Anda di halaman 1dari 206

UNIVERSITAS INDONESIA

KONSEP MAKANAN PADA MASA KANAK-KANAK AWAL:


ANALISIS TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

(Food Concept in Early-childhood: an Analysis Based on Piaget’s


Theory of Cognitive Development)

SKRIPSI

MUTIARA AISHA MAGHFIRA


1406540080

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
DEPOK
JUNI 2018
UNIVERSITAS INDONESIA

KONSEP MAKANAN PADA MASA KANAK-KANAK AWAL:


ANALISIS TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET

(Food Concept in Early-childhood: an Analysis Based on Piaget’s


Theory of Cognitive Development)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

MUTIARA AISHA MAGHFIRA


1406540080

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
DEPOK
JUNI 2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Mutiara Aisha Maghfira

NPM : 1406540080

Tanda Tangan :

Tanggal : 7 Juni 2018

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Mutiara Aisha Maghfira
NPM : 1406540080
Program Studi : Psikologi, Program Sarjana
Judul Skripsi : Konsep Makanan pada Masa Kanak-Kanak Awal:
Analisis Teori Perkembangan Kognitif Piaget

telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memeroleh gelar Sarjana pada Program Studi
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing Skripsi 1 : Dr. Sri Redatin Retno Pudjiati, M.Si., ( )


Psikolog.
NIP. 196208121988032001

Pembimbing Skripsi 2 : Mita Puspita Sary, S.Psi., M.Sc. ( )


NUP. 100211610220900991

Penguji 1 : Dr. Puji Lestari Suharso, M.Psi. ( )


NIP. 195906281986032002

Penguji 2 : Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Si ( )


NIP. 195104171977122001

Depok, 7 Juni 2018


Disahkan oleh

Ketua Program Sarjana


Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Dr. Lucia R. M. Royanto, M.Si., M.Sp.Ed., Psikolog


NIP. 196312021991102001

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Yang Maha Hidup, Allah SWT yang
tidak hentinya memberikan karunia dan kasih sayang kepada saya sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Psikologi. Atas berkat rahmat Allah SWT pula, saya diberikan anugerah dipertemukan
dengan berbagai pihak yang membantu dan mendukung saya dalam proses penyelesaian
skripsi. Dengan ketulusan hati, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Kedua orang tua saya, Sunardi Basuki Widodo, S.E., M.M dan Nurita, S.Pd.
Alasan terbesar saya mengerjakan skripsi. Terima kasih untuk cinta, doa, dan
kasih sayang yang tercurah selama 21 tahun ini, Ayah dan Mama. Terima kasih
juga untuk adik saya, Mirza Muhammad Adjie, teman bertengkar di rumah.
Terima kasih telah hadir di kehidupan saya.
2. Dr. Sri Redatin Retno Pudjiati, M.Si., Psikolog selaku pembimbing skripsi
utama yang telah membimbing dengan sabar dan penuh perhatian, serta
memberikan umpan balik dalam setiap tahap penyelesaian skripsi yang saya
kerjakan.
3. Mita Puspita Sary, S.Psi., M.Sc yang juga banyak membantu saya dalam proses
pengerjaan skripsi dengan memberikan masukan dan dukungan, serta
memberikan berbagai kesempatan yang membuat saya berkembang.
4. Dewa Fajar Bintamur, S.Psi., M.Psi selaku pembimbing akademik yang selalu
ada di setiap semester saya menjalani perkuliahan.
5. Dr. Puji Lestari Suharso, M.Psi dan Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Psi selaku
penguji skripsi. Terima kasih telah memberikan banyak masukan terkait
penyelesaian skripsi dan menghadirkan insight bermakna untuk terus meneliti
dengan hati.
6. Rekan-rekan seperjuangan payung skripsi “Makan Enak”: Rafahana Ansiklia
Kirana, Vitri Mardiati, Fathia Adani Harsya, dan M. Hafiz Afianto. Terima kasih
banyak atas semua kebingungan, keluh kesah, dan tawa yang telah dibagi dalam
proses menyelesaikan skripsi yang tidak singkat ini, dari RPP hingga Skripsi
‘beneran’. Saya sangat bersyukur berada di dalam lingkaran ini bersama kalian.

v
7. Untuk yang selalu ada, Ryza Maulana Putra, S.Gz. Terima kasih telah menjadi
pendengar setia setiap cerita dan keluhan yang saya bagi. Terima kasih untuk
doa, semangat, dukungan, dan bantuan nyata yang diberikan selama ini dalam
banyak hal.
8. Teman-teman Pitutur: Dhiya Faiza Yumna, Nabila Fajriani, Rizqi Farahmia, dan
Ghea Saraswati Kusuma. Terima kasih telah menemani saya menjalani dunia
perkuliahan. Walaupun kita tidak seperti peer lain pada umumnya, tetapi
kehadiran kalian sangat bermakna bagi saya.
9. Sahabat terbaik saya: Kamilyaa Ariidha, Wieza Fadhila Rachma, Deyna Andyni,
Aneke Aprilia, terima kasih telah menemani saya selama sewindu. Untuk Firli
Dwi Septiani, Nuzullia Hardini, dan Risty Noor Amelia, terima kasih masih mau
mendengarkan keluh kesah saya mengenai apapun. Gusti Fauzan Nabila, terima
kasih telah menemani saya di masa perkuliahan.
10. Psikologi untuk Negeri 2017: Partner terbaik saya, Shofura dan Fadiya Dina
Hanifa, saya bersyukur dapat mengenal kalian lebih dekat. Tak lupa juga untuk
Safira Karunia Rahma, Anita Dwi Putri, Aviva Lutfiana, Ryan Eka Prasetya,
Mugi Silih M., Fadhilah Ramadhannisa, Debi Zahirah Hariwijaya, Alika
Atyanta, Belinda Gustina, Hafshoh, Maryati, Tri Indah Marini, Annisa Permata
Y., Isyah Rodhiyah, dan Narendra Bayutama W. Terima kasih telah berkembang
bersama saya memberikan yang terbaik untuk warga RT 007 Pondok Jaya,
Citayam. Terima kasih juga untuk warga RT 007 Pondok Jaya, Citayam telah
memberikan suntikan semangat untuk selalu bermanfaat.
11. Kesma BEM Psikologi UI 2016: Ariyati, S.Psi yang lebih dari seorang rekan
kerja, tetapi juga menjadi kakak terbaik saya selama di kampus. Terima kasih
banyak telah selalu menyediakan tempat untuk mendengarkan cerita saya dan
memberikan saran yang sangat berguna. Azka Merci Fauzia Lestarie, S.Psi.,
Anis Hasanah Hasibuan, Auliana Tantya Puspa, Iga Winati, dan M. Pandu
Saksono Prasetyo, terima kasih telah menghadirkan pelangi bagi saya di tahun
2016. Terima kasih juga untuk Koorbid tersayang, Puspita Alwi, S.Psi., terima
kasih telah memberikan inspirasi.
12. Tim K2N UI 2016 Pulau Kasu, Kepulauan Riau: Agus Hidayatulloh, S.Gz.,
Amalia Salsabila, S.Psi., Amy Darajati Utomo, S.Sos., Iffah Karimah Salsabila,

vi
S.Kep., Cholida Sofi, S.Si., Vita Muflihah Fitriyani, S.Hum., Monik Ratnasari,
S.Hum., M., Syarifful Hidayah, S.Kg., dan Ifti Khoiri Royhan. Terima kasih
telah mengukir salah satu pengalaman berharga selama saya menempuh
perkuliahan, berbagi kisah dengan warga Pulau Kasu. Salam Kasu… yo!
13. Untuk Psynix, rekan-rekan seperjuangan Psikologi UI angkatan 2014, terima
kasih telah menemani lika-liku dunia perkuliahan.
14. VTIC Foundation, terutama teman-teman cikgu VTIC Cycle 6, terima kasih
telah memberikan pengalaman tidak terlupakan di tahun terakhir saya menjadi
mahasiswa.
15. Untuk yang mewarnai kehidupan saya di kampus: Gerakan UI Mengajar
Angkatan 5, khususnya Titik 1 Desa Rangimulya, Tegal, Jawa Tengah; BEM
Fakultas Psikologi UI 2015; BEM Fakultas Psikologi UI 2016; FKM UI Peduli
12, khususnya Dusun Mekarlaksana, Garut, Jawa Barat; U-Shape 2017; Sayap
Dewantara 2017─2018; SAMABA UI 2015; SAMABA UI 2016. Tanpa kalian,
mungkin perkuliahan bagi saya hanyalah tempat teori dan jurnal bertemu.

Depok, 7 Juni 2018


Penulis

vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Mutiara Aisha Maghfira
NPM : 1406540080
Program Studi : Psikologi, Program Sarjana
Fakultas : Psikologi
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya berjudul

“Konsep Makanan pada Masa Kanak-Kanak Awal: Analisis Teori Perkembangan


Kognitif Piaget”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya


Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 7 Juni 2018
Yang menyatakan,

(Mutiara Aisha Maghfira)

viii
ABSTRAK

Nama : Mutiara Aisha Maghfira


Program Studi : Psikologi, Program Sarjana
Judul : Konsep Makanan pada Masa Kanak-Kanak Awal:
Analisis Teori Perkembangan Kognitif Piaget

Masa kanak-kanak awal merupakan periode penting untuk membiasakan perilaku


makan agar tidak mengalami kesulitan makan. Konsep makanan yang dimiliki anak
merupakan skema yang mendasari perilaku makan dan mempengaruhi keberhasilan
intervensi perilaku makan pada anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif untuk melihat gambaran konsep makanan pada anak usia prasekolah (4─6
tahun) ditinjau dari teori perkembangan kognitif Piaget. Empat orang partisipan
menunjukkan karakteristik preoperational thought dalam menjelaskan pemahaman
tentang makanan, yang mencakup tujuan dari makan, efek dari makanan tertentu, efek
dari kuantitas makanan, efek dari diet yang tidak seimbang, serta jenis dan ciri
makanan sehat serta tidak sehat. Wawancara dengan orang tua dan pengasuh
menggambarkan social experience yang berperan dalam pembentukan konsep
makanan, terdiri dari orang tua (ibu dan ayah), anggota keluarga lain (nenek dan
kakek), pengasuh/asisten rumah tangga, sekolah, dan media.

Kata Kunci :
Konsep makanan, anak usia prasekolah, perkembangan kognitif, preoperational
thought

ix

Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Mutiara Aisha Maghfira


Study Program : Psychology, Bachelor Program
Title : Food Concept in Early-childhood: Analysis Based on Piaget’s
Theory of Cognitive Development

Early-childhood is a crucial period of life to promote children’s healthy eating habits.


Food concept is a scheme that underlies eating behavior and affects successful
interventions of eating behavior among children. This study used qualitative research to
describe food concept on preschool children (4─6 years old) based on Piaget’s theory of
cognitive development. Four participants’ indicated characteristics of preoperational
thought when explained food concept, covered five components of food: purpose of
eating, effects of specific food, effects of different quantities of food, effects of an
unbalanced diet, types and feature of healthy and unhealthy food. The interview with
parents and caregiver described social experience that play a role in the formation of
childrens’ food concept, which is parents (mother and father), another family members
(e.g grandmother and grandfather), housemaid, school, and media.

Keywords:
Food concept, preschool children, cognitive development, preoperational thought

Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ iii


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ........................................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv

1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 8
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................. 8

2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 10


2.1. Perkembangan Kognitif .............................................................................. 10
2.1.1. Definisi Perkembangan Kognitif ....................................................... 10
2.1.2. Komponen Perkembangan Kognitif .................................................. 11
2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif ........... 12
2.2. Pembentukan Konsep................................................................................ 15
2.2.1 Definisi Konsep .................................................................................. 15
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep ................ 16
2.3. Makanan ................................................................................................... 18
2.3.1 Definisi Makanan ............................................................................... 18
2.3.2 Jenis Makanan .................................................................................... 19
2.4. Konsep Makanan ...................................................................................... 19
2.5. Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan ....................... 22
2.5.1 Peran Orang Tua................................................................................. 22
2.5.2 Peran Sekolah ..................................................................................... 23
2.5.3 Peran Media........................................................................................ 23
2.6. Anak Usia Prasekolah ............................................................................... 24
2.6.1 Karakteristik Anak Usia Prasekolah .................................................. 24

3. METODE PENELITIAN ............................................................................... 28


3.1. Rumusan Pertanyaan Penelitian ................................................................. 28
3.1.1. Pertanyaan Utama ............................................................................ 28
3.1.2. Pertanyaan Turunan ......................................................................... 28
3.2. Tipe dan Desain Penelitian ......................................................................... 28
3.3. Partisipan Penelitian .................................................................................. 29
3.4 Instrumen Penelitian .................................................................................... 30
3.4.1 Panduan Wawancara Anak ................................................................ 30
3.4.2 Focus Group Discussion (FGD) ........................................................ 31
3.4.3 Panduan Wawancara Orang Tua ....................................................... 34

xi

Universitas Indonesia
3.4.4 Alat Bantu Penelitian ........................................................................ 35
3.5 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 36
3.5.1 Tahap Persiapan ................................................................................. 36
3.5.2 Tahap Pengumpulan Data .................................................................. 36
3.5.3 Analisis Data ..................................................................................... 38

4. HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN ....................................................... 45


4.1 Data Demografis Partisipan ...................................................................... 45
4.2 Analisis Intra Kasus 1 ............................................................................... 45
4.2.1 Gambaran Partisipan A ...................................................................... 45
4.2.2 Konsep Makanan ............................................................................... 47
4.2.3 Pembentukan Konsep Makanan ......................................................... 54
4.2.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan ................ 58
4.3 Analisis Intra Kasus 2 ............................................................................... 61
4.3.1 Gambaran Partisipan B....................................................................... 61
4.3.2 Konsep Makanan ............................................................................... 62
4.3.3 Pembentukan Konsep Makanan ......................................................... 68
4.3.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan ................ 74
4.4 Analisis Intra Kasus 3 ............................................................................... 82
4.4.1 Gambaran Partisipan C....................................................................... 82
4.4.2 Konsep Makanan ............................................................................... 83
4.4.3 Pembentukan Konsep Makanan ......................................................... 90
4.4.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan ................ 95
4.5 Analisis Intra Kasus 4 ............................................................................. 101
4.2.1 Gambaran Partisipan D .................................................................... 101
4.3.2 Konsep Makanan ............................................................................. 101
4.2.1 Pembentukan Konsep Makanan ....................................................... 111
4.3.2 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan .............. 117
4.6 Analisis Antar Kasus............................................................................... 122
4.6.1 Konsep Makanan ............................................................................. 122
4.6.2 Karakteristik Preoperational Thought pada Konsep Makanan........ 131
4.6.3 Pembentukan Konsep Makanan ....................................................... 142
4.6.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan .............. 149

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN .................................................. 152


5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 152
5.2 Diskusi .................................................................................................... 153
5.3 Saran ....................................................................................................... 161

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 163

xii

Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Komponen Instrumen Slaughter dan Ting (2010) .............................. 31


Tabel 3.2 : Pengelompokkan Makanan Hasil FGD .............................................. 32
Tabel 3.3 : Revisi Pertanyaan Wawancara ........................................................... 33
Tabel 3.4 : Panduan Wawancara Orang Tua ........................................................ 34
Tabel 3.5 : Coding Konsep Makanan ................................................................... 39
Tabel 3.6 : Coding Karakteristik Preoperational Thought ................................... 40
Tabel 3.7 : Daftar Kode Analisis Anak ................................................................ 41
Tabel 3.8 : Daftar Kode Analisis Orang Tua ........................................................ 44

Tabel 4.1 : Data Demografis Partisipan ................................................................ 45


Tabel 4.2 : Konsep Makanan .............................................................................. 122
Tabel 4.3 : Karakteristik Preoperational Thought pada Konsep Makanan ........ 130
Tabel 4.4 : Pembentukan Konsep Makanan ....................................................... 142
Tabel 4.5 : Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan .............. 149

xiii

Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A (Instrumen Penelitian)


A.1 Instrumen Slaughter dan Ting (2010) ...............................................................172
A.2 Panduan Wawancara FGD ................................................................................174
A.3 Hasil dan Refleksi FGD .....................................................................................177
A.4 Panduan Wawancara Anak ...............................................................................180
A.5 Panduan Wawancara Orang Tua .......................................................................183
A.6 Informed Consent ...............................................................................................186
A.7 Parental Consent ................................................................................................188
A.8 Data Demografis ................................................................................................190
A.9 Stik Sayuran dan Buah-buahan ..........................................................................191

xiv

Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak anak lahir, mereka mulai belajar untuk mengeksplorasi lingkungan di
sekitarnya. Anak menyadari keadaan di sekelilingnya dan membentuk konsep terkait
dunia yang ditempati. Konsep yang dibentuk oleh anak merupakan dasar dari
pengenalan objek, perencanaan tindakan, bahasa, dan pemikiran anak (Kiefer &
Pulvermüller, 2012). Konsep yang dimiliki anak tentang suatu fenomena merefleksikan
dasar pengelompokkan dari aktivitas manusia, yang berbeda dari kepercayaan,
keinginan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh diri mereka sendiri (Wellman &
Johnson, 1982). Berbagai konsep yang dimiliki anak juga merepresentasikan bagaimana
cara anak berpikir dan memandang suatu hal. Cara anak berpikir tidak lagi dilihat
sebagai pemikiran orang dewasa yang belum matang (Adriana & Andrea, 2017),
melainkan anak memiliki cara berpikir tersendiri yang unik dan berbeda dari hasil
pemahamannya mengenai dunia luar.
Usia prasekolah (3─6 tahun) merupakan masa yang krusial bagi anak karena
pada usia tersebut, anak mulai belajar mengenai konsep-konsep penting dan mulai
mengaitkannya dengan lingkungan (Başkale, Bahar, Başer, & Ari, 2009). Konsep yang
dimiliki oleh anak merupakan salah satu bentuk perkembangan kognitif yang membantu
anak memahami dan belajar tentang dunia di sekitarnya (Piaget, 1952). Perkembangan
kognitif anak usia prasekolah ditandai dengan preoperational thought, yaitu
kemampuan menggunakan simbol atau representasi mental, seperti kata-kata, untuk
menjelaskan fenomena tertentu (Piaget & Inheider, 2000). Perkembangan bahasa dan
berbagai bentuk simbolis tersebut merepresentasikan perkembangan konseptual dan
penalaran yang cepat sehingga anak usia prasekolah telah mampu berpikir secara
mandiri dan tidak hanya bergantung pada penginderaan suatu objek (Wadsworth, 2004).
Artinya, anak usia prasekolah yang telah memahami simbol dan bahasa sedang
mengembangkan kemampuan untuk memahami hal-hal di sekitarnya. Anak usia
prasekolah juga telah membentuk berbagai konsep dari hasil asimilasi dan akomodasi
skema yang dimilikinya (Wadsworth, 2004), termasuk konsep makanan.
Anak usia prasekolah dapat menjelaskan fenomena mengenai makanan karena

Universitas Indonesia
2

makanan merupakan objek konkret yang biasa ditemui anak sehari-hari. Pengetahuan
dapat dikonstruksi melalui aktivitas dan tindakan anak terhadap objek yang dapat
menstimulasi perkembangan kognitif anak (Piaget, 1961). Anak dapat membangun
konsep mengenai makanan melalui pengalaman langsung dengan makanan, misalnya
ketika anak memilih jenis makanan tertentu dibandingkan jenis makanan lainnya.
Antara usia 5─7 tahun, anak menjadi lebih mandiri dalam memilih makanan dan
mereka dapat mempelajari makanan apa saja yang dapat dimakan atau tidak dapat
dimakan (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Hal tersebut menggambarkan
bahwa makanan merupakan hal yang erat kaitannya dengan masa kanak-kanak awal,
sehingga penting untuk melihat konsep anak mengenai makanan.
Konsep makanan merupakan salah satu contoh penalaran yang dimiliki anak usia
prasekolah dari hasil pengalamannya sehari-hari dalam memilih atau mengonsumsi
makanan tertentu. Konsep merupakan skema yang mendasari tingkah laku (Wadsworth,
2004), sehingga konsep makanan merupakan basis tingkah laku anak yang berkaitan
dengan makanan. Konsep makanan yang dimiliki anak merupakan dasar dari sikap anak
terhadap makanan, pemilihan makanan anak, dan kebiasaan makan anak (Grosso,
Mistretta, Turconi, Cena, Roggi, & Galvano, 2013). Selain itu, pemahaman anak
mengenai makanan menentukan keberhasilan intervensi tingkah laku yang berkaitan
dengan makanan (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Dengan mengetahui
konsep tentang makanan pada anak juga dapat membantu mengurangi masalah perilaku
kesulitan makan pada anak usia prasekolah.
Perilaku kesulitan makan anak usia prasekolah di Indonesia masih menjadi sorotan.
Sekitar 25─40% anak dilaporkan mengalami kesulitan makan (Nasar, 2006). Hasil
penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Soedibyo dan Mulyani (2009) pada anak
usia 1−5 tahun di Jakarta adalah sebanyak 58% anak mengalami kesulitan makan dan
43% subjek memiliki status gizi kurang. Selain itu, penelitian Judarwanto (2011)
mengenai kesulitan makan pada anak prasekolah di Jakarta menemukan hasil prevalensi
sebesar 33,6%, dengan 44,5% diantaranya mengalami malnutrisi ringan hingga sedang.
Dari masalah kesulitan makan yang telah dijabarkan di atas, perlu diketahui hal
yang melatarbelakangi perilaku makan anak tersebut. Perilaku seseorang biasanya
didasari oleh pengetahuan yang dimiliki (Bartsch & Wellman, 1995), sehingga apa yang
diketahui anak mengenai makanan merupakan hal yang sangat penting karena

Universitas Indonesia
3

memengaruhi perilaku makan anak dan biasanya terbentuk ketika usia 4─6 tahun
(Schultz, 2015; Schultz & Danford, 2016). Telah banyak penelitian mengenai kebiasaan
makan atau pemilihan makanan pada anak usia prasekolah, tetapi penelitian yang
membahas konsep tentang makanan pada anak masih sangat minim (Zeinstra, Koelen,
Kok, & de Graaf, 2007; Slaughter & Ting, 2010; Laureati, Pagliarini, Toschi,
Monteleone, 2015; Schultz & Danford, 2016), padahal konsep tentang makanan pada
anak merupakan hal yang mendasari kebiasaan makan atau pemilihan makanan anak.
Beberapa penelitian di Indonesia pada anak usia prasekolah juga baru membahas
tentang kebiasaan makan dan perilaku makan (Fatmah, 2002; Kurniawaty, 2011;
Rahayu, 2014; Kesuma, Novayelinda, & Sabrian, 2013). Ada pula beberapa penelitian
lain yang membahas tentang hubungan antara pengetahuan atau persepsi anak tentang
makanan serta kaitannya dengan status gizi dan edukasi gizi (Kurniasih, 2012;
Zulaekah, 2012; Puspita, 2012). Namun, belum terdapat penelitian di Indonesia yang
menggambarkan konsep makanan pada anak usia prasekolah dilihat dari perkembangan
kognitif, padahal dengan mengetahui konsep tentang makanan pada anak berdasarkan
karakteristik perkembangan kognitif dapat membantu para pelaku intervensi untuk
menyesuaikan rancangan edukasi dengan penalaran anak sehingga dapat meningkatkan
keberhasilan intervensi (Başkale, Bahar, Başer, & Ari, 2009).
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya terkait konsep makanan pada anak
usia prasekolah berlandaskan teori perkembangan kognitif Piaget. Contento (1981)
merupakan penelitian awal yang melihat konsep makanan pada anak usia 5─11 tahun
yang dibedakan ke dalam tahap perkembangan kognitif Piaget, yaitu preoperational
thought dan concrete operational. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada
tahap preoperational, anak belum memahami bahwa makanan tetap sama walaupun
berbeda bentuk dan telah mampu mengklasifikasikan makanan berdasarkan
persamaannya (Contento, 1981). Serupa dengan penelitian Contento (1981), Michela
dan Contento (1984) yang meneliti tentang klasifikasi makanan pada anak usia 5─11
tahun juga menemukan hasil bahwa anak pada tahap preoperational telah mampu
mengkategorikan makanan berdasarkan jenisnya.
Selain itu, penelitian kualitatif Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007)
tentang perkembangan kognitif dan persepsi anak terhadap buah dan sayur menemukan
hasil bahwa perkembangan kognitif berkaitan dengan ciri yang dipertimbangkan anak

Universitas Indonesia
4

ketika mengevaluasi jenis makanan tertentu. Pada anak usia prasekolah, ciri penting
bagi anak untuk menyukai atau tidak menyukai makanan tertentu adalah tekstur, rasa,
preferensi, dan penampilan (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Anak usia
prasekolah mengelompokkan makanan berdasarkan karakteristik konkret, yaitu warna
dan bentuk serta mampu membedakan makanan yang enak dan tidak enak berdasarkan
preferensi dan efek terhadap pertumbuhan fisik (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf,
2007).
Slaughter dan Ting (2010) juga melakukan penelitian tentang konsep makanan
pada 100 orang partisipan di Australia, yang terdiri dari lima kelompok usia berbeda.
Penemuan Slaughter dan Ting (2010) pada anak usia prasekolah menyatakan bahwa
anak usia lima tahun sering menyebutkan hubungan antara makanan dengan
pertumbuhan fisik. Anak usia lima tahun juga membahas kaitan antara makanan dengan
pertumbuhan pada komponen tujuan dari makan, efek dari kuantitas makanan, dan efek
dari makanan tertentu (Slaughter & Ting, 2010).
Penelitian lain yang meneliti tentang konsep makanan pada anak usia prasekolah
adalah Zarnowiecki, Dollman, dan Sinn (2011) di Australia dengan sampel penelitian
192 anak berumur lima hingga enam tahun. Penelitian tersebut menggali pengetahuan
anak mengenai makanan sehat dan makanan tidak sehat serta menguji apakah anak telah
memakan item makanan yang terdapat pada gambar, terdiri dari kelompok buah dan
sayur (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011). Hasil penelitian tersebut adalah anak usia
prasekolah telah mengidentifikasi sayur dan buah secara tepat menggunakan gambar
(Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011).
Walaupun telah terdapat beberapa penelitian mengenai konsep makanan pada
anak usia prasekolah, penelitian tersebut belum membahas tentang bagaimana anak
membangun konsep makanan, padahal Piaget (1977) menekankan tentang sumber
pemerolehan pengetahuan yang didapatkan oleh anak. Piaget (1961) juga membahas
mengenai pengalaman sosial (social experience) sebagai salah satu faktor yang
memengaruhi perkembangan kognitif anak. Pengalaman sosial merujuk kepada
pengaruh budaya atau lingkungan pendidikan, yaitu berdasarkan pengalaman dari orang
lain, meliputi pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller,
2011). Anak dapat mengasimilasi informasi baru yang didapatkan melalui hasil diskusi
dengan orang lain di sekitarnya sehingga membentuk konsep yang dimilikinya (Miller,

Universitas Indonesia
5

2011). Hal tersebut juga berlaku pada konsep makanan.


Konsep makanan merupakan salah satu contoh social-arbitrary knowledge, yaitu
pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak melalui tindakan dan interaksi dengan orang
lain (Wadsworth, 2004). Anak berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, misalnya
orang tua, guru, dan teman sebaya, untuk mendapatkan pengetahuan mengenai
makanan. Selain itu, social-arbitrary knowledge dapat ditingkatkan melalui budaya dan
nilai-nilai yang dianut (Wadsworth, 2004).
Konsep makanan juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya (Liberman,
Woodward, Sullivan, & Kinzler, 2016; Shutts, Kinzler, & DeJesus, 2013). Anak
cenderung lebih mudah mendapatkan informasi mengenai makanan berdasarkan
identitas sosial, terutama kesamaan bahasa yang digunakan (Liberman, Woodward,
Sullivan, & Kinzler, 2016; Labov, 2006). Dapat dilihat bahwa konsep makanan erat
kaitannya dengan pengaruh sosial dan budaya yang berada di lingkungan anak.
Perbedaan budaya juga memengaruhi kebiasaan makan dan pola konsumsi makan anak
(Shutts, Kinzler, & DeJesus, 2013), sehingga konsep makanan pada anak berbeda-beda
tergantung kebiasaan di tempat yang ditinggalinya sebagai hasil pengalaman sosial yang
didapatkan oleh anak sehari-hari.
Di Indonesia, ketika anak prasekolah (4─6 tahun) masuk ke dalam Taman
Kanak-kanak (TK), biasanya anak membawa bekal makanannya sendiri dari rumah lalu
dimakan bersama teman-temannya di dalam kelas. Bekal makanan yang dibawa oleh
anak prasekolah terdiri dari beragam jenis makanan dan disiapkan oleh orang tua,
kerabat dekat (seperti nenek), atau asisten rumah tangga. Survei yang dilakukan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI, 2012) yang menyasar di lima wilayah
DKI Jakarta menggambarkan hasil bahwa 84% orang tua membiasakan anak taman
kanak-kanak dan sekolah dasar membawa bekal makanan ke sekolah. Orang tua yang
membiasakan anaknya membawa bekal juga turut melibatkan anak dalam menyiapkan
dan memilih makanan yang dikonsumsi (Friedman, Bowden, & Jones, 2003). Ketika
anak terlibat, anak mendapatkan informasi mengenai makanan dan aktivitas makan
sehari-hari (Kesuma, Novayelinda, & Sabrian, 2015).
Salah satu hal yang memengaruhi konsep makanan pada anak adalah keluarga
karena keluarga berperan besar dalam pembentukan kebiasaan makan anak. Keluarga
merupakan model utama dan signifikan dari perilaku makan anak (Golan & Weizman,

Universitas Indonesia
6

2001). Hasil penelitian Matheson, Spranger, dan Saxe (2002) dengan observasi dan
wawancara pada 24 orang anak usia prasekolah yang dilakukan selama dua tahun
menemukan bahwa orang tua yang menjadi contoh kurang baik dapat memengaruhi
preferensi makanan dan pengalaman makan pada anak. Misalnya, ketika orang tua
memberikan komentar negatif tentang rasa dan tekstur pada makanan dapat membuat
anak menjadi kurang ingin mencoba makanan tersebut (Eliassen, 2011). Penelitian
kualitatif Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) yang dilakukan pada 20 orang
anak usia 5─12 tahun tentang cara yang dilakukan oleh orang tua untuk memengaruhi
kebiasaan makan mereka juga menemukan hasil bahwa hampir seluruh orang tua
menggunakan berbagai cara, yaitu dengan memberikan hadiah apabila anak makan
dengan baik, mengombinasikan makanan yang disukai anak dengan makanan yang
kurang disukai, dan melalui pernyataan yang sederhana untuk mengajarkan anak
mengenai makan sehat. Dapat dilihat bahwa keluarga, terutama orang tua, menerapkan
berbagai cara untuk membentuk konsep makanan di masa kanak-kanak awal.
Selain orang tua, terdapat sumber informasi lainnya yang berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada anak. Anak usia prasekolah yang menempuh
pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) juga terpapar informasi mengenai makanan dari
sekolah. Di TK, terdapat tema mengenai kebutuhanku, dengan subtema makanan sehat
dan makanan kesukaan dalam materi ajar di semester pertama (Kemdikbud, 2015).
Selain itu, terdapat pula tema tanaman, dengan subtema sayuran dan buah-buahan pada
semester yang sama (Kemdikbud, 2015). Guru TK memberikan informasi mengenai
makanan sehat, sayuran, dan buah-buahan kepada anak prasekolah dengan penjabaran
secara lisan maupun aktivitas terkait tema tersebut. Pernyataan yang jelas maupun
tersirat dari orang lain membantu anak mengembangkan konsep mengenai suatu hal
(Harris & Koenig, 2006). Dalam hal ini, anak prasekolah mendapatkan pemahaman
mengenai makanan dari guru di sekolah melalui tema berkaitan dengan makanan yang
diajarkan di sekolah.
Di samping itu, anak prasekolah juga membentuk konsep makanan dari media,
misalnya televisi, seiring maraknya iklan produk makanan yang ditujukan bagi anak.
Salah satu sumber terbesar dari media yang memberikan pesan mengenai makanan
kepada anak-anak, khususnya kepada anak prasekolah, adalah televisi (Story & French,
2004). Televisi, meliputi iklan makanan dan program memasak, menjadi sumber

Universitas Indonesia
7

informasi mengenai makanan bagi anak-anak (McKinley, et al., 2005). Selain itu,
internet dan situs media sosial, seperti youtube, juga berperan untuk membentuk
pengetahuan yang dimiliki anak tentang makanan (McKinley, et al., 2005).
Berdasarkan pemaparan di atas, perlu adanya penelitian untuk menggambarkan
konsep makanan pada masa kanak-kanak awal. Seperti yang telah disebutkan di atas
bahwa konsep makanan merupakan dasar dari tingkah laku anak yang berkaitan dengan
makanan. Dengan mengetahui konsep anak mengenai makanan berdasarkan
karakteristik perkembangan kognitifnya, maka dapat diketahui pula bagaimana
perlakuan atau intervensi perilaku makan yang tepat diberikan pada masa kanak-kanak
awal. Pemberian intervensi tersebut bertujuan untuk membantu mengurangi masalah
kesulitan makan pada anak usia prasekolah. Selain itu, penting juga untuk diketahui
bagaimana anak membentuk konsep makanan dari pengalaman sosial (social
experience) yang diperoleh anak, misalnya orang tua, sekolah, dan media.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konsep makanan pada anak dan
bagaimana anak mengkonstruk konsep tersebut, sehingga metode penelitian kualitatif
digunakan dalam studi ini. Pendekatan kualitatif tersebut digunakan untuk menggali
sebuah topik dan mengarahkan perkembangan penelitian selanjutnya. Dalam penelitian
ini, peneliti tergabung dalam tim payung penelitian Konsep Makanan pada Anak.
Peneliti melakukan wawancara pada anak usia prasekolah (4─6 tahun) untuk melihat
bagaimana gambaran konsep makanan pada masa kanak-kanak awal. Peneliti juga
menggambarkan konsep tentang makanan tersebut berdasarkan teori perkembangan
kognitif Piaget. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara pada orang tua dari
partisipan dan pengasuh lainnya untuk melihat pengalaman sosial (social experience)
dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah.

1.2 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, rumusan pertanyaan
penelitian ini adalah:
“Bagaimana gambaran konsep tentang makanan pada masa kanak-kanak awal
berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget?”

Universitas Indonesia
8

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui gambaran konsep tentang
makanan pada masa kanak-kanak awal berdasarkan teori perkembangan kognitif
Piaget. Gambaran tersebut didapat dari wawancara mendalam yang akan dilakukan
dengan anak usia prasekolah dan orang tua anak.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai studi lanjutan mengenai
gambaran konsep tentang makanan untuk mengarahkan perkembangan
penelitian selanjutnya mengenai topik ini. Selain itu, penelitian ini juga berguna
untuk menambah literatur dalam pengetahuan dan perkembangan riset mengenai
perkembangan konsep makanan pada masa kanak-kanak awal di Indonesia.
Selain itu, penelitian ini juga menambah literatur pada ranah Psikologi
Perkembangan di Indonesia, terutama penelitian mengenai perkembangan
kognitif anak.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:
- Bab 1: berisi mengenai latar belakang penelitian mengenai konsep makanan
pada anak, rumusan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat
yang akan didapatkan dari hasil penelitian ini, serta sistematika penulisan
laporan penelitian.
- Bab 2: berisi tinjauan pustaka, terdiri dari teori perkembangan kognitif
Piaget dan pembentukan konsep yang menjadi landasan penelitian ini. Selain
itu, peneliti juga memaparkan konsep tentang makanan serta karakteristik
anak usia prasekolah.
- Bab 3: berisi uraian mengenai rumusan pertanyaan penelitian, tipe dan
desain penelitian yang digunakan, kriteria dari partisipan penelitian,
instrumen penelitian yang dipakai, serta prosedur pelaksanaan penelitian dan
analisis data.
- Bab 4: berisi hasil dan analisis hasil, terdiri dari data demografis partisipan,
konsep tentang makanan dan faktor pembentukannya dari masing-masing

Universitas Indonesia
9

partisipan pada analisis intra kasus, dan analisis secara keseluruhan yang
akan dijabarkan pada analisis antar kasus.
- Bab 5: berisi kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi, dan saran
metodologis dan praktis yang diajukan berdasarkan diskusi penelitian.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, peneliti akan membahas teori yang digunakan dan konteks dalam
penelitian ini. Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah teori mengenai
perkembangan kognitif dan pembentukan konsep. Selain itu, peneliti juga akan
menjelaskan tentang konsep tentang makanan serta karakteristik anak usia prasekolah,
sesuai dengan konteks dalam penelitian ini.

2.1 Perkembangan Kognitif


2.1.1 Definisi Perkembangan Kognitif
Piaget (1970) menyatakan bahwa perkembangan kognitif seperti pertumbuhan
embriologis, yaitu struktur yang terorganisasi dan terdiferensiasi sepanjang waktu, sehingga
perkembangan kognitif juga disebut sebagai mental embryology. Dalam aktivitas mental,
seseorang belajar untuk memahami dunia ketika berhadapan dengan objek atau orang di
waktu-waktu tertentu, kemudian berkembang seiring dengan kemajuan berpikir pada tahap
yang berbeda sejak lahir hingga dewasa (Piaget, 1971). Dengan kata lain, perkembangan
kognitif dapat dilihat sebagai proses ketika anak membangun pengetahuannya secara aktif
dan mencapai keseimbangan dari konsep yang telah dibentuk (Piaget, 1971).
Selain itu, Piaget (dalam Zaporozhets & Elkonin, 1974) mengemukakan bahwa
perkembangan kognitif merepresentasikan sistem dari suatu operasi mental. Operasi mental
tersebut terjadi ketika terdapat interaksi dan keterkaitan antara satu aktivitas mental dengan
aktivitas mental yang lain, kemudian diorganisasikan menjadi sebuah sistem (Piaget, dalam
Zaporozhets & Elkonin, 1974). Oleh karena itu, inti dari perkembangan kognitif adalah
perubahan struktur, yaitu adanya perubahan dalam skema, regulasi, fungsi, dan struktur
matematis-logis yang beragam (Miller, 2011). Perubahan struktur tersebut memaknai dan
memengaruhi perubahan pada isi pemikiran anak.
Perkembangan kognitif dilihat sebagai perbedaan dalam perubahan struktur
pengetahuan anak yang muncul sebagai hasil peralihan dari satu tahap ke tahap yang lain.
Perkembangan kognitif digambarkan muncul pada empat tahap yang universal dan berbeda
10

Universitas Indonesia
11

secara kualitatif (Piaget & Inheider, 2000). Empat tahap tersebut adalah sensorimotor,
preoperational thinking, concrete operations, dan formal operations. Sejak lahir hingga
remaja, operasi mental berkembang dari belajar berdasarkan aktivitas sensoris dan motorik
hingga pemikiran yang abstrak dan logis (Piaget & Inheider, 2000). Pada tahap
sensorimotor (lahir─2 tahun), anak mampu mengorganisasikan aktivitas berkaitan dengan
lingkungan melalui sensoris dan motorik secara bertahap (Piaget & Inheider, 2000). Pada
tahap preoperational (2─7 tahun), anak mengembangkan sistem representasional dengan
menggunakan simbol untuk mewakili orang, tempat, dan peristiwa (Piaget & Inheider,
2000). Bahasa dan permainan yang menggunakan imajinasi merupakan hal yang penting
dalam tahap preoperational, sehingga proses berpikir anak pada tahap ini bukan merupakan
sesuatu yang logis (Piaget & Inheider, 2000). Pada tahap concrete operations (7─11 tahun),
anak telah mampu menyelesaikan masalah secara logis, tetapi belum dapat berpikir secara
abstrak (Piaget & Inheider, 2000). Sementara itu, pada tahap formal operations (11
tahun─dewasa), seseorang telah mampu berpikir secara abstrak dan berpikir tentang
berbagai kemungkinan yang terjadi (Piaget & Inheider, 2000).
Perkembangan kognitif juga dapat dilihat melalui perubahan isi pemikiran anak dan
kemunculan berbagai bentuk baru pada aktivitas intelektual anak (Zaporozhets & Elkonin,
1974). Zaporozhets dan Elkonin (1974) mendefinisikan perkembangan kognitif sebagai
perkembangan dari aktivitas kognitif anak dan perkembangan berbagai bentuk tingkah laku
yang melibatkan adaptasi terhadap lingkungan baru. Sechenov (dalam Zaporozhets &
Elkonin, 1974) menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak merupakan pengenalan
terhadap objek di dunia luar yang dikenali melalui sensasi alat indera dan persepsi.
Sechenov (dalam Zaporozhets & Elkonin, 1974) juga menyatakan bahwa pengalaman anak
dengan objek merupakan sarana untuk membentuk pemahaman yang memadai tentang
dunia luar.

2.1.2 Komponen Perkembangan Kognitif


Piaget (dalam Wadsworth, 2004) memandang bahwa perkembangan kognitif
memiliki tiga komponen, antara lain:

Universitas Indonesia
12

 Content
Content atau isi perkembangan kognitif merupakan apa yang diketahui oleh anak.
Hal tersebut merujuk pada tingkah laku yang dapat diamati dan merefleksikan
aktivitas intelektual, misalnya kegiatan sensoris dan motorik serta konsep mengenai
fenomena tertentu. Content atau isi tersebut berbeda-beda tergantung usia dan
karakteristik anak.
 Function
Function atau fungsi merupakan karakteristik dari aktivitas intelektual yang stabil
dan berkelanjutan di sepanjang perkembangan kognitif, meliputi asimilasi dan
akomodasi.
 Structure
Structure atau struktur merupakan kumpulan skema terorganisasi yang menjelaskan
kemunculan tingkah laku tertentu.
Dalam penelitian ini, peneliti membahas salah satu komponen perkembangan
kognitif, yaitu content. Content atau isi perkembangan kognitif yang dilihat dalam
penelitian ini merupakan konsep mengenai suatu fenomena yang dipahami oleh anak.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif


Perkembangan kognitif terbentuk melalui fungsi biologis dan sosiologis
(Zaporozhets & Elkonin, 1974). Fungsi biologis merupakan fungsi yang memunculkan zat-
zat psikologis, sedangkan fungsi sosiologis adalah hal di luar anak yang muncul sebagai
dorongan yang memaksa anak untuk menghasilkan bentuk berpikir yang sudah lazim untuk
anak (Zaporozhets & Elkonin, 1974).
Menurut Piaget (1961), perkembangan kognitif anak disebabkan oleh empat faktor
yang memengaruhi perpindahan dari satu tahap ke tahap yang lain. Empat faktor tersebut
adalah:
a. Physical Maturation
Kematangan fisik yang dimaksud merupakan heredity atau keturunan dan
maturation atau kematangan. Heredity atau keturunan berperan dalam
perkembangan kognitif, tetapi tidak menjadi penyebab perkembangan kognitif

Universitas Indonesia
13

(Wadsworth, 2004). Sementara itu, kematangan merupakan tingkat potensi yang


diwariskan, yaitu pada usia berapa konstruksi dari struktur spesifik dapat
dibangun oleh anak (Piaget, 1961). Kematangan fisik pada otak dan sistem saraf
membutuhkan penyesuaian pada sistem kognitif. Anak secara aktif
memanfaatkan keterampilan yang ia miliki untuk mengasimilasi dan
mengakomodasi pengalaman baru (Miller, 2011).
b. Active Experience
Pengetahuan dibangun dari interaksi anak dengan objek atau orang lain.
Anak juga secara aktif melakukan manipulasi fisik atau manipulasi mental
(berpikir) tentang suatu objek atau peristiwa (Wadsworth, 2004). Pengalaman
aktif mencerminkan bahwa anak melakukan tindakan pada objek, bukan apa
yang dihadirkan objek tersebut (Miller, 2011). Sebagai contoh, pengetahuan
matematis-logis terkait pengalaman dengan lingkungan fisik, yaitu ketika anak
menemukan bahwa jumlah kelereng akan tetap sama walaupun ia
menghitungnya dengan berbagai cara, seperti menghitung kelereng dalam
barisan, dari arah yang berlawanan, dan dalam lingkaran (Miller, 2011).
c. Social experience
Pengalaman sosial merujuk kepada pengaruh budaya atau lingkungan
pendidikan, yaitu berdasarkan pengalaman dari orang lain, meliputi pertukaran
ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011). Anak dapat
mengasimilasi informasi baru yang didapatkan melalui hasil diskusi dengan
orang lain di sekitarnya (Miller, 2011). Di sisi lain, pengalaman sosial dapat
menjadi hal yang negatif, misalnya ketika terdapat dorongan sosial untuk
konformitas. Selain itu, tidak semua orang dewasa dapat menjadi contoh yang
baik untuk dipelajari oleh anak (Miller, 2011). Penelitian sebelumnya banyak
yang mengasosiasikan faktor lingkungan dengan perkembangan kognitif anak
(Peyre, et al., 2016). Pengalaman sosial yang mempengaruhi perkembangan
kognitif anak berasal dari:
 Orang tua
Orang tua merupakan salah satu faktor yang memengaruhi

Universitas Indonesia
14

perkembangan kognitif anak (Peyre, et al., 2016). Orang tua membantu anak
berkembang secara kognitif dengan terlibat dalam percakapan yang
membantu anak memahami berbagai hal (Gunderson & Levine, 2011).
Tingkat pendidikan orang tua, jumlah pendapatan orang tua, dan lingkungan
rumah merupakan hal yang paling memengaruhi perkembangan kognitif
anak (Crosnoe, Leventhal, Wirth, Pierce, & Pianta, 2010; Tong, Baghurst,
Vimpani, & McMichael, 2007). Selain itu, lingkungan belajar di rumah dan
waktu yang dihabiskan orang tua untuk berinteraksi dengan anak juga
berhubungan secara signifikan dengan perkembangan kognitif anak (Lukie,
Skwarchuk, LeFevre, & Sowinski, 2014; Niklas, Cohrssen, & Tayler, 2016).
 Teman sebaya
Selain memusatkan perhatian pada perkembangan anak secara
individu, Piaget mengemukakan bahwa diskusi yang dilakukan anak dengan
teman sebayanya memiliki peran dalam perkembangan kognitif anak (Tudge
& Rogoff, 1999). Selain itu, kehidupan sosial anak berguna bagi
perkembangan anak berpikir logis karena membuat anak menjadi lebih
matang (Tudge & Rogoff, 1999). Kematangan tersebut disebabkan oleh
proses equilibrium yang dicapai dari hasil pertukaran informasi dengan
teman sebaya (Piaget, dalam Tudge & Rogoff, 1999).
 Sekolah
Sekolah merupakan pengalaman sosial yang turut berperan dalam
perkembangan kognitif anak. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
interaksi antara anak dan guru di sekolah membantu anak mengembangkan
perkembangan kognitifnya, dimulai sejak anak masuk prasekolah hingga
remaja (Davis, 2003; Wolf, Crosson, & Resnick, 2005). Guru dapat
memengaruhi pengalaman intelektual anak dengan menanamkan nilai-nilai
tertentu pada anak, seperti motivasi anak untuk belajar (Davis, 2003),
sehingga guru dapat membantu anak untuk terlibat dalam kegiatan
pembelajaran yang membantu anak untuk meningkatkan kemampuan
kognitif yang dimiliki.

Universitas Indonesia
15

 Media
Media, terutama televisi juga dilihat sebagai faktor yang
memengaruhi perkembangan kognitif anak. Anak usia prasekolah telah
mampu mengimitasi tingkah laku yang mereka lihat dari televisi (Kirkorian,
Wartella, & Anderson, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kirkorian, Wartella, dan Anderson (2008) menyatakan bahwa anak yang
terpapar televisi dalam satu tahun pertama usia kehidupan berhubungan
dengan perkembangan kognitif yang kurang baik, sedangkan anak di atas
usia dua tahun yang menonton program televisi yang berisi konten edukasi
menampilkan peningkatan perkembangan kognitif.
d. Equilibration
Equilibration menyatukan dan mengontrol interaksi antara faktor bawaan
dan pengalaman, sehingga equilibration merupakan keseimbangan yang dicapai
dari hasil proses organization dan adaptation (Piaget, 1952). Kematangan,
pengalaman aktif, dan pengaruh lingkungan sosial menyebabkan disequilibrium
sementara sehingga memaksa sistem kognitif berubah untuk menyesuaikan
dengan informasi yang baru diterima (Miller, 2011). Proses equilibration
membantu faktor bawaan dan pengalaman untuk mempengaruhi perkembangan
kognitif, sehingga anak membangun sebuah model pemikiran yang sesuai
dengan realitas (Miller, 2011).

2.2 Pembentukan Konsep


2.2.1 Definisi Konsep
Anak mulai menggali informasi tentang dunia sekitarnya dengan cara menyadari
stimulus yang ada kemudian membuat konsep spesifik terkait dengan lingkungan yang
ditinggali oleh anak (Adriana & Andrea, 2017). Konsep tersebut didapatkan oleh anak dari
apa yang mereka alami dan didukung oleh beragam penjelasan anak mengenai fenomena
tertentu (Adriana & Andrea, 2017). Aktivitas yang dilakukan anak pada objek tertentu
merupakan penyebab yang paling utama pembentukan konsep pada anak yang dibangun
sedikit demi sedikit (Piaget, 1999). Dalam membangun konsep mengenai objek, anak

Universitas Indonesia
16

melakukan interaksi dengan lingkungan dengan mengenali dan melakukan generalisasi


secara berulang (Piaget, 1999). Konsep mengenai objek merupakan content atau isi dari
kognisi anak, yaitu skema yang mendasari berbagai tingkah laku anak terhadap objek
(Wadsworth, 2004).
Walaupun secara umum konsep diartikan sebagai bangunan dasar dari ide-ide,
konsep anak merupakan struktur pengetahuan yang lebih luas (Gelman, 2009). Konsep juga
merupakan dasar dari pengenalan objek, perencanaan tindakan, bahasa, dan pemikiran anak
(Kiefer & Pulvermüller, 2012). Konsep yang dimiliki anak adalah sebuah representasi
mental yang disamakan dengan kategori dari benda-benda, misalnya kepemilikan, peristiwa
atau keadaan, individu, dan ide-ide yang abstrak (Gelman, 2009). Konsep yang dimiliki
anak juga berperan penting dalam memproses informasi karena konsep membantu untuk
menghubungkan persepsi dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang (Kiefer &
Pulvermüller, 2012).
Dari telaah literatur yang telah dijabarkan di atas, peneliti menyimpulkan definisi
konsep dari berbagai sumber tersebut. Dalam penelitian ini, konsep didefinisikan sebagai
isi dari kognisi anak yang merupakan representasi mental dari bentuk pemahaman anak
terhadap lingkungan, serta menjadi dasar dari berbagai tingkah laku anak terhadap suatu
fenomena tertentu.

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep


Anak membentuk konsep yang dimilikinya dari hasil observasi dan tindakannya
dengan berbagai sumber informasi di sekitarnya (Gelman, 2009). Konsep anak tentang
dunia dibentuk melalui pengalaman yang memengaruhi kehidupannya, terdiri dari faktor
dari luar dan faktor dari dalam diri (Adriana & Andrea, 2017). Faktor tersebut antara lain
(Adriana & Andrea, 2017):
a. Faktor dari luar
 Sosial
Faktor sosial, terutama keberadaan dan tindakan orang lain
merupakan faktor yang memengaruhi pembentukan konsep pada anak.
Tindakan orang lain, yaitu bagaimana orang lain mengelompokkan berbagai

Universitas Indonesia
17

objek di lingkungan dan bagaimana mereka menggunakan objek secara


fungsional, membantu anak untuk membangun konsep mengenai objek
tersebut (Gelman, 2009; Meltzoff, 2007). Dalam hal ini, anak mempelajari
suatu objek dari mengamati orang lain, kemudian membentuk konsep
dengan caranya sendiri.
Selain hasil observasi dari apa yang orang lain lakukan dengan
objek, umpan balik dari orang tua mengenai kesalahan anak secara konsisten
dapat menjadi penguatan terhadap pembentukan konsep pada anak (Gelman,
2009). Selain itu, pernyataan yang jelas maupun tersirat dari orang terdekat
juga membantu anak untuk mengembangkan konsep yang dimilikinya
(Harris & Koenig, 2006; Gelman, 2009). Frekuensi keterlibatan orang tua
melakukan percakapan dengan anak juga turut mendukung dan meluaskan
pemahaman anak mengenai beragam konsep tentang dunia (Gunderson &
Levine, 2011).
 Lingkungan
Selain faktor sosial, lingkungan di sekitar anak juga memengaruhi
pembentukan konsep pada anak. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
lingkungan rumah berhubungan erat dengan kompetensi anak dan
merupakan prediktor yang signifikan bagi perkembangan konsep dan literasi
anak (Anders, Rossbach, Weinert, Ebert, Kuger, Lehrl, & von Maurice,
2012; Niklas & Schneider, 2013). Lingkungan rumah juga memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konsep yang dimiliki
oleh anak serta memiliki hubungan yang signifikan pada kemampuan
penalaran anak ketika orang tua mendukung pemikiran dan pembelajaran
anak di kegiatan sehari-hari (Niklas, Cohrssen, & Tayler, 2016). Selain
lingkungan rumah, lingkungan sekolah juga memiliki pengaruh pada
peningkatan kemampuan penalaran yang dimiliki oleh anak dari berbagai
macam tes dan aktivitas yang dilakukan (Klauer, Willmes, & Phye, 2002).
b. Faktor dari dalam diri
Selain faktor dari luar, faktor yang terdapat dalam diri anak juga

Universitas Indonesia
18

memengaruhi pembentukan konsep pada anak. Faktor endogen tersebut


terdiri dari faktor individu, biologis dan psikologis anak dan berkembang
berdasarkan faktor yang terdapat di luar diri anak (Adriana & Andrea,
2017). Bagaimana anak mempersepsikan objek yang ada di hadapannya
memengaruhi anak membangun konsep tentang objek tersebut (Gelman,
2009; Rakison & Oakes, 2003).

2.3 Makanan
2.3.1 Definisi Makanan
Makanan merupakan kebutuhan utama manusia karena makanan berperan sebagai
sumber tenaga, pertumbuhan dan perkembangan secara optimal, juga sebagai kekebalan
tubuh untuk melindungi diri dari penyakit. Menurut Food and Agricultural
Organizations (FAO, 1999), makanan adalah setiap zat yang diolah, setengah diolah, atau
mentah yang berguna untuk dikonsumsi manusia, termasuk minuman, permen karet, dan
zat lain yang digunakan dalam pembuatan, persiapan, atau perawatan makanan, tetapi tidak
termasuk kosmetik, rokok, atau zat yang digunakan sebagai obat. Artinya, makanan
merupakan semua jenis bahan untuk dikonsumsi manusia. Dalam Bahasa Inggris, hanya
digunakan istilah food untuk menyatakan makanan, pangan, dan bahan makanan
(Almatsier, 2009). Di Indonesia, istilah makanan, pangan, dan bahan makanan dibedakan
menurut pengertiannya. Pangan merupakan istilah umum untuk semua bahan yang dapat
diolah menjadi makanan, sedangkan bahan makanan merupakan makanan yang belom
diolah atau dalam keadaan mentah (Almatsier, 2009). Pangan juga merupakan segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air yang diperuntukkan bagi konsumsi
manusia, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan pembuatan makanan (Kemenkes, 2014).
Sementara itu, definisi makanan adalah bahan selain obat yang berguna bila
dimasukkan ke dalam tubuh, yaitu yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur kimia
yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh (Almatsier, 2009). Makanan juga
didefinisikan sebagai pangan olahan hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan
atau tanpa bahan tambahan (BPOM, 2009). Berdasarkan pemaparan di atas, definisi

Universitas Indonesia
19

makanan yang digunakan oleh peneliti adalah semua hasil olahan pangan sebagai sumber
kandungan gizi yang berguna bagi tubuh untuk kelangsungan hidup manusia, tidak
termasuk pangan dan bahan makanan.

2.3.2 Jenis Makanan


Makanan beragam adalah berbagai makanan yang dikonsumsi, terdiri dari antar
kelompok pangan (makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah) maupun dalam setiap
kelompok pangan (Kemenkes, 2014). Terdapat berbagai jenis kelompok makanan
(Kemenkes, 2014), yaitu:
 Makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, antara lain: beras, kentang, singkong,
ubi jalar, jagung, talas, sagu, dan sukun.
 Lauk pauk sebagai sumber protein hewani dan nabati, antara lain: ikan, telur,
unggas, daging, susu, dan kacang-kacangan, serta hasil olahannya (tahu dan tempe).
 Sayuran adalah sayuran hijau dan sayuran berwarna lainnya, antara lain: timun,
tomat, bayam, brokoli, buncis, wortel, daun katuk, daun pepaya, dan daun singkong.
 Buah-buahan adalah buah yang berwarna, antara lain: alpukat, pisang, apel, anggur,
jeruk, dan mangga.

2.4 Konsep Makanan


Beberapa penelitian tentang konsep makanan pada anak usia prasekolah telah
dilakukan. Contento (1981) merupakan penelitian awal yang melihat konsep makanan pada
anak usia 5─11 tahun yang dibedakan ke dalam tahap perkembangan kognitif Piaget, yaitu
preoperational thought dan concrete operational. Hasil penelitian Contento (1981)
menemukan bahwa pada tahap preoperational, anak belum memahami makanan tetap sama
walaupun dipotong, dimasak, atau dilunakkan. Contento (1981) juga menemukan bahwa
pada tahap preoperational, anak telah mampu mengklasifikasikan makanan berdasarkan
delapan kategori berdasarkan persamaannya: makanan manis, buah, sayuran, minuman,
produk olahan susu, roti, gandum, daging dan ikan. Pada tahap preoperational, anak belum
dapat membedakan makanan dan jajanan (Contento (1981). Kebanyakan anak pada tahap
preoperational memiliki karakteristik persepsi yang egosentris pada saat menjelaskan efek

Universitas Indonesia
20

dari makanan dan tubuh (Contento, 1981). Anak usia prasekolah memandang makanan
tidak dicerna dalam tubuh, yaitu makanan masuk ke dalam perut dan tidak mengalami
perubahan di dalam tubuh (Contento, 1981). Selain itu, anak usia prasekolah juga telah
dapat menyebutkan makanan sehat, tetapi tidak dapat menjelaskan alasannya (Contento,
1981).
Serupa dengan penelitian Contento (1981), penelitian Michela dan Contento (1984)
juga menemukan hasil bahwa anak pada tahap preoperational telah mampu
mengkategorikan makanan berdasarkan jenisnya. Michela dan Contento (1984)
mengatakan bahwa anak pada tahap preoperational menggunakan kategori tradisional
semantik sebagai kriteria mengelompokkan makanan (misalnya buah, roti, sayur, dan
lainnya). Dari 28 sampel anak yang berada pada tahap preoperational, 40% anak
menyatakan bahwa vitamin hanya dapat ditemukan di dalam pil, 60% tidak mengetahui
tentang protein, 40% tidak mengetahui tentang kandungan lemak, dan seluruh anak (100%)
tidak mengetahui tentang karbohidrat (Michela & Contento, 1984).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf
(2007) tentang perkembangan kognitif dan persepsi anak terhadap buah dan sayur
menemukan hasil bahwa perkembangan kognitif berkaitan dengan ciri yang
dipertimbangkan anak ketika mengevaluasi jenis makanan tertentu. Anak usia prasekolah
menganggap bahwa tekstur, rasa, preferensi, dan penampilan adalah ciri penting bagi anak
untuk menyukai atau tidak menyukai makanan tertentu (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf,
2007). Anak usia prasekolah mengelompokkan makanan berdasarkan karakteristik konkret,
yaitu warna dan bentuk (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Walaupun begitu, anak
usia prasekolah telah mampu membedakan makanan yang sehat dan tidak sehat
berdasarkan preferensi dan efek terhadap pertumbuhan fisik (Zeinstra, Koelen, Kok, dan de
Graaf, 2007). Anak usia prasekolah telah mengetahui rasa asin, tetapi tidak mengetahui rasa
pahit (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Walaupun anak usia prasekolah telah
memiliki pemahaman rasa asam dan manis, mereka kesulitan dalam memberikan label pada
makanan tertentu (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Hasil penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) juga menyatakan
bahwa anak usia prasekolah belum mampu menggambarkan tentang kesehatan.

Universitas Indonesia
21

Kebanyakan anak usia 4─5 tahun tidak dapat mengelompokkan jenis makanan sehat dan
makanan tidak sehat secara tepat (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Mereka
menggunakan aturan yang konkret dan sederhana untuk mengkategorisasikan makanan
sehat dan tidak sehat, misalnya hubungan antara makanan dan warna, hubungan antara
makanan dan pertumbuhan fisik, dan preferensi (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Slaughter dan Ting (2010) juga melakukan penelitian tentang konsep makanan pada
100 orang partisipan di Australia, yang terdiri dari lima kelompok usia berbeda. Penemuan
Slaughter dan Ting (2010) pada anak usia prasekolah menyatakan bahwa anak usia lima
tahun sering menyebutkan hubungan antara makanan dengan pertumbuhan. Lebih jauh lagi,
penelitian tersebut menemukan bahwa anak usia lima tahun mengatakan bahwa seseorang
dapat mengecil atau menyusut apabila tidak makan atau melakukan diet yang tidak
seimbang (Slaughter & Ting, 2010). Anak usia lima tahun juga membahas kaitan antara
makanan dengan pertumbuhan pada komponen tujuan dari makan, efek dari kuantitas
makanan, dan efek dari makanan tertentu (Slaughter & Ting, 2010). Temuan penting
lainnya adalah anak usia lima tahun telah memiliki pemahaman mengenai makanan, salah
satunya adalah dengan menyebutkan bahwa makanan sehat dapat membuat seseorang
bertumbuh. Kemudian, ketika ditanya alasan bagaimana makanan sehat dapat membuat
seseorang bertumbuh, anak usia lima tahun akan menjawab dengan kebalikannya, misalnya
makanan tidak sehat dapat membuat seseorang menjadi kurus atau mengecil (Slaughter &
Ting, 2010).
Penelitian lain yang meneliti tentang konsep makanan pada anak usia prasekolah
adalah Zarnowiecki, Dollman, dan Sinn (2011) di Australia dengan sampel penelitian 192
anak umur lima hingga enam tahun. Penelitian tersebut menggali pengetahuan anak
mengenai makanan sehat dan makanan tidak sehat serta menguji apakah anak telah
memakan item makanan tersebut sebelumnya (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011). Hasil
penelitian tersebut adalah anak usia prasekolah telah mengidentifikasi sayur dan buah
secara tepat (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011). Selain itu, sebanyak 80% anak usia
prasekolah telah mengelompokkan makanan sebagai susu, roti, atau keju dan 90% anak
usia prasekolah telah mengenali makanan yang tidak sehat (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn,
2011).

Universitas Indonesia
22

2.5 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan


2.5.1 Peran Orang Tua
Keluarga merupakan model utama dan signifikan dari perilaku makan anak (Golan
& Weizman, 2001). Dalam hal ini, orang tua menjadi panutan dalam tingkah laku anak
yang berkaitan dengan kesehatan (Hart, Bishop, & Truby, 2002), termasuk perilaku makan.
Hasil penelitian Matheson, Spranger, dan Saxe (2002) dengan observasi dan wawancara
pada 24 orang anak usia prasekolah yang dilakukan selama dua tahun menemukan bahwa
orang tua yang menjadi contoh kurang baik dapat memengaruhi preferensi makanan dan
pengalaman makan pada anak. Misalnya, ketika orang tua memberikan komentar negatif
tentang rasa dan tekstur pada makanan membuat anak menjadi kurang ingin mencoba
makanan tersebut (Eliassen, 2011).
Orang tua menjadi sumber informasi bagi anak mengenai makanan dan kandungan
gizi (Mckinley et al., 2005). Pemberian makanan pada anak prasekolah biasanya masih
berada di bawah pengawasan orang tua (Raman, 2014), sehingga anak banyak
mendapatkan informasi mengenai makanan dari orang tua. Penelitian kualitatif Zeinstra,
Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) yang dilakukan pada 20 orang anak usia 5─12 tahun
tentang cara yang dilakukan oleh orang tua untuk memengaruhi kebiasaan makan mereka
juga menemukan bahwa hampir seluruh orang tua mencoba memengaruhi kebiasaan makan
anak melalui peraturan dan strategi yang diterapkan oleh orang tua terkait makan. Orang
tua anak usia prasekolah menggunakan pernyataan yang sederhana untuk mengajarkan anak
mengenai makan sehat (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Selain itu, orang tua
anak usia prasekolah juga menggunakan instrumental eating, yaitu anak dijanjikan akan
mendapat hadiah apabila anak makan dengan baik (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf,
2007). Strategi yang juga sering dilakukan oleh orang tua pada anak usia prasekolah adalah
taste masking, misalnya menggunakan makanan yang anak sukai dikombinasikan dengan
makanan yang kurang disukai oleh anak (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Berbagai cara yang dilakukan oleh orang tua tersebut mencerminkan bahwa orang
tua turut berperan dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah. Orang
tua yang menyiapkan makanan untuk anaknya turut melibatkan anak dan memberikan
informasi pada anak tentang makanan yang sebaiknya dikonsumsi dan tidak dikonsumsi

Universitas Indonesia
23

(Friedman, Bowden, & Jones, 2003; Kesuma, Novayelinda, & Sabrian, 2015). Observasi
yang dilakukan anak terhadap tindakan orang tuanya membantu anak untuk membentuk
konsep (Gelman, 2009), sehingga anak akan membangun konsep mengenai makanan ketika
orang tua memberikan contoh saat aktivitas makan bersama. Selain itu, frekuensi
keterlibatan orang tua melakukan percakapan dengan anak juga turut mendukung dan
meluaskan pemahaman anak mengenai beragam konsep tentang dunia (Gunderson &
Levine, 2011). Anak yang secara aktif melakukan pembicaraan dengan orang tua mengenai
makanan akan menambah pemahaman konsep yang mereka miliki mengenai makanan.

2.5.2 Peran Sekolah


Sekolah juga berperan dalam pembentukan konsep makanan pada anak prasekolah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemahaman konsep tentang makanan sehat dan
tidak sehat diperoleh anak melalui guru dan pelajaran di sekolah (Hart, Bishop, & Truby,
2002; McKinley et al., 2005; Zeinstra, Koelen, Kok, & de de Graaf, 2007). Hal serupa juga
dikemukakan dalam penelitian Slaughter dan Ting (2010) pada anak prasekolah hingga
mahasiswa di Australia, yaitu terdapat peran sekolah terhadap jawaban yang dikemukakan
oleh partisipan terkait makanan, terutama bagi sekolah yang memiliki kurikulum dengan
tema makanan dan gizi.
Anak usia prasekolah juga biasa mengasosiasikan konsumsi makanan tertentu,
seperti buah dan sayur, dengan program yang terdapat di sekolah (Zeinstra, Koelen, Kok,
dan de Graaf, 2007). Terdapat peran sekolah dalam pembentukan konsep makanan anak
mengenai makanan, ditunjukkan melalui perbedaan di sekolah dengan status sosial-
ekonomi tinggi dan sekolah dengan status sosial-ekonomi rendah karena berhubungan juga
dengan aturan makan dan makanan yang mampu disediakan oleh orang tua (Hart, Bishop,
& Truby, 2002).

2.5.3 Peran Media


Media juga berperan dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia
prasekolah. Banyaknya kemunculan iklan-iklan makanan di televisi dan internet juga
menjadi sumber informasi mengenai makanan yang memengaruhi konsep yang dimiliki

Universitas Indonesia
24

anak. Kemunculan iklan dan promosi dari berbagai produk makanan yang banyak
menyebutkan jenis makanan dan kandungan gizi memunculkan bukti bahwa media
berperan memberikan pesan yang positif terkait kesehatan kepada anak-anak (Hart, Bishop,
& Truby, 2002).
Salah satu sumber terbesar dari media yang memberikan pesan mengenai makanan
kepada anak-anak, khususnya kepada anak prasekolah, adalah televisi (Story & French,
2004). Televisi, meliputi iklan makanan dan program memasak, menjadi sumber informasi
mengenai makanan bagi anak-anak (McKinley et al., 2005). Survei yang terdapat di Inggris
menunjukkan hasil bahwa makanan merupakan kategori produk yang paling sering
ditayangkan di iklan televisi (Story & French, 2004). Anak usia 2─4 tahun melihat satu
iklan makanan rata-rata setiap lima menit sekali, serta melihat tiga jam untuk iklan
makanan setiap minggunya (Story & French, 2004).
Selain itu, internet dan situs media sosial, seperti youtube, juga berperan untuk
membentuk pengetahuan yang dimiliki anak tentang makanan (McKinley et al., 2005).
Berbagai iklan yang baru dan interaktif mengenai makanan banyak dipasarkan secara
daring melalui internet. Iklan produk makanan di internet menawarkan situs yang berisi
berbagai kegiatan yang menghibur, animasi, dan interaktif yang dikembangkan khusus
untuk anak-anak prasekolah, meliputi permainan, teka-teki pencarian kata, kontes, kuis,
tebak-tebakan, dan musik yang mengandung produk makanan tertentu (Story & French,
2004).

2.6 Anak Usia Prasekolah


2.6.1 Karakteristik Anak Usia Prasekolah
Anak usia prasekolah (2─7 tahun) tergolong ke dalam tahap perkembangan kognitif
preoperational thought. Selama tahap preoperational, pemikiran anak berubah meningkat
ke arah pemikiran konseptual dan representasional mengenai objek dan peristiwa, disebut
symbolic function atau semiotic function (Piaget & Inheider, 2000). Pada tahap
preoperational thought, anak sedang mengembangkan dua jenis representasi mental, antara
lain: (1) simbol, yaitu kesamaan yang menetap antara objek atau peristiwa, dan (2) tanda,
yaitu hal sementara yang berkaitan dengan objek atau peristiwa (Miller, 2011). Anak telah

Universitas Indonesia
25

mampu berpikir sendiri dan tidak terlalu bergantung pada penginderaan. Dalam hal ini,
anak tidak hanya melakukan penyesuaian perseptual dan motorik pada objek atau peristiwa,
tetapi anak telah menggunakan simbol (gambaran mental, bahasa, dan gerak tubuh) untuk
mewakili orang, objek, dan peristiwa (Piaget & Inheider, 2000).
Menurut Miller (2011), karakteristik utama pada tahap preoperational thought
adalah:
 Egocentrism
Egocentrism atau egosentrisme merupakan kecenderungan untuk
mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan diri anak
(Piaget & Inheider, 2000). Hal tersebut menunjukkan bahwa anak belum dapat
membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum dapat melihat
sudut pandang perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).
 Rigidity of Thought
Rigidity of thought atau kekakuan berpikir adalah pemikiran yang kurang
fleksibel, dicirikan dengan centration, yaitu kecenderungan anak untuk melihat atau
memikirkan salah satu karakteristik yang menonjol dari objek dan peristiwa serta
mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). Selain itu, pada
tahap preoperational, pemikiran anak dicirikan oleh lack of flexibility, yaitu
kecenderungan untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan
yang berhubungan dengan hal statis tersebut (Miller, 2011). Lebih jauh lagi, pada
tahap preoperational, anak memiliki ciri lack of reversibility, yaitu anak belum
mampu membalik rangkaian peristiwa, perubahan, atau langkah-langkah dalam
penalaran secara mental (Miller, 2011).
 Semilogical reasoning
Pada tahap preoperational, anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa alam
di kehidupan sehari-hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). Pemikiran
anak sering dihubungkan dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang
logis (Wadsworth, 2004). Anak menjelaskan suatu hubungan dan proses dengan
hal-hal yang semilogis dan belum memahami sebab-akibat.

Universitas Indonesia
26

 Limited social cognition


Kognisi sosial anak yang terbatas disebabkan oleh ciri anak pada tahap
preoperational yang terbatas, yaitu anak kurang mampu membedakan peran antara
dunia fisik dan sosial (Miller, 2011). Kognisi sosial yang terbatas tersebut juga
ditunjukkan oleh kurangnya komunikasi yang nyata dengan orang lain karena
egocentric speech sebagai hasil dari egosentrisme (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).
Selain itu, anak pada tahap preoperational juga belum memahami perbedaan antara
peristiwa alam dan tingkah laku manusia serta identitas orang atau objek ketika
terdapat perubahan dalam penampilan fisik (Miller, 2011; Piaget & Inheider, 2000)
Di sisi lain, Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) mengemukakan berbagai
karakteristik perkembangan kognitif anak pada tahap preoperational secara umum dan
berkaitan dengan konsep tentang makanan. Anak pada tahap preoperational memiliki
pemrosesan informasi yang terbatas, egosentris, dan cenderung fokus pada satu
karakteristik eksternal yang menarik (Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf, 2007). Dalam
pengambilan keputusan, anak pada tahap preoperational didasari oleh atribut yang
dipersepsikan paling menarik perhatian serta tidak mempertimbangkan adanya perubahan
(Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf, 2007). Selain itu, berpikir konkret dan semilogis juga
menjadi karakteristik anak pada tahap preoperational. Berkaitan dengan konsep makanan,
anak pada tahap preoperational tidak dapat membedakan makanan dan jajanan,
menganggap makanan yang dicerna tidak berubah di dalam perut, dapat menyebutkan
makanan sehat tetapi tidak dapat menjelaskan alasannya, memiliki preferensi merek
berdasarkan ciri persepsi dan afektif, serta menolak makanan berdasarkan rasa tidak suka,
bahaya, atau pemikiran sendiri (Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf, 2007).
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di Inggris juga menemukan bahwa anak-
anak dengan usia yang lebih muda cenderung mengklasifikasikan makanan yang sehat pada
karakteristik psikologis, misalnya dari segi rasa dan kesukaan mereka pada makanan
tersebut, sedangkan anak-anak dengan usia yang lebih tua menunjukkan kandungan gizi
dan efeknya pada metabolisme tubuh ketika menilai makanan yang berbeda (Hart, Bishop,
& Truby, 2002). Selain itu, terdapat pengelompokkan jawaban anak ketika memandang
makanan sehat dan tidak sehat, yaitu (1) food-health links, yaitu hubungan antara makanan

Universitas Indonesia
27

dan kesehatan (manfaat dan dampak); (2) food–nutrient links, yaitu hubungan antara
makanan dan kandungan gizi di dalamnya; (3) food preference, yaitu hubungan antara
makanan dan preferensi anak; (4) food quality, yaitu hubungan antara makanan dan dapat
dikonsumsi atau tidak (Hart, Bishop, & Truby, 2002).

Universitas Indonesia
BAB 3
METODE

Pada bab ini, akan diuraikan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, tipe dan
desain penelitian yang digunakan, kriteria dari partisipan penelitian, instrumen
penelitian yang dipakai, serta prosedur pelaksanaan penelitian dan analisis data.

3.1 Rumusan Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam Bab 1, peneliti
merumuskan pertanyaan utama dan pertanyaan turunan dalam penelitian ini.
3.1.1 Pertanyaan Utama
Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana gambaran konsep makanan pada masa kanak-kanak awal
berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget?
3.1.2 Pertanyaan turunan
Pertanyaan turunan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pemahaman tentang makanan yang dimiliki oleh anak usia
prasekolah?
b. Bagaimana karakteristik preoperational thought menggambarkan konsep
makanan pada anak usia prasekolah?
c. Pengalaman sosial (social experience) apa yang berperan dalam
pembentukan konsep tentang makanan pada anak usia prasekolah?

3.2 Tipe dan Desain Penelitian


Tipe penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menekankan pada situasi alamiah dari partisipan (Gravetter
& Forzano, 2012). Penelitian kualititatif didefinisikan sebagai proses memperoleh
pemahaman berdasarkan berdasarkan metode yang khas untuk menggali masalah sosial
atau tingkah laku manusia (Creswell, 1994). Lebih jauh lagi, Creswell (1994)
menyebutkan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti membangun sebuah gambaran
komples yang menyeluruh, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan partisipan
yang terperinci, dan melakukan penelitian pada situasi alamiah partisipan.

28

Universitas Indonesia
29

Tipe penelitian kualitatif digunakan pada penelitian ini karena memiliki tujuan
memahami pembentukan konsep dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah.
Penelitian ini juga berguna untuk menggali sebuah topik dan mengarahkan
perkembangan penelitian selanjutnya. Selain itu, sampel yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan anak usia prasekolah sehingga penelitian kualitatif sesuai
digunakan karena mampu merepresentasikan pemahaman konsep tentang makanan pada
anak usia prasekolah secara mendalam. Penelitian kualitatif dapat memberikan
informasi yang lebih jelas dan terperinci mengenai konsep makanan pada anak secara
alamiah serta bagaimana konsep tersebut dapat terbentuk dari lingkungan sosial mereka
(Xu & Jones, 2016).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan tidak dapat digolongkan
pada tipe penelitian kualitatif tertentu. Menurut Santoso dan Royanto (2017), terdapat
penelitian yang tidak termasuk dalam tipe khusus penelitian kualitatif (studi kasus,
etnografi, fenomenologi, dan sebagainya), tetapi memerlukan pendekatan kualitatif
karena bertujuan untuk menggali informasi tentang suatu gejala dari pengalaman,
persepsi, atau kebutuhan partisipan. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini berguna
untuk menggambarkan konsep makanan pada anak usia prasekolah berdasarkan teori
perkembangan kognitif Piaget. Penelitian ini kurang tepat digolongkan sebagai studi
kasus karena bukan tergolong kasus yang unik, tetapi memerlukan penjelasan mengenai
konsep makanan berdasarkan sudut pandang anak usia prasekolah. Santoso dan Royanto
(2017) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif digunakan untuk penelitian yang ingin
menggambarkan tentang proses, dinamika, atau penjelasan tentang suatu fenomena
berdasarkan perspektif partisipan.

3.3 Partisipan Penelitian


Partisipan dalam penelitian ini merupakan anak usia prasekolah (4─6 tahun) dan
orang tua serta pengasuh lainnya dari masing-masing anak tersebut. Usia 4─6 tahun
termasuk tahap perkembangan kognitif preoperational thought, yaitu kemampuan
menggunakan simbol atau representasi mental, seperti kata-kata, untuk menjelaskan
fenomena tertentu (Piaget & Inheider, 2000). Seluruh partisipan berasal dari Taman
Kanak-Kanak (TK) di wilayah Jakarta serta tinggal bersama kedua orang tuanya di
daerah Jakarta. Jenis kelamin partisipan adalah laki-laki dan perempuan. Status sosial
30

ekonomi partisipan menengah ke atas, dilihat dari penghasilan orang tua setiap bulan
lebih besar dari upah minimum regional DKI Jakarta (> Rp 3.500.000,00) dan tingkat
pendidikan orang tua (Diploma, S1/S2/S3). Penggolongan status sosial ekonomi juga
diperoleh dari Nielsen (dalam Mulyadi, 2011) yang membuat kategori pengeluaran >
Rp 2.250.000 sebagai status sosial ekonomi menengah ke atas.
Teknik pemilihan partisipan yang digunakan adalah snowball sampling.
Snowball sampling adalah jenis pemilihan partisipan dengan meminta rekomendasi
calon partisipan lainnya yang memenuhi kriteria untuk kepentingan penelitian
(Marshall, 1996). Peneliti membuat survei melalui google form yang dibagikan kepada
orang tua calon partisipan yang sesuai dengan kriteria. Lalu, peneliti meminta orang tua
calon partisipan tersebut untuk menyebarkannya kepada rekannya yang memenuhi
kriteria. Survei tersebut bertujuan untuk menjaring calon partisipan dan meminta
kesediaan menjadi partisipan dalam penelitian. Kemudian, peneliti menghubungi
beberapa orang yang telah mengisi survei untuk membuat janji bertemu dan melakukan
wawancara.

3.4 Instrumen Penelitian


3.4.1 Panduan Wawancara Anak
Instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah panduan
wawancara yang mengadaptasi 13 item pertanyaan wawancara Slaughter dan Ting
(2010) untuk mengetahui konsep makanan pada anak. Slaughter dan Ting (2010)
menyusun serangkaian pertanyaan baru yang berisi 13 item pertanyaan wawancara,
berdasarkan penelitian Wellman dan Johnson (1982) tentang hubungan input-output
makanan, Gellert (1962) tentang pencernaan dan transformasi makanan, serta Inagaki
dan Hatano (2002) tentang tujuan dari makan.
Empat komponen yang terdapat dalam pertanyaan wawancara, antara lain:
tujuan dari makan (purpose of eating), efek dari kuantitas yang berbeda pada makanan
(effects of different quantities of food), efek dari makanan tertentu (effects of specific
foods), dan efek dari diet yang tidak seimbang (effects of an unbalanced diet).
Komponen tersebut terdapat pada nomor item yang berbeda-beda yang akan dijabarkan
pada tabel di bawah ini.
31

Tabel 3.1 Komponen Instrumen Slaughter dan Ting (2010)


Komponen No. Item
Tujuan dari makan (purpose of eating) 1
Efek dari kuantitas yang berbeda pada makanan (effects of 2, 3, 4
different quantities of food)
Efek dari makanan tertentu (effects of specific foods) 6, 7, 8, 9, 10
Efek dari diet yang tidak seimbang (effects of an unbalanced 5, 11, 12, 13
diet)

3.4.2 Focus-group Discussion (FGD)


Setelah menerjemahkan pertanyaan wawancara dari penelitian Slaughter dan
Ting (2010), peneliti melakukan focus group discussion (FGD) kepada anak usia
prasekolah dan anak usia sekolah untuk melakukan uji coba pertanyaan wawancara
yang telah diadaptasi. Peneliti bersama tim melakukan focus-group discussion (FGD)
kepada dua belas orang anak usia prasekolah (4─6 tahun) dan enam orang anak usia
sekolah dasar (8─9 tahun). FGD dilaksanakan pada hari Selasa, 16 Januari 2018 di
sebuah TK di Jakarta Selatan, pada hari Rabu, 24 Januari 2018 di sebuah SD di Jakarta
Selatan, dan pada hari Rabu, 7 Februari 2018 di sebuah TK di Depok.
Dalam pelaksanaan FGD, peneliti juga menggunakan metode freelisting, yaitu
metode yang digunakan untuk menanyakan kepada partisipan dengan membuat daftar
nama dari sebuah kategori sebanyak-banyaknya dan merupakan metode yang paling
berperan untuk mengumpulkan informasi yang terkait dengan budaya (Bernard, 2011).
Metode freelisting digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan jenis makanan
yang biasa dikonsumsi oleh anak usia prasekolah.
Beragam jenis dan pengelompokkan makanan diperoleh dari Kementerian
Kesehatan RI (2014). Partisipan diminta untuk menyebutkan berbagai jenis makanan
pokok, lauk pauk, sayuran, dan buah-buahan yang mereka ketahui dan mereka
konsumsi. Hasil pengelompokkan makanan yang didapat dari FGD dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
32

Tabel 3.2 Pengelompokkan Makanan Hasil FGD


No. Penggolongan Makanan Jawaban Terbanyak Jumlah
1. Makanan Pokok Nasi 15 orang
2. Lauk Pauk Ayam 11 orang
3. Sayuran Bayam 7 orang
4. Buah-buahan Pisang 10 orang
5. Cemilan Biskuit 6 orang
6. Jajanan Ciki 5 orang

Hasil pengelompokkan makanan tersebut digunakan untuk mengganti jenis


makanan yang terdapat dalam pernyataan Slaughter dan Ting (2010) karena
menyesuaikan jenis makanan yang lebih sering dikonsumsi oleh anak-anak di
Indonesia. Selain itu, dari hasil FGD, peneliti melakukan revisi pada item-item
pernyataan dengan mengubah susunan kalimat beberapa pertanyaan agar lebih mudah
dimengerti. Peneliti juga menambah pertanyaan baru untuk dapat menggali jawaban
yang lebih mendalam dari partisipan, yaitu tentang jenis makanan sehat dan tidak sehat
beserta cirinya. Peneliti juga mengurangi pertanyaan yang tidak dapat terjawab saat
FGD. Peneliti juga mempertimbangkan pertanyaan utama (primary question) dan
pertanyaan tambahan (additional question) serta memberikan pertanyaan lanjutan untuk
menggali jawaban (probe question). Contoh pertanyaan wawancara yang direvisi
terdapat pada tabel 3.3.
Dari hasil revisi tersebut, didapatkan instrumen baru, yaitu panduan wawancara
yang akan digunakan sebagai instrumen dalam penelitian. Panduan wawancara
digunakan untuk membantu peneliti untuk mengontrol proses wawancara agar sesuai
dengan tujuan yang diinginkan, yaitu untuk memeroleh informasi mengenai konsep
makanan pada anak.
33

Tabel 3.3 Revisi Pertanyaan Wawancara


Pertanyaan Wawancara Revisi Komponen
Apakah roti baik untukmu Menurut kamu, nasi itu Efek dari makanan tertentu
atau tidak? Mengapa? makanan sehat atau tidak (effects of specific foods)
sehat?
Mengapa nasi itu disebut
makanan sehat atau tidak
sehat (sesuai jawaban
anak)?
Apakah wortel baik atau Menurut kamu, bayam itu Efek dari makanan tertentu
untukmu atau tidak? makanan sehat atau tidak (effects of specific foods)
Mengapa? sehat?
Mengapa bayam itu disebut
makanan sehat atau tidak
sehat (sesuai jawaban
anak)?
Apa yang terjadi apabila Apa yang terjadi apabila Efek dari kuantitas yang
seseorang makan terlalu kamu makan terlalu berbeda pada makanan
banyak setiap hari? banyak? Mengapa makan (effects of different
Bagaimana hal tersebut terlalu banyak bisa quantities of food)
bisa terjadi? membuat (jawaban anak)?
Apa yang terjadi apabila Dihapus karena sudah Efek dari kuantitas yang
seseorang hanya makan tercakup dalam pertanyaan berbeda pada makanan
satu kali setiap hari? “apa yang terjadi apabila (effects of different
kamu tidak makan?” quantities of food)
Makanan sehat itu apa Menambahkan pertanyaan Efek dari makanan tertentu
saja? tentang jenis serta ciri (effects of specific foods);
Kenapa makanan itu makanan sehat dan tidak Jenis dan ciri makanan
dikatakan sehat sehat
sehat?
34

3.4.3 Panduan Wawancara Orang Tua


Peneliti juga melakukan wawancara dengan orang tua dan orang-orang di sekitar
partisipan yang turut serta dalam mengasuh partisipan (misalnya, nenek atau asisten
rumah tangga) untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai konsep makanan
yang dimiliki anak usia prasekolah. Wawancara dengan orang tua juga merupakan
upaya peneliti untuk melakukan triangulasi data, yaitu menemukan data dari berbagai
sumber lainnya untuk mengkonfirmasi data yang diperoleh (Yin, 2011). Triangulasi
data juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan validitas penelitian (Yin,
2011).
Peneliti menyusun panduan wawancara yang akan diajukan kepada orang tua
partisipan. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara dengan orang tua dan pengasuh
diadaptasi dari penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) dan penelitian
Scaglioni, Salvioni, dan Galimberti (2008) yang berisi tentang strategi yang dilakukan
orang tua dalam menerapkan kebiasaan makan anak. Pertanyaan wawancara dibuat
dalam pertanyaan terbuka untuk menggali pengalaman sosial (social experience) dalam
pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah. Dalam panduan wawancara
orang tua, terdapat komponen pola makan anak, pola makan orang tua, interaksi anak
dan orang tua saat makan, serta konsumsi makanan anak. Contoh pertanyaan yang
menggambarkan masing-masing komponen terdapat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.4 Panduan Wawancara Orang Tua


Komponen Contoh Pertanyaan
Pola makan anak Bagaimana kebiasaan makan anak Ibu/Bapak?
Pola makan orang tua Bagaimana kebiasaan makan Ibu/Bapak sehari-
hari?
Interaksi anak dan orang tua saat Apakah ada aktivitas lain yang Ibu/Bapak
makan lakukan ketika menemani anak makan?
Bagaimana cara Ibu/Bapak mengenalkan
makanan kepada anak?
Konsumsi makanan anak Siapa yang biasa menyiapkan makanan anak?
Apakah anak Ibu/Bapak dilibatkan dalam proses
menyiapkan makanan?
35

3.4.4 Alat Bantu Penelitian


Selain panduan wawancara, peneliti juga menggunakan alat bantu penelitian,
yaitu alat perekam berupa perekam suara telepon genggam, alat tulis, dan form yang
berisi tabel catatan peneliti. Alat bantu tersebut bermanfaat bagi peneliti untuk merekam
situasi yang sesuai dalam memberikan gambaran yang jelas terkait fenomena yang
diteliti (Santoso & Royanto. 2017). Alat perekam berguna untuk menangkap
keseluruhan proses wawancara yang akan memudahkan peneliti untuk membuat
verbatim dan transkrip wawancara. Di samping itu, alat tulis dan form tabel catatan
berguna bagi peneliti untuk mencatat jawaban partisipan sesuai pertanyaan wawancara
serta membuat catatan observasional terkait hal-hal apa saja yang muncul pada saat
proses wawancara.
Peneliti juga menyiapkan lembar kesediaan (informed consent) yang berguna
untuk meminta persetujuan partisipan untuk diwawancarai. Informed consent tersebut
diberikan kepada orang tua untuk meminta izin mengikutsertakan anaknya pada
penelitian ini (parental consent), karena pada pelaksanaan penelitian yang dilakukan
kepada anak, perlu didapatkan persetujuan dari orang tua anak tersebut. Selain itu,
peneliti juga memberikan informed consent yang berisikan bahwa orang tua dari
partisipan juga bersedia untuk diwawancarai. Dalam informed consent tersebut
dijelaskan bahwa data yang diberikan terjamin kerahasiaannya (confidentiality) dan
hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian. Selain informed consent dan
parental consent, peneliti juga menyiapkan form berisi data demografis untuk diisi oleh
orang tua partisipan.
Peneliti membawa gambar anggur dan/atau wortel, krayon, serta potongan kertas
origami berwarna untuk membangun rapport pada partisipan dengan mengajaknya
bermain. Peneliti juga mencetak gambar sayuran dan buah-buahan yang diperoleh dari
internet, lalu menempelkannya pada stik es krim. Gambar sayuran tersebut antara lain:
bayam, wortel, terong, buncis, dan kacang panjang, sedangkan gambar buah-buahan
tersebut antara lain: apel, anggur, lemon, pisang, dan stroberi. Gambar sayuran dan
buah-buahan tersebut berguna untuk membantu peneliti mengetahui apakah anak usia
prasekolah telah atau belum mengenal jenis sayuran dan buah-buahan.
36

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan, peneliti berdiskusi dengan pembimbing untuk membahas
topik yang ingin diteliti. Setelah mendapatkan topik, peneliti menentukan fenomena
sebagai latar belakang penelitian. Kemudian, peneliti melakukan telaah literatur
mengenai topik yang diteliti. Studi literatur dilakukan dengan membaca berbagai buku,
artikel jurnal, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas topik penelitian.
Setelah itu, peneliti mempelajari dan menerjemahkan instrumen yang akan digunakan
dalam penelitian, yaitu pertanyaan wawancara Slaughter dan Ting (2010). Peneliti juga
menyusun panduan wawancara yang akan diajukan dalam focus-group discussion
(FGD).
Peneliti melakukan FGD untuk menguji coba panduan wawancara yang akan
digunakan dalam penelitian ini. FGD juga berguna untuk mendapatkan jenis makanan
yang biasa dikonsumsi oleh anak prasekolah untuk menggantikan jenis makanan yang
terdapat dalam alat ukur Slaughter dan Ting (2010). Pertanyaan wawancara yang telah
disusun didiskusikan bersama pembimbing, lalu setelah mendapat persetujuan, peneliti
melakukan FGD di dua buah TK dan sebuah SD.
Setelah melakukan FGD, peneliti menulis hasil FGD dan laporan pelaksanaan
FGD. Peneliti juga melakukan revisi panduan wawancara anak yang akan digunakan
dalam pengumpulan data. Peneliti juga menyusun panduan wawancara yang akan
diajukan kepada orang tua partisipan. Untuk mendapatkan partisipan, peneliti membuat
dan menyebarkan survei kepada orang tua partisipan dengan kriteria yang sesuai. Lalu,
peneliti menghubungi orang tua partisipan yang telah mengisi survei untuk menentukan
waktu dilaksanakannya wawancara.
3.5.2 Tahap Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Peneliti
menggunakan teknik wawancara semi-structured. Dalam wawancara semi-structured,
peneliti menggunakan panduan wawancara, yaitu daftar pertanyaan dan topik yang
harus diajukan pada saat wawancara, biasanya dibuat dengan urutan tertentu (Cohen,
2006). Namun, wawancara semi-structured juga mengizinkan peneliti untuk
mengajukan pertanyaan lain yang relevan di luar pertanyaan wawancara (Cohen, 2006).
Urutan pertanyaan yang pasti (fixed order) dipilih karena pertanyaan telah dibuat dalam
37

bentuk umum hingga yang lebih khusus. Hal tersebut ditujukan agar membantu
partisipan mengelaborasi jawaban ke pertanyaan yang lebih spesifik.
Selain wawancara, peneliti menggunakan metode observasi untuk merekam hal-
hal khusus yang terjadi pada saat pelaksanaan wawancara. Peneliti juga membuat
catatan observasional tentang apa yang terjadi di lapangan. Terdapat tiga jenis catatan
observasional yang dikemukakan oleh Willig (2013), antara lain: (1) catatan substantif,
yaitu catatan tentang deskripsi latar penelitian, kejadian-kejadian, dan keadaan
partisipan saat diteliti; (2) catatan metodologis, yaitu catatan terkait proses penelitian,
seperti peran partisipan dalam penelitian, hubungan antara partisipan dan peneliti, dan
hambatan yang ditemui saat pelaksanaan penelitian; dan (3) catatan analitis, yaitu
catatan yang merekam tema, hubungan, dan pola yang muncul saat pelaksanaan
penelitian. Dalam penelitian ini, catatan substantif dan catatan metodologis digunakan
oleh peneliti untuk memberikan gambaran partisipan penelitian, sementara catatan
analitis membantu peneliti menganalisis konsep makanan, pembentukan konsep
makanan, dan social experience yang berperan dalam pembentukan konsep makanan
pada anak usia prasekolah.
Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 19, 20, 21 Maret, dan 12 April
2018 di tempat tinggal masing-masing partisipan. Saat kedatangan, peneliti menjelaskan
prosedur penelitian kepada orang tua dari partisipan. Peneliti juga meminta izin untuk
melakukan wawancara dengan anak dan orang tua serta orang terdekat yang juga turut
serta mengasuh anak. Peneliti juga menyerahkan informed consent, parental consent,
dan formulir data demografis kepada orang tua partisipan. Peneliti membangun rapport
dengan orang tua partisipan dengan mengajak berbincang-bincang tentang keseharian
anak dan orang tua. Peneliti mengajak partisipan untuk berkenalan serta memainkan
mainan yang dimiliki dan/atau disukai oleh partisipan.
Pada saat pelaksanaan, peneliti memulainya dengan memberikan informasi
bahwa partisipan akan diberikan serangkaian pertanyaan mengenai makanan, serta
diberitahukan bahwa tidak ada jawaban yang salah dan benar dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan. Partisipan diberikan permainan yang berkaitan dengan
makanan untuk membuat mereka nyaman dan mulai menghasilkan pemikiran terkait
makanan. Permainan tersebut berupa gambar anggur dan/atau wortel serta potongan
kertas origami berwarna. Partisipan diminta untuk menempelkan potongan kertas
38

origami berwarna di atas gambar anggur dan/atau wortel yang diberikan oleh peneliti.
Selain menempel, partisipan juga diperbolehkan untuk mewarnai gambar yang masih
belum terisi potongan kertas origami berwarna.
Peneliti membuka wawancara dengan menanyakan apakah partisipan suka
makan atau tidak. Selanjutnya, peneliti mulai menanyakan 12 item pertanyaan beserta
probing yang terdapat dalam panduan wawancara. Setelah semua pertanyaan terjawab
oleh partisipan, peneliti juga memberikan stik gambar sayuran dan buah-buahan.
Peneliti menanyakan kepada partisipan mengenai nama sayuran dan buah-buahan yang
terdapat dalam gambar untuk mengetahui apakah partisipan mengenal jenis sayuran dan
buah-buahan tersebut. Kemudian, peneliti melanjutkan wawancara dengan orang tua
partisipan dan pengasuh lainnya menggunakan panduan wawancara untuk orang tua.
3.5.3 Analisis Data
Wawancara tersebut direkam, kemudian dituliskan secara penuh (verbatim) pada
transkrip wawancara dan dilanjutkan dengan pengkodean. Selain itu, peneliti melakukan
pengorganisasian data dan analisis individual (intra kasus). Analisis intra kasus
merupakan uraian lengkap dan rinci dari masing-masing partisipan yang berisikan
gambaran partisipan dan temuan penelitian (Santoso & Royanto, 2017). Analisis
individual tersebut kemudian diintegrasikan menjadi analisis antar partisipan (inter
kasus). Analisis inter kasus yang digunakan peneliti adalah dengan melakukan
perbandingan atau constant comparison, yaitu melihat pola kesamaan aspek yang
diteliti antar partisipan (Santoso & Royanto, 2017).
Metode analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah metode analisis
tematik. Metode analisis tematik merupakan metode yang digunakan dengan cara
mengidentifikasi secara sistematis, mengorganisir, dan memberikan pemahaman
berbentuk pola serangkaian makna atau tema antar data, sehingga peneliti dapat melihat
dan memahami pemaknaan kolektif dari partisipan (Braun & Clarke, 2014). Terdapat
dua pendekatan dalam analisis tematik, yaitu pendekatan induktif (bottom-up) dan
pendekatan deduktif (top-down atau theory-driven) (Braun & Clarke, 2014; Willig,
2013). Pendekatan induktif menekankan peneliti membuat kerangka kode dari data yang
telah diperoleh, sedangkan pendekatan deduktif menekankan peneliti membuat
kerangka kode dari teori, konsep, atau ide yang telah ada (Braun & Clarke, 2014).
39

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan induktif dan pendekatan


deduktif pada analisis tematik. Pendekatan induktif digunakan untuk menganalisis
gambaran konsep makanan yang dimiliki oleh anak usia prasekolah secara umum dan
bagaimana pengalaman sosial (social experience) yang memengaruhi pembentukan
konsep makanan pada anak usia prasekolah. Sementara itu, pendekatan deduktif
digunakan untuk menganalisis konsep makanan berdasarkan Slaughter & Ting (2010)
serta apakah konsep makanan yang dimiliki oleh anak usia prasekolah sesuai dengan
karakteristik preoperational thought menurut Piaget dan Inheider (2000) serta Miller
(2011).
Dalam analisis tematik, terdapat tiga langkah yang harus dilakukan oleh peneliti,
yaitu memberikan kode, pengelompokkan tema, dan meninjau kembali tema yang telah
dibuat (Willig, 2013). Langkah pertama, peneliti memberikan kode pada data yang telah
diperoleh. Pemberian kode bertujuan untuk mengidentifikasi dan menyediakan label
pada data yang relevan dengan pertanyaan penelitian (Braun & Clarke, 2014). Dalam
memberikan kode, peneliti harus membaca seluruh data yang dimiliki, mulai dari
transkrip wawancara, rekaman suara, dan lain-lain.
Pengelompokkan kode konsep makanan pada anak usia prasekolah
menggunakan komponen dari konsep makanan Slaughter dan Ting (2010), yaitu tujuan
dari makan (purpose of eating), efek dari kuantitas yang berbeda pada makanan (effects
of different quantities of food), efek dari makanan tertentu (effects of specific foods), dan
efek dari diet yang tidak seimbang (effects of an unbalanced diet) yang terdapat pada
item pertanyaan wawancara yang telah disebutkan pada tabel 3.1. Kemudian, peneliti
juga menambahkan tiga kategori baru yang muncul dalam pertanyaan pada panduan
wawancara yang telah direvisi, yaitu jenis dan ciri makanan sehat, jenis dan ciri
makanan tidak sehat, serta jenis sayuran dan buah-buahan.
Tabel 3.5 Coding Konsep Makanan
Komponen Konsep Makanan Coding
Tujuan dari Makan TDM
Efek dari Kuantitas Makanan EKM
Efek dari Makanan Tertentu EMT
Efek Diet yang Tidak Seimbang EDT
Jenis dan Ciri Makanan Sehat MS
40

Tabel 3.5 (lanjutan)


Komponen Konsep Makanan Coding
Jenis dan Ciri Makanan Tidak Sehat MTS
Jenis Sayuran dan Buah-buahan JSB

Sementara itu, pengkodean pada karakteristik preoperational thought dalam


konsep makanan diperoleh dari Piaget dan Inheider (2000) serta Miller (2011).

Tabel 3.6 Coding Karakteristik Preoperational Thought


Karakteristik Deskripsi Jawaban Coding
Preoperational Thought
Mental representation: Melihat kesamaan yang menetap antara objek MR
symbol and sign atau peristiwa
Egocentrism Mempersepsi, memahami, dan EGO
menginterpretasi dunia sesuai pengalaman diri
anak
Centration Melihat atau memikirkan salah satu ROT_CE
Rigidity of karakteristik yang menonjol dari objek dan
Thought peristiwa serta mengabaikan karakteristik
yang lainnya
Lack of Fokus pada hal yang statis dibandingkan ROT_LF
Flexibility dengan perubahan yang berhubungan dengan
hal statis tersebut
Lack of Anak belum mampu membalik rangkaian ROT_LR
Reversibility peristiwa, perubahan, atau langkah-langkah
dalam penalaran secara mental
Semilogical Reasoning Pemikiran anak sering dihubungkan dalam hal SLR
yang luas dibandingkan dengan hubungan
yang logis
Limited Social Cognition Kurangnya komunikasi yang nyata dengan LSC
orang lain karena egocentric speech
Sumber (telah diolah kembali): Piaget & Inheider (2000); Miller (2011)
41

Dari tabel 3.5 dan 3.6, peneliti membuat daftar kode yang digunakan dalam
analisis hasil wawancara dengan anak untuk melihat bagaimana konsep makanan anak
ditinjau dengan teori perkembangan kognitif Piaget, yang dapat dilihat pada tabel 3.7.

Tabel 3.7 Daftar Kode Analisis Anak


No. Kode Kategori Karakteristik Kategori Konsep
Preoperational Thought Makanan
1. TDM_MR Mental Representation Tujuan dari Makan
2. TDM_EGO Egocentrism Tujuan dari Makan
3. TDM_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Tujuan dari Makan
4. TDM_ROT_LR Rigidity of Thought: Tujuan dari Makan
Lack of Reversibility
5. TDM_ROT_LF Rigidity of Thought: Tujuan dari Makan
Lack of Flexibility
6. TDM_SLR Semilogical Reasoning Tujuan dari Makan
7. TDM_LSC Limited Social Cognition Tujuan dari Makan
8. EKM_MR Mental Representation Efek dari Kuantitas
Makanan
9. EKM_EGO Egocentrism Efek dari Kuantitas
Makanan
10. EKM_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Efek dari Kuantitas
Makanan
11. EKM_ROT_LF Rigidity of Thought: Efek dari Kuantitas
Lack of Reversibility Makanan
12. EKM_ROT_LR Rigidity of Thought: Efek dari Kuantitas
Lack of Flexibility Makanan
13. EKM_SLR Semilogical Reasoning Efek dari Kuantitas
Makanan
14 EKM_LSC Limited Social Cognition Efek dari Kuantitas
Makanan
15. EMT_MR Mental Representation Efek dari Makanan
Tertentu
16. EMT_EGO Egocentrism Efek dari Makanan
Tertentu
17. EMT_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Efek dari Makanan
Tertentu
18. EMT_ROT_LF Rigidity of Thought: Efek dari Makanan
Lack of Reversibility Tertentu
19. EMT_ROT_LR Rigidity of Thought: Efek dari Makanan
Lack of Flexibility Tertentu
42

Tabel 3.7 (lanjutan)

No. Kode Kategori Karakteristik Kategori Konsep


Preoperational Thought Makanan
20. EMT_SLR Semilogical Reasoning Efek dari Makanan
Tertentu
21. EMT_LSC Limited Social Cognition Efek dari Makanan
Tertentu
22. EDT_MR Mental Representation Efek Diet Tidak
Seimbang
23. EDT_EGO Egocentrism Efek Diet Tidak
Seimbang
24. EDT_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Efek Diet Tidak
Seimbang
25. EDT_ROT_LF Rigidity of Thought: Efek Diet Tidak
Lack of Reversibility Seimbang
26. EDT_ROT_LR Rigidity of Thought: Efek Diet Tidak
Lack of Flexibility Seimbang
27. EDT_SLR Semilogical Reasoning Efek Diet Tidak
Seimbang
28. EDT_LSC Limited Social Cognition Efek Diet Tidak
Seimbang
29. MS_MR Mental Representation Jenis dan Ciri Makanan
Sehat
30. MS_EGO Egocentrism Jenis dan Ciri Makanan
Sehat
31. MS_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Jenis dan Ciri Makanan
Sehat
32. MS_ROT_LF Rigidity of Thought: Jenis dan Ciri Makanan
Lack of Reversibility Sehat
33. MS_ROT_LR Rigidity of Thought: Jenis dan Ciri Makanan
Lack of Flexibility Sehat
34. MS_SLR Semilogical Reasoning Jenis dan Ciri Makanan
Sehat
35. MS_LSC Limited Social Cognition Jenis dan Ciri Makanan
Sehat
36. MTS_MR Mental Representation Jenis dan Ciri Makanan
Tidak Sehat
37. MTS_EGO Egocentrism Jenis dan Ciri Makanan
Tidak Sehat
38. MTS_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Jenis dan Ciri Makanan
Tidak Sehat
43

Tabel 3.7 (lanjutan)

No. Kode Kategori Karakteristik Kategori Konsep


Preoperational Thought Makanan
39. MTS_ROT_LF Rigidity of Thought: Jenis dan Ciri Makanan
Lack of Reversibility Tidak Sehat
40. MTS_ROT_LR Rigidity of Thought: Jenis dan Ciri Makanan
Lack of Flexibility Tidak Sehat
41. MTS_SLR Semilogical Reasoning Jenis dan Ciri Makanan
Tidak Sehat
42. MTS_LSC Limited Social Cognition Jenis dan Ciri Makanan
Tidak Sehat
43. JSB_MR Mental Representation Jenis Sayuran dan Buah-
buahan
44. JSB_EGO Egocentrism Jenis Sayuran dan Buah-
buahan
45. JSB_ROT_CE Rigidity of Thought: Centration Jenis Sayuran dan Buah-
buahan
46. JSB_ROT_LF Rigidity of Thought: Jenis Sayuran dan Buah-
Lack of Reversibility buahan
47. JSB_ROT_LR Rigidity of Thought: Jenis Sayuran dan Buah-
Lack of Flexibility buahan
48. JSB_SLR Semilogical Reasoning Jenis Sayuran dan Buah-
buahan
49. JSB_LSC Limited Social Cognition Jenis Sayuran dan Buah-
buahan

Selain memberikan kode pada transkrip wawancara dengan anak, peneliti juga
memberikan kode pada transkrip wawancara dengan orang tua. Pada penjabaran
mengenai pembentukan konsep makanan anak, peneliti membuat kategori dari jawaban
yang muncul dalam transkrip wawancara. Kategori tersebut terdiri dari kebiasaan
makan, cara makan, aktivitas saat makan, jenis makanan yang disukai, aturan makan,
strategi yang dilakukan, pengenalan makanan, dan respon terhadap makanan baru.
Selain itu, peneliti juga mengelompokkan kategori mengenai social experience dalam
pembentukan konsep makanan pada anak dan diberikan kode berdasarkan temuan di
lapangan. Pemberian kode pada wawancara orang tua tersebut dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
44

Tabel 3.8 Daftar Kode Analisis Orang Tua


No. Kode Keterangan Kategori
1. KM_PAM Pola Makan Kebiasaan Makan
2. KM_POM Porsi Makan Kebiasaan Makan
3. KM_NM Nafsu Makan Kebiasaan Makan
4. CM_DS Disuapi Cara Makan
5. CM_MS Makan Sendiri Cara Makan
6. AK_MT Menonton Televisi Aktivitas Saat Makan
7. AK_BM Bermain Aktivitas Saat Makan
8. AK_MG Bermain gadget Aktivitas Saat Makan
9. JM_TK Tekstur (halus, lembut, Jenis Makanan yang
empuk) Disukai
10. JM_RS Rasa (manis, gurih, Jenis Makanan yang
berbumbu) Disukai
11. AT_CM Cara Makan (duduk, tidak Aturan Makan
berjalan-jalan,
menghabiskan makanan)
12. AT_JM Jenis Makanan (tidak Aturan Makan
diperbolehkan makan
makanan tertentu)
13. SD_RP Reward dan punishment Strategi yang
(pemberian hadiah dan/atau Dilakukan
hukuman)
14. SD_BR Bargaining (memberikan Strategi yang
pengganti dan/atau Dilakukan
alternatif lain)
15. PM_SM Langsung pada saat makan Pengenalan Makanan
16. PM_DC Diberikan sedikit untuk Pengenalan Makanan
dicoba
17. PM_MD Melalui media Pengenalan Makanan
18. PM_SK Melalui sekolah Pengenalan Makanan
45

Tabel 3.8 (lanjutan)

No. Kode Keterangan Kategori


19. PM_TS Melalui teman sebaya Pengenalan Makanan
20. MB_JM Jarang mau mencoba Respon terhadap
makanan baru Makanan Baru
21. MB_MC Mau mencoba makanan Respon terhadap
baru Makanan Baru
22. MB_AN Menganalisis makanan Respon terhadap
baru Makanan Baru
23. MB_KL Mencoba bersama keluarga Respon terhadap
Makanan Baru
24. MB_HT Berhati-hati dengan Respon terhadap
makanan baru Makanan Baru
25. SOC_IBU Ibu Social Experience
26. SOC_AY Ayah Social Experience
27. SOC_NN Nenek Social Experience
28. SOC_KK Kakek Social Experience
29. SOC_ART Pengasuh atau Asisten Social Experience
Rumah Tangga
30. SOC_SK Sekolah Social Experience
31. SOC_TS Teman Sebaya Social Experience
32. SOC_MD Media Social Experience
Langkah kedua, peneliti memaknai kode-kode yang telah diperoleh, kemudian
mengelompokkannya menjadi tema-tema (Willig, 2013). Tema tersebut bertujuan untuk
menggambarkan hal penting dari data yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian,
serta merepresentasikan pola respons atau pemaknaan dari serangkaian data (Braun &
Clarke, 2014). Langkah terakhir dalam analisis tematik adalah meninjau kembali tema-
tema yang telah dibuat agar memberikan penjelasan yang mengarah kepada pertanyaan
penelitian (Willig, 2013). Hal tersebut dilakukan oleh peneliti dengan cara
mengidentifikasi apakah ada tema yang tidak relevan yang sebaiknya dihilangkan, atau
menggabungkan tema-tema tersebut ke dalam satu tingkatan yang lebih tinggi (Braun &
Clarke, 2014).
BAB 4
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

Pada bab ini, akan diuraikan mengenai hasil dan analisis penelitian berdasarkan
data yang diperoleh. Penjelasan dari bab ini akan diawali dengan data demografis
partisipan. Kemudian peneliti akan menjabarkan analisis intra kasus, meliputi deskripsi
dari konsep makanan yang dimiliki oleh masing-masing partisipan, pembentukan
konsep makanan, dan social experience dalam pembentukan konsep makanan pada
masing-masing partisipan. Peneliti juga akan menguraikan analisis inter kasus, yaitu
hasil analisis tematik dari keseluruhan partisipan.

4.1 Data Demografis Partisipan


Berikut merupakan data demografis partisipan dalam penelitian ini.

Tabel 4.1 Data Demografis Partisipan


Partisipan 1 2 3 4
Inisial Nama A B C D
Usia 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Domisili Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Timur Jakarta Selatan
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan
Inisial Orang Tua W X Y Z
Pendidikan
Ayah S1 S1 S1 S1
Terakhir
Orang Tua Ibu S1 S1 S2 Diploma
Penghasilan
> Rp 5.000.000 > Rp 5.000.000 > Rp 5.000.000 > Rp 5.000.000
Orang Tua
Pengeluaran
> Rp 2.250.000 > Rp 2.250.000 > Rp 2.250.000 > Rp 2.250.000
Orang Tua per bulan

4.2 Analisis Intra Kasus 1


4.2.1 Gambaran Partisipan A
Wawancara dengan A dilakukan di tempat tinggal A yang berada di wilayah
Jakarta Timur. Pengambilan data dilakukan pada Senin, 19 Maret 2018 pukul

45

Universitas Indonesia
46

12.00─16.00. Saat itu, A sedang bermain di karpet ruang keluarga bersama adiknya, E,
yang berusia dua tahun. A adalah seorang anak berusia enam tahun. A bertubuh kurus
dan cukup tinggi untuk anak seusianya. A sedang memakai baju kaus berwarna merah
dan celana pendek selutut berwarna hitam. A adalah anak yang aktif, ditunjukkan
dengan sering berlari sambil membawa mainannya. A bersekolah di salah satu sekolah
Islam Internasional dan berlokasi di Jakarta Timur. A bersekolah pada hari Senin-Jumat,
sejak pukul 08.00 lalu pulang pukul 16.30. A tinggal di rumah bersama ayah, ibu, dan
E, adiknya. Terdapat asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya, tetapi tidak
menetap tinggal bersama.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti berkenalan dengan W, ibu A dan A. A
langsung menanyakan kepada ibunya tentang peneliti. Peneliti juga menjelaskan bahwa
peneliti akan mengajak A bermain dan menanyakan beberapa hal. Peneliti juga
memberikan informed consent dan data demografis untuk diisi oleh W, ibu A, sebagai
persetujuan dilakukannya wawancara. Ketika sedang mengobrol dengan ibu A, A
merengek meminta makan es krim. Awalnya ibu A tidak memperbolehkan, tetapi
kemudian mengambilkan es krim dengan syarat setelah makan es krim, A harus makan
nasi. Selagi A memakan es krimnya, peneliti mengobrol dengan Ibu A tentang A dan
kesehariannya. Setelah A selesai makan es krim, ibu A menyuapi A dan adiknya, E,
makan nasi. Peneliti juga mengajak A dan E bermain lego miliknya serta permainan
bola keranjang dengan kotak mainan. Sesudah A makan nasi, kira-kira pukul 13.30,
peneliti mulai melakukan wawancara dengan A.
Selama proses wawancara, A sangat aktif. A sangat senang bergerak. Tampak ia
sering berlari dari satu ruangan ke ruangan lain sambil memainkan sesuatu. Beberapa
kali atensinya mudah teralihkan pada benda-benda di sekelilingnya. A juga sesekali
mengulangi kata-kata yang telah ia sebutkan. A juga beberapa kali rambling, mengoceh
secara tidak jelas. Di samping itu, A juga sering menyebutkan kata atau kalimat yang
hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, sehingga peneliti harus menanyakan kembali
pertanyaan yang telah diajukan. Hal tersebut menggambarkan karakteristik
preoperational thought, yaitu kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition),
ditandai dengan adanya egocentric speech, yaitu kurangnya komunikasi yang nyata
dengan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).

Universitas Indonesia
47

“Soalnya makan itu daha.” (TDM_LSC)


“Bukan jahat... Daha.” (TDM_LSC)
“Daha... Nenek-nenek.” (TDM_LSC)
“Bwaacucaahfacucaa. Terus dipeee heh mana krayon saya satu lagi (mencari
krayonnya)” (TDM_LSC)

A juga sering menjawab pertanyaan wawancara sesuai dengan benda-benda


yang sedang ia pegang, tidak memerhatikan pertanyaan wawancara dengan serius. A
juga sering bercerita tentang apa yang dipikirkan. A juga sesekali mengekspresikan
jawaban dengan bercerita melalui gambar yang ia buat di atas kertas menggunakan
krayon berwarna merah.

“(mulai menggambarkan apa yang ia maksud) kalo orang gendut jadi kayak
gini.. Jadi kurus… kalo jadi…. Kalo jadi kayak gini besar bangeeet (sambil
menggambar). Gendut ininya (menggambar kaki kanan), gendut ininya (menggambar
kaki kiri). Ininya gendut (menggambar tangan kanan), ininya gendut (menggambar
tangan kiri). Teruuus palanya besar”. (EKM_SLR) (EKM_ROT_CE)

Peneliti juga mengajak A bermain selama proses wawancara. Misalnya, ketika A


sudah bosan dan mengajak peneliti bermain bola keranjang, peneliti memberikan syarat
bahwa A diperbolehkan memasukkan bola ke dalam keranjang jika sudah berhasil
menjawab pertanyaan. Di akhir wawancara, peneliti memberikan stik bergambar
sayuran dan buah-buahan dan menanyakan kepada A untuk melihat apakah A telah
mengetahui berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Setelah melakukan wawancara
dengan A, peneliti juga melakukan wawancara dengan W, ibu A. Wawancara dengan W
dilakukan selama 63 menit.

4.2.2 Konsep Makanan


4.2.2.1 Tujuan dari Makan
A memiliki pandangan bahwa tujuan dari makan adalah agar tubuh menjadi
tidak kurus. Ketika ditanya proses bagaimana makanan dapat membuat tubuh menjadi
tidak kurus, A mengatakan bahwa makanan membuat tubuh menjadi gendut. Hal
tersebut menggambarkan karakteristik perkembangan kognitif anak usia prasekolah,
yaitu semilogical reasoning, yaitu berpikir tentang hal-hal yang luas dan semilogis
(Wadsworth, 2004). A menjelaskan makan dapat menyebabkan efek terhadap ukuran

Universitas Indonesia
48

tubuh, tetapi tidak dapat menjelaskan lebih lanjut tentang proses bagaimana makanan
dapat menyebabkan hal tersebut.

“Makan bisa bikin gak kurus… soalnya makan itu biar gendut.”
(TDM_SR)

A juga melihat bahwa makan memiliki efek bagi perubahan fisik tubuh. A
menilai bahwa ia kurus serta membandingkan dengan tubuh temannya di sekolah yang
lain. Hal tersebut menggambarkan representasi mental yang dimiliki oleh anak usia
prasekolah, yaitu dapat memahami simbol atau kesamaan yang menetap antara objek
atau peristiwa (Miller, 2011). Cara A membandingkan dirinya dengan temannya juga
menggambarkan egocentrism, yaitu cenderung mempersepsi dan menginterpretasi
sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000).

“Apa A kurus tapi kurusnya itu magic. Temennya A juga di kelas ada yang kurus.”
(TDM_EGO)

4.2.2.2 Efek dari Kuantitas Makanan


A menilai efek makan pada tubuh dilihat dari kuantitas makanan yang
dikonsumsi oleh seseorang. A menilai bahwa tidak makan dapat membuat seseorang
menjadi kurus, tidak bisa buang air besar, dan tidak bisa gendut. Orang yang kurus dan
tidak bisa gendut karena tidak mau makan, terutama tidak mau makan sayur dan hanya
mau makan coklat. Pernyataan A tersebut juga menunjukkan bahwa A memahami efek
dari makanan tertentu, seperti sayur dan coklat. Hal tersebut menunjukkan proses
berpikir semilogis, atau biasa disebut juga semilogical reasoning karena pemikiran
tentang sebab-akibat masih terbatas (Miller, 2011).

“Bisa kurus. Gak bisa eek. Eeeh... gak bisa gendut!” (EKM_SR)
“Soalnya gak mau makan.” (EKM_SR)
“Gak mau makan sayur. Maunya makannya coklat.” (EKM_SR)

A mencontohkan bahwa seseorang yang makan terlalu banyak dapat menjadi


gendut, yaitu memiliki ciri-ciri tangan, kaki, perut, dan kepala yang berukuran besar. A
menggambarkan orang gendut di atas kertas menggunakan krayon berwarna merah. A
menggambar orang gendut memiliki kaki kanan dan kiri yang besar, tangan kanan dan
kiri yang besar, dan kepala yang besar. Hal tersebut menggambarkan karakteristik

Universitas Indonesia
49

kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang dimiliki oleh anak usia prasekolah, ditandai
dengan centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek dan
peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). A
hanya melihat orang gendut dari anggota tubuh yang berukuran besar dan tidak melihat
ciri lain orang dapat dikatakan gendut. Selain itu, karakteristik kekakuan berpikir
(rigidity of thought) juga ditunjukkan dengan lack of flexibility, yaitu kecenderungan
untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan yang terjadi (Miller,
2011). A fokus pada tubuh orang gendut yang berukuran besar karena mengonsumsi
banyak makanan, tetapi tidak dapat menjelaskan proses bagaimana makanan dapat
mengubah ukuran tubuh.

“(mulai menggambarkan apa yang ia maksud) kalo orang gendut jadi kayak
gini.. Jadi kurus… kalo jadi…. Kalo jadi kayak gini besar bangeeet (sambil
menggambar). Gendut ininya (menggambar kaki kanan), gendut ininya (menggambar
kaki kiri). Ininya gendut (menggambar tangan kanan), ininya gendut (menggambar
tangan kiri). Teruuus palanya besar”. (EKM_ROT_CE) (EKM_ROT_LF)

4.2.2.3 Efek Diet yang Tidak Seimbang


A belum memahami tentang efek dari diet yang tidak seimbang. A menyebutkan
bahwa hanya makan brokoli setiap hari diperbolehkan. A hanya melihat bahwa brokoli
adalah makanan sehat untuk dimakan setiap hari, menggambarkan karakteristik rigidity
of thought, yaitu centration. Centration adalah kecenderungan anak untuk melihat
karakteristik yang menonjol dari objek dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik
yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). A hanya melihat brokoli sebagai makanan
sehat, tetapi tidak mempertimbangkan hal lain yang akan terjadi ketika hanya makan
satu jenis makanan setiap hari secara terus menerus.

“boleh”
“boleh!”
“Bolehhh” (EDT)
“Boleh”
“Soalnya brokoli itu gini” (EDT_ROT_CE)

4.2.2.4 Efek dari Makanan Tertentu


A menggunakan perumpamaan ketika menjelaskan efek dari makanan tertentu.
Ketika ditanya apa yang terjadi ketika seseorang makan sayur, A menjawab bahwa

Universitas Indonesia
50

makan sayur dapat membuat seseorang menjadi gendut seperti balon. A mencoba
menyamakan tubuh orang yang gendut seperti balon berdasarkan kesamaan yang
tampak di antara keduanya. Hal tersebut menunjukkan karakteristik semilogical
reasoning, yaitu anak mencoba menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-hari dalam
hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). A juga menyamakan tubuh orang gendut
seperti raksasa, menunjukkan adanya representasi mental berupa simbol, yaitu
kesamaan yang menetap antara objek atau peristiwa (Miller, 2011). A juga beberapa
kali rambling, menyebutkan kata-kata yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Hal
tersebut menunjukkan karakteristik kognisi sosial yang terbatas (limited social
cognition), ditunjukkan dengan egocentric speech, sehingga menyebabkan kurangnya
komunikasi yang nyata dengan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).

“Bwabwabwabwa daaaaa biar gendut (menggumam).” (EMT_LS)


“Biar gak kurus... biar gendut daaa kayak balon. Balon. Balon.” (EMT_SR)
“Gendut kan balon.” (EMT_SR)
“(masih menggambar) raksasa gedeeee.” (EMT_SR)

A juga mulai menyebutkan tentang bakteri yang terdapat di dalam tubuh.


Beberapa kali A menyebutkan tentang bakteri, yaitu saat menggambarkan orang
bertubuh gendut dan menyebutkan alasan permen dan cokelat tidak sehat. Namun, A
tidak dapat menjelaskan ketika ditanya lebih lanjut mengenai bakteri. Pengetahuan
tentang bakteri tersebut diperoleh A dari ibunya saat ibunya menegur A ketika A
menggigit kuku jarinya.

“Coklat. Yang ini bakteri.” (EMT)


“Ada banyak bakteri loh. Taunya… Kalo A gigit jari.” (EMT)
“Mami”

Hal tersebut dikonfirmasi oleh W, Ibu A. W menceritakan bahwa ia pernah


melihat A menggigit kuku jari saat sedang menonton televisi. A juga pernah memakan
kotoran hidungnya dan memasukkan kakinya ke dalam mulut. W menegurnya dan
menjelaskan bahwa ketika melakukan hal tersebut, terdapat bakteri yang masuk ke
dalam tubuhnya.

“Jadi kalo nonton tv begini (menirukan A menggigit kuku jari).”

Universitas Indonesia
51

“Trus sekali-sekali kaki yang paling parah justru (menunjukkan A memasukkan jari
kaki ke mulut).” (SOC_IBU)
“Trus ada lagi (2 detik) (menirukan A mengupil dan memasukkan kotoran hidungnya ke
mulut) "Mami halo". HAAA AR! (berteriak)”
“Dia innocent banget gitu. Sambil ngomong "ya kan mami. Halo heeh" trus aku sambil
meratiin.”
“Iya dia akhirnya tau bakteri.” (EMT)

Sebelumnya A belum mengetahui bakteri, tetapi ibu A menjelaskan bahwa


bakteri dapat masuk ke tubuh ketika A melakukan hal yang jorok atau makan makanan
tidak sehat, sehingga A memiliki skema tentang bakteri ketika ditanya mengenai efek
dari makanan tidak sehat. Informasi mengenai bakteri tersebut diperoleh melalui social
experience, yaitu pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller,
2011). A membentuk konsep mengenai bakteri dari ibunya saat sedang menggigit kuku
jari.

4.2.2.5 Jenis dan Ciri Makanan Sehat


A telah mengetahui berbagai makanan sehat, seperti melon, apel, pisang, dan
nasi. Menurut A, makanan sehat adalah makan yang dapat membuat tubuh tidak kurus.
A juga menilai makanan sehat dapat membuat tubuh menjadi sehat dan kuat.

“Bayam? Sehat. Soalnya bikin gak kurus.” (MS_SR)


“Soalnya pisang itu sehat dan kuat.” (MS_SR)

A melihat makanan sehat dari warna makanan tersebut, yaitu berwarna hijau,
seperti sayur dan apel. Makanan sehat dilihat dari jenisnya, yaitu buah, seperti pisang
dan melon. A juga melihat makanan sehat dari bentuknya, yaitu pisang yang memiliki
kulit pembungkus sehingga pisang dikatakan sehat. Makanan sehat juga dilihat oleh A
berdasarkan rasa, seperti brokoli, ayam goreng cepat saji dan kentang yang memiliki
rasa enak.

“Kalo yang kaya gini, makanannya warna green (menunjuk gambar).” (MS_ROT_CE)
“Iya makanannya warna green sehat kayak apel.” (MS_ROT_CE)
“Soalnya pisangnya itu, pisangnya itu ada kulit-kulit pisangnya.” (MS_ROT_CE)
“Ayam mcd sehat. Soalnya ayam mcd itu lebih enak.” (MS_ROT_CE)

Dalam memandang ciri-ciri makanan sehat seperti yang telah disebutkan di atas,
A menunjukkan karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang ditunjukkan

Universitas Indonesia
52

melalui ciri centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek
dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000).
A melihat sayur dan apel sebagai makanan sehat dari warnanya, yaitu warna hijau dan
kurang mempertimbangkan karakteristik lain yang juga muncul. A juga hanya melihat
pisang dan melon sebagai makanan sehat dari jenisnya, yaitu buah, serta tidak
memerhatikan ciri makanan sehat yang lainnya. A juga menilai pisang dari kulit
pembungkusnya sehingga dikatakan sehat dan mengabaikan hal-hal lain yang
mencirikan pisang adalah makanan sehat. A juga menilai ayam goreng cepat saji dan
kentang adalah makanan sehat karena memiliki rasa yang enak, tidak melihat dampak
makanan cepat saji bagi kesehatan tubuh.
A juga menilai makanan sehat berasal dari Tuhan, seperti nasi dan pisang yang
dibuat oleh Allah. A bersekolah di sekolah Islam Internasional sehingga pelajaran di
sekolah banyak dikaitkan dengan aspek agama Islam. A mendapatkan informasi bahwa
makanan sehat adalah makanan yang diberikan oleh Tuhan dari pelajaran di sekolah,
sehingga A menambahkan konsep makanan sehat yang telah ia miliki dengan apa yang
diajarkan di sekolah.

“Nasi sehat!” (MS_ROT_CE)


“Soalnya nasi itu dibuatin dari Allah.” (MS_ROT_CE)
(SOC_SK)

4.2.2.6 Jenis dan Ciri Makanan Tidak Sehat


Dalam memandang makanan tidak sehat, A mengetahui beberapa jenis makanan
tidak sehat, seperti es krim, permen, ciki, coklat, dan mie instan. Menurut A, makanan
tidak sehat adalah makanan yang membuat tubuh kurus karena makanan tidak sehat
mengandung bakteri yang dapat masuk ke dalam tubuh. Hal tersebut menunjukkan
bahwa A mengetahui efek dari makanan tertentu yang masuk ke dalam tubuh, walaupun
belum dapat menjelaskan proses yang terjadi. A menggambarkan karakteristik kekakuan
berpikir (rigidity of thought) yang ditunjukkan dengan lack of flexibility, yaitu
cenderung melihat hal yang menetap dibandingkan dengan proses perubahannya
(Miller, 2011).

“Makan mieee…. Kan gak boleh makan mie.”


“Mie itu gak sehat.” (MTS_ROT_LOF_
“Kurus. Soalnya banyak yang berantakkan di perut.”

Universitas Indonesia
53

“Ada banyak bakteri loh.” (MTS_ROT_LOF)

A melihat ciri-ciri makanan tidak sehat berdasarkan bentuk dan rasa dari
makanan tersebut. Makanan tidak sehat dilihat dari bentuk, seperti es krim yang mudah
meleleh. A juga menilai makanan tidak sehat dari segi rasa, seperti coklat dan ciki yang
tidak enak. Penjelasan A mengenai ciri-ciri makanan sehat mengenai bentuk dan rasa
menunjukkan karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang ditunjukkan
melalui ciri centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek
dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000).

“Ice cream. Mami nih yang sering makan ice cream.”


“Soalnya… Takut meleleh!” (MTS_ROT_CE)
“Yang gak enak itu coklat.” (MTS_ROT_CE)
“Tidak sehat. Soalnya ciki tuh tidak enak.” (MTS_ROT_CE)

4.2.2.7 Jenis Sayuran dan Buah-buahan


Secara umum, A telah mengetahui tentang sayuran dan buah-buahan beserta
namanya secara tepat. A mengetahui berbagai jenis sayuran, seperti wortel, bayam, dan
terong. Ada beberapa sayuran yang belum ia kenal bentuk aslinya, seperti buncis dan
kacang polong. A juga mengetahui berbagai jenis buah-buahan, seperti pisang, stroberi,
anggur, dan apel. A pun mengetahui bahwa semua jenis sayuran dan buah-buahan
merupakan makanan sehat. Menurut penuturan W, ibu A, A mendapatkan informasi
tersebut saat acara di sekolahnya, yaitu green day. Di program tersebut, anak-anak
mempresentasikan buah dan sayur serta gambarnya, seperti jenisnya, warnanya, dan
manfaatnya, sehingga A mengetahui bentuk serta jenis sayur dan buah melalui hafalan
di sekolah saat akan melakukan presentasi. A memiliki perubahan pada skema yang
dimilikinya tentang jenis sayuran dan buah-buahan ketika melakukan presentasi di
sekolah dalam program green day.

“dari makan juga dari afalan juga, afalannya tuh suka kayak apa namanya.”
(PM_SM) (PM_SK)
“fun cooking itu buat masak, ini apa terus sayur vegetables ya pokoknya
vegetables day.” (SOC_SK)
“iya dia jadi study tour gitu nanti dia pergi ke kebun singkong, dia ngambil
singkong. Terus dia ada green day-nya juga. Kalo green day itu dia hijau-hijau itu deh
buah sayur. Dan dia presentasi.” (SOC_SK)

Universitas Indonesia
54

“Jadi dia bawa buahnya sama gambarnya trus dia presentasi. Misalnya ini
wortel, wortel ini ngapain dia berwarna apa, untuk apa, itu pasti ada presentasinya di
sekolah.” (JSB) (SOC_SK)

4.2.3 Pembentukan Konsep Makanan


Dalam pembentukan konsep, Piaget (1952) menekankan adanya peristiwa yang
dialami oleh anak sehari-hari, yaitu dilihat dari kematangan fisik, pengalaman aktif, dan
pengalaman sosial anak. Anak juga membentuk konsep berdasarkan kebiasaan yang
dilakukannya. Dalam hal konsep tentang makanan, anak juga membentuk konsep
tersebut dari kebiasaan makan, cara makan, aktivitas saat makan, aturan makan dan
strategi yang dilakukan oleh orang tua di rumah, mengenal makanan, dan respon
terhadap makanan baru. Pada kasus A, akan dijabarkan mengenai pembentukan konsep
makanan yang telah dideskripsikan di atas melalui hasil wawancara dengan W, ibu A.
A memiliki pola makan yang teratur. Kebiasaan tersebut bermula saat diasuh
oleh neneknya sejak masih bayi hingga umur dua tahun. A terbiasa makan enam kali
sehari, yaitu di waktu pagi pukul 08.00, lalu dilanjutkan makan makanan ringan sekitar
pukul 10.00. Kemudian, A makan siang pukul 13.00, dilanjutkan dengan makan
makanan ringan di sore hari pukul 15.30. A makan malam pada pukul 20.00. Hal
tersebut disebabkan sekolah A memiliki jadwal untuk makan makanan ringan di pagi
hari, makan siang, dan makan makanan ringan di sore hari. Jadwal di sekolah
memunculkan skema yang dimiliki A tentang waktu makannya.
W, ibu A juga menyesuaikan waktu makan A di sekolah dengan waktu makan A
ketika di rumah, sehingga terbentuk pola makan A sehari-hari. W membiasakan waktu
makan yang teratur dan rutin kepada A. Waktu makan A di rumah disamakan oleh W
dengan waktu makan A di sekolah. Dari apa yang dilakukan oleh W tersebut, A
memiliki skema jadwal makan yang teratur sebagai rutinitasnya sehari-hari.

“Aku lebih eee ngemasnya lebih ke rutin.” (KM_PAM)


“Pokoknya jam makannya jam 12 makan siang jam 12 sampe jam 2.” (KM_PAM)
“Kalo bisa itu dikejar. Misalnya kalo lagi di jalan atau lagi ada apa gitu” (KM_PAM)
“Itu. Terus kalo pagi-pagi kalo udah weekend kan berantakan tuh yang biasanya jam
setengah 8 pagi udah sarapan nasi... Hmm biasanya baru bangun atau ibunya males ini
ini nah udah langsung jam sembilan atau setengah sepuluh cekokinnya nasi”
(KM_PAM)
“He eh. Dan sore tetep harus kena snack. Entah itu roti bakar
Nanti. Biasanya jam empat-an jam lima” (KM_PAM)

Universitas Indonesia
55

“Nanti jam tiga mereka snack time. Setengah empat pulang.” (KM_PAM)
“Malem makan. Malem makan jam setengah delapanan jam delapan.” (KM_PAM)

A makan dengan cara disuapi oleh ibunya. Biasanya A makan sambil menonton
tv atau memainkan mainan yang ia miliki bersama adiknya, E. Porsi makan A tidak
terlalu banyak dalam sehari-hari. Selain itu, nafsu makan A juga tergantung mood,
apakah pada saat itu A sedang ingin makan atau tidak. Jika sedang tidak mau makan, A
tidak akan makan apapun sama sekali.

“Disuapin” (CM_DS)
“Kalo A… A masih suka sambil nonton sambil main lego” (AK_MT) (AK_BM)
“He em kayak tadi sambil main” (AK_BM)
“Kalo sekali makan. Kayak tadi segitu aja gak banyak” (KM_POM)
“Engga. Gak banyak” (KM_POM)
“Mood mood-an” (KM_NM)

Menurut penuturan W, ibu A, A tidak menyukai makanan yang memiliki tekstur


tertentu. Misalnya, A tidak menyukai buah apel dan buah pir karena buah tersebut
bertekstur kasar. A sangat menyukai buah naga yang teksturnya halus dan lembek. A
juga tidak terlalu menyukai lauk yang banyak dan berserat. Apabila diberikan lauk yang
banyak dan berserat, ia tidak mau menelannya dan hanya menyimpan di dalam
mulutnya. A lebih menyukai lauk tertentu yang mudah dikunyah, seperti tempe. Hal
tersebut disebabkan oleh W, ibu A, yang memberikan bubur kasar hingga umur satu
tahun ke atas dan baru mengenalkan nasi saat A berusia satu tahun tujuh bulan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, A telah memiliki pengetahuan mengenai tekstur
makanan yang lembek dan halus sebagai makanan yang ia sukai karena telah terbiasa
memakan bubur dalam waktu yang lama, sehingga ketika diberikan makanan yang
bertekstur, ia tidak menyukainya.

“Buah dia makan tapi dia picky…kayak apel dia gak mau. Pir, dia gak mau. Tapi kalo
dikasih buah naga, sukaaa banget. Satu naga setengah naga dihabisin sama dia mau.”
(JM_TK)
“Hmm gak tau juga. Mungkin karena apel bertekstur” (JM_TK)
“Dia.. Dia typical-nya gak bisa lauk banyak. Nih aku banyakin nih potongan ayam,
nasinya dikit. Ntar jadi gumpal gak ketelen-telen. (menirukan) "A, aa'(menyuruh A
membuka mulut untuk makan)" "mmm" "A, aa'" "mm" "buang!" hahaha.” (JM_TK)
“Dia gak suka sesuatu yang terlalu apa.. Ampas ya itu. Susah di cc.. Telan.”
“Iyaiya dia males ngunyah hahaha.” (JM_TK)
“Iya kan tempe gitu suka.” (JM_TK)

Universitas Indonesia
56

“Makanya aku… apa karena dia makan bubur sampe satu tahun lebih ya. Atau ada
ngaruhnya itu. Dia tuh makan bubur lama. Dia ketemu nasi lama satu tahun tujuh
bulan dia baru makan nasi. Satu tahun ke atas tuh masih bu.. bubur kasar” (JM_TK)

W, ibu A, terkadang bertanya kepada A mengenai menu makanan yang akan


disiapkannya untuk A. Biasanya, A meminta dibuatkan ayam goreng kepada ibunya
karena A sering menonton televisi serial kartun anak-anak. Tokoh utama serial kartun
yang disukai A tersebut adalah sepasang anak kembar yang menyukai ayam goreng.
Terdapat peran media yang juga memengaruhi konsep makanan yang dimilikinya.

“ya ayam goreng karena upin ipin.”


(PM_MD)

Berkaitan dengan konsep A mengenai makanan tidak sehat, terdapat proses yang
melatarbelakangi hal tersebut. A menyebutkan bahwa makanan tidak sehat adalah ciki,
permen, dan mie instan. A mengetahui ciki adalah makanan tidak sehat karena W, ibu
A, mengatakan bahwa ia telah membiasakan A untuk tidak makan ciki sejak kecil,
sehingga A tidak menyukai ciki. A lebih menyukai jajanan lain, seperti olahan coklat,
minuman susu, minuman teh, atau yoghurt. Dari pembiasaan W, A memiliki skema
bahwa ciki adalah makanan tidak sehat. Selain itu, W juga menuturkan bahwa A juga
diajarkan di sekolah bahwa ciki adalah makanan tidak sehat. Dari informasi yang
didapat oleh ibunya dan sekolah, A mengetahui bahwa ciki adalah makanan tidak sehat.

“He eh. Kalo ciki emang dia gak suka. Dia kalo setiap dia ke indomaret yang diambil
adalah yang kayak gitu. Sama minuman susu atau minuman teh atau yoghurt.”
(JM_RS)
“Sudah terbentuknya dari kec… oh aku kan agak strict ya. Dia waktu pas di bawah
umur dua tahun emang aku belum ngenalin dia” (SOC_IBU)
“Terus di sekolahnya juga diajarin.” (SOC_SK)

A juga mengetahui permen adalah makanan tidak sehat dari ibunya dan sekolah.
W, ibu A, melarang A untuk makan permen, terutama permen kenyal, karena A selalu
radang tenggorokan setiap makan permen. Sekolah A juga memiliki peraturan yang
melarang A membawa permen karena merupakan makanan tidak sehat.

“Karena kan… makanya aku gak ngebolehin dia makan yupi.” (AT_JM)
“Gak boleh makan emm emm yang pasti banget sih yupi. Setiap makan yupi… dia
radang. Makanya dia bilang gak boleh” (AT_JM) (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
57

“Cuma kalo sekolah melarang tidak boleh membawa indomie, ciki, permen itu gak
boleh dari sekolah.” (AT_JM) (SOC_SK)

Selain itu, makanan tidak sehat lainnya yang diketahui oleh A adalah mie instan
dan minuman bersoda. A tidak dibiasakan makan mie instan oleh W, ibu A sehingga ia
tidak menyukai mie instan. A juga mengetahui bahwa mie instan adalah makanan tidak
sehat dari sekolah. Sekolah A juga mengajarkan bahwa kemasan mie instan dan bentuk
botol minuman bersoda adalah contoh dari makanan dan minuman yang tidak sehat.
Pemberian informasi dari ibu A dan sekolah A menghasilkan konsep bahwa mie instan
dan minuman bersoda adalah makanan tidak sehat.

“Terus di sekolahnya juga diajarin.” (PM_SK)


“Bentuk botol coca cola itu gak sehat.” (PM_SK)
“Bentuk indomie tuh gak sehat. Dia gak suka mie.” (PM_SK)
"(menirukan ucapan A ) Ih itu kan gak enak. Gak sehat."
“Pertama mungkin karena dia gak kenal juga, gak dikenalin dan dia gak kenal. Dia gak
dia gak gak gak mm menemukan titik nikmatnya terus di sekolah udah di brainstorm
juga.” (PM_SK)
“Kalo itu gak baik. Coca cola gitu gak mau. Tapi kalo E kita beli mcd minum coca cola
disedot hahaha.” (PM_SK)
“Haha terus gak dikasih marah. Kalo dia engga, "ih gak mau ah gak enak" Dia milih
susu milo.” (PM_SK)

W juga menerapkan strategi terkait aturan makan. Strategi yang digunakan W


adalah memberlakukan aturan yang tetap, walaupun dapat berubah tergantung situasi
tertentu. W mencontohkan bahwa ia seharusnya tidak mengizinkan A makan es krim
sebelum makan, tetapi terkadang ketika A tidak mematuhi, ia menggantinya dengan
kesepakatan lain. Misalnya, W membuat perjanjian bahwa diperbolehkan makan es
krim asalkan A menghabiskan nasi dan makan dengan cepat.

“Kaya tadi, harusnya dia kan gak boleh makan es krim sebelum makan, karena itu
harusnya kan dessert. Kalo gak ada tamu mah tetep strict” (SD_BR)
“Ga mami gak mau, satu suara aja.” (SD_BR)
“Ya kaya tadi "tapi nanti nasinya abis ya", "makannnya cepet"” (SD_BR)
“Iya karena dia suka banget anaknya. Kalo dia nanti makan gak abis lagi yaudah kasih
apa gitu, apa yaudah gak boleh makan es krim berapa hari. Pokoknya dibuat aja, jadi
undang undang dasarnya dibuat aja” (SD_BR)
“Apa hukumnya bisa berubah sewaktu-waktu” (SD_BR)

Universitas Indonesia
58

Menurut W, A sulit untuk dikenalkan makanan baru. Awalnya, A biasanya


mengamati makanan baru yang disodorkan oleh ibunya. Setelah menganalisis, A akan
menolak makanan baru tersebut, terutama makanan tertentu yang tidak ia sukai. A
hanya mau memakan makanan tertentu karena A suka memilih-milih makanan.

“Dia susah, "ayo cobain A " "Engga itu apa" (memeragakan saat dirinya berusaha
mengenalkan makanan baru pada A ) terus eee diteliti dulu sama dia, (menirukan
ucapan A) "itu apa itu apa itu apa. Ih gak mau ah gak mau"” (MB_JM) (MB_AN)
“Dianalisa tuh sama dia. Kayak spageti gitu eeeh kalo ku kasih ke mie gitu dia kurang
suka. Kalo ku kasih dagingnya ke nasi dia makan hahahah.” (SD_BR)

4.2.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan


Anak membangun konsep berdasarkan pengalaman sosial (social experience)
yang dialaminya (Wadsworth, 2004). Pengalaman sosial yang berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada A adalah ibu, nenek, sekolah, dan media. Ibu A
memasak sendiri makanan yang dikonsumsi oleh A sehari-hari. Bahan makanan yang
diolah biasanya dibeli di pasar, terkadang juga dibeli di supermarket. Ibu A yang
merencanakan menu makanan, walaupun terkadang Ibu A suka melibatkan A dengan
bertanya menu makanan yang diinginkannya. Menurut penuturan Ibu A, menu makanan
yang disiapkan tidak terlalu bervariasi, misalnya daging dimasak menjadi rendang,
empal, dendeng, atau sop daging, ayam goreng, cumi, udang, dan sapo tahu.

“iya dari tante, paling nanya doang dan yang pasti stok makanannya ya muter-muter,
kalo ga daging, rendang atau ke empal atau ke dendeng atau ke sop daging atau
ayam...ayam goreng. Terus tapi dia juga suka seafood sih kayak udang, dia cumi
makan, walaupun dia gatau cumi kayak gimana, kalo udang tau kan. Dia suka sapo
tahu kan yang di solaria itu tuh, nah aku belajar buat itu makan.” (SOC_IBU)

Ibu A juga menyiapkan menu makanan untuk bekal yang dibawa A ke sekolah,
terdiri dari nasi, lauk, dan sayur. Lauk yang disiapkan biasanya yang mudah dimasak,
misalnya nugget, ayam, atau telur. Sayur yang dimasak biasanya lebih banyak tumisan
dan direbus, seperti sawi putih, buncis, atau wortel dan toge. Makanan ringan yang
dibawa sebagai bekal ke sekolah adalah sereal, roti, wafer, dan kue.

“Aku biasanya rebus-rebus doang kadang sawi direbus, sawi putih rebus, terus buncis
direbus doang kalo aku lagi males pagi. Kan tergantung ibunya ya.” (SOC_IBU)
“Haha kalo lagi ada sayur gitu kayak tofu gituu atauuu ditumis-tumis atau sop aku
bawain juga.” (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
59

Ibu A menemani dan menyuapi A makan setiap hari sambil menonton televisi
atau bermain lego. Ibu A mengenalkan makanan dan memberikan informasi terkait
makanan pada saat sedang makan, yaitu menjelaskan pentingnya makan sayur dari
pengalaman A yang sulit buang air besar. Frekuensi keterlibatan orang tua melakukan
percakapan dengan anak juga turut mendukung dan meluaskan pemahaman anak
mengenai beragam konsep tentang dunia, Anak yang secara aktif melakukan
pembicaraan dengan orang tua mengenai makanan akan menambah pemahaman konsep
yang mereka miliki mengenai makanan (Gunderson & Levine, 2011).

“Kalo A … A masih suka sambil nonton sambil main lego.” (SOC_IBU)


“Iya sering juga. "Mami ini apa?" ,"sayur", "enggak mau", "A, makan sayur supaya
nanti A eeknya gak keras lagi. Soalnya dia kan kemarin habis eek trus aku tau eeknya
bulet-bulet gitu. "Kemaren itunya…e…pupnya kaya begitu jelek. Jadi harus makan
sayur". Dia makan.” (SOC_IBU)

Kebiasaan makan A terbentuk oleh Ibu A pada waktu masih kecil, seperti tidak
terlalu suka makanan yang bertekstur karena biasa memakan bubur hingga usia dua
tahun. Selain itu, Nenek A juga berpengaruh dalam kebiasaan makan A terutama hingga
A berusia dua tahun saat Ibu A masih bekerja, sehingga pola makan A teratur.

“Sama neneknya, dia gede sama nenek sampe dua tahun, anak nenek, jadi makannya
pun juga nenek, teratur kan, kalo ini (E) ga teratur.” (SOC_NN)

Ayah A juga berperan dalam kebiasaan makan A, meskipun tidak menempati


porsi besar. Menurut W, terkadang ayah A menemani A ketika sedang makan.
Walaupun hal tersebut jarang terjadi karena ayah A bekerja sejak pagi hingga malam
hari. Selain itu, ibu A juga merupakan ibu rumah tangga sehingga kebiasaan makan A
lebih banyak dipengaruhi oleh ibunya dibandingkan ayahnya.

“Kalo ngga aku, papanya. Tapi kalo dua-duanya gak ada, mbaknya. Tapi jarang
mbaknya. Kalo.. Kalo gak aku, papanya”
(SOC_AY)

Selain orang tua dan nenek, sekolah juga berperan besar dalam pembentukan
konsep makanan pada A. Di sekolah A terdapat jadwal makan makanan ringan pada
pagi hari pukul 09.30 (snack time pagi), makan siang pukul 12.00, dan makan makanan
ringan pada sore hari (snack time sore) pada pukul 15.00 setelah tidur siang, sehingga A

Universitas Indonesia
60

memiliki jadwal makan yang teratur. Makanan ringan di sore hari juga disediakan oleh
sekolah dan tidak dibawakan dari rumah.

“Terus baru dia minum vitamin nanti di sekolah jam setengah sepuluh baru dia eeee
snack time.” (SOC_SK)
“Iya ada time-nya... jam sembilan tiga puluh mereka makan snack.” (SOC_SK)
“A kalo abis lunch, lunch di sekolah abis itu baru langsung bobo siang ya. Iya. Berarti
jam setengah dua. Jam satu setengah dua.” (SOC_SK)
“Nanti jam tiga mereka snack time.” (SOC_SK)
“Aa engga, snack-nya satu. Kalo yang sore dari sekolah.” (SOC_SK)

Di sekolah A juga terdapat larangan untuk membawa mie instan, ciki, dan
permen karena makanan tersebut adalah makanan tidak sehat. Selain itu, di sekolah A
juga diajarkan tentang makanan tidak sehat melalui bentuk dan kemasan, seperti ciki,
minuman bersoda, dan mie instan. Sekolah A memiliki beberapa program terkait
mengenalkan makanan, misalnya fun cooking, vegetables day, dan green day. Terdapat
pula program study tour, berwisata ke kebun lalu dikenalkan jenis umbi yang berada di
kebun tersebut. Di program green day, anak-anak mempresentasikan buah dan sayur
serta gambarnya, seperti jenisnya, warnanya, dan manfaatnya. Dari kegiatan tersebut, A
mengetahui bentuk serta jenis sayur dan buah melalui hafalan di sekolah saat akan
melakukan presentasi.

“Cuma kalo sekolah melarang tidak boleh membawa indomie, ciki, permen itu gak
boleh dari sekolah.” (SOC_SK)
“Terus di sekolahnya juga diajarin. Bentuk botol coca cola itu gak sehat. Bentuk
indomie tuh gak sehat. Dia gak suka mie.” (SOC_SK)
“dari makan juga dari afalan juga, afalannya tuh suka kayak apa namanya.”
(SOC_SK)
“fun cooking itu buat masak, ini apa terus sayur vegetables ya pokoknya vegetables
day.”
“iya dia jadi study tour gitu nanti dia pergi ke kebun singkong, dia ngambil singkong.
Terus dia ada green day-nya juga. Kalo green day itu dia hijau-hijau itu deh buah
sayur. Dan dia presentasi.” (SOC_SK)
“Jadi dia bawa buahnya sama gambarnya trus dia presentasi. Misalnya ini wortel,
wortel ini ngapain dia berwarna apa, untuk apa, itu pasti ada presentasinya di
sekolah.” (SOC_SK)

Universitas Indonesia
61

4.3 Analisis Intra Kasus 2


4.3.1 Gambaran Partisipan B
Wawancara dengan B dilakukan di tempat tinggal B yang berada di wilayah
Jakarta Timur. Pengambilan data dilakukan pada Selasa, 20 Maret 2018 pukul
13.00─17.00. B adalah seorang anak laki-laki berusia empat tahun. B adalah seorang
anak yang aktif dan senang bermain permainan lego atau membongkar mobil-mobilan.
B bersekolah di sebuah pendidikan anak usia dini (PAUD) dekat rumahnya. B bertubuh
kurus dan berambut tipis agak berjambul. Saat ini, B tinggal bersama ayahnya yang
bekerja di sebuah perusahaan kimia, ibunya (X) seorang perawat di sebuah rumah sakit
jantung swasta, adiknya (J) yang berusia dua tahun, kakeknya (O) yang mengalami sakit
stroke, dan neneknya (N).
Pada saat pelaksanaan wawancara, B memakai baju lengan panjang seperti baju
tokoh pahlawan super power rangers yang berwarna oranye. Awalnya, B hanya diam
ketika peneliti datang dan mengajaknya bermain, tetapi lama kelamaan B mau bermain
dengan peneliti. Lalu, peneliti memberikan informed consent dan data demografis untuk
diisi oleh X, ibu B, sebagai persetujuan dilakukannya wawancara. Sambil bermain lego,
peneliti memberikan aktivitas menempel kertas origami pada gambar anggur.
Wawancara dengan B dilakukan dua sesi. Sesi pertama dimulai pada pukul 13.30. Sesi
kedua dilakukan karena peneliti merasa beberapa pertanyaan belom terjawab oleh B dan
jawaban B belum konsisten, sehingga peneliti melakukan wawancara lanjutan pada
pukul 15.00 dengan B saat dua peneliti lainnya sedang melakukan wawancara dengan
X, ibu B, dan N, nenek B.
Selama proses wawancara, B sangat aktif. B sering berlarian di dalam rumahnya.
B juga sering memainkan permainan lego dan mobil-mobilan miliknya. B juga
mengajak peneliti bermain bola ke luar rumah. B juga senang bermain berpura-pura
menjadi polisi dengan memakai baju polisi yang dimilikinya. B juga senang menaiki
mobil-mobilan dan mengendarainya.
Dalam menjawab pertanyaan, B banyak tidak fokus dan mengalihkan perhatian.
Beberapa kali B mengeluarkan suara yang tidak jelas, mengoceh, dan membicarakan
hal-hal yang tidak dimengerti oleh orang lain. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
peneliti harus berulangkali mengajukan pertanyaan hingga B dapat menjawabnya
dengan benar. B juga sering rambling dan mengulang-ulang kata yang diucapkannya.

Universitas Indonesia
62

Hal tersebut menggambarkan karakteristik preoperational thought, yaitu kognisi sosial


yang terbatas (limited social cognition), ditandai dengan adanya egocentric speech,
yaitu kurangnya komunikasi yang nyata dengan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller,
2011).

“abababa.. ba wusss” (LSC)


“hmmm”
“apa itu makarnya pedjesss” (LSC)
“bakarnya pedjess” (LSC)

Pada sesi kedua, B cukup banyak menjawab pertanyaan dibandingkan dengan


sesi pertama. Selain itu, pada sesi kedua, peneliti juga memberikan stik gambar sayuran
dan buah-buahan untuk melihat apakah B telah mengetahui jenis sayuran dan buah-
buahan secara tepat. Selagi mewawancarai B pada sesi kedua, peneliti lain melakukan
wawancara dengan X, ibu B, dan N, nenek B. Wawancara bersama X, ibu B dilakukan
bersamaan dengan wawancara bersama N, nenek B, karena saat itu ibu, nenek, dan O,
kakek B berada di ruang yang sama. Nenek dan kakek B seringkali ikut menjawab
pertanyaan yang diajukan kepada ibu B. Wawancara tersebut dilakukan selama 60
menit, lalu dilanjutkan dengan sesi wawancara hanya dengan N, nenek B, selama lima
menit.

4.3.2 Konsep Makanan


4.3.2.1 Tujuan dari Makan
B memandang bahwa seseorang perlu makan karena merasa lapar. Selain itu,
menurut B, makan juga berguna agar tidak merasa lelah. Ketika sedang capai, seseorang
perlu makan karena makan bertujuan membuat orang merasa tidak capai. Pernyataan B
tersebut menunjukkan karakteristik semilogical reasoning, yaitu menghubungkan
sebuah pemikiran dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis
(Wadsworth, 2004). B memikirkan tujuan makan secara umum, yaitu agar seseorang
tidak lapar dan tidak capai, serta mengesampingkan hal-hal yang logis mengenai tujuan
makan. Namun, ketika ditanya lebih lanjut mengapa makan dapat membuat seseorang
tidak capai, B tidak dapat menjawabnya. B hanya melihat makan dapat menjadikan
seseorang tidak merasa lelah, tanpa mengetahui proses dibaliknya, yang

Universitas Indonesia
63

menggambarkan rigidity of thought, yaitu lack of flexibility, yaitu kecenderungan untuk


fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan yang terjadi (Miller, 2011).

“Lapeerkhh (Sambil menggumam)” (TDM_SR)


“Laperkhh..” (TDM_SR)
“(bergumam) ga capek” (TDM_SR)
“gak capek” (TDM_SR)
“Eeee kan capek jadi makan” (TDM_SR)
“Biar…. Gak capek” (TDM_ROT_LF)
“waaaaaa, gatau haaaaa” (TDM_ROT_LF)

B telah mulai memahami efek makanan bagi tubuh, ditunjukkan dengan


pernyataan B yang menyebut perut salah satu peneliti (Ha) gendut akibat makan ciki
terlalu banyak. Selain itu, B juga menyatakan bahwa memakan bayam dapat membuat
tubuh seseorang menjadi tinggi, walaupun B belum dapat menjelaskan lebih lanjut
mengenai hal tersebut. Penalaran B mengenai efek makanan bagi tubuh
mendeskripsikan karakteristik preoperational thought, yaitu rigidity of thought, yang
ditandai oleh lack of flexibility atau cenderung melihat hal yang menetap dibandingkan
dengan proses perubahannya (Miller, 2011).

“Eh ituuu meledak genduut (menunjuk ke perut HA)”


“Dooo… sehat!” (TDM_ROT_LF)
“Sehat!”
“Uoooo (bermain)”
“Tinggi (berbisik)” (TDM_ROT_LF)
“Iyaaa (berbisik)” (TDM_ROT_LF)

4.3.2.2 Efek dari Makanan Tertentu


Penalaran B di atas mengenai efek makanan bagi tubuh juga menunjukkan
bahwa B mengerti adanya efek makanan tertentu bagi tubuh. Misalnya, bayam dapat
membuat tubuh seseorang menjadi tinggi. B juga menunjukkan bahwa memakan ciki
dapat merusak gigi dan menyebabkan penyakit apabila dimakan terlalu banyak. Cara B
menyampaikan jawaban tersebut juga menunjukkan karakteristik semilogical reasoning,
yaitu anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-hari dalam hal
tingkah laku manusia (Miller, 2011), yang ditunjukkan dengan sebutan B bahwa ciki
‘nakal’ karena berpenyakit.

“tadi kan makanan ga punya gigi” (EMT_SR)

Universitas Indonesia
64

“Ciki nakal, penyakit” (EMT_SR)


“Kan terus makannya banyak” (EMT_SR)

4.3.2.3 Efek dari Kuantitas Makanan


B mengetahui tentang efek kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh seseorang.
Menurut B, seseorang yang tidak makan dapat dibawa dengan mobil ambulan karena
sakit. B pernah melihat seseorang yang sakit diantar oleh mobil ambulan ke rumah
sakit. Hal tersebut menunjukkan proses berpikir semilogis, atau biasa disebut juga
semilogical reasoning karena pemikiran tentang sebab-akibat masih sangat umum dan
terbatas (Miller, 2011).

“bisaaa, abu abulan” (EKM_SR)


“bisa ambulan” (EKM_SR)
“kan buat orang penyakittt” (EKM_SR)

Selain dibawa ke rumah sakit dengan ambulan, B menuturkan bahwa seseorang


yang tidak makan dapat tidak diperbolehkan membeli mainan. Pernyataan B tersebut
didasari oleh pengalamannya tidak diperbolehkan membeli mainan karena tidak mau
makan. Hal tersebut menunjukkan karakteristik egocentrism, yaitu anak cenderung
mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan diri anak (Piaget &
Inheider, 2000). B melihat efek dari kuantitas makanan dari pengalamannya sendiri.
Karakteristik egocentrism menunjukkan bahwa anak belum dapat membedakan diri
sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum dapat melihat sudut pandang
perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).

“Bisaa ga boleh beli mainan” (EKM_EGO)

Masih berkaitan dengan efek dari kuantitas makanan, B juga mulai mengetahui
akibat dari makan makanan dengan jumlah yang banyak. Menurut B, ciki adalah
makanan tidak sehat karena dimakan terlalu banyak. B melihat ciki adalah makanan
tidak sehat dari jumlah ciki yang dikonsumsi seseorang, menunjukkan karakteristik
rigidity of thought, yaitu centration, hanya melihat ciri yang menonjol dari objek (Piaget
& Inheider, 2000). B juga memahami bahwa makanan tidak boleh dimakan berlebihan.
B menyatakan bahwa bayam boleh dimakan setiap hari asal tidak terlalu banyak. B juga
menyebutkan bahwa makan melon terlalu banyak tidak diperbolehkan karena bisa
dibuang. Ketika menjawab hal tersebut, B merefleksikan pengalamannya saat makan

Universitas Indonesia
65

melon terlalu banyak, mencirikan adanya egocentrism atau cenderung menginterpretasi


dunia sesuai diri anak (Piaget & Inheider, 2000).

“(Ciki) engga (sehat)” (EKM_ROT_CE)


“Kan terus makannya banyak” (EKM_ROT_CE)
“(Bayam) boleh tapiii jangan banyak banyak” (EKM_ROT_CE)
“(Melonnya) dibuaang” (EKM_EGO)
“Gaboleeh” (EKM_EGO)

4.3.2.4 Efek Diet yang Tidak Seimbang


B juga mulai memahami tentang efek dari diet yang tidak seimbang. B
mengatakan bahwa boleh makan bayam setiap hari tetapi tidak boleh memakan bayam
dalam jumlah yang banyak. Penalaran B berkaitan dengan efek kuantitas makanan,
dilihat dari jumlah bayam yang dikonsumsi. Hal tersebut mencirikan semilogical
reasoning, yaitu anak fokus pada hal-hal yang umum dan belum dapat dikatakan logis
(Wadsworth, 2004).

“Bisa dimakan” (EDT_SR)


“Boleh tapiii jangan banyak banyak” (EDT_SR)

4.3.2.5 Jenis dan Ciri Makanan Sehat


B mengetahui bahwa sayur dan buah adalah makanan sehat. B juga
menyebutkan beberapa jenis makanan yang dikatakan sehat, seperti bayam, sop, melon,
jeruk dan ikan. B menuturkan bahwa makanan sehat adalah makanan yang dapat
dimakan. Selain itu, menurut B, makanan sehat adalah makanan yang diperbolehkan
untuk dimakan. B memandang makanan sehat dalam hal-hal yang luas dan semilogis,
sehingga menunjukkan semilogical reasoning (Wadsworth, 2004).

“makanan sayur, makanan buah , mie gaboyeh (menunjukkan gambar anggurnya)”


(MS)
“yang itu buah boleeh” (MS)
“sayur sop” (MS)
“jeruuk” (MS)
“iniiii, melon” (MS)
“ini durii” (MS)
“iniii ikaaan” (MS)
“boleeeh makan” (MS_SR)
“boleeh makan” (MS_SR)
“sop boleeeh” (MS_SR)

Universitas Indonesia
66

“Bayem sehat” (MS_SR)


“Bisa dimakan” (MS_SR)

Selain itu, B juga melihat ciri makanan sehat berdasarkan warna dan rasa.
Misalnya, pisang sehat karena berwarna kuning dan jeruk sehat karena memiliki rasa
yang enak. Kedua jawaban tersebut menunjukkan karakteristik rigidity of thought, yaitu
centration. Anak cenderung untuk melihat karakteristik yang menonjol dari suatu objek
dan mengabaikan karakteristik lainnya (Piaget & Inheider, 2000). B melihat makanan
sehat dari warna dan rasa buah dibandingkan dengan hal lain yang menjadikan buah
adalah makanan sehat.

“aaak (pisang) warnaaa kuning” (MS_ROT_CE)


“(jeruk) enaak” (MS_ROT_CE)

4.3.2.6 Jenis dan Ciri Makanan Tidak Sehat


Mengenai makanan tidak sehat, B menyebutkan mie dan ciki sebagai makanan
yang dianggapnya tidak sehat. Berdasarkan penuturan B, makanan tidak sehat adalah
makanan yang tidak boleh dimakan. B juga menambahkan bahwa apabila memakan mie
sejak dulu dapat membuat seseorang disuntik dan dirinya takut untuk disuntik. Soal
ciki, B mengemukakan alasan bahwa ciki dapat merusak gigi dan menyebabkan
penyakit. Apabila seseorang makan ciki dalam jumlah yang banyak, menurut B, maka
seseorang tersebut bisa menjadi sakit. Penjelasan B mengenai mie dan ciki sebagai
makanan yang tidak sehat menggambarkan ciri semilogical reasoning, yaitu
menghubungkan sebuah pemikiran dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan
yang logis (Wadsworth, 2004).

“suntiiiik” (MTS_SR)
“takuuut” (MTS_SR)
“heeee, kalo disuntik disuntik”
“heeeh”
“kalo makan mie kalo dari duluu” (MTS_SR)
“tadi kan makanan ga punya gigi” (MTS_SR)
“Ciki nakal, penyakit” (MTS_SR)
“Kan terus makannya banyak” (MTS_SR)
“ituuuu bisa sakit awawwuaa” (MTS_SR)

Universitas Indonesia
67

4.3.2.7 Jenis Sayuran dan Buah-buahan


B telah mengetahui beberapa jenis sayuran dan buah-buahan, meskipun harus
dengan bantuan dari peneliti. B mengetahui buah stroberi, jeruk, dan pisang. B juga
mengetahui sayuran wortel, bayam, dan terong dengan bantuan. Menurut X, ibu B, ia
mengenalkan makanan pada B dari masakan. B juga terkadang menonton dari gambar.
B juga terkadang menonton dari televisi yang berisi konten tentang makanan. Di
sekolah juga sedikit diajarkan mengenai sayuran dan buah-buahan. Dari peristiwa
tersebut, terjadi proses akomodasi (accommodation) dalam skema yang dimiliki B
tentang sayuran dan buah-buahan, yaitu pembentukan skema baru dari hasil
penggabungan informasi dari ibu, media, dan sekolah.
Namun, B belum dapat membedakan kategori sayur dan buah sepenuhnya.
Beberapa kali ia tertukar menyebut melon adalah jenis sayur dan bukan buah. B juga
beberapa kali tertukar menyebut bayam dengan kangkung karena kesamaan yang
dimiliki antar keduanya. B juga cukup sering menyebut sayuran dengan sebutan rumput
daun, ketika ia tidak mengetahui jenis sayuran yang ditanyakan kepadanya. Hal tersebut
menunjukkan ciri dari representasi mental, yaitu anak usia prasekolah cenderung
melihat simbol atau kesamaan yang menetap antar objek (Miller, 2011).

“Rumput dauun” (JSB_MR)


“Bayaaaam”
“Daun kangkung” ” (JSB_MR)
“Daun…” ” (JSB_MR)
“Rumput daun” ” (JSB_MR)
“Bayam”

Hal tersebut dipengaruhi oleh ibunya yang jarang mengenalkan makanan pada B
saat makan dengan gambar. B juga kurang tertarik mengenal makanan dari media
karena ia tidak suka makan. Ditambah lagi, di sekolah juga hanya diajarkan mengenai
lagu sayuran dan buah-buahan, tetapi tidak ditunjukkan bentuk asli dari sayuran dan
buah-buahan tersebut.

“Iyaaa, jadi kalo makanan nyiasatinnya dari masakan yang baru”


“Ga dari gambar sih”
“Tentang sayuran? Dari gambar,tv,handphone. Tapi B kalo tentang makanan emang
dia sih jujur gak terlalu… menarik banyak soal makanan itu. Karena dari itu, mungkin
karena dia gak suka makan jadi dia gak suka”
“Diajarin kaya lagu-lagunya itu”

Universitas Indonesia
68

“ (menyanyi) "Sayur wortel, bayam kangkung" bayam kangkung. Apa ya mungkin kaya
(menyanyi) "banana banana, tomato"”

4.3.3 Pembentukan Konsep Makanan


Dalam pembentukan konsep, Piaget (1952) menekankan adanya pengalaman
yang dialami oleh anak sehari-hari, yaitu dilihat dari kematangan fisik, pengalaman
aktif, dan pengalaman sosial anak. Anak juga membentuk konsep berdasarkan
kebiasaan yang dilakukannya. Dalam hal konsep tentang makanan, anak juga
membentuk konsep tersebut dari kebiasaan makan, cara makan, aktivitas saat makan,
aturan makan dan strategi yang dilakukan oleh orang tua di rumah, mengenal makanan,
dan respon terhadap makanan baru. Pada kasus B, akan dijabarkan mengenai
pembentukan konsep makanan yang telah dideskripsikan di atas melalui hasil
wawancara dengan X, ibu B, dan N, nenek B.
B biasa makan dua kali sehari, yaitu pada waktu pagi dan siang hari. B jarang
makan di sore dan malam hari. Kebiasaan makan B tersebut serupa dengan kebiasaan
makan orang tua B yang makan sebanyak dua sampai tiga kali sehari. Namun, orang tua
B juga makan pada sore atau malam hari hanya ketika ada jajanan.

B
“Duaaa” (KM_PAM)
“Eeeee(asyik bermain)”
“Iyaaa (pagi)” (KM_PAM)
“Iyaaa (siang)” (KM_PAM)
X
“Ya tiga kali (bicara pelan)” (KM_PAM)
“Tiga kali (mengencangkan suaranya). Jarang-jarang sih.. Kalo pagi, siang, sore atau
malem gitu kalo ada jajanan” (KM_PAM)
“Pagi sama siang” (KM_PAM)

B makan dengan cara disuapi oleh ibunya atau neneknya yang biasa
menemaninya makan. Namun, B biasa makan sendiri ketika disuguhkan jenis makanan
tertentu, misalnya ayam goreng, nugget, atau telur. Cara makan yang dimiliki oleh B
menunjukkan bahwa B mengelompokkan jenis makanan apa saja yang dapat dimakan
sendiri olehnya dan tidak perlu disuapi oleh ibu atau neneknya.

B
“Disuapin” (CM_DS)
“Sama Ummi” (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
69

“Sama nenek” (SOC_NN)


X
“Tiap pagi tuh disuapin” (CM_DS)
“Tapi kalo menu tertentu gak perlu dipilihin sih kayak misalnya ayam goreng atau
nugget atau telor makan sendiri” (CM_MS)
“Iya bisa. Ayam goreng bisa… Gak pake sendok juga” (CM_MS)

Kebiasaan makan B yang lain adalah porsi makannya tidak terlalu banyak, yaitu
hanya setengah centong. B juga makan dengan cara diambilkan oleh ibu atau neneknya
karena belum bisa mengambil makanannya sendiri. Di samping itu, menurut N, nenek
B, B memiliki nafsu makan yang kurang, sedangkan menurut X, ibu B, nafsu makan B
tergolong sedang, tergantung apakah B sedang mau makan atau tidak. Walaupun begitu,
B tidak meminum obat penambah nafsu makan, hanya diberikan vitamin yang
berbentuk sirup oleh ibunya.

“Porsinya sama aja.. Setengah centong” (KM_POM)


“Iya kalo diambilin. Belom bisa ambil sendiri”

“Kurang” (KM_NM)
“Sedang-sedang aja sih sebenernya. Kalo lagi mau, mau” (KM_NM)
“Tapi kalo B gak pake obat penambah nafsu makan cuma kayak curcuma aja kan
sehari sekali” (KM_NM)
“Kan sehari sekali jarang-jarang juga”

Berdasarkan penuturan X, terdapat beberapa jenis makanan yang disukai oleh B.


B menyukai sayuran tertentu, seperti sayur sop, bayam, dan jagung. B sangat menyukai
makanan yang memiliki rasa manis, seperti teh manis, dodol, martabak manis, coklat,
bubur kacang hijau, dan bubur sumsum gula merah. Kesukaan B menyukai makanan
manis dipengaruhi oleh adat Jawa yang bisa mengonsumsi makanan manis. B juga
menyukai makanan yang sedikit pedas, misalnya rujak, ikan balado, nasi goreng pedas,
atau gado-gado pedas, walaupun harus meminta ibunya untuk mengurangi cabainya
agar tidak terlalu pedas. Hal tersebut juga dipengaruhi ibu B yang menyukai makanan
pedas.

X
“Sukanya manis tuh” (JM_RS)
“Iya dua duanya suka manis” (JM_RS)
“Iya dia sukanya dodol” (JM_RS)
“Pokoknya yang kayak martabak manis seneng nih dua duanya nih” (JM_RS)
“Karena mungkin orang jawa kali”

Universitas Indonesia
70

“Dodol tuh suka banget”


“Teh maniss, dulu kalo misalnya kita turutin pasti dia pengennya yang manis manis”
(JM_RS)

“Kalo yang gara-gara aku… apa ya… yaaa adat sunda kali ya. Saya suka pedes, dia
suka pedes” (JM_RS)
“Rujak.. Dia suka. Gak banyak sih paling dicocol dikit”
“Iya”
“Doyan dia doyan”
“Doyan”
“Iya dia makan ikan dicabein” (JM_RS)
“Tadinya gak suka pedes. Aku suka pedes” (JM_RS)
“Masih dimakan. Cuma kalo ngeliat sambel pedes bukannya takut atau gimana gitu.
(menirukan ucapan B) "ummi jilat dulu. Dijilat dulu ummi" jadi masih ada sisa-sisanya.
Ya biar gak terlalu pedes gitu kan” (JM_RS)

O
“Nih misalnya beli nasi goreng pedes” (JM_RS)
“Beli nasi goreng pedes dimakan” (JM_RS)
“Mau mau dia”
“Kasih B katanya”

Selain jenis makanan yang disukai, terdapat beberapa jenis makanan yang tidak
disukai oleh B. B tidak menyukai daging-dagingan, terutama daging sapi. Daging ayam
dan daging ikan masih disukai oleh B. Menurut X, B tidak menyukai daging sapi karena
teksturnya yang sedikit keras sehingga B tidak dapat mengunyah dan melumatnya. B
juga tidak terlalu suka sayuran yang lain, seperti wortel, brokoli, atau buncis.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh X, B mengelompokkan makanan manis dan
sedikit pedas sebagai makanan yang ia sukai. Selain itu, B juga telah membentuk skema
bahwa ia menyukai makanan yang bertekstur empuk, seperti daging ayam dan ikan,
sehingga ia tidak menyukai daging sapi yang bertekstur sedikit keras.

“Yang ga mau itu hmmm (berpikir sejenak) daging daging” (JM_TK)


“Naaaah daging diaaa, karena ngunyahnya belum bisa” (JM_TK)
“Yaa sayur juga agak susah dia kayak wortel, dulu suka dia” (JM_TK)
“Nah itu daging sapi, daging ayam mah mauu” (JM_TK)

Pada saat makan, B juga melakukan kegiatan yang lain, seperti menonton
televisi dan bermain. X menuturkan bahwa ia biasa menyuapi B sambil bermain di
dalam rumah. Terkadang, sesekali X juga menyuapi B makan sambil main di luar,
walaupun saat ini Judah jarang dilakukan. Begitu pula ketika makan bersama N,

Universitas Indonesia
71

neneknya. N biasa menemani B makan saat B sedang bermain lego. N duduk di


samping B saat bermain, kemudian menyuapinya. Ketika makan sendiri pun, B biasa
makan bersama ibunya sambil mengobrol dan menonton televisi.

X
“Iyaa sambil main” (AK_BM)
“Sambil main dia. Mainan yang kayak gitu ya mainan yang dia biasa aja” (AK_BM)
“Kalo bisa sih sambil main di luar cuma kadang udah gak bisa tuh dia jadi di rumah
aja” (AK_BM)
“Apalagi dia… He eh. Sambil nonton tv. Jarang banget sih dia yang makan fokus
sendiri”
“Sambil ngobrol sama kita bareng” (AK_MT)
“Iyaa diajakin, "ayok ayok makan yuk" sambil nonton tv nah aku di sampingnya aku
juga makan. Dia pakai piring sendiri dia” (AK_MT)

N
“Sambil main” (AK_BM)
“Iya mainannn itu mainan apa” (AK_BM)
“Lego” (AK_BM)
“Heeh sambil disampingnya disuapin” (AK_BM)

X, ibu B, memberlakukan aturan ketika B makan. Aturan tersebut, menurut X,


disesuaikan dengan ajaran agama yang dianutnya. Sebelum makan, B diajarkan untuk
membaca doa terlebih dahulu. B diharuskan untuk duduk ketika makan serta makan
dengan tangan kanan. Walaupun terkadang, B sulit untuk hanya duduk saat makan
karena B sangat aktif. X juga mengajarkan B untuk menghabiskan makanan yang
sedang dimakan. X menuturkan bahwa B biasa mematuhi aturan membaca doa dan
makan dengan tangan kanan, tetapi sulit menaati aturan menghabiskan makanan. Untuk
ukuran anak seusianya, B menuruti aturan saat makan yang dibiasakan oleh ibunya.

“Harus baca doa” (AT_CM)


“Tangannya harus tangan kanan” (AT_CM)
“Pokoknya ajaran Rasullulah lah” (AT_CM)
“Duduk” (AT_CM)
“Biasa kalo makan harus tangan kanan” (AT_CM)
“Sebisa mungkin harus duduk, tapi kadang yang namanya anak anak susah ya”
(AT_CM)
“Iyaaaa, yang penting dia pas lagi makan tangan kanan” (AT_CM)
“Nah itu ini harus dihabisin dulu dihabisin dulu sayang” (AT_CM)
“Kalo baca doa matuhin, tangan kanan juga tapi yang harus dihabisin susah”
(AT_CM)

Universitas Indonesia
72

“Nah B kalo disuru baca doa dulu, baca paham baca doa dulu iya gitu bisa baca”
(AT_CM)
“Nurut dia nurut, kalo untuk seumuran dia” (AT_CM)
“Ga ngebantah kalo dia, aduuh jangan sampe dah”

Dalam membuat B menaati aturan saat makan, terdapat beberapa strategi yang
dilakukan oleh X. Ketika B tidak mau makan, X membuatkan makanan kesukaan B,
yaitu bubur sumsum gula merah atau bubur kacang hijau. X juga mengingatkan B ketika
ia tidak mau menghabiskan makanannya. X juga menerapkan pemberian hadiah
(reward) dan hukuman (punishment). Apabila B makan dengan baik, maka X akan
menuruti keinginan B, sedangkan apabila B makan dengan buruk, ia akan menegur B. B
tidak suka bila ia ditegur oleh ibunya, sehingga ia akan langsung marah dan semakin
tidak menaati aturan.

X
“Kalo dia lagi gak mau makan banget biasanya saya bikin bubur sumsum” (SD_BR)
“Iya. Dia pasti mau. Bubur sumsum pake gula merah” (SD_BR)
“Iyaa atau kacang hijau” (SD_BR)
“Sukaa. Doyan teh manis” (SD_BR)
“Ya iya dimarahin, "Kalo 'Aa ga mau gapapa gausah dimakan, sayang" (kata X ke B)”
(SD_BR)
“Iya diingetin” (SD_BR)
“Engga hahaha, tapi kadang engga sih dimakan juga” (SD_BR)
“Reward dan punishment ya” (SD_RP)
“Pastinya, kalo dia melakukan hal yang baik aku turuti kalo misalnya dia melakukan
sesuatu yang buruk yaa aku kasih tau dulu, tapi dia waktu dikasih tau dia udah ngerasa
teromeli walaupun ga dikasih tau, jadi kayak eeee ini "Aa ko ini sepatunya dibawa ke
rumah"” (SD_RP)
“Dia langsung marah, ngambek padahal aku belum ngomelin” (SD_RP)
“Tapi kadang kejem banget sih dia kadang sensitif juga hatinya kalo sampe belum
diomelin aja udah kayak gitu” (SD_RP)
“Dia lebih sering kalo misalnya di omelin nih makin kejer makin ngebangkang”
(SD_RP)

Anggota keluarga yang lain juga ikut melakukan strategi agar B menuruti aturan
yang diberlakukan oleh orang tuanya. O, kakek B, juga ikut membujuk B untuk
menghabiskan makanannya dengan cara berpura-pura mengambil makanan yang tidak
mau dimakan oleh B. Menurut O, biasanya B akan langsung mencoba menghabiskan
makanannya agar tidak diambil oleh dirinya.

Universitas Indonesia
73

O
“Eh ditakut-takutin ini, "eh bapak ambil nih makanannya" kalo makanannya diambil
bapak gitu biasanya mau. Itu sih J” (SD_BR)
“"B, nih kasih Abah nih ya" (menirukan ucapan untuk membujuk B makan) kan
akhirnya dia mau” (SD_BR)
“Kan gitu, "kasih Abah". "Sini dihabisin sama Abah"” (SD_BR)
“Itu caranya juga. Kayak tadi nih makannya dikasi.. Dikasih dedek” (SD_BR)

Dari aturan saat makan dan strategi yang dilakukan oleh X beserta anggota
keluarga lainnya, terbentuk skema yang dimiliki oleh B tentang apa yang harus ia
lakukan saat makan. B mengetahui bahwa ia harus membaca doa sebelum makan, lalu
makan dengan duduk dan menggunakan tangan kanan. B juga harus berusaha
menghabiskan makanan yang sedang dimakan. Jika ia menaati aturan tersebut, ia akan
mendapat hadiah. Sebaliknya, jika ia melanggar aturan tersebut, ia bisa mendapat
hukuman.
B mendapatkan informasi mengenai jenis makanan karena dikenalkan oleh X,
ibunya. X suka memberitahu tentang makanan yang dimasak kepada B. X mengenalkan
makanan dengan cara menyiasatinya menggunakan bentuk makanan yang sedang
diolahnya, misalnya jamur atau cumi. X juga mengenalkan jenis sayuran saat sedang
bermain dengan menggunakan gambar. Informasi mengenai jenis makanan yang
dimiliki B diperoleh melalui diperoleh melalui social experience, yaitu pertukaran ide
antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011), yakni B dan ibunya.

X
“Kan pas kita masak baru kita kasih tau, ini apaa, kayak jamur ya, kaya tumis jamur
"ini enak A jamur"” (PM_SM)
“Tapi dia masih belum mau makan jamur” (PM_SM)
“Kayak cumii”
“Yang gurih gurih senengnya”
“"Ini A cumi", lama lama dia suka, cumi yang asin itu ya” (PM_SM)
“Iyaaa, jadi kalo makanan nyiasatinnya dari masakan yang baru” (PM_SM)
“Ga dari gambar sih” (PM_SM)
“Oh udah, bentuknya kan suka.. suka di panjangin” (PM_SM)
“Iya dikasih tau, "bikin apa mih?" "cilok" "oh cilok"” (PM_SM)
“Enggak jarang sih, paling kalo ngenalin sayur-sayur gitu...lagi main aja. Kalo ada
gambar "A ini apa A?"”
“Kalo lagi makan kayanya ini kayanya jarang juga ya”
“Di bawa keluar anaknya, sambil maen-maen”

Universitas Indonesia
74

Selain dari ibunya, N, nenek B, juga sering mengenalkan B masakan yang


sedang dibuatnya. B juga mengetahui berbagai jenis sayuran dan buah-buahan dari
media, yaitu televisi dan internet. Di sekolah B juga diajarkan mengenai lagu sayuran
dan buah-buahan. Informasi yang didapatkan B dari neneknya, media, dan sekolah)
membentuk konsep makanan yang dimiliki B.

X
“Tentang sayuran? Dari gambar,tv,handphone. Tapi B kalo tentang makanan emang
dia sih jujur gak terlalu… menarik banyak soal makanan itu. Karena dari itu, mungkin
karena dia gak suka makan jadi dia gak suka” (PM_MD)
“Diajarin kaya lagu-lagunya itu” (PM_SK)
“ (menyanyi) "Sayur wortel, bayam kangkung" bayam kangkung. Apa ya mungkin kaya
(menyanyi) "banana banana, tomato"” (PM_SK)
N
“Iya”
“Iya "ini tempe" "ini apa ini?" "wortel". "Ini apa nih yang panjang?" "buncis"”
(PM_SM)

Berkaitan dengan makanan baru, B termasuk mudah menerima makanan baru. B


mau mencoba makanan baru yang diberikan oleh ibunya, walaupun terkadang juga tidak
mau mencoba. Biasanya setelah merasakan makanan baru, B memutuskan apakah akan
melanjutkan memakan makanan baru tersebut atau tidak. Apabila menurut B enak,
maka ia akan meneruskan makan. B mencoba macaroni schotel lalu membuat skema
tentang macaroni schotel di dalam pikirannya.

“Eeee ya itu dia tuh. Kalo makanan baru kayak misalnya contohnya ini ya hmm pernah
baru apa tuh namanya” (MB_MC)
“Yang ada macaroni”
“Yang ada makaroni, keju, susu”
“Cheese schotel”
“Iya schotel kan pernah makanan baru tuh. Tetangga bikin terus aku bawa pulang,
mau”“Tapi kalo makanan baru banget yang eeee emang beda-beda deh kadang mau
kadang engga” (MB_MC)
“Setelah dia ngerasain” (MB_AN)
“Iya. Pasti dia ngerasain dulu gimana. Kalo dia rasa gak enak, engga” (MB_AN)
“Masih. Kalo enak ya dia terusin” (MB_MC)

4.3.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan


Anak membangun konsep berdasarkan pengalaman sosial (social experience)
yang dialaminya (Wadsworth, 2004). Pengalaman sosial yang berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada B adalah orang tua B, terutama X, ibu B. X, ibu B,

Universitas Indonesia
75

berperan menemani makan B hampir setiap hari bila ia tidak sedang dinas di rumah
sakit karena X bekerja sebagai seorang perawat. Pada saat libur dan tidak bekerja serta
mendapat jadwal dinas malam hari, X dapat menemani makan selama seharian penuh.
Namun, saat mendapat jadwal dinas pagi atau siang hari, X hanya dapat menemani B
makan satu sampai dua kali dalam sehari. X biasa menyuapi B sambil menonton televisi
atau bermain mainan yang dimiliki oleh B.

“Aku sama Nenek, ibuku. Pokoknya sih hampir semua ya kecuali abah kalo abah kan
ini ya.. Sakit (stroke). Dulu mah sebelum sakit juga sama abah” (SOC_IBU)
(SOC_NN)
“Kalo lagi gak kerja haha” (SOC_IBU)
“Kalo aku liburnya gak selalu Sabtu Minggu.. Terus aku dinesnya kebanyakan siang
biar bisa nemenin dia berangkat sekolah masih.. Masih makan… Jadi palingan satu
kali atau dua kali (dalam sehari) itu aku nemenin dia makan” (SOC_IBU)
“Setiap hari. Kalo siang sama dines malam. Kalo dines malam malah enak aku bisa
seharian” (SOC_IBU)
“Palingan kan gak nemenin tidur” (SOC_IBU)
“Iyaa. Hampir setiap hari” (SOC_IBU)

X, ibu B, juga terkadang menyiapkan makanan yang dikonsumsi oleh B,


walaupun penyiapan makanan lebih banyak dipegang oleh nenek B. Ibu B biasa
membuat makanan yang mudah untuk diolah, seperti nasi dan telur goreng. Hal tersebut
dikarenakan ketika ibu B memasak di dapur, B dan J, adik B, rewel bila ditinggal.
Dalam menyiapkan makanan, ibu B jarang menanyakan kepada B tentang menu
makanan karena ketika ditanya, B akan menjawab ingin mie dan sosis. Menurut X, B
belum terlalu banyak mengetahui berbagai jenis makanan, sehingga X menentukan jenis
makanan yang dikonsumsi B.

“Masak sering, jarang beli, Beli tuh kalo misalnya aku dines pagi ya” (SOC_IBU)
“Apa ya? Kayak misalnya tadi mamah keluar”
“Pokoknya yang ga sempet, tapi seringnya kita masak ya, kalo ga sempet baru beli”
“Ya kalo dines siang bisa masak, kalo dines pagi ga sempet cape” (SOC_IBU)
“Aku biasanya bikin nasi, atau kalo cuma telor goreng, telor goreng..... karena dia
pada ngikut kedapur” (SOC_IBU)
“Ga juga, kalo ditanya belum ini siih” (SOC_IBU)
“Kadang jawab kadang engga” (SOC_IBU)
“Kalo ditanya dia? pengen emie atau sosis”
“Iya jadi aku tau sendiri” (SOC_IBU)
“Engga, dia kan mungkin ada beberapa makanan yang dia belum tau” (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
76

Perencanaan menu makanan yang dikonsumsi B juga ditentukan sendiri oleh X,


ibu B. Berlatarbelakang ilmu kesehatan, X mengetahui makanan yang baik dan tidak
baik untuk dimakan oleh B. X biasa merencanakan menu makanan di malam hari
sebelum mengolah makanan. Tak jarang pula, ia merencanakan menu makanan di hari
ketika ia akan memasak. Dalam merencanakan menu, X mempertimbangkan makanan
apa yang disukai oleh B dan J. Menurut X, orang dewasa dapat menyesuaikan dengan
makanan yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak, sehingga makanan yang dikonsumsi
orang tua dan anggota keluarga lain sama dengan apa yang dimakan oleh B dan J.
Bahan masakan yang akan diolah X menjadi makanan dibeli di pasar dekat rumahnya.

“Karena mungkin aku sedikitnya tau ya tentang makanan yang bagus sama yang
engga” (SOC_IBU)
“Eeeeh dari malemnya” (SOC_IBU)
“Kayak tadi aja besok mau masak apa ya, udah lah besok ini aja” (SOC_IBU)
“Tapi kadang hari Hnya baruuuuu mikir mau bikin apa, kayak gitu sih” (SOC_IBU)
“Anak anak, ga kita sih lebih ke anak, dia mau makan apa”
“Biar bisa dimakan anak anak” (SOC_IBU)
“Ibaratnya orang dewasa mah makan apa aja ya yang penting bisa dimakan”
“Kalo anak belum tentu dimakan, intinya anak anak makan jadinya harus bisa dimakan
apa engga sama anak” (SOC_IBU)
“Iya yang dia suka” (SOC_IBU)
“Di tukang sayur, ke pasar biasanya” (SOC_IBU)
“Di munjul biasanya deket dari rumah, deket naik sekali angkot doang”

X, ibu B, juga memantau pertumbuhan B melalui makanan dan pemberian


vitamin pada B. X menuturkan bahwa ia tidak memberikan obat penambah nafsu
makan, tetapi membiarkan B tumbuh secara alami. X memantau berat badan B agar
tetap berada di batas normal serta menjaga agar B sehat, gesit, dan bertumbuh. Untuk
mendukung hal tersebut, X juga membatasi makanan tertentu yang dikonsumsi oleh B.
X membatasi konsumsi makanan olahan, seperti sosis, pada B karena mengandung
bahan pengawet. B hanya diperbolehkan makan sebanyak satu sampai dua buah sosis
dalam sehari.

“Terus kalo orang kan kadang suka dikasih obat buat nafsu makan gitu kan ya. Biar
aja biarin alami aja” (SOC_IBU)
“Yang penting berat badannya di atas garis hijau aja. Kalo di bawah garis hijau baru”
(SOC_IBU)
“Yang penting dia sehat, gesit, pertumbuhannya pas” (SOC_IBU)
“Nah kalo sosis doyan tapi harus aku batesin kan pengawet” (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
77

“Makanan olahan?” (SOC_IBU)


“Kalo sosis, paling sehari satu atau dua” (SOC_IBU)
“Jadi misalnya kalo saya sekali beli gitu yang isinya tiga. Sekali makan aja itu kan beli
sayur juga ntar selang-seling” (SOC_IBU)

X juga memengaruhi B dalam jenis makanan yang disukai oleh B. X menyukai


makanan pedas sehingga B juga menyukai makanan yang sedikit pedas, padahal
biasanya anak seusia B menghindari makanan yang rasanya pedas. Kesukaan B
terhadap makanan pedas diakui oleh X masih dipengaruhi oleh adat Sunda yang gemar
memakan makanan pedas, seperti dirinya dan keluarganya.

“Kalo yang gara-gara aku… apa ya… yaaa adat sunda kali ya. Saya suka pedes, dia
suka pedes” (SOC_IBU)
“Tadinya gak suka pedes. Aku suka pedes” (SOC_IBU)

X juga memberikan informasi mengenai makanan pada B. Pemberian informasi


tersebut dilakukan oleh X ketika sedang menyiapkan makanan. Selain itu, X juga
memberikan informasi ketika sedang menemani B makan. X mengenalkan makanan
dari masakan yang telah dibuat. Kemudian, X memberitahu B tentang jenis makanan
tersebut beserta bentuk dan rasanya, misalnya jamur dan cumi.

“Kan pas kita masak baru kita kasih tau, ini apaa, kayak jamur ya, kaya tumis jamur
"ini enak A jamur"” (SOC_IBU)
“Kayak cumii” (SOC_IBU)
“"Ini A cumi", lama lama dia suka, cumi yang asin itu ya” (SOC_IBU)
“Iyaaa, jadi kalo makanan nyiasatinnya dari masakan yang baru” (SOC_IBU)
“Oh udah, bentuknya kan suka.. suka di panjangin” (SOC_IBU)

Selain itu, X juga melibatkan B ketika membuat makanan tertentu, walaupun


frekuensinya tidak terlalu sering. B dilibatkan untuk pekerjaan yang mudah, seperti
mengocok telur. X juga mengajak B ketika membuat makanan tertentu, seperti
membentuk aci menjadi bulatan saat membuat cilok. Ketika membuat makanan bersama
B, X juga memberikan informasi mengenai makanan yang sedang dibuat. X biasanya
memberikan tugas-tugas yang ringan kepada B, misalnya pada saat membuat agar-agar
bersama dengan B, X meminta B untuk meletakkan cetakan agar-agar di nampan dan
memasukkannya ke dalam kulkas.
“Jarang paling yang gampang ya kayak telur ngocok sendiri” (SOC_IBU)
“Kadang kalo aku bikin cilok niih” (SOC_IBU)
“Dia bikin bunder bundernyaa gitu” (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
78

“Heeh tapi jarang tapi kalo yang lain mah engga” (SOC_IBU)
“Heeh, engga takut” (SOC_IBU)
“Iya dikasih tau, "bikin apa mih?" "cilok" "oh cilok"” (SOC_IBU)
“Kadang dia nawar, "mih kita bikin cilok yuk mih"” (SOC_IBU)
“Bikin kolak kan sambil” (SOC_IBU)
“Atau bikin ager dia, "ayo a' taro cetakannya di apa?" "di nampan"” (SOC_IBU)
“Nanti dia taroin terus di masukin ke kulkas gitu” (SOC_IBU)

X juga berperan dalam kebiasaan jajan B. X suka memakan cemilan karena


porsi makannya tidak terlalu banyak. Menurut X, B sering jajan, terutama jajan permen.
X biasa menemani B ketika jajan. B tidak terlalu sering membeli makanan di luar. B
biasanya membeli ketika X atau anggota keluarga yang lain juga membelinya. Namun,
terkadang B juga suka meminta untuk membeli makanan di penjual jajanan yang lewat
depan rumahnya, seperti batagor, ataupun penjual makanan di sebelah rumahnya,
misalnya soto. Biasanya ketika B meminta, maka X akan membelikannya.

“Mama (Nenek B) sama aku. Jadi kalo makan.. Dikit-dikit makannya tapi ngemil. Jadi
kalo makan tuh dikiit banget nanti makan lagi, dua jam tiga jam” (SOC_IBU)
“Seriiing (jajan)”
“Permen si B mah”
“Seringnya permen”
“Ditemenin biasanya”
“Nenek atau aku” (SOC_IBU) (SOC_NN)
“Engga, kalo kita beli baru beli” (SOC_IBU)
“Kalo dia mau, dia nawar”
“"Umi aku pengen batagor, kan gituu" (X mencontohkan B ketika meminta jajanan)”
(SOC_IBU)
“Kadang”
“"Umiiii aku pengen sotoo" (mencontohkan B ketika meminta makanan)” (SOC_IBU)
“Di sebelah rumah ada soto”
“Aku pengen sotooo, ya udah deeh ya”
“Sotonya ga dimakan yang dimakan cuma nasi sama aerr”

Selain ibu, pihak lain yang juga paling berperan dalam pembentukan konsep
makanan B adalah N, neneknya. N, nenek B, biasa menemani B makan ketika ibunya
sedang pergi bekerja. N menuturkan bahwa ia sering menyuapi B ketika makan sehari-
hari. N biasa menyuapi B sambil bermain permainan lego.

B
“Disuapin”
“Sama Ummi” (SOC_IBU)

Universitas Indonesia
79

“Sama nenek” (SOC_NN)


X
“Aku sama Nenek, ibuku. Pokoknya sih hampir semua ya kecuali abah kalo abah kan
ini ya.. Sakit (stroke). Dulu mah sebelum sakit juga sama abah” (SOC_NN)
N
“Sering nyuapin” (SOC_NN)
“Iya mainannn itu mainan apa” (SOC_NN)
“Lego” (SOC_NN)
“Heeh sambil disampingnya disuapin” (SOC_NN)

Dalam hal penyiapan makanan, N yang lebih banyak memasak menu makanan
yang dikonsumsi oleh B dan keluarga, terutama makanan pokok. N, nenek B, biasa
membuat berbagai jenis masakan, seperti sayur atau opor ayam. N juga selalu
menghidangkan kerupuk karena B sangat suka dengan kerupuk, apalagi ketika dicampur
dengan makanan yang B kurang sukai. N juga yang berperan membeli bahan makanan
di pasar.

X
“Banyak Nenek hahaha, Nenek yang gesit aku megangin bocah dua aja” (SOC_NN)
“Padahal yang ngurusin Neneknya kalo kata orang sini mah, niniknya yang gesit,
orang ibunya perawat” (SOC_NN)
“Makanan pokoknya… Neneknya” (SOC_NN)

N
“Kadang gituu”
“Kadang buat opor ayam, sayur gitu, pastinya kalo ada sayur suka dia, pasti kalo ada
sayur ada kruu(puk)” (SOC_NN)
“Misalkan nenek beli di sragen (pasar) terus di kulkas naro apa diumpetin ke bawah
gitu. Kalo gak diumpetin udah abis” (SOC_NN)

N juga melibatkan B ketika sedang menyiapkan makanan. Menurut N, ia harus


menyimpan bahan makanan yang telah dibelinya agar tidak diiris-iris oleh B. N juga
terkadang membiarkan B untuk memotong-motong bahan makanan menggunakan pisau
plastik. Kegiatan yang B lakukan adalah berpura-pura untuk berjualan bakso bersama
N. N juga biasa mengenalkan makanan kepada B ketika memasak atau menemani B
makan. N memberitahu jenis makanan yang dimakan oleh B, seperti tempe, wortel, dan
buncis. N juga menanyakan kembali kepada B mengenai jenis makanan yang telah
diberitahu.

“Iya”

Universitas Indonesia
80

“Iya "ini tempe" "ini apa ini?" "wortel". "Ini apa nih yang panjang?" "buncis"”
(SOC_NN)
“Itu kalo ada tempe ditaro di kulkas diumpetin” (SOC_NN)
“Diambilin diiris-iris diacak-acak” (SOC_NN)
“Kalo ada sayuran apa …” (SOC_NN)
“Abis ama B mah diiris-iris” (SOC_NN)
“Misalkan nenek beli di sragen (pasar) terus di kulkas naro apa diumpetin ke bawah
gitu. Kalo gak diumpetin udah abis” (SOC_NN)
“Dia motongin sendiri pake pisau” (SOC_NN)
“Bisa… Pisau yang itu pisau plastik”
“Ehh itu mah dia bisa. Dagang bakso ceritanya” (SOC_NN)

N, nenek B, turut memengaruhi kebiasaan jajan B. N senang memakan cemilan


karena porsi makannya tidak terlalu banyak. N juga sering menemani B jajan, terutama
jajan permen. Berdasarkan penuturan N, biasanya N membeli jajanan bersama B dalam
jumlah yang banyak saat satu kali jajan. Lalu, B biasanya akan meminta makanan
jajanan yang telah dibeli kepada N. B juga mengatakan bahwa ia sering diberikan oleh
N kue yang rasanya enak.

X
“Iya. Mama (Nenek B)” (SOC_NN)
“Mama (Nenek B) sama aku. Jadi kalo makan.. Dikit-dikit makannya tapi ngemil. Jadi
kalo makan tuh dikiit banget nanti makan lagi, dua jam tiga jam” (SOC_NN)
(SOC_IBU)
“Seriiing” (SOC_NN)
“Permen si B mah”
“Seringnya permen”
“Ditemenin biasanya”
“Nenek atau aku” (SOC_NN)
N
“Jajannya sekalian banyak” (SOC_NN)
“Engga, sekali doang biasanya sama mamah, "Nek punya apa?" (B biasa meminta
makanan ringan ke Neneknya)” (SOC_NN)
B
“(sama nenek) dikasih kue” (SOC_NN)
“Kue…. Kue bagus”
“Kue… rasanya enak”

Anggota keluarga lain yang tinggal bersama B di rumah juga ikut berperan.
Ayah B, misalnya, memengaruhi B dalam jenis makanan yang tidak disukai oleh B.
Ayah B tidak menyukai daun bawang dan sayur yang berkuah. B juga tidak menyukai
kedua makanan tersebut. B langsung tidak mau memakan makanan yang terdapat daun
bawang dan sayur yang banyak mengandung kuah.

Universitas Indonesia
81

“Misalnya itu kalo Abinya gak suka banget bawang ya.. Daun bawang gitu. Jadinya
kalo dia (B) ngeliat makanan ada ijoijonya gitu daun bawang, dia gak mau”
(SOC_AY)
“Kalo sayur palingan kita-kita doang yang makan. Kalo sayur buat anak-anak doang.
Abinya juga gak terlalu suka sayur yang berair” (SOC_AY)

O, kakek B, juga ikut berperan, terutama mengenalkan makanan. Ketika O


membeli makanan yang pedas, seperti gado-gado, B akan meminta mencicipi. O
biasanya memberikannya sehingga B menyukai makanan yang sedikit pedas. Selain itu,
O juga berperan dalam hal penerapan strategi agar B mematuhi aturan saat makan. O,
kakek B, juga ikut membujuk B untuk menghabiskan makanannya dengan cara berpura-
pura mengambil makanan yang tidak mau dimakan oleh B. Menurut O, biasanya B akan
langsung mencoba menghabiskan makanannya agar tidak diambil oleh dirinya.

“Kayak Abah beli gado-gado gitu kan pedes kata dia, (menirukan ucapan B) "mau mau
mau" kasih aja” (SOC_KK)
“Eh ditakut-takutin ini, "eh bapak ambil nih makanannya" kalo makanannya diambil
bapak gitu biasanya mau. Itu sih J” (SOC_KK)
“B, nih kasih Abah nih ya (menirukan ucapan untuk membujuk B makan) kan akhirnya
dia mau” (SOC_KK)
Kan gitu, "kasih Abah". "Sini dihabisin sama Abah" (SOC_KK)

Media dan sekolah juga berperan dalam pembentukan konsep makanan yang
dimiliki B, walaupun tidak menempati porsi yang besar. B mendapatkan informasi
mengenai berbagai jenis sayuran melalui televisi dan internet. Meskipun X, ibu B,
mengakui bahwa B tidak terlalu suka makan sehingga tidak tertarik dengan konten yang
mengandung makanan di media. Di sekolah juga diajarkan lagu mengenai jenis sayuran
dan buah-buahan. Sekolah juga berperan dalam mengenalkan makanan baru bagi B.
Melalui salah seorang temannya di sekolah, B mengenal salah satu merk ayam cepat saji
dan menginginkan makan ayam tersebut, walaupun X jarang membelikannya.

“Tentang sayuran? Dari gambar,tv,handphone. Tapi B kalo tentang makanan emang


dia sih jujur gak terlalu… menarik banyak soal makanan itu. Karena dari itu, mungkin
karena dia gak suka makan jadi dia gak suka” (SOC_MD)
“Diajarin kaya lagu-lagunya itu” (SOC_SK)
“ (menyanyi) "Sayur wortel, bayam kangkung" bayam kangkung. Apa ya mungkin kaya
(menyanyi) "banana banana, tomato"” (SOC_SK)
“de bestooo, iya itu tau dari temennya tuh, temen tknya makan de besto mulu de besto”
“Jadi dia pengen beli besto iya tapi jarang ya” (SOC_SK)

Universitas Indonesia
82

4.4 Analisis Intra Kasus 3


4.4.1 Gambaran Partisipan C
Wawancara dengan C dilakukan di tempat tinggal C yang berada di wilayah
Jakarta Timur. Pengambilan data dilakukan pada Rabu, 21 Maret 2018 pukul
17.00─20.00. C adalah seorang anak perempuan berusia enam tahun. C adalah anak
yang pendiam dan pemalu. C bersekolah di sebuah TK Islam yang berada di Jakarta
Selatan. C bertubuh kurus dan tinggi untuk anak seusianya. C memiliki rambut lurus
yang panjang berwarna hitam dan dikuncir kuda. Saat ini, C tinggal dengan ayahnya
seorang wiraswasta, ibunya (Y) yang bekerja di Kementerian Perindustrian bagian
Industri Agro, eyang putri (nenek) dan eyang kakungnya (kakek), adiknya (K) yang
berusia dua tahun, dan asisten rumah tangga yang tinggal menetap di rumahnya (M).
Pada saat pelaksanaan wawancara, C menggunakan daster berwarna pink tanpa
lengan bermotif semangka ukuran kecil. Ketika C menemui peneliti beserta Y, ibunya,
ia tampak malu-malu dan bersembunyi di belakang ibunya yang memakai baju bergaris
putih dan biru serta celana berwarna hitam. Lalu, peneliti menjelaskan kepada C bahwa
C akan diajak bermain dan diberikan beberapa pertanyaan. Peneliti juga memberikan
informed consent dan data demografis untuk diisi oleh Y sebagai persetujuan
dilakukannya wawancara. Setelah itu, Y mengajak peneliti masuk ke dalam ruang tamu.
Kemudian peneliti mengajak C untuk menempel potongan kertas origami berwarna
ungu pada gambar buah anggur. Lalu, peneliti memulai wawancara dengan C pada
pukul 17.30.
Menurut penuturan Y, dua hari sebelum tanggal pelaksanaan wawancara, C sakit
batuk, pilek, dan radang tenggorokan, sehingga tidak masuk sekolah. Terdapat benjolan
kecil di tenggorokan C yang membuatnya sulit makan akhir-akhir ini. Y juga
mengatakan bahwa C tidak banyak meminum air mineral. Namun, ketika wawancara
berlangsung, C sudah sembuh walaupun belum pulih total. Saat diwawancarai, C juga
beberapa kali batuk tetapi tidak mengganggu jalannya wawancara.

“Jadi kan dia tuh sakitnya batuk pilek kan. Ini di tenggorokannya ada sariawan.”
“Ini dipinggir sini, tapi bukan agak atasan kan kalau difteri kan agak atas deket
amandel itu kan.”
“Lagi...eee ini udah dua hari ini susah (makan) karena ya itu katanya sakit
banget.”

Universitas Indonesia
83

Selama proses wawancara, C asyik menempel dan mewarnai gambar yang


disediakan oleh peneliti. C juga sering menjawab pertanyaan peneliti dengan gestur
dan bahasa tubuh, seperti mengangguk atau menggeleng. Ungkapan C tersebut juga
menunjukkan kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition) yang merupakan
karakteristik anak usia prasekolah, yaitu anak kurang mampu membedakan peran
antara dunia fisik dan sosial sehingga mengakibatkan kurangnya komunikasi nyata
dengan orang lain (Miller, 2011).
Suara C juga sangat pelan ketika menjawab pertanyaan sehingga peneliti harus
menanyakan kembali maksud jawabannya. C menjawab pertanyaan dengan hanya
beberapa kata. Beberapa kali C juga mengatakan tidak mengetahui jawaban dari
pertanyaan yang diberikan peneliti. Peneliti menyiasatinya dengan memberikan jeda
waktu dan probing tambahan. C juga beberapa kali menjawab pertanyaan dengan
candaan dan tertawa. Di akhir wawancara, peneliti memberikan stik bergambar sayuran
dan buah-buahan dan menanyakan kepada C untuk melihat apakah C telah mengetahui
berbagai jenis sayuran dan buah-buahan.
Setelah melakukan wawancara dengan C, peneliti melanjutkan dengan
melakukan wawancara kepada Y, Ibu C. Wawancara dengan Y dilakukan selama 35
menit. Peneliti juga melakukan wawancara dengan M, pengasuh dari C. Wawancara
dengan M dilakukan selama tujuh menit. Wawancara dengan M bertujuan untuk
mengetahui menu makanan yang biasa dikonsumsi oleh C dan aktivitas yang dilakukan
saat menemani C makan di siang hari.

4.4.2 Konsep Makanan


4.4.2.1 Tujuan dari Makan
C menilai bahwa makan bertujuan agar dapat sembuh dari sakit. C melontarkan
jawaban tersebut karena dua hari lalu ia sakit batuk, pilek, radang tenggorokan dan
belum pulih total, sehingga ia beranggapan bahwa ia harus makan agar dapat segera
sembuh dari sakitnya. Hal tersebut menunjukkan karakteristik egocentrism, yaitu anak
cenderung mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan diri
anak (Piaget & Inheider, 2000). C hanya melihat tujuan dari makan pada dirinya sendiri
bukan tujuan dari makan secara umum. Karakteristik egocentrism menunjukkan bahwa

Universitas Indonesia
84

anak belum dapat membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum
dapat melihat sudut pandang perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).

“Sembuh! (meninggikan suara)” (TDM_EGO)

C juga menjelaskan bahwa makan dapat membuat seseorang sembuh karena


memakan sayuran. Namun, ketika ditanya bagaimana sayuran dapat membuat sembuh,
C tidak dapat menjelaskan prosesnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa C mengetahui
bahwa makanan tertentu dapat menimbulkan efek bagi tubuh. Selain itu, hal tersebut
juga mencerminkan adanya karakteristik rigidity of thought, yaitu lack of flexibility,
yaitu kecenderungan untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan
yang terjadi (Miller, 2011). Pemikiran C hanya tertuju pada sayuran dapat membuat
sembuh, tetapi belum memahami tentang proses hal tersebut dapat terjadi.

“Gak tau..” (TDM_ROT_LF)


“Makan sayur.” (TDM_ROT_LF)

C memandang bahwa makan memiliki efek bagi perubahan fisik tubuh. C telah
dapat membedakan tubuh kurus dan gendut yang disampaikannya melalui penilaian
tentang ibunya, Y, yang bertubuh gendut serta peneliti (Ma dan Ha) yang bertubuh
kurus. C juga menilai bahwa tubuhnya juga kurus. Menurut penuturan Y, saat kegiatan
outbound yang diadakan di sekolah, C bersama temannya membandingkan ukuran
tubuh dari ibu mereka masing-masing. C menunjukkan karakteristik perkembangan
kognitif preoperational thought, yaitu menggambarkan adanya representasi mental
berupa simbol atau kesamaan yang menetap antara objek (Miller, 2011).

Y
“Kayak pas outbound itu kan katanya, (menirukan ucapan C dan temannya)
"bundaku gendut" "bunda aku juga gendut"” (TDM_MR)
C
“(Peneliti 1) Kurus.” (TDM_MR)
“(C) Kuruuus!” (TDM_MR)
“(Peneliti 2) Kurus.” (TDM_MR)

4.4.2.2 Efek dari Makanan Tertentu


C juga menjelaskan efek makanan tertentu bagi tubuh dengan perumpamaan. C
menyamakan seseorang yang memakan wortel terus menerus dengan kelinci, dilihat

Universitas Indonesia
85

dari kesamaaan jenis makanan yang dikonsumsi. C menunjukkan karakteristik


perkembangan kognitif preoperational thought, yaitu menggambarkan adanya
representasi mental berupa simbol atau kesamaan yang menetap antara objek (Miller,
2011). C menilai bahwa seseorang yang hanya makan wortel sama seperti kelinci.

“Boleh.. Jadi kelinci.” (EMT_MR)


“Jadi kelinci haha.” (EMT_MR)

4.4.2.3 Efek dari Kuantitas Makanan


C juga telah mengetahui efek dari kuantitas makanan bagi tubuh. Menurut C,
apabila seseorang tidak makan, maka tubuh seseorang akan menjadi kurus. Tubuh
seseorang akan menjadi kurus jika tidak ada makanan dan minuman yang masuk ke
dalam tubuh. Pernyataan C tersebut menunjukkan karakteristik semilogical reasoning,
yaitu menghubungkan sebuah pemikiran dalam hal yang luas dibandingkan dengan
hubungan yang logis (Wadsworth, 2004). Namun, dari pernyataan tersebut, dapat dilihat
bahwa penalaran C mengenai sebab-akibat sudah mulai terbentuk dan mulai mengarah
kepada karakteristik perkembangan kognitif concrete operational. Hal tersebut
dikarenakan usia C telah memasuki akhir dari tahap perkembangan kognitif
preoperational thought.

“Karena gak makan.” (EKM_SR)


“Karena gak ada minum sama makanan.” (EKM_SR)

C memandang bahwa apabila seseorang yang makan terlalu banyak, tubuhnya


dapat menjadi gendut. C menjelaskan bahwa seseorang menjadi gendut karena makanan
yang dimakan dan minuman yang diminum berjumlah banyak. Ukuran tubuh seseorang
dilihat oleh C sesuai kuantitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. Penjelasan
mengenai hubungan antara ukuran tubuh serta jumlah makanan dan minuman yang
dikonsumsi menggambarkan ciri semilogical reasoning, yaitu menghubungkan sebuah
pemikiran dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis (Wadsworth,
2004). C juga menyamakan seseorang yang gendut seperti raksasa dari tubuhnya yang
berukuran besar, menunjukkan adanya representasi mental berupa simbol, yaitu melihat
kesamaan yang menetap antara objek (Miller, 2011).

“Jadi gendut.” (EKM_SR)

Universitas Indonesia
86

“Soalnya makanannya banyak.” (EKM_SR)


“Minumnya juga banyak.” (EKM_SR)
“Jadi gendut banget haha.” (EKM_SR)
“Kayak raksasa.” (EKM_MR)

4.4.2.4 Efek Diet yang Tidak Seimbang


C belum terlalu mengetahui tentang efek dari diet yang tidak seimbang dari
penjelasannya mengenai wortel. C mengatakan bahwa hanya makan wortel setiap hari
diperbolehkan. C juga menjelaskan bahwa ketika seseorang makan wortel terus menerus
akan menjadi kelinci. Di sisi lain, C juga mulai memahami efek dari diet yang tidak
seimbang saat menjelaskan bahwa hanya makan ciki tidak diperbolehkan karena dapat
membuat batuk. C melihat ciki dari salah satu aspek, yaitu sebagai makanan tidak sehat.
Hal tersebut menggambarkan karakteristik rigidity of thought, yaitu centration.
Centration adalah kecenderungan anak untuk melihat karakteristik yang menonjol dari
objek dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider,
2000).

“Boleh” (EDT_MR)
“Jadi kelinci” (EDT_MR)
“Jadi kelinci haha” (EDT_MR)
“Hahaha”
“Hmm”
“Boleh (mengangguk)”

“(Ciki) Enggak” (EDT_ROT_CE)


“Batuk” (EDT_ROT_CE)

4.4.2.5 Jenis dan Ciri Makanan Sehat


C telah mengetahui berbagai jenis makanan sehat, seperti wortel, mangga,
pisang dan bubur. Awalnya C mengatakan bahwa ia tidak mengetahui mengapa
makanan tersebut dikatakan makanan sehat oleh dirinya. Namun, peneliti kembali
menanyakan hingga C memberikan jawaban. Menurut C, makanan sehat adalah
sayuran. Selain itu, C juga menilai bahwa makanan sehat adalah makanan yang dapat
membuat seseorang menjadi pintar jika dikonsumsi.

“Wortel.” (MS)
“Mangga.” (MS)

Universitas Indonesia
87

“Pisang.” (MS)
“Bubur.” (MS)
“(mengencangkan suaranya) gak tau.”
“Tuh.. Karena sayur (bicara pelan).” (MS_SR)
“Pinter. Bikin pinter.” (MS_SR)

C melihat makanan sehat berdasarkan manfaatnya bagi kesehatan tubuh. C


mengatakan bahwa bayam adalah makanan sehat karena dapat membuat seseorang
menjadi pintar. Selain itu, menurut C, seseorang dapat sembuh dari sakitnya jika
memakan bayam. Pisang juga dikatakan makanan sehat oleh C karena dapat membuat
seseorang sembuh. Ketika seseorang sudah sembuh dari sakitnya, pisang dapat
membuat seseorang semakin sembuh dan menjadi sehat.

“(bayam) Iya (sehat). Bikin pinter. Bikin sembuh.” (MS_EGO)


“(pisang) Seeehaaaaatt! (berteriak)”
“Bikin sembuuuh (mengencangkan suaranya)” (MS_EGO)
“Bikin makin sembuh lagi.” (MS_EGO)

C juga menyatakan bahwa nasi adalah makanan sehat, tetapi tidak dapat
memberikan alasan mengapa nasi disebut makanan sehat. C juga menyebutkan bahwa
ayam adalah makanan sehat. Awalnya C tidak dapat menjelaskan mengapa ayam
dikatakan makanan sehat, tetapi kemudian ia menyebutkan bahwa ayam sehat karena
tidak membuat batuk. C melihat ayam sebagai makanan sehat berdasarkan manfaatnya
bagi kesehatan tubuh. Selain itu, C juga menyebutkan bahwa ayam dikatakan makanan
sehat karena terdapat daging yang disukai olehnya. C melihat ciri makanan sehat dari
bentuk dan rasa yang terdapat dalam makanan tersebut. C juga mengungkapkan bahwa
ayam dikatakan makanan sehat karena dengan makan daging ayam, tubuh seseorang
akan menjadi kuat.

“(nasi) Sehat.”
“Karena.. Gak tau.” (MS_ROT_LF)
“(ayam) Sehat (bicara pelan).”
“Gak tau..” (MS_ROT_LF)
“Bikin gak batuk (suara pelan)”
“Daging! Suka.” (MS_ROT_CE)
“(diam dua detik) Biar badannya kuat.” (MS_ROT_LF)

Pernyataan mengenai ciri-ciri makanan sehat yang telah C sebutkan di atas


menunjukkan karakteristik egocentrism, yaitu kecenderungan anak untuk mempersepsi

Universitas Indonesia
88

dan menginterpretasi sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000). C menyebutkan
bahwa memakan pisang dan bayam dapat membuat sembuh karena pada saat
pelaksanaan wawancara, dirinya sedang sakit, sehingga ia mempersepsikan makanan
sehat adalah makanan yang dapat membuat dirinya sembuh. C juga menilai makanan
sehat dari bentuk dan rasa. C menyebutkan bahwa ayam sehat karena terdapat daging
yang disukai olehnya. Hal tersebut juga menunjukkan karakteristik rigidity of thought,
yaitu centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek dan
peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000).
Di sisi lain, pernyataan C tentang makanan sehat menunjukkan bahwa C
mengetahui manfaat dari makanan sehat bagi kesehatan tubuh, yang menggambarkan C
sudah mulai memahami tentang sebab-akibat, walaupun belum dapat menjelaskan
proses yang terjadi. Misalnya, pada saat C mengatakan bahwa ayam dapat membuat
tubuh seseorang menjadi kuat. Karakteristik perkembangan kognitif yang ditunjukkan C
dari jawaban tersebut mulai mengarah pada concrete operational. Namun, C juga masih
memperlihatkan karakteristik preoperational thought, yaitu rigidity of thought. C
menggambarkan lack of flexibility, yaitu kecenderungan untuk fokus pada hal yang
statis dibandingkan dengan perubahan yang terjadi (Miller, 2011), karena penalaran C
masih terbatas pada manfaat yang dihasilkan dari makanan sehat tanpa mengetahui
prosesnya.

4.4.2.6 Jenis dan Ciri Makanan Tidak Sehat


Dalam memandang makanan tidak sehat, C melihat makanan tersebut dari
dampak bagi kesehatan tubuh. C menyatakan bahwa kerupuk dan air dingin adalah jenis
makanan tidak sehat karena dapat membuat seseorang menjadi batuk. Selain itu, C juga
menyebutkan ciki sebagai makanan tidak sehat karena dapat membuat batuk. Walaupun
begitu, C mengakui bahwa ia menyukai ciki, terutama ciki jenis keripik kentang, karena
menurut C rasanya enak.

“Kerupuk (mengencangkan suaranya).” (MTS)


“Air dingin.” (MTS)
“Bikin batuk.” (MTS_EGO)
“(ciki) Enggak! (sehat)”
“Enak. Chitato.. Gak tau namanya.”
“Bikin batuk.” (MTS_EGO)

Universitas Indonesia
89

Serupa dengan makanan sehat, pernyataan C mengenai makanan tidak sehat


menggambarkan karakteristik egocentrism, yaitu anak cenderung mempersepsi,
memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider,
2000). C mengaitkan pengalaman dirinya sendiri yang ketika makan kerupuk, air
dingin, dan ciki menjadi batuk. Karakteristik tersebut menunjukkan bahwa C belum
dapat membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga belum dapat melihat dari
sudut pandang orang lain (Miller, 2011). Selain itu, C juga telah mulai memahami
hubungan sebab-akibat antara makanan tidak sehat yang dikonsumsi dengan efeknya
bagi kesehatan tubuh, menunjukkan bahwa perkembangan kognitif C mulai memasuki
tahap perkembangan concrete operational.

4.4.2.7 Jenis Sayuran dan Buah-buahan


Secara keseluruhan, C telah mengenal berbagai jenis sayuran dan buah-buahan
secara tepat. C mengetahui nama dan bentuk sayuran, seperti bayam, terong, wortel, dan
buncis. C juga mengetahui nama dan bentuk buah-buahan, seperti stroberi, lemon,
anggur, jeruk, dan pisang. Menurut penuturan Y, Ibu C, C mengetahui informasi
mengenai sayuran dan buah-buahan dari neneknya yang tinggal serumah dengannya.
Nenek C sering mengenalkan makanan kepada C pada saat sedang memasak. Nenek C
memberikan informasi mengenai berbagai jenis makanan kepada C, termasuk sayuran
dan buah-buahan. Pemberian informasi tersebut diperoleh melalui social experience,
yaitu pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011), yakni
C dan neneknya.

“Neneknya..” (SOC_NN)
“Neneknya yang ngasihtau.” (SOC_NN)
“(menirukan suara nenek C) "udang ini yang ini loh".” (SOC_NN)
“Ngasih tau mau masak apa gitu kan suka, "C nih ada ini loh".” (SOC_NN)
“Suka ngasih tau.” (SOC_NN)

Selain neneknya, menurut penuturan Y, C juga mendapatkan informasi


mengenai makanan dari media, yaitu televisi dan youtube. Melalui televisi dan youtube,
C mengenal makanan penutup dan bermain permainan menebak makanan. C
menambahkan informasi baru mengenai makanan dari televisi dan youtube ke dalam

Universitas Indonesia
90

skema yang telah terbentuk dari informasi yang didapat melalui neneknya, sehingga
terbentuk konsep tentang makanan yang dimiliki oleh C.

“Tapi masalahnya kalo makanan-makanan yang kayak gitu itu dessert bukan
makanan.. Bukan makanan pokok.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)
“Jadi kadang-kadang suka dilema ya mau ngelarang youtube.”
“Nebak makanan di mana C? (bertanya ke C).”
“Gak tau apa namanya..”
“Tv.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)

4.4.3 Pembentukan Konsep Makanan


Dalam pembentukan konsep, Piaget (1952) menekankan adanya pengalaman
yang dialami oleh anak sehari-hari, yaitu dilihat dari kematangan fisik, pengalaman
aktif, dan pengalaman sosial anak. Anak juga membentuk konsep berdasarkan
kebiasaan yang dilakukannya. Dalam hal konsep tentang makanan, anak juga
membentuk konsep tersebut dari kebiasaan makan, cara makan, aktivitas saat makan,
aturan makan dan strategi yang dilakukan oleh orang tua di rumah, mengenal makanan,
dan respon terhadap makanan baru. Pada kasus C, akan dijabarkan mengenai
pembentukan konsep makanan yang telah dideskripsikan di atas melalui hasil
wawancara dengan Y, ibu C, dan M, pengasuh C.
C biasa makan lima kali dalam sehari, terdiri dari makan di pagi hari, siang hari,
sore hari, malam hari, dan memakan bekal di sekolah. C memiliki cara makan disuapi di
pagi hari, tetapi makan sendiri di siang hari. Makan disuapi di pagi hari karena
memburu waktu agar tidak terlambat untuk C pergi ke sekolah dan orang tua C pergi ke
kantor. Ketika makan di sore hari, kadang-kadang C disuapi atau makan sendiri karena
waktu di sore hari cukup banyak bagi C menghabiskan makanan dengan makan sendiri.
Sementara itu, ketika di malam hari, C biasa disuapi oleh ibunya. Namun, ketika sedang
makan di luar rumah, misalnya di sebuah restoran cepat saji, C biasanya makan sendiri
dan tidak meminta disuapi.

“Empat..” (KM_PAM)
“Pagi.. Siang.. Sore.. Malam..” (KM_PAM)
“Lima di sekolah.” (KM_PAM)
“Pagi disuapin, siang sendiri.” (CM_DS) (CM_MS)
“Buru-buru. Kalo enggak terlambat.” (CM_DS)

Universitas Indonesia
91

“Bukan, aduh nunggunya agak lama.” (CM_DS)


“Sore kadang-kadang.” (CM_DS)
“Kayaknya karena... Banyak waktunya...kalo sore kadang saya liat abis pulang kantor
tuh, kadang disuapin kadang sendiri.” (CM_DS) (CM_MS)
“Kalo malem banyaknya sama saya.” (CM_DS)
“Tapi kalo kaya makan di KFC gitu mah sendiri ” (CM_MS)

Kebiasaan makan yang dimiliki oleh C menggambarkan bahwa C


mengelompokkan cara makan sesuai dengan waktu kapan ia makan dan lokasi tempat ia
makan. Saat pagi hari dan malam hari, C makan dengan cara disuapi karena ada ibunya,
tetapi ia makan sendiri ketika siang hari. Waktu makan sore hari lebih fleksibel,
sehingga terkadang C disuapi atau makan sendiri. Sementara itu, ketika makan di luar
rumah, C biasa makan sendiri.
Berdasarkan penuturan Y, Ibu C, C menyukai beberapa jenis sayuran, seperti
sayur sawi, bayam, brokoli, kol, dan buncis. Namun, C tidak menyukai jenis sayuran
yang bertekstur keras, seperti kacang panjang. C juga sangat menyukai berbagai jenis
ikan, terutama ikan yang diolah dengan cara digoreng. C lebih menyukai ikan
dibandingkan ayam dan daging sapi karena ikan memiliki tekstur yang lebih lembut. C
juga tidak terlalu suka memakan masakan yang terlalu berbumbu dan lebih menyukai
masakan yang ringan, seperti sayur dengan kuah bening. Dari penuturan Y, dapat dilihat
bahwa C telah membentuk skema mengenai tekstur makanan yang lebih lembut dan
tidak keras sebagai makanan yang ia sukai, sehingga ketika diberikan makanan yang
bertekstur keras, ia tidak menyukainya.

“Dia sayur yang kaya sawi gitu kan, kalo bayem suka, brokoli dia masih mau.” (JM)
“Kol juga masih mau, buncis mau, kacang panjang enggak. Yang kaya ini teksturnya
keras-keras.” (JM_TK)
“Ikan digoreng tuh seneng. Dia seneng ikan-ikanan, dibanding ayam sama daging
merah kan lembutan ikan.” (JM_TK)
“Bisa juga. Di sini pokoknya kalo yang oseng-oseng bumbunya agak-agak kerasa
banget gitu kan gak bisa.” (JM_RS)
“Sukanya yang ringan-ringan, kaya sayur bening gitu dia suka.” (JM_RS)

Porsi makan C biasanya menyesuaikan dengan menu makanan yang tersedia.


Apabila C menyukai menu makanan tersebut, ia bisa makan dengan porsi yang banyak.
Sebaliknya, apabila ia tidak menyukai menu makanan tersebut, Y, Ibu C harus memaksa
C untuk makan. Menurut penuturan Y, porsi makan C lebih banyak daripada porsi
makan dirinya karena ia biasa makan dengan porsi yang sedikit. Terdapat penambahan

Universitas Indonesia
92

informasi mengenai jumlah porsi makanan ke dalam skema yang telah dimiliki C
tentang jenis makanan yang disukainya dan tidak disukainya.

“C segimana ya...tergantung menunya.” (KM_POM)


“Kalo suka...banyak, tapi kalo enggak ya dipaksa dijejel-jejel.” (KM_POM)
“Kadang-kadang soalnya porsi aku sama porsi dia banyakan porsi dia, karena aku
dikit-dikit gitu kan hahaha.” (KM_POM)

Selagi makan, C biasanya melakukan aktivitas lain. Menonton televisi adalah


aktivitas yang paling sering C lakukan ketika makan, baik saat makan bersama ibunya
maupun pengasuhnya. Ketika pagi hari, Y biasa menonton televisi sambil menyuapi C
sehingga C juga ikut menonton televisi ketika makan. Y mengatakan bahwa dirinya
tidak ada waktu khusus untuk menonton televisi sehingga biasanya ia menonton televisi
ketika menemani C makan. Menurut penuturan M, pengasuh C, M juga biasanya
menemani C makan sambil menonton tv saat makan di siang hari setelah pulang
sekolah. C biasa makan sambil menonton saluran televisi kesukaannya yang berisi
tayangan untuk anak-anak dari luar negeri.

Y
“Kalo pagi itu eee masalahnya itu lagi ada tv” (AK_MT)
“Hmm jadi dia nengoknya ke tv” (AK_MT)
“Karena… ya gimana ya saya juga pengen liat tv haha” (AK_MT)
“Informasinya… kan itu pas berita iya kan gitu. Makanya mau gak mau yaaa soalnya
kan gak mungkin kalo kita nyediain waktu nonton sendiri, "aduh udah.."” (AK_MT)

M
“Kalo abis sekolah pulang sekolah langsung minta makan” (AK_MT)
“Yaa sambil nonton.. Nonton tipi” (AK_MT)
“Satu dua satu” (AK_MT)
“Satu dua satu itu disney channel” (AK_MT)

Terkait dengan aturan saat makan, terdapat beberapa perintah dan larangan yang
diterapkan oleh Y kepada C. Awalnya Y mengatakan tidak ada aturan tertentu saat
makan, tetapi kemudian ia menjawab tentang aturan yang ia ajarkan pada C ketika
makan. C diberikan aturan untuk tidak makan sambil berjalan-jalan. Lalu, C juga harus
menghabiskan makanan yang ia makan. Namun, Y mengakui terkadang dirinya sering
menghabiskan makanan C ketika C tidak dapat menghabiskan makanannya. Hal
tersebut Y lakukan untuk menghindari kemarahan ayah C, terutama saat di pagi hari
dirinya dan ayah C akan berangkat ke kantor.

Universitas Indonesia
93

“Gak ada.”
“Yaa asal gak jalan-jalan aja… Harus habis.” (AT_CM)
“Kalo harus habis karena kan kita yang suapin. Kadang-kadang kalo takut ayahnya
marah dia belom habis.. Saya yang makan hahaha.” (AT_CM)
“Hahaha daripada dimarahin ayahnya pagi-pagi.. Yaudah saya yang makan deh.
Misalnya udah waktunya berangkat jamnya dia belom abis.” (AT_CM)

Menurut penuturan Y, C biasa mematuhi aturan untuk tidak makan sambil


berjalan-jalan. Akan tetapi, aturan untuk menghabiskan makanan terkadang tidak
dituruti oleh C karena tergantung juga pada siapa yang mengambilkan porsi makan C.
Misalnya, terkadang M, pengasuh C suka mengambilkan porsi makan C terlalu banyak
padahal C tidak terlalu suka makan banyak, terutama saat di pagi hari. Y mengatakan
bahwa ia telah membiasakan aturan saat makan sejak C berusia dua tahun, sama dengan
umur K, adik C, saat ini. Y mengajarkan pada C untuk menghabiskan makanannya
ketika makan.
Selain membiasakan aturan saat makan, Y juga melakukan strategi agar C
menepati aturan tersebut. Biasanya Y menjanjikan sesuatu pada C, seperti mengajak
jalan-jalan atau membelikan sesuatu yang C sukai. Y juga menuturkan bahwa ia harus
menepati janjinya tersebut pada C. Terkadang Y juga memberikan kalimat yang
menakut-nakuti pada C untuk melaporkan C pada ayahnya jika C tidak menghabiskan
makanannya.

“Diiming-imingin apa.. Hahaha.” (SD_RP)


“Nanti jalan-jalan gitu kan atau "dibeliin ini deh".” (SD_RP)
“Cuma gak boleh ingkar janji.” (SD_RP)
“Buat yang di makan…” (SD_RP)
“Kalo saya ikut ngomel bilang, yaa ngancem tadi.” (SD_RP)
“He eh anceman.” (SD_RP)
“Abisin. Kalo gak abis nanti ayah.. Bunda bilangin ayah loh haha.” (SD_RP)

Berdasarkan penuturan Y, C terkadang meminta dibuatkan makanan olahan


tertentu, khususnya telur, sosis dan nugget, ketika masakan di rumah tidak dapat
dimakannya. Kebiasaan itu bermula saat Y menyuruh M untuk membuatkan telur, sosis,
atau nugget saat masakan di rumah ada yang pedas dan C tidak bisa memakan masakan
tersebut. Sejak saat itu, C biasa meminta dibuatkan telur, sosis, dan nugget jika ia tidak
mau makan makanan tertentu atau tidak ada masakan yang dapat dimakan oleh C.

Universitas Indonesia
94

“Kalo misalnya gak ada masakan ya sosis dia mintanya.” (SD_BR)


“Tapi anak-anak kecil itu memang lebih, kalo fastfood itu pasti banyak makannya ya.”
“Dia...suka.”
“Cuma ya itu kalo bener-bener masakannya lagi gak bisa dimakan anak kecil.”
(SD_BR)
“Kan jadi misalnya pedes. Dimasak lagi pedes gitu baru.” (SD_BR)
“Tadi makan nugget.”
“Iya kalo masaknya gak bisa dimakan anak kecil dia pas gak mau gitu baru.”
“Eeeee apa ya kan kadang-kadang masaknya suka ada yang pedes pasti kalo gak bisa
ya dikasihnya yang lain.” (SD_BR)
“Ya tiga itu. Telor sosis nugget. Kalo dia gak bisa ya dikasihnya tiga itu.” (SD_BR)

Berkaitan dengan makanan baru, C adalah anak yang sulit menerima makanan
baru. Y harus memaksa C memakan makanan, terutama makanan yang tidak terlalu
disukai oleh C. C akan mau memakan makanan tersebut lagi apabila ia suka setelah
dipaksa oleh ibunya. Namun, C biasanya menyukai makanan yang memiliki tampilan
menarik, ia akan langsung ingin mencobanya. Dalam mencoba makanan baru, C
mengalami pembentukan konsep yang didapat melalui social experience, yaitu
pembentukan skema baru dari hasil pertukaran ide antara anak dan orang lain (Miller,
2011; Wadsworth, 2004).

“Dia tuh.. Agak.. Apa ya sshhh kalo gak yang bener-bener dia suka itu harus dipaksa.
Kalo yang udah dipaksa dia suka baru mau dia.” (MB_JM)
“He em kecuali misalnya emang tampilannya menarik makanannya menarik baru itu
dia mau langsung.” (MB_JM)

Berdasarkan penuturan Y, C biasanya mau mencoba makanan baru ketika


makanan tersebut tidak memiliki bumbu yang asing bagi C. C mau mencoba makanan
baru yang tidak pedas, walaupun terkadang ia juga mau memakan makanan yang pedas.
C juga biasanya mau memakan makanan ketika bersama-sama dengan anggota keluarga
yang lain. C mendapat informasi mengenai makanan baru dari Y, saat Y membawa
makanan baru setelah rapat di kantor.

“Jarang.” (MB_JM)
“Eeeee harus sedikit tapi. Sedikit dulu. Kalo enak, baru dia mau. Tapi di…. Pertama
pasti dipaksa dulu.” (MB_AN)
“Kalo bumbunya gak macem-macem mau.” (MB_KL)
“Kalo rame-rame dia mau.” (MB_KL)
“Iya tapi kalo pedes gak mau.”
“Gak dimakan.”

Universitas Indonesia
95

“Eeeee gak mesti. Tergantung kadang ada pedesnya juga. Cuma dia kalo pedes pasti…
kadang gak mau kadang mau sih. Gak gak ngerti sih mungkin kadang ada maunya.”
“Kadang ada yang dia mau pedes.. Kadang juga gak mau. Gak mau sama sekali.”
“Kalo rame-rame biasanya dia mau.” (MB_KL)
“Iyaa biasanya kan kayak kalo abis ada rapat kan dapet. Bawa makanan gitu kan.”
(MB_KL)

Dari penjelasan tersebut, C memiliki perubahan pada skema yang dimilikinya


tentang makanan baru dari hasil social experience, yaitu pertukaran ide antara anak dan
orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011), yaitu pada saat ia mencoba makanan baru
bersama-sama anggota keluarga yang lain. Selain itu, saat dirinya mencoba makanan
baru, C juga mengalami proses akomodasi dari hasil active experience. Pengalaman
aktif mencerminkan bahwa anak melakukan tindakan pada objek, bukan apa yang
dihadirkan objek tersebut (Miller, 2011).

4.4.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan


Anak membangun konsep berdasarkan pengalaman sosial (social experience)
yang dialaminya (Wadsworth, 2004). Pengalaman sosial yang berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada C adalah orang tua C, yaitu Y, ibu C, dan ayah C.
Y, ibu C, memiliki peran untuk menemani C makan sehari-sehari, yaitu di pagi hari dan
malam hari. Di siang hari, Y tidak menemani C makan karena bekerja di kantor. Saat
menemani makan, biasanya Y menyuapi C sambil menonton televisi.

“Pagi disuapin, siang sendiri.” (CM_DS) (CM_MS)


“Pagi saya.” (SOC_IBU)
“Kalo siang yang ini (pengasuhnya). Kalo pagi itu kadang saya kadang eyangnya. Kalo
kira-kira mood-nya lagi jelek, dia minta "mau sama eyang" haha.” (SOC_IBU)
(SOC_ART) (SOC_NN)
“Banyak waktunya...kalo sore kadang saya liat abis pulang kantor tuh, kadang disuapin
kadang sendiri.”
“Kalo malem banyaknya sama saya.” (SOC_IBU)

Walaupun bukan Y yang menyiapkan makanan C sehari-hari, Y terlibat dalam


perencanaan menu makanan yang dibuat oleh M, pengasuh C. Y mengarahkan masakan
yang akan dibuat oleh M dengan menyediakan dan membelikan bahan-bahan makanan
yang akan dimasak. Y biasa membeli bahan-bahan makanan di supermarket dan
menyimpan stoknya di lemari es agar dapat diolah oleh M. Ketika bahan makanan di

Universitas Indonesia
96

rumah tidak ada, terkadang Y menyuruh M untuk membeli bahan makanan, tetapi Y
tetap memberikan instruksi untuk membeli jenis makanan tertentu, seperti sayur.
Terkadang M juga bertanya pada Y tentang menu makanan yang akan dibuat oleh Y,
sehingga Y memberikan saran apa yang akan dimasak oleh M. Namun, Y juga sesekali
membebaskan M untuk membuat masakan apapun. Y biasanya mengarahkan menu
makanan yang dibuat M saat sedang mengobrol dengan menanyakan menu makanan
yang akan dibuat besok.

“Menu-menunya kita yang arahin.” (SOC_IBU)


“Saya gak merencanakan masak apa cuma kan sayurnya tergantung sayurnya adanya
apa ya biasanya dia masaknya itu.” (SOC_IBU)
“Cara ngarahinnya gitu.” (SOC_IBU)
“Kayak gelael, superindo gitu-gitu aja.” (SOC_IBU)
“Kadang saya.. Kadang ibu (nenek C).” (SOC_NN)
“Tapi itu.. Instruksinya, "jangan lupa beli sayur" "jangan lupa beli ini" gitu loh
Kadang (mbaknya) nanya juga, "enaknya dimasak apa ya?".” (SOC_IBU) (SOC_ART)
“Dia suka nanya dulu. Kalo kita bilang, "terserah" oh baru dia masak masakannya
terserah dia.” (SOC_IBU) (SOC_ART)
“Yaa kayak pas lagi ngobrol-ngobrol kayak gini lah. Kadang-kadang kita juga yang
nanya, "besok mau masak apa Teh?" gitu kan (menirukan pengasuh C) "apa ya Mbak
ya? Masak itu aja lah. Ada gak bahannya?".” (SOC_IBU) (SOC_ART)
“Kayak gitu aja paling.”

Y juga berperan dalam menerapkan aturan C saat makan dan strategi yang dilakukan
yang telah dijabarkan di bagian pembentukan konsep makanan. Selain itu, C juga
banyak berperan ketika mengenalkan makanan baru pada C. Ketika membawa makanan
dari hasil rapat di kantor, Y mengenalkan makanan yang jarang dikonsumsi oleh C dan
meminta C untuk mencoba makanan tersebut.

“Iyaa biasanya kan kayak kalo abis ada rapat kan dapet. Bawa makanan gitu kan.”
(SOC_IBU)

Selain Y, ibu C, ayah C juga berperan dalam pembentukan konsep makanan


yang dimiliki oleh C. Ayah C memberikan pengaruh pada C dalam hal memilih-milih
makanan, sehingga C juga hanya mau memakan makanan tertentu. Ayah C tidak
menyukai jenis makanan tertentu, seperti tidak suka sayur daun pepaya. Menurut Y,
ayah C telah terbiasa sejak kecil memilih-milih makanan karena orang tua ayah C
(kakek dan nenek C) juga pemilih. Oleh karena itu, C juga memilih-milih makanan

Universitas Indonesia
97

yang telah dijabarkan dalam bagian konsep tentang makanan C, seperti tidak mau
memakan makanan yang bertekstur keras dan makanan yang terlalu berbumbu.

“Kalo saya gak pilih-pilih, kalo suami saya pilih-pilih.” (SOC_IBU) (SOC_AY)
“Pilih-pilihnya suamiku....apa ya (diam selama dua detik) jadi dari kaya sayur gitu,
jadi kaya daun pepaya yang pait-pait gitu gak suka.” (SOC_AY)
“Berpengaruhnya kan itu tergantung kita masaknya apa, kalo saya sih dulu kebetulan
diajarin sama orangtua tuh makan apa aja yang ada.” (SOC_IBU)
“Jadinya saya gak pilih-pilih.”
“Dari orangtuanya suami, pilih-pilih (sambil mengecilkan suara). Jadi bawaannya rese
juga gitu.” (SOC_AY)
“C jadi ikutan pilih-pilih, nolak-nolak.” (SOC_AY)
“Jadi sebenernya kalo dalam makanan itu yang ngurus bapaknya.” (SOC_AY)

Selain itu, ayah C juga berperan dalam kebiasaan C memakan jajanan. Ayah C
menyukai ciki dan biasa membelinya ketika keluarga C sedang berbelanja di
supermarket. Biasanya, ciki yang dibeli oleh ayah C dimakan bertiga bersama C dan K,
adik C. Dari ayahnya, C mengenal ciki dan akhirnya menyukai ciki karena rasanya yang
enak. Walaupun begitu, C telah mengetahui bahwa ciki adalah makanan yang tidak
sehat seperti yang telah dijelaskan di bagian konsep tentang makanan.

“Tapi banyaknya sih kalo jajan gitu pengaruh bapaknya.” (SOC_AY)


“Bapaknya pengen apa.. Beli Cheetos.” (SOC_AY)
“Terus tiba-tiba di supermarket masukkin.” (SOC_AY)
“Jadi kalau beli satu suka dimakan bertiga, bapaknya beli.” (SOC_AY)

Ayah C juga memberikan informasi pada C mengenai makanan yang dibeli di


luar rumah. Selama ini, C terbiasa memakan masakan rumah yang dibuat oleh M.
Namun, ayah C suka membeli makanan di luar melalui jasa antar makanan online, atau
penjual makanan di dekat rumah C, seperti nasi goreng dan sate. C biasa meminta
makanan yang dibeli ayahnya, sehingga porsinya tidak banyak. C akhirnya mengenal
makanan yang dibeli di luar dengan cara mencicipi makanan ayahnya.

“Beli di luar… bapaknya sih yang suka.” (SOC_AY)


“Kalo gak go food ya sate dekat sini.. Nasi goreng dekat sini.” (SOC_AY)
“C-nya sendiri….. Minta ya sama bapaknya. Jadi ya gak banyak juga.” (SOC_AY)
“He eh. Jadi makanan bapaknya itu cuma buat ngemil ya nyicip-nyicip aja.”
(SOC_AY)

Universitas Indonesia
98

Social experience dalam pembentukan konsep makanan yang dimiliki C lainnya


adalah nenek C. Nenek C biasa menemani C makan di siang hari saat orrang tua C
bekerja di kantor, bergantian dengan M, pengasuh C. Nenek C juga terkadang
menemani C makan di pagi hari, bergantian dengan Y, ibu C. Biasanya C meminta
disuapi oleh neneknya saat C merasa suasana hatinya sedang kurang baik.

“…kadang neneknya kadang itu mamah yang ngasuh kan.” (SOC_NN)


“Kalo siang yang ini (pengasuhnya). Kalo pagi itu kadang saya kadang eyangnya. Kalo
kira-kira mood-nya lagi jelek, dia minta "mau sama eyang" haha.” (SOC_NN)

Nenek C juga terkadang menyiapkan menu makanan yang dibuat oleh C,


menggantikan M, pengasuh C. Nenek C memasak makanan yang dikonsumsi oleh
keluarga C ketika M sedang tidak memasak atau membuat menu-menu tertentu. Nenek
C juga merencanakan menu makanan yang dibuat oleh M dengan menyiapkan serta
membeli bahan makanan bersama Y, ibu C.

“Mbaknya itu.” (SOC_ART)


“Kadang-kadang ibu (nenek C).” (SOC_NN)
“Kadang saya.. Kadang ibu (nenek C).” (SOC_NN)

Nenek C juga banyak memberikan informasi mengenai makanan pada C. Nenek


C mengenalkan makanan yang dikonsumsi oleh C pada saat sedang memasak. Nenek C
memberitahukan jenis makanan tertentu pada C serta bentuknya, misalnya udang. Selain
itu, nenek C juga memberikan informasi tentang apa yang dimasaknya pada C, sehingga
C banyak mendapatkan pengetahuan mengenai makanan dari neneknya. Menurut
penuturan Y, nenek C banyak mengetahui mengenai kebiasaan makan C karena Y
banyak berinteraksi dengan C hanya di malam hari.

“Neneknya..” (SOC_NN)
“Neneknya yang ngasihtau.” (SOC_NN)
“(menirukan suara nenek C) "udang ini yang ini loh".” (SOC_NN)
“Ngasih tau mau masak apa gitu kan suka, "C nih ada ini loh".” (SOC_NN)
“Suka ngasih tau.” (SOC_NN)
“Yang lebih tahu sih neneknya. Kalo sama aku kan paling malem.” (SOC_NN)

Selain keluarga, pengasuh C juga memiliki peran dalam pembentukan konsep


makanan pada C. M, pengasuh C, biasa menemani makan C di siang hari, saat orang tua
C bekerja di kantor dan nenek C tidak menemani makan. Menurut M, M biasa

Universitas Indonesia
99

menemani makan C dengan menyuapinya sambil menonton televisi. M mengatakan


bahwa C biasanya lebih sulit makan ketika disuapi oleh Y, ibu C, dibandingkan saat
makan dengan dirinya. Biasanya C langsung meminta makan ketika M menjemputnya
sepulang dari sekolah.

Y
“…kadang neneknya kadang itu mamah yang ngasuh kan.” (SOC_NN) (SOC_ART)
“Kalo siang yang ini (pengasuhnya). Kalo pagi itu kadang saya kadang eyangnya. Kalo
kira-kira mood-nya lagi jelek, dia minta "mau sama eyang" haha.” (SOC_NN)
(SOC_ART) (SOC_IBU)
M
“Iya. Suka.” (SOC_ART)
“Engga.. Gak.. Makan aja suapin aja.” (SOC_ART)
“Sama bundanya rewel kalo makan.” (SOC_IBU)
“Kalo abis sekolah pulang sekolah langsung minta makan.” (SOC_ART)
“Yaa sambil nonton.. Nonton tipi.”

Selain itu, M juga berperan dalam penyiapan makanan karena M memasak


makanan yang dikonsumsi oleh C dan keluarga sehari-hari, walaupun terkadang
bergantian dengan nenek C. M juga berperan dalam merencanakan menu makanan C.
Apabila persediaan bahan makanan di lemari es yang telah dibeli ibu dan nenek C habis,
maka M akan membeli bahan makanan pada penjual sayur di rumah susun dekat rumah
C. Walaupun begitu, dalam pembelian bahan makanan juga banyak dipengaruhi oleh Y,
ibu C.

Y
“Mbaknya (pengasuh C) itu.” (SOC_ART)
“Kadang-kadang ibu (nenek C).” (SOC_NN)
“Pernah juga kalo di kulkas lagi gak ada.. Deket sini ada yang jual di rumah susun.”
“Tapi itu.. Instruksinya, "jangan lupa beli sayur" "jangan lupa beli ini" gitu loh
Kadang (mbaknya) nanya juga, "enaknya dimasak apa ya?".” (SOC_ART)
“Dia suka nanya dulu. Kalo kita bilang, "terserah" oh baru dia masak masakannya
terserah dia.” (SOC_ART)
“Yaa kayak pas lagi ngobrol-ngobrol kayak gini lah. Kadang-kadang kita juga yang
nanya, "besok mau masak apa Teh?" gitu kan (menirukan pengasuh C) "apa ya Mbak
ya? Masak itu aja lah. Ada gak bahannya?".” (SOC_ART)
“Kayak gitu aja paling.”

M juga biasa menemani C membeli jajanan di minimarket dekat rumahnya. C


biasa membeli jajan es krim dan ciki ketika bersama M. C tidak membeli jenis jajanan

Universitas Indonesia
100

lain selain kedua jajanan tersebut. Waktu jajan C bersama M juga tidak menentu. Saat
ditanya, C hanya menjawab dengan tertawa.

C
“Es krim.”
“Iyaa jajan es.”
“Udah.”
“Ciki..”
“Indomaret atau alfa.”
“Dekat banget.”
“Mamah (pengasuh C).” (SOC_ART)
“Mamah teteh..” (SOC_ART)

Dari hasil wawancara dengan M, M menuturkan bahwa ia juga sering


mengenalkan makanan pada C. Hal tersebut dilakukan oleh M saat sedang menyuapi C
makan. Misalnya, M memberitahu C apa yang ia makan hari ini, misalnya ayam atau
jenis sayur. Menurut M, C mengetahui bermacam-macam jenis makanan. M juga
menunjukkan kepada C bagaimana bentuk makanan yang ia makan beserta nama
makanan tersebut.

“Sering.” (SOC_ART)
“Yaa kayak ayam, sayur-sayur.” (SOC_ART)
“Iya dia tau macemnya.” (SOC_ART)
“Pake bakso, sop.”
“Bakso.. Gitu. Nih bakso.”

Selain itu, secara tidak langsung M juga turut membentuk kebiasaan makan C
karena ia sering menemani C makan. Menu makanan yang sering dibuatkan M untuk C
adalah telur, nugget, sosis, dan sayuran. C menyukai jenis sayur tertentu, seperti sayur
asem, sawi, dan bayam. Ketika C tidak mau memakan masakan di rumah, M akan
membuatkan makanan lain, seperti telur. Menurut M, C paling menyukai telur, sehingga
ia akan membuatkan telur agar C mau makan. Hal tersebut mempengaruhi kebiasaan C
yang lebih suka makan makanan olahan, seperti telur, nugget, dan sosis.

“Yang paling banyak telor.” (SOC_ART)


“C paling suka telor.”
“Itu sih paling telor sama nugget sama sayuran.” (SOC_ART)
“Ya kalo lagi mau ya mau kalo engga ya engga.”
“Yang suka ya telor sama sosis.”
“Iya. Sayur asem kadang mau.” (SOC_ART)

Universitas Indonesia
101

“Sawi… jarang dia.”


“Paling bayam gitu dia mau.”
“Yang lain bikin.” (SOC_ART)
“Telor..”
“Engga.”
“Iya gak mau.”
“Engga. Itu aja.” (SOC_ART)

Media juga berperan dalam pembentukan konsep makanan yang dimiliki oleh C,
terutama televisi dan youtube. Menurut C, ia sering menonton tayangan yang berisi
konten makanan di televisi dan youtube, seperti cara membuat makanan penutup. C juga
senang memainkan permainan teka-teki jenis makanan di situs daring. Dari menonton
tayangan pembuatan makanan dan bermain menebak makanan, C memiliki informasi
tambahan mengenai berbagai jenis makanan. Media membantu memperkaya konsep
makanan yang telah dimiliki oleh C dari hasil asimilasi dan akomodasi bersama orang-
orang terdekatnya, seperti ibu, ayah, nenek, dan pengasuhnya.

“Tapi masalahnya kalo makanan-makanan yang kayak gitu itu dessert bukan
makanan.. Bukan makanan pokok.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)
“Jadi kadang-kadang suka dilema ya mau ngelarang youtube.”
“Nebak makanan di mana Kak? (bertanya ke C).”
“Gak tau apa namanya..”
“Tv.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)

4.5 Analisis Intra Kasus 4


4.5.1 Gambaran Partisipan D
Wawancara dengan D dilakukan di tempat tinggal D yang berada di wilayah
Jakarta Selatan. Pengambilan data dilakukan pada Kamis, 12 April 2018 pukul
11.00─15.00. D adalah seorang anak perempuan berusia empat tahun. D adalah seorang
anak yang aktif dan ceria. D belum bersekolah, tetapi setiap Senin, Rabu, dan Jumat, ia
mengikuti bimbingan belajar membaca dan menulis. D bertubuh kurus dan berambut
hitam pendek di bawah telinga. Saat ini, D tinggal bersama ayahnya yang bekerja di
sebuah perusahaan, ibunya (Z) seorang ibu rumah tangga, adiknya (F) yang berusia satu
tahun, kakeknya, neneknya, dan asisten rumah tangga.
Pada saat pelaksanaan wawancara, D memakai baju lengan pendek berwarna
ungu bergambar tokoh kartun Disney princess. Awalnya, D memakai kerudung panjang

Universitas Indonesia
102

berawarna biru saat peneliti baru berkunjung ke rumahnya, lalu ketika diwawancarai, D
melepas kerudung tersebut. Sejak awal, D telah banyak bercerita ketika ditanya
walaupun masih terlihat malu-malu. Setelah berkenalan dan membangun rapport,
peneliti juga memberikan informed consent dan data demografis untuk diisi oleh Z, ibu
D, sebagai persetujuan dilakukannya wawancara. Lalu, peneliti mengajak D untuk
melakukan aktivitas menempel kertas origami pada gambar anggur. Wawancara dengan
D dilakukan sebanyak dua sesi. Sesi pertama dimulai pada pukul 14.00. Kemudian,
pada pukul 15.00, salah satu peneliti juga kembali melakukan wawancara kepada D saat
dua peneliti lainnya melakukan wawancara dengan Z, ibu D.
Selama proses wawancara, D sangat senang bermain berpura-pura. Peneliti
melakukan wawancara dengan D sambil bermain berpura-pura, misalnya memainkan
mainan my little pony kepunyaan D. D juga suka sekali bercerita tentang banyak hal
yang diketahui olehnya, walaupun tidak ada kaitannya dengan pertanyaan wawancara.
D sering mengulang kata-kata yang dibicarakannya. Beberapa kali ia menyebut “aku
suka donat” ketika ditanyakan pertanyaan mengenai makanan, sehingga peneliti harus
berulang kali mengajukan pertanyaan.
D juga beberapa kali menjawab alasan dengan mengaitkannya pada
kesukaannya. D sering menceritakan pengalaman dirinya sendiri, lalu bercerita tentang
hal-hal yang tidak diketahui peneliti tanpa menjelaskannya. Hal tersebut
menggambarkan bahwa D memiliki karakteristik egocentrism, yaitu kecenderungan
untuk memahami dan menginterpretasi dari sudut pandang dirinya sendiri. Selain itu,
pernyataan D juga seringkali menunjukkan egocentric speech yang menandai bahwa ia
memiliki kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition). D juga beberapa kali
mengeluarkan jawaban yang tidak konsisten. Oleh karenanya, peneliti juga harus
menambahkan probing untuk menanyakan kembali. Selain itu, saat wawancara, D
beberapa kali menghampiri ibunya dan bermanja-manja.

“Aku suka donat” (LSC)


“Tapi gak diabisin” (LSC)
“Iya aku sukanya gak diabisin” (LSC)
“Ke mas Gito” (LSC)

Kemudian, wawancara dilanjutkan dengan memberikan D stik gambar sayuran


dan buah-buahan untuk menggali apakah D telah mengetahui jenis sayuran dan buah-

Universitas Indonesia
103

buahan. D juga mengajak peneliti bermain berpura-pura. D dan peneliti melakukan


permainan petak umpet dengan menggunakan stik gambar sayuran dan buah-buahan.
Setelah melakukan wawancara dengan D, peneliti melakukan wawancara dengan Z, ibu
D. Wawancara dengan Z dilakukan selama 74 menit.
Z menjelaskan bahwa D mengidap penyakit asma sehingga D tidak bisa
memakan makanan tertentu, seperti coklat dan tomat. Z juga diharuskan untuk menjaga
daya tahan tubuh D dan daya tahan tubuh D agar tetap sehat. Menurut Z, asma yang
diidap oleh D diturunkan dari ayahnya yang juga memiliki penyakit asma. Penyakit
asma yang diderita D juga turut memengaruhi kebiasaan makan D.

“Cuma dia kan gabisa makan tomat ya,sausnya kan gabisa ya, ya itulah aku kadang
suka bingung juga kan dia banyak pantangan asmanya dia ga boleh makan
sembarangan”
“Kalo dia makan sembarangan dia akan bisa timbul asmanya lagi kan pemicu lah. Ga
boleh makan sembarangan kayak coklat tomaat jahat banget untuk usia anak penderita
asma”
“Makanannya juga harus dijaga, daya tahan tubuh harusss sehat terus”
“Iya ini gabisa tapi nurun dari ayahnya asmanya, sebenernya picky makanannya juga
nurun dari ayahnya”
“Apa? ayahnya gasuka tapi kalo dia udah kambuh aku pijet dibelakangnya, dia suka
bilang dipijet aja”
“kalo udah parah ada oksigen kan minimal di nebu kalo udah parah kan"

4.5.2 Konsep Makanan


4.5.2.1 Tujuan dari Makan
D memandang bahwa makan bertujuan agar membuat seseorang menjadi sehat.
Namun, D tidak dapat menjelaskan alasan mengapa makan dapat menyebabkan hal
tersebut. D mengetahui bahwa makan berguna agar sehat, tetapi ia belum mengetahui
proses yang terjadi mengapa makan dapat membuat seseorang menjadi sehat. Dari
penjelasan D tentang tujuan makan, dapat dilihat bahwa terdapat karakteristik kekakuan
berpikir (rigidity of thought) juga ditunjukkan dengan lack of flexibility, yaitu
kecenderungan untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan yang
terjadi (Miller, 2011).

“Supaya sehat”
“Gak tau”
(TDM_ROT_LF)

Universitas Indonesia
104

D juga menilai bahwa makan berguna bagi dirinya karena ia menyukainya. D


mengatakan bahwa D suka untuk makan. Menurut D, makan dapat membuat seseorang
menjadi sehat karena makan adalah kesukaannya. Hal tersebut menggambarkan bahwa
penalaran D mengenai tujuan dari makan masih bersifat semilogis. Selain itu, jawaban
D juga menggambarkan karakteristik egocentrism, yaitu anak cenderung mempersepsi,
memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider,
2000).

“Aku suka (makan)” (TDM_EGO)


“Sehat”
“Aku kan suka makan”
(TDM_EGO)

4.5.2.2 Efek dari Makanan Tertentu


D telah dapat mengerti efek dari makanan tertentu. D menjelaskan bahwa ia
memakan donat agar dirinya senang. Selain itu, D juga menyebutkan bahwa seseorang
akan menjadi hebat karena memakan stroberi dan ciki. D juga menekankan untuk
memakan nasi dan lauk agar menjadi hebat. Menurut D, seseorang makan nasi supaya
menjadi sehat. Hal tersebut menggambarkan ciri semilogical reasoning dan
egocentrism. Ciri egocentrism ditunjukkan saat D mengatakan memakan donat dapat
membuatnya senang karena ia memahami efek dari makanan tertentu dari dirinya
sendiri. Semilogical reasoning juga digambarkan ketika D menjelaskan bahwa stroberi,
ciki, nasi, dan lauk memiliki efek membuat seseorang menjadi hebat. Penalaran D
masih terbatas pada hal-hal yang umum dan belum dapat dikatakan logis.

“Supaya D seneng” (EMT_EGO)


“Makannya.. Stroberi”
“Sama ciki”
“Nasi pake lauk terus hebat” (EMT_SR)
“Kenapa gak makan nasi?”
“Kalo supaya sehat” (EMT_SR)

4.5.2.3 Efek dari Kuantitas Makanan


D mulai memahami bahwa makan memiliki efek bagi tubuh yang dilihat melalui
kuantitas makanan. D menuturkan bahwa apabila seseorang tidak makan, maka bisa
menjadi sakit. Menurut D, sakit yang dialami seseorang merupakan efek dari dirinya
tidak makan. Sakit itu juga disebabkan karena ketularan teman yang juga terkena

Universitas Indonesia
105

penyakit. D bercerita bahwa ia baru sakit karena ketularan teman. D juga menjelaskan
bahwa dirinya tidak menyukai bila dirinya sakit karena tidak diperbolehkan makan es
krim. Karakteristik yang tergambar jelas dari cerita D tersebut menggambarkan
egocentrism. D hanya melihat efek dari kuantitas makanan dari pengalamannya sendiri.
Karakteristik egocentrism menunjukkan bahwa anak belum dapat membedakan diri
sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum dapat melihat sudut pandang
perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).

“Jadi sakit” (EKM_EGO)


“Nanti kalo gak makan jadi sakit” (EKM_EGO)
“Sakit”
“Nanti kalo gak makan”
“(diam selama 2 detik) nanti sakit”
“Kemaren aku sakit” (EKM_EGO)
“Ketularan temen” (EKM_EGO)
“Kan temennya juga sakit” (EKM_EGO)
“Ketularan temen” (EKM_EGO)
“Aku gak suka sakit” (EKM_EGO)
“Nanti bisa makan es krim” (EKM_EGO)

D juga melanjutkan bahwa apabila seseorang sudah makan, maka seseorang


diperbolehkan untuk memakan es krim. Selain egocentrism, karakteristik lain yang
muncul dalam ungkapan D tentang efek kuantitas makanan bagi tubuh adalah
semilogical reasoning. yaitu berpikir tentang hal-hal yang luas dan semilogis
(Wadsworth, 2004). D hanya memikirkan hal-hal yang umum dari hasil pengalamannya
sendiri.

“Kan nanti kalo sudah makan bisa makan es krim” (EKM_SR)

Masih berkaitan dengan efek kuantitas makanan bagi tubuh, D memandang


bahwa makan terlalu banyak dapat membuat tubuh seseorang menjadi besar. D juga
mengaitkan tubuh besar seseorang dengan pemikiran bahwa seseorang tersebut dapat
bersekolah. D juga menambahkan bahwa ia menyukai waktu ketika ia memiliki tubuh
yang besar. D juga menceritakan bahwa apabila seseorang makan banyak makanan,
seseorang tersebut akan bertumbuh besar dengan cepat. D juga mengulangi kalimat
bahwa ia menyukai pemikiran untuk dapat segera tumbuh besar.

“Nanti jadi gede” (EKM_SR)

Universitas Indonesia
106

“Udah gede bisa sekolah” (EKM_SR)


“Aku suka gede” (EKM_EGO)
“Nanti cepet gede” (EKM_SR)
“Kan aku sukanya jadi gede” (EKM_EGO)
“Aku sukanya udah gede” (EKM_EGO)
“Sukanya yang gede” (EKM_EGO)

D juga menjelaskan bahwa makan dengan jumlah yang banyak dapat membuat
dirinya hebat. Jawaban D tentang makan terlalu banyak mendeskripsikan karakteristik
semilogical reasoning, yaitu anak mencoba menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-
hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). Pemikiran tentang sebab-akibat
masih terbatas (Miller, 2011), sehingga D mengaitkan efek kuantitas makanan bagi
tubuh dengan hal-hal yang berada di sekelilingnya, yaitu tumbuh besar untuk
bersekolah. Karakteristik egocentrism juga terlihat karena D menginterpretasi dari sudut
pandang dirinya sendiri (Miller, 2011).

“Iyaa kan aku hebat” (EKM_EGO)


“Karena aku banyak makan” (EKM_SR)

4.5.2.4 Efek Diet yang Tidak Seimbang


D mulai memahami efek dari diet yang tidak seimbang. D mengerti bahwa
tidak diperbolehkan hanya makan satu jenis makanan secara terus menerus. Menurut D,
hanya makan ciki dapat membuat seseorang menjadi sakit dan seperti tengkorak. Selain
itu, hanya makan pisang juga dapat membuat seseorang menjadi seperti tengkorang
yang tidak ada daging dan darahnya. Hal tersebut menggambarkan adanya semilogical
reasoning, karakteristik semilogical reasoning, yaitu menghubungkan sebuah pemikiran
dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis (Wadsworth, 2004). D
menjelaskan efek dari diet yang tidak seimbang berdasarkan hal-hal yang umum dan
semilogis, yaitu dapat menjadi sakit dan seperti tengkorak.

“Tengkorak..” (EDT_SR)
“Sakit..”
“Bisa jadi tengkorak” (EDT_SR)
“Kan tengkorak itu pake daging” (EDT_SR)
“Kan gak ada darahnya.” (EDT_SR)

D mengatakan hanya makan ayam tanpa memakan makanan yang lain juga dapat
membuat seseorang menjadi sakit. Namun, ketika ditanya lebih lanjut, D tidak dapat

Universitas Indonesia
107

menjawabnya. D menunjukkan karakteristik rigidity of thought, ditandai dengan lack of


flexibility, yaitu cenderung melihat hal yang menetap dibandingkan dengan proses
perubahannya (Miller, 2011). D juga menuturkan bahwa tidak hebat apabila hanya
memakan pisang karena dapat membuat seseorang menjadi sakit. Selain itu, D juga
menjelaskan bahwa lidah seseorang akan berubah warna menjadi kuning jika hanya
makan pisang dan tidak memakan jenis makanan lainnya. Penalaran D tersebut
menggambarkan hal-hal yang bersifat semilogis. Selain semilogical reasoning,
karakteristik yang ditunjukkan oleh D adalah rigidity of thought, yaitu centration.
Karakteristik centration ditunjukkan oleh anak dengan hanya melihat ciri yang
menonjol dari suatu objek (Piaget & Inheider, 2000).

“Gak hebat” (EDT_ROT_LF)


“Heeh”
“Nanti jadi sakit” (EDT_ROT_LF)
“Sekarang sekarang gak makan pisang lagi?”
“Makan nasi?”
“Yang kema yang dulu makan pisang?”
“Kenapa?”
“Ummm”
“Jadi, nanti lidahnya jadi kuning” (EDT_ROT_CE)
“Heeh”
“Iya jadi kuning lidahnya” (EDT_ROT_CE)

Di samping itu, D juga mengatakan bahwa tidak boleh hanya makan donat. D
menerangkan bahwa tidak boleh hanya makan donat karena tidak dapat menghabiskan
donatnya. Sebelumnya, D juga menceritakan bahwa ia menyukai donat tetapi tidak
menghabiskan donatnya. D juga menyebutkan bahwa tidak boleh hanya makan stroberi
terus menerus karena ibunya menyuruh untuk memakan nasi. Dari cerita D, terlihat
karakteristik egocentrism. D menyebutkan alasan dari efek diet tidak seimbang
berdasarkan pengalamannya sendiri, yaitu ketika ia tidak mampu menghabiskan donat
dan disuruh ibunya untuk memakan nasi. Karakteristik egocentrism menunjukkan
bahwa anak cenderung mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai
dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000), seperti apa yang disampaikan oleh D.

“(Donat) Enggak”
“Kan gak diabisin” (EDT_EGO)
“(Stroberi) Gak boleh”
“Karena disuruh makan nasi kata bunda” (EDT_EGO)

Universitas Indonesia
108

4.5.2.5 Jenis dan Ciri Makanan Sehat


D sudah mulai memahami tentang makanan sehat. Menurut D, makanan sehat
adalah makanan yang tidak membuat sakit. Penalaran D tersebut adalah hal-hal yang
luas dan semilogis, mencirikan semilogical reasoning (Wadsworth, 2004). Awalnya, D
mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apa saja makan sehat. Namun, ketika ditanya
saat bermain peran, D menyebutkan bahwa terdapat berbagai jenis makanan sehat,
seperti semangka, melon, nasi, tahu, lauk, tempe, roti, dan sayur. Walaupun terkadang
jawaban D masih kurang konsisten. Terkadang ia menyebutkan donat dan es krim
sebagai makanan sehat, tetapi setelah ditanya kembali, D mengatakan donat dan es krim
adalah makanan tidak sehat.

“Supaya gak sakit” (MS_SR)


“Gak tau” (MS_ROT_LF)
“Semangka sama es krim”
“(Es krim) Enggak (sehat)”
“Ada donat”
“(Donat) Engga (sehat)”
“Ada semangka”
“Ada ini.. Ada melon”
“(Nasi) Iya (sehat)”
“Sama tahu”
“Iya.. (sehat)”
“Pake lauk”
“Tempe”
“Ada tempe ada nasi”
“Ini tempe.. Nasi.. Semangka”
“Roti”
“Banyak”
“Sayur”

Selain menyebutkan jenis makanan sehat seperti yang telah disebutkan di atas, D
juga menjelaskan tentang ciri makanan sehat. D mengatakan bahwa nasi adalah
makanan sehat karena dapat membuat seseorang menjadi tidak sakit. Serupa dengan
alasan mengapa dikatakan makanan sehat, hal tersebut juga menggambarkan
karakteristik semilogical reasoning. D mengatakan bahwa biskuit adalah makanan sehat
karena makan biskuit bertujuan agar sembuh. D menyebutkan hal tersebut karena
minggu lalu ia sakit batuk dan pilek. D juga mengatakan bahwa pisang adalah makanan
sehat karena ia menyukainya. Kedua pernyataan D tentang ciri makanan sehat
menggambarkan egocentrism atau cenderung menginterpretasi dunia sesuai diri anak

Universitas Indonesia
109

(Piaget & Inheider, 2000). Karakteristik anak usia prasekolah lain yang juga muncul
adalah rigidity of thought atau kekakuan berpikir, yaitu pada saat D menyebutkan ia
menyukai pisang dari rasanya. D melihat satu ciri yang menonjol dari pisang, yaitu rasa.
Hal tersebut merupakan tanda dari centration, yakni cenderung melihat karakteristik
yang menonjol dari objek dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya
(Piaget & Inheider, 2000).

“(Makan biskuit) Supaya sembuh” (MS_EGO)


“(Nasi) Supaya gak sakit” (MS_SR)
“Iya (pisang) sehat”
“Karena.. Karena aku suka ini (pisang)” (MS_EGO) (MS_ROT_CE)

4.5.2.6 Jenis dan Ciri Makanan Tidak Sehat


Selain makanan sehat, D juga menjelaskan tentang jenis dan ciri makanan tidak
sehat. D mengatakan bahwa makanan tidak sehat adalah makanan yang dapat membuat
seseorang menjadi sakit. D juga menerangkan bahwa makanan tidak sehat dapat
membuat seseorang batuk. Penjelasan D mengenai makanan tidak sehat
menggambarkan karakteristik semilogical reasoning karena D menjelaskan hal-hal yang
umum dan semilogis. Selain itu, D juga menunjukkan karakteristik egocentrism karena
D menceritakan alasan makanan tidak sehat dari pengalamannya sendiri.

“Bikin sakit..” (MTS_SR)


“Yang bikin sakit” (MTS_SR)
“Jadi batuk” (MTS_EGO)

D dapat menyebutkan jenis makanan tidak sehat, seperti donat, es krim, coklat,
ciki, biskuit, dan kerupuk. D juga mengatakan alasan mengapa makanan tersebut ia
katakan tidak sehat. Menurut D, es krim adalah makanan tidak sehat karena dapat
membuat dirinya batuk. D juga mengatakan bahwa kerupuk adalah makanan tidak sehat
karena dirinya menyukainya kerupuk. Alasan mengenai es krim dan kerupuk tersebut
menunjukkan ciri egocentrism, yaitu kecenderungan anak untuk mempersepsi dan
menginterpretasi sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000). Di samping itu, D
juga melihat kerupuk dari rasanya, menunjukkan karakteristik rigidity of thought, yaitu
centration, hanya melihat ciri yang menonjol dari objek (Piaget & Inheider, 2000).

“(Donat) Enggak”

Universitas Indonesia
110

“(Coklat) Engga”
“(Es krim) Enggak”
“Es krim”
“Es krim aku batuk” (MTS_EGO)
“(Kerupuk) Enggaaa”
“Karena aku suka kerupuk” (MTS_EGO) (MTS_ROT_CE)

D juga mengatakan bahwa ciki adalah makanan tidak sehat karena dapat
merusak gigi. Namun, D tidak dapat menjelaskan alasan yang mendasarinya. Menurut
D, biskuit adalah makanan tidak sehat karena lebih sehat makanan yang lain. D juga
menjelaskan bahwa biskuit dapat membuat seseorang menjadi sakit. Hal tersebut
menggambarkan karakteristik semilogical reasoning, yaitu menjelaskan hal-hal yang
luas dan bersifat semilogis (Piaget & Inheider, 2000). Selain itu, D juga menunjukkan
karakteristik rigidity of thought, ditandai dengan adanya lack of flexibility, yaitu
cenderung untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan yang
terjadi (Miller, 2011).

“(Ciki) Engga”
“Gak sehaat!”
“Gak tauu nanti giginya ompong” (MTS_SR)
“(Biskuit) Tidak sehat”
“Karena sehatannya ini” (MTS_SR)
“Karena itu bikin sakit” (MTS_SR) (MTS_ROT_LF)

4.5.2.7 Jenis Sayuran dan Buah-buahan


D sudah mengenal berbagai jenis buah-buahan, tetapi ia belum mengetahui jenis
sayuran karena ia tidak menyukai makan sayur. D mengetahui buah stroberi, jeruk,
pisang, dan menyebut lemon dengan bantuan. Walaupun, awalnya D menyebut buah
lemon dengan sebutan apel dari kesamaan bentuk yang dimilikinya. D belum mengenal
jenis sayuran dan beberapa kali menyebut jenis sayuran atau buah yang lain dari
kesamaan warna dan bentuk. D menyebut gambar sayuran bayam dengan sebutan
brokoli karena keduanya sama-sama berwarna hijau. Lalu, menyebut gambar sayuran
terong sebagai buah anggur karena memiliki kesamaan warna ungu. D juga menyebut
gambar sayuran buncis dengan sebutan petai karena bentuk keduanya yang panjang dan
berwarna hijau. Hal tersebut menunjukkan karakteristik preoperational thought, yaitu
representasi mental berupa simbol atau kesamaan yang menetap antar objek (Miller,
2011).

Universitas Indonesia
111

“Stroberi”
“Pisang”
“Apel (menunjuk gambar lemon)” (JSB_MR)
“Lemon”
“Jeruk”
“Ini anggur (menunjuk gambar terong)” (JSB_MR)
“Terong”
“Brokoli (menunjuk gambar bayam)” (JSB_MR)
“Bayam!”
“Pete (menunjuk gambar buncis)” (JSB_MR)

4.5.3 Pembentukan Konsep Makanan


Dalam pembentukan konsep, Piaget (1952) menekankan adanya pengalaman
yang dialami oleh anak sehari-hari, yaitu dilihat dari kematangan fisik, pengalaman
aktif, dan pengalaman sosial anak. Anak juga membentuk konsep berdasarkan
kebiasaan yang dilakukannya. Dalam hal konsep tentang makanan, anak juga
membentuk konsep tersebut dari kebiasaan makan, cara makan, aktivitas saat makan,
aturan makan dan strategi yang dilakukan oleh orang tua di rumah, mengenal makanan,
dan respon terhadap makanan baru. Pada kasus D, akan dijabarkan mengenai
pembentukan konsep makanan yang telah dideskripsikan di atas melalui hasil
wawancara dengan Z, ibu D.
Kebiasaan makan D dimulai saat ia bangun tidur pukul 05.00. Kemudian, D
akan meminta untuk minum susu, dilanjutkan dengan sarapan pada pukul 08.00. Di
rumah, ibu D selalu menyediakan sarapan. Menu sarapan yang disediakan biasanya roti
atau donat, bukan makanan berat seperti nasi. D biasanya selalu meminta untuk
membeli donat sebagai sarapan, lalu dimakan lagi sebagai cemilan pada pukul 10.00.
Terkadang, D juga meminta roti memakai mesis sebagai sarapannya.

“Ohh ya paling pasti di sini sarapan sih disediain sarapan” (KM_PAM)


“Teeruus.. Sarapan. Pagi tuh pasti udah ada sarapan. Kadang dia ngemil jam 10”
(KM_PAM)
“Kadang beli donat kan”
“Buat sarapan juga nanti jam sepuluh dimakan lagi. Atau beli dua atau apa. Atau bikin
roti pake.. Mesis ya” (KM_PAM)
“Eee iya tiap pagi. Tapi sekarang dia susah makannya soalnya”
“Kadang realitanya kadang gak sesuai. Tapi emang seringnya donat sih cuma tadi pagi
tuh roti” (KM_PAM)
“Kalo D.. Dia bangun tidur eemm sering pagi ya jam 5 dia udah bangun. Terus dia
minta susu dulu kan” (KM_PAM)

Universitas Indonesia
112

“Minta susu dulu terus uhuk buka hp jam jam setengah 8 kadang susu kadang makan
biskuit terus jam 8 dia baru makan roti atau donat gitu. Gak nasi. Gak nasi dia gak bisa
dia nasi gitu” (KM_PAM)

Setelah sarapan, D makan pada siang hari dan malam hari. D dan keluarga tidak
biasa makan bersama karena ayah D belum pulang dari kantor. Namun, menurut Z, ibu
D, saat dirinya makan, D juga akan makan. Hal tersebut dikarenakan D suka meminta
makanan ibunya. Meskipun ketika diambilkan sendiri untuk D, D tidak mau
memakannya.

“Hmmmmm ya siang.. Siang.. Malem” (KM_PAM)


“Malem… kadang di sini kan gak biasa makan bareng ya karena kan ada yang belom
pulang. Tapi.. Aku makan dia juga makan” (KM_PAM)
“Gitu kadang kita makan dia juga suka minta kan. Kalo diambilin kadang dia suka gak
mau buat dia sendiri suka gak mau kan” (KM_PAM)

Berdasarkan penuturan Z, ibu D, D tergolong sulit makan. D memilih-milih


menu makanan yang akan dikonsumsi olehnya. D hanya ingin makan nasi, tanpa lauk
dan sayur. D malas mengunyah makanan, terutama makanan yang bertekstur. Keinginan
D untuk makan dipengaruhi oleh mood. Z mencontohkan bahwa biasanya D menyukai
donat dan hanya ingin makan donat, tetapi hari sebelumnya ia sempat meminta untuk
memakan roti.

“Tapi dia.. Ya itu dia tuh picky banget makannya. Misalkan kita ambil nasi sama lauk
ada tempe ada ikan. Dia udah aku suapin beberapa suap nih tempe sama ikan terus dia
maunya nasinya aja. Dia itu sih males ngunyah” (JM_TK)
“Mood-moodan gitu lah anaknya picky banget” (KM_NM)
“Kayak misalnya nih.. Dia suka eee kayak donat nih yaudah "bunda aku mau donat"
tapi kemaren maunya roti” (KM_NM)

Dalam kesehariannya, porsi makan D tergolong sedikit. Hanya lima sendok


makan makanan yang dapat dikonsumsinya. Namun, di waktu tertentu, D pernah
meminta untuk menambah porsi makanan yang sedang dimakannya. D hanya meminta
untuk menambah nasi dan kuah, tetapi tidak memakan lauknya. Z menceritakan bahwa
D jarang meminta makan langsung kepada Z. Z menjelaskan bahwa D lebih suka
memakan beragam cemilan. Apalagi ketika D sakit flu atau asmanya kambuh, maka D
akan tidak mau makan sedikitpun. Akan tetapi, ketika diajak makan di luar rumah, porsi
makan D tergolong banyak ketika makan di sebuah restoran cepat saji.

Universitas Indonesia
113

“Pernah satu kali dia pernah mau gak tau deh tuh lagi ada mood-nya hahaha
selebihnya susah. Sukanya nyemil tuh anak tuh” (KM_POM)
“Dia suka ngemil sebenernya. Paling lima sendok. Kalo lagi bagus nih perutnya
moodnya kayak kemarin nambah” (KM_POM)
“Dia mah gak pernah mau minta makan gitu mah jarang” (KM_POM)
“Ya itu kemarin nambah tapi gak mau pake lauk.. Nasi aja sama kuah” (KM_POM)
“Kalo dia udah flu udaah... kadang dia suka ga mau makan kalo lagi asmanya kambuh
he eh” (KM_POM)
“Sebenernya dia mau ke mall gitu kayak mcd. Pernah lagi ke transmart sini cilandak
itu ada ee apa sih yoshinoya porsinya lumayan besar itu dia habis loh sendiri”
(KM_POM)

Walaupun sulit makan, ketika D dihadapkan dengan makanan kesukaannya,


maka ia akan mau makan. D menyukai nasi. Ia sering hanya meminta makan nasi tanpa
menggunakan lauk. Dalam hal lauk, D menyukai lauk yang bertekstur empuk, seperti
tempe, ikan, dan tahu. D tidak terlalu suka memakan telur. D juga menyukai kentang
goreng. Z menuturkan bahwa D senang dengan makanan yang mengandung
karbohidrat. D juga tidak menyukai sayuran, sehingga Z harus menyembunyikan
sayuran di dalam nasi ketika sedang menyuapi D. Jenis makanan lainnya yang D sukai
adalah cemilan dan makanan manis, seperti donat, roti, permen, dan marshmallow.

“Soalnya di sini juga ada mbahnya kan jadi untungnya dia suka tempe.. Tempe goreng
kan. Sayur.. Harus ada sayur tapi dia susah makan sayur. Misalnya sayur bayam pake
jagung manis dia lebih suka jagung manisnya sama nasi. Kadang nasi sama kuah sayur
aja. Sayurnya kadang suka aku umpetin hahaha salah sih cuman kalo gak kayak gitu
kan dia gak mau makan sayur” (JM_TK)
“Tempe sih pasti” (JM_TK)
“Sukaa. Maunya nasinya aja” (JM_TK)
“Ikan dia suka sih” (JM_TK)
“Di rumah suka masak ikan juga.. Ikan… ikan patin. Ikan patin dimasak santan gitu.
Telor kurang begitu suka dia” (JM_TK)
“Engga, engga sih emm paling ini kentang harus ada kentang”
“Kentang goreng” (JM_TK)
“Pokoknya yang berbau karbo dia seneng” (JM_TK)
“Iya iya. Dia itu pernah kan, di rumah beli permen apa gitu yang pedes itu kaya makan
nasi. Davos gitu yang..” (JM_RS)
“Iya kan agak pedes ya? Itu makannya cepet banget, cepet banget udah kaya makan
nasi aja. 5 menit abis deh sama dia kunyah-kunyah gitu”
“Hm apa ya....(diam selama 3 detik) oh kalo ini marshmallow, dia cepet banget tuh
makannya” (JM_RS)

D makan dengan cara disuapi oleh ibunya. Menurut Z, sebenarnya D telah dapat
makan sendiri, tetapi D sering meminta disuapi sebagai bentuk mencari perhatian

Universitas Indonesia
114

kepada ibunya agar tidak memerhatikan adiknya, F, yang berusia satu tahun. Z masih
menyusui F, sehingga sering sibuk dengan F. D juga suka meminta tolong Z untuk
mengambilkan susu atau makanan lain yang ingin dikonsumsinya. Z telah membiasakan
D untuk makan sendiri dengan menolak ketika D meminta disuapi oleh Z. Lalu, Z
meminta D untuk makan sendiri.

“Heem kayak gitu, makan disuapin, ambil susu sebenernya bisa sendiri tapi maunya
diambilin” (CM_DS)
“He eh sebenernya dia bisa ya, cuma kayaknya dia karena ada adeknya ya” (CM_MS)
“karena masih nyusuin, jadi aku selalu nempel sama adeknya kan, makanya aku butuh
mba kan”
“Karena aku butuh dia kan, soalnya dia kayak capeer, sebenernya dia bisa”
“Kayak tadi dia makan rotii aku kadang suka ga mau "bunda ga mau nyuapin"”
(CM_MS)
“"Coba makan sendiri" lama lama dia bisaa, kayak gituu” (CM_MS)

D dan Z juga melakukan aktivitas lain saat makan. Z biasa menyuapi D ketika
D sedang bermain gawai. Z mengajak D makan, tetapi kadang ditolak oleh D. Akhirnya,
Z langsung menyuapi D ketika ia sedang menonton youtube. Z juga menyuapi D ketika
D sedang bermain dengan permainan yang ia miliki. Menurut Z, cara yang dilakukan
olehnya tersebut kurang tepat, tetapi ia terpaksa melakukannya agar dapat membuat D
mau makan.

“Kan gini dia tuh sebenernya laper tapi "D makan yuk" "engga aku gak mau" terus kan
tadi dia lagi main ipad kan youtube terus aku suapin "gimana enak kan?" "iya enak"
mau tuh dia kan habis terus aku tanya lagi "mau nambah?" "mau"” (AK_MG)
“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang aku suapin kan
harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak makan. Kadang
ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (AK_BM)

Z juga menerapkan aturan saat makan bagi D, khususnya dalah hal penentuan
menu makanan yang dikonsumsi oleh D. Terdapat beberapa jenis makanan tertentu
yang tidak bisa dimakan oleh D karena penyakit asma yang dideritanya. Z harus
memastikan bahwa makanan yang dimakan oleh D tidak mengandung jenis makanan
yang dapat membuat asmanya kambuh, seperti coklat dan tomat. Terdapat banyak
pantangan yang harus dipatuhi oleh D agar asmanya tidak kambuh. Z mengajarkan D
untuk tidak makan sembarangan karena makanan tertentu dapat menjadi pemicu bagi

Universitas Indonesia
115

asmanya untuk muncul. Z juga menjaga makanan dan daya tahan tubuh D agar tetap
terjaga.

“Cuma dia kan gabisa makan tomat ya,sausnya kan gabisa ya, ya itulah aku kadang
suka bingung juga kan dia banyak pantangan asmanya dia ga boleh makan
sembarangan” (AT_JM)
“Kalo dia makan sembarangan dia akan bisa timbul asmanya lagi kan pemicu lah. Ga
boleh makan sembarangan kayak coklat tomaat jahat banget untuk usia anak penderita
asma” (AT_JM)
“Makanannya juga harus dijaga, daya tahan tubuh harusss sehat terus” (AT_JM)

Z juga melakukan strategi tertentu untuk memengaruhi kebiasaan makan D,


terutama D yang sulit untuk makan. Menurut Z, terkadang D sulit makan nasi, sehingga
Z harus mengakalinya dengan mengganti nasi menjadi sumber karbohidrat lainnya,
seperti kentang goreng yang dipotong-potong lalu menggunakan saus tomat. Z juga
harus menyembunyikan sayuran di dalam nasi karena D tidak mau makan sayur dan
hanya mau memakan kuah sayurnya.

“Nasi tuh susah banget. Jadi ya ngakalinnya… karbo yang lain haha” (SD_BR)
“Kadang goreng kentang juga kan. Kentangnya bikin sendiri kentang dipotong-potong..
Pake saus tomat” (SD_BR)
“Soalnya di sini juga ada mbahnya kan jadi untungnya dia suka tempe.. Tempe goreng
kan. Sayur.. Harus ada sayur tapi dia susah makan sayur. Misalnya sayur bayam pake
jagung manis dia lebih suka jagung manisnya sama nasi. Kadang nasi sama kuah sayur
aja. Sayurnya kadang suka aku umpetin hahaha salah sih cuman kalo gak kayak gitu
kan dia gak mau makan sayur” (SD_BR)

Z juga harus rajin mengingatkan dan menyuruh D agar mau makan karena D
belum bisa membedakan waktu kapan ia lapar. Untuk menyiasati hal tersebut, Z
biasanya langsung menyuapi D ketika sedang bermain. Z juga sering mengajak D jalan-
jalan agar D mau makan. Terkadang, Z juga memberikan asupan lain, seperti cemilan.
Tindakan yang dilakukan oleh Z bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh ayah D.
Ayah D membiarkan D agar merasa lapar sehingga D akan meminta makan sendiri,
tetapi hal tersebut membuat D menjadi lebih penurut pada ayahnya.

“Iyaaa kita harus bener-bener (menirukan ucapan ke D) "D makan" gak pernah dia
yang mau sendiri pernah tuh sekali tapi abis itu gak lagi. Dia belom bisa ngebedain
kapan dia laper apa engga. Harus dari kitanya. Dulu kan sempet kerja. Kan gak ini
kan.. Susah gitu” (SD_BR)

Universitas Indonesia
116

“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang aku suapin kan
harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak makan. Kadang
ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (SD_BR)
“Iya ayahnya agak keras cuma gak tega kalo akunya haha”
“Hmm kadang kan kalo sama aku kan sambil jalan kemana”
“Kan ayahnya gak suka kan.. Udah jadi dia nurut”
“Kadang diiming-imingin, "kalo gak mau makan nanti gak diajak jalan ya"”
“Kayak gitu kan. Tapi nanti jadi kerepotan sendiri”
“Iya paling cemilan” (SD_BR)

Berkaitan tentang mengenalkan makanan, Z memberikan informasi mengenai


makanan pada saat sedang memasak. Z juga mengenalkan makanan pada saat
mengambilkan makanan untuk D. Misalnya, buah-buahan. D menanyakan pada ibunya
mengenai jenis buah-buahan yang biasa ia konsumsi, seperti pepaya, pisang, dan
semangka. Lalu, saat Z membawa buah lain yang belum diketahui oleh D, seperti sawo,
D juga akan bertanya-tanya pada Z. Z juga biasa memberikan makanan lain yang tidak
boleh dikonsumsi oleh D dalam jumlah yang sedikit untuk dicoba D, seperti mie instan,
agar D mengetahuinya. D juga mendapatkan informasi mengenai jenis makanan yang
tidak boleh ia makan dari temannya karena di rumah tidak pernah disediakan, seperti
coklat. Pada saat D bertanya, Z akan memberitahu jenis makanan tersebut dan
menjelaskan bahwa D tidak boleh mengonsumsinya. Z juga mengenalkan makanan
lainnya saat sedang pergi bersama D untuk belanja bulanan. Z suka menanyakan tempat
di mana D mau makan dan apa menu makanan yang ingin dipesannya.

“Buah-buahan buah-buahan "itu apa bunda?" gitu kan, mungkin karena aku juga suka
masak itu, buahnya juga pepaya pisang sama apa semangka, kadang aku suka gak
nanya juga jarang aku. Kayak kemaren sawo, baru dia nanya-nanya” (PM_DC)
“pertama kali aku kasih sedikit biar dia tau” (PM_DC)
“Dikit tapi”
“soalnya gaboleh”
“soalnya asma dia (berbicara sambil tertawa kecil) MSGnya ituu”
“Coklat… pernah kan dikasih darimana gitu. (menirukan D nanya) "ini apa sih?"
"coklat" orang lain sih itu di rumah gak pernah ada . Jadi kayak temennya beli gitu”
(PM_TS)
“Ya misalnya kalo aku lagi belanja bulanan kemana” (PM_SM)
“Eeeh kalo misalnya mau makan laper”
“Paling nanya "mau makan dimana D?" gituu”
“Apalagi kalo mau makan disana dan dia mau pesen gitu” (PM_SM)

Universitas Indonesia
117

Berdasarkan penuturan Z, D masih suka mencoba makanan baru. Misalnya, ketika Z


membuat spaghetti lalu D mau mencobanya dan ia menyukainya. Namun, makanan
baru juga harus dibatasi, terutama makanan yang merupakan pantangan bagi D agar
asmanya tidak kambuh. Z mengakui bahwa ia cukup bingung ketika mengenalkan
makanan baru bagi D karena terdapat banyak jenis makanan yang menjadi pemicu asma
D untuk kambuh.

“Heeeh kayak gitu dia suka makan” (MB_MC)


“Belum pernah? pernah sih, cuma yaitu apa ya....jadi kan kayak spagetii dia pernah
tuh aku pernah bikin spageti terus tapi sekali sekali aja kalo makan” (MB_HT)
“Cuma dia kan gabisa makan tomat ya,sausnya kan gabisa ya, ya itulah aku kadang
suka bingung juga kan dia banyak pantangan asmanya dia ga boleh makan
sembarangan” (MB_HT)

4.5.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan


Anak membangun konsep berdasarkan pengalaman sosial (social experience)
yang dialaminya (Wadsworth, 2004). Pengalaman sosial yang berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada D adalah ibu, ayah, kakek, media, dan teman. Ibu
D memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan konsep makanan pada D. Ibu
D adalah orang yang paling sering menemani D makan karena D hanya mau makan
ditemani oleh ibunya. Ibu D juga menyuapi D ketika D sedang bermain karena D sangat
jarang meminta makan pada ibunya.

“Akooo hahaha” (SOC_IBU)


“Oh yang bantu, dia (D) maunya sama akuu kadang maunya sama bundanyaa”
“(menirukan ucapan D) "Iya aku maunya sama bunda aja"” (SOC_IBU)
“Heem kayak gitu, makan disuapin, ambil susu sebenernya bisa sendiri tapi maunya
diambilin” (SOC_IBU)
“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Makannya kadang aku liat biarpun dirumah biarin deh maksudnya jujur yang
penting ada asupan”Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang
aku suapin kan harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak
makan. Kadang ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (SOC_IBU)

Ibu D adalah orang yang selalu membiasakan D agar makan karena D sangat
sulit untuk makan. Ibu D selalu menyuruh D untuk makan karena D belum dapat
membedakan apakah ia sedang lapar atau tidak. Apabila ibu D tidak mengingatkan D
untuk makan, D tidak pernah meminta makan. Selain itu, D juga sulit untuk mau

Universitas Indonesia
118

memakan nasi, sehingga ibu D harus mengakalinya dengan memberikan sumber


karbohidrat lainnya. Ibu D juga suka memberikan cemilan agar D ada asupan makanan.

“Iyaaa kita harus bener-bener (menirukan ucapan ke D) "D makan" gak pernah dia
yang mau sendiri pernah tuh sekali tapi abis itu gak lagi. Dia belom bisa ngebedain
kapan dia laper apa engga. Harus dari kitanya. Dulu kan sempet kerja. Kan gak ini
kan.. Susah gitu” (SOC_IBU)
“Iyaaaa kalo aku ga ingetin makan dia ga makan ga pernah minta” (SOC_IBU)
“Nasi tuh susah banget. Jadi ya ngakalinnya… karbo yang lain haha” (SOC_IBU)
“Iya paling cemilan”
“Makannya kadang aku liat biarpun dirumah biarin deh maksudnya jujur yang penting
ada asupan” (SOC_IBU)

Ibu D juga biasa mengenalkan makanan pada D. Caranya adalah dengan


memberikan sedikit makanan baru bagi D untuk dicoba. Ibu D juga merupakan orang
yang berperan menyiapkan makanan dan merencanakan menu makanan yang
dikonsumsi oleh D. Terkadang, ibu D juga menanyakan kepada D tentang menu
makanan yang diinginkan. Akan tetapi, ibu D mengakui bahwa hal tersebut sangat
jarang terjadi karena D akan selalu menjawab bahwa ia tidak mau makan. Ibu D
biasanya menanyakan tempat di mana D mau makan ketika sedang berada di luar
rumah.

“Iya hahaha. Mungkin harusnya ditanya ya biar dia mau makan, abis kadang ditanya
dianya "um enggak ah"gitu. Jadi yaudah deh harus yang kita masak” (SOC_IBU)
“Paling nanya "mau makan dimana D?" gituu” (SOC_IBU)

Ibu D juga beberapa kali melibatkan D ketika sedang menyiapkan makanan. Ibu
D memberikan tugas-tugas mudah dan sederhana untuk dikerjakan oleh D, seperti
mengocok telur dan memberikan garam pada telur yang sudah dikocok. Ibu D membeli
bahan makanan di penjual sayur dekat rumahnya. Ibu D menentukan menu makanan
berdasarkan apa yang diinginkan oleh ayah D atau stok yang tersedia di penjual sayur.

“Iya paling "D ini telur ini dikocok ya" gitu trus "ini dikasih garem" paling gitu aja
sih”
“Seringnya misalnya ayahnya mau makan apa, kadang suka bingung ya karena gak
terkontrol. Misalnya kita ke tukang sayur adanya ini, apa ya masak apa ya.”
(SOC_IBU)

Selain ibu D, ayah D juga berperan dalam pembentukan konsep makanan pada
D. D yang sulit makan dan memilih-milih makanan dipengaruhi oleh ayahnya yang juga

Universitas Indonesia
119

suka memilih-milih makanan. Ayah D hanya menyukai jenis makanan tertentu,


sehingga D juga mengikuti pola makan ayahnya. Ayah D juga memiliki aturan makan
bagi D. Ayah D biasanya membiarkan D untuk tidak makan ketika D tidak meminta
makan. Hal tersebut dimaksudkan agar D mengerti bahwa ia akan menanggung lapar
ketika ia tidak makan.

“Iya ini gabisa tapi nurun dari ayahnya asmanya, sebenernya picky makananya juga
nurun dari ayahnya” (SOC_AY)
“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang aku suapin kan
harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak makan. Kadang
ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (SOC_AY)
“Iya ayahnya agak keras cuma gak tega kalo akunya haha” (SOC_AY)

Ayah D juga terkadang menemani D makan pada saat akhir pekan. Ayah D juga
menemani D makan ketika ibu D sedang tidak ada di rumah. Menurut ibu D, D menjadi
lebih penurut ketika makan dengan ayahnya dibandingkan saat makan dengan ibunya.
Ayah D tidak suka mengajak D jalan dan tidak menjanjikan sesuatu pada D, berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh ibu D.

“Ayahnya..Eeeee kan dia pulang malem ya. Pas weekend sih biasanya kadang. Kalo
lagi misah baru sama ayahnya” (SOC_AY)
“Atau kalo aku lagi pergi kemana.. Sama ayahnya baru” (SOC_AY)
“Tapi kadang kalo sama ayahnya jadi lebih nurut sih” (SOC_AY)
“Hmm kadang kan kalo sama aku kan sambil jalan kemana”
“Kan ayahnya gak suka kan.. Udah jadi dia nurut” (SOC_AY)
“Kadang diiming-imingin, "kalo gak mau makan nanti gak diajak jalan ya"”
“Kayak gitu kan. Tapi nanti jadi kerepotan sendiri”

Kakek D juga berperan dalam pembentukan konsep makanan pada D. Kakek D


sering menemani D makan, terutama saat ibu D masih bekerja. Kakek D juga berperan
dalam merencanakan menu makanan yang dikonsumsi D. Kakek D sangat menyukai
tempe, sehingga ibu D selalu menyediakan tempe sebagai menu makanan di rumah. Hal
tersebut juga membuat D sangat menyukai tempe. Ibu D mempertimbangkan menu
makanan berdasarkan apa yang dapat dimakan oleh kakek D, seperti sayur bayam.

“Kadang dari mbahnya sih” (SOC_KK)


“Ya...sayurnya kadang isinya kadang aku tempe selalu beli sih karena mbahnya itu
sukanya tempe kan. Trus sayur sayur bayem sayur....sering bayem sih” (SOC_KK)

Universitas Indonesia
120

Kebiasaan jajan D juga dipengaruhi oleh kakeknya. Di rumah, ibu dan ayah D
jarang memberikan jajanan kepada D. Namun, kakek D suka membelikan jajanan
kepada D, lalu membawa jajanan pulang untuk dimakan oleh D. Kakek D cukup sering
membelikan D jajanan ketika D memintanya, padahal terkadang ada beberapa makanan
yang tidak boleh dimakan oleh D karena penyakit asmanya.

“Dari mbahnya. Mbahnya tuh suka beliin” (SOC_KK)


“Pulang pulang bawa tuh Mbahnya” (SOC_KK)
“Kadang mbahnya juga kan galuluh eh luluh orangnya kan” (SOC_KK)
“Iyaaa kadang dibeliin kan”
“Kadang kan cucunya ga boleh makan apa gitu kan” (SOC_KK)

Selain dipengaruhi oleh kakeknya, kebiasaan jajan D juga dipengaruhi oleh


teman sebaya D. Ketika D dan ibunya ke rumah salah seorang teman D, biasanya
sepulang dari sana D meminta untuk membeli jajanan seperti yang dimakan oleh
temannya. D suka merengek untuk dibelikan jajanan yang sama dengan milik temannya
kepada ibunya. Misalnya, jajan permen kenyal. Awalnya, ibu D tidak memperbolehkan,
tetapi terkadang ibu D juga suka membelikan jajanan yang diinginkan oleh D.

“Apa yaaaa? paling kayak misalnya kalo dia ke rumah temennyaa” (SOC_TS)
“Paling kalo dia ke rumah temennya” (SOC_TS)
“Kadang aku suka ke rumah temennya punya anak kecil juga”
“Temen si D juga sih” (SOC_TS)
“Sepantaran lah beda 6 bulan”
“Karena maen sama anak anak, "aku mau dong kayak si iniii"” (SOC_TS)
“He eh kadang dari situ dari temen temennya ya kadang itu temennya jajan apa, "aku
mau jajan kayak si itu bunda"” (SOC_TS)
“Terus jajan permen yaudah, ya itu kenal dari temennya yupi, jajanan warung itu kan
kayak temennya jajan apa dia ngikut” (SOC_TS)
“Engga sih tapi kalo dia udaah..... namanya anak anak kan aku suka luluh juga hahaha
sebenernya harus ini sih gaboleh”
“Dia udah kayak orang ngerengek gitu kan akhirnya dikasih aja”

Teman D juga mengenalkan jajanan pada D, seperti cokelat. D tidak


diperbolehkan untuk memakan cokelat, sehingga ibu D tidak pernah menyediakan
cokelat di rumah. Ketika temannya membeli cokelat, D menanyakan tentang cokelat
kepada temannya. Dari temannya, D mengetahui jenis jajanan yang seharusnya tidak
boleh ia konsumsi karena dapat membuat asmanya kambuh.

Universitas Indonesia
121

“Coklat… pernah kan dikasih darimana gitu. (menirukan D bertanya) "ini apa sih?"
"coklat" orang lain sih itu di rumah gak pernah ada . Jadi kayak temennya beli gitu”
(SOC_TS)

Media juga memiliki peran bagi pembentukan konsep makanan bagi D.


Walaupun perannya lebih kecil dibandingkan pengalaman sosial D dengan orang-orang
di sekelilingnya. Menurut ibu D, D sering menonton film kartun di televisi dan youtube
yang mengandung konten makanan. Dari film kartun tersebut, D mengetahui tambahan
informasi mengenai makanan.
“Iya ada”
“Kayak kartun upin ipin gitu kan” (SOC_MD)

Universitas Indonesia
122

4.6 Analisis Antar Kasus


4.6.1 Konsep Makanan

Tabel 4.2 Konsep Makanan


A B C D
Konsep Makanan
6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Tujuan dari Makan - Makan membuat tubuh - Perlu makan karena - Makan berguna supaya - Makan membuat tubuh
seseorang menjadi tidak merasa lapar sembuh dari sakit sehat
kurus - Perlu makan supaya - Seseorang sembuh dari - Tidak mengetahui
- Makan dapat membuat tidak merasa capai sakit karena memakan mengapa makan dapat
tubuh seseorang menjadi - Tidak mengetahui sayuran membuat tubuh sehat
gendut mengapa makan dapat - Tidak dapat - Tujuan dari makan
- Tidak dapat membuat seseorang tidak menjelaskan alasan adalah karena ia
menjelaskan mengapa capai mengapa makan dapat menyukai makan
makan dapat membuat membuat seseorang
tubuh seseorang menjadi sembuh dari sakit
gendut
Efek dari Makanan - Orang bisa kurus dan - Ciki bisa menyebabkan - Menyamakan seseorang - Makan donat karena
Tertentu tidak bisa gendut adalah penyakit dan merusak yang memakan wortel dapat membuatnya
orang yang tidak makan gigi terus menerus dengan senang
sayur dan hanya mau - Makan bayam dapat kelinci - Makan stroberi, ciki,
makan coklat membuat seseorang sehat nasi, dan lauk dapat
- Makan sayur supaya dan bertubuh tinggi membuat seseorang
tidak kurus dan gendut menjadi hebat
seperti balon - Makan nasi supaya
- Makan bayam dapat sehat
membuat tubuh seseorang
tidak kurus

Universitas Indonesia
123

Tabel 4.2 (lanjutan)


A B C D
Konsep Makanan
6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Efek dari Kuantitas - Tidak makan dapat - Tidak makan bisa - Apabila seseorang tidak - Tidak makan dapat
Makanan membuat seseorang menjadi sakit dan dibawa makan, maka tubuh membuat seseorang
menjadi kurus, tidak bisa dengan mobil ambulan seseorang akan menjadi menjadi sakit karena
buang air besar, dan tidak - Tidak sehat apabila kurus karena tidak ada ketularan teman
bisa gendut memakan ciki terlalu makanan dan minuman - Sudah makan
- Orang yang kurus dan banyak yang masuk ke dalam diperbolehkan makan es
tidak bisa gendut karena - Tidak boleh makan tubuh. krim
tidak mau makan, melon terlalu banyak - Apabila seseorang yang - Makan terlalu banyak
terutama tidak mau karena bisa dibuang makan terlalu banyak, dapat membuat seseorang
makan sayur dan hanya - Apabila orang tidak tubuhnya dapat menjadi tumbuh besar
mau makan coklat. makan, tidak boleh gendut karena makanan - Apabila seseorang
- Seseorang yang makan membeli mainan yang dimakan dan tumbuh besar, dapat
terlalu banyak dapat minuman yang diminum bersekolah
menjadi gendut, yaitu berjumlah banyak.
memiliki ciri-ciri tangan,
kaki, perut, dan kepala
yang berukuran besar.
Efek dari Diet Tidak - Hanya makan brokoli - Boleh makan bayam - Hanya makan wortel - Hanya makan ciki dapat
Seimbang setiap hari diperbolehkan tiap hari tetapi tidak setiap hari diperbolehkan membuat seseorang
karena brokoli adalah boleh makan dalam dan akan membuat menjadi sakit dan seperti
makanan sehat jumlah yang banyak seseorang menjadi kelinci tengkorak
- Makan sayur dapat - Hanya makan ciki tidak - Hanya makan ayam
membuat seseorang diperbolehkan karena dapat membuat sakit,
menjadi gendut seperti dapat membuat batuk tetapi tidak dapat
balon menjelaskannya

Universitas Indonesia
124

Tabel 4.2 (lanjutan)


A B C D
Konsep Makanan
6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
- Tidak boleh hanya
memakan donat karena ia
tidak mampu
menghabiskannya
- Tidak hebat bila hanya
makan pisang terus
menerus karena dapat
membuat seseorang
menjadi sakit
- Hanya makan pisang
dapat membuat lidah
seseorang menjadi kuning
- Tidak boleh hanya
makan stroberi karena
ibunya menyuruh makan
nasi
- Makan donat terus
menerus diperbolehkan
karena ia menyukai donat
Jenis Makanan Sehat Melon, apel, pisang, dan - Sayur dan buah adalah - Wortel, mangga, pisang Semangka, melon, nasi,
nasi adalah makanan makanan sehat dan bubur adalah tahu, lauk, tempe, roti,
sehat. - Jenis makanan sehat: makanan sehat. dan sayur adalah
bayam, sop, melon, jeruk - Sayuran adalah makanan sehat.
dan ikan makanan sehat.

Universitas Indonesia
125

Tabel 4.2 (lanjutan)


A B C D
Konsep Makanan
6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Ciri Makanan Sehat - Makanan sehat dapat - Makanan sehat adalah - Makanan sehat adalah - Makanan sehat adalah
membuat seseorang makanan yang boleh makanan yang dapat makanan yang tidak
menjadi tidak kurus. dimakan membuat seseorang membuat sakit
- Makanan sehat dapat - Bayam adalah makanan menjadi pintar. - Ciri makanan sehat:
membuat tubuh menjadi sehat karena bisa - Ciri makanan sehat: manfaat;
sehat dan kuat. dimakan manfaat; Makan biskuit supaya
- Ciri makanan sehat: - Ciri makanan sehat: Bayam adalah makanan sembuh
manfaat; warna; sehat karena dapat Makan nasi membuat
Bayam dapat membuat Pisang berwarna kuning membuat seseorang orang tidak sakit
tubuh tidak kurus. - Ciri makanan sehat: menjadi pintar.
Pisang dapat membuat rasa; Pisang adalah makanan
tubuh menjadi sehat dan Rasa jeruk enak sehat karena dapat
kuat. - Ciri makanan sehat: membuat seseorang
- Ciri makanan sehat: manfaat; menjadi sembuh
warna; Makan bayam dapat Ayam sehat karena tidak
Sayur dan apel sehat membuat seseorang sehat membuat batuk dan
karena berwarna hijau. dan bertubuh tinggi membuat tubuh menjadi
- Ciri makanan sehat: kuat
jenis; - Ciri makanan sehat:
Pisang dan melon sehat bentuk;
karena merupakan buah- Ayam sehat karena
buahan. terdapat daging
- Ciri makanan sehat: - Ciri makanan sehat:
bentuk; rasa;
Pisang sehat karena Ayam sehat karena ia
memiliki kulit suka rasanya
pembungkus

Universitas Indonesia
126

Tabel 4.2 (lanjutan)


A B C D
Konsep Makanan
6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
- Ciri makanan sehat:
rasa;
Brokoli, ayam goreng
cepat saji, dan kentang
goreng sehat karena
memiliki rasa yang enak

Jenis Makanan Tidak Es krim, permen, ciki, Mie dan ciki adalah Kerupuk, air dingin, dan Donat, es krim, coklat,
Sehat coklat, dan mie instan makanan tidak sehat ciki adalah makanan tidak ciki, biskuit, dan kerupuk
adalah makanan tidak sehat. adalah makanan tidak
sehat. sehat.
Ciri Makanan Tidak - Makanan tidak sehat - Makanan tidak sehat - Makanan sehat adalah - Makanan tidak sehat
Sehat adalah makanan yang adalah makanan yang makanan yang dapat adalah makanan yang
membuat tubuh kurus tidak diperbolehkan membuat dirinya batuk membuat sakit
- Makanan tidak sehat untuk dimakan - Ciri makanan tidak - Ciri makanan tidak
mengandung bakteri yang - Ciri makanan tidak sehat: dampak; sehat: dampak;
dapat masuk ke dalam sehat: dampak; Makan Ciki dapat membuat Makanan yang tidak sehat
tubuh mie dapat membuat seseorang menjadi batuk membuat batuk
- Ciri makanan tidak disuntik Es krim membuatnya
sehat: bentuk; Ciki bisa menyebabkan batuk
Es krim tidak sehat penyakit Biskuit tidak sehat karena
karena mudah meleleh - Ciri makanan tidak membuat sakit
sehat: rasa; Ciki tidak sehat karena
Ciki rasanya enak dapat membuat gigi rusak

Universitas Indonesia
127

Tabel 4.2 (lanjutan)


A B C D
Konsep Makanan
6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
- Ciri makanan tidak - Ciri makanan tidak
sehat: rasa; sehat: rasa;
Coklat dan ciki tidak Kerupuk tidak sehat
sehat karena rasanya karena ia menyukai
tidak enak kerupuk
Jenis Sayuran dan Buah- - Telah mengenal jenis - Belum mengenal jenis - Telah mengenal jenis - Mulai mengenal jenis
buahan sayuran dan buah-buahan sayuran dan buah-buahan sayuran dan buah-buahan buah-buahan
secara tepat secara tepat secara tepat - Belum mengenal jenis
- Terdapat jenis sayuran - Belum dapat sayuran
yang belum ia kenal mengelompokkan - Menyebutkan jenis
bentuknya sayuran dan buah-buahan sayuran lain berdasarkan
- Menyebutkan jenis kesamaan yang dimiliki
sayuran lain berdasarkan
kesamaan yang dimiliki

Universitas Indonesia
128

Seluruh partisipan telah mengetahui tujuan dari makan dengan jawaban yang
berbeda-beda. Namun, seluruh partisipan sama-sama menggambarkan bahwa makan
berguna bagi tubuh. Seorang partisipan (A) mengatakan bahwa makan dapat membuat
tubuh menjadi gendut dan tidak kurus. Seorang partisipan (B) mengungkapkan bahwa
makan berguna agar tubuh tidak capai. Partisipan lainnya (C) menyatakan bahwa tujuan
dari makan supaya sembuh dari sakit, sedangkan partisipan terakhir (D) menyebutkan
bahwa makan berguna agar tubuh sehat. Keempat partisipan memiliki kesamaan, yaitu
tidak dapat menjawab ketika ditanya alasan dari jawaban mereka.
Seluruh partisipan memahami efek dari kuantitas makanan yang berbeda. Dua
orang partisipan (A dan C) menyebutkan bahwa tidak makan akan membuat tubuh
menjadi kurus. Dua orang partisipan (B dan D) juga menyebutkan bahwa tidak makan
akan menyebabkan seseorang menjadi sakit. Ketika menyebutkan efek dari makan
terlalu banyak, dua orang partisipan (A dan C) mengatakan bahwa makan terlalu banyak
akan membuat tubuh menjadi gendut. Satu orang (B) partisipan menyatakan tidak boleh
makan terlalu banyak karena makanannya dapat dibuang. Satu partisipan lainnya (D)
menyatakan bahwa makan terlalu banyak dapat membuat seseorang tumbuh besar dan
bisa bersekolah.
Seluruh partisipan mulai mengetahui efek dari makanan tertentu berdasarkan
penalarannya masing-masing. Satu orang partisipan (A) menyebutkan bahwa orang
yang tidak makan sayur dan hanya mau makan coklat dapat membuat tubuh seseorang
menjadi kurus dan tidak bisa gendut. Satu orang partisipan (B) mengatakan bahwa ciki
dapat menyebabkan penyakit dan merusak gigi, sedangkan bayam dapat membuat
seseorang sehat dan bertubuh tinggi. Satu orang partisipan (C) menyatakan bahwa
makan wortel terus menerus tidak diperbolehkan karena dapat menjadi kelinci. Satu
orang partisipan lagi (D) mengungkapkan bahwa makan donat dapat membuatnya
senang, serta memakan stroberi, ciki, nasi, dan lauk dapat membuat seseorang menjadi
hebat.
Seluruh partisipan belum memahami efek dari diet tidak seimbang. Keempat
partisipan mengatakan bahwa hanya makan satu jenis makanan setiap hari
diperbolehkan, tetapi mensyaratkan agar tidak makan dalam jumlah yang banyak. Dua
orang partisipan (C dan D) menyebutkan alasan ketika memakan satu jenis makanan
secara terus menerus, seperti makan ciki dapat membuat batuk dan makan ayam dapat

Universitas Indonesia
129

membuat sakit. Sementara itu, dua orang partisipan lainnya (A dan B) tidak dapat
menyebutkan alasannya.
Seluruh partisipan dapat menyebutkan jenis makanan sehat. Seluruh partisipan
juga dapat memberikan jawaban mengapa makanan tersebut dikatakan sehat. Ketiga (A,
B, dan D) partisipan menyebutkan alasan makanan sehat dilihat dari efeknya bagi
kesehatan tubuh, seperti membuat seseorang menjadi tidak kurus, pintar, dan tidak sakit.
Satu orang partisipan lainnya (B) menyebutkan makanan sehat dari apakah makanan
tersebut diperbolehkan atau tidak untuk dimakan. B menyatakan bahwa makanan sehat
adalah makanan yang boleh dan dapat dimakan.
Seluruh partisipan menyebutkan ciri makanan sehat dari manfaatnya. Dua orang
partisipan (A dan B) menyebutkan bahwa bayam dapat membuat tubuh tidak kurus,
sehat, dan tinggi. Dua orang partisipan lainnya (C dan D) mengatakan bahwa memakan
makanan sehat, seperti pisang dan biskuit, dapat membuat sembuh dari sakit. Selain
manfaat, dua orang partisipan (A dan B) melihat makanan sehat dari warnanya, seperti
sayur dan apel yang berwarna hijau dan pisang yang berwarna kuning. Dua orang
partisipan (A dan C) juga menilai makanan sehat dari bentuknya, yaitu pisang memiliki
kulit pembungkus dan ayam yang memiliki daging.
Ketiga partisipan (A, B, dan C) juga menyebutkan makanan sehat dari rasanya.
Satu orang partisipan (A) mengatakan bahwa brokoli, ayam goreng cepat saji, dan
kentang goreng sehat karena memiliki rasa yang enak. Satu orang partisipan (B)
mengatakan bahwa jeruk sehat karena rasanya enak. Satu orang partisipan lainnya (C)
menyebutkan bahwa ayam sehat karena ia menyukai rasa ayam. Hal yang unik adalah
seorang partisipan (A) melihat makanan sehat dari jenisnya, yaitu pisang dan melon
sehat karena merupakan buah-buahan.
Seluruh partisipan dapat menyebutkan jenis makanan tidak sehat. Seluruh
partisipan juga dapat memberikan jawaban mengapa makanan tersebut dikatakan sehat.
Ketiga (A, B, dan D) partisipan menyebutkan alasan makanan sehat dilihat dari efeknya
bagi kesehatan tubuh, seperti dapat membuat tubuh kurus, batuk, dan sakit. Dua orang
partisipan (C dan D) mengatakan jawaban yang sama, yakni makanan tidak sehat dapat
membuat batuk. Hal tersebut juga dipengaruhi dari pengalaman mereka berdua ketika
memakan es krim dan ciki. Satu orang partisipan lainnya (B) menyebutkan makanan
tidak sehat dari apakah makanan tersebut diperbolehkan atau tidak untuk dimakan. B

Universitas Indonesia
130

menyatakan bahwa makanan tidak sehat adalah makanan yang tidak diperbolehkan
untuk dimakan.
Seluruh partisipan menyebutkan ciri makanan tidak sehat dari dampaknya. Satu
orang partisipan (A) menyebutkan bahwa makanan tidak sehat mengandung bakteri
yang dapat masuk ke dalam tubuh. Ketiga orang partisipan (B, C, dan D) mengatakan
makanan tidak sehat, seperti ciki, dapat menyebabkan penyakit dan merusak gigi. Selain
dampaknya, ketiga orang partisipan (A, B, dan D) melihat makanan tidak sehat dari
rasanya. A menganggap coklat dan ciki tidak sehat karena rasanya tidak enak,
sedangkan B dan D mengatakan bahwa ciki dan kerupuk rasanya enak dan mereka
menyukainya walaupun tidak sehat. Jawaban berbeda dilontarkan oleh A yang juga
memandang makanan tidak sehat dari bentuknya, yaitu es krim tidak sehat karena
mudah meleleh.
Pada kategori jenis sayuran dan buah-buahan, kedua partisipan (A dan C) telah
mengenal jenis sayuran dan buah-buahan serta dapat mengelompokkannya secara tepat.
dan C berusia enam tahun dan telah menempuh pendidikan taman kanak-kanak. Di sisi
lain, kedua partisipan (B dan D) belum dapat mengenal jenis sayuran dan buah-buahan
serta belum dapat mengelompokkannya dengan benar. B dan D berusia empat tahun dan
belum bersekolah. B masuk ke kelompok bermain dan D masuk ke bimbingan baca-
tulis. Perbedaan yang terjadi menunjukkan bahwa hal tersebut sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Piaget (1961) bahwa usia dan kematangan fisik merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak.

Universitas Indonesia
131

4.6.2 Karakteristik Preoperational Thought pada Konsep Makanan

Tabel 4.3 Karakteristik Preoperational Thought pada Konsep Makanan


Karakteristik Preoperational A B C D
Thought 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Mental representation: symbol and - Menilai bahwa ia kurus - Menyebut sayur - Saat kegiatan - Menyebut bayam
sign serta membandingkan sebagai rumput outbound yang dengan brokoli
dengan tubuh temannya - Menyebut sayur diadakan di sekolah, - Menyebut buncis
di sekolah yang lain sebagai daun bersama temannya dengan petai
- Tubuh orang yang membandingkan ukuran
gendut seperti balon dan tubuh dari ibu mereka
raksasa besar masing-masing
- Menyamakan
seseorang yang gendut
seperti raksasa dari
tubuhnya yang
berukuran besar
- Menyamakan
seseorang yang
memakan wortel terus
menerus dengan kelinci
Egocentrism - Membandingkan dirinya - Makan bertujuan - Makan agar dapat - Tujuan dari makan
dengan tubuh temannya agar tidak capai sembuh dari sakit karena ia menyukainya
yang tidak diketahui oleh - Tidak makan tidak - Memakan pisang dan - Apabila seseorang
orang lain boleh membeli bayam dapat membuat tidak makan dapat
- Mengatakan hal yang mainan sembuh dari sakit membuat sakit karena
hanya ia mengerti - Makan melon - Makan kerupuk dan ketularan teman
maksudnya ketika terlalu banyak bisa air dingin dapat - Apabila seseorang

Universitas Indonesia
132

Tabel 4.3 (lanjutan)


Karakteristik Preoperational A B C D
Thought 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
menjelaskan efek dari Dibuang membuat batuk sudah makan, maka
kuantitas makanan seseorang
diperbolehkan untuk
memakan es krim
- Makan donat dapat
membuatnya senang
- Tidak mampu
menghabiskan donat
dan disuruh ibunya
untuk memakan nasi
- Pisang adalah
makanan sehat karena
ia menyukainya
- Makanan tidak sehat
dapat membuat
seseorang batuk
- Kerupuk adalah
makanan tidak sehat
karena dirinya
menyukainya

Universitas Indonesia
133

Tabel 4.3 (lanjutan)


Karakteristik Preoperational A B C D
Thought 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Rigidity of Centration - Seseorang yang makan - Ciki adalah - Hanya makan ciki tidak - Lidah seseorang akan
Thought terlalu banyak dapat makanan tidak sehat diperbolehkan karena berubah warna menjadi
menjadi gendut, yaitu dari jumlah ciki yang dapat membuat batuk kuning jika hanya
memiliki ciri-ciri tangan, dikonsumsi - Memandang makanan makan pisang
kaki, perut, dan kepala seseorang sehat dari bentuk dan - Memandang makanan
yang berukuran besar - Memandang rasa sehat dari rasa
- Hanya makan brokoli makanan sehat dari - Memandang makanan
setiap hari diperbolehkan warna dan rasa tidak sehat dari rasa
karena merupakan
sayuran
- Memandang makanan
sehat dari warna, bentuk,
dan jenis
- Memandang makanan
tidak sehat dari bentuk
dan rasa
Lack of Flexibility - Tubuh orang gendut - Hanya melihat - Hanya tertuju pada - Makan berguna agar
yang berukuran besar makan dapat sayuran dapat sehat, tetapi belum
karena mengonsumsi menjadikan membuat sembuh, mengetahui proses
banyak makanan, tetapi seseorang tidak tetapi belum yang terjadi mengapa
tidak dapat menjelaskan merasa lelah, tanpa memahami tentang makan dapat membuat
proses bagaimana mengetahui proses hal tersebut seseorang menjadi
makanan dapat mengubah prosesnya dapat terjadi sehat
ukuran tubuh - Memakan bayam - Masih terbatas pada - Makan ayam tanpa
- Makanan tidak sehat dapat membuat manfaat yang memakan makanan
adalah makanan yang tubuh seseorang dihasilkan dari yang lain juga dapat

Universitas Indonesia
134

Tabel 4.3 (lanjutan)


Karakteristik Preoperational A B C D
Thought 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
membuat tubuh kurus menjadi tinggi, makanan sehat tanpa membuat seseorang
karena mengandung walaupun belum mengetahui prosesnya menjadi sakit, tetapi
bakteri, tetapi tidak dapat menjelaskan tidak dapat
mengetahui prosesnya lebih lanjut menjelaskannya
- Ciki adalah makanan
tidak sehat karena
dapat merusak gigi,
tetapi tidak dapat
menjelaskan alasannya
Lack of - - - -
Reversibility
Semilogical Reasoning - Makan dapat membuat - Makan bertujuan - Makan wortel terus - Apabila seseorang
tubuh menjadi gendut membuat orang menerus dapat tidak makan, maka bisa
sehingga tubuh menjadi merasa tidak capai membuat seseorang menjadi sakit karena
tidak kurus - Sebutan bahwa ciki menjadi kelinci ketularan teman
- Orang yang kurus dan ‘nakal’ karena - Tubuh seseorang akan - Makan dengan
tidak bisa gendut karena berpenyakit menjadi kurus jika jumlah yang banyak
tidak mau makan, - Seseorang yang tidak ada makanan dan dapat membuat dirinya
terutama tidak mau tidak makan dapat minuman yang masuk hebat
makan sayur dan hanya dibawa dengan ke dalam tubuh - Stroberi, ciki, nasi,
mau makan coklat mobil ambulan - Tubuh seseorang dan lauk dapat
- Makan sayur dapat karena sakit karena menjadi gendut karena membuat seseorang
membuat seseorang pernah melihat makanan yang dimakan menjadi hebat
menjadi gendut seperti seseorang yang sakit dan minuman yang - Hanya makan pisang
balon diantar oleh mobil diminum berjumlah dan ciki dapat

Universitas Indonesia
135

Tabel 4.3 (lanjutan)


Karakteristik Preoperational A B C D
Thought 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
ambulan banyak membuat seseorang
- Memakan bayam menjadi sakit dan
setiap hari seperti tengkorak
diperbolehkan tetapi - Lidah seseorang akan
tidak boleh berubah warna menjadi
memakan bayam kuning jika hanya
dalam jumlah yang makan pisang
banyak - Makanan sehat adalah
- Makanan sehat makanan yang tidak
adalah makanan membuat sakit
yang diperbolehkan - Makanan tidak sehat
untuk dimakan dapat membuat
- Apabila memakan seseorang sakit dan
mie sejak dulu dapat batuk
membuat seseorang - Biskuit adalah
disuntik dan dirinya makanan tidak sehat
takut untuk disuntik karena lebih sehat
makanan lain
Limited Social Cognition - Menyebutkan makan itu - Menyebutkan - Banyak menggunakan - Sering mengulangi
adalah daha. Daha adalah kalimat yang tidak gestur, seperti kalimat “aku suka
nenek-nenek dapat dimengerti mengangguk dan donat”
- Mengoceh dan - Mengoceh dan menggeleng - Menyebutkan nama
mengulangi kata-kata mengulangi kata- orang lain dan tidak
yang telah diucapkannya kata yang telah dapat menjelaskan
diucapkannya siapa orang tersebut

Universitas Indonesia
136

Dalam menganalisis konsep tentang makanan pada anak usia prasekolah,


diperlukan untuk mengaitkannya dengan karakteristik perkembangan kognitif yang
dimiliki oleh anak usia prasekolah. Perkembangan kognitif anak usia prasekolah berada
pada tahap preoperational thought (Piaget & Inheider, 2000). Tahap preoperational
thought memiliki ciri-ciri: (1) Adanya representasi mental, seperti simbol dan tanda; (2)
egocentrism; (3) kekakuan berpikir (rigidity of thought), terdiri dari centration, lack of
flexibility, dan lack of reversibility; (4) semilogical reasoning; serta (5) limited social
cognition (Miller, 2011).
Seluruh partisipan menggambarkan adanya representasi mental berupa simbol,
yaitu kesamaan yang menetap antara objek atau peristiwa (Miller, 2011). Dua orang
partisipan (A dan C) mencirikan representasi mental pada saat menjelaskan efek
kuantitas makanan bagi tubuh. A menilai bahwa ia kurus serta membandingkan dengan
tubuh temannya di sekolah yang lain. C juga menyatakan hal yang serupa, yaitu
membandingkan bersama temannya ukuran tubuh dari ibu mereka masing-masing pada
saat kegiatan outbound di sekolah. A dan C juga menyamakan tubuh orang yang gendut
besar seperti balon dan raksasa. A dan C melihat kesamaan ukuran tubuh yang menetap
pada teman dan ibunya. Dua orang partisipan lainnya (B dan D) memunculkan ciri
representasi mental pada saat menyebutkan jenis sayuran. B menyebut sayur sebagai
rumput dan daun, dari kesamaan bentuk dan warna di antara ketiganya. D juga
menyebutkan sayur buncis dengan petai dan sayur bayam dengan brokoli. Buncis
memiliki bentuk yang sama dengan petai, sedangkan brokoli memiliki kesamaan warna
dengan bayam. B dan D sama-sama melihat dari kesamaan berdasarkan bentuk dan
warna pada objek yang mereka sebutkan.
Ketiga partisipan (B, C, dan D) menggambarkan ciri egocentrism ketika
menjelaskan tujuan dari makan. B menyebutkan bahwa makan bertujuan agar tidak
capai karena ia selalu dibiasakan makan ketika merasa lelah. C mengatakan bahwa
makan berguna agar dapat sembuh dari sakit karena dua hari sebelum proses
pelaksanaan wawancara, C sakit batuk, pilek, dan radang tenggorokan. D
mengungkapkan bahwa tujuan dari makan karena ia menyukai untuk makan. Jawaban
yang dilontarkan oleh ketiga partisipan tersebut menunjukkan karakteristik egocentrism,
yaitu anak cenderung mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai
dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000). Karakteristik egocentrism menunjukkan

Universitas Indonesia
137

bahwa anak belum dapat membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak
belum dapat melihat sudut pandang perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller,
2011).
Tiga orang partisipan (A, B, dan D) juga menunjukkan ciri egocentrism pada
saat menjelaskan efek dari kuantitas makanan. A mengatakan hal yang hanya ia
mengerti maksudnya ketika menjelaskan efek dari kuantitas makanan, misalnya
“soalnya makan itu daha” atau “daha itu… nenek-nenek”. B menjelaskan bahwa tidak
makan membuat seseorang tidak boleh membeli mainan, serta memakan melon terlalu
banyak bisa dibuang. D menyatakan bahwa apabila seseorang tidak makan dapat
membuat sakit karena ketularan teman D juga menambahkan bahwa apabila seseorang
sudah makan, maka seseorang diperbolehkan untuk memakan es krim. Jawaban yang
diberikan oleh A, B, dan D didasari oleh pengalaman mereka sendiri ketika ditanya
mengenai efek dari kuantitas makanan, mencirikan karakteristik egocentrism.
Dua orang partisipan (C dan D) menampilkan karakteristik egocentrism ketika
menerangkan efek dari makanan tertentu. Menurut C, makan kerupuk dan air dingin
dapat membuat batuk. D juga mengungkapkan bahwa makan donat dapat membuatnya
senang. Lebih jauh lagi, D mengatakan bahwa walaupun donat membuatnya senang, ia
tidak mampu menghabiskan donat dan disuruh ibunya untuk memakan nasi. Jawaban
dari C dan D tersebut menunjukkan bahwa penalaran mereka sesuai dengan ciri
egocentrism.
Karakteristik lainnya yang ditunjukkan oleh partisipan dalam pemahaman
konsep tentang makanan adalah kekakuan berpikir (rigidity of thought). Ciri kekakuan
berpikir (rigidity of thought) yang pertama adalah centration. Centration adalah
kecenderungan anak untuk melihat karakteristik yang menonjol dari objek dan peristiwa
serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). Ketiga
partisipan (A, C, dan D) menampilkan ciri centration dalam memberikan alasan efek
dari diet yang tidak seimbang. A mengatakan bahwa hanya makan brokoli setiap hari
diperbolehkan karena merupakan sayuran. C menyebutkan bahwa hanya makan ciki
tidak diperbolehkan karena dapat membuat batuk. D juga menjawab bahwa lidah
seseorang akan berubah warna menjadi kuning jika hanya makan pisang. A fokus pada
ciri brokoli yang merupakan sayuran, C melihat ciki dari dampaknya, dan D
memusatkan perhatian pada warna pisang. Ketiga partisipan mengabaikan karakteristik

Universitas Indonesia
138

lainnya dari brokoli, ciki, dan pisang saat menjelaskan efek dari diet yang tidak
seimbang.
Seluruh partisipan (A, B, C, D) juga menunjukkan karakteristik centration pada
saat menjelaskan ciri makanan sehat. Seluruh partisipan memandang beberapa makanan
sehat dari bentuk, jenis, warna, dan rasa makanan tersebut. Seluruh partisipan hanya
fokus pada salah satu ciri yang muncul ketika menyebutkan alasan mengapa makanan
tersebut dapat dikatakan sehat. Dua orang partisipan (A dan D) juga menyebutkan ciri
makanan tidak sehat sesuai dengan karakteristik centration, yaitu melihat makanan
tidak sehat berdasarkan bentuk dan rasa. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa
penalaran seluruh partisipan tertuju pada karakteristik yang konkret pada makanan.
Walaupun begitu, seluruh partisipan juga mengeluarkan jawaban mengenai manfaat dari
makanan sehat dan dampak dari makanan tidak sehat. Dapat dilihat bahwa anak usia
prasekolah sudah mulai memahami efek yang dihasilkan dari makanan sehat.
Ciri kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang kedua adalah lack of flexibility.
Lack of flexibility adalah kecenderungan untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan
dengan perubahan yang terjadi (Miller, 2011). Ketiga orang partisipan (C, B, dan D)
menunjukkan karakteristik lack of flexibility pada saat menerangkan tentang efek dari
makanan tertentu. Pemikiran C hanya tertuju pada sayuran dapat membuat sembuh,
tetapi belum memahami tentang proses hal tersebut dapat terjadi. B mengatakan bahwa
memakan bayam dapat membuat tubuh seseorang menjadi tinggi, walaupun belum
dapat menjelaskan lebih lanjut. D juga menyebutkan hal yang serupa. Menurutnya,
makan ayam tanpa memakan makanan yang lain juga dapat membuat seseorang
menjadi sakit, tetapi tidak dapat menjelaskannya. Ketidakmampuan C, B, dan D dalam
menjelaskan proses yang terjadi menandai karakteristik lack of flexibility. Selain efek
dari makanan tertentu, dua orang partisipan (B dan D) menunjukkan karakteristik lack
of flexibility ketika menjawab tujuan dari makan. B hanya melihat makan dapat
menjadikan seseorang tidak merasa lelah, tanpa mengetahui prosesnya, sedangkan D
belum mengetahui proses yang terjadi mengapa makan dapat membuat seseorang
menjadi sehat.
Tiga orang partisipan (C, A, dan D) juga mencirikan lack of flexibility saat
mengatakan ciri makanan sehat dan tidak sehat. Pemikiran C masih terbatas pada
manfaat yang dihasilkan dari makanan sehat tanpa mengetahui prosesnya. A

Universitas Indonesia
139

menyatakan bahwa makanan tidak sehat adalah makanan yang membuat tubuh kurus
karena mengandung bakteri, tetapi tidak mengetahui prosesnya. D juga menyebutkan
bahwa ciki adalah makanan tidak sehat karena dapat merusak gigi, tetapi tidak dapat
menjelaskan alasannya. Hal yang unik adalah satu orang partisipan (A) menunjukkan
karakteristik lack of flexibility dalam menjelaskan efek dari kuantitas makanan. A
mengungkapkan bahwa tubuh orang gendut yang berukuran besar karena mengonsumsi
banyak makanan, tetapi tidak dapat menjelaskan proses bagaimana makanan dapat
mengubah ukuran tubuh.
Ciri kekakuan berpikir (rigidity of thought) lainnya adalah lack of reversibility.
Lack of reversibility adalah anak belum mampu membalik rangkaian peristiwa,
perubahan, atau langkah-langkah dalam penalaran secara mental (Miller, 2011). Namun,
peneliti tidak menemukan adanya karakteristik lack of reversibility yang muncul pada
konsep tentang makanan yang dimiliki oleh partisipan. Hal tersebut kemungkinan besar
dikarenakan tidak adanya pertanyaan tentang transformasi dan pencernaan makanan di
dalam panduan wawancara, sehingga jawaban dari partisipan tidak menyebutkan
tentang proses perubahan makanan di dalam tubuh.
Karakteristik semilogical reasoning paling banyak muncul pada saat partisipan
menjelaskan konsep tentang makanan. Hampir di seluruh kategori konsep tentang
makanan memunculkan ciri semilogical reasoning, yaitu menghubungkan sebuah
pemikiran dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis (Wadsworth,
2004). Dalam semilogical reasoning, anak mencoba menjelaskan peristiwa di
kehidupan sehari-hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). Semilogical
reasoning menunjukkan proses berpikir semilogis karena pemikiran tentang sebab-
akibat masih sangat umum dan terbatas (Miller, 2011).
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) menunjukkan karakteristik semilogical
reasoning menjelaskan efek dari kuantitas makanan. A menyebutkan bahwa orang yang
kurus dan tidak bisa gendut karena tidak mau makan, terutama tidak mau makan sayur
dan hanya mau makan coklat. B mengatakan bahwa seseorang yang tidak makan dapat
dibawa dengan mobil ambulan karena sakit karena pernah melihat seseorang yang sakit
diantar oleh mobil ambulan. C menjelaskan bahwa tubuh seseorang akan menjadi kurus
jika tidak ada makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dan sebaliknya, tubuh
seseorang menjadi gendut karena makanan yang dimakan dan minuman yang diminum

Universitas Indonesia
140

berjumlah banyak. D menuturkan bahwa apabila seseorang tidak makan, maka bisa
menjadi sakit karena ketularan teman. Selain itu, D juga menyatakan bahwa makan
dengan jumlah yang banyak dapat membuat dirinya hebat.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) menjelaskan efek dari makanan tertentu
dengan karakteristik semilogical reasoning yang menjelaskan sebuah peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari. A mengatakan perumpamaan bahwa makan sayur dapat
membuat seseorang menjadi gendut seperti balon. B menyebutkan bahwa ciki ‘nakal’
karena mengandung penyakit. C yang menyatakan bahwa makan wortel terus menerus
dapat membuat seseorang menjadi kelinci. D memberikan jawaban bahwa stroberi, ciki,
nasi, dan lauk dapat membuat seseorang menjadi hebat. Selain itu, D juga mengutarakan
bahwa hanya makan pisang dan ciki dapat membuat seseorang menjadi sakit dan seperti
tengkorak.
Di samping itu, dua orang partisipan (A dan B) menggambarkan pemikiran yang
semilogis ketika menjelaskan tujuan dari makan. A menyatakan bahwa makan dapat
membuat tubuh menjadi gendut sehingga tubuh menjadi tidak kurus, sedangkan B
menyatakan bahwa makan bertujuan membuat orang merasa tidak capai. Dua orang
partisipan (B dan D) mencirikan karakteristik semilogical reasoning ketika
menyebutkan ciri makanan sehat dan tidak sehat. Menurut B, makanan sehat adalah
makanan yang diperbolehkan untuk dimakan. B juga menceritakan bahwa apabila
memakan mie sejak dulu dapat membuat seseorang disuntik dan dirinya takut untuk
disuntik. D juga mengungkapkan hal yang serupa. D menyebutkan bahwa makanan
sehat adalah makanan yang tidak membuat sakit. D juga menyebut biskuit sebagai
makanan tidak sehat karena lebih sehat makanan lain
Karakteristik terakhir dari tahap preoperational thought adalah kognisi sosial
yang terbatas (limited social cognition), yaitu anak kurang mampu membedakan peran
antara dunia fisik dan sosial (Miller, 2011). Kognisi sosial yang terbatas tersebut juga
ditunjukkan oleh kurangnya komunikasi yang nyata dengan orang lain karena
egocentric speech sebagai hasil dari egosentrisme (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).
Seluruh partisipan (A, B, D, dan C) menunjukkan egocentric speech dalam porsi yang
berbeda-beda. A menyebutkan makan itu adalah daha dan menjelaskan bahwa daha
adalah nenek-nenek. B juga sering menyebutkan kalimat yang tidak dapat dimengerti
oleh orang lain. A dan B juga sering mengoceh dan mengulangi kata-kata yang telah

Universitas Indonesia
141

diucapkannya ketika sedang bermain. D sering mengulangi kalimat “aku suka donat”.
D juga beberapa kali menyebutkan nama orang lain dan tidak dapat menjelaskan siapa
orang tersebut.
C tidak terlalu menunjukkan egocentric speech, hanya saja ia banyak
menggunakan gestur, seperti mengangguk dan menggeleng ketika menjawab
pertanyaan. C memiliki usia yang paling tua dibandingkan partisipan yang lain sehingga
memiliki egocentric speech yang mulai berkurang karena sedang dalam peralihan masa
peralihan menuju tahap concrete operational. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa
kematangan fisik (physical maturation) turut berperan dalam konsep tentang makanan
pada anak usia prasekolah.

Universitas Indonesia
142

4.6.3 Pembentukan Konsep Makanan

Tabel 4.4 Pembentukan Konsep Makanan


Pembentukan Konsep A B C D
Makanan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Kebiasaan Makan - Makan lima kali - Makan dua kali sehari: - Makan lima kali - Makan tiga kali sehari: pagi,
sehari: pagi, cemilan pagi dan siang hari sehari: pagi, siang, sore, siang, malam
siang, siang, cemilan - Jarang makan di sore malam, dan bekal di - Rutin sarapan dengan tidak
sore, malam hari dan malam hari sekolah memakan makanan berat,
- Pola makan teratur - Memilih-milih - Memilih-milih seperti roti dan donat
- Memilih-milih makanan makanan - Memakan cemilan pukul
makanan - Makan tergantung - Meminta telur, sosis, 10.00
- Jadwal makan di mood, kadang mau atau nugget apabila - Sulit makan, memilih-milih
sekolah sama dengan kadang tidak mau tidak menyukai menu makanan
jadwal makan di rumah makan makanan yang - Makan tergantung mood,
- Makan tergantung disediakan kadang mau kadang tidak mau
mood, kadang mau - Makan tergantung makan
kadang tidak mau mood, kadang mau
makan kadang tidak mau
makan
Cara Makan Disuapi oleh ibunya - Disuapi oleh ibunya - Disuapi di pagi hari Disuapi oleh ibunya
atau neneknya oleh ibu atau neneknya
- Makan sendiri untuk - Makan sendiri atau
jenis makanan tertentu, disuapi di sore hari
seperti ayam goreng, - Disuapi oleh ibunya di
nugget, atau telur malam hari

Universitas Indonesia
143

Tabel 4.4 (lanjutan)


Pembentukan Konsep A B C D
Makanan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Aktivitas saat Makan Makan bersama ibunya Makan bersama ibu dan Makan bersama ibu dan - Bermain gawai, menonton
sambil menonton neneknya sambil pengasuhnya sambil youtube
televisi dan bermain bermain permainan menonton televisi - Bermain permainan yang
permainan yang yang dimiliki, seperti dimiliki
dimiliki, seperti lego lego
Jenis Makanan yang - Menyukai buah yang - Menyukai sayuran - Menyukai beberapa - Menyukai lauk yang
Disukai teksturnya halus dan tertentu, seperti sayur jenis sayuran, seperti bertekstur empuk, seperti
lembek, seperti buah sop, bayam, dan jagung sayur sawi, bayam, tempe, ikan, dan tahu
naga - Menyukai makanan brokoli, kol, dan buncis - Menyukai makanan yang
- Tidak menyukai buah manis, seperti teh - Tidak menyukai jenis mengandung karbohidrat
apel dan buah pir karena manis, dodol, martabak sayuran yang bertekstur - Tidak menyukai sayur
buah tersebut bertekstur manis, coklat, bubur keras, seperti kacang - Tidak terlalu menyukai
kasar kacang hijau, dan bubur panjang daging
- Tidak menyukai lauk sumsum gula merah - Menyukai berbagai - Menyukai cemilan dan
berserat - Menyukai makanan jenis ikan dibandingkan makanan manis, seperti donat,
- Menyukai makanan yang sedikit pedas, dengan ayam dan permen, dan marshmallow
yang mudah dikunyah, misalnya rujak, ikan daging sapi karena - Tidak suka makan makanan
seperti tempe balado, nasi goreng memiliki tekstur yang pedas
- Tidak suka makan pedas, atau gado-gado lebih lembut
makanan pedas pedas - Tidak menyukai
- Tidak menyukai masakan yang
daging-dagingan, mengandung banyak
terutama daging sapi bumbu dan pedas
- Menyukai makanan
yang mudah dikunyah,
seperti telur dan tempe

Universitas Indonesia
144

Tabel 4.4 (lanjutan)


Pembentukan Konsep A B C D
Makanan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
- Tidak suka jenis
sayuran yang lain,
seperti wortel, brokoli,
atau buncis.
Aturan Makan - Melarang makan mie - Aturan makan - Tidak makan sambil - Tidak boleh makan makanan
instan dan ciki disesuaikan dengan berjalan-jalan tertentu yang dapat membuat
- Melarang makan ajaran agama yang - Harus menghabiskan asmanya kambuh, seperti
permen kenyal karena dianut makanan yang ia makan coklat dan tomat
membuatnya radang - Membaca doa sebelum - Menjaga makanan dan daya
tenggorokan makan tahan tubuh
- Tidak boleh makan es - Duduk dan makan
krim sebelum makan dengan tangan kanan
- Menghabiskan - Menghabiskan
makanan yang sedang makanan yang sedang
dimakan dimakan
Strategi yang Dilakukan - Aturan yang - Membuat makanan - Menjanjikan sesuatu, - Mengganti jenis karbohidrat
diberlakukan jelas, kesukaan ketika tidak seperti mengajak jalan- lain yang dikonsumsi D
tetapi dapat berubah mau makan jalan atau membelikan - Menyembunyikan sayur pada
ketika ada orang lain - Menerapkan sesuatu yang C sukai nasi yang dimakan
- Membuat perjanjian pemberian hadiah - Memberikan kalimat - Rajin mengingatkan dan
lain, misalnya untuk (reward) dan hukuman menakut-nakuti untuk menyuruh untuk makan
menghabiskan nasi dan (punishment) melaporkan ke ayahnya - Memberikan asupan lain,
makan dengan cepat - Membujuk makan - Memberikan makanan selain cemilan
dengan berpura-pura olahan, seperti telur, - Membiarkan D merasakan
mengambil makanan sosis, dan nugget bila lapar agar mau meminta makan
tidak mau makan

Universitas Indonesia
145

Tabel 4.4 (lanjutan)


Pembentukan Konsep A B C D
Makanan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 6 bulan 6 tahun 1 bulan 4 tahun 3 bulan
Pengenalan Makanan - Mengenalkan makanan - Mengenalkan makanan - Mengenalkan makanan - Mengenalkan makanan pada
pada saat memasak dan pada saat ibunya dan pada saat memasak dan saat sedang memasak dan
menemani makan neneknya memasak menemani makan mengambilkan makanan
- Mengenalkan makanan - Mengenalkan makanan - Menonton tayangan - Mengenalkan makanan
dengan memberikan menggunakan bentuk dan bermain menebak dengan memberikan sedikit
sedikit untuk dicoba makanan jenis makanan di untuk dicoba
- Mengenalkan makanan - Mengenalkan sayuran youtube - Saat ke rumah teman, melihat
pada saat kegiatan saat bermain makanan yang dimakan oleh
presentasi di sekolah menggunakan gambar teman
- Mengetahui sayuran
dan buah-buahan dari
televisi dan internet
- Sekolah juga
mengajarkan lagu
sayuran dan buah-
buahan
Respon terhadap - Jarang mau mencoba - Mau mencoba - Jarang mau mencoba - Masih mau mencoba
Makanan Baru makanan baru makanan baru makanan baru makanan baru
- Menganalisis makanan - Ketika suka, - Mau mencoba - Berhati-hati memilih
baru sebelum meneruskan memakan makanan baru bersama- makanan baru yang diberikan
mencobanya makanan baru sama dengan anggota agar tidak membuat asmanya
- Ketika suka, keluarga kambuh
meneruskan memakan
makanan baru

Universitas Indonesia
146

Menurut Piaget (1961), terdapat empat faktor yang memengaruhi perkembangan


kognitif, yaitu kematangan fisik, pengalaman aktif, dan pengalaman sosial. Aktivitas
yang dilakukan anak pada objek tertentu merupakan penyebab yang paling utama
pembentukan konsep pada anak yang dibangun sedikit demi sedikit (Piaget, 1999).
Dalam membangun konsep mengenai objek, anak melakukan interaksi dengan
lingkungan dengan mengenali dan melakukan generalisasi secara berulang (Piaget,
1999). Dalam hal pembentukan konsep tentang makanan, anak membentuk konsep
tersebut dari kebiasaan makan, cara makan, aktivitas saat makan, aturan makan dan
strategi yang dilakukan oleh orang tua di rumah, mengenal makanan, dan respon
terhadap makanan baru.
Keempat partisipan (A, B, C, dan D) memiliki kebiasaan makan yang berbeda,
walaupun ada pula kebiasaan yang sama. Dua orang partisipan (A dan C) makan
sebanyak lima kali sehari, yaitu pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari,
dan juga bekal berupa cemilan di sekolah. D makan sebanyak tiga kali sehari, yaitu di
pagi hari, siang hari, dan malam hari. Sementara itu, B biasa makan dua kali sehari,
pada pagi hari dan siang hari. B jarang makan pada waktu sore dan malam hari.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) memiliki kebiasaan memilih-milih makanan
dan hanya ingin memakan jenis makanan tertentu. Berdasarkan penuturan orang tua dari
masing-masing partisipan, seluruh partisipan makan tergantung mood, terkadang mau
makan dan terkadang pula tidak mau makan. Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) makan
dengan cara disuapi oleh ibunya. Dua orang partisipan (C dan B) juga terkadang disuapi
oleh nenek dan pengasuhnya. Dua orang partisipan (C dan B) terkadang makan sendiri
pada waktu tertentu, seperti di sore hari, atau pada saat makan jenis makanan tertentu.
Aktivitas lain yang biasa dilakukan oleh partisipan saat makan bermacam-
macam. Dua orang partisipan (A dan C) biasa makan bersama ibu dan pengasuhnya
sambil menonton televisi. Sementara itu, dua orang lainnya (B dan D) makan bersama
ibu dan neneknya sambil permainan yang dimiliki. Hal yang berbeda adalah D juga
terkadang disuapi oleh ibunya ketika sedang bermain gawai atau menonton youtube.
Keempat partisipan memiliki kemiripan dalam menyukai jenis makanan tertentu.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) menyukai makanan yang bertekstur empuk, halus,
lembek, dan mudah dikunyah. A menyukai tempe dan buah naga, sedangkan B
menyukai telur dan tahu. C menyukai berbagai jenis ikan karena memiliki tekstur yang

Universitas Indonesia
147

lebih lembut. D juka menyukai lauk yang bertekstur empuk, seperti tempe, ikan, dan
tahu. Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) juga tidak terlalu menyukai daging sapi
karena berserat dan sulit dikunyah.
Tiga orang partisipan (A, B, dan C) tidak menyukai buah dan sayuran yang
bertekstur kasar dan keras. A tidak menyukai buah apel dan pir, sedangkan C tidak
menyukai kacang panjang. B juga tidak menyukai wortel, brokoli, dan buncis. Hal yang
berbeda terdapat pada satu orang partisipan (D). D tidak menyukai sayuran apapun dan
tidak mau makan sayuran. Apabila disuguhkan sayur, D hanya memakan nasi dan
kuahnya tanpa memakan sayurannya.
Dua orang partisipan (B dan D) juga memiliki kesamaan, yaitu menyukai
makanan manis. Tiga orang partisipan (A, C, dan D) sama-sama tidak menyukai
makanan pedas, tetapi satu orang partisipan (B) tidak menemui masalah saat memakan
makanan pedas. B menyukai makanan yang agak pedas, walaupun meminta ibunya agar
mengurangi cabainya.
Terkait aturan makan, dua orang partisipan (B dan C) dibiasakan menaati cara
makan, misalnya harus makan sambil duduk dan tidak berjalan-jalan, serta harus
menghabiskan makanan yang sedang dimakan. Dua orang partisipan lainnya (A dan D)
memiliki aturan makan mengenai makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. A
tidak boleh makan mie instan, ciki, dan permen kenyal karena makanan tersebut dapat
membuatnya radang tenggorokan. C juga tidak diperbolehkan makan coklat dan tomat
karena dapat membuat asmanya kambuh.
Untuk membuat partisipan menaati aturan makan, orang tua dari seluruh
partisipan melakukan strategi yang berbeda. Dua orang partisipan (B dan C) melakukan
strategi pemberian hadiah dan hukuman, seperti membelikan sesuatu yang diinginkan
saat mematuhi aturan dan menegur ketika tidak menaati aturan. Dua orang partisipan
lainnya (A dan D) menyiasati agar A dan D tetap menaati aturan tersebut, misalnya
membuat perjanjian lain atau memberikan makanan pengganti. Terkadang, satu orang
partisipan (C) juga diberikan makanan olahan, seperti telur, sosis, dan nugget, ketika ia
tidak mau makan atau tidak ada makanan yang dapat dimakan olehnya.
Seluruh partisipan (A, B, C, D) mengenal makanan ketika ibu, nenek, atau
pengasuhnya memasak dan menemani makan. Keempat partisipan (A, B, C, D)
mengetahui jenis makanan saat sedang makan melalui bentuk makanan tersebut. Dua

Universitas Indonesia
148

orang partisipan (A dan D) juga mengenal makanan karena diberikan langsung sedikit
makanan untuk dicoba. Dua orang partisipan (B dan C) mengetahui jenis makanan,
seperti sayuran dan buah-buahan, karena menonton tayangan di televisi dan youtube.
Selain itu, dua orang partisipan (A dan B) juga mengetahui makanan pada saat
melakukan kegiatan di sekolah, seperti presentasi dan menyanyikan lagu.
Pada respon terhadap makanan baru, dua orang partisipan (A dan C) jarang mau
mencoba makanan baru. Sementara itu, dua orang partisipan lainnya (B dan D) masih
mau mencoba makanan baru. Saat diberikan makanan baru, dua orang partisipan (A dan
B) menganalisis makanan yang diberikan. Lalu ketika menyukai makanan tersebut,
maka A dan B akan meneruskan makan. Berbeda dengan C, C akan lebih mau mencoba
makanan baru ketika memakannya bersama-sama dengan anggota keluarga. Sementara
itu, D diharuskan berhati-hati memilih makanan baru yang diberikan agar tidak
membuat asmanya kambuh.

Universitas Indonesia
149

4.6.4 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan

Tabel 4.5 Social Experience dalam Pembentukan Konsep Makanan


Social Experience
A B C D
Orang tua (ibu) Orang tua (ibu) Orang tua (ibu) Orang tua (ibu)
- Menemani makan - Menemani makan - Menemani makan - Menemani makan
- Membentuk - Membentuk kebiasaan - Membentuk - Membentuk kebiasaan
kebiasaan makan makan kebiasaan makan makan
- Menerapkan aturan - Menerapkan aturan - Menerapkan aturan - Menerapkan aturan
- Mengenalkan - Mengenalkan makanan - Menerapkan strategi - Mengenalkan makanan
makanan - Menerapkan strategi - Mengenalkan - Menerapkan strategi
- Menerapkan - Menyiapkan makanan makanan baru - Menyiapkan makanan
strategi - Merencanakan menu - Merencanakan menu - Merencanakan menu
- Menyiapkan - Melibatkan anak - Melibatkan anak
makanan - Kebiasaan jajan
- Merencanakan
menu
- Melibatkan anak
Orang tua (ayah) Orang tua (ayah) Orang tua (ayah) Orang tua (ayah)
- Menemani makan - Membentuk kebiasaan - Membentuk - Membentuk kebiasaan
makan (tidak menyukai kebiasaan makan makan (memilih-milih
jenis makanan tertentu) (memilih-milih makanan dan tidak suka
makanan) sayur)
- Kebiasaan jajan - Menerapkan strategi
- Menerapkan strategi - Menemani makan
Nenek Nenek Nenek Kakek
- Membentuk - Menemani makan - Menemani makan - Menemani makan
kebiasaan makan - Menyiapkan makanan - Menyiapkan makanan - Merencanakan menu
(pola makan teratur) - Merencanakan menu - Merencanakan menu - Mengenalkan makanan
- Mengenalkan - Mengenalkan makanan - Mengenalkan - Kebiasaan jajan
makanan - Melibatkan anak makanan
- Kebiasaan jajan
Sekolah Kakek Pengasuh Media
- Mengenalkan - Mengenalkan makanan - Menemani makan - Mengenalkan makanan
makanan - Menerapkan strategi - Mengenalkan
- Membentuk makanan
kebiasaan makan - Menyiapkan makanan
- Mengenalkan jenis - Merencanakan menu
sayuran dan buah- - Kebiasaan jajan
buahan - Membentuk
- Mengajarkan kebiasaan makan
makanan sehat dan (makan sosis, telur, dan
tidak sehat nugget)
Media Media Media Teman
- Mengenalkan - Mengenalkan jenis - Mengenalkan jenis - Mengenalkan makanan
makanan sayuran dan buah-buahan sayuran dan buah- - Kebiasaan jajan
buahan
Sekolah
- Mengenalkan jenis
sayuran dan buah-buahan
- Mengenalkan makanan

Universitas Indonesia
150

Salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan kognitif adalah pengalaman


sosial (Piaget, 1961). Pengalaman sosial merujuk kepada pengaruh budaya atau
lingkungan pendidikan, yaitu berdasarkan pengalaman dari orang lain, meliputi
pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 1984; Miller, 2011).
Pengalaman sosial turut membantu pembentukan konsep yang dimiliki anak, termasuk
pada pembentukan konsep makanan.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) memiliki kesamaan dalam pengalaman
sosial, yaitu orang tua, terutama ibu adalah pihak yang paling berperan dalam
pembentukan konsep makan. Peran yang dilakukan oleh ibu bermacam-macam, tetapi
kebanyakan mencakup: menemani makan, membentuk kebiasaan makan, menerapkan
aturan saat makan dan melakukan strategi agar anak mematuhinya, mengenalkan
makanan, menyiapkan makanan, merencanakan menu, dan melibatkan anak.
Selain ibu, ayah juga berperan dalam pembentukan konsep makanan ketiga
partisipan (B, C, dan D). Peran ayah adalah membentuk kebiasaan makan, misalnya
memengaruhi jenis makanan yang disukai atau menyukai makanan tertentu. Pada dua
orang partisipan (C dan D), ayah juga berperan dalam menerapkan strategi agar anak
mematuhi aturan makan. Selain itu, pada partisipan D, terkadang ayah juga bertugas
menemani makan. Hal yang ditemukan berbeda adalah peran ayah dalam pembentukan
konsep makanan yang dimiliki A sangat kecil, yaitu hanya menemani makan sesekali.
Penyebabnya adalah ayah A bekerja sejak pagi hingga malam hari dan ibu A adalah
seorang ibu rumah tangga, sehingga A banyak dipengaruhi oleh ibunya soal kebiasaan
makan.
Anggota keluarga lainnya yang tinggal di rumah juga memiliki peran dalam
pembentukan konsep makanan. Tiga orang partisipan (A, B, dan C) dipengaruhi nenek
dalam kebiasaan makan sehari-hari, seperti menemani makan, menyiapkan makanan,
merencanakan menu, dan mengenalkan makanan. Sementara itu, dua orang partisipan
(B dan D) dipengaruhi oleh kakek yang turut mengenalkan makanan, menerapkan
strategi, dan memengaruhi kebiasaan jajan.
Selain keluarga, konsep makanan pada satu orang partisipan (C) dipengaruhi
oleh pengasuh yang tinggal bersama di rumah. Pengasuh tersebut memiliki peran, yaitu
menemani makan, mengenalkan makanan, menyiapkan makanan, dan merencanakan
menu. Pengasuh juga memengaruhi kebiasaan jajan dan membentuk kebiasaan makan

Universitas Indonesia
151

C, yaitu meminta memakan sosis, telur, dan nugget ketika sedang tidak mau makan atau
tidak ada makanan yang dapat dimakannya.
Sekolah juga berperan dalam pembentukan konsep makanan dua orang
partisipan, yaitu A dan B. A dipengaruhi oleh sekolah dalam hal mengenalkan makanan,
membentuk kebiasaan makan, mengenalkan jenis sayuran dan buah-buahan, serta
mengajarkan makanan sehat dan tidak sehat. B juga dipengaruhi oleh sekolah dalam
mengenalkan jenis sayuran dan buah-buahan serta mengenalkan makanan baru yang
dimakan oleh temannya di sekolah. Bagi partisipan D yang belum menempuh sekolah
formal, D mendapatkan pengaruh dari teman mainnya, yaitu dalam hal mengenalkan
makanan dan kebiasaan jajan.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) juga dipengaruhi oleh media, walaupun
tidak menempati porsi yang besar. Media yang turut berperan dalam pembentukan
konsep makanan pada seluruh partisipan adalah televisi dan internet, terutama youtube.
Melalui media, keempat partisipan mendapatkan tambahan informasi makanan yang
selama ini belum diketahui oleh mereka. Misalnya, mengenalkan berbagai jenis
makanan baru serta memberitahu tentang jenis sayuran dan buah-buahan.

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan menjabarkan kesimpulan dari hasil dan analisis
penelitian. Peneliti juga akan menjelaskan diskusi mengenai temuan penelitian. Sebagai
penutup, peneliti menuliskan saran metodologis bagi penelitian selanjutnya, serta saran
praktis yang diajukan berdasarkan diskusi penelitian.

5.1 Kesimpulan
Berkaitan dengan konsep makanan, anak usia prasekolah telah mengetahui tujuan
dari makan bahwa makan berguna bagi tubuh, efek dari kuantitas makanan, dan efek dari
makanan tertentu. Anak usia prasekolah belum dapat memahami efek dari diet tidak
seimbang karena anak usia prasekolah berpikir bahwa hanya makan satu jenis makanan dan
tidak memakan yang lain diperbolehkan. Anak usia prasekolah telah mengetahui tentang
makanan sehat dan tidak sehat, walaupun anak usia prasekolah menyebutkan ciri makanan
sehat dan tidak sehat berdasarkan penalaran mereka.
Anak usia prasekolah telah mulai memahami manfaat makanan bagi kesehatan
tubuh, meskipun tidak dapat menjelaskan alasannya. Selain manfaatnya, anak usia
prasekolah juga memandang makanan sehat dari jenis, warna, bentuk, dan rasa. Anak usia
prasekolah juga mulai mengerti dampak makanan tidak sehat bagi kesehatan tubuh, tetapi
tidak dapat memberikan jawaban lebih lanjut mengenai hal ini. Anak usia prasekolah juga
melihat makanan tidak sehat dari bentuk dan rasanya.
Hasil analisis konsep makanan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif Piaget
menggambarkan bahwa anak usia prasekolah menunjukkan karakteristik preoperational
thought saat menjelaskan pemahaman mengenai makanan. Anak usia prasekolah
mencirikan representasi mental, yaitu simbol dan tanda, pada saat menjelaskan efek dari
kuantitas makanan dan menyebutkan jenis sayuran. Anak usia prasekolah menunjukkan
pemikiran yang egosentris (egocentrism) ketika menerangkan tujuan dari makan, efek dari
kuantitas makanan, dan efek dari makanan tertentu. Anak usia prasekolah menampilkan
karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought), yaitu centration dan lack of flexibility

152

Universitas Indonesia
153

saat melontarkan jawaban mengenai efek dari diet tidak seimbang, efek dari makanan
tertentu, serta ciri makanan sehat dan tidak sehat. Tidak ditemukan adanya karakteristik
lack of reversibility dalam pemahaman konsep tentang makanan pada anak usia prasekolah.
Karakteristik semilogical reasoning muncul di semua kategori, yaitu pada
komponen tujuan dari makan, efek dari kuantitas makanan, efek dari makanan tertentu, dan
efek dari diet yang tidak seimbang. Selain itu, anak usia prasekolah juga menggambarkan
ciri kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition). Namun, seiring anak mencapai
akhir dari tahap preoperational thought dan mulai mengarah pada concrete operational,
egocentric speech mulai tidak terlalu terlihat.
Pembentukan konsep makanan anak usia prasekolah tergantung dari kebiasaan
makan, cara makan, jenis makanan yang disukai, aktivitas saat makan, aturan makan,
strategi yang dilakukan, pengenalan makanan, dan respon terhadap makanan baru. Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman sosial (social experience) anak dengan orang-
orang di sekitarnya. Pengalaman sosial (social experience) yang paling berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah adalah orang tua, terutama ibu.
Selain itu, ayah, anggota keluarga lain yang tinggal di rumah (seperti nenek dan kakek),
pengasuh, sekolah dan teman sebaya, serta media juga memberikan pengalaman sosial bagi
anak dalam membentuk konsep tentang makanan.

5.2 Diskusi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak usia prasekolah telah memiliki
pemahaman konsep tentang makanan. Anak usia prasekolah dapat menjelaskan tujuan dari
makan, efek dari kuantitas makanan, dan efek dari makanan tertentu. Dalam menjelaskan
ketiga komponen tersebut, anak usia prasekolah melontarkan jawaban yang mengaitkan
antara makanan dan efeknya bagi tubuh. Misalnya, A yang mengatakan bahwa makan
berguna agar tubuh menjadi gendut dan tidak kurus. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian Slaughter dan Ting (2010) yang menyatakan bahwa anak usia lima tahun sering
menyebutkan hubungan antara makanan dengan pertumbuhan.
Dalam penelitian ini, ditemukan hasil bahwa anak usia prasekolah belum mampu
menjelaskan alasan mengapa makanan dapat membuat bertumbuh atau menjadi sehat, yang

Universitas Indonesia
154

mencirikan karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought) (Piaget & Inheider, 2000).
Hasil penelitian tersebut juga serupa dengan penelitian Contento (1981) yang menyatakan
bahwa anak usia prasekolah memandang makanan tidak dicerna dalam tubuh, yaitu
makanan masuk ke dalam perut dan tidak mengalami perubahan di dalam tubuh.
Akibatnya, anak usia prasekolah tidak dapat menjelaskan mengapa makanan dapat
membuat tubuh menjadi gendut atau sehat, sesuai dengan apa yang ditemukan dalam
penelitian ini.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa anak usia prasekolah memiliki
penalaran bahwa ukuran tubuh seseorang dapat membesar atau mengecil disebabkan oleh
efek dari kuantitas makanan. Sebagai contoh adalah yang dikemukakan oleh C, yaitu
apabila seseorang tidak makan, maka tubuh seseorang akan menjadi kurus karena tidak ada
makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh, dan sebaliknya, apabila seseorang
yang makan terlalu banyak, tubuhnya dapat menjadi gendut karena makanan yang dimakan
dan minuman yang diminum berjumlah banyak. Hasil tersebut juga sesuai dengan
Slaughter dan Ting (2010) yang menyebutkan bahwa anak usia lima tahun mengatakan
bahwa seseorang dapat mengecil atau menyusut apabila tidak makan atau melakukan diet
yang tidak seimbang (Slaughter & Ting, 2010). Namun, penelitian ini juga menemukan
hasil yang berbeda dari Slaughter dan Ting (2010). Penelitian ini mendapatkan temuan
bahwa anak usia prasekolah tidak hanya melihat hubungan antara makanan dengan
pertumbuhan, tetapi anak usia prasekolah juga mulai melihat kaitan antara makanan dengan
kesehatan. Misalnya, B dan D yang menyebutkan bahwa tidak makan dapat membuat
seseorang menjadi sakit. Hasil tersebut juga berbeda dari apa yang dikemukakan oleh
Zeinstra, Koelen, Kok, dan de de Graaf (2007) yang menyatakan bahwa anak usia
prasekolah belum mampu menggambarkan tentang kesehatan.
Walaupun begitu, penelitian ini menemukan bahwa penalaran anak usia prasekolah
mengenai hubungan antara makanan dengan kesehatan masih bersifat egosentris, yaitu
kecenderungan untuk mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan
diri anak (Piaget & Inheider, 2000). Anak usia prasekolah menyebutkan kaitan antara
makanan dan kesehatan berdasarkan pengalaman diri mereka sendiri. Contohnya, B yang
mengatakan bahwa apabila tidak makan, maka akan dibawa dengan mobil ambulan ke

Universitas Indonesia
155

rumah sakit. Contoh lainnya adalah D, yang menyebutkan bahwa tidak makan akan
membuatnya sakit karena ketularan temannya yang juga sakit. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Contento (1981) yang menemukan bahwa kebanyakan anak pada tahap
preoperational memiliki karakteristik persepsi yang egosentris pada saat menjelaskan efek
dari makanan dan tubuh.
Penjelasan mengenai hubungan antara makanan dengan pertumbuhan fisik serta
kesehatan tubuh yang dikemukakan oleh anak usia prasekolah tersebut juga menunjukkan
karakteristik semilogical reasoning, yaitu pemikiran anak sering dihubungkan dalam hal
yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis (Wadsworth, 1984). Anak
menjelaskan suatu hubungan dan proses mengenai makanan dengan hal-hal yang semilogis
dan belum memahami sebab-akibat. Misalnya, A menilai bahwa orang yang tidak makan
dapat menjadi kurus dan tidak bisa menjadi gendut karena tidak mau makan sayur. Selain
itu, anak usia prasekolah juga mencoba untuk menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-
hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011), yang ditunjukkan dengan sebutan B
bahwa ciki ‘nakal’ karena berpenyakit.
Dalam mengenali ciri makanan sehat dan tidak sehat, anak usia prasekolah
memandang ciri makanan sehat dari jenis, warna, bentuk, dan rasa, serta melihat makanan
tidak sehat dari bentuk dan rasa. Anak usia prasekolah juga menyebutkan makanan sehat
berdasarkan preferensi, misalnya C yang mengatakan bahwa ayam sehat karena ia
menyukainya. Hal tersebut sejalan penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007)
yang mengungkapkan bahwa anak usia prasekolah mengelompokkan makanan berdasarkan
karakteristik konkret, yaitu warna dan bentuk. Anak usia prasekolah telah mampu
membedakan makanan yang sehat dan tidak sehat berdasarkan preferensi dan efek terhadap
pertumbuhan fisik (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de
Graaf (2007) yang mengatakan bahwa kebanyakan anak usia 4─5 tahun tidak dapat
mengelompokkan jenis makanan sehat dan makanan tidak sehat secara tepat. Dua
partisipan dalam penelitian ini (B dan D) yang berusia empat tahun memiliki jawaban yang
belum konsisten ketika diajukan pertanyaan mengenai jenis makanan sehat dan makanan

Universitas Indonesia
156

tidak sehat. Beberapa makanan yang tidak sehat disebut sebagai makanan sehat oleh kedua
partisipan tersebut.
Di sisi lain, terdapat juga hasil penelitian ini yang berbeda dengan apa yang
dikatakan Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007). Anak usia prasekolah menggunakan
aturan yang konkret dan sederhana untuk mengkategorisasikan makanan sehat dan tidak
sehat, misalnya hubungan antara makanan dan warna, hubungan antara makanan dan
kesehatan, dan preferensi (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Pada penelitian ini,
peneliti juga menemukan bahwa kebanyakan anak usia prasekolah melihat ciri konkret dan
sederhana seperti yang dikemukakan oleh Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007).
Meskipun begitu, penelitian ini juga menemukan hasil bahwa anak usia prasekolah mulai
memahami tentang manfaat makanan sehat dan dampak yang dihasilkan ketika memakan
makanan tidak sehat, tetapi belum mampu menjelaskannya lebih lanjut.
Ketidakmampuan anak usia prasekolah dalam menerangkan manfaat makanan sehat
dan dampak makanan tidak sehat dapat dijelaskan melalui karakteristik yang ada pada anak
usia prasekolah, yaitu rigidity of thought, yang ditandai oleh centration dan lack of
flexibility (Piaget & Inheider, 2000). Namun, peneliti tidak menemukan karakteristik lack of
reversibility dalam jawaban yang dilontarkan oleh seluruh partisipan. Hal tersebut
kemungkinan besar dikarenakan tidak adanya pertanyaan tentang pencernaan makanan di
dalam panduan wawancara, sehingga jawaban dari partisipan tidak menyebutkan tentang
proses perubahan makanan di dalam tubuh. Walaupun demikian, salah seorang partisipan
(A) mulai menyebutkan adanya bakteri di dalam perut tetapi tidak dapat menjelaskannya.
Penjelasan temuan mengenai makanan sehat dan tidak sehat juga dapat dijabarkan
dengan penelitian Hart, Bishop, dan Truby (2002). Menurut Hart, Bishop, dan Truby
(2002), anak-anak dengan usia yang lebih muda cenderung mengklasifikasikan makanan
yang sehat pada karakteristik psikologis, misalnya dari segi rasa dan kesukaan mereka pada
makanan tersebut. Sejalan dengan penelitian tersebut, pada penelitian ini, partisipan B dan
D yang berusia empat tahun mengelompokkan makanan sehat dan tidak sehat berdasarkan
apakah ia suka dengan makanan tersebut atau tidak. Selain itu, anak-anak dengan usia yang
lebih tua menunjukkan kandungan gizi dan efeknya pada metabolisme tubuh ketika menilai
makanan yang berbeda (Hart, Bishop, & Truby, 2002). Partisipan A dan C yang berusia

Universitas Indonesia
157

enam tahun sudah mengungkapkan mengenai manfaat makanan sehat dan dampak makanan
tidak sehat.
Dari pemaparan di atas juga dapat dilihat bahwa usia memengaruhi pemahaman
konsep makanan yang dimiliki oleh anak. Berdasarkan faktor perkembangan kognitif yang
dikemukakan oleh Piaget (1961), usia dan kematangan fisik juga memengaruhi penalaran
yang dimiliki oleh anak. Hal tersebut dibuktikan dengan jawaban dari C yang menyebutkan
bahwa apabila tidak makan, seseorang akan menjadi kurus karena tidak ada makanan dan
minuman yang masuk ke dalam tubuh. Penalaran C mengenai sebab-akibat sudah mulai
terbentuk dan mulai mengarah kepada karakteristik perkembangan kognitif concrete
operational karena usia C telah memasuki akhir dari tahap perkembangan kognitif
preoperational thought.
Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa anak usia prasekolah telah mampu
mengorganisasikan makanan ke dalam kategori tertentu. Peneliti menemukan bahwa
kemampuan anak usia prasekolah dalam mengelompokkan makanan dipengaruhi oleh usia
anak serta tingkat pendidikan yang ditempuh oleh anak. Anak yang berusia enam tahun dan
sedang menempuh Taman Kanak-kanak (TK) telah dapat mengelompokkan jenis sayuran
dan buah-buahan. Sementara itu, anak yang berusia empat tahun dan belum bersekolah
belum dapat membedakan jenis sayuran dan buah-buahan secara tepat. Anak usia empat
tahun juga cenderung tertukar menyebutkan jenis sayuran dan buah-buahan,
menggambarkan karakteristik representasi mental berupa simbol, yaitu kesamaan yang
menetap antara objek (Miller, 2011). Perbedaan kemampuan mengelompokkan makanan
berdasarkan usia dan tingkat pendidikan tersebut juga disebabkan oleh kurikulum di TK
telah mencakup pembelajaran mengenai tema tanaman, dengan subtema sayuran dan buah-
buahan pada semester pertama (Kemdikbud, 2015), sehingga anak yang sudah bersekolah
memiliki pemahaman yang lebih baik tentang sayuran dan buah-buahan dibandingkan anak
yang belum memasuki TK.
Masih berkaitan dengan pengelompokkan makanan, penelitian ini juga
mendapatkan hasil yang serupa dengan apa yang didapatkan oleh Contento (1981).
Menurut Contento (1981), pada tahap preoperational, anak belum dapat memahami
makanan tetap sama walaupun dipotong, dimasak, atau dilunakkan. Dalam penelitian ini,

Universitas Indonesia
158

anak usia prasekolah tidak dapat mengenali jenis sayuran bayam ketika diberikan gambar
sayuran dalam bentuk aslinya, tetapi mengetahui jenis sayuran bayam ketika telah diolah
dalam bentuk makanan jadi. Selain itu, peneliti juga memperoleh temuan bahwa anak usia
prasekolah masih kesulitan dalam membedakan makanan dan jajanan. Ketika ditanyakan
mengenai makanan tidak sehat, beberapa partisipan menyebutkan donat, es krim, ciki, dan
permen sebagai makanan dan bukan jajanan. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
Contento (1981) yang menyebutkan bahwa pada tahap preoperational, anak belum dapat
membedakan makanan dan jajanan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa anak usia prasekolah mengelompokkan
makanan yang dikonsumsi secara sederhana, yaitu nasi, lauk, sayur, dan buah. Hasil
tersebut memiliki kemiripan dengan hasil penelitian Michela dan Contento (1984), yaitu
anak pada tahap preoperational menggunakan kategori tradisional semantik sebagai kriteria
mengelompokkan makanan (misalnya buah, roti, sayur, dan lainnya). Pengelompokkan
makanan yang dilakukan oleh anak usia prasekolah sesuai dengan makanan pokok yang
biasa dikonsumsi di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak mengkonstruk
pengetahuan mengenai makanan pokok sesuai dengan konteks lingkungan. Sesuai dengan
apa yang dikatakan oleh Shutts, Kinzler, dan DeJesus (2013) bahwa perbedaan budaya juga
memengaruhi kebiasaan makan dan pola konsumsi makan anak, sehingga anak membentuk
konsep makanan sesuai dengan tempat tinggalnya yang dipengaruhi pengalaman sosial
(social experience) anak sehari-hari.
Pengalaman sosial (social experience) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif (Piaget, 1961). Pengalaman sosial (social
experience) membentuk konsep yang dimiliki anak melalui pengalaman dari orang lain,
meliputi pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011). Anak
usia prasekolah mengkonstruk konsep makanan dari pengalaman sosial yang didapatnya.
Pengalaman sosial yang berperan dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia
prasekolah adalah orang tua (terutama ibu), ayah, anggota keluarga yang tinggal di rumah
(nenek dan kakek), pengasuh atau asisten rumah tangga, sekolah dan teman sebaya, serta
media.

Universitas Indonesia
159

Hasil penelitian ini menemukan bahwa orang tua memiliki peran yang paling besar
dalam pembentukan konsep makanan pada anak. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikatakan Golan dan Geizman (2001) serta Hart, Bishop, dan Truby (2002) bahwa orang
tua merupakan model utama dan signifikan dari perilaku makan anak dan menjadi panutan
tingkah laku anak yang berkaitan dengan kesehatan. Temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa peran yang dilakukan oleh ibu adalah menemani makan dan
melibatkan anak dalam proses penyiapan makanan. Penelitian yang sejalan dengan hasil
penelitian ini adalah penelitian McKinley, et al. (2005) yang menyebutkan bahwa orang tua
menjadi sumber informasi bagi anak mengenai makanan dan kandungan gizi.
Selain itu, ibu juga berperan dalam penyiapan makanan dan perencanaan menu.
Dalam menyiapkan makanan, ibu juga melibatkan anak dalam melakukan aktivitas yang
mudah untuk dilakukan anak, seperti mengocok telur atau mencetak adonan kue. Hasil
tersebut serupa dengan apa yang dikatakan Friedman, Bowden, dan Jones (2003) serta
Kesuma, Novayelinda, dan Sabrian (2015) bahwa orang tua yang menyiapkan makanan
untuk anaknya turut melibatkan anak dan memberikan informasi pada anak tentang
makanan yang sebaiknya dikonsumsi dan tidak dikonsumsi
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa anak juga turut membentuk kebiasaan
makan dari ayahnya. Peneliti menemukan bahwa ayah dari ketiga partisipan (B, C, dan D)
memengaruhi jenis makanan yang disukai atau menyukai makanan tertentu. Ketiga
partisipan tersebut memiliki kebiasaan memilih-milih makanan karena dipengaruhi oleh
ayahnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Matheson, Spranger, dan Saxe (2002)
menemukan bahwa orang tua yang menjadi contoh kurang baik dapat memengaruhi
preferensi makanan dan pengalaman makan pada anak.
Selain orang tua, anggota keluarga lainnya yang tinggal di rumah juga memiliki
peran dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah. Nenek dan kakek
juga ikut membantu orang tua dalam menemani makan, menyiapkan makanan,
merencanakan menu, mengenalkan makanan, menerapkan strategi, dan memengaruhi
kebiasaan jajan. Pengasuh atau asisten rumah tangga yang tinggal di rumah juga secara
tidak langsung membentuk konsep makanan yang dimiliki anak, dalam hal menemani
makan, mengenalkan makanan, menyiapkan makanan, dan merencanakan menu.

Universitas Indonesia
160

Penelitian ini juga menemukan bahwa sekolah turut memengaruhi konsep makanan
yang dimiliki oleh anak usia prasekolah melalui pelajaran dan kegiatan yang diadakan. Hal
tersebut sejalan dengan hasil beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemahaman
konsep tentang makanan sehat dan tidak sehat diperoleh anak melalui guru dan pelajaran di
sekolah (Hart, Bishop, & Truby, 2002; McKinley et al., 2005; Zeinstra, Koelen, Kok, & de
de Graaf, 2007). Dua orang partisipan (A dan B) mengenal makanan baru serta jenis
sayuran dan buah-buahan karena diajarkan oleh sekolah. Selain itu, A mengetahui jenis
sayuran dan buah-buahan karena program green day di sekolah. Serupa dengan hasil
penelitian ini, penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) menemukan bahwa
anak usia prasekolah juga biasa mengasosiasikan konsumsi makanan tertentu, seperti buah
dan sayur, dengan program yang terdapat di sekolah.
Hal yang unik dalam penelitian ini adalah ketika anak usia prasekolah belum
memasuki sekolah formal, pihak lain yang berperan adalah teman sebaya. Misalnya, pada
partisipan D, ia mendapatkan pengaruh dari teman mainnya, yaitu dalam hal mengenalkan
makanan dan kebiasaan jajan. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh perkataan Piaget (dalam
Tudge & Rogoff, 1999) bahwa diskusi yang dilakukan anak dengan teman sebayanya
memiliki peran dalam perkembangan kognitif anak.
Pengalaman sosial (social experience) yang didapatkan oleh anak dalam
pembentukan konsep makanan adalah media, seperti televisi dan youtube. Ketiga partisipan
dalam penelitian ini (A, B, dan D) mendapatkan informasi tambahan dari televisi dengan
mengenal makanan baru dan jenis sayuran dan buah-buahan, sesuai dengan apa yang
disebutkan oleh McKinley, et al. (2005) bahwa televisi, meliputi iklan makanan dan
program memasak, menjadi sumber informasi mengenai makanan bagi anak-anak.
Sementara itu, satu orang partisipan lainnya (C) mengenal makanan baru melalui
permainan menebak jenis makanan di youtube. Hal tersebut serupa dengan apa yang
dikemukakan oleh Story dan French (2004) bahwa iklan produk makanan di internet
menawarkan situs yang berisi berbagai kegiatan yang menghibur, animasi, dan interaktif
yang dikembangkan khusus untuk anak-anak prasekolah, meliputi permainan, teka-teki
pencarian kata, kontes, kuis, tebak-tebakan, dan musik yang mengandung produk makanan
tertentu, serta turut membantu anak mengembangkan konsep tentang makanan.

Universitas Indonesia
161

Di samping hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, terdapat beberapa limitasi
dalam penelitian ini, terutama dalam hal analisis dan pembahasan teori. Pertama, peneliti
hanya mengangkat salah satu faktor perkembangan kognitif menurut Piaget (1961), yaitu
pengalaman sosial (social experience), tetapi belum membahas lebih lanjut mengenai
kematangan fisik (physical maturation), pengalaman aktif (active experience), dan
equilibration. Kedua, penelitian ini juga belum membahas mengenai proses perkembangan
kognitif Piaget (1952), seperti organization, skema, proses asimilasi dan akomodasi, serta
equilibrium. Selain keterbatasan analisis teori Piaget, terdapat limitasi lainnya berupa media
yang dijadikan alat bantu dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan media gambar
sayuran dan buah-buahan dalam bentuk animasi serta ditempel pada stik es krim untuk
melihat apakah anak usia prasekolah telah dapat mengelompokkan jenis sayuran dan buah-
buahan. Peneliti mengasumsikan adanya kemungkinan hasil penelitian yang berbeda ketika
anak usia prasekolah diberikan sayuran dan buah-buahan dalam bentuk yang sebenarnya.
Limitasi lainnya dalam hal sampel penelitian adalah seluruh partisipan dalam
penelitian ini berasal dari status sosio-ekonomi menengah ke atas. Tingkat pendidikan
orang tua dari partisipan adalah diploma, S1, dan S2 serta memiliki penghasilan di atas Rp
5.000.000,00. Penelitian Hart, Bishop, dan Truby (2002) di Inggris menyatakan bahwa
status sosial-ekonomi berkaitan dengan aturan makan dan jenis makanan yang mampu
disediakan oleh orang tua sehingga terdapat beberapa perbedaan antara konsep makanan
anak dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan menengah ke bawah. Scaglioni,
Salvioni, dan Galimberti (2008) juga menyatakan bahwa status sosio-demografis yang
ditandai dengan penghasilan orang tua merupakan faktor dari keluarga yang mempengaruhi
perilaku makan anak. Hal tersebut menjadi saran penelitian selanjutnya untuk meneliti
konsep makanan pada anak dengan status sosio-ekonomi menengah ke bawah.

5.3 Saran
Peneliti memberikan saran metodologis untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai
berikut:
a. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menelaah tentang faktor perkembangan
lainnya, yaitu kematangan fisik (physical maturation), pengalaman aktif (active

Universitas Indonesia
162

experience), dan equilibration sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih


luas tentang pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah.
b. Penelitian selanjutnya diharapkan mengulas mengenai proses perkembangan
kognitif Piaget (1952), seperti organization, skema, proses asimilasi dan akomodasi,
serta equilibrium agar mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai proses
pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah.
c. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menggunakan jenis sayuran dan buah-
buahan dalam bentuk wujud asli dari sayuran dan buah-buahan tersebut agar
mendapatkan gambaran lebih jelas tentang kemampuan anak usia prasekolah dalam
membedakan jenis sayuran dan buah-buahan.
d. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep tentang makanan pada satu
kelompok usia, yakni usia prasekolah dengan karakteristik preoperational thought.
Untuk kedepannya, peneliti menyarankan untuk membuat penelitian cross-
sectional, yaitu membandingkan antar kelompok usia dengan karakteristik
perkembangan kognitif yang berbeda.
e. Penelitian selanjutnya juga dapat dilakukan pada karakteristik partisipan yang
berbeda dengan penelitian ini, seperti penelitian konsep makanan pada anak usia
prasekolah yang berada pada status sosio-ekonomi rendah.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Adriana, W., & Andrea, D. (2017). How Food is Processed in the Human Body or
Children's Concepts of How the Digestive System Works. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 237, 1582-1587.

Almatsier, S. (2009). Ilmu gizi dasar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Anders, Y., Rossbach, H. G., Weinert, S., Ebert, S., Kuger, S., Lehrl, S., & von Maurice, J.
(2012). Home and preschool learning environments and their relations to the
development of early numeracy skills. Early Childhood Research Quarterly, 27(2),
231-244.

Bartsch, K., & Wellman, H. M. (1995). Children talk about the mind. Oxford university
press.

Başkale, H., Bahar, Z., Başer, G., & Ari, M. (2009). Use of Piaget's theory in preschool
nutrition education. Revista de Nutrição, 22(6), 905-917.

Bernard, H. R. (2011). Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative


Approaches. Rowman Altamira.

Clarke, V., & Braun, V. (2014). Thematic analysis. In Encyclopedia of critical psychology
(pp. 1947-1952). New York: Springer.

Contento, I. (1981). Children's Thinking about Food and Eating─A Piagetian-Based Study.
Journal of nutrition education, 13(1).

Cresswell, J.W. (1994). Research design: qualitative and quantitative approach. London:
SAGE Publication.

163
Universitas Indonesia
164

Crosnoe, R., Leventhal, T., Wirth, R. J., Pierce, K. M., Pianta, R. C., & NICHD Early Child
Care Research Network. (2010). Family socioeconomic status and consistent
environmental stimulation in early childhood. Child development, 81(3), 972-987.

Davis, H. A. (2003). Conceptualizing the role and influence of student-teacher relationships


on children's social and cognitive development. Educational psychologist, 38(4), 207-
234.

Eliassen, E. K. (2011). The impact of teachers and families on young children's eating
behaviors. YC Young Children, 66(2), 84.

Fatmah, N. (2002). Kebiasaan makan ibu dan anak usia 3-5 tahun pada kelompok sosio
ekonomi tinggi dan rendah di Kelurahan Rambutan dan Penggilingan Jakarta Timur.
Makara Kesehatan, 6(1), 17-22.

Food and Agriculture Organization. (2017). The State of Food and Agriculture. Diperoleh
dari Food and Agriculture Organization of United Nations:
http://www.fao.org/docrep/017/x4400e/x4400e.pdf

Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. (2003). Family Nursing: Research Theory
& Practice. New Jersey: Pearson Education Inc.

Gelman, S. A. (2009). Learning from others: Children's construction of concepts. Annual


review of psychology, 60, 115-140.

Golan, M., & Weizman, A. (2001). Familial approach to the treatment of childhood
obesity: conceptual model. Journal of nutrition education, 33(2), 102-107.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2012). Research methods for the behavioral sciences.
International Edition: ISBN-13, 978-1. Cengage Learning: Wadsworth.

Grosso, G., Mistretta, A., Turconi, G., Cena, H., Roggi, C., & Galvano, F. (2013). Nutrition
knowledge and other determinants of food intake and lifestyle habits in children and

Universitas Indonesia
165

young adolescents living in a rural area of Sicily, South Italy. Public health nutrition,
16(10), 1827-1836.

Gunderson, E. A., & Levine, S. C. (2011). Some types of parent number talk count more
than others: relations between parents’ input and children’s cardinal‐number
knowledge. Developmental science, 14(5), 1021-1032.

Harris, P. L., & Koenig, M. A. (2006). Trust in testimony: How children learn about
science and religion. Child development, 77(3), 505-524.

Hart, K. H., Bishop, J. A., & Truby, H. (2002). An investigation into school
children's knowledge and awareness of food and nutrition. Journal of Human Nutrition
and Dietetics, 15(2), 129-140.

Judarwanto, W. (2011). Perilaku makan anak usia sekolah. Diperoleh dari Departemen
Kesehatan RI: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/perilaku-makan-
anak-sekolah.pdf

Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Diperoleh dari Departemen
Kesehatan RI: http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS%20Ok.pdf

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2016). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan


Taman Kanak-kanak. Diperoleh dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kemdikbud:
paud.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2016/.../Juknis-Penyelenggaraan-TK.pdf

Kesuma, A., Novayelinda, R., Sabrian, F. (2015). Faktor Faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Kesulitan Makan Anak Prasekolah. JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015.

Kiefer, M., & Pulvermüller, F. (2012). Conceptual representations in mind and brain:
theoretical developments, current evidence and future directions. Cortex, 48(7), 805-
825.

Universitas Indonesia
166

Kirkorian, H. L., Wartella, E. A., & Anderson, D. R. (2008). Media and young children's
learning. The Future of Children, 18(1), 39-61.

Klauer, K. J., Willmes, K., & Phye, G. D. (2002). Inducing inductive reasoning: Does it
transfer to fluid intelligence?. Contemporary Educational Psychology, 27(1), 1-25.

Kurniasih, N. (2012). Pengembangan dan Daya Terima Media Kie Makanan Bergizi
Berbasis Komik Pada Siswa SD Negeri Tunggulsari II Surakarta. Doctoral dissertation.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kurniawaty, S. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kebiasaan Makan Anak Usia


Prasekolah (4-6 Tahun) di TK Al-Amanah Kec. Sindang Jaya Kab. Tangerang Tahun
2011.Universitas Islam Negeri Jakarta.

Laureati, M., Pagliarini, E., Toschi, T. G., & Monteleone, E. (2015). Research challenges
and methods to study food preferences in school-aged children: A review of the last 15
years. Food Quality and Preference, 46, 92-102.

Labov, W. (2006). Narrative pre-construction. Narrative inquiry, 16(1), 37-45.

Liberman, Z., Woodward, A. L., Sullivan, K. R., & Kinzler, K. D. (2016). Early emerging
system for reasoning about the social nature of food. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 113(34), 9480-9485.

Lukie, I. K., Skwarchuk, S. L., LeFevre, J. A., & Sowinski, C. (2014). The role of child
interests and collaborative parent–child interactions in fostering numeracy and literacy
development in Canadian homes. Early Childhood Education Journal, 42(4), 251-259.

Matheson, D., Spranger, K., & Saxe, A. (2002). Preschool children's perceptions of food
and their food experiences. Journal of Nutrition Education and Behavior, 34(2), 85-92.

Universitas Indonesia
167

McKinley, M. C., Lowis, C., Robson, P. J., Wallace, J. M. W., Morrissey, M., Moran, A.,
& Livingstone, M. B. E. (2005). It's good to talk: children's views on food and nutrition.
European journal of clinical nutrition, 59(4), 542.

Meltzoff, A. N. (2007). ‘Like me’: a foundation for social cognition. Developmental


science, 10(1), 126-134.

Michela, J. L., & Contento, I. R. (1984). Spontaneous classification of foods by elementary


school-aged children. Health Education Quarterly, 11(1), 57-76.

Miller, P. H. (2011). Theories of developmental psychology: fifth edition. New York:


Worth Publishers.

Mulyadi, I. (2011). Melakukan Segmentasi dengan Demografi. Diperoleh dari


marketing.co.id: https://marketing.co.id/demografi-segmen-menengah-atas/

Nasar, S. S. (2006). Masalah Makan pada Anak. Jakarta: CPD IDAI Jaya.

Niklas, F., & Schneider, W. (2013). Home literacy environment and the beginning of
reading and spelling. Contemporary Educational Psychology, 38(1), 40-50.

Niklas, F., Cohrssen, C., & Tayler, C. (2016). Improving preschoolers’ numerical abilities
by enhancing the home numeracy environment. Early Education and Development,
27(3), 372-383.

Peyre, H., Bernard, J. Y., Hoertel, N., Forhan, A., Charles, M. A., De Agostini, M., ... &
The EDEN Mother-Child Cohort Study Group. (2016). Differential effects of factors
influencing cognitive development at the age of 5-to-6 years. Cognitive Development,
40, 152-162.

Piaget, J. (1952). The origins of intelligence in children. New York: International


Universities Press.

Universitas Indonesia
168

Piaget, J. (1961). The genetic approach to the psychology of thought. Understanding


Children, 52, 35.

Piaget, J. (1970). Psychology and epistemology: Towards a theory of knowledge.


Harmondsworth, England: Penguin.

Piaget, J. (1971). The theory of stages in cognitive development. In D. R. Green, M. P.


Ford, & G. B. Flamer (Eds.), Measurement and Piaget. New York: McGraw-Hill.

Piaget, J. (1977). The development of thought: Equilibration of cognitive structures. (Trans


A. Rosin). Viking.

Piaget, J. (1999). The construction of reality in the child. New York: Basic Books

Piaget, J., & Inhelder, B. (2000). The psychology of the child. New York: Basic Books.

Puspita, I. D. (2012). Retensi Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Pasca Pelatihan Gizi
Seimbang pada Siswa Kelas 5 Dan 6 Di 10 Sekolah Dasar Terpilih Kota Depok Tahun
2012. Depok: Universitas Indonesia.

Rahayu, S. (2014). Kebiasaan Makan Anak Kecamatan Pulogadung. Jurnal Pendidikan


Usia Dini, 8(1), 165-174.

Rakison, D. H., & Oakes, L. M. (Eds.). (2003). Early category and concept development:
Making sense of the blooming, buzzing confusion. Oxford University Press.

Raman, L. (2014). Children's and adults' understanding of the impact of nutrition on


biological and psychological processes. British Journal of Developmental Psychology,
32(1), 78-93.

Santoso, G. A., & Royanto, L. R. (2017). Teknik penulisan laporan penelitian kualitatif.
Depok: LPSP3 UI.

Universitas Indonesia
169

Scaglioni, S., Salvioni, M., & Galimberti, C. (2008). Influence of parental attitudes in the
development of children eating behaviour. British Journal of Nutrition, 99(S1), S22-
S25.

Schultz, C. M. (2015). Giving Children a Voice: A Novel Approach to Reveal Preschool-


age Children's Concepts Related to Food and the Organization of These Concepts.
Dissertation: University of Michigan.

Schultz, C. M., & Danford, C. M. (2016). Children's knowledge of eating: An integrative


review of the literature. Appetite, 107, 534-548.

Shutts, K., Kinzler, K. D., & DeJesus, J. M. (2013). Understanding infants' and children's
social learning about foods: Previous research and new prospects. Developmental
psychology, 49(3), 419.

Slaughter, V., & Ting, C. (2010). Development of ideas about food and nutrition from
preschool to university. Appetite, 55(3), 556-564

Soedibyo, S., & Mulyani, R. L. (2009). Kesulitan makan pada pasien: survei di unit
pediatrik rawat jalan. Sari Pediatri Fakultas Kedokteran. Depok: Universitas Indonesia.

Story, M., & French, S. (2004). Food advertising and marketing directed at children and
adolescents in the US. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical
Activity, 1(1), 3.

Tong, S., Baghurst, P., Vimpani, G., & McMichael, A. (2007). Socioeconomic position,
maternal IQ, home environment, and cognitive development. The Journal of Pediatrics,
151(3), 284─288.

Tudge, J., & Rogoff, B. (1999). Peer influences on cognitive development: Piagetian and
Vygotskian perspectives. Lev Vygotsky: critical assessments, 3, 32-56.

Universitas Indonesia
170

Wadsworth, B. J. (2004). Piaget’s theory of cognitive and affective development. Boston:


Pearson Education Inc.

Wellman, H. M., & Johnson, C. N. (1982). Children's understanding of food and its
functions: A preliminary study of the development of concepts of nutrition. Journal of
applied developmental psychology, 3(2), 135-148.

Willig, C. (2013). Introducing qualitative research in psychology. McGraw-Hill Education.

Wolf, M. K., Crosson, A. C., & Resnick, L. B. (2005). Classroom talk for rigorous reading
comprehension instruction. Reading Psychology, 26(1), 27-53.

Xu, T., & Jones, I. (2016). An Investigation of Children’s Understanding of Food and
Nutrition. Early Childhood Education Journal, 44:289–297.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. (2012). Seimbangkah Pola Makan Keluarga


Anda. Diperoleh dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI):
http://ylki.or.id/2012/11/seimbangkah-pola-makan-keluarga-anda/

Yin, R. K. (2011). Qualitative research from start to finish. Guilford Publications.

Zaporozhets, A. V., & Elkonin, D. B. (1974). The psychology of preschool children. MIT
Press.

Zarnowiecki, D., Dollman, J., & Sinn, N. (2011). A tool for assessing healthy food
knowledge in 5–6-year-old Australian children. Public Health Nutrition, 14(7), 1177-
1183.

Zeinstra, G.G., Koelen, M.A., Kok, F.J., de Graaf, C. (2007). Cognitive development and
children's perceptions of fruit and vegetables; a qualitative study. International Journal
of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 4:30. DOI:10.1186/1479-5868-4-30

Universitas Indonesia
171

Zulaekah, S. (2012). Efektivitas pendidikan gizi dengan media booklet terhadap


pengetahuan gizi anak SD. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2).

Universitas Indonesia
172

Lampiran A.1 Instrumen Slaughter dan Ting (2010)

Slaughter dan Ting (2010) Pertanyaan

Slaughter dan Ting (2010) menyusun serangkaian 1. Mengapa kita perlu makan?
pertanyaan baru, berdasarkan penelitian Wellman dan Johnson 2. Apa yang terjadi apabila seseorang tidak pernah makan?
(1982) tentang hubungan input-output makanan, Gellert 3. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya makan satu kali
(1962) tentang pencernaan dan transformasi makanan, serta setiap hari?
Inagaki dan Hatano (2002) tentang tujuan dari makan. Setelah 4. Apa yang terjadi apabila seseorang makan terlalu banyak
melakukan adaptasi pertanyaan, Slaughter dan Ting (2010) setiap hari?
melakukan wawancara awal (pilot interview) selama 30 menit 5. Bisakah kamu memakan apapun yang kamu mau setiap
pada 14 anak yang berusia 3 s.d. 14 tahun serta merevisi dan waktu?
menambah pertanyaan dari hasil wawancara awal tersebut. 6. Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
Kemudian, didapatkan 13 item pertanyaan wawancara yang menurutmu baik? Mengapa makanan tersebut baik untukmu?
digunakan dalam penelitian. Empat komponen yang terdapat 7. Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
dalam pertanyaan wawancara, antara lain: tujuan dari makan menurutmu tidak baik? Mengapa makanan tersebut tidak baik
(purpose of eating) pada item nomor 1; efek dari jumlah yang untukmu?
berbeda dari makanan (effects of different quantities of food) 8. Apakah wortel baik atau untukmu atau tidak? Mengapa?
pada item nomor, 2 3, dan 4; efek dari makanan tertentu 9. Apakah cokelat baik untukmu atau tidak? Mengapa?
(effects of specific foods) pada item nomor 6, 7, 8, 9, 10; dan 10. Apakah roti baik untukmu atau tidak? Mengapa?
173

efek dari diet yang tidak seimbang (effects of an unbalanced 11. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya memakan brokoli?
diet) pada item nomor 5, 11, 12, dan 13. 12. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya memakan ayam?
13. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya memakan permen?
174

Lampiran A.2 Panduan Wawancara FGD

Focus Group Discussion (FGD) Pertanyaan

Berdasarkan daftar pertanyaan dalam studi Slaughter 1. Mengapa kita perlu makan setiap hari?
dan Ting (2010), peneliti melakukan adaptasi awal dengan Probe: Bagaimana makanan dapat membuat kita seperti
itu?
melakukan focus group discussion (FGD) pada 18 orang anak
2. Apa yang terjadi apabila seseorang tidak pernah makan?
(6 orang anak di usia 8 s.d. 9 tahun dan 12 anak di usia 4 s.d. 5 Probe: Bagaimana makanan dapat membuat bisa hal itu
tahun). Adapun fokus utama dari FGD ini adalah mengadaptasi terjadi?
3. Apa yang terjadi apabila seseorang makan hanya satu
pertanyaan di kategori efek spesifik makanan dan efek
kali setiap hari?
mengonsumsi makanan tidak seimbang guna menyesuaikan Probe: Jika seseorang hanya makan sarapan tetapi tidak
jenis makanan yang disebutkan dalam item di kedua kategori makan siang dan makan malam, apa yang akan terjadi
padanya? Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
tersebut dengan apa yang biasa dikonsumsi anak di Indonesia
4. Apa yang terjadi apabila seseorang makan terlalu
setiap harinya. Proses FGD menjadi penting karena konteks banyak setiap hari? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
penelitian yang dilakukan oleh Slaughter dan Ting (2010) 5. Kamu sukanya makan apa?
dilakukan di Australia yang memiliki budaya dan kebiasaan Bisakah kamu memakan apapun yang kamu mau setiap
waktu? Jika kamu makan terlalu banyak apa yang
makan yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Selain itu, terjadi?
peneliti juga menambahkan beberapa pertanyaan selama 6. Makanan sehat itu apa sih menurut kamu?
berlangsungnya FGD. Pertanyaan ini digunakan untuk Probe:
1) Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
mengarahkan partispan pada pertanyaan yang sesungguhnya.
menurutmu sehat?
2) Mengapa makanan tersebut sehat untukmu?
175

FGD dilakukan selama 45 menit di tiga sekolah yang 7. Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
berbeda (dua taman kanak-kanak dan satu sekolah dasar). menurutmu tidak sehat? Mengapa makanan tersebut
tidak sehat untukmu?
Pertimbangan FGD dilakukan di dua taman kanak-kanak adalah
8. Apakah kamu biasa memakan sayuran?
dari hasil evaluasi, metode FGD yang digunakan di taman Probe:
kanak-kanak pertama dirasa kurang efektif sehingga kami 1) Sayuran apa saja yang biasa kamu makan?
2) Mengapa kamu makan sayuran itu?
memutuskan untuk mencoba kembali proses FGD di taman
3) Kapan saja waktu kamu memakan sayuran?
kanak-kanak lainnya. Berdasarkan hasil FGD, diperoleh 9. Kamu suka ngemil ga?
pengelompokkan makanan yang didapat berdasarkan jumlah Probe:
1) Apa yang biasanya kamu makan?
jawaban terbanyak yang dikemukakan oleh anak. Adapun
2) Kapan biasanya kamu ngemil?
pengelompokkannya sebagai berikut: 1) Makanan Pokok: Nasi 3) Dengan siapa kamu ngemil?
(n = 15); 2) Lauk Pauk: Ayam (n = 11) ; 3) Sayuran: Bayam (n 4) Siapa yang biasa menyiapkan cemilan untukmu?
= 7); 4) Buah-buahan: Pisang (n = 10); 5) Jajanan: Ciki (n = 5); 10. Apakah kamu suka memakan jajanan?
Probe: Jajanan apa saja yang suka kamu makan?
6) Cemilan: Biskuit (n = 6). Mengapa kamu suka jajan? Kapan saja kamu jajan?
Dengan siapa biasanya kamu jajan? Kenapa kamu
makan jajanan itu? Dapat uang jajan ngga? Berapa
uang jajannya?
11. Apakah kamu biasa makan buah?
Probe:
1) Buah apa saja yang kamu makan?
2) Mengapa kamu makan buah itu?
3) Kapan saja kamu makan buah?
4) Siapa yang menyiapkan buah yang kamu makan?
176

12. Apakah kamu biasa sarapan/tiap pagi, makan siang?


Probe:
1) Biasanya kamu sarapan apa?
2) Kenapa kamu sarapannya itu?
177

Lampiran A.3 Hasil dan Refleksi FGD

I. TK Larasati
Alamat : Jl. Rambutan No. 48 Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta
Selatan
Hari, tanggal : Selasa, 16 Januari 2018
Waktu : 11.30-12.10

Pelaksanaan focus group discussion (FGD) di TK Larasati dilakukan


setelah selesai kegiatan belajar mengajar, yaitu pukul 12.30. Sebelumnya,
peneliti telah melakukan koordinasi dengan Kepala TK Larasati, Ibu Nurita
S.Pd, tetapi pada saat pelaksanaan, beliau tidak ada di tempat. Namun, beliau
telah memberikan informasi kepada guru kelas untuk memilihkan tiga orang
anak dari kelas Pelangi (usia 4─5 tahun) dan tiga orang anak dari kelas
Bintang (usia 5─6 tahun) yang sesuai dengan kriteria untuk menjadi
partisipan. Kriteria yang diberikan adalah berasal dari keluarga dengan
penghasilan menengah ke atas. Partisipan dalam FGD ini dari kelas Pelangi
terdapat Zahro (5 tahun), Sania (5 tahun), dan Haikal (5 tahun) serta dari
kelas Bintang terdapat Aini (6 tahun), Ziya (6 tahun), dan Pandu (6 tahun).
Tim peneliti melakukan wawancara dengan partisipan setelah kegiatan
belajar-mengajar selesai. Peneliti membuat lingkaran dan bermain permainan
“Polisi” dengan menanyakan nama buah dan sayur yang mereka ketahui.
Setelah bermain, peneliti berkenalan dan menanyakan nama dan usia
partisipan. Setelah itu, peneliti mulai menanyakan beberapa pertanyaan
wawancara secara bersamaan. Peneliti menunjuk secara bergantian pada
masing-masing anak untuk menjawab pertanyaan, tetapi hanya beberapa
partisipan yang aktif menjawab dibandingkan partisipan yang lain.
Di tengah wawancara, situasi mulai tidak kondusif untuk bertanya secara
bersamaan sehingga peneliti berpencar lalu membuat kelompok berisi satu
orang peneliti dan dua orang anak. Saya melakukan wawancara dengan Aini
dan Sania. Secara keseluruhan, peneliti telah mendapatkan banyak jawaban
yang dapat dijadikan landasan untuk membuat instrumen penelitian,
walaupun ada beberapa pertanyaan yang belum sempat tergali pada
partisipan karena partisipan mulai bosan dan ingin segera pulang
dikarenakan wawancara dilaksanakan saat waktu pulang sekolah. Partisipan
juga dapat memahami seluruh pertanyaan yang diberikan peneliti. Partisipan
dapat menyebutkan jenis makanan yang diminta oleh peneliti serta dapat
menyebutkan alasannya meskipun dengan jeda waktu agak lama. Akan
tetapi, satu orang partisipan yang bernama Pandu tidak dapat fokus selama
dilakukan wawancara. Selesai wawancara, peneliti memberikan reward
biskuit dan susu kepada seluruh partisipan.
178

II. SD Pelita
Alamat : Jl. Karang Pola VII No. 2A Jati Padang, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan
Hari, tanggal : Rabu, 24 Januari 2018
Waktu : 10.30-11.15

Pelaksanaan focus group discussion (FGD) di SD Pelita dilakukan di


sebuah ruang audio visual yang terpisah dari ruang kelas. Peneliti melakukan
koordinasi dengan Kepala SD Pelita, Ibu Masturoh, S.Pd yang kemudian
telah memilihkan masing-masing tiga orang anak dari kelas dua dan kelas
tiga. Partisipan FGD di SD Pelita adalah Aka (8 tahun), Umar (8 tahun),
Yasmin (8 tahun), Azka (9 tahun), Zahwa (9 tahun), dan Safira (9 tahun).
Sebelum wawancara, peneliti mengajak partisipan berkenalan dan bermain
permainan “konsentrasi”. Kemudian, peneliti membagi dua kelompok untuk
melakukan FGD: saya, Vitri, dan Hafiz mewawancarai anak kelas dua SD
(usia 8 tahun), sedangkan Hana dan Fathia mewawancarai anak kelas tiga
SD (usia 9 tahun).
Aka, Umar, dan Yasmin sangat aktif dalam menjawab seluruh
pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Mereka juga memahami maksud
dari pertanyaan peneliti dan menjawab jenis makanan yang beragam sesuai
dengan kategori yang disebutkan peneliti. Mereka juga dapat menjelaskan
alasan dari makanan yang mereka sebutkan. Seluruh pertanyaan beserta
probing berhasil terjawab oleh mereka. Kebanyakan makanan yang mereka
konsumsi disiapkan oleh orang tua, nenek, atau membeli makanan jadi.
Setelah diajukan semua pertanyaan wawancara, peneliti mengajak seluruh
partisipan untuk bermain “pinokio”, lalu memberikan reward dan mengajak
foto bersama.

III. TK Pelangi
Alamat : Jl. Ksu-Parung Serab, Tirtajaya, Sukmajaya, Depok,
Jawa Barat
Hari, tanggal : Rabu, 7 Februari 2018
Waktu : 10.15-11.00

Pelaksanaan focus group discussion (FGD) di TK Pelangi dilakukan di


sebuah ruang kelas tetapi anak-anak lainnya berada di luar kelas. Peneliti
melakukan koordinasi dengan Kepala TK Pelangi yang telah memberikan
informasi pada guru kelas. Terdapat enam partisipan FGD di TK Pelangi,
yaitu Najla (6 tahun), Kanaya (5 tahun), Amira (6 tahun), Daffa (6 tahun),
179

Umar (6 tahun), dan Fakhri (5 tahun). Saat pertama kali masuk kelas,
seorang anak perempuan menangis dan tidak bersedia untuk diwawancarai
oleh peneliti, sehingga guru kelas harus mencari partisipan lain. Sebelumnya,
peneliti mengajak seluruh partisipan untuk bermain “teko kecil” dan
“kupikir-pikir” untuk memecahkan suasana.
Setelah itu, peneliti membagi dua kelompok, yaitu kelompok laki-laki
dan perempuan. Saya dan Fathia melakukan wawancara dengan kelompok
perempuan, terdiri dari Najla, Kanaya, dan Amira. Ketiga partisipan tersebut
sangat pendiam dan pasif, sehingga peneliti harus mengulang pertanyaan
beberapa kali agar mereka dapat menjawab. Terdapat satu partisipan
bernama Najla yang senang bercerita hal-hal di luar dari pertanyaan,
sehingga peneliti harus mengarahkan kembali jawaban Najla. Partisipan lain
yang bernama Amira mampu memahami dan menjawab seluruh pertanyaan
yang diajukan peneliti, walaupun ada beberapa jawaban yang mengikuti
jawaban dari Najla. Di sisi lain, Kanaya sangat pendiam dan beberapa kali
tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti sehingga
beberapa jawaban tidak dapat terjawab oleh Kanaya.
Pada pukul 10.30, guru kelas masuk dan meminta peneliti untuk
menyelesaikan wawancara dengan cepat karena waktu pulang sekolah pukul
11.00, sedangkan peneliti baru mengajukan beberapa pertanyaan. Hal
tersebut membuat peneliti hanya menanyakan pertanyaan utama kepada
partisipan dan tidak banyak melakukan probing. Walaupun begitu, peneliti
berhasil menanyakan jenis-jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh ketiga
partisipan, meskipun informasi yang ditanyakan tidak terlalu rinci.
180

Lampiran A.4 Panduan Wawancara Anak

No.
Form Panduan Wawancara Anak

No. Pertanyaan Jawaban Catatan

1. Mengapa kita perlu makan setiap


hari?
Bagaimana makanan dapat
membuat (jawaban anak)?
Dalam sehari kamu makan
berapa kali?
Kapan saja kamu makan?

2. Apa yang terjadi apabila kamu tidak


makan?
Bagaimana tidak makan dapat
membuat (jawaban anak)?

3. Apa yang terjadi apabila kamu makan


terlalu banyak?
Mengapa makan terlalu
banyak
bisa membuat (jawaban anak)?

4. Apa makanan yang paling kamu suka?


Bolehkah kamu memakan
(jawaban anak) setiap waktu?
Mengapa memakan (jawaban
anak) setiap waktu membuat
(jawaban anak)?

5. Makanan sehat itu apa saja?


Kenapa makanan itu dikatakan
sehat?

6. Makanan tidak sehat itu apa saja?


181

Kenapa makanan itu dikatakan


tidak sehat?

7. Apakah kamu suka makan bayam?


Menurut kamu, bayam itu
makanan sehat atau tidak sehat?
Mengapa bayam itu disebut
makanan sehat atau tidak sehat
(sesuai jawaban anak)?

8. Apakah kamu setiap hari biasa


memakan nasi?
Menurut kamu, nasi itu
makanan
sehat atau tidak sehat?
Mengapa nasi itu disebut
makanan sehat atau tidak sehat
(sesuai jawaban anak)?

9. Apakah kamu suka makan pisang?


Menurut kamu, pisang itu
makanan sehat atau tidak sehat?
Mengapa pisang itu disebut
makanan sehat atau tidak sehat
(sesuai jawaban anak)?
Apa yang terjadi apabila
seseorang hanya memakan
pisang
setiap hari?

10. Apakah kamu suka makan ayam?


Menurut kamu, ayam itu
makanan
sehat atau tidak sehat?
Mengapa ayam itu disebut
makanan sehat atau tidak sehat
(sesuai jawaban anak) ?
Apa yang terjadi apabila
seseorang
182

hanya memakan ayam setiap


hari?

11. Apakah kamu suka makan biskuit?


Probe: Menurut kamu, biskuit
itu makanan sehat atau tidak
sehat?
Mengapa biskuit itu disebut
makanan sehat atau tidak sehat
(sesuai jawaban anak) ?
Apa yang terjadi apabila
seseorang hanya memakan
biskuit setiap hari?

12. Apakah kamu suka makan ciki?


Menurut kamu ciki itu makanan
sehat atau tidak sehat?
Mengapa ciki itu disebut
makanan
sehat atau tidak sehat
(berdasarkan
jawaban anak)?
Apa yang terjadi apabila
seseorang
hanya memakan ciki setiap hari?
183

Lampiran A.5 Panduan Wawancara Orang Tua

Form Panduan Wawancara Orang Tua

Diaptasi dari penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan Graaf (2007) dan Scaglioni,
Salvioni, dan Galimberti (2008) tentang cara yang dilakukan orang tua untuk
memengaruhi kebiasaan makan anak. Selain itu, panduan wawancara orang tua juga
disusun berdasarkan hasil FGD yang dilakukan pada pada 18 orang anak (6 orang anak
di usia 8 s.d. 9 tahun dan 12 anak di usia 4 s.d. 6 tahun).

Pertanyaan Jawaban Catatan


Pola makan Anak
Bagaimana kebiasaan makan anak
Ibu/Bapak?
Berapa kali anak Ibu/Bapak
makan dalam sehari?
Bagaimana porsi makan anak
Ibu/Bapak?
Bagaimana nafsu makan anak
Ibu/Bapak?
Bagaimana cara makan anak
Ibu/Bapak?

Apakah anak Ibu/Bapak suka


untuk mencoba makanan baru?
Jika ya, dari mana anak
Ibu/Bapak mengetahui
makanan baru?
Pola makan Orangtua
Bagaimana kebiasaan makan
orangtua?
Berapa kali Ibu/Bapak makan
dalam sehari?
Bagaimana porsi makan
Ibu/Bapak?

Menurut Ibu/Bapak, apakah pola


makan Ibu/Bapak berpengaruh pada
pola makan anak?
Jika iya, seperti apa?
Interaksi anak dengan orangtua
saat makan
Siapa yang biasa menemani anak
Ibu/Bapak makan?
Apakah Ibu/Bapakmenemani
anak ketika makan?
Kapan biasanya Ibu/Bapak
184

menemani anak makan ?


Seberapa sering Ibu/Bapak
menemani anak ketika makan?

Apakah ada aktivitas lain yang


Ibu/Bapak lakukan ketika
menemani anak Ibu/Bapak makan?
Apakah dalam aktivitas
tersebut
Ibu/Bapak mengenalkan
makanan
pada anak?
Informasi apa yang Ibu/Bapak
berikan saat mengenalkan
makanan pada anak?

Bagaimana cara Ibu/Bapak


mengenalkan makanan kepada anak
Ibu/Bapak?
Seberapa sering Ibu/Bapak
mengenalkan makanan
kepada
anak Ibu/Bapak?

Apakah ada aturan tertentu ketika


anak makan?
Seperti apa aturan tersebut?
Apakah anak Ibu/Bapak
mematuhi
peraturan tersebut?
Bagaimana strategi Ibu/Bapak
dalam menerapkan aturan
tersebut pada anak?
Konsumsi makanan
Apakah makanan Ibu/Bapak sama
dengan makanan yang dikonsumsi
anak?

Apa makanan yang biasa


dikonsumsi oleh anak? (merinci
sesuai dengan jawaban berapa kali
anak makan)
Makanan yang Ibu/Bapak
konsumsi biasanya membeli di
luar atau buat sendiri?
Jika ya, di mana Ibu/Bapak
biasanya membeli makanan?
Jenis makanan apa yang
185

dibeli?
Jika buat sendiri, di mana
biasanya
Ibu/Bapak membeli bahan-
bahan
makanan?
Siapa yang biasa
menyiapkan
makanan anak?
Apakah anak Ibu/Bapak
dilibatkan dalam proses
menyiapkan makanan?
Jika ya, mengapa?
Apa yang anak
Ibu/Bapak lakukan?
Jika tidak, mengapa?
Apakah dalam proses
menyiapkan makanan tersebut
Ibu/Bapak mengenalkan
makanan
kepada anak Ibu/Bapak?

Siapa yang merencanakan menu


makanan anak?
Apakah anak Ibu/Bapak
dilibatkan
dalam proses merencanakan
makanan?
Jika ya, mengapa?
Apa yang anak Ibu/Bapak
lakukan?
Jika tidak, mengapa?

Apakah dalam proses


merencanakan makanan tersebut
Ibu/Bapak mengenalkan makanan
kepada anak Ibu/Bapak?
186

Lampiran A.6 Informed Consent

INFORMED CONSENT
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN

Kami yang bernama lengkap


1. Fathia Adani Harsya (1406545245)
2. Muhammad Hafiz Afianto (1406617553)
3. Mutiara Aisha Maghfira (1406540080)
4. Rafahana Ansiklia Kirana (1406539892)
5. Vitri Mardiati (1406540433)

adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia semester 8. Saat ini,


kami
sedang menjalani tugas akhir (skripsi) dan membutuhkan informasi berupa data
untuk memenuhi hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pemahaman anak tentang makanan. Dalam proses pengambilan data, terdapat
kemungkinan menggali informasi yang bersifat pribadi. Semua informasi yang
diberikan dalam pengambilan data ini bersifat rahasia dan tidak akan dikaitkan
dengan nama Bapak/Ibu dalam pelaporannya. Pengambilan data akan
berlangsung dalam waktu kurang lebih 60 menit dan dalam pelaksanaannya
dapat dilakukan lebih dari satu kali pertemuan. Kami akan meminta izin untuk
merekam pembicaraan selama wawancara berlangsung.

Maka dari itu, kami meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan
dalam penelitian kami. Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Jika
Bapak/Ibu bersedia untuk berpartisipasi, Bapak/Ibu berhak mendapatkan hasil
penelitian. Apabila Bapak/Ibu merasa tidak nyaman ketika proses pengambilan data
berlangsung, Bapak/Ibu berhak untuk berhenti sebagai partisipan dalam penelitian ini
kapanpun dan tidak mendapatkan dampak apapun dari pemberhentian tersebut.

Jika terdapat hal-hal terkait pengambilan data yang kurang jelas, maka
Bapak/Ibu berhak untuk mengajukan pertanyaan terkait hal tersebut. Apabila Bapak/Ibu
memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai wawancara ini, silakan menghubungi kami
melalui telepon atau surat elektronik Fathia Adani Harsya dan tim di nomor
085714694979 atau email fathia.adani@ui.ac.id.
Apabila Bapak/Ibu telah memahami hak yang dijelaskan di atas dan menyetujui untuk
menjadi partisipan, mohon tanda tangani formulir ini.

______________ , ______ 2018


187

Partisipan, Perwakilan Pelaksana


Tugas,

_________________________________
________________________________ Nama: Fathia Adani Harsya
NPM : 1406545245
188

Lampiran A.7 Parental Consent

PARENTAL CONSENT
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN

Kami yang bernama lengkap


1. Fathia Adani Harsya (1406545245)
2. Muhammad Hafiz Afianto (1406617553)
3. Mutiara Aisha Maghfira (1406540080)
4. Rafahana Ansiklia Kirana (1406539892)
5. Vitri Mardiati (1406540433)

adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia semester 8. Saat ini,


kami sedang menjalani tugas akhir (skripsi) dan membutuhkan informasi berupa
data untuk memenuhi hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pemahaman anak tentang makanan. Dalam proses pengambilan data, terdapat
kemungkinan menggali informasi yang bersifat pribadi. Semua informasi yang
diberikan dalam pengambilan data ini bersifat rahasia dan tidak akan dikaitkan
dengan nama anak Bapak/Ibu dalam pelaporannya. Pengambilan data akan
berlangsung dalam waktu kurang lebih 60 menit dan dalam pelaksanaannya
dapat dilakukan lebih dari satu kali pertemuan.

Maka dari itu, kami meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk mengizinkan anak
Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan dalam tugas kami. Partisipasi anak bersifat sukarela
dan tanpa paksaan. Jika anak bersedia untuk berpartisipasi, Bapak/Ibu berhak
mendapatkan hasil penelitian. Apabila anak merasa tidak nyaman ketika proses
pengambilan data berlangsung, Bapak/Ibu berhak untuk meminta anak berhenti menjadi
partisipan dalam penelitian ini kapanpun dan tidak mendapatkan dampak apapun dari
pemberhentian tersebut.

Jika terdapat hal-hal terkait pengambilan data yang kurang jelas, maka
Bapak/Ibu berhak untuk mengajukan pertanyaan terkait hal tersebut. Apabila Bapak/Ibu
memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai wawancara ini, silakan menghubungi kami
melalui telepon atau surat elektronik Fathia Adani Harsya dan tim di nomor
085714694979 atau email fathia.adani@ui.ac.id.
Apabila Bapak/Ibu telah memahami hak yang dijelaskan di atas dan menyetujui untuk
menjadi partisipan, mohon tanda tangani formulir ini.

______________ , ______ 2018


189

Partisipan, Perwakilan Pelaksana


Tugas,

_________________________________
________________________________
Nama: Nama:
190

Lampiran A.8 Data Demografis

No.
Data Demografis Partisipan Penelitian

I. Data Orang Tua

Inisial :
…………………………………………………………………………………...
Alamat :
…………………………………………………………………………………...
Usia :
…………………………………………………………………………………...
Pekerjaan :
Bapak : a. PNS b. Swasta c. Wiraswasta d. Lainnya
Ibu : a. PNS b. Swasta c. Wiraswasta d. Lainnya
Jumlah Anak : ………………………………………………………..
Pendidikan Terakhir :
Bapak : a. SMA/sederajat b. Diploma c. S1/S2/S3 d. Lainnya
Ibu : a. SMA/sederajat b. Diploma c. S1/S2/S3 d. Lainnya
Pengeluaran Perbulan: a. < Rp 400.000,00
b. Rp 400.000,00 ─ Rp 600.000,00
c. Rp 600.000,00 ─ Rp 800.000,00
d. Rp 800.000,00 ─ Rp 1.250.000,00
e. Rp 1.250.000,00 ─ Rp 1.750.000,00
f. Rp 1.750.000,00 ─ Rp 2.250.000,00
g. > Rp 2.250.000,00
II. Data Anak
Inisial : ………………………………………………………
Usia Anak : …… tahun …… bulan
Tempat, Tanggal Lahir : ………………………………………………………
Jenis Kelamin :L / P *lingkari salah satu

Asal Sekolah : ………………………………………………………


191

Lampiran A.9 Stik Gambar Sayuran dan Buah-buahan

Anda mungkin juga menyukai