kamu tertawa?”, “apa yang lucu?” Ia merasa

bahwa orang lain tertawa karena ingin mengejek JE.

Selain itu conversational skill JE tergolong cukup baik, seperti

kemampuan membuat pertanyaan untuk mencari informasi orang lain, membuat

pertanyaan mencari informasi sebuah topik, cukup mampu melakukan percakapan

dua arah, merespon dengan teliti saat berbicara, mengekspresikan perasaan

perasaan secara verbal, memperkenalkan diri sendiri terhadap orang lain seperti

misalnya ketika berkenalan dengan peneliti “ia mengatakan “Wini the pooh ya?”

sambil tersenyum tipis, mengetahui pujian yang disampaikan orang lain, cukup

mampu merespon pertanyaan dari orang lain. Namun untuk melakukan kontak

mata saat berbicara, mengambil jarak yang pantas saat berinteraksi dengan teman

sebaya, dan ketika berinteraksi jarang sekali menggunakan suara sesuai dengan

volume yang lazim ketika berbicara, JE lebih suka mengeluarkan suara

melengking juga jika sedang marah atau bosan.

JE memiliki kemampuan friendship skill yang kurang baik seperti jarang

terlibat dalam kegiatan dengan teman sebaya, mengajak teman untuk melakukan

kegiatan bersama baik kegiatan yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur,

jarang sekali melibatkan teman-teman dalam kegiatan yang ia inginkan,

mengalami interaksi positif dengan teman sebaya, dan mengalami interaksi

negatif dengan teman sebaya, menunjukkan ketertarikan terhadap interaksi sosial,

dan jara

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
0. 0 0000ng melakukan keg

iatan dengan teman sebaya secara sukarela, tidak pernah menunjukkan

rasa ingin tahu melakukan interaksi sosial dan merespon teman sebaya

untuk melakukan kegiatan bersama-sama.

Sama halnya mengenai kemampuan play skill dan dealing with conflict,

seperti mengambil bagian dalam permainan dan kegiatan, meminta bantuan dari

orang lain, dan sangat suka melakukan yang menjadi kebiasaan dan hobi. JE juga

Universitas Sumatera Utara


masih kurang mampu dalam memecahkan masalahnya seperti mampu menjaga

kebersihan diri ketika bagian tubuhnya kotor setelah melakukan kegiatan. JE

menghindari kegiatan yang berhubungan dengan panas matahari atau kegiatan

yang terlalu melelahkan. Sejak kecil ibunya sudah membiasakan JE untuk

memperhatikan kebersihan tubuhnya. Ia akan meminta bantuan orang lain ketika

ia tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Biasanya ia mengatakan “aku tidak

bisa?”, atau “aku capai?”. Berbeda ketika ada permasalahan JE masih mengalami

kesulitan dari sudut pandang yang berbeda. JE akan berusaha mengkompromikan

ide atau imaginasinya kepada orang lain, seperti misalnya ketika di sekolah ia

diberi tugas mengenai pelajaran sains. JE tidak merasa takut atau cemas

melakukan interaksi sosial, dan terkadang bertingkahlaku sosial yang tidak pantas

seperti mendorong temannya, memeluk teman perempuan, atau tidak mengerjakan

tugas, dan terkadang memanipulasi teman sebaya.

4. Analisis data Fase Baseline Subjek I

a. Tempat, waktu, dan jumlah pengambilan baseline

Tempat melaksanakan baseline adalah di sekolah (di ruang kelas, lapangan

olahraga, dan ruang agama). Baseline dilakukan pada saat jam sekolah. Pemilihan

waktu disesuaikan dengan aktivitas keterampilan sosial yang subjek lakukan di

sekolah. Baseline dilakukan sebanyak 5 kali.

b. Hasil pelaksanaan Baseline subjek I

Baseline I: Di Sekolah, Selasa 7 Januari 2014 (11-13.00 WIB)

Universitas Sumatera Utara


Hari pertama peneliti bertemu JE ketika jam istirahat. Petugas makanan

masuk ke kelas membawa gerobak berisi makanan siswa dan guru. Semua anak

berbaris di depan pintu kelas menuju ke kamar mandi untuk menyuci tangan.

Guru membagi anak-anak ke dalam dua kelompok barisan, baris pertama anak

perempuan dan baris kedua untuk anak laki-laki. JE berbaris paling belakang,

pada saat berbaris JE memeluk teman yang berada di depannya, sehingga

temannya memberontak dan mengatakan “jangan JE”. Setelah anak tersebut

memberontak, JE pun segera melepaskan tangannya dari leher temannya. JE tidak

ada mengatakan maaf kepada temannya. Teman JE menggeser barisannya

menjauhi JE. Terlihat JE menundukkan kepala melihat reaksi temannya sambil

berjalan menuju kamar mandi. Setelah selesai ia mengambil kotak roti dari dalam

tas dan mengambil tempat duduk terpisah dari temannya. Teman-teman JE yang

berada satu meja dengannya sedang asyik bercerita, sedangkan JE hanya

menikmati roti sambil sesekali melihat dan mendengar cerita temannya. Ia tidak

berani bergabung karena JE takut kepada salah satu dari mereka yang memiliki

badan lebih besar. Menurut guru, temannya tersebut sering bermain kasar kepada

siswa lain. Beberapa menit kemudian seorang dari mereka membuka snack yang

berisi roti coklat. Sebelum anak tersebut membagikannya, teman JE langsung

mengambil biskuit dari bungkusnya tanpa minta izin terlebih dahulu. JE hanya

melihat dan tidak berani mengambilnya. Selama istirahat JE asyik dengan

kegiatannya sendiri dan tidak melakukan interaksi dengan teman-temannya.

Ketika belajar JE mengatakan “bosan” dan mengatakan “aku tidak tau bagaimana

mengerjakannya” ketika guru memberikan worksheet.

Universitas Sumatera Utara


Baseline 2: Di Sekolah Kamis, 9 Januari 2014 (10.00-11.00 WIB)

Hari kedua peneliti tiba di sekolah setelah mereka selesai snacktime dan

dilanjutkan dengan jadwal bermain. JE pergi ke perpustakaan yang berada di

sebelah kelas JE. Ia mengikuti salah satu temannya yaitu SH. JE menganggap

bahwa SH teman terbaik dari teman yang lain. SH berjalan tanpa suara sambil

mengambil buku di dalam rak dan duduk di sofa. JE juga melakukan hal yang

sama yaitu mengambil buku dan duduk di sebelah SH. Mereka membaca dengan

sangat konsentrasi. Pandangan tidak beralih kepada orang-orang yang keluar

masuk atau bahkan kepada peneliti yang berada di depan mereka. JE kurang

mampu untuk memulai hubungan sosial seperti kurang mampu mengajak

temannya berbicara demikian halnya dengan SH.

Mereka sibuk dengan buku yang ada. Sesekali JE melirik temannya dan

buku yang sedang ia baca, mendekati tempat duduk SH, dan JE memilih duduk di

sebelah SH. Sikap JE menunjukkan adanya keinginan untuk berinteraksi dengan

teman, namun dengan keterbatasan yang ada membuat JE sulit memulai

hubungan. Setelah beberapa menit kemudian, guru art JE masuk ke dalam

perpustakaan dan memanggil JE. Dengan rasa malas ia menghampiri guru

tersebut. Beberapa pertanyaan diajukan dan ia menjawab dengan kontak mata

yang cukup baik. Ia mengatakan kepada guru agar ia melepaskan tangan JE,

namun guru tetap mengajaknya bicara. JE mencoba menjelaskan proses

reproduksi kepada peneliti sesuai dengan materi yang ia peroleh dari guru. JE

menjelaskan dengan teratur, intonasi cukup baik, dan kalimat yang digunakan

sesuai dengan batasan usianya. Guru membiarkan JE melanjutkan bacaannya

Universitas Sumatera Utara


setelah selesai menjelaskan proses reproduksi kepada peneliti. JE dan SH juga

tidak bicara, SH hanya melihat sampul buku milik JE untuk melihat judulnya. Bel

berbunyi, JE dan SH masuk ke dalam kelas. Mereka masuk ke dalam kelas dan

duduk di matras. JE mengambil posisi santai dengan merebahkan badannya di

matras. Terlihat ia sudah mulai ngantuk sehingga kurang konsentrasi. Ketika guru

memberikan tugas, JE masih harus dibantu mengerjakan worksheet oleh guru

pendamping.

Baseline 3: Di Sekolah, Kamis, 14 Januari 2014 (09.00-14.45 WIB)

Pada baseline ketiga observasi dilakukan di sekolah. JE dan siswa lainnya

sedang berolahraga di lapangan sekolah. JE merasa kurang nyaman karena

kahadiran peneliti. Setelah beberapa menit bersama dengannya, JE terlihat sudah

mulai mau menjawab pertanyaan peneliti. Selama di sekolah ia sudah mampu

melakukan percakapan dua arah kepada guru dan peneliti mengenai topik yang

berbeda. Selain itu jika ditanya guru, ia juga tidak mau mengangkat tangannya. Di

sekolah ia lebih cenderung melakukan aktivitasnya seorang diri. Ketika mereka

berdiskusi, JE tidak mau memberikan pendapatnya. Ia hanya mendengar, tidur di

matras, jalan di kelas, atau membaca buku yang ada di kelas. Jika guru memanggil

ia akan segera datang dan duduk kembali bersama temannya. Ketika ditanya

kepada JE mengenai pendapatnya ia hanya menjawab “i dont know”. Sesekali ia

melihat teman yang memberi pendapatnya ketika guru bertanya mengenai topik

pelajaran.

Friendship skill terlihat ketika JE mengetahui kondisi teman, mampu

bermain secara terstruktur dan tidak terstruktur. JE tidak melakukan interaksi

Universitas Sumatera Utara


dengan teman, hal ini disebabkan siswa lainnya bermain dengan teman

kelompoknya. Dealing with conflict masih diarahkan ketika ia memukul

temannya. JE kurang mampu melihat apakah temannya bersalah atau tidak. Ketika

temannya tidak sengaja terjatuh karena tersandung meja, JE sebaiknya tidak

memukul atau menyalahkan temannya. Sebaliknya ia marah dan memukul

temannya. Kemampuan understanding emotion, JE cukup mampu memahami

emosi orang lain, misalnya ekspresi senang, sedih, marah, namun untuk

menunjukkan perasaan bersalah masih kurang mampu. Ia masih sulit mengatakan

maaf ketika ia memukul temannya atau ketika berbicara dengan suara melengking

sehingga membuat orang lain terganggu ketika mendengarnya. Biasanya guru

akan meniru suara melengking JE sehingga JE paham bahwa suaranya tidak enak

didengar. JE tersenyum malu atau melempar bola kecil kepada guru karena

merasa tidak nyaman diperlakukan demikian.

Baseline 4: Di Sekolah Selasa, 15 Januari 2014 (09.00-11.00 WIB)

Di kelas JE sedang belajar pelajaran Matematika. JE cukup kooperatif pada

saat itu, ia belajar dan menyelesaikan tugas dengan baik. Ia selalu membubuhi

tugasnya dengan menggambarkan komik di sebelahnya. JE tersenyum ketika

melihat peneliti datang ke kelas. Pada saat mereka belajar, JE menghampiri

peneliti yang sedang duduk di kursi. Ia menyandarkan kepala di meja dan melihat

ke arah peneliti. Ia menjawab pertanyaan peneliti, membuat topik pembicaraan

“acne” ketika melihat jerawat peneliti. Ia memberi saran tentang cara-cara yang

harus dilakukan untuk menghilangkan jerawat. Sambil bercerita ia juga

memperhatikan temannya yang belajar duduk di matras. Kemampuan play skill JE

Universitas Sumatera Utara


untuk mengobservasi temannya, mencari solusi dan menyelesaikan masalah, dan

kemampuan bermain secara timbal balik ia lakukan dengan baik, sedangkan untuk

kemampuan berbagi ia masih belum melakukannya dengan baik, ia hanya makan

makanannya seorang diri. Friendship skill, ia memiliki keinginan untuk bermain

dengan temannya, sedangkan teman-temannya tidak mau bermain dengannya dan

memilih bermain dengan teman lain. Hal ini membuat JE tidak memiliki

kesempatan untuk menolong, kurang mampu berinteraksi dengan teman sebaya,

dan kurang mengetahui kondisi teman. Teman-teman JE sayang kepada JE dan

cukup berani mempertahankan diri ketika ada yang mengganggu. Hal tersebutlah

yang membuat teman-temannya tidak mau membully JE. Ia mengalami kesulitan

untuk mengontrol emosi dan berbicara dengan volume suara yang lazim.

Selebihnya ia sudah memahami ekspresi dan bahasa tubuh orang lain seperti

senang, sedih. Berbeda untuk memahami ekspresi rasa sakit dan takut orang lain

yang dipukul olehnya. Ia tidak paham jika temannya merasakan kesakitan dan

tidak meminta maaf ketika ia melakukan kesalahan.

Pada saat ia sakit perut, JE permisi kepada guru untuk ke toilet. Setelah

selesai ia memanggil peneliti yang pada saat itu mengawasi JE “Bu Wini” sambil

tersenyum. Ia mengatakan bahwa perutnya terasa sakit, sepertinya karena

kebanyakan makan. Setelah selesai dari toilet, JE memanggil peneliti agar masuk

ke ruang kelas. Di dalam kelas JE terlihat kurang aktif karena kondisi fisiknya

yang kurang sehat.

Baseline 5: Di Sekolah Senin, 18 Januari 2014 (09.00-11.00 WIB)

Universitas Sumatera Utara


JE terlihat sedang belajar agama. Ia bekerjasama dengan temannya untuk

menyelesaikan tugas agama. JE mampu menjawab pertanyaan dengan tepat dan

melakukan percakapan dua arah ketika berbicara di dalam kelas, dan tidak

membuat topik pembicaraan karena ia paham bahwa di dalam kelas ia harus

mendengarkan guru (conversational skill). Ketika jam olahraga, JE terlihat

mampu bermain dan bekerjasama dengan teman-temannya yaitu bermain

badminton. JE bermain dengan teman yang menurutnya baik. JE terlihat senang

dan mampu mengikuti olahraga. Pada saat temannya memilih untuk bermain

dengan teman lainnya, ia mengatakan “okay” sambil menundukkan kepalanya. Ia

berharap ada teman lain yang akan mengajaknya bermain (play skill). Kesibukan

masing-masing anak membuat mereka tidak paham bahwa JE ingin bermain

dengan mereka. JE memilih untuk duduk dan melihat temannya yang sedang

bermain. Guru mengarahkan secara verbal bagaimana menyelesaikan masalah dan

menghindari konflik. Mengatasi masalah tersebut guru JE memanggil JE dan

temannya, mereka membuat kesepakatan bahwa JE bercerita terlebih dahulu

kemudian dilanjutkan oleh temannya. JE tidak meminta maaf kepada temannya

karena telah mendorongnya (understanding emotion).

Tabel 4.8. Hasil Baseline Subjek I

Universitas Sumatera Utara


Tugas : Keterampilan Sosial score system:
Diberi skor 0 : Jika tanpa ada prompt
skor 1 : Jika anak di gesture
prompt
skor 2 : Verbal prompt
Subjek JE skor 3 : physical prompt
skor 4 : tidak dilakukan

Komponen Prompt
Sesi Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5
1
Conversational Skill 4 4 4 4 4
 Kemampuan anak mengucapkan salam,
menyapa, dan memperkenalkan diri.
 Ikut serta dalam percakapan (ada 4 2 2 2 2
diskusi atau sedang belajar subjek
berada di dalam kelompok)
 Memperhatikan dan menjawab 4 4 2 0 2
pertanyaan.
 Mampu menentukan topik pembicaraan 4 2 4 4 2
 Memberikan kontak mata ketika sedang 2 2 2 4 4
berbicara
TOTAL 18 14 14 14 14

Play Skill 4 4 3 4 4
 Kemampuan mengatakan kepada teman
untuk ikut permainan atau aktiftas bersama
(“aku ikut”)
4 4 3 4 4
 Kemampuan berbagi permainan
 Kemampuan mengajukan pendapat 4 4 4 4 4
dengan mengangkat tangan “saya bu”.
 Memiliki kemampuan bermain timbal 4 4 4 2 2
balik
 Mengajak teman melakukan aktivitas 4 4 4 4 2
bersama (“Ayo”)
 Mengambil bagian dalam permainan 4 4 3 3 2
dan kegiatan.
TOTAL 24 24 18 18 18
Friendship Skill 4 4 2 4 4
 Mengetahui kondisi teman
 Mampu bermain permaiann terstruktur 4 4 4 4 4
 Mampu bermain permainan tidak 4 4 4 4 4
terstruktur
4 4 4 4 4
 Kemampuan berbagi mainan dan
makanan kepada orang lain
4 4 4 4 4
 Mampu menghadapi tekanan dalam
hubungan berteman.
4 2 4 4 4
 Menawarkan bantuan kepada orang lain

Universitas Sumatera Utara


2 0 2 3 3
 Mampu untuk tidak memukul atau
menganggu teman
26 22 24 27 27
TOTAL
Dealing With conflict 2 2 2 2 2
 Kemampuan untuk tidak menganggu,
memeluk, atau melukai teman.

 Memiliki kemauan untuk menolong 4 4 4 4 4


orang lain “ aku bantu ya” “ Gini
caranya”
0 0 0 0 0
 Mengatakan kepada guru, orangtua jika
ada yang bullying
 Membaca tugas atau latihan tanpa 2 2 2 3 2
mengatakan “tidak bisa” “aku lelah”
 Jika tidak paham mengenai tugas baru 2 2 2 3 3
anak mengatakan minta tolong kepada
guru atau teman dan tidak merengek.
10 10 10 12 11
TOTAL
Understanding Emotions

4 2 4 4 4
 Mengatakan maaf ketika berbuat salah.
 Mampu mengekspresikan perasaan 2 2 0 2 2
senang dan sedih
 Mampu mengungkapkan perasaan sakit 4 3 2 2 2
4 3 4 4 4
 Mampu memahami perasaan orang lain
(sakit dan marah)
14 10 10 12 12
TOTAL

Universitas Sumatera Utara


 ASD (Autistic Spectrum Disorder)
Ciri atau kriteria ASD yang dimiliki JE .
 Sekolah memiliki jadwal belajar yang cukup padat
namun teratur dan disiplin. Hal ini membuat
jadwal mereka bermain cukup singkat.
 Di sekolah JE masuk ke dalam kelompok belajar
yang terdiri dari anak-anak atypical, sehingga
perilaku anak cendrung sama yaitu mengalami
kendala dalam interaksi dan perilaku.
 Teman-teman JE masih kurang memahami kondisi
dan keinginan JE. Hal ini menyebabkan
keterampilan sosial JE kurang terlatih.

JE tidak berani memulai komunikasi


dengan teman dan malu mengangkat
tangan ketika ingin mengajukan pendapat.

JE sangat senang ketika temannya mengajaknya


bermain. Namun ketika temannya memilih
bermain dengan anak lain, JE akhirnya memilih
Keterampilan sosial untuk tidak bermain

kurang baik
JE banyak berbicara dan memiliki ide
mengenai permainan ketika di tempat terapi.
Sedangkan di sekolah ia tidak dapat
mengeksplorasi kemampuannya.

JE pernah mengganggu teman, memeluk dari


belakang, mendorong, menendang guru.

JE akan menjerit atau menangis ketika melihat


daun di rumah dan tempat umum

Gambar 4.2. Hasil Baseline Subjek I

Universitas Sumatera Utara


5. Perbandingan Perkembangan Keterampilan Sosial Pada Pretest,

Intervensi, dan Postest Subjek I.

a. Conversational Skill
1) Mampu menyapa dan memberikan salam

4
3
prompt

2
1
0

2) Ikut serta dalam percakapan (bercerita)

4
3
prompt

2
1
0

3) Menjawab pertanyaan

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


4) Menentukan topik pembicaraan

4
3
prompt 2
1
0

5) Memperhatikan orang lain ketika berbicara

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, keterampilan sosial JE pada saat pretest mengenai

conversational skill mengalami peningkatan, dimana prompt yang diberikan

semakin sedikit, seperti menyapa dan mengucapkan salam, ikut serta dalam

percakapan, menjawab pertanyaan, dan menentukan topik pembicaraan.

Sementara itu kemampuan memperhatikan orang lain ketika berbicara JE masih

diarahkan dengan prompt verbal. JE akan mendengar dan memperhatikan lawan

bicara jika mereka menggunakan visualisasi gambar untuk membantu mereka

bercerita. Selain itu topik pembicaraan juga menentukan perhatian JE kepada

lawan bicara. Pada saat posttest JE tetap melakukannya di tempat terapi dan di

sekolah. JE mengucapkan salam dan menyapa terapis, memulai percakapan untuk

mengajak temannya bermain, menjawab pertanyaan baik di sekolah dan di tempat

terapi, sedangkan untuk kemampuan memperhatikan guru ketika menjelaskan

Universitas Sumatera Utara


materi pelajaran masih kurang optimal. Guru masih mengarahkan JE agar

memperhatikan materi pelajaran.

b. Play Skill

1) Mengatakan kepada teman untuk ikut bermain

4
3
prompt

2
1
0

2) Berbagi permainan dan makanan

4
3
prompt

2
1
0

3) Berani mengajukan pendapat sambil mengangkat tangan

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


4) Memiliki kemampuan bermain timbal balik

4
prompt 3
2
1
0

5) Mengajak teman melakukan aktivitas bersama

4
3
prompt

2
1
0

6) Mengambil bagian dalam permainan dan kegiatan

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, Play skill meningkat pada kemampuan berbagi makanan

dan permainan, mengatakan kepada teman untuk ikut bermain, berani mengajukan

pendapat, memiliki kemampuan bermain timbal balik, berani mengajukan

pendapat, mengajak teman melakukan aktivitas bersama, mengambil bagian

dalam permainan dan kegiatan. Penurunan terjadi ketika JE sedang sakit dan tetap

memaksakan diri untuk mengikuti kegiatan terapi. Hasil postest menunjukkan

bahwa JE sudah mulai mau dan berani mengajak teman-temannya bermain.

Menurut guru JE mengajak mereka bermain tebak-tebakan dan beberapa dari

Universitas Sumatera Utara


temannya mau bermain dengan JE. Latihan yang diberikan ke sekolah setelah

pelaksanaan intervensi memberikan pengaruh positf terhadap JE. Latihan di

sekolah dimana guru memilih lima orang anak menjadi teman dekat JE selama di

sekolah.

c. Friendship Skill

1) Mengetahui kondisi teman

4
3
prompt

2
1
0

2) Bermain permainan Terstruktur

4
3
prompt

2
1
0

3) Mampu bermain permainan tidak terstruktur

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


4) Mampu berbagi mainan dan makanan kepada teman

4
3
prompt

2
1
0

5) Mampu menghadapi tekanan dalam hubungan berteman

4
3
prompt

2
1
0

6) Membantu teman

4
3
prompt

2
1
0

7) Mampu untuk tidak memukul atau menganggu teman

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, keterampilan sosial mengenai friendship skill JE

mengalami peningkatan, hanya saja pada sesi 11 JE mengalami penurunan. Hal

ini disebabkan kondisi kesehatan JE kurang baik. Kesehatannya membuat ia tidak

Universitas Sumatera Utara


mood dan kurang kooperatif. Selain itu JE masih sulit menerima kekalahan ketika

bermain. Pada saat bermain kelompok JE gagal menjadi pemenang dan JE

memilih untuk tidak mengikuti permainan. Ia tidak mampu menghafal kalimat

yang ingin disampaikan kepada teman di barisan depan. Setelah itu pada sesi 12

kemampuan JE mengalami peningkatan kembali, walaupun ekspresi wajahnya

kurang ceria. JE paham bahwa hari itu adalah hari perpisahan JE dengan teman-

temannya. Sesi posttest, JE sudah menunjukkan keiginannya untuk bermain, mau

berbagi mainan dan makanan kepada teman-temannya, sedangkan untuk perilaku

negatif JE, ia kembali menganggu temannya di sekolah ketika sedang bermain. JE

tidak sengaja mendorong temannya sehingga terjatuh. Guru menjalankan latihan

terapi yang diberikan ketika jika ia melakukan kesalahan. Tugasnya yaitu JE

membuat surat kepada temannya mengungkapkan permohonan maafnya. JE

menyadari kesalahannya telah melukai teman JE. Menurut guru, sikap JE tersebut

merupakan usaha JE untuk bermain dengan temannya. Sebagai informasi bahwa

sekolah JE sedang persiapan ujian bulanan, hal ini membuat semua siswa sibuk

mengerjakan worksheet dan mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian sehingga

kesempatan JE dan teman untuk bermain semakin berkurang.

d. Dealing With Conflict

1) Kemampuan untuk tidak menganggu, memeluk, atau melukai teman

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


2) Memiliki kemauan untuk menolong orang lain

4
3
prompt
2
1
0

3) Mengatakan kepada orangtua atau guru jika dibully teman sekolah

4
3
prompt

2
1
0

4) Membaca tugas terlebih dahulu sebelum mengatakan tidak bisa

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, pada saat pretest JE sering menunjukkan perilakunya yang

suka mengganggu teman. JE melakukannya sebagai cara untuk mengajak

temannya bermain dan sulit memanajemen kemarahan. Berbeda ketika

pelaksanaan intervensi JE cukup kooperatif bersama teman. Ia tidak pernah marah

atau memukul temannya, hanya sesekali ia memeluk temannya ketika bermain.

Pada saat posttest, berdasarkan laporan dari guru JE, ia telah mendorong

temannya hingga terjatuh. Berbeda perlakuan JE antara teman dekat dan yang

Universitas Sumatera Utara


tidak. Biasanya JE lebih suka menganggu teman yang tidak dekat dengannya. JE

masih sulit mengontrol perilakunya ketika bersama teman. Selain itu untuk

kegiatan membaca tugas terlebih dahulu sebelum mengerjakan tugas, baik pretest

dan posttest JE masih mau mengungkapkan “tidak bisa” sebelum membaca tugas

yang diberikan.

e. Understanding emotion

1) Mengatakan Maaf ketika berbuaat salah

4
3
prompt

2
1
0

2) Mampu mengekspresikan perasaan senang dan sedih

4
3
prompt

2
1
0

3) Mampu mengungkapkan perasaan sakit

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


4) Memahami perasaan orang lain (marah dan sedih)

4
prompt 3
2
1
0

Kesimpulannya, hasil pretest JE untuk kemampuan understanding emotion

cukup baik, ia dengan mudah mengungkapkan perasaannya seperti rasa senang,

sakit, bosan, dan marah. Ketika melakukan role play JE juga cukup ekspresif. JE

mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan sedih pada saat berpisah

dari temannya. Selama intervensi JE cukup ekspresif, ia terlihat bahagia ketika

sedang bersama teman dan bermain bersama. Kebersamaan mereka mengajarkan

JE untuk mengekspresikan perasaan sedihnya dengan menangis pada saat

berpisah dengan teman. Hasil posttest, JE masih sering mengatakan bahwa ia

sedih karena merindukan teman-temannya. JE sering bertanya kepada terapis

mengenai teman-temannya dan kapan JE bertemu dengan mereka.

Universitas Sumatera Utara


JE malu mengangkat tangan ketika ingin
mengajukan pendapat.

JE sangat senang ketika temannya mengajaknya


bermain. Namun ketika temannya memilih
bermain dengan anak lain, JE akhirnya memilih
untuk tidak bermain.
Keterampilan sosial
kurang baik
JE banyak berbicara dan memiliki ide
mengenai permainan ketika di tempat terapi.
Sedangkan di sekolah ia tidak dapat
mengeksplorasi kemampuannya.

JE pernah mengganggu teman, memeluk dari


belakang, mendorong, menendang guru.

Social skill training (SST)


JE akan menjerit atau menangis ketika melihat
daun di rumah dan tempat umum

 Play Skill: JE sudah mulai mau mengajak temannya bermain dan mengeksplorasi
imajinasinya dalam permainan.
 Conversational Skill: JE sudah mau memberikan kritikan dan masukan jika sedang
presentasi, JE mau menyapa dan mengucapkan salam kepada terapis yang ia jumpai,
dan JE sudah berani mengangkat tangan jika ingin berlomba dan mengungkapkan
pendapat
 Dealing with conflict: JE tidak takut daun setelah daun dijadikan sebagai objek
permainan dan masih mau mengganggu temannya.
 Understanding emotion: JE merasa kehilangan dan merindukan teman-teman
terapinya, ia ingin sekali bertemu dan bermain dengan mereka, Ketika ia melakukan
kesalahan kepada temannya, rasa menyesal dan keinginan untuk minta maaf. Ia
berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Gambar 4.3. Gambaran Subjek I Setelah Intervensi

Universitas Sumatera Utara


B. Pemaparan Subjek II

1. Data Diri Subjek II

Tabel 4.9. Data Diri Subjek II

Nama NS
Jenis Kelamin Laki-laki
Tempat Lahir Medan
Tanggal Lahir 11 Februari 2004
Usia 9 tahun 11 bulan
Suku Batak Toba
Kelas IV
Sekolah SD Swasta

2. Deskripsi Subjek II
Subjek kedua dalam penelitian ini adalah seorang anak laki-laki berusia 9

tahun 11 bulan. Ia merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan ia memiliki

adik perempuan. NS memiliki ciri fisik berkulit putih dan memiliki berat badan

tergolong ideal dengan tinggi badan ± 100 cm. Rambut terlihat rapi dengan

potongan pendek dan ia memiliki fisik dan mata yang normal. NS selalu

berpenampilan dengan memakai pakaian rumah yang sederhana jika sedang di

rumah.

Sehari-harinya NS hampir selalu melakukan rutinitas yang sama, seperti

sekolah, pulang sekolah bermain PSP, makan siang, mengerjakan tugas sekolah,

saat teduh (membaca renungan Alkitab) dan membuat kesimpulan berdasarkan

ayat Alkitab yang ia baca dan kemudian menuliskannya di buku dengan kalimat

Universitas Sumatera Utara


yang masih belum terstruktur, kembali bermain PSP sampai waktu untuk mandi

sore, menonton TV, dan makan malam.

NS menunjukkan perilaku rigid, sehingga jika ada perubahan jadwal maka

orangtua harus memberikan penjelasan supaya NS mengerti dan menerima situasi.

NS akan marah jika perubahan jadwal yang berhubungan dengan game. Ia akan

marah dan memukul kepala, menangis sambil menggigit tangan karena tidak

boleh bermain game. Ia tidak akan berhenti sampai ibunya menarik tangannya

atau setiap orang yang ada di rumah mengikuti perilaku NS. Biasanya NS akan

berhenti jika orangtuanya ikut menggigit tangan mereka dan NS akan menarik

tangan ibunya.

Beberapa perilaku stereotype yang ia miliki seperti akan meletakkan

tangannya di depan mulut untuk merasakan sensasi sentuhan dan bau pada tangan.

Biasanya ketika ia merasa bosan atau sedang mengalami kesulitan. Sensitifitas

terhadap suara yang sangat tinggi membuat ia tidak suka mendengar suara teriak

atau riuh. Ia akan menggigit tangan dan kepalanya jika hal tersebut terjadi.

Demikian halnya jika berada di dekat orang lain. NS secara sengaja akan

menyentuhkan tangan ke tubuh temannya untuk memperoleh sensitifitas sentuhan.

Selain itu ingin mengatakan bahwa ia membutuhkan bantuan temannya karena ia

tidak paham bagaimana menyelesaikan permasalahannya.

NS sangat tertarik bermain puzzle, hal ini membuat ia termotivasi untuk

mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik dan waktu yang cepat.

Ketertarikannya tersebut membantu pemeriksa dalam menjalankan pemeriksaan.

NS cukup patuh ketika mengerjakan tugas yang diberikan. Terlihat ketika

Universitas Sumatera Utara


mengerjakan tugas ia mau diajak untuk duduk dan menyelesaikan tugasnya.

Walaupun dengan waktu yang relatif terbatas. Ia mencoba untuk mengerjakan

tugas sampai selesai karena ada pemberian reward puzzle.

NS memiliki kemampuan komunikasi ekspresif yang kurang baik. NS

belum konsisten mengucapkan kata atau kalimat sederhana, terkadang bahasanya

masih belum terstruktur misalnya ketika ia mengatakan “mama ibu guru Siantar 3

hari” artinya bahwa ibu gurunya bertanya, libur 3 hari NS pergi kemana?, NS

menjawab gurunya pergi ke Siantar. Selain itu NS juga mengalami kesulitan

dalam hal pengucapan kata atau kalimat yang mengandung huruf s, r yang berada

di awal, tengah, atau akhir kata. Misalnya kata “sapi” diucapkan “tapi”, “selimut”

diucapkan “telimut”, dan “sayur” diucapkan “tayul”. Pengucapan huruf yang tidak

jelas tidak mengganggu arti dari kalimat yang diucapkan.

Kemampuan komunikasi reseptif NS tergolong cukup baik. Ia sudah

mengerti perkataan atau pertanyaan orang lain yang diucapkan secara jelas dan

singkat, memahami instruksi tunggal, seperti NS main “game di kamar mama mau

bicara dengan tante” atau “NS kecilkan suara game nya, mama sedang bicara

dengan tante”. Sama halnya dengan instruksi yang lebih kompleks namun dengan

pengucapan kalimat yang jelas, NS juga mengerti, seperti “NS setelah BAB siram

kamar mandi dan tangannya di sabun”.

NS memiliki hubungan yang dekat dengan orangtunya, ia lebih sering

berinteraksi dengan ibunya karena ayahnya harus bekerja. Sepulang ayahnya

kerja, ayahnya akan mengajak ia bermain atau berbicara. Hubungan NS dengan

adiknya sangat baik, ia sangat sayang kepada adiknya. Terlihat ketika ia bermain

Universitas Sumatera Utara


puzzle ia memanggil adiknya untuk bermain bersama, mau membantu adiknya

mengambil air minum atau membantu menyusun kepingan puzzle milik adiknya.

Berbeda dengan adik NS yang sering mengejek abangnya yang terkadang

berbicara dengan kata-kata yang kurang jelas, seperti “abang ini belum jelas

bicaranya bilang sayur tayul” ungkap adik kepada pemeriksa. Walaupun demikian

adiknya cukup menunjukkan sayang dan perhatian kepada abangnya.

NS memiliki kemampuan bantu diri yang cukup baik, dimana ia sudah

dapat mengambil makanan dan mandi seorang diri tanpa dibantu oleh ibunya. Ia

juga sudah dapat menghidangkan teh kepada tamu, membuat teh, dan menggoreng

kue walaupun masih dalam pengawasan ibu. Pada saat pemeriksaan NS

menuangkan teh ke gelas adiknya, ibu, dan pemeriksa. Hasilnya, hanya sedikit teh

yang tumpah dan secara keseluruhan terlihat bahwa gerakan tangan NS sudah

tidak kaku ketika memegang dan mengangkat teko.

NS memiliki daya ingat jangka pendek yang cukup baik jika berhubungan

dengan gambar, terlihat ketika ia bermain castle ia mengingat bentuk dan

posisinya, sehingga ketika diminta untuk menggambar bebas, ia menggambar

sesuai pola yang dilihatnya dari pola castle. Ia juga berusaha mengingatnya

dengan memikirkannya terlebih dahulu sebelum menggambar. Setelah ia

mengingatnya ia pun segera menggambarkan di kertas. Kemampuan mengingat

NS yang berhubungan dengan informasi berupa kata-kata dan abstrak tergolong

kurang baik. Terlihat ketika ibunya meminta NS untuk mengulang materi

pelajaran PPKN mengenai “kerjasama” yang sudah dihafalnya NS tidak dapat

melakukannya dengan baik, padahal 2 jam yang lalu ia sudah mampu

Universitas Sumatera Utara


mengucapkan pengertian dari kerjasama berdasarkan kalimat yang ada di dalam

buku.

NS memiliki rentang perhatian yang relatif singkat dan mudah bosan,

namun jika ada pemberian reward dan stimulus berupa objek visual, NS akan

berusaha bertahan untuk mengerjakan tugas dengan jadwal yang telah ditentukan

dari awal pengerjaan. NS akan menyelesaikan tugas sekolah atau tugas yang

berhubungan dengan pemeriksaan psikologis dengan cepat karena ia ingin

mendapat reward dari hasil pekerjaannya. Reward yang ia suka adalah berupa

permainan puzzle, sedangkan orangtua NS biasanya memberikan game PSP atau

dari HP.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa NS

mengalami masalah perkembangan perpasif Autistic spectrum disorder (ASD)

yang high function yaitu memiliki kapasitas intelektual tergolong rata-rata

(Average), memahami komunikasi reseptif, kemampuan daily living skill, dan

mengalami kendala ketika melakukan keterampilan sosial. Ia sudah memiliki

kemampuan dasar keterampilan sosial seperti kemampuan komunikasi namun

sulit untuk mempertahankannya. Memiliki keinginan untuk bermain dan terlibat

interaksi sosial dengan orang lain. Hanya saja ia kurang paham bagaimana

melakukannya. Hal inilah yang membuat peneliti menentukan bahwa NS akan

menjadi subjek pada penelitian ini.

3 . Hasil Wawancara

Hasil wawancara yang telah dilakukan kepada ibu dan guru subjek,

diperoleh gambaran umum mengenai kemampuan keterampilan sosial NS.

Universitas Sumatera Utara


Perkembangan kemampuan sosial NS akan tergambar melalui pemaparan dimensi

keterampilan sosial. Kemampuan NS dalam understanding emotional skill

tergolong cukup baik dan cukup sering digunakan di aktivitas sehari-hari.

Keterampilan tersebut berhubungan dengan kemampuan menunjukkan rasa

simpati terhadap orang lain, mudah mengetahui ketertarikan terhadap orang lain

atau tidak. NS cendrung bersikap malu dan menhindar ketika bertemu dengan

orang yang ia sangat suka atau yang tidak ia suka. NS mengenal ekspresi wajah

orang lain sehingga dengan mudah memahami ekspresi sedih dan bahagia

orangtua atau adiknya. JE memahami lelucon atau humor orang lain dalam

bentuk cerita, NS masih belum mampu melakukannya. Ia akan tertawa jika

melihat orang lain tertawa atau menonton TV.

Selain itu conversational skill NS untuk memahami pertanyaan sederhana

cukup baik, cukup mampu melakukan percakapan dua arah, merespon dengan

teliti saat berbicara, mengekspresikan perasaan perasaan secara verbal,

memperkenalkan diri sendiri kepada orang lain walaupun dengan menutup mata.

Sementara itu untuk melakukan kontak mata saat berbicara, mengambil jarak

yang pantas saat berinteraksi dengan teman sebaya, dan ketika berinteraksi jarang

sekali menggunakan suara yang pantas saat berbicara, NS masih sulit mengontrol

kekuatan suarannya di situasi umum, dan kurang baik dalam mengutarakan

keinginannya. NS masih terbiasa untuk mendapatkan yang ia inginkan tanpa

mengatakannya secara langsung.

NS memiliki kemampuan friendship skill yang kurang baik seperti jarang

terlibat dalam kegiatan dengan teman sebaya, mengajak teman untuk melakukan

Universitas Sumatera Utara


kegiatan bersama baik kegiatan yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur,

jarang sekali melibatkan teman-teman dalam kegiatan yang ia inginkan,

mengalami interaksi positif dengan teman sebaya, dan mengalami interaksi

negatif dengan teman sebaya, menunjukkan ketertarikan terhadap interaksi sosial,

dan jarang melakukan kegiatan dengan teman sebaya secara sukarela, tidak pernah

menunjukkan rasa ingin tahu melakukan interaksi sosial dan merespon teman

sebaya untuk melakukan kegiatan bersama-sama. Di sekolah NS masih sering

mendapat perlakuan kurang baik dari teman-teman dan guru. Ia masih sering

diejek dan diganggu. Terkadang uang NS atau snack dari dalam tas dicuri teman-

temannya. Sikap guru yang keras dan memberikan hukuman fisik membuat NS

merasa takut.

Sama halnya mengenai kemampuan play skill, NS lebih suka bermain

sendiri dan bermain permainan game di ipad dan komputer. NS masih kurang

mampu dalam memecahkan masalahnya ketika teman-temannya mengganggu, NS

merasa takut melakukan interaksi sosial karena sering mendapat perlakuan

negatif, sensitifitas terhadap suara sangat tinggi sehingga NS suka menyakiti diri

sendiri atau orang lain, dan sulit mengontrol emosinya untuk menggigit tangan

atau memukul kepala jika ada keinginannya tidak terpenuhi sesuai rencana

(dealing with conflict).

4. Analisis data Fase Baseline

a. Tempat, waktu, dan jumlah pengambilan baseline

Tempat melaksanakan baseline adalah di sekolah sebanyak 5 kali.

Baseline dilakukan pada saat terapi dan jam sekolah. Pemilihan waktu disesuaikan

Universitas Sumatera Utara


dengan aktivitas keterampilan sosial yang subjek lakukan di sekolah. Baseline

dilakukan sebanyak 5 kali.

b. Hasil pelaksanaan baseline subjek II

Baseline 1: Di Sekolah 30 Januari 2014 (09.00-12.00 WIB)

Observasi dilakukan di dalam kelas dan di lapangan bermain. Kondisi

kelas sangat kacau, berisik, kotor. NS sedang keluar ketika peneliti tiba di kelas.

Kondisi kelas sangat kacau. Guru berbicara dengan kasar dan siswa bermain-

main tanpa ada rasa takut kepada guru. Pada saat itu sedang mengikuti pelajaran

olahraga. Guru meminta siswa untuk memeriksa hasil ujian mereka. NS yang saat

itu tidak tahu apa yang harus dikerjakan, guru olahraga mengijinkan NS pergi ke

lapangan olahraga. Setelah ia masuk ke kelas, NS senyum melihat peneliti dan ia

menyapa “halo Bu Wini, selasa kamis NS main dengan Bu Wini?” peneliti segera

memberikan bahasa tubuh “pelan suara” akhirnya ia mengecilkan suara dan

duduk. Lalu ia mengatakan “Selasa dan Kamis kita main lagi?” (understanding

emotion). Dilanjutkan dengan mata pelajaran Bahasa Inggris dan NS cukup

tertarik mempelajrainya. Ia aktif menulis vocabulary sebanyak 100 kata dan

membaca percakapan ke depan kelas. NS terlihat mengangkat tangan ketika

gurunya bertanya “saya bu..saya bu”. Ia cukup mampu bertanya dan menjawab

dengan kalimat yang cukup baik walaupun pengucapannya kurang jelas, namun

kurang mampu untuk melakukan percakapan dua hari dan menentukan topik

pembicaraan (conversational skill). Kondisi kelas yang sangat berisik dan tidak

teratur membuat NS stres sehingga beberapa kali menggigit tangan dan memukul

kepalanya. Ia cukup mampu mengakhiri permainan, bermain timbal balik, dan

Universitas Sumatera Utara


kemampuan berbagi makanan atau mainan yang ia miliki kepada orang lain (play

skill). Di sekolah ia belum menunjukkan ketertarikan bermain dengan teman-

temannya. Permainan mereka cenderung berbahaya, seperti berkelahi, keroyok-

keroyokan (friendship skill). Selain itu mereka merasa takut dan sensitif dengan

suara keras. Biasanya ia menggigit tangan jika mendengar suara keras. NS

menghindar dan merasa takut ketika abang seniornya melewati kelas mereka.

Menurut temannya ia sering diganggu. Terlihat ketika mereka lewat ia secara

spontan menggeser badannya ke belakang (dealing with conflict). NS terlihat

merasa kurang nyaman berada di sekolah dan di dalam kelas. Selain lingkungan

sekolah, konsep dan metode belajar yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi

NS.

Baseline 2: Di Sekolah, 31 Januari 2014 (09.00-12.00 WIB)

Peneliti menyapa NS dan ia menjawab dengan jawaban “hai bu Wini”.

Saat itu mereka sedang belajar mata pelajaran IPS dan NS asyik dengan

lamunannya. Ia asyik menggoyang kursinya ke belakang seperti kursi goyang. Ia

tidak membuka buku ataupun menulis. Ia sangat sulit memahami pelajaran IPS

mengenai Kebutuhan Dasar Manusia. Guru hanya menyuruh siswa membuka

buku dan mengerjakan tugas yang ada di buku. Sesekali keluar ia karena tidak

mampu menahan berisiknya kelas dan menggigit tangan. Setelah jam istirahat,

terlihat semua siswa bermain permainan dan mereka mencoba untuk mengajak

NS. Ia sangat senang sekali, tertawa melihat kebersamaan dengan teman-

temannya, namun karena berisiknya suara di dalam kelas membuat ia menggigit

tangannya. Secara keseluruhan NS masih harus diarahkan dalam bermain.

Universitas Sumatera Utara


NS cukup mampu berbagi dengan teman dan mampu bermain timbal balik

jika prosedur permainan ia pahami. Ia cukup baik dengan teman-temannya, mau

berbagi, dan menolong teman yang sudah dekat dengannya. Ia melihat dan

memahami teman yang mengalami kesusahan. Pada saat itu kondisi kelas sangat

kacau hal tersebut membuat ia tidak nyaman bermain dengan teman. Ketika ia

mengalami stres di dalam kelas, biasanya NS keluar kelas, atau memainkan

kursinya seperti kursi goyang.

Baseline 3: Di sekolah, 21 Januari 2014 (09.00-12.00 WIB)

NS sedang duduk di kursi sambil melihat teman-temanya bermain. Ia

menggoyang-goyang kursinya sedangkan anak yang lain bermain bersama. NS

mendekati mereka sambil menjaga diri untuk agar tidak diganggu mereka.

Permainan anak laki-laki sangat kasar, seperti mendorong, berkelahi, menimpa

badan, dan berkejaran. Sesekali bahasa kotor mereka ucapkan kepada temannya.

Sedangkan anak perempuan saling bercerita, berkejaran, pergi ke kantin, dan ada

beberapa dari mereka bermain tepuk-tepuk tangan. Adik NS masuk ke kelas

abangnya untuk memberikan makanan yang ia bawa dari rumah. Percakapan

sederhana mereka komunikasikan sambil menikmati snack. Teman-teman NS

kemudian datang menghampirinya dan ia tidak memberikan reaksi. Mereka

mendekati NS dengan suara teriakan keras, NS tidak suka mendengar suara

teriakan. Ia menutup telinganya dan memukul badan temannya pelan. NS pergi ke

luar kelas dan melihat temannya yang sedang membaca buku. NS melihat buku

temannya dan menanyakan buku yang sedang ia baca. NS tidak mengikuti

permainan bahkan kegiatan dengan teman-temannya selama jam istirahat.

Universitas Sumatera Utara


Baseline 4: Di sekolah, 22 Januari 2014 (09.00-12.00 WIB)

NS menyapa peneliti sebelum bermain. Ia bermain kejar-kejaran bersama

temannya Beberapa menit kemudian adiknya masuk ke dalam kelas dan mencoba

untuk mengikuti kegiatan. Ia mau berbagi dan menolong adiknya ketika adiknya

masuk ke dalam kerumunan teman-temannya. NS dengan senang hati

membiarkan adiknya mengikuti permainan (play skill dan friendship skill).

Setelah selesai bermain, NS kembali duduk di kursi sambil menggoyang-

goyangkannya. Beberapa teman perempuan datang menghampiri NS dan

menanyakan apakah NS mau ikut bermain. NS menjawab tidak mau. Mereka

bermain tepuk aladin. Berbeda dengan anak laki-laki yang sibuk dengan

permainannya sendiri. Selama di kelas ia kurang mampu mengontrol kemarahan

ketika dipeluk atau dirangkul teman laki-laki. Ia akan merasa lebih tenang dan

nyaman ketika tidak ada yang mengganggu dan tidak bertanya kepadanya

(dealing with conflict). Ia paham ketika dikatakan “tidak gigit tangan” ia akan

melepaskan tangannya sambil mengatakan “tidak boleh gigit tangan ya”. Secara

keseluruhan ia masih terlihat baik dengan teman, hanya saja ia kurang suka

dengan percakapan. Hal ini membuat ia marah dan menggigit tangan.

Baseline 5: Di Sekolah, 2 Februari 2014 (10.00-12.00 WIB)

Peneliti kembali datang ke sekolah pada saat mereka sedang istirahat. NS

mengambil snack dari adiknya dan kemudian duduk di kursi. Beberapa menit

kemudian salah satu dari temannya mengadu kalau uang NS dicuri. Peneliti

bertanya kepada NS, namun ia tidak menjawab nama teman yang mengambil

uangnya. Adik NS merasa bahwa uangnya pasti jatuh. Biasanya NS meletakkan

Universitas Sumatera Utara


uang di sepatu agar tidak terjatuh atau diambil teman-temannya. Suara di dalam

kelas sangat berisik, anak-anak bermain-main kasar sambil menendang atau

memukul temannya. NS tidak melihat mereka dan segera pergi meninggalkan

kelas. Ia mengambil penggaris yang terbuat dari besi, ia menggunakan sebagai

mainannya. NS memasukkan penggaris ke dalam lubang yang ada di dinding. Ia

menanyakan apakah penggarisnya boleh dijatuhkan ke bawah dari lantai kedua.

Di lantai satu ada anak yang berdiri tepat dibawah penggaris akan dijatuhkan. NS

kembali menanyakan hal yang sama, namun rasa takut NS telah membatalkan

niatnya. Ia kembali memasukkan penggaris ke lubang dan tidak berani

menjatuhkannya. Beberapa menit kemudian muncul beberapa anak perempuan

dari kelas lima. Mereka menanyakan kabar NS dan ada anak yang

memperkenalkan dirinya. NS bersalaman dan menjawab pertanyaan mereka tanpa

mengajukan pertanyaan tambahan. Beberapa anak sibuk dengan kegiatan dengan

teman-temannya, NS asyik bermain sendiri.

Tabel 4.10 Data Baseline Subjek II

Tugas : Keterampilan Sosial score system:


Diberi skor 0 : Jika tanpa ada prompt
skor 1 : Jika anak di gesture
prompt
skor 2 : Verbal prompt
skor 3 : physical prompt
skor 4 : tidak dilakukan
Komponen Prompt

Sesi 1 Sesi 2 Sesi Sesi 4 Sesi 5


3
Conversational Skill 4 2 3 2 2
 Kemampuan anak mengucapkan salam,
menyapa, dan memperkenalkan diri.
 Ikut serta dalam percakapan (ada diskusi 4 4 3 2 4
atau sedang belajar subjek berada di
dalam kelompok)
 Kemampuan mendengar 4 2 2 3 3
(memperhatikan dan menjawab

Universitas Sumatera Utara


pertanyaan).

 Mampu menentukan topik pemicaraan 4 4 2 2 2


 Memperhatikan orang lain ketika 4 2 2 2 4
berbicara
TOTAL 20 14 12 11 15
Play Skill 4 4 2 2 4
 Kemampuan mengatakan kepada teman
untuk ikut permainan atau aktivtas
bersama (“aku ikut”)
 Kemampuan berbagi permainan dan 4 4 4 4 4
makanan
 Kemampuan mengajukan pendapat 2 2 2 3 2
dengan mengangkat tangan “saya bu”.
 Memiliki kemampuan bermain timbal 4 2 4 4 4
balik
 Mengajak teman melakukan aktivitas 4 4 2 0 4
bersama (“Ayo”)
 Mengambil bagian dalam permainan dan 4 4 3 3 2
kegiatan.
TOTAL 22 20 17 15 20
Friendship Skill 4 4 2 4 4
 Mengetahui kondisi teman
 Mampu bermain permaianan terstruktur 2 2 2 2 2
 Mampu bermain permainan tidak 0 4 4 0 0
terstruktur
4 4 4 4 4
 Kemampuan berbagi mainan dan
makanan kepada orang lain
 Mampu menghadapi tekanan dalam 4 4 0 2 2
hubungan berteman.
 Mampu untuk tidak memukul atau 4 4 2 2 2
menganggu teman
18 22 14 14 14
 TOTAL
Dealing With conflict 4 4 4 4 4
 Kemampuan untuk manajemen
Kemarahan (tidak berteriak, pukul
kepala, atau merengek).
 Memiliki kemauan untuk menolong 4 4 0 2 4
orang lain “ aku bantu ya” “ Gini
caranya”
4 4 4 4 4
 Mengatakan kepada guru, orangtua jika
ada yang bullying
 Jika tidak paham mengenai tugas baru 4 4 2 4 2
anak mengatakan minta tolong dan tidak
merengek.
16 16 10 14 14
TOTAL
Understanding Emotions

4 4 4 4 4
 Mengatakan maaf ketika berbuat salah.

Universitas Sumatera Utara


 Mampu mengungkapkan perasaan sedih 4 4 4 4 0
dan bahagia
 Mampu mengungkapkan perasaan sakit 4 4 4 4 4
dan marah
0 0 0 0 2
 Mampu memahami perasaan orang lain
(sakit dan marah)
12 12 12 12 10
TOTAL

Universitas Sumatera Utara


 ASD (Autistic Spectrum Disorder)
Ciri dan kriteria ASD yang dimiliki NS.
 Sekolah memiliki situasi lingkungan yang kurang kondusif,
kurang disiplin, manajemen sekolah kurang baik sehingga NS
mudah stres jika berada di sekolah.
 NS menjadi korban bully di sekolah hal ini membuat NS
merasa takut dan tidak nyaman dengan siswa di sekolah.
 NS takut kepada guru yang suka memukul dan memberi
hukuman, sehingga NS lebih memilih diam dan tidak aktif
ketika di kelas.
 Perilaku negatif NS, seperti suka melukai diri sendiri dan
terkadang melukai orang lain. Hal ini menyebabkan teman-
teman NS merasa takut.
 Teman-teman NS masih kurang memahami kondisi, keinginan
NS dan NS cendrung ditolak.
 NS kurang jelas berbicara karena ada masalah dalam rongga
mulut.
 Lingkungan NS sering memberikan apa yang ia minta dengan
komunukasi nonverbal.

NS sering memilih untuk bermain


sendiri atau melihat temannya
bermain.

NS lebih tertarik bermain game dan


mengabaikan teman-temannya
Keterampilan sosial
kurang baik
Tidak menjawab ketika ada orang
yang bertanya dan cendrung
menghindar.

NS tidak memiliki teman dan tidak


mengetahui bagaimana cara
berinteraksi dengan teman.

Sulit mengungkapkan perasaan marah dan


bosan.

Gambar 4.4. Hasil Baseline Subjek II

Universitas Sumatera Utara


5. Perbandingan Perkembangan Keterampilan Sosial Pada Pretest,

Intervensi, dan Postest Subjek II

a. Conversational Skill
1) Mampu menyapa dan memberikan salam

4
3
prompt

2
1
0

2) Ikut serta dalam percakapan (bercerita)

4
3
prompt

2
1
0

3) Menjawab pertanyaan

4
3
prompt

2
1
0

4) Mampu menentukan topik pembicaraan

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


5) Memperhatikan orang lain ketika berbicara

4
3
prompt 2
1
0

Kesimpulannya, hasil pretest kemampuan conversational skill NS kurang

optimal, setelah posttest menurut ibu NS mengalami perubahan menjadi lebih

ramah, mau menyapa orang lain walaupun untuk bertemu dengan orang dekat ia

masih malu. Setiap pulang sekolah ia tidak lupa menceritakan kegiatannya dan

pengalamannya di sekolah, misalnya ketika uangnya hilang atau dipukul dan

dimarah guru. Di sekolah minggu, sebelum terapi jika ada temannya yang

menanyakan tugas, ia hanya menunjuk jawabannya. Sekarang ini NS menjadi

lebih aktif, ia mengajar dan memberi contoh kepada temannya untuk menemukan

jawabannya, berbeda ketika NS harus memperhatikan orang lain ketika berbicara

ia masih sulit untuk memperhatikan, namun jika topik yang diceritakan menarik

untuk didengar dan menggunakan bantuan visual, NS lebih mudah fokus dan

konsentrasi memperhatikan orang yang sedang bicara.

Universitas Sumatera Utara


b. Play Skill

1) Mengatakan kepada teman untuk ikut bermain

4
3
prompt

2
1
0

2) Berbagi permainan dan makanan

4
3
prompt

2
1
0

3) Berani mengajukan pendapat sambil mengangkat tangan

4
3
prompt

2
1
0

4) Memiliki kemampuan bermain timbal balik

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


5) Mengajak teman melakukan aktivitas bersama

4
prompt 3
2
1
0

6) Mengambil bagian dalam permainan dan kegiatan

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, pada saat pretest NS kurang terlibat dalam permainan,

bahkan cenderung menolak. Kondisi kelas dan teman-teman yang kasar, nakal,

dan berisik membuat NS stres dan memilih untuk sendiri. Selama terapi, telah

dilakukan rekayasa dan memberi pemahaman kepada teman di kelas NS mengenai

kondisi NS, mereka agar mau menjadi teman dan mau bermain dengan NS. Cara

ini cukup efektif, setiap istirahat NS menjadi lebih suka bermain dengan mereka.

Hasil posttest menurut teman-teman NS, ia sudah mau bermain dan perilaku

menggigit tangan juga sudah berkurang. NS juga sudah mau menjawab

pertanyaan teman-temannya. NS menjadi leader yang memimpin permainan. Ia

juga akan mengatakan berhenti atau selesai jika ia sudah lelah bermain.

Universitas Sumatera Utara


c. Friendship Skill

1) Mengetahui kondisi teman

4
3
prompt

2
1
0

2) Bermain permainan Terstruktur

4
3
prompt

2
1
0

3) Mampu bermain permainan tidak terstruktur

4
3
prompt

2
1
0

4) Mampu berbagi mainan dan makanan kepada teman

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


5) Mampu menghadapi tekanan dalam hubungan berteman

4
3
prompt

2
1
0

6) Mampu untuk tidak memukul atau menganggu teman

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, hasil pretest NS kurang memiliki kemampuan untuk

memulai hubungan pertemanan. Kesulitannya untuk beradaptasi dengan suara

berisik membuat ia menolak berinteraksi dengan teman-temannya. Selain itu

permainan mereka cenderung membahayakan dan sering menyakiti. Hal ini

menyebabkan NS takut dan menyakiti diri sendiri atau memukul temannya. Hasil

postest menunjukkan bahwa NS sudah lebih mau berhubungan dengan teman. Ia

akan berusaha mendekatkan diri kepada temannya, bahkan kepada anak lain yang

baru dikenal. NS memegang ipad kemudian menggeser ipadnya agar teman-

temannya melihat game. NS merasa bangga ketika temannya memberikan

apresiasi atas kemampuannya bermain. Selain itu cara demikian merupakan

caranya untuk mendekatkan diri dengan teman-temannya. Ia juga menjadi lebih

mudah berbagi, biasanya NS tidak mau membagikan snack yang ia sukai. Berbeda

dengan sekarang, ia mau membagikan snack yang ia sukai kepada temannya. Di

Universitas Sumatera Utara


rumah, NS sangat suka memperhatikan dan melihat Foto NS bersama teman-

teman yang hadir pada saat terapi. Ia melihat sambil tersenyum bahagia. Kesulitan

NS hingga saat ini adalah kemampuan NS untuk mengontrol emosinya ketika

mendengar suara berisik, biasanya ia akan menyakiti diri sendiri atau memukul

temannya. Ia paham bahwa itu perilaku yang tidak baik, biasanya NS segera minta

maaf. Berbeda ketika temannya yang menganggu ia akan memukul dan tidak

mengatakan maaf kepadanya. Di sekolah minggu NS juga sudah memiliki teman

dekat. Teman NS sudah cukup memahami kondisi NS. Mereka selalu duduk

bersama dan jika NS berperilaku negatif temannya akan mengingatkan NS agar

tidak melakukannya.

d. Dealing With Conflict

1) Kemampuan untuk memanajemen perilaku kepada teman, seperti tidak

menganggu dan menyakiti teman.

4
3
prompt

2
1
0

2) Memiliki kemauan untuk menolong orang lain

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


3) Mengatakan kepada orangtua atau guru jika dibully teman sekolah

4
3
prompt
2
1
0

4) Bertanya kepada guru atau teman jika tidak mengerti mengenai tugas yang
dikerjakan

4
3
prompt

2
1
0

Kesimpulannya, pada hasil pretest NS lebih kaku dan sibuk dengan

aktivitasnya. Hasil posttest NS sudah cukup mampu membantu teman-temannya

untuk mengerjakan tugas dan ketika mereka terjatuh. Ketika di sekolah minggu, ia

akan membantu temannya yang ingin membaca namun gurunya tidak

memperhatikannya ketika mengangkat tangan. NS akan berteriak dan mengatakan

kepada gurunya bahwa temannya ingin menjawab. Selain itu di sekolah minggu

NS lebih tenang dan tidak agresif. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan di

sekolah minggu lebih tenang dan teratur. Berbeda ketika di sekolah, NS masih

cendrung menyakiti diri dan orang lain. Kondisi yang tidak teratur memberikan

pengaruh negatif bagi NS. Selain itu, ia juga sering dibully, NS masih sulit

mengatakan kepada guru atau kakak kelas jika ia sudah dibully dan masih harus

Universitas Sumatera Utara


diarahkan. Kemampuan NS untuk bertanya mengenai tugas yang sulit. NS masih

kesulitan mengatakannya dan ia akan menyontek tugas temannya.

e. Understanding emotion

1) Mengatakan Maaf ketika berbuaat salah

4
3
prompt

2
1
0

2) Mampu mengekspresikan perasaan senang dan sedih

4
3
prompt

2
1
0

3) Mampu mengungkapkan perasaan sakit dan marah

4
3
prompt

2
1
0

Universitas Sumatera Utara


4) Memahami perasaan orang lain (marah dan sedih)

4
prompt 3
2
1
0

Kesimpulannya, sebelum terapi NS merupakan anak yang cukup peka

dengan kondisi orang lain. Hasil pretest menunjukkan bahwa NS mengerti dan

paham bahwa ketika ia berbuat salah ia harus minta maaf, namun dalam

penerapannya NS bingung karena ketika orang lain atau temannya berbuat salah

mereka tidak pernah minta maaf kepada NS. Hasil posttest, NS sudah mampu

menunjukkan rasa maafnya kepada orangtua dan adik. Ketika peneliti ke rumah

NS, terlihat ia sangat sedih dan takut ketika adiknya menangis. Wajah bersalah

terlihat di wajahnya. NS segera memeluk adiknya, mengelus kepalanya sambil

mengatakan maaf. NS juga sudah memahami perasaan orang lain, ia paham jika

orangtua atau adiknya sedang sedih atau marah. Ia akan datang menghampiri

orangtuanya dan memeluk. NS tidak menunjukkan dengan kata-kata, ia lebih suka

mengungkapkan secara langsung understanding emotion.

Universitas Sumatera Utara


NS sering memilih untuk bermain
sendiri atau melihat temannya
bermain.

NS lebih tertarik bermain game dan


mengabaikan teman-temannya

Keterampilan sosial
Tidak menjawab ketika ada orang
kurang baik yang bertanya dan cendrung
menghindar.

NS tidak memiliki teman dan tidak


mengetahui bagaimana cara
berinteraksi dengan teman.

Sulit mengungkapkan perasaan marah


Social Skill Training dan bosan.
(SST)

 Play Skill: NS sudah mau bermain dengan teman-teman di sekolah, NS juga


menggunakan cara bermain ipad di kerumunan anak-anak untuk mendekatkan
diri kepada mereka , mencari perhatian, dan mendapat apresiasi dari mereka.
 Friendship skill: NS sudah mulai mau berbagi makanan kepada teman “silahkan
makan teman-teman”
 Conversational Skill: NS meu menceritakan pengalamannya di sekolah setiap
pulang dari sekolah NS, saat ini menjadi lebih ramah dengan mengatakan
“silahkan masuk atau selamat datang” ketika tamu datang ke rumah.
 Understanding emotion: Sering melihat foto perpisahan dengan teman terapi yang
ada di rumah, walaupun hanya tersenyum atau menceritakan kepada orang lain
mengenai teman-temannya.
 Dealing with conflict: Namun masih belum mampu mengurangi perilaku
menyakiti diri dan orang lain.

Gambar 4.5. Gambaran Subjek II Setelah Intervensi

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.11. Perbandingan Kondisi Subjek I dan Subjek II Setelah Intervensi

Keterampilan JE (Subjek I) NS (Subjek II)


Sosial
Conversational  Kemampuan komunikasi JE  Kemampuan komunikasi NS
skill sejak awal sudah lebih baik. cukup baik dalam hal
JE sudah mampu menjawab menjawab pertanyaan
pertanyaan orang lain dan sederhana dan mengajukan
mengajukan pertanyaan pertanyaan. NS sudah
dengan kalimat yang cukup cukup mampu untuk
baik. Ia memiliki mengucapkan salam kepada
kemampuan mengucapkan orang lain baik itu ketika di
salam kepada orang lain rumah maupun di luar
walaupun masih belum rumah. NS saat ini menjadi
dilakukan secara konsisten. lebih ramah dengan
Saat ini NS dapat mengatakan “silahkan
mengucapkan salam kepada masuk atau selamat datang”
terapis dan orangtua di ketika tamu datang ke rumah
rumah. atau menyapa orang yang ia
kenal.
 JE sangat suka bercerita,
Hal ini membuat JE senang  NS tidak terlalu suka
menceritakan yang ia alami bercerita dan terkesan kaku.
atau imajinasikan. JE cukup NS akan bercerita sesuai
mampu menentukan topik dengan rutinitas atau ketika
pembicaraan ketika bertemu ada yang bertanya. Saat ini
dengan orang lain. Topik ketika pulang dari sekolah,
pembicaraan disesuaikan NS akan bercerita mengenai
dengan pengalaman dan pengalamannya di sekolah
berdasarkan film, game, kepada ibunya sejak diberi
dan buku yang ia baca. latihan selama pelaksanaan
terapi. Selain itu ia juga
 JE sudah mau memberikan sudah mau untuk
kritikan dan masukan jika menjelaskan pertanyaan
sedang presentasi. Metode temannya mengenai tugas
belajar di sekolah juga yang sulit mereka kerjakan.
mendukung JE untuk lebih
aktif dalam berkomunikasi.  Metode mengajar di sekolah
menuntut NS untuk belajar
 JE sudah lebih berani untuk satu arah dan terkesan pasif,
mengangkat tangan dan sehingga ia tidak memiliki
mengemukakan

Universitas Sumatera Utara


pendapatnya mengenai kesempatan untuk
materi yang ia pahami. JE memberikan saran atau
sudah memiliki keinginan kritikan ketika presentasi,
untuk berlomba menjawab namun untuk memberi
pertanyaan jika ada pujian ia sudah mampu
kegiatan permainan atau lakukan ketika melihat hasil
belajar di sekolah. gambar, lukisan temannya.

 Sejak awal NS sudah


memiliki kemampuan untuk
mengemukakan pendapat
atau mengangkat tangan jika
ada lomba dan pertanyaan
dari guru. Ia berani dan
cukup percaya diri untuk
menjawab pertanyaan yang
ia pahami. Hal ini dilakukan
NS hingga saat ini jika di
sekolah dan sekolah minggu.

Play Skill  Kesulitan JE untuk  Di sekolah NS jarang


memulai hubungan dengan dilibatkan dalam permainan.
teman sebaya menjadi Hal ini berhubungan dengan
kendala JE untuk bermain. penerimaan teman dan
Saat ini JE sudah memiliki kondisi lingkungan sekolah
kemampuan untuk mulai yang kurang kondusif. Saat
mengajak temannya ini setelah diberikan latihan
bermain dan kepada teman-teman
mengeksplorasi sekolah, NS sudah mau
imajinasinya dalam bermain dengan teman-
permainan, misalnya teman di sekolah. Biasanya
mengajak teman-temannya teman-teman NS yang aktif
bermain tebak-tebakan untuk mengajak. NS merasa
ketika sedang jam istirahat sangat senang ketika
sekolah. Reaksi teman- bermain dengan mereka.
teman JE, bahwa ia merasa
senang dan mencoba untuk  NS kurang memiliki
menjawab tebakan JE. pengetahuan mengenai jenis
permainan secara kelompok.
 JE memiliki ide untuk Ia hanya bermain tiga jenis
mengeksplorasi permainan yang sudah

Universitas Sumatera Utara


imajinasinya dalam bentuk dilatih selama terapi
permainan. berlangsung.

 JE mengalami kendala  NS memiliki kendala yang


untuk menerima kekalahan sama dengan JE, ia masih
ketika sedang bermain atau sulit menerima kekalahan
pada saat ia menjadi leader. kekalahan ketika sedang
JE merasa gagal ketika ia bermain atau sedang
sebagai leader tidak dapat berkompertisi. NS
memimpin tim untuk menganggap kekalahan
memenangkan sebagai kegagalan yang
pertandingan. sangat besar.

Friendship  Perilaku JE yang suka  Kondisi lingkungan sekolah


menganggu teman- yang kurang kondusif dan
Skill temannya membuat mereka kondisi NS yang sulit
menolak untuk bermain memulai hubungan menjadi
dengan JE. Selain itu kendala NS untuk
konsep pembagian membangun hubungan
kelompok belajar, yaitu friendship skill. Selain itu
terdiri dari anak anak yang sensitivitas terhadap suara
mengalami permasalahan cendrung membuat NS
individu menjadi kendala untuk menyakiti diri sendiri
untuk membangun membuat teman-temannya
hubungan friendship skill. takut bermain dengan NS.
Setelah menghadirkan Setelah menghadirkan anak-
anak-anak normal dalam anak normal NS sudah mulai
terapi JE mengalami menunjukkan cara untuk
kemajuan. Ia dapat memulai hubungan dengan
bermain, menolong teman, teman.
berkomunikasi, dan
mencari solusi bersama.  NS menggunakan cara
memulai hubungan dengan
 Kebersamaan dengan teman, yaitu menggunakan
teman-temannya membuat ipad, NS akan mendekati
JE memahami arti dan masuk ke dalam
persahabatan. Saat ini JE kerumunan anak-anak yang
sering bertanya kepada ia kenal atau tidak dikenal
terapis mengenai kondisi untuk bermain bersama. NS
teman-temannya. Ia juga juga ingin mendapat
meminta ibu JE untuk perhatian dan apresiasi dari

Universitas Sumatera Utara


mempertemukan JE dengan mereka. Selain itu NS sudah
teman-temannya. mulai mau berbagi makanan
kepada teman-temannya jika
ia memiliki snack.

Understanding  JE cukup ekspresif  NS mengungkapkan


mengunkapkan perasaannya ekspresi emosinya lebih
Emotions kepada orang lain baik cendrung secara nonverbal
secara verbal maupun seperti memukul kepala atau
nonverbal. JE juga kurang menggigit tangan. NS masih
mampu menunjukkan rasa kesulitan untuk
bersalah dan memberi mengungkapkan
respon ketika melakukan parasaannya. NS lebih
kesalahan. Setelah mudah untuk
pelaksanaan terapi NS memperhatikan dan peka
sudah mulai menunjukkan terhadap kondisi orang lain,
perasaan bersalah ketika ia seperti ketika ia berkelahi
melakukan kesalahan dengan adiknya hingga
kepada temannya, rasa menangis. NS menunjukkan
menyesal dan keinginan rasa bersalah dengan
untuk minta maaf. Ia membujuk, mengelus
berjanji tidak akan kepala, dan memluk
mengulanginya lagi. adiknya. NS juga sudah
mampu mengatakan maaf
ketika ia melakukan
kesalahan.

Dealing with  JE memiliki perilaku  NS memiliki perilaku


bawaan yaitu perilaku bawaan, yaitu perilaku
conflict agresif. JE akan berteriak menyakiti diri sendiri. Ia
atau memukul kepala ketika akan menggigit dan
ia marah atau ketika ia memukul kepala ketika stres
gagal untuk menang. Saat dengan lingkungannya. NS
ini JE sudah paham sulit mendengar beberapa
mengenai solusi yang harus suara, seperti teriakan atau
ia pilih ketika terjadi suatu suara benda lainnya yang
masalah. disebabkan oleh sensitivitas
terhadap suara tinggi. Saat
 JE sudah merasa tidak takut ini yang menjadi kendala
dengan dauh\n. Ia sudah bagi NS adalah kemampuan
mau memegang dan melihat

Universitas Sumatera Utara


daun ketika daun dijadikan untuk mengontrol emosinya.
objek permainan pada saar
pelaksanaan terapi.  Di sekolah NS menjadi
korban bullying oleh senior
 Di sekolah JE memiliki NS dan sering mendapat
perilaku menyakiti teman- hukuman dari guru. Setelah
temannya dan hingga saat terapi, NS dilatih untuk
ini masih dilakukan. Hanya melaporkan kepada orangtua
saja metode role play dan dan pihak sekolah hasilnya
memberika surat ketika NS sudah tidak di bully dan
melakukan kesalahan ia selalu melaporkan
melatih JE memahami rasa kejadian di sekolah kepada
sakit teman-temannya dan orangtuanya, seperti ketika
mengajarkan JE untuk dipukul guru atau ketika ia
minta maaf atas kehilangan uang saku.
kesalahannya.

C. Pembahasan

Berdasarkan data yang diperoleh ada beberapa hal yang dapat dijadikan

sebagai bahan diskusi, mengenai kesesuaian paradigma dengan data,

ketidaksesuain dengan data, dan ketidaksesuaian dengan teori dapat dijelaskan di

bawah ini. Dari gambaran grafik perkembangan dua subjek menunjukkan, bahwa

intervensi yang diberikan efektif meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.

Terlihat dari skor yang diperoleh bahwa adanya perubahan skor pada saat pretest

dengan posttest dan melalui perubahan perilaku yang tampak pada kedua subjek.

Efektivitas penelitian ini tidak dapat terukur dengan membandingkan antara

kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol karena hanya memiliki dua

subjek. Hal ini menyebabkan sulit menentukan apakah efektivitas intervensi yang

diberikan memiliki hasil yang sesuai atau tidak. Menurut Goodwin (2005)

Universitas Sumatera Utara


keuntungan menggunakan repeated measure design dimana data yang diperoleh

tidak di bawah kontrol eksperimen, sehingga data yang diperoleh lebih kuat untuk

melihat efek utama intervensi. Selain itu menurut Bordens, et all, (2001) repeated

measured digunuakan untuk melihat kondisi partisipan yang memiliki ciri sama

pada semua kondisi percobaan yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa

perilaku kedua subjek pada percobaan awal hingga akhir dapat teramati sesuai

dengan percobaan atau kegiatan yang dilakukan.

Kegiatan yang dilakukan untuk menentukan efektivitas intervensi, antara

lain adalah; pertama, jadwal pelaksanaan terapi dilakukan secara berkala setiap

minggunya, artinya jarak antara hari pertama dengan hari berikutnya cukup

terjangkau yaitu sebanyak 3 kali dalam seminggu. Selain itu jarak antara jadwal

pelaksanaan subjek I dengan subjek II cukup seimbang, yaitu pada minggu yang

sama dengan hari yang berbeda. Kedua, untuk memantau atau mempertahankan

keterampilan sosial anak, penelitian memberikan latihan kepada orangtua dan

guru untuk melakukan tugas yang sesuai dengan kondisi anak selama terapi.

Melakukan rekayasa kejadian dengan menghadirkan anak-anak normal di sekolah,

di tempat terapi, dan memberikan test secara berkala setelah diberikannya

perlakuan mendukung pemantauan terhadap keterampilan sosial anak.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa SST efektif untuk

meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.

Selain itu lima dimensi keterampian sosial memiliki keterkaitan antara

satu dimensi dengan dimensi lainnya. Subjek I (JE) memiliki skor kuantitatif dan

kualitatif yang lebih optimal berada pada area friendship skill diikuti oleh play

Universitas Sumatera Utara


skill. Demikian pula dengan hasil data subjek II, dimana skor tertinggi berada

pada area play skill diikuti oleh friendship skill. Masalah yang dialamai anak ASD

adalah kesulitan untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya. Kesulitan anak

ASD untuk menjalin hubungan persahabatan berhubungan dengan sulitnya

mereka memahami perasaan orang lain, yaitu perbedaan dalam berpikir, perasaan,

dan keinginan. Kesulitan untuk memprediksi dan menunjukkan perasaan empati,

seperti kenyamanan, kepedulian, kemampuan mendengar (Terger-Flusberg, dalam

Bauminger at all 2008). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kedua subjek yaitu

anak ASD level 1, bahwa kebutuhan mereka sama dengan kebutuhan seusia anak

normal lainnya, yaitu memiliki keinginan untuk berinteraksi, menjalin hubungan,

dan melakukan aktivitas bermain bersama dengan teman sebaya. Bahkan melalui

kemampuan friendship skill dan play skill kedua subjek dapat belajar banyak hal,

seperti melakukan komunikasi, melatih perasaan emosi, dan kemampuan

memahami konflik dan memecahkan masalah (Bauminger, 2008). Walaupun ciri

lain seperti, perilaku stereotype, perilaku rigid, dan agresif masih melekat pada

kedua subjek. Adapun alasan mereka melakukannya adalah sebagai cara untuk

mempertahankan diri, selain itu sebagai cara untuk memulai aktivitas bersama

walaupun dengan cara yang kurang tepat. Kondisi lingkungan sekolah yang

kurang kondusif, kurang disiplin, dan termanajemen dengan baik juga menjadi

alasan subjek II menunjukkan perilaku agresif dan merasa tidak nyaman karena

menjadi korban bullying oleh teman-temannya. Selain itu kesulitan anak ASD

menerima kekalahan atau kegagalan menjadi salah satu penyebab utama

munculnya emosi negatif seperti menyakiti diri dan orang lain.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Vollmer, Barrero, Lalli, Daniel (dalam Matson, 2011)

menemukan bahwa adanya hubungan antara perilaku impulsif dengan kontrol diri.

Dalam penelitiannya mereka melakukan percobaan kepada dua anak ASD yang

berusia 9 tahun. Perilaku yang ditunjukkan adalah memukul, mendorong,

menampar ketika melakukan aktivitas bersama orang lain. Kontrol diri

berhubungan dengan keinginan anak untuk melakukan dorongan dalam dirinya.

Demikian halnya ketika mereka melakukan kasalahan dan gagal menyelesaikan

tugas atau ketika sedang berkompetisi.

Kemampuan keterampilan sosial kedua subjek juga terkait dengan

kapasitas level keberfungsian anak, yaitu berada pada level 1. Kondisi tersebut

mempengaruhi penyesuaian diri anak terhadap lingkungan sosial. Biasanya anak

dengan high functioning memiliki target yang harus dicapai, antara lain

kemampuan berkomunikasi, kemampuan berinteraksi sosial sesuai tingkatan

usianya, dan perilaku, keterampilan yang diharapkan di sekolah. Keberfungsian

kognitif yang cukup optimal memudahkan kedua subjek menyesuaikan diri

sehingga dengan mudah memahami sesi terapi dan membantu mereka

mempelajari keterampilan sosial dengan mudah. Demikian halnya dengan kedua

subjek dengan kapasitas intelektual tergolong rata-rata atas (high functioning)

memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dengan cukup

baik (Wenar, 1994).

Adapun keberhasilan penerapan intervensi program social skill training

untuk anak ASD, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, melakukan tahapan

baseline yang cukup optimal, sehingga menemukan perilaku-perilaku sosial

Universitas Sumatera Utara


subjek dengan lebih spesifik. Lingkungan tempat dilakukannya tahapan baseline

menjadi cara yang penting untuk membangun rapport dan mengobservasi

kemampuan keterampilan sosial subjek secara langsung. Dengan adanya hasil

data baseline mempermudah penelitian ini dalam menentukan tahapan terapi yang

akan dilakukan. Membina rapoort dengan subjek menjadi faktor pendukung untuk

mendekatkan diri dengan subjek. Hubungan yang tercipta memberikan

kenyamanan bagi peneliti dan subjek. Selain itu banyak informasi yang dapat

diamati dari subjek ketika pelaksanaan rapport. Kedua, menghadirkan anak-anak

normal di sesi terapi memberi pengaruh yang besar terhadap keberhasilan terapi.

Melibatkan anak-anak normal berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari data

baseline, yaitu subjek mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan dengan

teman sebaya. Hasilnya subjek tidak hanya dilatih mengenai friendship skill

melainkan kemampuan keterampilan sosial lainnya, antara lain kemampuan

bermain, komunikasi dengan teman, melatih subjek menentukan solusi di

permasalahan sekolah, mengembangkan emosi positif subjek. Selain memberi

pengaruh kepada subjek, SST juga memberi dampak kepada anak normal seperti

melatih mereka menggunakan word magic ketika berkomunikasi, belajar

mengenai anak-anak ASD, dan mengerti akan kondisi mereka. Dapat disimpulkan

bahwa rekayasa kejadian dengan menghadirkan anak-anak normal membentuk

komunitas baru dan nyata bagi subjek, hal ini sesuai dengan pernyataan Gray

dalam (Matson, 2011) mengenai metode pelaksanaan program SST yaitu social

script dan katerampilan sosial kelompok.

Universitas Sumatera Utara


Ketiga, program intervensi SST menggunakan metode pelatihan yang

menarik dan mudah dipahami anak. Metode pelatihan menggunakan social story,

script picture, comic script conversation, social review, dan social group. Masing-

masing metode memiliki fungsi yang sama dalam membentuk keterampilan sosial

anak. Permasalahan masing-masing subjek dapat digambarkan ke dalam metode

SST berupa gambar, bentuk cerita, kegiatan drama, role play, dan permainan.

Konsep visual yang diberikan mempermudah anak ASD untuk memahami sesi

terapi yang dilakukan.

Selain itu perubahan perilaku juga dapat dilihat secara langsung

berdasarkan hasil pengamatan reaksi anak terhadap cerita atau gambar, misalnya

untuk melatih understanding emotion peneliti memberikan script cerita kepada

subjek. Script dibuat berdasarkan permasalahan subjek di sekolah dengan

temannya. Peran dilakukan secara bergantian sehingga subjek dapat merasakan

perasaan ketika disakiti oleh subjek dan merasakan perasaan subjek sebagai

pelaku. Setelah kegiatan selesai subjek akan memperoleh kesimpulan sikap yang

tepat ketika bersama teman. Kelima, SST menjadi program intervensi yang paling

dibutuhkan setiap orang, berbagai permasalahan psikologis lainnya, dan dapat

digunakan tanpa melihat batasan usia. Khususnya bagi anak ASD penting dan

berguna untuk mengajarkan keterampilan sosial khususnya kemampuan

friendship skill. Melalui kemampuan ini anak dilatih bagaimana cara berinteraksi

di lingkungan sosial. Keenam, SST untuk anak ASD berkaitan dengan penerapan

metode behavior modification.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Miltenberger (2008) pemberian reinforcement positive

memberikan pengaruh positif dalam membentuk perilaku baru atau perilaku yang

tidak sesuai menjadi sesuai, atau mengurangi perilaku yang tidak diinginkan.

Pelaksanaan SST berkaitan dengan metode behavior modification. Dalam

penelitian ini menggunakan tocen economy dengan mengumpulkan stiker. Stiker

akan ditukarkan sesuai dengan jumlah stiker yang mereka kumpulkan. Adanya

ketertarikan subjek untuk berkompetisi dan memahami bahwa stiker identik

dengan apresiasi keberhasilan mereka mengerjakan tugas, penerapan tocen

memberikan dampak positif dalam program intervensi SST. Selain itu pemilihan

stiker mobil-mobilan sesuai dengan yang meaningful bagi kedua subjek. Selain itu

pemberian reinforcement positive yaitu pujian menjadi apresiasi terbesar bagi

kedua subjek. Mereka merasa sangat senang ketika mereka mendapat pujian di

depan teman-temannya, hal ini terlihat dari ekspresi dan gesture.

Selain faktor yang mendukung keberhasilan program intervensi, terdapat

pula beberapa keterbatasan dalam program intervensi ini. Pertama, modul yang

digunakan dalam intervensi ini disusun berdasarkan gambaran konsep SST secara

umum, kemudian memodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang

dialami oleh subjek penelitian. Hal ini menyebabkan modul harus dimodifikasi

sesuai dengan kebutuhan penggunaan dan tidak dapat digunakan secara langsung.

Kedua, extranious variabel. Peneliti kurang melakukan kontrol terhadap tempat

jalannya terapi pada subjek II yaitu rumah subjek. Kehadiran tamu ke rumah

subjek yang tidak dapat dikontrol. Subjek biasanya tidak terlalu merespon

kehadiran orang yang hadir, namun suara mereka ketika berbicara akan

Universitas Sumatera Utara


mengalihkan perhatian subjek. Ketiga, penelitian ini juga berhubungan dengan

kondisi subjek dan anak-anak normal. Kondisi kesehatan dan mood subjek

mempengaruhi jalannya terapi kurang optimal. Peneliti membutuhkan waktu

untuk menenangkan dan meredahkan emosi mereka sebelum terapi dimulai. Hal

ini yang biasanya tidak dapat diprediksi selama terapi dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian mengenai efektivitas social skill training (SST) untuk

meningkatkan keterampilan sosial anak ASD menunjukkan bahwa:

1. Penerapan program intervensi social skill traning efektif dalam meningkatkan

keterampilan sosial pada anak ASD. Hal tersebut dapat dilihat melalui data

subjek I dan subjek II yang diperoleh dari komulasi antara beberapa item

dalam setiap dimensi keterampilan sosial. Hasilnya menunjukkan terjadi

penurunan skor yang diperoleh pada saat pretest dan postest, hal ini terlihat

dari pemberian prompt kepada subjek. Skor yang diperoleh semakin rendah

maka keterampilan sosial semakin tinggi atau sudah cukup mampu

melakukannya.

2. Berdasarkan bahavior chart kedua subjek terjadi penurunan prompt. Subjek I

dan subjek II sudah tidak mendapat prompt pada dimensi play skill. Dimensi

keterampilan sosial friendship skill, play skill, conversational skill,

understanding emotion, kedua subjek mengalami penurunan skor yang tinggi

antara skor pretest dan postest, walaupun masih terdapat beberapa item yang

masih harus mendapat prompt verbal. Sementara itu pada dimensi dealing

with conflict subjek I dan subjek II masih kurang optimal selain masih harus

mendapat prompt, kondisi lingkungan sekolah yang berisik dan tidak teratur

seta tekanan dari guru dan beberapa temannya menjadi alasan sulitnya

Universitas Sumatera Utara


keterampilan ini berkembang khsususnya untuk subjek II, sedangkan subjek I

berhubungan perilaku agresif yang masih melekat pada dirinya.

3. Setelah menerima social skill training subjek menunjukkan peru

b ahan perilaku di lingkungan sekolah, gereja, di rumah, dan di tempat terapi.

Subjek I, sudah mau mengajak temannya bermain dan mengeksplorasi

imajinasinya dalam permainan, mau menyapa dan mengucapkan salam kepada

terapis yang ia jumpai, tidak takut daun setelah daun dijadikan sebagai objek

permainan, berani mengangkat tangan jika ingin berlomba dan

mengungkapkan pendapat, merasa kehilangan dan merindukan teman-teman

terapinya, ia ingin sekali bertemu dan bermain dengan mereka, ketika ia

melakukan kesalahan kepada temannya, rasa menyesal dan keinginan untuk

minta maaf. Ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Subjek II, sudah mau

bermain dengan teman- teman di sekolah, menggunakan cara bermain ipad di

kerumunan anak-anak untuk mendekatkan diri kepada mereka, mencari

perhatian, dan mendapat apresiasi dari mereka, sudah mulai mau berbagi

makanan kepada teman “silahkan makan teman-teman”, saat ini menjadi lebih

ramah dengan mengatakan “silahkan masuk atau selamat datang” ketika tamu

datang ke rumah, sering melihat foto perpisahan dengan teman terapi yang ada

di rumah, walaupun ia belum mampu mengungkapkan perasaannya dan

mengurangi perilaku menyakiti diri dan orang lain.

4. Dimensi keterampilan sosial, yaitu conversational skill, play skill, friendship

skill, understanding emotion, dan dealing with conflict yang memberi

pengaruh lebih besar terhadap perkembangan keterampilan sosial kedua

Universitas Sumatera Utara


subjek adalah dimensi friendship skill dan play skill. Hal ini terlihat dari

pengaruh kegiatan dan penerimaan anak-anak normal melatih keterampilan

sosial lainnya, seperti memahami perasaan orang lain, menghargai orang lain,

kebersamaan, dan kemampuan mencari solusi.

B. Saran

1. Saran Metodologis

a. Pada penelitian selanjutnya perlu melakukan modifikasi atas modul

penelitian SST untuk anak ASD sebelum menerapkannya kepada subjek

lain atau intervensi untuk permasalahan psikologis lainnya, khususnya

berhubungan dengan anak-anak anormal. Modul dapat digunakan sebagai

acuan gambaran umum, sedangkan pencapaian secara spesifik sesuaikan

dengan hasil baseline masing-masing anak.

b. Penelitian selanjutnya akan lebih baik jika SST dilakukan dalam bentuk

group SST yang terdiri dari anak normal dan anormal. Hal ini untuk

membantu anak dalam menyelesaikan konflik dalam kelompok.

2. Saran Praktis

a. Psikoedukasi kepada ora ngtua, guru, terapis mengenai penerapan

SST dalam kegiatan masing-masing subjek melalui tugas dan pelatihan

yang diberikan. Hal ini untuk melatih konsistensi subjek setelah selesai

terapi. Masing-masing orangtua, guru, dan terapis akan diberikan

pelatihan dan wacana mengenai penerapan SST.

b. Program terapi bagi kedua subjek, perlu adanya kelas sosialisasi atau

terapi kelompok bagi anak yang terdiri dari anak-anak normal dan

Universitas Sumatera Utara


anormal. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan sosial

anak lainnya. Mereka akan dengan mudah memahami peran sosial dan

aturan sosial ketika berhubungan secara langsung dengan teman sebaya.

c. Memberikan psikoedukasi kepada teman-teman subjek di sekolah

mengenai sikap menyayangi teman. Hal ini dilakukan untuk mengurangi

terjadinya bullying terhadap subjek dan mendorong anak-anak normal

lainnya untuk memiliki rasa persahabatan yang lebih baik.

d. Pemantauan kondisi subjek terus dilakukan dalam kurun waktu selama 1

bulan sampai 2 bulan ke depan mengenai perkembangan penerapan SST

untuk meningkatkan keterampilan sosial subjek.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Amaral, D&Dawson, G, et all. (2011). Autism Spectrum Disorders. Newyork: Oxford


University Press.

APA, (2004). Diagnostic and statistical manual Of Mental Disorder (4th ed text
Revision). Washington, DC. American Psychiatric Association

APA, (2013). Diagnostic and statistical manual Of Mental Disorder (5th ed text)
Washington, Dc. American Psychiatric Association.

Atchison, Ben J & Dirett, D (2012).Conditions In Occupational Therapy. Effect


On Occupational Performance. Fourth Edition. Wolters Kluwer Health:
Philadelphia.

Bauminger, N, Marjorie, Salomon. (2008). Children With Autism And Their


Friends; a multidimensional study Of Friendship in High Functioning
Autistic Spectrum Disorder. Journal abnormal Child Psychology. Springer
Science.

Barlow, D, Mathew, K, et all. Single Case Experimental Design. Strategies For


Studying Behavior Change. Third Edition. Boston.

Bellini, Scott. (2006). ASD Keterampilan sosial Profile.


http://search.proquest.com/docview/205057377/fulltextPDF/140C886AA1363
0166E/2?accountid=50257. AAPC Publishing.

Bordens, Konneth, Bruce. (2001). Research Design And Methods. USA:


McGraw-Hill.

Brereton, Avril. (2002). Pre Schooler With ASD. Philadephia&London: Kingsly


Publisher.

Cartledge, G. & Millburn, J. F. (1995). Teaching Social Skill to Children &Youth.


Innovative Aproach, 3rd ed. Massachussets: Allyn & Bacon.

Catugno, Albert, J. (2009). Social Competence And Social Skill Training And
Interaction For Children With Autism Spectrum Disorders. Boston: American
Psychological Association.

Catugno, Albert. J. (2009). Group Interventions For Children With Autism Spectrum
Disorder: A focus on social competency and social skills.
London&Philadelphia: Jessica Kingsley Publishing.

Universitas Sumatera Utara


Cohen&Wheelwright, (2000). Self Referential Cognition And Emphaty In Autism.
CambridgeUnited Kingdom: Autism Research Centre, Department of
Psychiatry, University of Cambridge

Cornish&Ross. (2004). Social skill training For Adolescent With General Moderate
Learning Difficulties. New York: Kingsly Publisher.

Choise, NHS (2014). http://www.nhs.uk/Conditions/Autistic-spectrum-


disorder/Pages/Causes.aspx. NHS Information Links.

DetikHealth. (2012). 8 Dari 1000 Orang Di Indonesia Adalah Penyandang ASD.


http://www.ASD.info/index.php/artikel-makalah/artikel/352-8-dari-1000-
orang-di-indonesia-adalah-penyandang-ASD. 22 Oktober 2013.

DeMatteo, Francis J. (2012). Social Skill Training For Young Adults With ASD
Spectrum Disorder: Overview and implications for practice. National Teacher
Education Journal. Volume 5, 57-65.
.
Feng, Hua. (2008). The Effects of Theorry Of Mind And Social skill training On
The Social Competence Of A Sixth-Grade Student With ASDm. Journal Of
Possitive Behavior Interventions.
http://search.proquest.com/docview/218786400/fulltextPDF/140C886AA1
3630166E/1?accountid=50257. Pg 228. Akses 10 September 2013

Gimpel, G.A. & Merrell, K.W. (1998). Social Skill of Children and
Adolescents:Conceptualization, Assessment, Treatment. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
http://www.questia.com/PM.qst?a=o&d=27773641.

Gooding, L.F. (2011). The Effect Of A Music Therapy Social Training Program
On Improving Social Competence In Children And Adolescence With Social
Skills Deficits, The Journal Of Music Therapy Vol 48 No.4 Winter.

Hadi, Sutrisno. Metode Research. Yogyakarta: Andi Offset.

Keenan, Mickey, et all. (2006). Applied Behviour Analysis And Autism.


London&Philadelphia: Jessica Kingsley Publishing.

Kluge, Matthew. (2008). Family Functioning and Coping Behaviors in Parents of


Children with ASD. Journal Psychology. USA : Spinger Scinece.

Martin dan Pear. (2005). Behavior Modification: What It Is and How To Do It.
United States America : Pearson Practice Hall.

Universitas Sumatera Utara


Morris, R.J. (1985). Behavior Modification With Exceptional Children: Principles
and Practices. USA: Scott, Foresman and Company.
Matson, L, Jhonny. (2011). International Handbook Of ASD And Pervasive
Developmental Dosorder.

Matson, L, Jhonny. (2002). The Relationship Between Behavior Motivation And


Social Functioning In Person With Intellectual Impairment.
http://search.proquest.com/docview/214937671/fulltextPDF/140FBC60B
AA449F8244/4?accountid=50257. 175-184.

Miltenberger, Raymond G. (2008). Behavior Modification Principles &


Procedures – Fifth Edition. United state of america: Wadsworth,
Cengage Learning.

Newson. (1998). Long-term Autcome For Children With ASD Who Received
Early.Intensive Behabioral Treatment. Los Anggeles:University Of
California.

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku


Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Plimley, L&Maggie, B. (2007). Social Skills And Autistic Spectrum Disorder.


London: Paul Chapman Publishing.

Reichow, B, Steiner Amanda (2011). Social Skills Groups For People Aged 6 to
21 with autism spectrum disorder (ASD). Editor: Mark W. Lipsey,
Vanderbilt University, USA .

Salomon, M, Jones, G. (2004). A social Adjustment Enhancement intervention


For High Functioning Autism, Asperger’s Syndrome, And Pervasive
Developmental Disorder NOS. Jurnal Of Autism And Developmental
Disorder Vol 34 No.6 december.

Sparks, BF&Friedman, S.D (2007). Neurologgy; Brain Structural Abnormalitas


In Your Children With Autism Spectrum Disorder. American Academy:
Royal Jubilee Hospital.

Stewart, C,J., & Cash, W.B. (2003). Interviewing : Principle and practices. 10th
ed. New York : Mc. Graw-Hill.

Stone, Wendy, et all (2010). TRIAD Social Skill Assestement Assessing Children
With Autism Spectrum Disorder. USA: Vanderbilt Kennedy Center.

Universitas Sumatera Utara


Turkington, Carol & Anan, Ruth. (2007). Encyclopedia Of Autistic Spectrum
Disorder. New York: Facts On file an imprint of infobase Publishing.

Wenar, C&Patricia Kerig. (1994). Developmental Psychopathology: from Infancy


Through Adolescence (4th Edition). Boston: McGrawHill.

Wiseman, N (2009). A Parent Expert Walks You Through Everything You Need
To Leal And Do. The First Year. Autism Spectrum Disorder. United States
Of America: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Wolfe D. Abnormal Child Psychology. (2005). Thomson Learning, Inc : USA.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN A
Autistic Social Skill Profile
(ASSP)

Universitas Sumatera Utara


RAHASIA No. _________

SKALA PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013/2014

Universitas Sumatera Utara


Dengan Hormat,

Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan


Thesis di Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara, saya membutuhkan sejumlah data yang hanya akan
saya peroleh dengan adanya kerja sama dengan saudara dalam
mengisi skala ini.

Saya mohon kesediaan saudara meluangkan waktu sejenak


untuk mengisi skala ini. Saya sangat mengharapkan saudara
memberikan jawaban yang jujur, terbuka dan apa adanya, bukan
berdasarkan apa yang seharusnya.

Tidak ada jawaban yang salah dalam pengisian skala. Semua


jawaban dan identitas Saudara akan dijaga kerahasiaannya dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Cara menjawab skala ini
akan dijelaskan di dalam petunjuk dalam pengisian skala dan
kemudian periksalah kembali jawaban Saudara, jangan sampai ada
nomor yang terlewatkan.

Akhirnya atas segala partisipasi dan ketulusan saudara, saya


sangat menghargai dan mengucapkan terima kasih atas
kerjasamanya.

Medan, Desember 2013

Hormat Saya,

Penulis

Universitas Sumatera Utara


IDENTITAS DIRI

Nama Anak (Inisial) :

Usia :

Sekolah/kelas :

Hubungan dengan anak : Ibu Ayah Guru Terapis Lainnya

PETUNJUK PENGISIAN

1. Isilah identitas diri Saudara dengan benar pada kolom yang telah
disediakan di atas (identitas ini akan dijaga kerahasiaannya).
2. Skala terdiri dari 42 aitem. Saudara diminta untuk memilih salah
satu jawaban yang ada di samping pernyataan dengan cara
melingkari jawaban yang saudara pilih. Pilihan jawabannya adalah:
TP : Jika pernyataan Tidak pernah dengan diri anak

KK: Jika pernyataan Kadang-kadang dengan diri anak

S : Jika pernyataan Sering dengan diri Anak

SS : Jika pernyataan Sangat Sering dengan diri anak

Contoh Pengisian:

NO PERNYATAAN TP KK S SS

1 Anak tersenyum ketika sedang KK S SS


TP

Universitas Sumatera Utara


berkenalan

- Selamat Mengerjakan –

NO Pernyataan TP KK S SS

1 Mengajak teman melakukan aktivitas TP KK S SS


bersama.

2 Mengikuti kegiatan dengan teman TP KK S SS

3 Mengambil bagian dalam permainan dan TP KK S SS


kegiatan.
4 Berinteraksi dengan teman sebaya TP KK S SS
mengikuti kegiatan terstruktur.

5 Berinteraksi dengan teman sebaya TP KK S SS


mengikuti kegiatan tidak terstruktur.
6 Membuat pertanyaan untuk mencari TP KK S SS
informasi mengenai seseorang teman
berbicara.
7 Terlibat interaksi sosial dengan teman TP KK S SS
sebaya secara personal.

8 Berinteraksi dalam kelompok dengan TP KK S SS


teman.

Universitas Sumatera Utara


9 Mampu melakukan percakapan dua arah TP KK S SS

10 Menunjukan rasa simpati terhadap orang TP KK S SS


lain.

11 Mengenal ekspresi wajah orang lain TP KK S SS

12 Mengenal bahasa tubuh orang lain. TP KK S SS

13 Meminta bantuan dari orang lain TP KK S SS

14 Mengerti lelucon/ humor dari orang lain TP KK S SS

15 Mampu menjaga jarak yang pantas saat TP KK S SS


berinteraksi dengan teman sebaya.

16 Mempertimbangkan suatu kejadian dari TP KK S SS


sudut pandang berbeda.

17 Menawarkan bantuan kepada orang lain TP KK S SS

18 Mengekspresikan perasaan secara verbal. TP KK S SS

19 Merespon sapaan orang lain. TP KK S SS

20 Mengikuti pembicaraan dengan dua orang. TP KK S SS


atau lebih tanpa menyela.

21 Menyapa orang lain. TP KK S SS

22 Memberi pujian terhadap orang lain. TP KK S SS

23 Memperkenalkan diri sendiri kepada orang TP KK S SS


lain.

24 Menerima pujian yang diberikan TP KK S SS

Universitas Sumatera Utara


kepadanya.

25 Mengerti arti pujian yang disampaikan TP KK S SS


orang lain.

26 Memperbolehkan teman sebaya mengikuti TP KK S SS


kegiatan bersama-sama dengannya.

27 Merespon teman sebaya yang mengajak TP KK S SS


untuk melakukan kegiatan bersama-sama.

28 Menjawab pertanyaan dari orang lain. TP KK S SS

29 Menjalani interaksi positif dengan teman TP KK S SS


sebaya.
30 Melakukan kompromi dengan orang lain. TP KK S SS

31 Mengubah topik pembicaraan sesuai TP KK S SS


kemauan.

32 Salah mengartikan perhatian orang lain TP KK S SS

33 Memberikan komentar tidak sesuai. TP KK S SS

34 Melakukan ketertarikan dan hobi . TP KK S SS

35 Mengakhiri percakapan secara kasar/ tidak TP KK S SS


pantas

36 Gagal membaca isyarat untuk mengakhiri TP KK S SS


percakapan.

37 Menunjukkan rasa takut/cemas untuk TP KK S SS


berinteraksi dengan orang lain.

38 Mengalami interaksi negatif dengan teman TP KK S SS


sebaya.

Universitas Sumatera Utara


39 Bertingkah laku yang tidak pantas di TP KK S SS
lingkungan sosial.

40 Menunjukan ketidaktertarikan berinteraksi TP KK S SS


dengan orang lain
41 Dimanipulasi oleh teman sebaya TP KK S SS

42 Secara sukarela melakukan kegiatan TP KK S SS


dengan teman sebaya.

Periksa kembali jawaban Saudara, jangan sampai

terdapat nomor yang terlewati dan jawaban yang saudara

untuk satu nomor

Terimakasih Atas Kerjasamanya

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN B
Latihan dan Lembar
Tugas

Universitas Sumatera Utara


LATIHAN

Di Rumah

Adik subjek diminta untuk melihat game yang sedang ia mainkan.


Apakah yang ia akan lakukan kepada adiknya. Apakah ia akan marah
atau mengijinkan adiknya untuk bermain bersama.

Ketika ia bermain bersama: orangtua memberikan pujian dan latih


adiknya untuk memeluk/mengatakan aku sayang koko Subjek. Latih
Adik Subjek tidak merebut mainan Subjek secara paksa.

Membuat rekayasa kejadian seolah-olah ibu menangis karena SUBJEK


menangis minta ipad. Lihat reaksi Subjek pada saat itu. Apakah Subjek
mengatakan “mama jangan menangis” . Mama Subjek menjelaskan bahwa
penyebab mamanya menangis adalah karena Subjek tidak patuh. Setelah itu
dengan Mei, Mei pura-pura kakinya terinjak Subjek. Bagaimana reaksi
Subjek apakah Subjek minta maaf?. Arahkan agar Subjek minta maaf.
Kegiatan ini dapat diterapkan setiap harinya dan di tempat lain.

Di sekolah

Buat surat yang seolah-olah dari teman yang Subjek pukul. Contohnya :

Namaku ---------aku sedih karena temanku di sekolah Subjek


memukulku. Aku tidak melakukan kesalahan. Tapi ia memukulku hanya
karena menunggu antrian. Aku sedih...padahal dia adalah teman terbaikku.
Aku sayang kepadanya..bahkan dia tidak minta maaf kepadaku..

Universitas Sumatera Utara


Contoh Surat (postcard problem)

Medan, 10 Februari 2014

Dear .............

Aku sayang kamu. Aku sedih karena kemarin kamu


marah dan tidak membolehkanku melihat game
milikmu. Aku ingin bermain bersama denganmu.
Seperti teman-teman yang lain bermain bersama.
Kenapa kamu marah ketika aku melihat mainanmu?

Jika sekarang kamu sedang bermain game, apakah


teman kamu boleh bermain
denganmu?_________________________________
__________________________________________
__________

Universitas Sumatera Utara


Contoh Dealing With conflict

Meminta subjek dan anak typical lainnya untuk memcahkan masalah atau mencari
solusi ketika ada masalah. Agar fun setiap kelompok berlomba untuk
menggunting dan mewarnai potongan kata ini dan menempel di karton.

PROBLEM AND
SOLUTION
MASALAH DAN
SOLUSI

Universitas Sumatera Utara


Dealing With Conflict
Sakit
 Ada teman yang melakukan “Bullying”
(mengejek, marah, memukul, mengganggu,
meminta uang teman).
 Guru memberikan Tugas sekolah.
 Merasa Lelah di dalam Kelas atau Terapi.
 Melihat daun di rumah, supermarket,
atau restaurant.
 Terjatuh atau terjebak.
Jika kalah atau gagal
Di bawa ke rumah sakit
Mengatakan kepada guru ketika ada teman
yang melakukan “bullying”.
Permisi kepada guru untuk ke kamar mandi
setelah itu masuk ke kelas dan belajar.
Mendengarkan guru cara mengerjakan tugas
Beli obat dan Minum Obat
Mengatakan tolong kepada orang lain agar
dibantu
Mengatakan kepada mama atau papa kalau

Universitas Sumatera Utara


“tubuh terasa sakit”
Menyentuh daun sambil tersenyum
Tidak Menangis dan mengatakan RIP jika gagal
Mengatakan kepada teman “jangan berbuat
nakal karena kita adalah teman”.

Tarik nafas dan hembuskan sebanyak 10 kali


Membaca tugas terlebih dahulu
Meminta mama menemani kamu untuk
menyentuh daun
Mengatakan kepada orangtua ketika ada teman
yang melakukan “bullying”
Jika tidak mengerti baru bertanya kepada guru
“Bu soal nomor ini bagaimana mengerjakannya”.
Minum air putih agar kembali segar untuk
belajar
Tidak Berteriak ketika melihat daun

Universitas Sumatera Utara


Contoh Role Play

Role Play dibuat sesuai dengan perilaku anak, baik yang positif dan tidak.

Peneliti dan subjek saling bertukar peran sebagai anak yang baik dan anak

yang suka melukai temannya. Contoh role play di bawah ini dibuat ketika

subjek berkelahi dengan temannya di sekolah.

Subjek dan Peneliti sedang menempel


Stiker dan kertas. Waktu sudah mau habis,
Peneliti mengerjakan dengan terburu-buru.
Pada saat itu Subjek sedang duduk sambil
menempel. Tiba-tiba Subjek berdiri ketika Bu
Peneliti lewat. Subjek melakukannya dengan
tidak sengaja karena ia tidak melihat Peneliti
sedang lewat. Tugas art Peneliti terjatuh dan
Peneliti marah (ekspresi wajah marah) dan
mendorong bahu Subjek

Peneliti: Gara-gara kamu tugasku rusak..

Subjek : Diam..menunduk..sedih...(eskpresi
wajah sedih) Maaf Peneliti saya tidak sengaja

Universitas Sumatera Utara


1. Apa yang dirasakan
Subjek?______________Kenapa?______
____________________

2. Apa yang dirasakan Bu


Peneliti?____________
Kenapa?_________________________

Role Play

Peneliti dan subjek saling bertukar peran sebagai anak yang baik dan anak yang

suka melukai temannya.

Aku Subjek berusia 9 tahun. Aku sedih karena


kemarin Peneliti marah kepadaku. Padahal aku
tidak sengaja menjatuhkan tugasnya. Peneliti
marah kepadaku.Aku sudah minta maaf, tetapi
Peneliti marah dan mendorongku. Aku
sedih....aku ingin menangis....

Aku masih ingin berteman dengan Peneliti.


Apakah dia masih marah kepadaku?padahal aku

Universitas Sumatera Utara


tidak salah, aku tidak sengaja menjatuhkannya.
Aku sedih....

1.Karena Peneliti anak yang baik, ia akan?


Meminta maaf kepada Subjek.

2.Ketika ada teman tidak sengaja


menjatuhkan tugas kita dan dia sudah
minta maaf. Apa yang akan dijawab?
Okay aku sudah maafkan

Besoknya, Peneliti menemui Subjek dan


mengatakan? Aku minta maaf kepada Subjek.
Subjek sangat senang sekaliiiiiiiiiiiiiiiiii (ekspresi
bahagia). Mereka pun kembali bermain bersama.
Peneliti akan sayang kepada teman,
adik,abang, mama, papa, dan guru.

Universitas Sumatera Utara


Contoh Latihan magic word

Menggunakan potongan kertas untuk melatih subjek memahami magic


words. Masing-masing kelompok diminta untuk menggunting dan menempel
potongan kertas pada karton. Masing-masing kelompok memiliki kebebasan
untuk membuat kata tersebut ke dalam gambar, mewarnainya atau membuat
kreasi lainnya.

THE MAGIC WORDS


Maaf
Tolong
Terimakasih
Permisi

Universitas Sumatera Utara


Contoh Rekayasa Kejadian

Ketika bermain, salah satu anak typical terjatuh. Anak


lainnya berusaha menolong anak tersebut. Pada situasi
berikutnya, anak lain yang berdiri di dekat subjek jatuh
dan apakah reaksi subjek ketika melihat kondisi tersebut?

Pada saat datang ke rumah subjek, anak Typical tidak


masuk ke rumah dan tetap berdiri di depan pintu sebelum
subjek menyapa dan mempersilahkan teman-temannya
masuk.

Setelah melatih anak untuk menyelesaikan masalahnya


ketika di bully, apakah yang akan dilakukan. Anak-anak
typical berpura-pura menganggu dan mendorong subjek.
Apakah subjek akan melapor kepada guru atau orangtua?

Rekayasa dilakukan setelah diberikan contoh dan presentasi


mengenai sikap kepada teman.

Ketika sedang snack time anak mendapat kue kecuali anak


yang berada di sebelah subjek. Peneliti mencoba untuk
mengarahkan dengan bertanya “kamu tidak mendapat kue?.
Reaksi subjek adalah?

Universitas Sumatera Utara


BUKU PENGHUBUNG ORANGTUA DAN GURU

Pelaksaaan Social
Skill Training

Kegiatan Penilaian Tugas anak Tugas untuk


Orangtua dan
Guru

Universitas Sumatera Utara


Contoh Script Picture

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Contoh Social Story
(Social Story berada pada Modul
Program SST )

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN C
Inform Consent

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai