SKRIPSI
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
DEPOK
JUNI 2018
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
DEPOK
JUNI 2018
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
NPM : 1406540080
Tanda Tangan :
iii
HALAMAN PENGESAHAN
telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memeroleh gelar Sarjana pada Program Studi
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Yang Maha Hidup, Allah SWT yang
tidak hentinya memberikan karunia dan kasih sayang kepada saya sehingga dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Psikologi. Atas berkat rahmat Allah SWT pula, saya diberikan anugerah dipertemukan
dengan berbagai pihak yang membantu dan mendukung saya dalam proses penyelesaian
skripsi. Dengan ketulusan hati, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Kedua orang tua saya, Sunardi Basuki Widodo, S.E., M.M dan Nurita, S.Pd.
Alasan terbesar saya mengerjakan skripsi. Terima kasih untuk cinta, doa, dan
kasih sayang yang tercurah selama 21 tahun ini, Ayah dan Mama. Terima kasih
juga untuk adik saya, Mirza Muhammad Adjie, teman bertengkar di rumah.
Terima kasih telah hadir di kehidupan saya.
2. Dr. Sri Redatin Retno Pudjiati, M.Si., Psikolog selaku pembimbing skripsi
utama yang telah membimbing dengan sabar dan penuh perhatian, serta
memberikan umpan balik dalam setiap tahap penyelesaian skripsi yang saya
kerjakan.
3. Mita Puspita Sary, S.Psi., M.Sc yang juga banyak membantu saya dalam proses
pengerjaan skripsi dengan memberikan masukan dan dukungan, serta
memberikan berbagai kesempatan yang membuat saya berkembang.
4. Dewa Fajar Bintamur, S.Psi., M.Psi selaku pembimbing akademik yang selalu
ada di setiap semester saya menjalani perkuliahan.
5. Dr. Puji Lestari Suharso, M.Psi dan Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Psi selaku
penguji skripsi. Terima kasih telah memberikan banyak masukan terkait
penyelesaian skripsi dan menghadirkan insight bermakna untuk terus meneliti
dengan hati.
6. Rekan-rekan seperjuangan payung skripsi “Makan Enak”: Rafahana Ansiklia
Kirana, Vitri Mardiati, Fathia Adani Harsya, dan M. Hafiz Afianto. Terima kasih
banyak atas semua kebingungan, keluh kesah, dan tawa yang telah dibagi dalam
proses menyelesaikan skripsi yang tidak singkat ini, dari RPP hingga Skripsi
‘beneran’. Saya sangat bersyukur berada di dalam lingkaran ini bersama kalian.
v
7. Untuk yang selalu ada, Ryza Maulana Putra, S.Gz. Terima kasih telah menjadi
pendengar setia setiap cerita dan keluhan yang saya bagi. Terima kasih untuk
doa, semangat, dukungan, dan bantuan nyata yang diberikan selama ini dalam
banyak hal.
8. Teman-teman Pitutur: Dhiya Faiza Yumna, Nabila Fajriani, Rizqi Farahmia, dan
Ghea Saraswati Kusuma. Terima kasih telah menemani saya menjalani dunia
perkuliahan. Walaupun kita tidak seperti peer lain pada umumnya, tetapi
kehadiran kalian sangat bermakna bagi saya.
9. Sahabat terbaik saya: Kamilyaa Ariidha, Wieza Fadhila Rachma, Deyna Andyni,
Aneke Aprilia, terima kasih telah menemani saya selama sewindu. Untuk Firli
Dwi Septiani, Nuzullia Hardini, dan Risty Noor Amelia, terima kasih masih mau
mendengarkan keluh kesah saya mengenai apapun. Gusti Fauzan Nabila, terima
kasih telah menemani saya di masa perkuliahan.
10. Psikologi untuk Negeri 2017: Partner terbaik saya, Shofura dan Fadiya Dina
Hanifa, saya bersyukur dapat mengenal kalian lebih dekat. Tak lupa juga untuk
Safira Karunia Rahma, Anita Dwi Putri, Aviva Lutfiana, Ryan Eka Prasetya,
Mugi Silih M., Fadhilah Ramadhannisa, Debi Zahirah Hariwijaya, Alika
Atyanta, Belinda Gustina, Hafshoh, Maryati, Tri Indah Marini, Annisa Permata
Y., Isyah Rodhiyah, dan Narendra Bayutama W. Terima kasih telah berkembang
bersama saya memberikan yang terbaik untuk warga RT 007 Pondok Jaya,
Citayam. Terima kasih juga untuk warga RT 007 Pondok Jaya, Citayam telah
memberikan suntikan semangat untuk selalu bermanfaat.
11. Kesma BEM Psikologi UI 2016: Ariyati, S.Psi yang lebih dari seorang rekan
kerja, tetapi juga menjadi kakak terbaik saya selama di kampus. Terima kasih
banyak telah selalu menyediakan tempat untuk mendengarkan cerita saya dan
memberikan saran yang sangat berguna. Azka Merci Fauzia Lestarie, S.Psi.,
Anis Hasanah Hasibuan, Auliana Tantya Puspa, Iga Winati, dan M. Pandu
Saksono Prasetyo, terima kasih telah menghadirkan pelangi bagi saya di tahun
2016. Terima kasih juga untuk Koorbid tersayang, Puspita Alwi, S.Psi., terima
kasih telah memberikan inspirasi.
12. Tim K2N UI 2016 Pulau Kasu, Kepulauan Riau: Agus Hidayatulloh, S.Gz.,
Amalia Salsabila, S.Psi., Amy Darajati Utomo, S.Sos., Iffah Karimah Salsabila,
vi
S.Kep., Cholida Sofi, S.Si., Vita Muflihah Fitriyani, S.Hum., Monik Ratnasari,
S.Hum., M., Syarifful Hidayah, S.Kg., dan Ifti Khoiri Royhan. Terima kasih
telah mengukir salah satu pengalaman berharga selama saya menempuh
perkuliahan, berbagi kisah dengan warga Pulau Kasu. Salam Kasu… yo!
13. Untuk Psynix, rekan-rekan seperjuangan Psikologi UI angkatan 2014, terima
kasih telah menemani lika-liku dunia perkuliahan.
14. VTIC Foundation, terutama teman-teman cikgu VTIC Cycle 6, terima kasih
telah memberikan pengalaman tidak terlupakan di tahun terakhir saya menjadi
mahasiswa.
15. Untuk yang mewarnai kehidupan saya di kampus: Gerakan UI Mengajar
Angkatan 5, khususnya Titik 1 Desa Rangimulya, Tegal, Jawa Tengah; BEM
Fakultas Psikologi UI 2015; BEM Fakultas Psikologi UI 2016; FKM UI Peduli
12, khususnya Dusun Mekarlaksana, Garut, Jawa Barat; U-Shape 2017; Sayap
Dewantara 2017─2018; SAMABA UI 2015; SAMABA UI 2016. Tanpa kalian,
mungkin perkuliahan bagi saya hanyalah tempat teori dan jurnal bertemu.
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Mutiara Aisha Maghfira
NPM : 1406540080
Program Studi : Psikologi, Program Sarjana
Fakultas : Psikologi
Jenis Karya : Skripsi
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
viii
ABSTRAK
Kata Kunci :
Konsep makanan, anak usia prasekolah, perkembangan kognitif, preoperational
thought
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Keywords:
Food concept, preschool children, cognitive development, preoperational thought
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 8
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................. 8
xi
Universitas Indonesia
3.4.4 Alat Bantu Penelitian ........................................................................ 35
3.5 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 36
3.5.1 Tahap Persiapan ................................................................................. 36
3.5.2 Tahap Pengumpulan Data .................................................................. 36
3.5.3 Analisis Data ..................................................................................... 38
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
2
makanan merupakan objek konkret yang biasa ditemui anak sehari-hari. Pengetahuan
dapat dikonstruksi melalui aktivitas dan tindakan anak terhadap objek yang dapat
menstimulasi perkembangan kognitif anak (Piaget, 1961). Anak dapat membangun
konsep mengenai makanan melalui pengalaman langsung dengan makanan, misalnya
ketika anak memilih jenis makanan tertentu dibandingkan jenis makanan lainnya.
Antara usia 5─7 tahun, anak menjadi lebih mandiri dalam memilih makanan dan
mereka dapat mempelajari makanan apa saja yang dapat dimakan atau tidak dapat
dimakan (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Hal tersebut menggambarkan
bahwa makanan merupakan hal yang erat kaitannya dengan masa kanak-kanak awal,
sehingga penting untuk melihat konsep anak mengenai makanan.
Konsep makanan merupakan salah satu contoh penalaran yang dimiliki anak usia
prasekolah dari hasil pengalamannya sehari-hari dalam memilih atau mengonsumsi
makanan tertentu. Konsep merupakan skema yang mendasari tingkah laku (Wadsworth,
2004), sehingga konsep makanan merupakan basis tingkah laku anak yang berkaitan
dengan makanan. Konsep makanan yang dimiliki anak merupakan dasar dari sikap anak
terhadap makanan, pemilihan makanan anak, dan kebiasaan makan anak (Grosso,
Mistretta, Turconi, Cena, Roggi, & Galvano, 2013). Selain itu, pemahaman anak
mengenai makanan menentukan keberhasilan intervensi tingkah laku yang berkaitan
dengan makanan (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Dengan mengetahui
konsep tentang makanan pada anak juga dapat membantu mengurangi masalah perilaku
kesulitan makan pada anak usia prasekolah.
Perilaku kesulitan makan anak usia prasekolah di Indonesia masih menjadi sorotan.
Sekitar 25─40% anak dilaporkan mengalami kesulitan makan (Nasar, 2006). Hasil
penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Soedibyo dan Mulyani (2009) pada anak
usia 1−5 tahun di Jakarta adalah sebanyak 58% anak mengalami kesulitan makan dan
43% subjek memiliki status gizi kurang. Selain itu, penelitian Judarwanto (2011)
mengenai kesulitan makan pada anak prasekolah di Jakarta menemukan hasil prevalensi
sebesar 33,6%, dengan 44,5% diantaranya mengalami malnutrisi ringan hingga sedang.
Dari masalah kesulitan makan yang telah dijabarkan di atas, perlu diketahui hal
yang melatarbelakangi perilaku makan anak tersebut. Perilaku seseorang biasanya
didasari oleh pengetahuan yang dimiliki (Bartsch & Wellman, 1995), sehingga apa yang
diketahui anak mengenai makanan merupakan hal yang sangat penting karena
Universitas Indonesia
3
memengaruhi perilaku makan anak dan biasanya terbentuk ketika usia 4─6 tahun
(Schultz, 2015; Schultz & Danford, 2016). Telah banyak penelitian mengenai kebiasaan
makan atau pemilihan makanan pada anak usia prasekolah, tetapi penelitian yang
membahas konsep tentang makanan pada anak masih sangat minim (Zeinstra, Koelen,
Kok, & de Graaf, 2007; Slaughter & Ting, 2010; Laureati, Pagliarini, Toschi,
Monteleone, 2015; Schultz & Danford, 2016), padahal konsep tentang makanan pada
anak merupakan hal yang mendasari kebiasaan makan atau pemilihan makanan anak.
Beberapa penelitian di Indonesia pada anak usia prasekolah juga baru membahas
tentang kebiasaan makan dan perilaku makan (Fatmah, 2002; Kurniawaty, 2011;
Rahayu, 2014; Kesuma, Novayelinda, & Sabrian, 2013). Ada pula beberapa penelitian
lain yang membahas tentang hubungan antara pengetahuan atau persepsi anak tentang
makanan serta kaitannya dengan status gizi dan edukasi gizi (Kurniasih, 2012;
Zulaekah, 2012; Puspita, 2012). Namun, belum terdapat penelitian di Indonesia yang
menggambarkan konsep makanan pada anak usia prasekolah dilihat dari perkembangan
kognitif, padahal dengan mengetahui konsep tentang makanan pada anak berdasarkan
karakteristik perkembangan kognitif dapat membantu para pelaku intervensi untuk
menyesuaikan rancangan edukasi dengan penalaran anak sehingga dapat meningkatkan
keberhasilan intervensi (Başkale, Bahar, Başer, & Ari, 2009).
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya terkait konsep makanan pada anak
usia prasekolah berlandaskan teori perkembangan kognitif Piaget. Contento (1981)
merupakan penelitian awal yang melihat konsep makanan pada anak usia 5─11 tahun
yang dibedakan ke dalam tahap perkembangan kognitif Piaget, yaitu preoperational
thought dan concrete operational. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada
tahap preoperational, anak belum memahami bahwa makanan tetap sama walaupun
berbeda bentuk dan telah mampu mengklasifikasikan makanan berdasarkan
persamaannya (Contento, 1981). Serupa dengan penelitian Contento (1981), Michela
dan Contento (1984) yang meneliti tentang klasifikasi makanan pada anak usia 5─11
tahun juga menemukan hasil bahwa anak pada tahap preoperational telah mampu
mengkategorikan makanan berdasarkan jenisnya.
Selain itu, penelitian kualitatif Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007)
tentang perkembangan kognitif dan persepsi anak terhadap buah dan sayur menemukan
hasil bahwa perkembangan kognitif berkaitan dengan ciri yang dipertimbangkan anak
Universitas Indonesia
4
ketika mengevaluasi jenis makanan tertentu. Pada anak usia prasekolah, ciri penting
bagi anak untuk menyukai atau tidak menyukai makanan tertentu adalah tekstur, rasa,
preferensi, dan penampilan (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Anak usia
prasekolah mengelompokkan makanan berdasarkan karakteristik konkret, yaitu warna
dan bentuk serta mampu membedakan makanan yang enak dan tidak enak berdasarkan
preferensi dan efek terhadap pertumbuhan fisik (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf,
2007).
Slaughter dan Ting (2010) juga melakukan penelitian tentang konsep makanan
pada 100 orang partisipan di Australia, yang terdiri dari lima kelompok usia berbeda.
Penemuan Slaughter dan Ting (2010) pada anak usia prasekolah menyatakan bahwa
anak usia lima tahun sering menyebutkan hubungan antara makanan dengan
pertumbuhan fisik. Anak usia lima tahun juga membahas kaitan antara makanan dengan
pertumbuhan pada komponen tujuan dari makan, efek dari kuantitas makanan, dan efek
dari makanan tertentu (Slaughter & Ting, 2010).
Penelitian lain yang meneliti tentang konsep makanan pada anak usia prasekolah
adalah Zarnowiecki, Dollman, dan Sinn (2011) di Australia dengan sampel penelitian
192 anak berumur lima hingga enam tahun. Penelitian tersebut menggali pengetahuan
anak mengenai makanan sehat dan makanan tidak sehat serta menguji apakah anak telah
memakan item makanan yang terdapat pada gambar, terdiri dari kelompok buah dan
sayur (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011). Hasil penelitian tersebut adalah anak usia
prasekolah telah mengidentifikasi sayur dan buah secara tepat menggunakan gambar
(Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011).
Walaupun telah terdapat beberapa penelitian mengenai konsep makanan pada
anak usia prasekolah, penelitian tersebut belum membahas tentang bagaimana anak
membangun konsep makanan, padahal Piaget (1977) menekankan tentang sumber
pemerolehan pengetahuan yang didapatkan oleh anak. Piaget (1961) juga membahas
mengenai pengalaman sosial (social experience) sebagai salah satu faktor yang
memengaruhi perkembangan kognitif anak. Pengalaman sosial merujuk kepada
pengaruh budaya atau lingkungan pendidikan, yaitu berdasarkan pengalaman dari orang
lain, meliputi pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller,
2011). Anak dapat mengasimilasi informasi baru yang didapatkan melalui hasil diskusi
dengan orang lain di sekitarnya sehingga membentuk konsep yang dimilikinya (Miller,
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
2001). Hasil penelitian Matheson, Spranger, dan Saxe (2002) dengan observasi dan
wawancara pada 24 orang anak usia prasekolah yang dilakukan selama dua tahun
menemukan bahwa orang tua yang menjadi contoh kurang baik dapat memengaruhi
preferensi makanan dan pengalaman makan pada anak. Misalnya, ketika orang tua
memberikan komentar negatif tentang rasa dan tekstur pada makanan dapat membuat
anak menjadi kurang ingin mencoba makanan tersebut (Eliassen, 2011). Penelitian
kualitatif Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) yang dilakukan pada 20 orang
anak usia 5─12 tahun tentang cara yang dilakukan oleh orang tua untuk memengaruhi
kebiasaan makan mereka juga menemukan hasil bahwa hampir seluruh orang tua
menggunakan berbagai cara, yaitu dengan memberikan hadiah apabila anak makan
dengan baik, mengombinasikan makanan yang disukai anak dengan makanan yang
kurang disukai, dan melalui pernyataan yang sederhana untuk mengajarkan anak
mengenai makan sehat. Dapat dilihat bahwa keluarga, terutama orang tua, menerapkan
berbagai cara untuk membentuk konsep makanan di masa kanak-kanak awal.
Selain orang tua, terdapat sumber informasi lainnya yang berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada anak. Anak usia prasekolah yang menempuh
pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) juga terpapar informasi mengenai makanan dari
sekolah. Di TK, terdapat tema mengenai kebutuhanku, dengan subtema makanan sehat
dan makanan kesukaan dalam materi ajar di semester pertama (Kemdikbud, 2015).
Selain itu, terdapat pula tema tanaman, dengan subtema sayuran dan buah-buahan pada
semester yang sama (Kemdikbud, 2015). Guru TK memberikan informasi mengenai
makanan sehat, sayuran, dan buah-buahan kepada anak prasekolah dengan penjabaran
secara lisan maupun aktivitas terkait tema tersebut. Pernyataan yang jelas maupun
tersirat dari orang lain membantu anak mengembangkan konsep mengenai suatu hal
(Harris & Koenig, 2006). Dalam hal ini, anak prasekolah mendapatkan pemahaman
mengenai makanan dari guru di sekolah melalui tema berkaitan dengan makanan yang
diajarkan di sekolah.
Di samping itu, anak prasekolah juga membentuk konsep makanan dari media,
misalnya televisi, seiring maraknya iklan produk makanan yang ditujukan bagi anak.
Salah satu sumber terbesar dari media yang memberikan pesan mengenai makanan
kepada anak-anak, khususnya kepada anak prasekolah, adalah televisi (Story & French,
2004). Televisi, meliputi iklan makanan dan program memasak, menjadi sumber
Universitas Indonesia
7
informasi mengenai makanan bagi anak-anak (McKinley, et al., 2005). Selain itu,
internet dan situs media sosial, seperti youtube, juga berperan untuk membentuk
pengetahuan yang dimiliki anak tentang makanan (McKinley, et al., 2005).
Berdasarkan pemaparan di atas, perlu adanya penelitian untuk menggambarkan
konsep makanan pada masa kanak-kanak awal. Seperti yang telah disebutkan di atas
bahwa konsep makanan merupakan dasar dari tingkah laku anak yang berkaitan dengan
makanan. Dengan mengetahui konsep anak mengenai makanan berdasarkan
karakteristik perkembangan kognitifnya, maka dapat diketahui pula bagaimana
perlakuan atau intervensi perilaku makan yang tepat diberikan pada masa kanak-kanak
awal. Pemberian intervensi tersebut bertujuan untuk membantu mengurangi masalah
kesulitan makan pada anak usia prasekolah. Selain itu, penting juga untuk diketahui
bagaimana anak membentuk konsep makanan dari pengalaman sosial (social
experience) yang diperoleh anak, misalnya orang tua, sekolah, dan media.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konsep makanan pada anak dan
bagaimana anak mengkonstruk konsep tersebut, sehingga metode penelitian kualitatif
digunakan dalam studi ini. Pendekatan kualitatif tersebut digunakan untuk menggali
sebuah topik dan mengarahkan perkembangan penelitian selanjutnya. Dalam penelitian
ini, peneliti tergabung dalam tim payung penelitian Konsep Makanan pada Anak.
Peneliti melakukan wawancara pada anak usia prasekolah (4─6 tahun) untuk melihat
bagaimana gambaran konsep makanan pada masa kanak-kanak awal. Peneliti juga
menggambarkan konsep tentang makanan tersebut berdasarkan teori perkembangan
kognitif Piaget. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara pada orang tua dari
partisipan dan pengasuh lainnya untuk melihat pengalaman sosial (social experience)
dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah.
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
partisipan pada analisis intra kasus, dan analisis secara keseluruhan yang
akan dijabarkan pada analisis antar kasus.
- Bab 5: berisi kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi, dan saran
metodologis dan praktis yang diajukan berdasarkan diskusi penelitian.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, peneliti akan membahas teori yang digunakan dan konteks dalam
penelitian ini. Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah teori mengenai
perkembangan kognitif dan pembentukan konsep. Selain itu, peneliti juga akan
menjelaskan tentang konsep tentang makanan serta karakteristik anak usia prasekolah,
sesuai dengan konteks dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
11
secara kualitatif (Piaget & Inheider, 2000). Empat tahap tersebut adalah sensorimotor,
preoperational thinking, concrete operations, dan formal operations. Sejak lahir hingga
remaja, operasi mental berkembang dari belajar berdasarkan aktivitas sensoris dan motorik
hingga pemikiran yang abstrak dan logis (Piaget & Inheider, 2000). Pada tahap
sensorimotor (lahir─2 tahun), anak mampu mengorganisasikan aktivitas berkaitan dengan
lingkungan melalui sensoris dan motorik secara bertahap (Piaget & Inheider, 2000). Pada
tahap preoperational (2─7 tahun), anak mengembangkan sistem representasional dengan
menggunakan simbol untuk mewakili orang, tempat, dan peristiwa (Piaget & Inheider,
2000). Bahasa dan permainan yang menggunakan imajinasi merupakan hal yang penting
dalam tahap preoperational, sehingga proses berpikir anak pada tahap ini bukan merupakan
sesuatu yang logis (Piaget & Inheider, 2000). Pada tahap concrete operations (7─11 tahun),
anak telah mampu menyelesaikan masalah secara logis, tetapi belum dapat berpikir secara
abstrak (Piaget & Inheider, 2000). Sementara itu, pada tahap formal operations (11
tahun─dewasa), seseorang telah mampu berpikir secara abstrak dan berpikir tentang
berbagai kemungkinan yang terjadi (Piaget & Inheider, 2000).
Perkembangan kognitif juga dapat dilihat melalui perubahan isi pemikiran anak dan
kemunculan berbagai bentuk baru pada aktivitas intelektual anak (Zaporozhets & Elkonin,
1974). Zaporozhets dan Elkonin (1974) mendefinisikan perkembangan kognitif sebagai
perkembangan dari aktivitas kognitif anak dan perkembangan berbagai bentuk tingkah laku
yang melibatkan adaptasi terhadap lingkungan baru. Sechenov (dalam Zaporozhets &
Elkonin, 1974) menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak merupakan pengenalan
terhadap objek di dunia luar yang dikenali melalui sensasi alat indera dan persepsi.
Sechenov (dalam Zaporozhets & Elkonin, 1974) juga menyatakan bahwa pengalaman anak
dengan objek merupakan sarana untuk membentuk pemahaman yang memadai tentang
dunia luar.
Universitas Indonesia
12
Content
Content atau isi perkembangan kognitif merupakan apa yang diketahui oleh anak.
Hal tersebut merujuk pada tingkah laku yang dapat diamati dan merefleksikan
aktivitas intelektual, misalnya kegiatan sensoris dan motorik serta konsep mengenai
fenomena tertentu. Content atau isi tersebut berbeda-beda tergantung usia dan
karakteristik anak.
Function
Function atau fungsi merupakan karakteristik dari aktivitas intelektual yang stabil
dan berkelanjutan di sepanjang perkembangan kognitif, meliputi asimilasi dan
akomodasi.
Structure
Structure atau struktur merupakan kumpulan skema terorganisasi yang menjelaskan
kemunculan tingkah laku tertentu.
Dalam penelitian ini, peneliti membahas salah satu komponen perkembangan
kognitif, yaitu content. Content atau isi perkembangan kognitif yang dilihat dalam
penelitian ini merupakan konsep mengenai suatu fenomena yang dipahami oleh anak.
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
perkembangan kognitif anak (Peyre, et al., 2016). Orang tua membantu anak
berkembang secara kognitif dengan terlibat dalam percakapan yang
membantu anak memahami berbagai hal (Gunderson & Levine, 2011).
Tingkat pendidikan orang tua, jumlah pendapatan orang tua, dan lingkungan
rumah merupakan hal yang paling memengaruhi perkembangan kognitif
anak (Crosnoe, Leventhal, Wirth, Pierce, & Pianta, 2010; Tong, Baghurst,
Vimpani, & McMichael, 2007). Selain itu, lingkungan belajar di rumah dan
waktu yang dihabiskan orang tua untuk berinteraksi dengan anak juga
berhubungan secara signifikan dengan perkembangan kognitif anak (Lukie,
Skwarchuk, LeFevre, & Sowinski, 2014; Niklas, Cohrssen, & Tayler, 2016).
Teman sebaya
Selain memusatkan perhatian pada perkembangan anak secara
individu, Piaget mengemukakan bahwa diskusi yang dilakukan anak dengan
teman sebayanya memiliki peran dalam perkembangan kognitif anak (Tudge
& Rogoff, 1999). Selain itu, kehidupan sosial anak berguna bagi
perkembangan anak berpikir logis karena membuat anak menjadi lebih
matang (Tudge & Rogoff, 1999). Kematangan tersebut disebabkan oleh
proses equilibrium yang dicapai dari hasil pertukaran informasi dengan
teman sebaya (Piaget, dalam Tudge & Rogoff, 1999).
Sekolah
Sekolah merupakan pengalaman sosial yang turut berperan dalam
perkembangan kognitif anak. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
interaksi antara anak dan guru di sekolah membantu anak mengembangkan
perkembangan kognitifnya, dimulai sejak anak masuk prasekolah hingga
remaja (Davis, 2003; Wolf, Crosson, & Resnick, 2005). Guru dapat
memengaruhi pengalaman intelektual anak dengan menanamkan nilai-nilai
tertentu pada anak, seperti motivasi anak untuk belajar (Davis, 2003),
sehingga guru dapat membantu anak untuk terlibat dalam kegiatan
pembelajaran yang membantu anak untuk meningkatkan kemampuan
kognitif yang dimiliki.
Universitas Indonesia
15
Media
Media, terutama televisi juga dilihat sebagai faktor yang
memengaruhi perkembangan kognitif anak. Anak usia prasekolah telah
mampu mengimitasi tingkah laku yang mereka lihat dari televisi (Kirkorian,
Wartella, & Anderson, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kirkorian, Wartella, dan Anderson (2008) menyatakan bahwa anak yang
terpapar televisi dalam satu tahun pertama usia kehidupan berhubungan
dengan perkembangan kognitif yang kurang baik, sedangkan anak di atas
usia dua tahun yang menonton program televisi yang berisi konten edukasi
menampilkan peningkatan perkembangan kognitif.
d. Equilibration
Equilibration menyatukan dan mengontrol interaksi antara faktor bawaan
dan pengalaman, sehingga equilibration merupakan keseimbangan yang dicapai
dari hasil proses organization dan adaptation (Piaget, 1952). Kematangan,
pengalaman aktif, dan pengaruh lingkungan sosial menyebabkan disequilibrium
sementara sehingga memaksa sistem kognitif berubah untuk menyesuaikan
dengan informasi yang baru diterima (Miller, 2011). Proses equilibration
membantu faktor bawaan dan pengalaman untuk mempengaruhi perkembangan
kognitif, sehingga anak membangun sebuah model pemikiran yang sesuai
dengan realitas (Miller, 2011).
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
Universitas Indonesia
18
2.3 Makanan
2.3.1 Definisi Makanan
Makanan merupakan kebutuhan utama manusia karena makanan berperan sebagai
sumber tenaga, pertumbuhan dan perkembangan secara optimal, juga sebagai kekebalan
tubuh untuk melindungi diri dari penyakit. Menurut Food and Agricultural
Organizations (FAO, 1999), makanan adalah setiap zat yang diolah, setengah diolah, atau
mentah yang berguna untuk dikonsumsi manusia, termasuk minuman, permen karet, dan
zat lain yang digunakan dalam pembuatan, persiapan, atau perawatan makanan, tetapi tidak
termasuk kosmetik, rokok, atau zat yang digunakan sebagai obat. Artinya, makanan
merupakan semua jenis bahan untuk dikonsumsi manusia. Dalam Bahasa Inggris, hanya
digunakan istilah food untuk menyatakan makanan, pangan, dan bahan makanan
(Almatsier, 2009). Di Indonesia, istilah makanan, pangan, dan bahan makanan dibedakan
menurut pengertiannya. Pangan merupakan istilah umum untuk semua bahan yang dapat
diolah menjadi makanan, sedangkan bahan makanan merupakan makanan yang belom
diolah atau dalam keadaan mentah (Almatsier, 2009). Pangan juga merupakan segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air yang diperuntukkan bagi konsumsi
manusia, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan pembuatan makanan (Kemenkes, 2014).
Sementara itu, definisi makanan adalah bahan selain obat yang berguna bila
dimasukkan ke dalam tubuh, yaitu yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur kimia
yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh (Almatsier, 2009). Makanan juga
didefinisikan sebagai pangan olahan hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan
atau tanpa bahan tambahan (BPOM, 2009). Berdasarkan pemaparan di atas, definisi
Universitas Indonesia
19
makanan yang digunakan oleh peneliti adalah semua hasil olahan pangan sebagai sumber
kandungan gizi yang berguna bagi tubuh untuk kelangsungan hidup manusia, tidak
termasuk pangan dan bahan makanan.
Universitas Indonesia
20
dari makanan dan tubuh (Contento, 1981). Anak usia prasekolah memandang makanan
tidak dicerna dalam tubuh, yaitu makanan masuk ke dalam perut dan tidak mengalami
perubahan di dalam tubuh (Contento, 1981). Selain itu, anak usia prasekolah juga telah
dapat menyebutkan makanan sehat, tetapi tidak dapat menjelaskan alasannya (Contento,
1981).
Serupa dengan penelitian Contento (1981), penelitian Michela dan Contento (1984)
juga menemukan hasil bahwa anak pada tahap preoperational telah mampu
mengkategorikan makanan berdasarkan jenisnya. Michela dan Contento (1984)
mengatakan bahwa anak pada tahap preoperational menggunakan kategori tradisional
semantik sebagai kriteria mengelompokkan makanan (misalnya buah, roti, sayur, dan
lainnya). Dari 28 sampel anak yang berada pada tahap preoperational, 40% anak
menyatakan bahwa vitamin hanya dapat ditemukan di dalam pil, 60% tidak mengetahui
tentang protein, 40% tidak mengetahui tentang kandungan lemak, dan seluruh anak (100%)
tidak mengetahui tentang karbohidrat (Michela & Contento, 1984).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf
(2007) tentang perkembangan kognitif dan persepsi anak terhadap buah dan sayur
menemukan hasil bahwa perkembangan kognitif berkaitan dengan ciri yang
dipertimbangkan anak ketika mengevaluasi jenis makanan tertentu. Anak usia prasekolah
menganggap bahwa tekstur, rasa, preferensi, dan penampilan adalah ciri penting bagi anak
untuk menyukai atau tidak menyukai makanan tertentu (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf,
2007). Anak usia prasekolah mengelompokkan makanan berdasarkan karakteristik konkret,
yaitu warna dan bentuk (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Walaupun begitu, anak
usia prasekolah telah mampu membedakan makanan yang sehat dan tidak sehat
berdasarkan preferensi dan efek terhadap pertumbuhan fisik (Zeinstra, Koelen, Kok, dan de
Graaf, 2007). Anak usia prasekolah telah mengetahui rasa asin, tetapi tidak mengetahui rasa
pahit (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Walaupun anak usia prasekolah telah
memiliki pemahaman rasa asam dan manis, mereka kesulitan dalam memberikan label pada
makanan tertentu (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Hasil penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) juga menyatakan
bahwa anak usia prasekolah belum mampu menggambarkan tentang kesehatan.
Universitas Indonesia
21
Kebanyakan anak usia 4─5 tahun tidak dapat mengelompokkan jenis makanan sehat dan
makanan tidak sehat secara tepat (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Mereka
menggunakan aturan yang konkret dan sederhana untuk mengkategorisasikan makanan
sehat dan tidak sehat, misalnya hubungan antara makanan dan warna, hubungan antara
makanan dan pertumbuhan fisik, dan preferensi (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Slaughter dan Ting (2010) juga melakukan penelitian tentang konsep makanan pada
100 orang partisipan di Australia, yang terdiri dari lima kelompok usia berbeda. Penemuan
Slaughter dan Ting (2010) pada anak usia prasekolah menyatakan bahwa anak usia lima
tahun sering menyebutkan hubungan antara makanan dengan pertumbuhan. Lebih jauh lagi,
penelitian tersebut menemukan bahwa anak usia lima tahun mengatakan bahwa seseorang
dapat mengecil atau menyusut apabila tidak makan atau melakukan diet yang tidak
seimbang (Slaughter & Ting, 2010). Anak usia lima tahun juga membahas kaitan antara
makanan dengan pertumbuhan pada komponen tujuan dari makan, efek dari kuantitas
makanan, dan efek dari makanan tertentu (Slaughter & Ting, 2010). Temuan penting
lainnya adalah anak usia lima tahun telah memiliki pemahaman mengenai makanan, salah
satunya adalah dengan menyebutkan bahwa makanan sehat dapat membuat seseorang
bertumbuh. Kemudian, ketika ditanya alasan bagaimana makanan sehat dapat membuat
seseorang bertumbuh, anak usia lima tahun akan menjawab dengan kebalikannya, misalnya
makanan tidak sehat dapat membuat seseorang menjadi kurus atau mengecil (Slaughter &
Ting, 2010).
Penelitian lain yang meneliti tentang konsep makanan pada anak usia prasekolah
adalah Zarnowiecki, Dollman, dan Sinn (2011) di Australia dengan sampel penelitian 192
anak umur lima hingga enam tahun. Penelitian tersebut menggali pengetahuan anak
mengenai makanan sehat dan makanan tidak sehat serta menguji apakah anak telah
memakan item makanan tersebut sebelumnya (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011). Hasil
penelitian tersebut adalah anak usia prasekolah telah mengidentifikasi sayur dan buah
secara tepat (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn, 2011). Selain itu, sebanyak 80% anak usia
prasekolah telah mengelompokkan makanan sebagai susu, roti, atau keju dan 90% anak
usia prasekolah telah mengenali makanan yang tidak sehat (Zarnowiecki, Dollman, & Sinn,
2011).
Universitas Indonesia
22
Universitas Indonesia
23
(Friedman, Bowden, & Jones, 2003; Kesuma, Novayelinda, & Sabrian, 2015). Observasi
yang dilakukan anak terhadap tindakan orang tuanya membantu anak untuk membentuk
konsep (Gelman, 2009), sehingga anak akan membangun konsep mengenai makanan ketika
orang tua memberikan contoh saat aktivitas makan bersama. Selain itu, frekuensi
keterlibatan orang tua melakukan percakapan dengan anak juga turut mendukung dan
meluaskan pemahaman anak mengenai beragam konsep tentang dunia (Gunderson &
Levine, 2011). Anak yang secara aktif melakukan pembicaraan dengan orang tua mengenai
makanan akan menambah pemahaman konsep yang mereka miliki mengenai makanan.
Universitas Indonesia
24
anak. Kemunculan iklan dan promosi dari berbagai produk makanan yang banyak
menyebutkan jenis makanan dan kandungan gizi memunculkan bukti bahwa media
berperan memberikan pesan yang positif terkait kesehatan kepada anak-anak (Hart, Bishop,
& Truby, 2002).
Salah satu sumber terbesar dari media yang memberikan pesan mengenai makanan
kepada anak-anak, khususnya kepada anak prasekolah, adalah televisi (Story & French,
2004). Televisi, meliputi iklan makanan dan program memasak, menjadi sumber informasi
mengenai makanan bagi anak-anak (McKinley et al., 2005). Survei yang terdapat di Inggris
menunjukkan hasil bahwa makanan merupakan kategori produk yang paling sering
ditayangkan di iklan televisi (Story & French, 2004). Anak usia 2─4 tahun melihat satu
iklan makanan rata-rata setiap lima menit sekali, serta melihat tiga jam untuk iklan
makanan setiap minggunya (Story & French, 2004).
Selain itu, internet dan situs media sosial, seperti youtube, juga berperan untuk
membentuk pengetahuan yang dimiliki anak tentang makanan (McKinley et al., 2005).
Berbagai iklan yang baru dan interaktif mengenai makanan banyak dipasarkan secara
daring melalui internet. Iklan produk makanan di internet menawarkan situs yang berisi
berbagai kegiatan yang menghibur, animasi, dan interaktif yang dikembangkan khusus
untuk anak-anak prasekolah, meliputi permainan, teka-teki pencarian kata, kontes, kuis,
tebak-tebakan, dan musik yang mengandung produk makanan tertentu (Story & French,
2004).
Universitas Indonesia
25
mampu berpikir sendiri dan tidak terlalu bergantung pada penginderaan. Dalam hal ini,
anak tidak hanya melakukan penyesuaian perseptual dan motorik pada objek atau peristiwa,
tetapi anak telah menggunakan simbol (gambaran mental, bahasa, dan gerak tubuh) untuk
mewakili orang, objek, dan peristiwa (Piaget & Inheider, 2000).
Menurut Miller (2011), karakteristik utama pada tahap preoperational thought
adalah:
Egocentrism
Egocentrism atau egosentrisme merupakan kecenderungan untuk
mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan diri anak
(Piaget & Inheider, 2000). Hal tersebut menunjukkan bahwa anak belum dapat
membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum dapat melihat
sudut pandang perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).
Rigidity of Thought
Rigidity of thought atau kekakuan berpikir adalah pemikiran yang kurang
fleksibel, dicirikan dengan centration, yaitu kecenderungan anak untuk melihat atau
memikirkan salah satu karakteristik yang menonjol dari objek dan peristiwa serta
mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). Selain itu, pada
tahap preoperational, pemikiran anak dicirikan oleh lack of flexibility, yaitu
kecenderungan untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan
yang berhubungan dengan hal statis tersebut (Miller, 2011). Lebih jauh lagi, pada
tahap preoperational, anak memiliki ciri lack of reversibility, yaitu anak belum
mampu membalik rangkaian peristiwa, perubahan, atau langkah-langkah dalam
penalaran secara mental (Miller, 2011).
Semilogical reasoning
Pada tahap preoperational, anak mencoba untuk menjelaskan peristiwa alam
di kehidupan sehari-hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). Pemikiran
anak sering dihubungkan dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang
logis (Wadsworth, 2004). Anak menjelaskan suatu hubungan dan proses dengan
hal-hal yang semilogis dan belum memahami sebab-akibat.
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
27
dan kesehatan (manfaat dan dampak); (2) food–nutrient links, yaitu hubungan antara
makanan dan kandungan gizi di dalamnya; (3) food preference, yaitu hubungan antara
makanan dan preferensi anak; (4) food quality, yaitu hubungan antara makanan dan dapat
dikonsumsi atau tidak (Hart, Bishop, & Truby, 2002).
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, tipe dan
desain penelitian yang digunakan, kriteria dari partisipan penelitian, instrumen
penelitian yang dipakai, serta prosedur pelaksanaan penelitian dan analisis data.
28
Universitas Indonesia
29
Tipe penelitian kualitatif digunakan pada penelitian ini karena memiliki tujuan
memahami pembentukan konsep dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah.
Penelitian ini juga berguna untuk menggali sebuah topik dan mengarahkan
perkembangan penelitian selanjutnya. Selain itu, sampel yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan anak usia prasekolah sehingga penelitian kualitatif sesuai
digunakan karena mampu merepresentasikan pemahaman konsep tentang makanan pada
anak usia prasekolah secara mendalam. Penelitian kualitatif dapat memberikan
informasi yang lebih jelas dan terperinci mengenai konsep makanan pada anak secara
alamiah serta bagaimana konsep tersebut dapat terbentuk dari lingkungan sosial mereka
(Xu & Jones, 2016).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan tidak dapat digolongkan
pada tipe penelitian kualitatif tertentu. Menurut Santoso dan Royanto (2017), terdapat
penelitian yang tidak termasuk dalam tipe khusus penelitian kualitatif (studi kasus,
etnografi, fenomenologi, dan sebagainya), tetapi memerlukan pendekatan kualitatif
karena bertujuan untuk menggali informasi tentang suatu gejala dari pengalaman,
persepsi, atau kebutuhan partisipan. Hal tersebut dikarenakan penelitian ini berguna
untuk menggambarkan konsep makanan pada anak usia prasekolah berdasarkan teori
perkembangan kognitif Piaget. Penelitian ini kurang tepat digolongkan sebagai studi
kasus karena bukan tergolong kasus yang unik, tetapi memerlukan penjelasan mengenai
konsep makanan berdasarkan sudut pandang anak usia prasekolah. Santoso dan Royanto
(2017) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif digunakan untuk penelitian yang ingin
menggambarkan tentang proses, dinamika, atau penjelasan tentang suatu fenomena
berdasarkan perspektif partisipan.
ekonomi partisipan menengah ke atas, dilihat dari penghasilan orang tua setiap bulan
lebih besar dari upah minimum regional DKI Jakarta (> Rp 3.500.000,00) dan tingkat
pendidikan orang tua (Diploma, S1/S2/S3). Penggolongan status sosial ekonomi juga
diperoleh dari Nielsen (dalam Mulyadi, 2011) yang membuat kategori pengeluaran >
Rp 2.250.000 sebagai status sosial ekonomi menengah ke atas.
Teknik pemilihan partisipan yang digunakan adalah snowball sampling.
Snowball sampling adalah jenis pemilihan partisipan dengan meminta rekomendasi
calon partisipan lainnya yang memenuhi kriteria untuk kepentingan penelitian
(Marshall, 1996). Peneliti membuat survei melalui google form yang dibagikan kepada
orang tua calon partisipan yang sesuai dengan kriteria. Lalu, peneliti meminta orang tua
calon partisipan tersebut untuk menyebarkannya kepada rekannya yang memenuhi
kriteria. Survei tersebut bertujuan untuk menjaring calon partisipan dan meminta
kesediaan menjadi partisipan dalam penelitian. Kemudian, peneliti menghubungi
beberapa orang yang telah mengisi survei untuk membuat janji bertemu dan melakukan
wawancara.
bentuk umum hingga yang lebih khusus. Hal tersebut ditujukan agar membantu
partisipan mengelaborasi jawaban ke pertanyaan yang lebih spesifik.
Selain wawancara, peneliti menggunakan metode observasi untuk merekam hal-
hal khusus yang terjadi pada saat pelaksanaan wawancara. Peneliti juga membuat
catatan observasional tentang apa yang terjadi di lapangan. Terdapat tiga jenis catatan
observasional yang dikemukakan oleh Willig (2013), antara lain: (1) catatan substantif,
yaitu catatan tentang deskripsi latar penelitian, kejadian-kejadian, dan keadaan
partisipan saat diteliti; (2) catatan metodologis, yaitu catatan terkait proses penelitian,
seperti peran partisipan dalam penelitian, hubungan antara partisipan dan peneliti, dan
hambatan yang ditemui saat pelaksanaan penelitian; dan (3) catatan analitis, yaitu
catatan yang merekam tema, hubungan, dan pola yang muncul saat pelaksanaan
penelitian. Dalam penelitian ini, catatan substantif dan catatan metodologis digunakan
oleh peneliti untuk memberikan gambaran partisipan penelitian, sementara catatan
analitis membantu peneliti menganalisis konsep makanan, pembentukan konsep
makanan, dan social experience yang berperan dalam pembentukan konsep makanan
pada anak usia prasekolah.
Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 19, 20, 21 Maret, dan 12 April
2018 di tempat tinggal masing-masing partisipan. Saat kedatangan, peneliti menjelaskan
prosedur penelitian kepada orang tua dari partisipan. Peneliti juga meminta izin untuk
melakukan wawancara dengan anak dan orang tua serta orang terdekat yang juga turut
serta mengasuh anak. Peneliti juga menyerahkan informed consent, parental consent,
dan formulir data demografis kepada orang tua partisipan. Peneliti membangun rapport
dengan orang tua partisipan dengan mengajak berbincang-bincang tentang keseharian
anak dan orang tua. Peneliti mengajak partisipan untuk berkenalan serta memainkan
mainan yang dimiliki dan/atau disukai oleh partisipan.
Pada saat pelaksanaan, peneliti memulainya dengan memberikan informasi
bahwa partisipan akan diberikan serangkaian pertanyaan mengenai makanan, serta
diberitahukan bahwa tidak ada jawaban yang salah dan benar dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan. Partisipan diberikan permainan yang berkaitan dengan
makanan untuk membuat mereka nyaman dan mulai menghasilkan pemikiran terkait
makanan. Permainan tersebut berupa gambar anggur dan/atau wortel serta potongan
kertas origami berwarna. Partisipan diminta untuk menempelkan potongan kertas
38
origami berwarna di atas gambar anggur dan/atau wortel yang diberikan oleh peneliti.
Selain menempel, partisipan juga diperbolehkan untuk mewarnai gambar yang masih
belum terisi potongan kertas origami berwarna.
Peneliti membuka wawancara dengan menanyakan apakah partisipan suka
makan atau tidak. Selanjutnya, peneliti mulai menanyakan 12 item pertanyaan beserta
probing yang terdapat dalam panduan wawancara. Setelah semua pertanyaan terjawab
oleh partisipan, peneliti juga memberikan stik gambar sayuran dan buah-buahan.
Peneliti menanyakan kepada partisipan mengenai nama sayuran dan buah-buahan yang
terdapat dalam gambar untuk mengetahui apakah partisipan mengenal jenis sayuran dan
buah-buahan tersebut. Kemudian, peneliti melanjutkan wawancara dengan orang tua
partisipan dan pengasuh lainnya menggunakan panduan wawancara untuk orang tua.
3.5.3 Analisis Data
Wawancara tersebut direkam, kemudian dituliskan secara penuh (verbatim) pada
transkrip wawancara dan dilanjutkan dengan pengkodean. Selain itu, peneliti melakukan
pengorganisasian data dan analisis individual (intra kasus). Analisis intra kasus
merupakan uraian lengkap dan rinci dari masing-masing partisipan yang berisikan
gambaran partisipan dan temuan penelitian (Santoso & Royanto, 2017). Analisis
individual tersebut kemudian diintegrasikan menjadi analisis antar partisipan (inter
kasus). Analisis inter kasus yang digunakan peneliti adalah dengan melakukan
perbandingan atau constant comparison, yaitu melihat pola kesamaan aspek yang
diteliti antar partisipan (Santoso & Royanto, 2017).
Metode analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah metode analisis
tematik. Metode analisis tematik merupakan metode yang digunakan dengan cara
mengidentifikasi secara sistematis, mengorganisir, dan memberikan pemahaman
berbentuk pola serangkaian makna atau tema antar data, sehingga peneliti dapat melihat
dan memahami pemaknaan kolektif dari partisipan (Braun & Clarke, 2014). Terdapat
dua pendekatan dalam analisis tematik, yaitu pendekatan induktif (bottom-up) dan
pendekatan deduktif (top-down atau theory-driven) (Braun & Clarke, 2014; Willig,
2013). Pendekatan induktif menekankan peneliti membuat kerangka kode dari data yang
telah diperoleh, sedangkan pendekatan deduktif menekankan peneliti membuat
kerangka kode dari teori, konsep, atau ide yang telah ada (Braun & Clarke, 2014).
39
Dari tabel 3.5 dan 3.6, peneliti membuat daftar kode yang digunakan dalam
analisis hasil wawancara dengan anak untuk melihat bagaimana konsep makanan anak
ditinjau dengan teori perkembangan kognitif Piaget, yang dapat dilihat pada tabel 3.7.
Selain memberikan kode pada transkrip wawancara dengan anak, peneliti juga
memberikan kode pada transkrip wawancara dengan orang tua. Pada penjabaran
mengenai pembentukan konsep makanan anak, peneliti membuat kategori dari jawaban
yang muncul dalam transkrip wawancara. Kategori tersebut terdiri dari kebiasaan
makan, cara makan, aktivitas saat makan, jenis makanan yang disukai, aturan makan,
strategi yang dilakukan, pengenalan makanan, dan respon terhadap makanan baru.
Selain itu, peneliti juga mengelompokkan kategori mengenai social experience dalam
pembentukan konsep makanan pada anak dan diberikan kode berdasarkan temuan di
lapangan. Pemberian kode pada wawancara orang tua tersebut dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
44
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai hasil dan analisis penelitian berdasarkan
data yang diperoleh. Penjelasan dari bab ini akan diawali dengan data demografis
partisipan. Kemudian peneliti akan menjabarkan analisis intra kasus, meliputi deskripsi
dari konsep makanan yang dimiliki oleh masing-masing partisipan, pembentukan
konsep makanan, dan social experience dalam pembentukan konsep makanan pada
masing-masing partisipan. Peneliti juga akan menguraikan analisis inter kasus, yaitu
hasil analisis tematik dari keseluruhan partisipan.
45
Universitas Indonesia
46
12.00─16.00. Saat itu, A sedang bermain di karpet ruang keluarga bersama adiknya, E,
yang berusia dua tahun. A adalah seorang anak berusia enam tahun. A bertubuh kurus
dan cukup tinggi untuk anak seusianya. A sedang memakai baju kaus berwarna merah
dan celana pendek selutut berwarna hitam. A adalah anak yang aktif, ditunjukkan
dengan sering berlari sambil membawa mainannya. A bersekolah di salah satu sekolah
Islam Internasional dan berlokasi di Jakarta Timur. A bersekolah pada hari Senin-Jumat,
sejak pukul 08.00 lalu pulang pukul 16.30. A tinggal di rumah bersama ayah, ibu, dan
E, adiknya. Terdapat asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya, tetapi tidak
menetap tinggal bersama.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti berkenalan dengan W, ibu A dan A. A
langsung menanyakan kepada ibunya tentang peneliti. Peneliti juga menjelaskan bahwa
peneliti akan mengajak A bermain dan menanyakan beberapa hal. Peneliti juga
memberikan informed consent dan data demografis untuk diisi oleh W, ibu A, sebagai
persetujuan dilakukannya wawancara. Ketika sedang mengobrol dengan ibu A, A
merengek meminta makan es krim. Awalnya ibu A tidak memperbolehkan, tetapi
kemudian mengambilkan es krim dengan syarat setelah makan es krim, A harus makan
nasi. Selagi A memakan es krimnya, peneliti mengobrol dengan Ibu A tentang A dan
kesehariannya. Setelah A selesai makan es krim, ibu A menyuapi A dan adiknya, E,
makan nasi. Peneliti juga mengajak A dan E bermain lego miliknya serta permainan
bola keranjang dengan kotak mainan. Sesudah A makan nasi, kira-kira pukul 13.30,
peneliti mulai melakukan wawancara dengan A.
Selama proses wawancara, A sangat aktif. A sangat senang bergerak. Tampak ia
sering berlari dari satu ruangan ke ruangan lain sambil memainkan sesuatu. Beberapa
kali atensinya mudah teralihkan pada benda-benda di sekelilingnya. A juga sesekali
mengulangi kata-kata yang telah ia sebutkan. A juga beberapa kali rambling, mengoceh
secara tidak jelas. Di samping itu, A juga sering menyebutkan kata atau kalimat yang
hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, sehingga peneliti harus menanyakan kembali
pertanyaan yang telah diajukan. Hal tersebut menggambarkan karakteristik
preoperational thought, yaitu kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition),
ditandai dengan adanya egocentric speech, yaitu kurangnya komunikasi yang nyata
dengan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).
Universitas Indonesia
47
“(mulai menggambarkan apa yang ia maksud) kalo orang gendut jadi kayak
gini.. Jadi kurus… kalo jadi…. Kalo jadi kayak gini besar bangeeet (sambil
menggambar). Gendut ininya (menggambar kaki kanan), gendut ininya (menggambar
kaki kiri). Ininya gendut (menggambar tangan kanan), ininya gendut (menggambar
tangan kiri). Teruuus palanya besar”. (EKM_SLR) (EKM_ROT_CE)
Universitas Indonesia
48
tubuh, tetapi tidak dapat menjelaskan lebih lanjut tentang proses bagaimana makanan
dapat menyebabkan hal tersebut.
“Makan bisa bikin gak kurus… soalnya makan itu biar gendut.”
(TDM_SR)
A juga melihat bahwa makan memiliki efek bagi perubahan fisik tubuh. A
menilai bahwa ia kurus serta membandingkan dengan tubuh temannya di sekolah yang
lain. Hal tersebut menggambarkan representasi mental yang dimiliki oleh anak usia
prasekolah, yaitu dapat memahami simbol atau kesamaan yang menetap antara objek
atau peristiwa (Miller, 2011). Cara A membandingkan dirinya dengan temannya juga
menggambarkan egocentrism, yaitu cenderung mempersepsi dan menginterpretasi
sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000).
“Apa A kurus tapi kurusnya itu magic. Temennya A juga di kelas ada yang kurus.”
(TDM_EGO)
“Bisa kurus. Gak bisa eek. Eeeh... gak bisa gendut!” (EKM_SR)
“Soalnya gak mau makan.” (EKM_SR)
“Gak mau makan sayur. Maunya makannya coklat.” (EKM_SR)
Universitas Indonesia
49
kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang dimiliki oleh anak usia prasekolah, ditandai
dengan centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek dan
peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). A
hanya melihat orang gendut dari anggota tubuh yang berukuran besar dan tidak melihat
ciri lain orang dapat dikatakan gendut. Selain itu, karakteristik kekakuan berpikir
(rigidity of thought) juga ditunjukkan dengan lack of flexibility, yaitu kecenderungan
untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan yang terjadi (Miller,
2011). A fokus pada tubuh orang gendut yang berukuran besar karena mengonsumsi
banyak makanan, tetapi tidak dapat menjelaskan proses bagaimana makanan dapat
mengubah ukuran tubuh.
“(mulai menggambarkan apa yang ia maksud) kalo orang gendut jadi kayak
gini.. Jadi kurus… kalo jadi…. Kalo jadi kayak gini besar bangeeet (sambil
menggambar). Gendut ininya (menggambar kaki kanan), gendut ininya (menggambar
kaki kiri). Ininya gendut (menggambar tangan kanan), ininya gendut (menggambar
tangan kiri). Teruuus palanya besar”. (EKM_ROT_CE) (EKM_ROT_LF)
“boleh”
“boleh!”
“Bolehhh” (EDT)
“Boleh”
“Soalnya brokoli itu gini” (EDT_ROT_CE)
Universitas Indonesia
50
makan sayur dapat membuat seseorang menjadi gendut seperti balon. A mencoba
menyamakan tubuh orang yang gendut seperti balon berdasarkan kesamaan yang
tampak di antara keduanya. Hal tersebut menunjukkan karakteristik semilogical
reasoning, yaitu anak mencoba menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-hari dalam
hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). A juga menyamakan tubuh orang gendut
seperti raksasa, menunjukkan adanya representasi mental berupa simbol, yaitu
kesamaan yang menetap antara objek atau peristiwa (Miller, 2011). A juga beberapa
kali rambling, menyebutkan kata-kata yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri. Hal
tersebut menunjukkan karakteristik kognisi sosial yang terbatas (limited social
cognition), ditunjukkan dengan egocentric speech, sehingga menyebabkan kurangnya
komunikasi yang nyata dengan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).
Universitas Indonesia
51
“Trus sekali-sekali kaki yang paling parah justru (menunjukkan A memasukkan jari
kaki ke mulut).” (SOC_IBU)
“Trus ada lagi (2 detik) (menirukan A mengupil dan memasukkan kotoran hidungnya ke
mulut) "Mami halo". HAAA AR! (berteriak)”
“Dia innocent banget gitu. Sambil ngomong "ya kan mami. Halo heeh" trus aku sambil
meratiin.”
“Iya dia akhirnya tau bakteri.” (EMT)
A melihat makanan sehat dari warna makanan tersebut, yaitu berwarna hijau,
seperti sayur dan apel. Makanan sehat dilihat dari jenisnya, yaitu buah, seperti pisang
dan melon. A juga melihat makanan sehat dari bentuknya, yaitu pisang yang memiliki
kulit pembungkus sehingga pisang dikatakan sehat. Makanan sehat juga dilihat oleh A
berdasarkan rasa, seperti brokoli, ayam goreng cepat saji dan kentang yang memiliki
rasa enak.
“Kalo yang kaya gini, makanannya warna green (menunjuk gambar).” (MS_ROT_CE)
“Iya makanannya warna green sehat kayak apel.” (MS_ROT_CE)
“Soalnya pisangnya itu, pisangnya itu ada kulit-kulit pisangnya.” (MS_ROT_CE)
“Ayam mcd sehat. Soalnya ayam mcd itu lebih enak.” (MS_ROT_CE)
Dalam memandang ciri-ciri makanan sehat seperti yang telah disebutkan di atas,
A menunjukkan karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang ditunjukkan
Universitas Indonesia
52
melalui ciri centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek
dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000).
A melihat sayur dan apel sebagai makanan sehat dari warnanya, yaitu warna hijau dan
kurang mempertimbangkan karakteristik lain yang juga muncul. A juga hanya melihat
pisang dan melon sebagai makanan sehat dari jenisnya, yaitu buah, serta tidak
memerhatikan ciri makanan sehat yang lainnya. A juga menilai pisang dari kulit
pembungkusnya sehingga dikatakan sehat dan mengabaikan hal-hal lain yang
mencirikan pisang adalah makanan sehat. A juga menilai ayam goreng cepat saji dan
kentang adalah makanan sehat karena memiliki rasa yang enak, tidak melihat dampak
makanan cepat saji bagi kesehatan tubuh.
A juga menilai makanan sehat berasal dari Tuhan, seperti nasi dan pisang yang
dibuat oleh Allah. A bersekolah di sekolah Islam Internasional sehingga pelajaran di
sekolah banyak dikaitkan dengan aspek agama Islam. A mendapatkan informasi bahwa
makanan sehat adalah makanan yang diberikan oleh Tuhan dari pelajaran di sekolah,
sehingga A menambahkan konsep makanan sehat yang telah ia miliki dengan apa yang
diajarkan di sekolah.
Universitas Indonesia
53
A melihat ciri-ciri makanan tidak sehat berdasarkan bentuk dan rasa dari
makanan tersebut. Makanan tidak sehat dilihat dari bentuk, seperti es krim yang mudah
meleleh. A juga menilai makanan tidak sehat dari segi rasa, seperti coklat dan ciki yang
tidak enak. Penjelasan A mengenai ciri-ciri makanan sehat mengenai bentuk dan rasa
menunjukkan karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang ditunjukkan
melalui ciri centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek
dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000).
“dari makan juga dari afalan juga, afalannya tuh suka kayak apa namanya.”
(PM_SM) (PM_SK)
“fun cooking itu buat masak, ini apa terus sayur vegetables ya pokoknya
vegetables day.” (SOC_SK)
“iya dia jadi study tour gitu nanti dia pergi ke kebun singkong, dia ngambil
singkong. Terus dia ada green day-nya juga. Kalo green day itu dia hijau-hijau itu deh
buah sayur. Dan dia presentasi.” (SOC_SK)
Universitas Indonesia
54
“Jadi dia bawa buahnya sama gambarnya trus dia presentasi. Misalnya ini
wortel, wortel ini ngapain dia berwarna apa, untuk apa, itu pasti ada presentasinya di
sekolah.” (JSB) (SOC_SK)
Universitas Indonesia
55
“Nanti jam tiga mereka snack time. Setengah empat pulang.” (KM_PAM)
“Malem makan. Malem makan jam setengah delapanan jam delapan.” (KM_PAM)
A makan dengan cara disuapi oleh ibunya. Biasanya A makan sambil menonton
tv atau memainkan mainan yang ia miliki bersama adiknya, E. Porsi makan A tidak
terlalu banyak dalam sehari-hari. Selain itu, nafsu makan A juga tergantung mood,
apakah pada saat itu A sedang ingin makan atau tidak. Jika sedang tidak mau makan, A
tidak akan makan apapun sama sekali.
“Disuapin” (CM_DS)
“Kalo A… A masih suka sambil nonton sambil main lego” (AK_MT) (AK_BM)
“He em kayak tadi sambil main” (AK_BM)
“Kalo sekali makan. Kayak tadi segitu aja gak banyak” (KM_POM)
“Engga. Gak banyak” (KM_POM)
“Mood mood-an” (KM_NM)
“Buah dia makan tapi dia picky…kayak apel dia gak mau. Pir, dia gak mau. Tapi kalo
dikasih buah naga, sukaaa banget. Satu naga setengah naga dihabisin sama dia mau.”
(JM_TK)
“Hmm gak tau juga. Mungkin karena apel bertekstur” (JM_TK)
“Dia.. Dia typical-nya gak bisa lauk banyak. Nih aku banyakin nih potongan ayam,
nasinya dikit. Ntar jadi gumpal gak ketelen-telen. (menirukan) "A, aa'(menyuruh A
membuka mulut untuk makan)" "mmm" "A, aa'" "mm" "buang!" hahaha.” (JM_TK)
“Dia gak suka sesuatu yang terlalu apa.. Ampas ya itu. Susah di cc.. Telan.”
“Iyaiya dia males ngunyah hahaha.” (JM_TK)
“Iya kan tempe gitu suka.” (JM_TK)
Universitas Indonesia
56
“Makanya aku… apa karena dia makan bubur sampe satu tahun lebih ya. Atau ada
ngaruhnya itu. Dia tuh makan bubur lama. Dia ketemu nasi lama satu tahun tujuh
bulan dia baru makan nasi. Satu tahun ke atas tuh masih bu.. bubur kasar” (JM_TK)
Berkaitan dengan konsep A mengenai makanan tidak sehat, terdapat proses yang
melatarbelakangi hal tersebut. A menyebutkan bahwa makanan tidak sehat adalah ciki,
permen, dan mie instan. A mengetahui ciki adalah makanan tidak sehat karena W, ibu
A, mengatakan bahwa ia telah membiasakan A untuk tidak makan ciki sejak kecil,
sehingga A tidak menyukai ciki. A lebih menyukai jajanan lain, seperti olahan coklat,
minuman susu, minuman teh, atau yoghurt. Dari pembiasaan W, A memiliki skema
bahwa ciki adalah makanan tidak sehat. Selain itu, W juga menuturkan bahwa A juga
diajarkan di sekolah bahwa ciki adalah makanan tidak sehat. Dari informasi yang
didapat oleh ibunya dan sekolah, A mengetahui bahwa ciki adalah makanan tidak sehat.
“He eh. Kalo ciki emang dia gak suka. Dia kalo setiap dia ke indomaret yang diambil
adalah yang kayak gitu. Sama minuman susu atau minuman teh atau yoghurt.”
(JM_RS)
“Sudah terbentuknya dari kec… oh aku kan agak strict ya. Dia waktu pas di bawah
umur dua tahun emang aku belum ngenalin dia” (SOC_IBU)
“Terus di sekolahnya juga diajarin.” (SOC_SK)
A juga mengetahui permen adalah makanan tidak sehat dari ibunya dan sekolah.
W, ibu A, melarang A untuk makan permen, terutama permen kenyal, karena A selalu
radang tenggorokan setiap makan permen. Sekolah A juga memiliki peraturan yang
melarang A membawa permen karena merupakan makanan tidak sehat.
“Karena kan… makanya aku gak ngebolehin dia makan yupi.” (AT_JM)
“Gak boleh makan emm emm yang pasti banget sih yupi. Setiap makan yupi… dia
radang. Makanya dia bilang gak boleh” (AT_JM) (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
57
“Cuma kalo sekolah melarang tidak boleh membawa indomie, ciki, permen itu gak
boleh dari sekolah.” (AT_JM) (SOC_SK)
Selain itu, makanan tidak sehat lainnya yang diketahui oleh A adalah mie instan
dan minuman bersoda. A tidak dibiasakan makan mie instan oleh W, ibu A sehingga ia
tidak menyukai mie instan. A juga mengetahui bahwa mie instan adalah makanan tidak
sehat dari sekolah. Sekolah A juga mengajarkan bahwa kemasan mie instan dan bentuk
botol minuman bersoda adalah contoh dari makanan dan minuman yang tidak sehat.
Pemberian informasi dari ibu A dan sekolah A menghasilkan konsep bahwa mie instan
dan minuman bersoda adalah makanan tidak sehat.
“Kaya tadi, harusnya dia kan gak boleh makan es krim sebelum makan, karena itu
harusnya kan dessert. Kalo gak ada tamu mah tetep strict” (SD_BR)
“Ga mami gak mau, satu suara aja.” (SD_BR)
“Ya kaya tadi "tapi nanti nasinya abis ya", "makannnya cepet"” (SD_BR)
“Iya karena dia suka banget anaknya. Kalo dia nanti makan gak abis lagi yaudah kasih
apa gitu, apa yaudah gak boleh makan es krim berapa hari. Pokoknya dibuat aja, jadi
undang undang dasarnya dibuat aja” (SD_BR)
“Apa hukumnya bisa berubah sewaktu-waktu” (SD_BR)
Universitas Indonesia
58
“Dia susah, "ayo cobain A " "Engga itu apa" (memeragakan saat dirinya berusaha
mengenalkan makanan baru pada A ) terus eee diteliti dulu sama dia, (menirukan
ucapan A) "itu apa itu apa itu apa. Ih gak mau ah gak mau"” (MB_JM) (MB_AN)
“Dianalisa tuh sama dia. Kayak spageti gitu eeeh kalo ku kasih ke mie gitu dia kurang
suka. Kalo ku kasih dagingnya ke nasi dia makan hahahah.” (SD_BR)
“iya dari tante, paling nanya doang dan yang pasti stok makanannya ya muter-muter,
kalo ga daging, rendang atau ke empal atau ke dendeng atau ke sop daging atau
ayam...ayam goreng. Terus tapi dia juga suka seafood sih kayak udang, dia cumi
makan, walaupun dia gatau cumi kayak gimana, kalo udang tau kan. Dia suka sapo
tahu kan yang di solaria itu tuh, nah aku belajar buat itu makan.” (SOC_IBU)
Ibu A juga menyiapkan menu makanan untuk bekal yang dibawa A ke sekolah,
terdiri dari nasi, lauk, dan sayur. Lauk yang disiapkan biasanya yang mudah dimasak,
misalnya nugget, ayam, atau telur. Sayur yang dimasak biasanya lebih banyak tumisan
dan direbus, seperti sawi putih, buncis, atau wortel dan toge. Makanan ringan yang
dibawa sebagai bekal ke sekolah adalah sereal, roti, wafer, dan kue.
“Aku biasanya rebus-rebus doang kadang sawi direbus, sawi putih rebus, terus buncis
direbus doang kalo aku lagi males pagi. Kan tergantung ibunya ya.” (SOC_IBU)
“Haha kalo lagi ada sayur gitu kayak tofu gituu atauuu ditumis-tumis atau sop aku
bawain juga.” (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
59
Ibu A menemani dan menyuapi A makan setiap hari sambil menonton televisi
atau bermain lego. Ibu A mengenalkan makanan dan memberikan informasi terkait
makanan pada saat sedang makan, yaitu menjelaskan pentingnya makan sayur dari
pengalaman A yang sulit buang air besar. Frekuensi keterlibatan orang tua melakukan
percakapan dengan anak juga turut mendukung dan meluaskan pemahaman anak
mengenai beragam konsep tentang dunia, Anak yang secara aktif melakukan
pembicaraan dengan orang tua mengenai makanan akan menambah pemahaman konsep
yang mereka miliki mengenai makanan (Gunderson & Levine, 2011).
Kebiasaan makan A terbentuk oleh Ibu A pada waktu masih kecil, seperti tidak
terlalu suka makanan yang bertekstur karena biasa memakan bubur hingga usia dua
tahun. Selain itu, Nenek A juga berpengaruh dalam kebiasaan makan A terutama hingga
A berusia dua tahun saat Ibu A masih bekerja, sehingga pola makan A teratur.
“Sama neneknya, dia gede sama nenek sampe dua tahun, anak nenek, jadi makannya
pun juga nenek, teratur kan, kalo ini (E) ga teratur.” (SOC_NN)
“Kalo ngga aku, papanya. Tapi kalo dua-duanya gak ada, mbaknya. Tapi jarang
mbaknya. Kalo.. Kalo gak aku, papanya”
(SOC_AY)
Selain orang tua dan nenek, sekolah juga berperan besar dalam pembentukan
konsep makanan pada A. Di sekolah A terdapat jadwal makan makanan ringan pada
pagi hari pukul 09.30 (snack time pagi), makan siang pukul 12.00, dan makan makanan
ringan pada sore hari (snack time sore) pada pukul 15.00 setelah tidur siang, sehingga A
Universitas Indonesia
60
memiliki jadwal makan yang teratur. Makanan ringan di sore hari juga disediakan oleh
sekolah dan tidak dibawakan dari rumah.
“Terus baru dia minum vitamin nanti di sekolah jam setengah sepuluh baru dia eeee
snack time.” (SOC_SK)
“Iya ada time-nya... jam sembilan tiga puluh mereka makan snack.” (SOC_SK)
“A kalo abis lunch, lunch di sekolah abis itu baru langsung bobo siang ya. Iya. Berarti
jam setengah dua. Jam satu setengah dua.” (SOC_SK)
“Nanti jam tiga mereka snack time.” (SOC_SK)
“Aa engga, snack-nya satu. Kalo yang sore dari sekolah.” (SOC_SK)
Di sekolah A juga terdapat larangan untuk membawa mie instan, ciki, dan
permen karena makanan tersebut adalah makanan tidak sehat. Selain itu, di sekolah A
juga diajarkan tentang makanan tidak sehat melalui bentuk dan kemasan, seperti ciki,
minuman bersoda, dan mie instan. Sekolah A memiliki beberapa program terkait
mengenalkan makanan, misalnya fun cooking, vegetables day, dan green day. Terdapat
pula program study tour, berwisata ke kebun lalu dikenalkan jenis umbi yang berada di
kebun tersebut. Di program green day, anak-anak mempresentasikan buah dan sayur
serta gambarnya, seperti jenisnya, warnanya, dan manfaatnya. Dari kegiatan tersebut, A
mengetahui bentuk serta jenis sayur dan buah melalui hafalan di sekolah saat akan
melakukan presentasi.
“Cuma kalo sekolah melarang tidak boleh membawa indomie, ciki, permen itu gak
boleh dari sekolah.” (SOC_SK)
“Terus di sekolahnya juga diajarin. Bentuk botol coca cola itu gak sehat. Bentuk
indomie tuh gak sehat. Dia gak suka mie.” (SOC_SK)
“dari makan juga dari afalan juga, afalannya tuh suka kayak apa namanya.”
(SOC_SK)
“fun cooking itu buat masak, ini apa terus sayur vegetables ya pokoknya vegetables
day.”
“iya dia jadi study tour gitu nanti dia pergi ke kebun singkong, dia ngambil singkong.
Terus dia ada green day-nya juga. Kalo green day itu dia hijau-hijau itu deh buah
sayur. Dan dia presentasi.” (SOC_SK)
“Jadi dia bawa buahnya sama gambarnya trus dia presentasi. Misalnya ini wortel,
wortel ini ngapain dia berwarna apa, untuk apa, itu pasti ada presentasinya di
sekolah.” (SOC_SK)
Universitas Indonesia
61
Universitas Indonesia
62
Universitas Indonesia
63
Universitas Indonesia
64
Masih berkaitan dengan efek dari kuantitas makanan, B juga mulai mengetahui
akibat dari makan makanan dengan jumlah yang banyak. Menurut B, ciki adalah
makanan tidak sehat karena dimakan terlalu banyak. B melihat ciki adalah makanan
tidak sehat dari jumlah ciki yang dikonsumsi seseorang, menunjukkan karakteristik
rigidity of thought, yaitu centration, hanya melihat ciri yang menonjol dari objek (Piaget
& Inheider, 2000). B juga memahami bahwa makanan tidak boleh dimakan berlebihan.
B menyatakan bahwa bayam boleh dimakan setiap hari asal tidak terlalu banyak. B juga
menyebutkan bahwa makan melon terlalu banyak tidak diperbolehkan karena bisa
dibuang. Ketika menjawab hal tersebut, B merefleksikan pengalamannya saat makan
Universitas Indonesia
65
Universitas Indonesia
66
Selain itu, B juga melihat ciri makanan sehat berdasarkan warna dan rasa.
Misalnya, pisang sehat karena berwarna kuning dan jeruk sehat karena memiliki rasa
yang enak. Kedua jawaban tersebut menunjukkan karakteristik rigidity of thought, yaitu
centration. Anak cenderung untuk melihat karakteristik yang menonjol dari suatu objek
dan mengabaikan karakteristik lainnya (Piaget & Inheider, 2000). B melihat makanan
sehat dari warna dan rasa buah dibandingkan dengan hal lain yang menjadikan buah
adalah makanan sehat.
“suntiiiik” (MTS_SR)
“takuuut” (MTS_SR)
“heeee, kalo disuntik disuntik”
“heeeh”
“kalo makan mie kalo dari duluu” (MTS_SR)
“tadi kan makanan ga punya gigi” (MTS_SR)
“Ciki nakal, penyakit” (MTS_SR)
“Kan terus makannya banyak” (MTS_SR)
“ituuuu bisa sakit awawwuaa” (MTS_SR)
Universitas Indonesia
67
Hal tersebut dipengaruhi oleh ibunya yang jarang mengenalkan makanan pada B
saat makan dengan gambar. B juga kurang tertarik mengenal makanan dari media
karena ia tidak suka makan. Ditambah lagi, di sekolah juga hanya diajarkan mengenai
lagu sayuran dan buah-buahan, tetapi tidak ditunjukkan bentuk asli dari sayuran dan
buah-buahan tersebut.
Universitas Indonesia
68
“ (menyanyi) "Sayur wortel, bayam kangkung" bayam kangkung. Apa ya mungkin kaya
(menyanyi) "banana banana, tomato"”
B
“Duaaa” (KM_PAM)
“Eeeee(asyik bermain)”
“Iyaaa (pagi)” (KM_PAM)
“Iyaaa (siang)” (KM_PAM)
X
“Ya tiga kali (bicara pelan)” (KM_PAM)
“Tiga kali (mengencangkan suaranya). Jarang-jarang sih.. Kalo pagi, siang, sore atau
malem gitu kalo ada jajanan” (KM_PAM)
“Pagi sama siang” (KM_PAM)
B makan dengan cara disuapi oleh ibunya atau neneknya yang biasa
menemaninya makan. Namun, B biasa makan sendiri ketika disuguhkan jenis makanan
tertentu, misalnya ayam goreng, nugget, atau telur. Cara makan yang dimiliki oleh B
menunjukkan bahwa B mengelompokkan jenis makanan apa saja yang dapat dimakan
sendiri olehnya dan tidak perlu disuapi oleh ibu atau neneknya.
B
“Disuapin” (CM_DS)
“Sama Ummi” (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
69
Kebiasaan makan B yang lain adalah porsi makannya tidak terlalu banyak, yaitu
hanya setengah centong. B juga makan dengan cara diambilkan oleh ibu atau neneknya
karena belum bisa mengambil makanannya sendiri. Di samping itu, menurut N, nenek
B, B memiliki nafsu makan yang kurang, sedangkan menurut X, ibu B, nafsu makan B
tergolong sedang, tergantung apakah B sedang mau makan atau tidak. Walaupun begitu,
B tidak meminum obat penambah nafsu makan, hanya diberikan vitamin yang
berbentuk sirup oleh ibunya.
“Kurang” (KM_NM)
“Sedang-sedang aja sih sebenernya. Kalo lagi mau, mau” (KM_NM)
“Tapi kalo B gak pake obat penambah nafsu makan cuma kayak curcuma aja kan
sehari sekali” (KM_NM)
“Kan sehari sekali jarang-jarang juga”
X
“Sukanya manis tuh” (JM_RS)
“Iya dua duanya suka manis” (JM_RS)
“Iya dia sukanya dodol” (JM_RS)
“Pokoknya yang kayak martabak manis seneng nih dua duanya nih” (JM_RS)
“Karena mungkin orang jawa kali”
Universitas Indonesia
70
“Kalo yang gara-gara aku… apa ya… yaaa adat sunda kali ya. Saya suka pedes, dia
suka pedes” (JM_RS)
“Rujak.. Dia suka. Gak banyak sih paling dicocol dikit”
“Iya”
“Doyan dia doyan”
“Doyan”
“Iya dia makan ikan dicabein” (JM_RS)
“Tadinya gak suka pedes. Aku suka pedes” (JM_RS)
“Masih dimakan. Cuma kalo ngeliat sambel pedes bukannya takut atau gimana gitu.
(menirukan ucapan B) "ummi jilat dulu. Dijilat dulu ummi" jadi masih ada sisa-sisanya.
Ya biar gak terlalu pedes gitu kan” (JM_RS)
O
“Nih misalnya beli nasi goreng pedes” (JM_RS)
“Beli nasi goreng pedes dimakan” (JM_RS)
“Mau mau dia”
“Kasih B katanya”
Selain jenis makanan yang disukai, terdapat beberapa jenis makanan yang tidak
disukai oleh B. B tidak menyukai daging-dagingan, terutama daging sapi. Daging ayam
dan daging ikan masih disukai oleh B. Menurut X, B tidak menyukai daging sapi karena
teksturnya yang sedikit keras sehingga B tidak dapat mengunyah dan melumatnya. B
juga tidak terlalu suka sayuran yang lain, seperti wortel, brokoli, atau buncis.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh X, B mengelompokkan makanan manis dan
sedikit pedas sebagai makanan yang ia sukai. Selain itu, B juga telah membentuk skema
bahwa ia menyukai makanan yang bertekstur empuk, seperti daging ayam dan ikan,
sehingga ia tidak menyukai daging sapi yang bertekstur sedikit keras.
Pada saat makan, B juga melakukan kegiatan yang lain, seperti menonton
televisi dan bermain. X menuturkan bahwa ia biasa menyuapi B sambil bermain di
dalam rumah. Terkadang, sesekali X juga menyuapi B makan sambil main di luar,
walaupun saat ini Judah jarang dilakukan. Begitu pula ketika makan bersama N,
Universitas Indonesia
71
X
“Iyaa sambil main” (AK_BM)
“Sambil main dia. Mainan yang kayak gitu ya mainan yang dia biasa aja” (AK_BM)
“Kalo bisa sih sambil main di luar cuma kadang udah gak bisa tuh dia jadi di rumah
aja” (AK_BM)
“Apalagi dia… He eh. Sambil nonton tv. Jarang banget sih dia yang makan fokus
sendiri”
“Sambil ngobrol sama kita bareng” (AK_MT)
“Iyaa diajakin, "ayok ayok makan yuk" sambil nonton tv nah aku di sampingnya aku
juga makan. Dia pakai piring sendiri dia” (AK_MT)
N
“Sambil main” (AK_BM)
“Iya mainannn itu mainan apa” (AK_BM)
“Lego” (AK_BM)
“Heeh sambil disampingnya disuapin” (AK_BM)
Universitas Indonesia
72
“Nah B kalo disuru baca doa dulu, baca paham baca doa dulu iya gitu bisa baca”
(AT_CM)
“Nurut dia nurut, kalo untuk seumuran dia” (AT_CM)
“Ga ngebantah kalo dia, aduuh jangan sampe dah”
Dalam membuat B menaati aturan saat makan, terdapat beberapa strategi yang
dilakukan oleh X. Ketika B tidak mau makan, X membuatkan makanan kesukaan B,
yaitu bubur sumsum gula merah atau bubur kacang hijau. X juga mengingatkan B ketika
ia tidak mau menghabiskan makanannya. X juga menerapkan pemberian hadiah
(reward) dan hukuman (punishment). Apabila B makan dengan baik, maka X akan
menuruti keinginan B, sedangkan apabila B makan dengan buruk, ia akan menegur B. B
tidak suka bila ia ditegur oleh ibunya, sehingga ia akan langsung marah dan semakin
tidak menaati aturan.
X
“Kalo dia lagi gak mau makan banget biasanya saya bikin bubur sumsum” (SD_BR)
“Iya. Dia pasti mau. Bubur sumsum pake gula merah” (SD_BR)
“Iyaa atau kacang hijau” (SD_BR)
“Sukaa. Doyan teh manis” (SD_BR)
“Ya iya dimarahin, "Kalo 'Aa ga mau gapapa gausah dimakan, sayang" (kata X ke B)”
(SD_BR)
“Iya diingetin” (SD_BR)
“Engga hahaha, tapi kadang engga sih dimakan juga” (SD_BR)
“Reward dan punishment ya” (SD_RP)
“Pastinya, kalo dia melakukan hal yang baik aku turuti kalo misalnya dia melakukan
sesuatu yang buruk yaa aku kasih tau dulu, tapi dia waktu dikasih tau dia udah ngerasa
teromeli walaupun ga dikasih tau, jadi kayak eeee ini "Aa ko ini sepatunya dibawa ke
rumah"” (SD_RP)
“Dia langsung marah, ngambek padahal aku belum ngomelin” (SD_RP)
“Tapi kadang kejem banget sih dia kadang sensitif juga hatinya kalo sampe belum
diomelin aja udah kayak gitu” (SD_RP)
“Dia lebih sering kalo misalnya di omelin nih makin kejer makin ngebangkang”
(SD_RP)
Anggota keluarga yang lain juga ikut melakukan strategi agar B menuruti aturan
yang diberlakukan oleh orang tuanya. O, kakek B, juga ikut membujuk B untuk
menghabiskan makanannya dengan cara berpura-pura mengambil makanan yang tidak
mau dimakan oleh B. Menurut O, biasanya B akan langsung mencoba menghabiskan
makanannya agar tidak diambil oleh dirinya.
Universitas Indonesia
73
O
“Eh ditakut-takutin ini, "eh bapak ambil nih makanannya" kalo makanannya diambil
bapak gitu biasanya mau. Itu sih J” (SD_BR)
“"B, nih kasih Abah nih ya" (menirukan ucapan untuk membujuk B makan) kan
akhirnya dia mau” (SD_BR)
“Kan gitu, "kasih Abah". "Sini dihabisin sama Abah"” (SD_BR)
“Itu caranya juga. Kayak tadi nih makannya dikasi.. Dikasih dedek” (SD_BR)
Dari aturan saat makan dan strategi yang dilakukan oleh X beserta anggota
keluarga lainnya, terbentuk skema yang dimiliki oleh B tentang apa yang harus ia
lakukan saat makan. B mengetahui bahwa ia harus membaca doa sebelum makan, lalu
makan dengan duduk dan menggunakan tangan kanan. B juga harus berusaha
menghabiskan makanan yang sedang dimakan. Jika ia menaati aturan tersebut, ia akan
mendapat hadiah. Sebaliknya, jika ia melanggar aturan tersebut, ia bisa mendapat
hukuman.
B mendapatkan informasi mengenai jenis makanan karena dikenalkan oleh X,
ibunya. X suka memberitahu tentang makanan yang dimasak kepada B. X mengenalkan
makanan dengan cara menyiasatinya menggunakan bentuk makanan yang sedang
diolahnya, misalnya jamur atau cumi. X juga mengenalkan jenis sayuran saat sedang
bermain dengan menggunakan gambar. Informasi mengenai jenis makanan yang
dimiliki B diperoleh melalui diperoleh melalui social experience, yaitu pertukaran ide
antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011), yakni B dan ibunya.
X
“Kan pas kita masak baru kita kasih tau, ini apaa, kayak jamur ya, kaya tumis jamur
"ini enak A jamur"” (PM_SM)
“Tapi dia masih belum mau makan jamur” (PM_SM)
“Kayak cumii”
“Yang gurih gurih senengnya”
“"Ini A cumi", lama lama dia suka, cumi yang asin itu ya” (PM_SM)
“Iyaaa, jadi kalo makanan nyiasatinnya dari masakan yang baru” (PM_SM)
“Ga dari gambar sih” (PM_SM)
“Oh udah, bentuknya kan suka.. suka di panjangin” (PM_SM)
“Iya dikasih tau, "bikin apa mih?" "cilok" "oh cilok"” (PM_SM)
“Enggak jarang sih, paling kalo ngenalin sayur-sayur gitu...lagi main aja. Kalo ada
gambar "A ini apa A?"”
“Kalo lagi makan kayanya ini kayanya jarang juga ya”
“Di bawa keluar anaknya, sambil maen-maen”
Universitas Indonesia
74
X
“Tentang sayuran? Dari gambar,tv,handphone. Tapi B kalo tentang makanan emang
dia sih jujur gak terlalu… menarik banyak soal makanan itu. Karena dari itu, mungkin
karena dia gak suka makan jadi dia gak suka” (PM_MD)
“Diajarin kaya lagu-lagunya itu” (PM_SK)
“ (menyanyi) "Sayur wortel, bayam kangkung" bayam kangkung. Apa ya mungkin kaya
(menyanyi) "banana banana, tomato"” (PM_SK)
N
“Iya”
“Iya "ini tempe" "ini apa ini?" "wortel". "Ini apa nih yang panjang?" "buncis"”
(PM_SM)
“Eeee ya itu dia tuh. Kalo makanan baru kayak misalnya contohnya ini ya hmm pernah
baru apa tuh namanya” (MB_MC)
“Yang ada macaroni”
“Yang ada makaroni, keju, susu”
“Cheese schotel”
“Iya schotel kan pernah makanan baru tuh. Tetangga bikin terus aku bawa pulang,
mau”“Tapi kalo makanan baru banget yang eeee emang beda-beda deh kadang mau
kadang engga” (MB_MC)
“Setelah dia ngerasain” (MB_AN)
“Iya. Pasti dia ngerasain dulu gimana. Kalo dia rasa gak enak, engga” (MB_AN)
“Masih. Kalo enak ya dia terusin” (MB_MC)
Universitas Indonesia
75
berperan menemani makan B hampir setiap hari bila ia tidak sedang dinas di rumah
sakit karena X bekerja sebagai seorang perawat. Pada saat libur dan tidak bekerja serta
mendapat jadwal dinas malam hari, X dapat menemani makan selama seharian penuh.
Namun, saat mendapat jadwal dinas pagi atau siang hari, X hanya dapat menemani B
makan satu sampai dua kali dalam sehari. X biasa menyuapi B sambil menonton televisi
atau bermain mainan yang dimiliki oleh B.
“Aku sama Nenek, ibuku. Pokoknya sih hampir semua ya kecuali abah kalo abah kan
ini ya.. Sakit (stroke). Dulu mah sebelum sakit juga sama abah” (SOC_IBU)
(SOC_NN)
“Kalo lagi gak kerja haha” (SOC_IBU)
“Kalo aku liburnya gak selalu Sabtu Minggu.. Terus aku dinesnya kebanyakan siang
biar bisa nemenin dia berangkat sekolah masih.. Masih makan… Jadi palingan satu
kali atau dua kali (dalam sehari) itu aku nemenin dia makan” (SOC_IBU)
“Setiap hari. Kalo siang sama dines malam. Kalo dines malam malah enak aku bisa
seharian” (SOC_IBU)
“Palingan kan gak nemenin tidur” (SOC_IBU)
“Iyaa. Hampir setiap hari” (SOC_IBU)
“Masak sering, jarang beli, Beli tuh kalo misalnya aku dines pagi ya” (SOC_IBU)
“Apa ya? Kayak misalnya tadi mamah keluar”
“Pokoknya yang ga sempet, tapi seringnya kita masak ya, kalo ga sempet baru beli”
“Ya kalo dines siang bisa masak, kalo dines pagi ga sempet cape” (SOC_IBU)
“Aku biasanya bikin nasi, atau kalo cuma telor goreng, telor goreng..... karena dia
pada ngikut kedapur” (SOC_IBU)
“Ga juga, kalo ditanya belum ini siih” (SOC_IBU)
“Kadang jawab kadang engga” (SOC_IBU)
“Kalo ditanya dia? pengen emie atau sosis”
“Iya jadi aku tau sendiri” (SOC_IBU)
“Engga, dia kan mungkin ada beberapa makanan yang dia belum tau” (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
76
“Karena mungkin aku sedikitnya tau ya tentang makanan yang bagus sama yang
engga” (SOC_IBU)
“Eeeeh dari malemnya” (SOC_IBU)
“Kayak tadi aja besok mau masak apa ya, udah lah besok ini aja” (SOC_IBU)
“Tapi kadang hari Hnya baruuuuu mikir mau bikin apa, kayak gitu sih” (SOC_IBU)
“Anak anak, ga kita sih lebih ke anak, dia mau makan apa”
“Biar bisa dimakan anak anak” (SOC_IBU)
“Ibaratnya orang dewasa mah makan apa aja ya yang penting bisa dimakan”
“Kalo anak belum tentu dimakan, intinya anak anak makan jadinya harus bisa dimakan
apa engga sama anak” (SOC_IBU)
“Iya yang dia suka” (SOC_IBU)
“Di tukang sayur, ke pasar biasanya” (SOC_IBU)
“Di munjul biasanya deket dari rumah, deket naik sekali angkot doang”
“Terus kalo orang kan kadang suka dikasih obat buat nafsu makan gitu kan ya. Biar
aja biarin alami aja” (SOC_IBU)
“Yang penting berat badannya di atas garis hijau aja. Kalo di bawah garis hijau baru”
(SOC_IBU)
“Yang penting dia sehat, gesit, pertumbuhannya pas” (SOC_IBU)
“Nah kalo sosis doyan tapi harus aku batesin kan pengawet” (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
77
“Kalo yang gara-gara aku… apa ya… yaaa adat sunda kali ya. Saya suka pedes, dia
suka pedes” (SOC_IBU)
“Tadinya gak suka pedes. Aku suka pedes” (SOC_IBU)
“Kan pas kita masak baru kita kasih tau, ini apaa, kayak jamur ya, kaya tumis jamur
"ini enak A jamur"” (SOC_IBU)
“Kayak cumii” (SOC_IBU)
“"Ini A cumi", lama lama dia suka, cumi yang asin itu ya” (SOC_IBU)
“Iyaaa, jadi kalo makanan nyiasatinnya dari masakan yang baru” (SOC_IBU)
“Oh udah, bentuknya kan suka.. suka di panjangin” (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
78
“Heeh tapi jarang tapi kalo yang lain mah engga” (SOC_IBU)
“Heeh, engga takut” (SOC_IBU)
“Iya dikasih tau, "bikin apa mih?" "cilok" "oh cilok"” (SOC_IBU)
“Kadang dia nawar, "mih kita bikin cilok yuk mih"” (SOC_IBU)
“Bikin kolak kan sambil” (SOC_IBU)
“Atau bikin ager dia, "ayo a' taro cetakannya di apa?" "di nampan"” (SOC_IBU)
“Nanti dia taroin terus di masukin ke kulkas gitu” (SOC_IBU)
“Mama (Nenek B) sama aku. Jadi kalo makan.. Dikit-dikit makannya tapi ngemil. Jadi
kalo makan tuh dikiit banget nanti makan lagi, dua jam tiga jam” (SOC_IBU)
“Seriiing (jajan)”
“Permen si B mah”
“Seringnya permen”
“Ditemenin biasanya”
“Nenek atau aku” (SOC_IBU) (SOC_NN)
“Engga, kalo kita beli baru beli” (SOC_IBU)
“Kalo dia mau, dia nawar”
“"Umi aku pengen batagor, kan gituu" (X mencontohkan B ketika meminta jajanan)”
(SOC_IBU)
“Kadang”
“"Umiiii aku pengen sotoo" (mencontohkan B ketika meminta makanan)” (SOC_IBU)
“Di sebelah rumah ada soto”
“Aku pengen sotooo, ya udah deeh ya”
“Sotonya ga dimakan yang dimakan cuma nasi sama aerr”
Selain ibu, pihak lain yang juga paling berperan dalam pembentukan konsep
makanan B adalah N, neneknya. N, nenek B, biasa menemani B makan ketika ibunya
sedang pergi bekerja. N menuturkan bahwa ia sering menyuapi B ketika makan sehari-
hari. N biasa menyuapi B sambil bermain permainan lego.
B
“Disuapin”
“Sama Ummi” (SOC_IBU)
Universitas Indonesia
79
Dalam hal penyiapan makanan, N yang lebih banyak memasak menu makanan
yang dikonsumsi oleh B dan keluarga, terutama makanan pokok. N, nenek B, biasa
membuat berbagai jenis masakan, seperti sayur atau opor ayam. N juga selalu
menghidangkan kerupuk karena B sangat suka dengan kerupuk, apalagi ketika dicampur
dengan makanan yang B kurang sukai. N juga yang berperan membeli bahan makanan
di pasar.
X
“Banyak Nenek hahaha, Nenek yang gesit aku megangin bocah dua aja” (SOC_NN)
“Padahal yang ngurusin Neneknya kalo kata orang sini mah, niniknya yang gesit,
orang ibunya perawat” (SOC_NN)
“Makanan pokoknya… Neneknya” (SOC_NN)
N
“Kadang gituu”
“Kadang buat opor ayam, sayur gitu, pastinya kalo ada sayur suka dia, pasti kalo ada
sayur ada kruu(puk)” (SOC_NN)
“Misalkan nenek beli di sragen (pasar) terus di kulkas naro apa diumpetin ke bawah
gitu. Kalo gak diumpetin udah abis” (SOC_NN)
“Iya”
Universitas Indonesia
80
“Iya "ini tempe" "ini apa ini?" "wortel". "Ini apa nih yang panjang?" "buncis"”
(SOC_NN)
“Itu kalo ada tempe ditaro di kulkas diumpetin” (SOC_NN)
“Diambilin diiris-iris diacak-acak” (SOC_NN)
“Kalo ada sayuran apa …” (SOC_NN)
“Abis ama B mah diiris-iris” (SOC_NN)
“Misalkan nenek beli di sragen (pasar) terus di kulkas naro apa diumpetin ke bawah
gitu. Kalo gak diumpetin udah abis” (SOC_NN)
“Dia motongin sendiri pake pisau” (SOC_NN)
“Bisa… Pisau yang itu pisau plastik”
“Ehh itu mah dia bisa. Dagang bakso ceritanya” (SOC_NN)
X
“Iya. Mama (Nenek B)” (SOC_NN)
“Mama (Nenek B) sama aku. Jadi kalo makan.. Dikit-dikit makannya tapi ngemil. Jadi
kalo makan tuh dikiit banget nanti makan lagi, dua jam tiga jam” (SOC_NN)
(SOC_IBU)
“Seriiing” (SOC_NN)
“Permen si B mah”
“Seringnya permen”
“Ditemenin biasanya”
“Nenek atau aku” (SOC_NN)
N
“Jajannya sekalian banyak” (SOC_NN)
“Engga, sekali doang biasanya sama mamah, "Nek punya apa?" (B biasa meminta
makanan ringan ke Neneknya)” (SOC_NN)
B
“(sama nenek) dikasih kue” (SOC_NN)
“Kue…. Kue bagus”
“Kue… rasanya enak”
Anggota keluarga lain yang tinggal bersama B di rumah juga ikut berperan.
Ayah B, misalnya, memengaruhi B dalam jenis makanan yang tidak disukai oleh B.
Ayah B tidak menyukai daun bawang dan sayur yang berkuah. B juga tidak menyukai
kedua makanan tersebut. B langsung tidak mau memakan makanan yang terdapat daun
bawang dan sayur yang banyak mengandung kuah.
Universitas Indonesia
81
“Misalnya itu kalo Abinya gak suka banget bawang ya.. Daun bawang gitu. Jadinya
kalo dia (B) ngeliat makanan ada ijoijonya gitu daun bawang, dia gak mau”
(SOC_AY)
“Kalo sayur palingan kita-kita doang yang makan. Kalo sayur buat anak-anak doang.
Abinya juga gak terlalu suka sayur yang berair” (SOC_AY)
“Kayak Abah beli gado-gado gitu kan pedes kata dia, (menirukan ucapan B) "mau mau
mau" kasih aja” (SOC_KK)
“Eh ditakut-takutin ini, "eh bapak ambil nih makanannya" kalo makanannya diambil
bapak gitu biasanya mau. Itu sih J” (SOC_KK)
“B, nih kasih Abah nih ya (menirukan ucapan untuk membujuk B makan) kan akhirnya
dia mau” (SOC_KK)
Kan gitu, "kasih Abah". "Sini dihabisin sama Abah" (SOC_KK)
Media dan sekolah juga berperan dalam pembentukan konsep makanan yang
dimiliki B, walaupun tidak menempati porsi yang besar. B mendapatkan informasi
mengenai berbagai jenis sayuran melalui televisi dan internet. Meskipun X, ibu B,
mengakui bahwa B tidak terlalu suka makan sehingga tidak tertarik dengan konten yang
mengandung makanan di media. Di sekolah juga diajarkan lagu mengenai jenis sayuran
dan buah-buahan. Sekolah juga berperan dalam mengenalkan makanan baru bagi B.
Melalui salah seorang temannya di sekolah, B mengenal salah satu merk ayam cepat saji
dan menginginkan makan ayam tersebut, walaupun X jarang membelikannya.
Universitas Indonesia
82
“Jadi kan dia tuh sakitnya batuk pilek kan. Ini di tenggorokannya ada sariawan.”
“Ini dipinggir sini, tapi bukan agak atasan kan kalau difteri kan agak atas deket
amandel itu kan.”
“Lagi...eee ini udah dua hari ini susah (makan) karena ya itu katanya sakit
banget.”
Universitas Indonesia
83
Universitas Indonesia
84
anak belum dapat membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum
dapat melihat sudut pandang perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).
C memandang bahwa makan memiliki efek bagi perubahan fisik tubuh. C telah
dapat membedakan tubuh kurus dan gendut yang disampaikannya melalui penilaian
tentang ibunya, Y, yang bertubuh gendut serta peneliti (Ma dan Ha) yang bertubuh
kurus. C juga menilai bahwa tubuhnya juga kurus. Menurut penuturan Y, saat kegiatan
outbound yang diadakan di sekolah, C bersama temannya membandingkan ukuran
tubuh dari ibu mereka masing-masing. C menunjukkan karakteristik perkembangan
kognitif preoperational thought, yaitu menggambarkan adanya representasi mental
berupa simbol atau kesamaan yang menetap antara objek (Miller, 2011).
Y
“Kayak pas outbound itu kan katanya, (menirukan ucapan C dan temannya)
"bundaku gendut" "bunda aku juga gendut"” (TDM_MR)
C
“(Peneliti 1) Kurus.” (TDM_MR)
“(C) Kuruuus!” (TDM_MR)
“(Peneliti 2) Kurus.” (TDM_MR)
Universitas Indonesia
85
Universitas Indonesia
86
“Boleh” (EDT_MR)
“Jadi kelinci” (EDT_MR)
“Jadi kelinci haha” (EDT_MR)
“Hahaha”
“Hmm”
“Boleh (mengangguk)”
“Wortel.” (MS)
“Mangga.” (MS)
Universitas Indonesia
87
“Pisang.” (MS)
“Bubur.” (MS)
“(mengencangkan suaranya) gak tau.”
“Tuh.. Karena sayur (bicara pelan).” (MS_SR)
“Pinter. Bikin pinter.” (MS_SR)
C juga menyatakan bahwa nasi adalah makanan sehat, tetapi tidak dapat
memberikan alasan mengapa nasi disebut makanan sehat. C juga menyebutkan bahwa
ayam adalah makanan sehat. Awalnya C tidak dapat menjelaskan mengapa ayam
dikatakan makanan sehat, tetapi kemudian ia menyebutkan bahwa ayam sehat karena
tidak membuat batuk. C melihat ayam sebagai makanan sehat berdasarkan manfaatnya
bagi kesehatan tubuh. Selain itu, C juga menyebutkan bahwa ayam dikatakan makanan
sehat karena terdapat daging yang disukai olehnya. C melihat ciri makanan sehat dari
bentuk dan rasa yang terdapat dalam makanan tersebut. C juga mengungkapkan bahwa
ayam dikatakan makanan sehat karena dengan makan daging ayam, tubuh seseorang
akan menjadi kuat.
“(nasi) Sehat.”
“Karena.. Gak tau.” (MS_ROT_LF)
“(ayam) Sehat (bicara pelan).”
“Gak tau..” (MS_ROT_LF)
“Bikin gak batuk (suara pelan)”
“Daging! Suka.” (MS_ROT_CE)
“(diam dua detik) Biar badannya kuat.” (MS_ROT_LF)
Universitas Indonesia
88
dan menginterpretasi sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000). C menyebutkan
bahwa memakan pisang dan bayam dapat membuat sembuh karena pada saat
pelaksanaan wawancara, dirinya sedang sakit, sehingga ia mempersepsikan makanan
sehat adalah makanan yang dapat membuat dirinya sembuh. C juga menilai makanan
sehat dari bentuk dan rasa. C menyebutkan bahwa ayam sehat karena terdapat daging
yang disukai olehnya. Hal tersebut juga menunjukkan karakteristik rigidity of thought,
yaitu centration, yaitu cenderung melihat karakteristik yang menonjol dari objek dan
peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000).
Di sisi lain, pernyataan C tentang makanan sehat menunjukkan bahwa C
mengetahui manfaat dari makanan sehat bagi kesehatan tubuh, yang menggambarkan C
sudah mulai memahami tentang sebab-akibat, walaupun belum dapat menjelaskan
proses yang terjadi. Misalnya, pada saat C mengatakan bahwa ayam dapat membuat
tubuh seseorang menjadi kuat. Karakteristik perkembangan kognitif yang ditunjukkan C
dari jawaban tersebut mulai mengarah pada concrete operational. Namun, C juga masih
memperlihatkan karakteristik preoperational thought, yaitu rigidity of thought. C
menggambarkan lack of flexibility, yaitu kecenderungan untuk fokus pada hal yang
statis dibandingkan dengan perubahan yang terjadi (Miller, 2011), karena penalaran C
masih terbatas pada manfaat yang dihasilkan dari makanan sehat tanpa mengetahui
prosesnya.
Universitas Indonesia
89
“Neneknya..” (SOC_NN)
“Neneknya yang ngasihtau.” (SOC_NN)
“(menirukan suara nenek C) "udang ini yang ini loh".” (SOC_NN)
“Ngasih tau mau masak apa gitu kan suka, "C nih ada ini loh".” (SOC_NN)
“Suka ngasih tau.” (SOC_NN)
Universitas Indonesia
90
skema yang telah terbentuk dari informasi yang didapat melalui neneknya, sehingga
terbentuk konsep tentang makanan yang dimiliki oleh C.
“Tapi masalahnya kalo makanan-makanan yang kayak gitu itu dessert bukan
makanan.. Bukan makanan pokok.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)
“Jadi kadang-kadang suka dilema ya mau ngelarang youtube.”
“Nebak makanan di mana C? (bertanya ke C).”
“Gak tau apa namanya..”
“Tv.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)
“Empat..” (KM_PAM)
“Pagi.. Siang.. Sore.. Malam..” (KM_PAM)
“Lima di sekolah.” (KM_PAM)
“Pagi disuapin, siang sendiri.” (CM_DS) (CM_MS)
“Buru-buru. Kalo enggak terlambat.” (CM_DS)
Universitas Indonesia
91
“Dia sayur yang kaya sawi gitu kan, kalo bayem suka, brokoli dia masih mau.” (JM)
“Kol juga masih mau, buncis mau, kacang panjang enggak. Yang kaya ini teksturnya
keras-keras.” (JM_TK)
“Ikan digoreng tuh seneng. Dia seneng ikan-ikanan, dibanding ayam sama daging
merah kan lembutan ikan.” (JM_TK)
“Bisa juga. Di sini pokoknya kalo yang oseng-oseng bumbunya agak-agak kerasa
banget gitu kan gak bisa.” (JM_RS)
“Sukanya yang ringan-ringan, kaya sayur bening gitu dia suka.” (JM_RS)
Universitas Indonesia
92
informasi mengenai jumlah porsi makanan ke dalam skema yang telah dimiliki C
tentang jenis makanan yang disukainya dan tidak disukainya.
Y
“Kalo pagi itu eee masalahnya itu lagi ada tv” (AK_MT)
“Hmm jadi dia nengoknya ke tv” (AK_MT)
“Karena… ya gimana ya saya juga pengen liat tv haha” (AK_MT)
“Informasinya… kan itu pas berita iya kan gitu. Makanya mau gak mau yaaa soalnya
kan gak mungkin kalo kita nyediain waktu nonton sendiri, "aduh udah.."” (AK_MT)
M
“Kalo abis sekolah pulang sekolah langsung minta makan” (AK_MT)
“Yaa sambil nonton.. Nonton tipi” (AK_MT)
“Satu dua satu” (AK_MT)
“Satu dua satu itu disney channel” (AK_MT)
Terkait dengan aturan saat makan, terdapat beberapa perintah dan larangan yang
diterapkan oleh Y kepada C. Awalnya Y mengatakan tidak ada aturan tertentu saat
makan, tetapi kemudian ia menjawab tentang aturan yang ia ajarkan pada C ketika
makan. C diberikan aturan untuk tidak makan sambil berjalan-jalan. Lalu, C juga harus
menghabiskan makanan yang ia makan. Namun, Y mengakui terkadang dirinya sering
menghabiskan makanan C ketika C tidak dapat menghabiskan makanannya. Hal
tersebut Y lakukan untuk menghindari kemarahan ayah C, terutama saat di pagi hari
dirinya dan ayah C akan berangkat ke kantor.
Universitas Indonesia
93
“Gak ada.”
“Yaa asal gak jalan-jalan aja… Harus habis.” (AT_CM)
“Kalo harus habis karena kan kita yang suapin. Kadang-kadang kalo takut ayahnya
marah dia belom habis.. Saya yang makan hahaha.” (AT_CM)
“Hahaha daripada dimarahin ayahnya pagi-pagi.. Yaudah saya yang makan deh.
Misalnya udah waktunya berangkat jamnya dia belom abis.” (AT_CM)
Universitas Indonesia
94
Berkaitan dengan makanan baru, C adalah anak yang sulit menerima makanan
baru. Y harus memaksa C memakan makanan, terutama makanan yang tidak terlalu
disukai oleh C. C akan mau memakan makanan tersebut lagi apabila ia suka setelah
dipaksa oleh ibunya. Namun, C biasanya menyukai makanan yang memiliki tampilan
menarik, ia akan langsung ingin mencobanya. Dalam mencoba makanan baru, C
mengalami pembentukan konsep yang didapat melalui social experience, yaitu
pembentukan skema baru dari hasil pertukaran ide antara anak dan orang lain (Miller,
2011; Wadsworth, 2004).
“Dia tuh.. Agak.. Apa ya sshhh kalo gak yang bener-bener dia suka itu harus dipaksa.
Kalo yang udah dipaksa dia suka baru mau dia.” (MB_JM)
“He em kecuali misalnya emang tampilannya menarik makanannya menarik baru itu
dia mau langsung.” (MB_JM)
“Jarang.” (MB_JM)
“Eeeee harus sedikit tapi. Sedikit dulu. Kalo enak, baru dia mau. Tapi di…. Pertama
pasti dipaksa dulu.” (MB_AN)
“Kalo bumbunya gak macem-macem mau.” (MB_KL)
“Kalo rame-rame dia mau.” (MB_KL)
“Iya tapi kalo pedes gak mau.”
“Gak dimakan.”
Universitas Indonesia
95
“Eeeee gak mesti. Tergantung kadang ada pedesnya juga. Cuma dia kalo pedes pasti…
kadang gak mau kadang mau sih. Gak gak ngerti sih mungkin kadang ada maunya.”
“Kadang ada yang dia mau pedes.. Kadang juga gak mau. Gak mau sama sekali.”
“Kalo rame-rame biasanya dia mau.” (MB_KL)
“Iyaa biasanya kan kayak kalo abis ada rapat kan dapet. Bawa makanan gitu kan.”
(MB_KL)
Universitas Indonesia
96
rumah tidak ada, terkadang Y menyuruh M untuk membeli bahan makanan, tetapi Y
tetap memberikan instruksi untuk membeli jenis makanan tertentu, seperti sayur.
Terkadang M juga bertanya pada Y tentang menu makanan yang akan dibuat oleh Y,
sehingga Y memberikan saran apa yang akan dimasak oleh M. Namun, Y juga sesekali
membebaskan M untuk membuat masakan apapun. Y biasanya mengarahkan menu
makanan yang dibuat M saat sedang mengobrol dengan menanyakan menu makanan
yang akan dibuat besok.
Y juga berperan dalam menerapkan aturan C saat makan dan strategi yang dilakukan
yang telah dijabarkan di bagian pembentukan konsep makanan. Selain itu, C juga
banyak berperan ketika mengenalkan makanan baru pada C. Ketika membawa makanan
dari hasil rapat di kantor, Y mengenalkan makanan yang jarang dikonsumsi oleh C dan
meminta C untuk mencoba makanan tersebut.
“Iyaa biasanya kan kayak kalo abis ada rapat kan dapet. Bawa makanan gitu kan.”
(SOC_IBU)
Universitas Indonesia
97
yang telah dijabarkan dalam bagian konsep tentang makanan C, seperti tidak mau
memakan makanan yang bertekstur keras dan makanan yang terlalu berbumbu.
“Kalo saya gak pilih-pilih, kalo suami saya pilih-pilih.” (SOC_IBU) (SOC_AY)
“Pilih-pilihnya suamiku....apa ya (diam selama dua detik) jadi dari kaya sayur gitu,
jadi kaya daun pepaya yang pait-pait gitu gak suka.” (SOC_AY)
“Berpengaruhnya kan itu tergantung kita masaknya apa, kalo saya sih dulu kebetulan
diajarin sama orangtua tuh makan apa aja yang ada.” (SOC_IBU)
“Jadinya saya gak pilih-pilih.”
“Dari orangtuanya suami, pilih-pilih (sambil mengecilkan suara). Jadi bawaannya rese
juga gitu.” (SOC_AY)
“C jadi ikutan pilih-pilih, nolak-nolak.” (SOC_AY)
“Jadi sebenernya kalo dalam makanan itu yang ngurus bapaknya.” (SOC_AY)
Selain itu, ayah C juga berperan dalam kebiasaan C memakan jajanan. Ayah C
menyukai ciki dan biasa membelinya ketika keluarga C sedang berbelanja di
supermarket. Biasanya, ciki yang dibeli oleh ayah C dimakan bertiga bersama C dan K,
adik C. Dari ayahnya, C mengenal ciki dan akhirnya menyukai ciki karena rasanya yang
enak. Walaupun begitu, C telah mengetahui bahwa ciki adalah makanan yang tidak
sehat seperti yang telah dijelaskan di bagian konsep tentang makanan.
Universitas Indonesia
98
“Neneknya..” (SOC_NN)
“Neneknya yang ngasihtau.” (SOC_NN)
“(menirukan suara nenek C) "udang ini yang ini loh".” (SOC_NN)
“Ngasih tau mau masak apa gitu kan suka, "C nih ada ini loh".” (SOC_NN)
“Suka ngasih tau.” (SOC_NN)
“Yang lebih tahu sih neneknya. Kalo sama aku kan paling malem.” (SOC_NN)
Universitas Indonesia
99
Y
“…kadang neneknya kadang itu mamah yang ngasuh kan.” (SOC_NN) (SOC_ART)
“Kalo siang yang ini (pengasuhnya). Kalo pagi itu kadang saya kadang eyangnya. Kalo
kira-kira mood-nya lagi jelek, dia minta "mau sama eyang" haha.” (SOC_NN)
(SOC_ART) (SOC_IBU)
M
“Iya. Suka.” (SOC_ART)
“Engga.. Gak.. Makan aja suapin aja.” (SOC_ART)
“Sama bundanya rewel kalo makan.” (SOC_IBU)
“Kalo abis sekolah pulang sekolah langsung minta makan.” (SOC_ART)
“Yaa sambil nonton.. Nonton tipi.”
Y
“Mbaknya (pengasuh C) itu.” (SOC_ART)
“Kadang-kadang ibu (nenek C).” (SOC_NN)
“Pernah juga kalo di kulkas lagi gak ada.. Deket sini ada yang jual di rumah susun.”
“Tapi itu.. Instruksinya, "jangan lupa beli sayur" "jangan lupa beli ini" gitu loh
Kadang (mbaknya) nanya juga, "enaknya dimasak apa ya?".” (SOC_ART)
“Dia suka nanya dulu. Kalo kita bilang, "terserah" oh baru dia masak masakannya
terserah dia.” (SOC_ART)
“Yaa kayak pas lagi ngobrol-ngobrol kayak gini lah. Kadang-kadang kita juga yang
nanya, "besok mau masak apa Teh?" gitu kan (menirukan pengasuh C) "apa ya Mbak
ya? Masak itu aja lah. Ada gak bahannya?".” (SOC_ART)
“Kayak gitu aja paling.”
Universitas Indonesia
100
lain selain kedua jajanan tersebut. Waktu jajan C bersama M juga tidak menentu. Saat
ditanya, C hanya menjawab dengan tertawa.
C
“Es krim.”
“Iyaa jajan es.”
“Udah.”
“Ciki..”
“Indomaret atau alfa.”
“Dekat banget.”
“Mamah (pengasuh C).” (SOC_ART)
“Mamah teteh..” (SOC_ART)
“Sering.” (SOC_ART)
“Yaa kayak ayam, sayur-sayur.” (SOC_ART)
“Iya dia tau macemnya.” (SOC_ART)
“Pake bakso, sop.”
“Bakso.. Gitu. Nih bakso.”
Selain itu, secara tidak langsung M juga turut membentuk kebiasaan makan C
karena ia sering menemani C makan. Menu makanan yang sering dibuatkan M untuk C
adalah telur, nugget, sosis, dan sayuran. C menyukai jenis sayur tertentu, seperti sayur
asem, sawi, dan bayam. Ketika C tidak mau memakan masakan di rumah, M akan
membuatkan makanan lain, seperti telur. Menurut M, C paling menyukai telur, sehingga
ia akan membuatkan telur agar C mau makan. Hal tersebut mempengaruhi kebiasaan C
yang lebih suka makan makanan olahan, seperti telur, nugget, dan sosis.
Universitas Indonesia
101
Media juga berperan dalam pembentukan konsep makanan yang dimiliki oleh C,
terutama televisi dan youtube. Menurut C, ia sering menonton tayangan yang berisi
konten makanan di televisi dan youtube, seperti cara membuat makanan penutup. C juga
senang memainkan permainan teka-teki jenis makanan di situs daring. Dari menonton
tayangan pembuatan makanan dan bermain menebak makanan, C memiliki informasi
tambahan mengenai berbagai jenis makanan. Media membantu memperkaya konsep
makanan yang telah dimiliki oleh C dari hasil asimilasi dan akomodasi bersama orang-
orang terdekatnya, seperti ibu, ayah, nenek, dan pengasuhnya.
“Tapi masalahnya kalo makanan-makanan yang kayak gitu itu dessert bukan
makanan.. Bukan makanan pokok.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)
“Jadi kadang-kadang suka dilema ya mau ngelarang youtube.”
“Nebak makanan di mana Kak? (bertanya ke C).”
“Gak tau apa namanya..”
“Tv.” (SOC_MD)
“Youtube.” (SOC_MD)
Universitas Indonesia
102
berawarna biru saat peneliti baru berkunjung ke rumahnya, lalu ketika diwawancarai, D
melepas kerudung tersebut. Sejak awal, D telah banyak bercerita ketika ditanya
walaupun masih terlihat malu-malu. Setelah berkenalan dan membangun rapport,
peneliti juga memberikan informed consent dan data demografis untuk diisi oleh Z, ibu
D, sebagai persetujuan dilakukannya wawancara. Lalu, peneliti mengajak D untuk
melakukan aktivitas menempel kertas origami pada gambar anggur. Wawancara dengan
D dilakukan sebanyak dua sesi. Sesi pertama dimulai pada pukul 14.00. Kemudian,
pada pukul 15.00, salah satu peneliti juga kembali melakukan wawancara kepada D saat
dua peneliti lainnya melakukan wawancara dengan Z, ibu D.
Selama proses wawancara, D sangat senang bermain berpura-pura. Peneliti
melakukan wawancara dengan D sambil bermain berpura-pura, misalnya memainkan
mainan my little pony kepunyaan D. D juga suka sekali bercerita tentang banyak hal
yang diketahui olehnya, walaupun tidak ada kaitannya dengan pertanyaan wawancara.
D sering mengulang kata-kata yang dibicarakannya. Beberapa kali ia menyebut “aku
suka donat” ketika ditanyakan pertanyaan mengenai makanan, sehingga peneliti harus
berulang kali mengajukan pertanyaan.
D juga beberapa kali menjawab alasan dengan mengaitkannya pada
kesukaannya. D sering menceritakan pengalaman dirinya sendiri, lalu bercerita tentang
hal-hal yang tidak diketahui peneliti tanpa menjelaskannya. Hal tersebut
menggambarkan bahwa D memiliki karakteristik egocentrism, yaitu kecenderungan
untuk memahami dan menginterpretasi dari sudut pandang dirinya sendiri. Selain itu,
pernyataan D juga seringkali menunjukkan egocentric speech yang menandai bahwa ia
memiliki kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition). D juga beberapa kali
mengeluarkan jawaban yang tidak konsisten. Oleh karenanya, peneliti juga harus
menambahkan probing untuk menanyakan kembali. Selain itu, saat wawancara, D
beberapa kali menghampiri ibunya dan bermanja-manja.
Universitas Indonesia
103
“Cuma dia kan gabisa makan tomat ya,sausnya kan gabisa ya, ya itulah aku kadang
suka bingung juga kan dia banyak pantangan asmanya dia ga boleh makan
sembarangan”
“Kalo dia makan sembarangan dia akan bisa timbul asmanya lagi kan pemicu lah. Ga
boleh makan sembarangan kayak coklat tomaat jahat banget untuk usia anak penderita
asma”
“Makanannya juga harus dijaga, daya tahan tubuh harusss sehat terus”
“Iya ini gabisa tapi nurun dari ayahnya asmanya, sebenernya picky makanannya juga
nurun dari ayahnya”
“Apa? ayahnya gasuka tapi kalo dia udah kambuh aku pijet dibelakangnya, dia suka
bilang dipijet aja”
“kalo udah parah ada oksigen kan minimal di nebu kalo udah parah kan"
“Supaya sehat”
“Gak tau”
(TDM_ROT_LF)
Universitas Indonesia
104
Universitas Indonesia
105
penyakit. D bercerita bahwa ia baru sakit karena ketularan teman. D juga menjelaskan
bahwa dirinya tidak menyukai bila dirinya sakit karena tidak diperbolehkan makan es
krim. Karakteristik yang tergambar jelas dari cerita D tersebut menggambarkan
egocentrism. D hanya melihat efek dari kuantitas makanan dari pengalamannya sendiri.
Karakteristik egocentrism menunjukkan bahwa anak belum dapat membedakan diri
sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak belum dapat melihat sudut pandang
perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller, 2011).
Universitas Indonesia
106
D juga menjelaskan bahwa makan dengan jumlah yang banyak dapat membuat
dirinya hebat. Jawaban D tentang makan terlalu banyak mendeskripsikan karakteristik
semilogical reasoning, yaitu anak mencoba menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-
hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). Pemikiran tentang sebab-akibat
masih terbatas (Miller, 2011), sehingga D mengaitkan efek kuantitas makanan bagi
tubuh dengan hal-hal yang berada di sekelilingnya, yaitu tumbuh besar untuk
bersekolah. Karakteristik egocentrism juga terlihat karena D menginterpretasi dari sudut
pandang dirinya sendiri (Miller, 2011).
“Tengkorak..” (EDT_SR)
“Sakit..”
“Bisa jadi tengkorak” (EDT_SR)
“Kan tengkorak itu pake daging” (EDT_SR)
“Kan gak ada darahnya.” (EDT_SR)
D mengatakan hanya makan ayam tanpa memakan makanan yang lain juga dapat
membuat seseorang menjadi sakit. Namun, ketika ditanya lebih lanjut, D tidak dapat
Universitas Indonesia
107
Di samping itu, D juga mengatakan bahwa tidak boleh hanya makan donat. D
menerangkan bahwa tidak boleh hanya makan donat karena tidak dapat menghabiskan
donatnya. Sebelumnya, D juga menceritakan bahwa ia menyukai donat tetapi tidak
menghabiskan donatnya. D juga menyebutkan bahwa tidak boleh hanya makan stroberi
terus menerus karena ibunya menyuruh untuk memakan nasi. Dari cerita D, terlihat
karakteristik egocentrism. D menyebutkan alasan dari efek diet tidak seimbang
berdasarkan pengalamannya sendiri, yaitu ketika ia tidak mampu menghabiskan donat
dan disuruh ibunya untuk memakan nasi. Karakteristik egocentrism menunjukkan
bahwa anak cenderung mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai
dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000), seperti apa yang disampaikan oleh D.
“(Donat) Enggak”
“Kan gak diabisin” (EDT_EGO)
“(Stroberi) Gak boleh”
“Karena disuruh makan nasi kata bunda” (EDT_EGO)
Universitas Indonesia
108
Selain menyebutkan jenis makanan sehat seperti yang telah disebutkan di atas, D
juga menjelaskan tentang ciri makanan sehat. D mengatakan bahwa nasi adalah
makanan sehat karena dapat membuat seseorang menjadi tidak sakit. Serupa dengan
alasan mengapa dikatakan makanan sehat, hal tersebut juga menggambarkan
karakteristik semilogical reasoning. D mengatakan bahwa biskuit adalah makanan sehat
karena makan biskuit bertujuan agar sembuh. D menyebutkan hal tersebut karena
minggu lalu ia sakit batuk dan pilek. D juga mengatakan bahwa pisang adalah makanan
sehat karena ia menyukainya. Kedua pernyataan D tentang ciri makanan sehat
menggambarkan egocentrism atau cenderung menginterpretasi dunia sesuai diri anak
Universitas Indonesia
109
(Piaget & Inheider, 2000). Karakteristik anak usia prasekolah lain yang juga muncul
adalah rigidity of thought atau kekakuan berpikir, yaitu pada saat D menyebutkan ia
menyukai pisang dari rasanya. D melihat satu ciri yang menonjol dari pisang, yaitu rasa.
Hal tersebut merupakan tanda dari centration, yakni cenderung melihat karakteristik
yang menonjol dari objek dan peristiwa serta mengabaikan karakteristik yang lainnya
(Piaget & Inheider, 2000).
D dapat menyebutkan jenis makanan tidak sehat, seperti donat, es krim, coklat,
ciki, biskuit, dan kerupuk. D juga mengatakan alasan mengapa makanan tersebut ia
katakan tidak sehat. Menurut D, es krim adalah makanan tidak sehat karena dapat
membuat dirinya batuk. D juga mengatakan bahwa kerupuk adalah makanan tidak sehat
karena dirinya menyukainya kerupuk. Alasan mengenai es krim dan kerupuk tersebut
menunjukkan ciri egocentrism, yaitu kecenderungan anak untuk mempersepsi dan
menginterpretasi sesuai dengan diri anak (Piaget & Inheider, 2000). Di samping itu, D
juga melihat kerupuk dari rasanya, menunjukkan karakteristik rigidity of thought, yaitu
centration, hanya melihat ciri yang menonjol dari objek (Piaget & Inheider, 2000).
“(Donat) Enggak”
Universitas Indonesia
110
“(Coklat) Engga”
“(Es krim) Enggak”
“Es krim”
“Es krim aku batuk” (MTS_EGO)
“(Kerupuk) Enggaaa”
“Karena aku suka kerupuk” (MTS_EGO) (MTS_ROT_CE)
D juga mengatakan bahwa ciki adalah makanan tidak sehat karena dapat
merusak gigi. Namun, D tidak dapat menjelaskan alasan yang mendasarinya. Menurut
D, biskuit adalah makanan tidak sehat karena lebih sehat makanan yang lain. D juga
menjelaskan bahwa biskuit dapat membuat seseorang menjadi sakit. Hal tersebut
menggambarkan karakteristik semilogical reasoning, yaitu menjelaskan hal-hal yang
luas dan bersifat semilogis (Piaget & Inheider, 2000). Selain itu, D juga menunjukkan
karakteristik rigidity of thought, ditandai dengan adanya lack of flexibility, yaitu
cenderung untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan dengan perubahan yang
terjadi (Miller, 2011).
“(Ciki) Engga”
“Gak sehaat!”
“Gak tauu nanti giginya ompong” (MTS_SR)
“(Biskuit) Tidak sehat”
“Karena sehatannya ini” (MTS_SR)
“Karena itu bikin sakit” (MTS_SR) (MTS_ROT_LF)
Universitas Indonesia
111
“Stroberi”
“Pisang”
“Apel (menunjuk gambar lemon)” (JSB_MR)
“Lemon”
“Jeruk”
“Ini anggur (menunjuk gambar terong)” (JSB_MR)
“Terong”
“Brokoli (menunjuk gambar bayam)” (JSB_MR)
“Bayam!”
“Pete (menunjuk gambar buncis)” (JSB_MR)
Universitas Indonesia
112
“Minta susu dulu terus uhuk buka hp jam jam setengah 8 kadang susu kadang makan
biskuit terus jam 8 dia baru makan roti atau donat gitu. Gak nasi. Gak nasi dia gak bisa
dia nasi gitu” (KM_PAM)
Setelah sarapan, D makan pada siang hari dan malam hari. D dan keluarga tidak
biasa makan bersama karena ayah D belum pulang dari kantor. Namun, menurut Z, ibu
D, saat dirinya makan, D juga akan makan. Hal tersebut dikarenakan D suka meminta
makanan ibunya. Meskipun ketika diambilkan sendiri untuk D, D tidak mau
memakannya.
“Tapi dia.. Ya itu dia tuh picky banget makannya. Misalkan kita ambil nasi sama lauk
ada tempe ada ikan. Dia udah aku suapin beberapa suap nih tempe sama ikan terus dia
maunya nasinya aja. Dia itu sih males ngunyah” (JM_TK)
“Mood-moodan gitu lah anaknya picky banget” (KM_NM)
“Kayak misalnya nih.. Dia suka eee kayak donat nih yaudah "bunda aku mau donat"
tapi kemaren maunya roti” (KM_NM)
Universitas Indonesia
113
“Pernah satu kali dia pernah mau gak tau deh tuh lagi ada mood-nya hahaha
selebihnya susah. Sukanya nyemil tuh anak tuh” (KM_POM)
“Dia suka ngemil sebenernya. Paling lima sendok. Kalo lagi bagus nih perutnya
moodnya kayak kemarin nambah” (KM_POM)
“Dia mah gak pernah mau minta makan gitu mah jarang” (KM_POM)
“Ya itu kemarin nambah tapi gak mau pake lauk.. Nasi aja sama kuah” (KM_POM)
“Kalo dia udah flu udaah... kadang dia suka ga mau makan kalo lagi asmanya kambuh
he eh” (KM_POM)
“Sebenernya dia mau ke mall gitu kayak mcd. Pernah lagi ke transmart sini cilandak
itu ada ee apa sih yoshinoya porsinya lumayan besar itu dia habis loh sendiri”
(KM_POM)
“Soalnya di sini juga ada mbahnya kan jadi untungnya dia suka tempe.. Tempe goreng
kan. Sayur.. Harus ada sayur tapi dia susah makan sayur. Misalnya sayur bayam pake
jagung manis dia lebih suka jagung manisnya sama nasi. Kadang nasi sama kuah sayur
aja. Sayurnya kadang suka aku umpetin hahaha salah sih cuman kalo gak kayak gitu
kan dia gak mau makan sayur” (JM_TK)
“Tempe sih pasti” (JM_TK)
“Sukaa. Maunya nasinya aja” (JM_TK)
“Ikan dia suka sih” (JM_TK)
“Di rumah suka masak ikan juga.. Ikan… ikan patin. Ikan patin dimasak santan gitu.
Telor kurang begitu suka dia” (JM_TK)
“Engga, engga sih emm paling ini kentang harus ada kentang”
“Kentang goreng” (JM_TK)
“Pokoknya yang berbau karbo dia seneng” (JM_TK)
“Iya iya. Dia itu pernah kan, di rumah beli permen apa gitu yang pedes itu kaya makan
nasi. Davos gitu yang..” (JM_RS)
“Iya kan agak pedes ya? Itu makannya cepet banget, cepet banget udah kaya makan
nasi aja. 5 menit abis deh sama dia kunyah-kunyah gitu”
“Hm apa ya....(diam selama 3 detik) oh kalo ini marshmallow, dia cepet banget tuh
makannya” (JM_RS)
D makan dengan cara disuapi oleh ibunya. Menurut Z, sebenarnya D telah dapat
makan sendiri, tetapi D sering meminta disuapi sebagai bentuk mencari perhatian
Universitas Indonesia
114
kepada ibunya agar tidak memerhatikan adiknya, F, yang berusia satu tahun. Z masih
menyusui F, sehingga sering sibuk dengan F. D juga suka meminta tolong Z untuk
mengambilkan susu atau makanan lain yang ingin dikonsumsinya. Z telah membiasakan
D untuk makan sendiri dengan menolak ketika D meminta disuapi oleh Z. Lalu, Z
meminta D untuk makan sendiri.
“Heem kayak gitu, makan disuapin, ambil susu sebenernya bisa sendiri tapi maunya
diambilin” (CM_DS)
“He eh sebenernya dia bisa ya, cuma kayaknya dia karena ada adeknya ya” (CM_MS)
“karena masih nyusuin, jadi aku selalu nempel sama adeknya kan, makanya aku butuh
mba kan”
“Karena aku butuh dia kan, soalnya dia kayak capeer, sebenernya dia bisa”
“Kayak tadi dia makan rotii aku kadang suka ga mau "bunda ga mau nyuapin"”
(CM_MS)
“"Coba makan sendiri" lama lama dia bisaa, kayak gituu” (CM_MS)
D dan Z juga melakukan aktivitas lain saat makan. Z biasa menyuapi D ketika
D sedang bermain gawai. Z mengajak D makan, tetapi kadang ditolak oleh D. Akhirnya,
Z langsung menyuapi D ketika ia sedang menonton youtube. Z juga menyuapi D ketika
D sedang bermain dengan permainan yang ia miliki. Menurut Z, cara yang dilakukan
olehnya tersebut kurang tepat, tetapi ia terpaksa melakukannya agar dapat membuat D
mau makan.
“Kan gini dia tuh sebenernya laper tapi "D makan yuk" "engga aku gak mau" terus kan
tadi dia lagi main ipad kan youtube terus aku suapin "gimana enak kan?" "iya enak"
mau tuh dia kan habis terus aku tanya lagi "mau nambah?" "mau"” (AK_MG)
“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang aku suapin kan
harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak makan. Kadang
ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (AK_BM)
Z juga menerapkan aturan saat makan bagi D, khususnya dalah hal penentuan
menu makanan yang dikonsumsi oleh D. Terdapat beberapa jenis makanan tertentu
yang tidak bisa dimakan oleh D karena penyakit asma yang dideritanya. Z harus
memastikan bahwa makanan yang dimakan oleh D tidak mengandung jenis makanan
yang dapat membuat asmanya kambuh, seperti coklat dan tomat. Terdapat banyak
pantangan yang harus dipatuhi oleh D agar asmanya tidak kambuh. Z mengajarkan D
untuk tidak makan sembarangan karena makanan tertentu dapat menjadi pemicu bagi
Universitas Indonesia
115
asmanya untuk muncul. Z juga menjaga makanan dan daya tahan tubuh D agar tetap
terjaga.
“Cuma dia kan gabisa makan tomat ya,sausnya kan gabisa ya, ya itulah aku kadang
suka bingung juga kan dia banyak pantangan asmanya dia ga boleh makan
sembarangan” (AT_JM)
“Kalo dia makan sembarangan dia akan bisa timbul asmanya lagi kan pemicu lah. Ga
boleh makan sembarangan kayak coklat tomaat jahat banget untuk usia anak penderita
asma” (AT_JM)
“Makanannya juga harus dijaga, daya tahan tubuh harusss sehat terus” (AT_JM)
“Nasi tuh susah banget. Jadi ya ngakalinnya… karbo yang lain haha” (SD_BR)
“Kadang goreng kentang juga kan. Kentangnya bikin sendiri kentang dipotong-potong..
Pake saus tomat” (SD_BR)
“Soalnya di sini juga ada mbahnya kan jadi untungnya dia suka tempe.. Tempe goreng
kan. Sayur.. Harus ada sayur tapi dia susah makan sayur. Misalnya sayur bayam pake
jagung manis dia lebih suka jagung manisnya sama nasi. Kadang nasi sama kuah sayur
aja. Sayurnya kadang suka aku umpetin hahaha salah sih cuman kalo gak kayak gitu
kan dia gak mau makan sayur” (SD_BR)
Z juga harus rajin mengingatkan dan menyuruh D agar mau makan karena D
belum bisa membedakan waktu kapan ia lapar. Untuk menyiasati hal tersebut, Z
biasanya langsung menyuapi D ketika sedang bermain. Z juga sering mengajak D jalan-
jalan agar D mau makan. Terkadang, Z juga memberikan asupan lain, seperti cemilan.
Tindakan yang dilakukan oleh Z bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh ayah D.
Ayah D membiarkan D agar merasa lapar sehingga D akan meminta makan sendiri,
tetapi hal tersebut membuat D menjadi lebih penurut pada ayahnya.
“Iyaaa kita harus bener-bener (menirukan ucapan ke D) "D makan" gak pernah dia
yang mau sendiri pernah tuh sekali tapi abis itu gak lagi. Dia belom bisa ngebedain
kapan dia laper apa engga. Harus dari kitanya. Dulu kan sempet kerja. Kan gak ini
kan.. Susah gitu” (SD_BR)
Universitas Indonesia
116
“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang aku suapin kan
harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak makan. Kadang
ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (SD_BR)
“Iya ayahnya agak keras cuma gak tega kalo akunya haha”
“Hmm kadang kan kalo sama aku kan sambil jalan kemana”
“Kan ayahnya gak suka kan.. Udah jadi dia nurut”
“Kadang diiming-imingin, "kalo gak mau makan nanti gak diajak jalan ya"”
“Kayak gitu kan. Tapi nanti jadi kerepotan sendiri”
“Iya paling cemilan” (SD_BR)
“Buah-buahan buah-buahan "itu apa bunda?" gitu kan, mungkin karena aku juga suka
masak itu, buahnya juga pepaya pisang sama apa semangka, kadang aku suka gak
nanya juga jarang aku. Kayak kemaren sawo, baru dia nanya-nanya” (PM_DC)
“pertama kali aku kasih sedikit biar dia tau” (PM_DC)
“Dikit tapi”
“soalnya gaboleh”
“soalnya asma dia (berbicara sambil tertawa kecil) MSGnya ituu”
“Coklat… pernah kan dikasih darimana gitu. (menirukan D nanya) "ini apa sih?"
"coklat" orang lain sih itu di rumah gak pernah ada . Jadi kayak temennya beli gitu”
(PM_TS)
“Ya misalnya kalo aku lagi belanja bulanan kemana” (PM_SM)
“Eeeh kalo misalnya mau makan laper”
“Paling nanya "mau makan dimana D?" gituu”
“Apalagi kalo mau makan disana dan dia mau pesen gitu” (PM_SM)
Universitas Indonesia
117
Ibu D adalah orang yang selalu membiasakan D agar makan karena D sangat
sulit untuk makan. Ibu D selalu menyuruh D untuk makan karena D belum dapat
membedakan apakah ia sedang lapar atau tidak. Apabila ibu D tidak mengingatkan D
untuk makan, D tidak pernah meminta makan. Selain itu, D juga sulit untuk mau
Universitas Indonesia
118
“Iyaaa kita harus bener-bener (menirukan ucapan ke D) "D makan" gak pernah dia
yang mau sendiri pernah tuh sekali tapi abis itu gak lagi. Dia belom bisa ngebedain
kapan dia laper apa engga. Harus dari kitanya. Dulu kan sempet kerja. Kan gak ini
kan.. Susah gitu” (SOC_IBU)
“Iyaaaa kalo aku ga ingetin makan dia ga makan ga pernah minta” (SOC_IBU)
“Nasi tuh susah banget. Jadi ya ngakalinnya… karbo yang lain haha” (SOC_IBU)
“Iya paling cemilan”
“Makannya kadang aku liat biarpun dirumah biarin deh maksudnya jujur yang penting
ada asupan” (SOC_IBU)
“Iya hahaha. Mungkin harusnya ditanya ya biar dia mau makan, abis kadang ditanya
dianya "um enggak ah"gitu. Jadi yaudah deh harus yang kita masak” (SOC_IBU)
“Paling nanya "mau makan dimana D?" gituu” (SOC_IBU)
Ibu D juga beberapa kali melibatkan D ketika sedang menyiapkan makanan. Ibu
D memberikan tugas-tugas mudah dan sederhana untuk dikerjakan oleh D, seperti
mengocok telur dan memberikan garam pada telur yang sudah dikocok. Ibu D membeli
bahan makanan di penjual sayur dekat rumahnya. Ibu D menentukan menu makanan
berdasarkan apa yang diinginkan oleh ayah D atau stok yang tersedia di penjual sayur.
“Iya paling "D ini telur ini dikocok ya" gitu trus "ini dikasih garem" paling gitu aja
sih”
“Seringnya misalnya ayahnya mau makan apa, kadang suka bingung ya karena gak
terkontrol. Misalnya kita ke tukang sayur adanya ini, apa ya masak apa ya.”
(SOC_IBU)
Selain ibu D, ayah D juga berperan dalam pembentukan konsep makanan pada
D. D yang sulit makan dan memilih-milih makanan dipengaruhi oleh ayahnya yang juga
Universitas Indonesia
119
“Iya ini gabisa tapi nurun dari ayahnya asmanya, sebenernya picky makananya juga
nurun dari ayahnya” (SOC_AY)
“Tapi kalo yang makan makanan inti kayak makan siang nasi malem gitu harus diiniin
gitu. Sebenernya salah kali ya caraku misalnya dia sambil main kadang aku suapin kan
harusnya di meja ya biar dia terbiasa tapi kalo gak kayak gitu gak makan. Kadang
ayahnya biarin dia gak makan biar dia tau akibatnya” (SOC_AY)
“Iya ayahnya agak keras cuma gak tega kalo akunya haha” (SOC_AY)
Ayah D juga terkadang menemani D makan pada saat akhir pekan. Ayah D juga
menemani D makan ketika ibu D sedang tidak ada di rumah. Menurut ibu D, D menjadi
lebih penurut ketika makan dengan ayahnya dibandingkan saat makan dengan ibunya.
Ayah D tidak suka mengajak D jalan dan tidak menjanjikan sesuatu pada D, berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh ibu D.
“Ayahnya..Eeeee kan dia pulang malem ya. Pas weekend sih biasanya kadang. Kalo
lagi misah baru sama ayahnya” (SOC_AY)
“Atau kalo aku lagi pergi kemana.. Sama ayahnya baru” (SOC_AY)
“Tapi kadang kalo sama ayahnya jadi lebih nurut sih” (SOC_AY)
“Hmm kadang kan kalo sama aku kan sambil jalan kemana”
“Kan ayahnya gak suka kan.. Udah jadi dia nurut” (SOC_AY)
“Kadang diiming-imingin, "kalo gak mau makan nanti gak diajak jalan ya"”
“Kayak gitu kan. Tapi nanti jadi kerepotan sendiri”
Universitas Indonesia
120
Kebiasaan jajan D juga dipengaruhi oleh kakeknya. Di rumah, ibu dan ayah D
jarang memberikan jajanan kepada D. Namun, kakek D suka membelikan jajanan
kepada D, lalu membawa jajanan pulang untuk dimakan oleh D. Kakek D cukup sering
membelikan D jajanan ketika D memintanya, padahal terkadang ada beberapa makanan
yang tidak boleh dimakan oleh D karena penyakit asmanya.
“Apa yaaaa? paling kayak misalnya kalo dia ke rumah temennyaa” (SOC_TS)
“Paling kalo dia ke rumah temennya” (SOC_TS)
“Kadang aku suka ke rumah temennya punya anak kecil juga”
“Temen si D juga sih” (SOC_TS)
“Sepantaran lah beda 6 bulan”
“Karena maen sama anak anak, "aku mau dong kayak si iniii"” (SOC_TS)
“He eh kadang dari situ dari temen temennya ya kadang itu temennya jajan apa, "aku
mau jajan kayak si itu bunda"” (SOC_TS)
“Terus jajan permen yaudah, ya itu kenal dari temennya yupi, jajanan warung itu kan
kayak temennya jajan apa dia ngikut” (SOC_TS)
“Engga sih tapi kalo dia udaah..... namanya anak anak kan aku suka luluh juga hahaha
sebenernya harus ini sih gaboleh”
“Dia udah kayak orang ngerengek gitu kan akhirnya dikasih aja”
Universitas Indonesia
121
“Coklat… pernah kan dikasih darimana gitu. (menirukan D bertanya) "ini apa sih?"
"coklat" orang lain sih itu di rumah gak pernah ada . Jadi kayak temennya beli gitu”
(SOC_TS)
Universitas Indonesia
122
Universitas Indonesia
123
Universitas Indonesia
124
Universitas Indonesia
125
Universitas Indonesia
126
Jenis Makanan Tidak Es krim, permen, ciki, Mie dan ciki adalah Kerupuk, air dingin, dan Donat, es krim, coklat,
Sehat coklat, dan mie instan makanan tidak sehat ciki adalah makanan tidak ciki, biskuit, dan kerupuk
adalah makanan tidak sehat. adalah makanan tidak
sehat. sehat.
Ciri Makanan Tidak - Makanan tidak sehat - Makanan tidak sehat - Makanan sehat adalah - Makanan tidak sehat
Sehat adalah makanan yang adalah makanan yang makanan yang dapat adalah makanan yang
membuat tubuh kurus tidak diperbolehkan membuat dirinya batuk membuat sakit
- Makanan tidak sehat untuk dimakan - Ciri makanan tidak - Ciri makanan tidak
mengandung bakteri yang - Ciri makanan tidak sehat: dampak; sehat: dampak;
dapat masuk ke dalam sehat: dampak; Makan Ciki dapat membuat Makanan yang tidak sehat
tubuh mie dapat membuat seseorang menjadi batuk membuat batuk
- Ciri makanan tidak disuntik Es krim membuatnya
sehat: bentuk; Ciki bisa menyebabkan batuk
Es krim tidak sehat penyakit Biskuit tidak sehat karena
karena mudah meleleh - Ciri makanan tidak membuat sakit
sehat: rasa; Ciki tidak sehat karena
Ciki rasanya enak dapat membuat gigi rusak
Universitas Indonesia
127
Universitas Indonesia
128
Seluruh partisipan telah mengetahui tujuan dari makan dengan jawaban yang
berbeda-beda. Namun, seluruh partisipan sama-sama menggambarkan bahwa makan
berguna bagi tubuh. Seorang partisipan (A) mengatakan bahwa makan dapat membuat
tubuh menjadi gendut dan tidak kurus. Seorang partisipan (B) mengungkapkan bahwa
makan berguna agar tubuh tidak capai. Partisipan lainnya (C) menyatakan bahwa tujuan
dari makan supaya sembuh dari sakit, sedangkan partisipan terakhir (D) menyebutkan
bahwa makan berguna agar tubuh sehat. Keempat partisipan memiliki kesamaan, yaitu
tidak dapat menjawab ketika ditanya alasan dari jawaban mereka.
Seluruh partisipan memahami efek dari kuantitas makanan yang berbeda. Dua
orang partisipan (A dan C) menyebutkan bahwa tidak makan akan membuat tubuh
menjadi kurus. Dua orang partisipan (B dan D) juga menyebutkan bahwa tidak makan
akan menyebabkan seseorang menjadi sakit. Ketika menyebutkan efek dari makan
terlalu banyak, dua orang partisipan (A dan C) mengatakan bahwa makan terlalu banyak
akan membuat tubuh menjadi gendut. Satu orang (B) partisipan menyatakan tidak boleh
makan terlalu banyak karena makanannya dapat dibuang. Satu partisipan lainnya (D)
menyatakan bahwa makan terlalu banyak dapat membuat seseorang tumbuh besar dan
bisa bersekolah.
Seluruh partisipan mulai mengetahui efek dari makanan tertentu berdasarkan
penalarannya masing-masing. Satu orang partisipan (A) menyebutkan bahwa orang
yang tidak makan sayur dan hanya mau makan coklat dapat membuat tubuh seseorang
menjadi kurus dan tidak bisa gendut. Satu orang partisipan (B) mengatakan bahwa ciki
dapat menyebabkan penyakit dan merusak gigi, sedangkan bayam dapat membuat
seseorang sehat dan bertubuh tinggi. Satu orang partisipan (C) menyatakan bahwa
makan wortel terus menerus tidak diperbolehkan karena dapat menjadi kelinci. Satu
orang partisipan lagi (D) mengungkapkan bahwa makan donat dapat membuatnya
senang, serta memakan stroberi, ciki, nasi, dan lauk dapat membuat seseorang menjadi
hebat.
Seluruh partisipan belum memahami efek dari diet tidak seimbang. Keempat
partisipan mengatakan bahwa hanya makan satu jenis makanan setiap hari
diperbolehkan, tetapi mensyaratkan agar tidak makan dalam jumlah yang banyak. Dua
orang partisipan (C dan D) menyebutkan alasan ketika memakan satu jenis makanan
secara terus menerus, seperti makan ciki dapat membuat batuk dan makan ayam dapat
Universitas Indonesia
129
membuat sakit. Sementara itu, dua orang partisipan lainnya (A dan B) tidak dapat
menyebutkan alasannya.
Seluruh partisipan dapat menyebutkan jenis makanan sehat. Seluruh partisipan
juga dapat memberikan jawaban mengapa makanan tersebut dikatakan sehat. Ketiga (A,
B, dan D) partisipan menyebutkan alasan makanan sehat dilihat dari efeknya bagi
kesehatan tubuh, seperti membuat seseorang menjadi tidak kurus, pintar, dan tidak sakit.
Satu orang partisipan lainnya (B) menyebutkan makanan sehat dari apakah makanan
tersebut diperbolehkan atau tidak untuk dimakan. B menyatakan bahwa makanan sehat
adalah makanan yang boleh dan dapat dimakan.
Seluruh partisipan menyebutkan ciri makanan sehat dari manfaatnya. Dua orang
partisipan (A dan B) menyebutkan bahwa bayam dapat membuat tubuh tidak kurus,
sehat, dan tinggi. Dua orang partisipan lainnya (C dan D) mengatakan bahwa memakan
makanan sehat, seperti pisang dan biskuit, dapat membuat sembuh dari sakit. Selain
manfaat, dua orang partisipan (A dan B) melihat makanan sehat dari warnanya, seperti
sayur dan apel yang berwarna hijau dan pisang yang berwarna kuning. Dua orang
partisipan (A dan C) juga menilai makanan sehat dari bentuknya, yaitu pisang memiliki
kulit pembungkus dan ayam yang memiliki daging.
Ketiga partisipan (A, B, dan C) juga menyebutkan makanan sehat dari rasanya.
Satu orang partisipan (A) mengatakan bahwa brokoli, ayam goreng cepat saji, dan
kentang goreng sehat karena memiliki rasa yang enak. Satu orang partisipan (B)
mengatakan bahwa jeruk sehat karena rasanya enak. Satu orang partisipan lainnya (C)
menyebutkan bahwa ayam sehat karena ia menyukai rasa ayam. Hal yang unik adalah
seorang partisipan (A) melihat makanan sehat dari jenisnya, yaitu pisang dan melon
sehat karena merupakan buah-buahan.
Seluruh partisipan dapat menyebutkan jenis makanan tidak sehat. Seluruh
partisipan juga dapat memberikan jawaban mengapa makanan tersebut dikatakan sehat.
Ketiga (A, B, dan D) partisipan menyebutkan alasan makanan sehat dilihat dari efeknya
bagi kesehatan tubuh, seperti dapat membuat tubuh kurus, batuk, dan sakit. Dua orang
partisipan (C dan D) mengatakan jawaban yang sama, yakni makanan tidak sehat dapat
membuat batuk. Hal tersebut juga dipengaruhi dari pengalaman mereka berdua ketika
memakan es krim dan ciki. Satu orang partisipan lainnya (B) menyebutkan makanan
tidak sehat dari apakah makanan tersebut diperbolehkan atau tidak untuk dimakan. B
Universitas Indonesia
130
menyatakan bahwa makanan tidak sehat adalah makanan yang tidak diperbolehkan
untuk dimakan.
Seluruh partisipan menyebutkan ciri makanan tidak sehat dari dampaknya. Satu
orang partisipan (A) menyebutkan bahwa makanan tidak sehat mengandung bakteri
yang dapat masuk ke dalam tubuh. Ketiga orang partisipan (B, C, dan D) mengatakan
makanan tidak sehat, seperti ciki, dapat menyebabkan penyakit dan merusak gigi. Selain
dampaknya, ketiga orang partisipan (A, B, dan D) melihat makanan tidak sehat dari
rasanya. A menganggap coklat dan ciki tidak sehat karena rasanya tidak enak,
sedangkan B dan D mengatakan bahwa ciki dan kerupuk rasanya enak dan mereka
menyukainya walaupun tidak sehat. Jawaban berbeda dilontarkan oleh A yang juga
memandang makanan tidak sehat dari bentuknya, yaitu es krim tidak sehat karena
mudah meleleh.
Pada kategori jenis sayuran dan buah-buahan, kedua partisipan (A dan C) telah
mengenal jenis sayuran dan buah-buahan serta dapat mengelompokkannya secara tepat.
dan C berusia enam tahun dan telah menempuh pendidikan taman kanak-kanak. Di sisi
lain, kedua partisipan (B dan D) belum dapat mengenal jenis sayuran dan buah-buahan
serta belum dapat mengelompokkannya dengan benar. B dan D berusia empat tahun dan
belum bersekolah. B masuk ke kelompok bermain dan D masuk ke bimbingan baca-
tulis. Perbedaan yang terjadi menunjukkan bahwa hal tersebut sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Piaget (1961) bahwa usia dan kematangan fisik merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak.
Universitas Indonesia
131
Universitas Indonesia
132
Universitas Indonesia
133
Universitas Indonesia
134
Universitas Indonesia
135
Universitas Indonesia
136
Universitas Indonesia
137
bahwa anak belum dapat membedakan diri sendiri dan dunia secara utuh sehingga anak
belum dapat melihat sudut pandang perseptual dan konseptual dari orang lain (Miller,
2011).
Tiga orang partisipan (A, B, dan D) juga menunjukkan ciri egocentrism pada
saat menjelaskan efek dari kuantitas makanan. A mengatakan hal yang hanya ia
mengerti maksudnya ketika menjelaskan efek dari kuantitas makanan, misalnya
“soalnya makan itu daha” atau “daha itu… nenek-nenek”. B menjelaskan bahwa tidak
makan membuat seseorang tidak boleh membeli mainan, serta memakan melon terlalu
banyak bisa dibuang. D menyatakan bahwa apabila seseorang tidak makan dapat
membuat sakit karena ketularan teman D juga menambahkan bahwa apabila seseorang
sudah makan, maka seseorang diperbolehkan untuk memakan es krim. Jawaban yang
diberikan oleh A, B, dan D didasari oleh pengalaman mereka sendiri ketika ditanya
mengenai efek dari kuantitas makanan, mencirikan karakteristik egocentrism.
Dua orang partisipan (C dan D) menampilkan karakteristik egocentrism ketika
menerangkan efek dari makanan tertentu. Menurut C, makan kerupuk dan air dingin
dapat membuat batuk. D juga mengungkapkan bahwa makan donat dapat membuatnya
senang. Lebih jauh lagi, D mengatakan bahwa walaupun donat membuatnya senang, ia
tidak mampu menghabiskan donat dan disuruh ibunya untuk memakan nasi. Jawaban
dari C dan D tersebut menunjukkan bahwa penalaran mereka sesuai dengan ciri
egocentrism.
Karakteristik lainnya yang ditunjukkan oleh partisipan dalam pemahaman
konsep tentang makanan adalah kekakuan berpikir (rigidity of thought). Ciri kekakuan
berpikir (rigidity of thought) yang pertama adalah centration. Centration adalah
kecenderungan anak untuk melihat karakteristik yang menonjol dari objek dan peristiwa
serta mengabaikan karakteristik yang lainnya (Piaget & Inheider, 2000). Ketiga
partisipan (A, C, dan D) menampilkan ciri centration dalam memberikan alasan efek
dari diet yang tidak seimbang. A mengatakan bahwa hanya makan brokoli setiap hari
diperbolehkan karena merupakan sayuran. C menyebutkan bahwa hanya makan ciki
tidak diperbolehkan karena dapat membuat batuk. D juga menjawab bahwa lidah
seseorang akan berubah warna menjadi kuning jika hanya makan pisang. A fokus pada
ciri brokoli yang merupakan sayuran, C melihat ciki dari dampaknya, dan D
memusatkan perhatian pada warna pisang. Ketiga partisipan mengabaikan karakteristik
Universitas Indonesia
138
lainnya dari brokoli, ciki, dan pisang saat menjelaskan efek dari diet yang tidak
seimbang.
Seluruh partisipan (A, B, C, D) juga menunjukkan karakteristik centration pada
saat menjelaskan ciri makanan sehat. Seluruh partisipan memandang beberapa makanan
sehat dari bentuk, jenis, warna, dan rasa makanan tersebut. Seluruh partisipan hanya
fokus pada salah satu ciri yang muncul ketika menyebutkan alasan mengapa makanan
tersebut dapat dikatakan sehat. Dua orang partisipan (A dan D) juga menyebutkan ciri
makanan tidak sehat sesuai dengan karakteristik centration, yaitu melihat makanan
tidak sehat berdasarkan bentuk dan rasa. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa
penalaran seluruh partisipan tertuju pada karakteristik yang konkret pada makanan.
Walaupun begitu, seluruh partisipan juga mengeluarkan jawaban mengenai manfaat dari
makanan sehat dan dampak dari makanan tidak sehat. Dapat dilihat bahwa anak usia
prasekolah sudah mulai memahami efek yang dihasilkan dari makanan sehat.
Ciri kekakuan berpikir (rigidity of thought) yang kedua adalah lack of flexibility.
Lack of flexibility adalah kecenderungan untuk fokus pada hal yang statis dibandingkan
dengan perubahan yang terjadi (Miller, 2011). Ketiga orang partisipan (C, B, dan D)
menunjukkan karakteristik lack of flexibility pada saat menerangkan tentang efek dari
makanan tertentu. Pemikiran C hanya tertuju pada sayuran dapat membuat sembuh,
tetapi belum memahami tentang proses hal tersebut dapat terjadi. B mengatakan bahwa
memakan bayam dapat membuat tubuh seseorang menjadi tinggi, walaupun belum
dapat menjelaskan lebih lanjut. D juga menyebutkan hal yang serupa. Menurutnya,
makan ayam tanpa memakan makanan yang lain juga dapat membuat seseorang
menjadi sakit, tetapi tidak dapat menjelaskannya. Ketidakmampuan C, B, dan D dalam
menjelaskan proses yang terjadi menandai karakteristik lack of flexibility. Selain efek
dari makanan tertentu, dua orang partisipan (B dan D) menunjukkan karakteristik lack
of flexibility ketika menjawab tujuan dari makan. B hanya melihat makan dapat
menjadikan seseorang tidak merasa lelah, tanpa mengetahui prosesnya, sedangkan D
belum mengetahui proses yang terjadi mengapa makan dapat membuat seseorang
menjadi sehat.
Tiga orang partisipan (C, A, dan D) juga mencirikan lack of flexibility saat
mengatakan ciri makanan sehat dan tidak sehat. Pemikiran C masih terbatas pada
manfaat yang dihasilkan dari makanan sehat tanpa mengetahui prosesnya. A
Universitas Indonesia
139
menyatakan bahwa makanan tidak sehat adalah makanan yang membuat tubuh kurus
karena mengandung bakteri, tetapi tidak mengetahui prosesnya. D juga menyebutkan
bahwa ciki adalah makanan tidak sehat karena dapat merusak gigi, tetapi tidak dapat
menjelaskan alasannya. Hal yang unik adalah satu orang partisipan (A) menunjukkan
karakteristik lack of flexibility dalam menjelaskan efek dari kuantitas makanan. A
mengungkapkan bahwa tubuh orang gendut yang berukuran besar karena mengonsumsi
banyak makanan, tetapi tidak dapat menjelaskan proses bagaimana makanan dapat
mengubah ukuran tubuh.
Ciri kekakuan berpikir (rigidity of thought) lainnya adalah lack of reversibility.
Lack of reversibility adalah anak belum mampu membalik rangkaian peristiwa,
perubahan, atau langkah-langkah dalam penalaran secara mental (Miller, 2011). Namun,
peneliti tidak menemukan adanya karakteristik lack of reversibility yang muncul pada
konsep tentang makanan yang dimiliki oleh partisipan. Hal tersebut kemungkinan besar
dikarenakan tidak adanya pertanyaan tentang transformasi dan pencernaan makanan di
dalam panduan wawancara, sehingga jawaban dari partisipan tidak menyebutkan
tentang proses perubahan makanan di dalam tubuh.
Karakteristik semilogical reasoning paling banyak muncul pada saat partisipan
menjelaskan konsep tentang makanan. Hampir di seluruh kategori konsep tentang
makanan memunculkan ciri semilogical reasoning, yaitu menghubungkan sebuah
pemikiran dalam hal yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis (Wadsworth,
2004). Dalam semilogical reasoning, anak mencoba menjelaskan peristiwa di
kehidupan sehari-hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011). Semilogical
reasoning menunjukkan proses berpikir semilogis karena pemikiran tentang sebab-
akibat masih sangat umum dan terbatas (Miller, 2011).
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) menunjukkan karakteristik semilogical
reasoning menjelaskan efek dari kuantitas makanan. A menyebutkan bahwa orang yang
kurus dan tidak bisa gendut karena tidak mau makan, terutama tidak mau makan sayur
dan hanya mau makan coklat. B mengatakan bahwa seseorang yang tidak makan dapat
dibawa dengan mobil ambulan karena sakit karena pernah melihat seseorang yang sakit
diantar oleh mobil ambulan. C menjelaskan bahwa tubuh seseorang akan menjadi kurus
jika tidak ada makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dan sebaliknya, tubuh
seseorang menjadi gendut karena makanan yang dimakan dan minuman yang diminum
Universitas Indonesia
140
berjumlah banyak. D menuturkan bahwa apabila seseorang tidak makan, maka bisa
menjadi sakit karena ketularan teman. Selain itu, D juga menyatakan bahwa makan
dengan jumlah yang banyak dapat membuat dirinya hebat.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) menjelaskan efek dari makanan tertentu
dengan karakteristik semilogical reasoning yang menjelaskan sebuah peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari. A mengatakan perumpamaan bahwa makan sayur dapat
membuat seseorang menjadi gendut seperti balon. B menyebutkan bahwa ciki ‘nakal’
karena mengandung penyakit. C yang menyatakan bahwa makan wortel terus menerus
dapat membuat seseorang menjadi kelinci. D memberikan jawaban bahwa stroberi, ciki,
nasi, dan lauk dapat membuat seseorang menjadi hebat. Selain itu, D juga mengutarakan
bahwa hanya makan pisang dan ciki dapat membuat seseorang menjadi sakit dan seperti
tengkorak.
Di samping itu, dua orang partisipan (A dan B) menggambarkan pemikiran yang
semilogis ketika menjelaskan tujuan dari makan. A menyatakan bahwa makan dapat
membuat tubuh menjadi gendut sehingga tubuh menjadi tidak kurus, sedangkan B
menyatakan bahwa makan bertujuan membuat orang merasa tidak capai. Dua orang
partisipan (B dan D) mencirikan karakteristik semilogical reasoning ketika
menyebutkan ciri makanan sehat dan tidak sehat. Menurut B, makanan sehat adalah
makanan yang diperbolehkan untuk dimakan. B juga menceritakan bahwa apabila
memakan mie sejak dulu dapat membuat seseorang disuntik dan dirinya takut untuk
disuntik. D juga mengungkapkan hal yang serupa. D menyebutkan bahwa makanan
sehat adalah makanan yang tidak membuat sakit. D juga menyebut biskuit sebagai
makanan tidak sehat karena lebih sehat makanan lain
Karakteristik terakhir dari tahap preoperational thought adalah kognisi sosial
yang terbatas (limited social cognition), yaitu anak kurang mampu membedakan peran
antara dunia fisik dan sosial (Miller, 2011). Kognisi sosial yang terbatas tersebut juga
ditunjukkan oleh kurangnya komunikasi yang nyata dengan orang lain karena
egocentric speech sebagai hasil dari egosentrisme (Wadsworth, 2004; Miller, 2011).
Seluruh partisipan (A, B, D, dan C) menunjukkan egocentric speech dalam porsi yang
berbeda-beda. A menyebutkan makan itu adalah daha dan menjelaskan bahwa daha
adalah nenek-nenek. B juga sering menyebutkan kalimat yang tidak dapat dimengerti
oleh orang lain. A dan B juga sering mengoceh dan mengulangi kata-kata yang telah
Universitas Indonesia
141
diucapkannya ketika sedang bermain. D sering mengulangi kalimat “aku suka donat”.
D juga beberapa kali menyebutkan nama orang lain dan tidak dapat menjelaskan siapa
orang tersebut.
C tidak terlalu menunjukkan egocentric speech, hanya saja ia banyak
menggunakan gestur, seperti mengangguk dan menggeleng ketika menjawab
pertanyaan. C memiliki usia yang paling tua dibandingkan partisipan yang lain sehingga
memiliki egocentric speech yang mulai berkurang karena sedang dalam peralihan masa
peralihan menuju tahap concrete operational. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa
kematangan fisik (physical maturation) turut berperan dalam konsep tentang makanan
pada anak usia prasekolah.
Universitas Indonesia
142
Universitas Indonesia
143
Universitas Indonesia
144
Universitas Indonesia
145
Universitas Indonesia
146
Universitas Indonesia
147
lebih lembut. D juka menyukai lauk yang bertekstur empuk, seperti tempe, ikan, dan
tahu. Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) juga tidak terlalu menyukai daging sapi
karena berserat dan sulit dikunyah.
Tiga orang partisipan (A, B, dan C) tidak menyukai buah dan sayuran yang
bertekstur kasar dan keras. A tidak menyukai buah apel dan pir, sedangkan C tidak
menyukai kacang panjang. B juga tidak menyukai wortel, brokoli, dan buncis. Hal yang
berbeda terdapat pada satu orang partisipan (D). D tidak menyukai sayuran apapun dan
tidak mau makan sayuran. Apabila disuguhkan sayur, D hanya memakan nasi dan
kuahnya tanpa memakan sayurannya.
Dua orang partisipan (B dan D) juga memiliki kesamaan, yaitu menyukai
makanan manis. Tiga orang partisipan (A, C, dan D) sama-sama tidak menyukai
makanan pedas, tetapi satu orang partisipan (B) tidak menemui masalah saat memakan
makanan pedas. B menyukai makanan yang agak pedas, walaupun meminta ibunya agar
mengurangi cabainya.
Terkait aturan makan, dua orang partisipan (B dan C) dibiasakan menaati cara
makan, misalnya harus makan sambil duduk dan tidak berjalan-jalan, serta harus
menghabiskan makanan yang sedang dimakan. Dua orang partisipan lainnya (A dan D)
memiliki aturan makan mengenai makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. A
tidak boleh makan mie instan, ciki, dan permen kenyal karena makanan tersebut dapat
membuatnya radang tenggorokan. C juga tidak diperbolehkan makan coklat dan tomat
karena dapat membuat asmanya kambuh.
Untuk membuat partisipan menaati aturan makan, orang tua dari seluruh
partisipan melakukan strategi yang berbeda. Dua orang partisipan (B dan C) melakukan
strategi pemberian hadiah dan hukuman, seperti membelikan sesuatu yang diinginkan
saat mematuhi aturan dan menegur ketika tidak menaati aturan. Dua orang partisipan
lainnya (A dan D) menyiasati agar A dan D tetap menaati aturan tersebut, misalnya
membuat perjanjian lain atau memberikan makanan pengganti. Terkadang, satu orang
partisipan (C) juga diberikan makanan olahan, seperti telur, sosis, dan nugget, ketika ia
tidak mau makan atau tidak ada makanan yang dapat dimakan olehnya.
Seluruh partisipan (A, B, C, D) mengenal makanan ketika ibu, nenek, atau
pengasuhnya memasak dan menemani makan. Keempat partisipan (A, B, C, D)
mengetahui jenis makanan saat sedang makan melalui bentuk makanan tersebut. Dua
Universitas Indonesia
148
orang partisipan (A dan D) juga mengenal makanan karena diberikan langsung sedikit
makanan untuk dicoba. Dua orang partisipan (B dan C) mengetahui jenis makanan,
seperti sayuran dan buah-buahan, karena menonton tayangan di televisi dan youtube.
Selain itu, dua orang partisipan (A dan B) juga mengetahui makanan pada saat
melakukan kegiatan di sekolah, seperti presentasi dan menyanyikan lagu.
Pada respon terhadap makanan baru, dua orang partisipan (A dan C) jarang mau
mencoba makanan baru. Sementara itu, dua orang partisipan lainnya (B dan D) masih
mau mencoba makanan baru. Saat diberikan makanan baru, dua orang partisipan (A dan
B) menganalisis makanan yang diberikan. Lalu ketika menyukai makanan tersebut,
maka A dan B akan meneruskan makan. Berbeda dengan C, C akan lebih mau mencoba
makanan baru ketika memakannya bersama-sama dengan anggota keluarga. Sementara
itu, D diharuskan berhati-hati memilih makanan baru yang diberikan agar tidak
membuat asmanya kambuh.
Universitas Indonesia
149
Universitas Indonesia
150
Universitas Indonesia
151
C, yaitu meminta memakan sosis, telur, dan nugget ketika sedang tidak mau makan atau
tidak ada makanan yang dapat dimakannya.
Sekolah juga berperan dalam pembentukan konsep makanan dua orang
partisipan, yaitu A dan B. A dipengaruhi oleh sekolah dalam hal mengenalkan makanan,
membentuk kebiasaan makan, mengenalkan jenis sayuran dan buah-buahan, serta
mengajarkan makanan sehat dan tidak sehat. B juga dipengaruhi oleh sekolah dalam
mengenalkan jenis sayuran dan buah-buahan serta mengenalkan makanan baru yang
dimakan oleh temannya di sekolah. Bagi partisipan D yang belum menempuh sekolah
formal, D mendapatkan pengaruh dari teman mainnya, yaitu dalam hal mengenalkan
makanan dan kebiasaan jajan.
Seluruh partisipan (A, B, C, dan D) juga dipengaruhi oleh media, walaupun
tidak menempati porsi yang besar. Media yang turut berperan dalam pembentukan
konsep makanan pada seluruh partisipan adalah televisi dan internet, terutama youtube.
Melalui media, keempat partisipan mendapatkan tambahan informasi makanan yang
selama ini belum diketahui oleh mereka. Misalnya, mengenalkan berbagai jenis
makanan baru serta memberitahu tentang jenis sayuran dan buah-buahan.
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan menjabarkan kesimpulan dari hasil dan analisis
penelitian. Peneliti juga akan menjelaskan diskusi mengenai temuan penelitian. Sebagai
penutup, peneliti menuliskan saran metodologis bagi penelitian selanjutnya, serta saran
praktis yang diajukan berdasarkan diskusi penelitian.
5.1 Kesimpulan
Berkaitan dengan konsep makanan, anak usia prasekolah telah mengetahui tujuan
dari makan bahwa makan berguna bagi tubuh, efek dari kuantitas makanan, dan efek dari
makanan tertentu. Anak usia prasekolah belum dapat memahami efek dari diet tidak
seimbang karena anak usia prasekolah berpikir bahwa hanya makan satu jenis makanan dan
tidak memakan yang lain diperbolehkan. Anak usia prasekolah telah mengetahui tentang
makanan sehat dan tidak sehat, walaupun anak usia prasekolah menyebutkan ciri makanan
sehat dan tidak sehat berdasarkan penalaran mereka.
Anak usia prasekolah telah mulai memahami manfaat makanan bagi kesehatan
tubuh, meskipun tidak dapat menjelaskan alasannya. Selain manfaatnya, anak usia
prasekolah juga memandang makanan sehat dari jenis, warna, bentuk, dan rasa. Anak usia
prasekolah juga mulai mengerti dampak makanan tidak sehat bagi kesehatan tubuh, tetapi
tidak dapat memberikan jawaban lebih lanjut mengenai hal ini. Anak usia prasekolah juga
melihat makanan tidak sehat dari bentuk dan rasanya.
Hasil analisis konsep makanan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif Piaget
menggambarkan bahwa anak usia prasekolah menunjukkan karakteristik preoperational
thought saat menjelaskan pemahaman mengenai makanan. Anak usia prasekolah
mencirikan representasi mental, yaitu simbol dan tanda, pada saat menjelaskan efek dari
kuantitas makanan dan menyebutkan jenis sayuran. Anak usia prasekolah menunjukkan
pemikiran yang egosentris (egocentrism) ketika menerangkan tujuan dari makan, efek dari
kuantitas makanan, dan efek dari makanan tertentu. Anak usia prasekolah menampilkan
karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought), yaitu centration dan lack of flexibility
152
Universitas Indonesia
153
saat melontarkan jawaban mengenai efek dari diet tidak seimbang, efek dari makanan
tertentu, serta ciri makanan sehat dan tidak sehat. Tidak ditemukan adanya karakteristik
lack of reversibility dalam pemahaman konsep tentang makanan pada anak usia prasekolah.
Karakteristik semilogical reasoning muncul di semua kategori, yaitu pada
komponen tujuan dari makan, efek dari kuantitas makanan, efek dari makanan tertentu, dan
efek dari diet yang tidak seimbang. Selain itu, anak usia prasekolah juga menggambarkan
ciri kognisi sosial yang terbatas (limited social cognition). Namun, seiring anak mencapai
akhir dari tahap preoperational thought dan mulai mengarah pada concrete operational,
egocentric speech mulai tidak terlalu terlihat.
Pembentukan konsep makanan anak usia prasekolah tergantung dari kebiasaan
makan, cara makan, jenis makanan yang disukai, aktivitas saat makan, aturan makan,
strategi yang dilakukan, pengenalan makanan, dan respon terhadap makanan baru. Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman sosial (social experience) anak dengan orang-
orang di sekitarnya. Pengalaman sosial (social experience) yang paling berperan dalam
pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah adalah orang tua, terutama ibu.
Selain itu, ayah, anggota keluarga lain yang tinggal di rumah (seperti nenek dan kakek),
pengasuh, sekolah dan teman sebaya, serta media juga memberikan pengalaman sosial bagi
anak dalam membentuk konsep tentang makanan.
5.2 Diskusi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak usia prasekolah telah memiliki
pemahaman konsep tentang makanan. Anak usia prasekolah dapat menjelaskan tujuan dari
makan, efek dari kuantitas makanan, dan efek dari makanan tertentu. Dalam menjelaskan
ketiga komponen tersebut, anak usia prasekolah melontarkan jawaban yang mengaitkan
antara makanan dan efeknya bagi tubuh. Misalnya, A yang mengatakan bahwa makan
berguna agar tubuh menjadi gendut dan tidak kurus. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian Slaughter dan Ting (2010) yang menyatakan bahwa anak usia lima tahun sering
menyebutkan hubungan antara makanan dengan pertumbuhan.
Dalam penelitian ini, ditemukan hasil bahwa anak usia prasekolah belum mampu
menjelaskan alasan mengapa makanan dapat membuat bertumbuh atau menjadi sehat, yang
Universitas Indonesia
154
mencirikan karakteristik kekakuan berpikir (rigidity of thought) (Piaget & Inheider, 2000).
Hasil penelitian tersebut juga serupa dengan penelitian Contento (1981) yang menyatakan
bahwa anak usia prasekolah memandang makanan tidak dicerna dalam tubuh, yaitu
makanan masuk ke dalam perut dan tidak mengalami perubahan di dalam tubuh.
Akibatnya, anak usia prasekolah tidak dapat menjelaskan mengapa makanan dapat
membuat tubuh menjadi gendut atau sehat, sesuai dengan apa yang ditemukan dalam
penelitian ini.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa anak usia prasekolah memiliki
penalaran bahwa ukuran tubuh seseorang dapat membesar atau mengecil disebabkan oleh
efek dari kuantitas makanan. Sebagai contoh adalah yang dikemukakan oleh C, yaitu
apabila seseorang tidak makan, maka tubuh seseorang akan menjadi kurus karena tidak ada
makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh, dan sebaliknya, apabila seseorang
yang makan terlalu banyak, tubuhnya dapat menjadi gendut karena makanan yang dimakan
dan minuman yang diminum berjumlah banyak. Hasil tersebut juga sesuai dengan
Slaughter dan Ting (2010) yang menyebutkan bahwa anak usia lima tahun mengatakan
bahwa seseorang dapat mengecil atau menyusut apabila tidak makan atau melakukan diet
yang tidak seimbang (Slaughter & Ting, 2010). Namun, penelitian ini juga menemukan
hasil yang berbeda dari Slaughter dan Ting (2010). Penelitian ini mendapatkan temuan
bahwa anak usia prasekolah tidak hanya melihat hubungan antara makanan dengan
pertumbuhan, tetapi anak usia prasekolah juga mulai melihat kaitan antara makanan dengan
kesehatan. Misalnya, B dan D yang menyebutkan bahwa tidak makan dapat membuat
seseorang menjadi sakit. Hasil tersebut juga berbeda dari apa yang dikemukakan oleh
Zeinstra, Koelen, Kok, dan de de Graaf (2007) yang menyatakan bahwa anak usia
prasekolah belum mampu menggambarkan tentang kesehatan.
Walaupun begitu, penelitian ini menemukan bahwa penalaran anak usia prasekolah
mengenai hubungan antara makanan dengan kesehatan masih bersifat egosentris, yaitu
kecenderungan untuk mempersepsi, memahami, dan menginterpretasi dunia sesuai dengan
diri anak (Piaget & Inheider, 2000). Anak usia prasekolah menyebutkan kaitan antara
makanan dan kesehatan berdasarkan pengalaman diri mereka sendiri. Contohnya, B yang
mengatakan bahwa apabila tidak makan, maka akan dibawa dengan mobil ambulan ke
Universitas Indonesia
155
rumah sakit. Contoh lainnya adalah D, yang menyebutkan bahwa tidak makan akan
membuatnya sakit karena ketularan temannya yang juga sakit. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian Contento (1981) yang menemukan bahwa kebanyakan anak pada tahap
preoperational memiliki karakteristik persepsi yang egosentris pada saat menjelaskan efek
dari makanan dan tubuh.
Penjelasan mengenai hubungan antara makanan dengan pertumbuhan fisik serta
kesehatan tubuh yang dikemukakan oleh anak usia prasekolah tersebut juga menunjukkan
karakteristik semilogical reasoning, yaitu pemikiran anak sering dihubungkan dalam hal
yang luas dibandingkan dengan hubungan yang logis (Wadsworth, 1984). Anak
menjelaskan suatu hubungan dan proses mengenai makanan dengan hal-hal yang semilogis
dan belum memahami sebab-akibat. Misalnya, A menilai bahwa orang yang tidak makan
dapat menjadi kurus dan tidak bisa menjadi gendut karena tidak mau makan sayur. Selain
itu, anak usia prasekolah juga mencoba untuk menjelaskan peristiwa di kehidupan sehari-
hari dalam hal tingkah laku manusia (Miller, 2011), yang ditunjukkan dengan sebutan B
bahwa ciki ‘nakal’ karena berpenyakit.
Dalam mengenali ciri makanan sehat dan tidak sehat, anak usia prasekolah
memandang ciri makanan sehat dari jenis, warna, bentuk, dan rasa, serta melihat makanan
tidak sehat dari bentuk dan rasa. Anak usia prasekolah juga menyebutkan makanan sehat
berdasarkan preferensi, misalnya C yang mengatakan bahwa ayam sehat karena ia
menyukainya. Hal tersebut sejalan penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007)
yang mengungkapkan bahwa anak usia prasekolah mengelompokkan makanan berdasarkan
karakteristik konkret, yaitu warna dan bentuk. Anak usia prasekolah telah mampu
membedakan makanan yang sehat dan tidak sehat berdasarkan preferensi dan efek terhadap
pertumbuhan fisik (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007).
Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de
Graaf (2007) yang mengatakan bahwa kebanyakan anak usia 4─5 tahun tidak dapat
mengelompokkan jenis makanan sehat dan makanan tidak sehat secara tepat. Dua
partisipan dalam penelitian ini (B dan D) yang berusia empat tahun memiliki jawaban yang
belum konsisten ketika diajukan pertanyaan mengenai jenis makanan sehat dan makanan
Universitas Indonesia
156
tidak sehat. Beberapa makanan yang tidak sehat disebut sebagai makanan sehat oleh kedua
partisipan tersebut.
Di sisi lain, terdapat juga hasil penelitian ini yang berbeda dengan apa yang
dikatakan Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007). Anak usia prasekolah menggunakan
aturan yang konkret dan sederhana untuk mengkategorisasikan makanan sehat dan tidak
sehat, misalnya hubungan antara makanan dan warna, hubungan antara makanan dan
kesehatan, dan preferensi (Zeinstra, Koelen, Kok, & de Graaf, 2007). Pada penelitian ini,
peneliti juga menemukan bahwa kebanyakan anak usia prasekolah melihat ciri konkret dan
sederhana seperti yang dikemukakan oleh Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007).
Meskipun begitu, penelitian ini juga menemukan hasil bahwa anak usia prasekolah mulai
memahami tentang manfaat makanan sehat dan dampak yang dihasilkan ketika memakan
makanan tidak sehat, tetapi belum mampu menjelaskannya lebih lanjut.
Ketidakmampuan anak usia prasekolah dalam menerangkan manfaat makanan sehat
dan dampak makanan tidak sehat dapat dijelaskan melalui karakteristik yang ada pada anak
usia prasekolah, yaitu rigidity of thought, yang ditandai oleh centration dan lack of
flexibility (Piaget & Inheider, 2000). Namun, peneliti tidak menemukan karakteristik lack of
reversibility dalam jawaban yang dilontarkan oleh seluruh partisipan. Hal tersebut
kemungkinan besar dikarenakan tidak adanya pertanyaan tentang pencernaan makanan di
dalam panduan wawancara, sehingga jawaban dari partisipan tidak menyebutkan tentang
proses perubahan makanan di dalam tubuh. Walaupun demikian, salah seorang partisipan
(A) mulai menyebutkan adanya bakteri di dalam perut tetapi tidak dapat menjelaskannya.
Penjelasan temuan mengenai makanan sehat dan tidak sehat juga dapat dijabarkan
dengan penelitian Hart, Bishop, dan Truby (2002). Menurut Hart, Bishop, dan Truby
(2002), anak-anak dengan usia yang lebih muda cenderung mengklasifikasikan makanan
yang sehat pada karakteristik psikologis, misalnya dari segi rasa dan kesukaan mereka pada
makanan tersebut. Sejalan dengan penelitian tersebut, pada penelitian ini, partisipan B dan
D yang berusia empat tahun mengelompokkan makanan sehat dan tidak sehat berdasarkan
apakah ia suka dengan makanan tersebut atau tidak. Selain itu, anak-anak dengan usia yang
lebih tua menunjukkan kandungan gizi dan efeknya pada metabolisme tubuh ketika menilai
makanan yang berbeda (Hart, Bishop, & Truby, 2002). Partisipan A dan C yang berusia
Universitas Indonesia
157
enam tahun sudah mengungkapkan mengenai manfaat makanan sehat dan dampak makanan
tidak sehat.
Dari pemaparan di atas juga dapat dilihat bahwa usia memengaruhi pemahaman
konsep makanan yang dimiliki oleh anak. Berdasarkan faktor perkembangan kognitif yang
dikemukakan oleh Piaget (1961), usia dan kematangan fisik juga memengaruhi penalaran
yang dimiliki oleh anak. Hal tersebut dibuktikan dengan jawaban dari C yang menyebutkan
bahwa apabila tidak makan, seseorang akan menjadi kurus karena tidak ada makanan dan
minuman yang masuk ke dalam tubuh. Penalaran C mengenai sebab-akibat sudah mulai
terbentuk dan mulai mengarah kepada karakteristik perkembangan kognitif concrete
operational karena usia C telah memasuki akhir dari tahap perkembangan kognitif
preoperational thought.
Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa anak usia prasekolah telah mampu
mengorganisasikan makanan ke dalam kategori tertentu. Peneliti menemukan bahwa
kemampuan anak usia prasekolah dalam mengelompokkan makanan dipengaruhi oleh usia
anak serta tingkat pendidikan yang ditempuh oleh anak. Anak yang berusia enam tahun dan
sedang menempuh Taman Kanak-kanak (TK) telah dapat mengelompokkan jenis sayuran
dan buah-buahan. Sementara itu, anak yang berusia empat tahun dan belum bersekolah
belum dapat membedakan jenis sayuran dan buah-buahan secara tepat. Anak usia empat
tahun juga cenderung tertukar menyebutkan jenis sayuran dan buah-buahan,
menggambarkan karakteristik representasi mental berupa simbol, yaitu kesamaan yang
menetap antara objek (Miller, 2011). Perbedaan kemampuan mengelompokkan makanan
berdasarkan usia dan tingkat pendidikan tersebut juga disebabkan oleh kurikulum di TK
telah mencakup pembelajaran mengenai tema tanaman, dengan subtema sayuran dan buah-
buahan pada semester pertama (Kemdikbud, 2015), sehingga anak yang sudah bersekolah
memiliki pemahaman yang lebih baik tentang sayuran dan buah-buahan dibandingkan anak
yang belum memasuki TK.
Masih berkaitan dengan pengelompokkan makanan, penelitian ini juga
mendapatkan hasil yang serupa dengan apa yang didapatkan oleh Contento (1981).
Menurut Contento (1981), pada tahap preoperational, anak belum dapat memahami
makanan tetap sama walaupun dipotong, dimasak, atau dilunakkan. Dalam penelitian ini,
Universitas Indonesia
158
anak usia prasekolah tidak dapat mengenali jenis sayuran bayam ketika diberikan gambar
sayuran dalam bentuk aslinya, tetapi mengetahui jenis sayuran bayam ketika telah diolah
dalam bentuk makanan jadi. Selain itu, peneliti juga memperoleh temuan bahwa anak usia
prasekolah masih kesulitan dalam membedakan makanan dan jajanan. Ketika ditanyakan
mengenai makanan tidak sehat, beberapa partisipan menyebutkan donat, es krim, ciki, dan
permen sebagai makanan dan bukan jajanan. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
Contento (1981) yang menyebutkan bahwa pada tahap preoperational, anak belum dapat
membedakan makanan dan jajanan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa anak usia prasekolah mengelompokkan
makanan yang dikonsumsi secara sederhana, yaitu nasi, lauk, sayur, dan buah. Hasil
tersebut memiliki kemiripan dengan hasil penelitian Michela dan Contento (1984), yaitu
anak pada tahap preoperational menggunakan kategori tradisional semantik sebagai kriteria
mengelompokkan makanan (misalnya buah, roti, sayur, dan lainnya). Pengelompokkan
makanan yang dilakukan oleh anak usia prasekolah sesuai dengan makanan pokok yang
biasa dikonsumsi di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak mengkonstruk
pengetahuan mengenai makanan pokok sesuai dengan konteks lingkungan. Sesuai dengan
apa yang dikatakan oleh Shutts, Kinzler, dan DeJesus (2013) bahwa perbedaan budaya juga
memengaruhi kebiasaan makan dan pola konsumsi makan anak, sehingga anak membentuk
konsep makanan sesuai dengan tempat tinggalnya yang dipengaruhi pengalaman sosial
(social experience) anak sehari-hari.
Pengalaman sosial (social experience) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perkembangan kognitif (Piaget, 1961). Pengalaman sosial (social
experience) membentuk konsep yang dimiliki anak melalui pengalaman dari orang lain,
meliputi pertukaran ide antara anak dan orang lain (Wadsworth, 2004; Miller, 2011). Anak
usia prasekolah mengkonstruk konsep makanan dari pengalaman sosial yang didapatnya.
Pengalaman sosial yang berperan dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia
prasekolah adalah orang tua (terutama ibu), ayah, anggota keluarga yang tinggal di rumah
(nenek dan kakek), pengasuh atau asisten rumah tangga, sekolah dan teman sebaya, serta
media.
Universitas Indonesia
159
Hasil penelitian ini menemukan bahwa orang tua memiliki peran yang paling besar
dalam pembentukan konsep makanan pada anak. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikatakan Golan dan Geizman (2001) serta Hart, Bishop, dan Truby (2002) bahwa orang
tua merupakan model utama dan signifikan dari perilaku makan anak dan menjadi panutan
tingkah laku anak yang berkaitan dengan kesehatan. Temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa peran yang dilakukan oleh ibu adalah menemani makan dan
melibatkan anak dalam proses penyiapan makanan. Penelitian yang sejalan dengan hasil
penelitian ini adalah penelitian McKinley, et al. (2005) yang menyebutkan bahwa orang tua
menjadi sumber informasi bagi anak mengenai makanan dan kandungan gizi.
Selain itu, ibu juga berperan dalam penyiapan makanan dan perencanaan menu.
Dalam menyiapkan makanan, ibu juga melibatkan anak dalam melakukan aktivitas yang
mudah untuk dilakukan anak, seperti mengocok telur atau mencetak adonan kue. Hasil
tersebut serupa dengan apa yang dikatakan Friedman, Bowden, dan Jones (2003) serta
Kesuma, Novayelinda, dan Sabrian (2015) bahwa orang tua yang menyiapkan makanan
untuk anaknya turut melibatkan anak dan memberikan informasi pada anak tentang
makanan yang sebaiknya dikonsumsi dan tidak dikonsumsi
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa anak juga turut membentuk kebiasaan
makan dari ayahnya. Peneliti menemukan bahwa ayah dari ketiga partisipan (B, C, dan D)
memengaruhi jenis makanan yang disukai atau menyukai makanan tertentu. Ketiga
partisipan tersebut memiliki kebiasaan memilih-milih makanan karena dipengaruhi oleh
ayahnya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Matheson, Spranger, dan Saxe (2002)
menemukan bahwa orang tua yang menjadi contoh kurang baik dapat memengaruhi
preferensi makanan dan pengalaman makan pada anak.
Selain orang tua, anggota keluarga lainnya yang tinggal di rumah juga memiliki
peran dalam pembentukan konsep makanan pada anak usia prasekolah. Nenek dan kakek
juga ikut membantu orang tua dalam menemani makan, menyiapkan makanan,
merencanakan menu, mengenalkan makanan, menerapkan strategi, dan memengaruhi
kebiasaan jajan. Pengasuh atau asisten rumah tangga yang tinggal di rumah juga secara
tidak langsung membentuk konsep makanan yang dimiliki anak, dalam hal menemani
makan, mengenalkan makanan, menyiapkan makanan, dan merencanakan menu.
Universitas Indonesia
160
Penelitian ini juga menemukan bahwa sekolah turut memengaruhi konsep makanan
yang dimiliki oleh anak usia prasekolah melalui pelajaran dan kegiatan yang diadakan. Hal
tersebut sejalan dengan hasil beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pemahaman
konsep tentang makanan sehat dan tidak sehat diperoleh anak melalui guru dan pelajaran di
sekolah (Hart, Bishop, & Truby, 2002; McKinley et al., 2005; Zeinstra, Koelen, Kok, & de
de Graaf, 2007). Dua orang partisipan (A dan B) mengenal makanan baru serta jenis
sayuran dan buah-buahan karena diajarkan oleh sekolah. Selain itu, A mengetahui jenis
sayuran dan buah-buahan karena program green day di sekolah. Serupa dengan hasil
penelitian ini, penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan de Graaf (2007) menemukan bahwa
anak usia prasekolah juga biasa mengasosiasikan konsumsi makanan tertentu, seperti buah
dan sayur, dengan program yang terdapat di sekolah.
Hal yang unik dalam penelitian ini adalah ketika anak usia prasekolah belum
memasuki sekolah formal, pihak lain yang berperan adalah teman sebaya. Misalnya, pada
partisipan D, ia mendapatkan pengaruh dari teman mainnya, yaitu dalam hal mengenalkan
makanan dan kebiasaan jajan. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh perkataan Piaget (dalam
Tudge & Rogoff, 1999) bahwa diskusi yang dilakukan anak dengan teman sebayanya
memiliki peran dalam perkembangan kognitif anak.
Pengalaman sosial (social experience) yang didapatkan oleh anak dalam
pembentukan konsep makanan adalah media, seperti televisi dan youtube. Ketiga partisipan
dalam penelitian ini (A, B, dan D) mendapatkan informasi tambahan dari televisi dengan
mengenal makanan baru dan jenis sayuran dan buah-buahan, sesuai dengan apa yang
disebutkan oleh McKinley, et al. (2005) bahwa televisi, meliputi iklan makanan dan
program memasak, menjadi sumber informasi mengenai makanan bagi anak-anak.
Sementara itu, satu orang partisipan lainnya (C) mengenal makanan baru melalui
permainan menebak jenis makanan di youtube. Hal tersebut serupa dengan apa yang
dikemukakan oleh Story dan French (2004) bahwa iklan produk makanan di internet
menawarkan situs yang berisi berbagai kegiatan yang menghibur, animasi, dan interaktif
yang dikembangkan khusus untuk anak-anak prasekolah, meliputi permainan, teka-teki
pencarian kata, kontes, kuis, tebak-tebakan, dan musik yang mengandung produk makanan
tertentu, serta turut membantu anak mengembangkan konsep tentang makanan.
Universitas Indonesia
161
Di samping hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, terdapat beberapa limitasi
dalam penelitian ini, terutama dalam hal analisis dan pembahasan teori. Pertama, peneliti
hanya mengangkat salah satu faktor perkembangan kognitif menurut Piaget (1961), yaitu
pengalaman sosial (social experience), tetapi belum membahas lebih lanjut mengenai
kematangan fisik (physical maturation), pengalaman aktif (active experience), dan
equilibration. Kedua, penelitian ini juga belum membahas mengenai proses perkembangan
kognitif Piaget (1952), seperti organization, skema, proses asimilasi dan akomodasi, serta
equilibrium. Selain keterbatasan analisis teori Piaget, terdapat limitasi lainnya berupa media
yang dijadikan alat bantu dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan media gambar
sayuran dan buah-buahan dalam bentuk animasi serta ditempel pada stik es krim untuk
melihat apakah anak usia prasekolah telah dapat mengelompokkan jenis sayuran dan buah-
buahan. Peneliti mengasumsikan adanya kemungkinan hasil penelitian yang berbeda ketika
anak usia prasekolah diberikan sayuran dan buah-buahan dalam bentuk yang sebenarnya.
Limitasi lainnya dalam hal sampel penelitian adalah seluruh partisipan dalam
penelitian ini berasal dari status sosio-ekonomi menengah ke atas. Tingkat pendidikan
orang tua dari partisipan adalah diploma, S1, dan S2 serta memiliki penghasilan di atas Rp
5.000.000,00. Penelitian Hart, Bishop, dan Truby (2002) di Inggris menyatakan bahwa
status sosial-ekonomi berkaitan dengan aturan makan dan jenis makanan yang mampu
disediakan oleh orang tua sehingga terdapat beberapa perbedaan antara konsep makanan
anak dengan status sosial ekonomi menengah ke atas dan menengah ke bawah. Scaglioni,
Salvioni, dan Galimberti (2008) juga menyatakan bahwa status sosio-demografis yang
ditandai dengan penghasilan orang tua merupakan faktor dari keluarga yang mempengaruhi
perilaku makan anak. Hal tersebut menjadi saran penelitian selanjutnya untuk meneliti
konsep makanan pada anak dengan status sosio-ekonomi menengah ke bawah.
5.3 Saran
Peneliti memberikan saran metodologis untuk penelitian selanjutnya, yaitu sebagai
berikut:
a. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menelaah tentang faktor perkembangan
lainnya, yaitu kematangan fisik (physical maturation), pengalaman aktif (active
Universitas Indonesia
162
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, W., & Andrea, D. (2017). How Food is Processed in the Human Body or
Children's Concepts of How the Digestive System Works. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 237, 1582-1587.
Anders, Y., Rossbach, H. G., Weinert, S., Ebert, S., Kuger, S., Lehrl, S., & von Maurice, J.
(2012). Home and preschool learning environments and their relations to the
development of early numeracy skills. Early Childhood Research Quarterly, 27(2),
231-244.
Bartsch, K., & Wellman, H. M. (1995). Children talk about the mind. Oxford university
press.
Başkale, H., Bahar, Z., Başer, G., & Ari, M. (2009). Use of Piaget's theory in preschool
nutrition education. Revista de Nutrição, 22(6), 905-917.
Clarke, V., & Braun, V. (2014). Thematic analysis. In Encyclopedia of critical psychology
(pp. 1947-1952). New York: Springer.
Contento, I. (1981). Children's Thinking about Food and Eating─A Piagetian-Based Study.
Journal of nutrition education, 13(1).
Cresswell, J.W. (1994). Research design: qualitative and quantitative approach. London:
SAGE Publication.
163
Universitas Indonesia
164
Crosnoe, R., Leventhal, T., Wirth, R. J., Pierce, K. M., Pianta, R. C., & NICHD Early Child
Care Research Network. (2010). Family socioeconomic status and consistent
environmental stimulation in early childhood. Child development, 81(3), 972-987.
Eliassen, E. K. (2011). The impact of teachers and families on young children's eating
behaviors. YC Young Children, 66(2), 84.
Fatmah, N. (2002). Kebiasaan makan ibu dan anak usia 3-5 tahun pada kelompok sosio
ekonomi tinggi dan rendah di Kelurahan Rambutan dan Penggilingan Jakarta Timur.
Makara Kesehatan, 6(1), 17-22.
Food and Agriculture Organization. (2017). The State of Food and Agriculture. Diperoleh
dari Food and Agriculture Organization of United Nations:
http://www.fao.org/docrep/017/x4400e/x4400e.pdf
Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. (2003). Family Nursing: Research Theory
& Practice. New Jersey: Pearson Education Inc.
Golan, M., & Weizman, A. (2001). Familial approach to the treatment of childhood
obesity: conceptual model. Journal of nutrition education, 33(2), 102-107.
Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2012). Research methods for the behavioral sciences.
International Edition: ISBN-13, 978-1. Cengage Learning: Wadsworth.
Grosso, G., Mistretta, A., Turconi, G., Cena, H., Roggi, C., & Galvano, F. (2013). Nutrition
knowledge and other determinants of food intake and lifestyle habits in children and
Universitas Indonesia
165
young adolescents living in a rural area of Sicily, South Italy. Public health nutrition,
16(10), 1827-1836.
Gunderson, E. A., & Levine, S. C. (2011). Some types of parent number talk count more
than others: relations between parents’ input and children’s cardinal‐number
knowledge. Developmental science, 14(5), 1021-1032.
Harris, P. L., & Koenig, M. A. (2006). Trust in testimony: How children learn about
science and religion. Child development, 77(3), 505-524.
Hart, K. H., Bishop, J. A., & Truby, H. (2002). An investigation into school
children's knowledge and awareness of food and nutrition. Journal of Human Nutrition
and Dietetics, 15(2), 129-140.
Judarwanto, W. (2011). Perilaku makan anak usia sekolah. Diperoleh dari Departemen
Kesehatan RI: http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/perilaku-makan-
anak-sekolah.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Diperoleh dari Departemen
Kesehatan RI: http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS%20Ok.pdf
Kesuma, A., Novayelinda, R., Sabrian, F. (2015). Faktor Faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Kesulitan Makan Anak Prasekolah. JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015.
Kiefer, M., & Pulvermüller, F. (2012). Conceptual representations in mind and brain:
theoretical developments, current evidence and future directions. Cortex, 48(7), 805-
825.
Universitas Indonesia
166
Kirkorian, H. L., Wartella, E. A., & Anderson, D. R. (2008). Media and young children's
learning. The Future of Children, 18(1), 39-61.
Klauer, K. J., Willmes, K., & Phye, G. D. (2002). Inducing inductive reasoning: Does it
transfer to fluid intelligence?. Contemporary Educational Psychology, 27(1), 1-25.
Kurniasih, N. (2012). Pengembangan dan Daya Terima Media Kie Makanan Bergizi
Berbasis Komik Pada Siswa SD Negeri Tunggulsari II Surakarta. Doctoral dissertation.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Laureati, M., Pagliarini, E., Toschi, T. G., & Monteleone, E. (2015). Research challenges
and methods to study food preferences in school-aged children: A review of the last 15
years. Food Quality and Preference, 46, 92-102.
Liberman, Z., Woodward, A. L., Sullivan, K. R., & Kinzler, K. D. (2016). Early emerging
system for reasoning about the social nature of food. Proceedings of the National
Academy of Sciences, 113(34), 9480-9485.
Lukie, I. K., Skwarchuk, S. L., LeFevre, J. A., & Sowinski, C. (2014). The role of child
interests and collaborative parent–child interactions in fostering numeracy and literacy
development in Canadian homes. Early Childhood Education Journal, 42(4), 251-259.
Matheson, D., Spranger, K., & Saxe, A. (2002). Preschool children's perceptions of food
and their food experiences. Journal of Nutrition Education and Behavior, 34(2), 85-92.
Universitas Indonesia
167
McKinley, M. C., Lowis, C., Robson, P. J., Wallace, J. M. W., Morrissey, M., Moran, A.,
& Livingstone, M. B. E. (2005). It's good to talk: children's views on food and nutrition.
European journal of clinical nutrition, 59(4), 542.
Nasar, S. S. (2006). Masalah Makan pada Anak. Jakarta: CPD IDAI Jaya.
Niklas, F., & Schneider, W. (2013). Home literacy environment and the beginning of
reading and spelling. Contemporary Educational Psychology, 38(1), 40-50.
Niklas, F., Cohrssen, C., & Tayler, C. (2016). Improving preschoolers’ numerical abilities
by enhancing the home numeracy environment. Early Education and Development,
27(3), 372-383.
Peyre, H., Bernard, J. Y., Hoertel, N., Forhan, A., Charles, M. A., De Agostini, M., ... &
The EDEN Mother-Child Cohort Study Group. (2016). Differential effects of factors
influencing cognitive development at the age of 5-to-6 years. Cognitive Development,
40, 152-162.
Universitas Indonesia
168
Piaget, J. (1999). The construction of reality in the child. New York: Basic Books
Piaget, J., & Inhelder, B. (2000). The psychology of the child. New York: Basic Books.
Puspita, I. D. (2012). Retensi Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Pasca Pelatihan Gizi
Seimbang pada Siswa Kelas 5 Dan 6 Di 10 Sekolah Dasar Terpilih Kota Depok Tahun
2012. Depok: Universitas Indonesia.
Rakison, D. H., & Oakes, L. M. (Eds.). (2003). Early category and concept development:
Making sense of the blooming, buzzing confusion. Oxford University Press.
Santoso, G. A., & Royanto, L. R. (2017). Teknik penulisan laporan penelitian kualitatif.
Depok: LPSP3 UI.
Universitas Indonesia
169
Scaglioni, S., Salvioni, M., & Galimberti, C. (2008). Influence of parental attitudes in the
development of children eating behaviour. British Journal of Nutrition, 99(S1), S22-
S25.
Shutts, K., Kinzler, K. D., & DeJesus, J. M. (2013). Understanding infants' and children's
social learning about foods: Previous research and new prospects. Developmental
psychology, 49(3), 419.
Slaughter, V., & Ting, C. (2010). Development of ideas about food and nutrition from
preschool to university. Appetite, 55(3), 556-564
Soedibyo, S., & Mulyani, R. L. (2009). Kesulitan makan pada pasien: survei di unit
pediatrik rawat jalan. Sari Pediatri Fakultas Kedokteran. Depok: Universitas Indonesia.
Story, M., & French, S. (2004). Food advertising and marketing directed at children and
adolescents in the US. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical
Activity, 1(1), 3.
Tong, S., Baghurst, P., Vimpani, G., & McMichael, A. (2007). Socioeconomic position,
maternal IQ, home environment, and cognitive development. The Journal of Pediatrics,
151(3), 284─288.
Tudge, J., & Rogoff, B. (1999). Peer influences on cognitive development: Piagetian and
Vygotskian perspectives. Lev Vygotsky: critical assessments, 3, 32-56.
Universitas Indonesia
170
Wellman, H. M., & Johnson, C. N. (1982). Children's understanding of food and its
functions: A preliminary study of the development of concepts of nutrition. Journal of
applied developmental psychology, 3(2), 135-148.
Wolf, M. K., Crosson, A. C., & Resnick, L. B. (2005). Classroom talk for rigorous reading
comprehension instruction. Reading Psychology, 26(1), 27-53.
Xu, T., & Jones, I. (2016). An Investigation of Children’s Understanding of Food and
Nutrition. Early Childhood Education Journal, 44:289–297.
Zaporozhets, A. V., & Elkonin, D. B. (1974). The psychology of preschool children. MIT
Press.
Zarnowiecki, D., Dollman, J., & Sinn, N. (2011). A tool for assessing healthy food
knowledge in 5–6-year-old Australian children. Public Health Nutrition, 14(7), 1177-
1183.
Zeinstra, G.G., Koelen, M.A., Kok, F.J., de Graaf, C. (2007). Cognitive development and
children's perceptions of fruit and vegetables; a qualitative study. International Journal
of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 4:30. DOI:10.1186/1479-5868-4-30
Universitas Indonesia
171
Universitas Indonesia
172
Slaughter dan Ting (2010) menyusun serangkaian 1. Mengapa kita perlu makan?
pertanyaan baru, berdasarkan penelitian Wellman dan Johnson 2. Apa yang terjadi apabila seseorang tidak pernah makan?
(1982) tentang hubungan input-output makanan, Gellert 3. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya makan satu kali
(1962) tentang pencernaan dan transformasi makanan, serta setiap hari?
Inagaki dan Hatano (2002) tentang tujuan dari makan. Setelah 4. Apa yang terjadi apabila seseorang makan terlalu banyak
melakukan adaptasi pertanyaan, Slaughter dan Ting (2010) setiap hari?
melakukan wawancara awal (pilot interview) selama 30 menit 5. Bisakah kamu memakan apapun yang kamu mau setiap
pada 14 anak yang berusia 3 s.d. 14 tahun serta merevisi dan waktu?
menambah pertanyaan dari hasil wawancara awal tersebut. 6. Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
Kemudian, didapatkan 13 item pertanyaan wawancara yang menurutmu baik? Mengapa makanan tersebut baik untukmu?
digunakan dalam penelitian. Empat komponen yang terdapat 7. Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
dalam pertanyaan wawancara, antara lain: tujuan dari makan menurutmu tidak baik? Mengapa makanan tersebut tidak baik
(purpose of eating) pada item nomor 1; efek dari jumlah yang untukmu?
berbeda dari makanan (effects of different quantities of food) 8. Apakah wortel baik atau untukmu atau tidak? Mengapa?
pada item nomor, 2 3, dan 4; efek dari makanan tertentu 9. Apakah cokelat baik untukmu atau tidak? Mengapa?
(effects of specific foods) pada item nomor 6, 7, 8, 9, 10; dan 10. Apakah roti baik untukmu atau tidak? Mengapa?
173
efek dari diet yang tidak seimbang (effects of an unbalanced 11. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya memakan brokoli?
diet) pada item nomor 5, 11, 12, dan 13. 12. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya memakan ayam?
13. Apa yang terjadi apabila seseorang hanya memakan permen?
174
Berdasarkan daftar pertanyaan dalam studi Slaughter 1. Mengapa kita perlu makan setiap hari?
dan Ting (2010), peneliti melakukan adaptasi awal dengan Probe: Bagaimana makanan dapat membuat kita seperti
itu?
melakukan focus group discussion (FGD) pada 18 orang anak
2. Apa yang terjadi apabila seseorang tidak pernah makan?
(6 orang anak di usia 8 s.d. 9 tahun dan 12 anak di usia 4 s.d. 5 Probe: Bagaimana makanan dapat membuat bisa hal itu
tahun). Adapun fokus utama dari FGD ini adalah mengadaptasi terjadi?
3. Apa yang terjadi apabila seseorang makan hanya satu
pertanyaan di kategori efek spesifik makanan dan efek
kali setiap hari?
mengonsumsi makanan tidak seimbang guna menyesuaikan Probe: Jika seseorang hanya makan sarapan tetapi tidak
jenis makanan yang disebutkan dalam item di kedua kategori makan siang dan makan malam, apa yang akan terjadi
padanya? Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
tersebut dengan apa yang biasa dikonsumsi anak di Indonesia
4. Apa yang terjadi apabila seseorang makan terlalu
setiap harinya. Proses FGD menjadi penting karena konteks banyak setiap hari? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
penelitian yang dilakukan oleh Slaughter dan Ting (2010) 5. Kamu sukanya makan apa?
dilakukan di Australia yang memiliki budaya dan kebiasaan Bisakah kamu memakan apapun yang kamu mau setiap
waktu? Jika kamu makan terlalu banyak apa yang
makan yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Selain itu, terjadi?
peneliti juga menambahkan beberapa pertanyaan selama 6. Makanan sehat itu apa sih menurut kamu?
berlangsungnya FGD. Pertanyaan ini digunakan untuk Probe:
1) Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
mengarahkan partispan pada pertanyaan yang sesungguhnya.
menurutmu sehat?
2) Mengapa makanan tersebut sehat untukmu?
175
FGD dilakukan selama 45 menit di tiga sekolah yang 7. Bisakah kamu menyebutkan makanan apa saja yang
berbeda (dua taman kanak-kanak dan satu sekolah dasar). menurutmu tidak sehat? Mengapa makanan tersebut
tidak sehat untukmu?
Pertimbangan FGD dilakukan di dua taman kanak-kanak adalah
8. Apakah kamu biasa memakan sayuran?
dari hasil evaluasi, metode FGD yang digunakan di taman Probe:
kanak-kanak pertama dirasa kurang efektif sehingga kami 1) Sayuran apa saja yang biasa kamu makan?
2) Mengapa kamu makan sayuran itu?
memutuskan untuk mencoba kembali proses FGD di taman
3) Kapan saja waktu kamu memakan sayuran?
kanak-kanak lainnya. Berdasarkan hasil FGD, diperoleh 9. Kamu suka ngemil ga?
pengelompokkan makanan yang didapat berdasarkan jumlah Probe:
1) Apa yang biasanya kamu makan?
jawaban terbanyak yang dikemukakan oleh anak. Adapun
2) Kapan biasanya kamu ngemil?
pengelompokkannya sebagai berikut: 1) Makanan Pokok: Nasi 3) Dengan siapa kamu ngemil?
(n = 15); 2) Lauk Pauk: Ayam (n = 11) ; 3) Sayuran: Bayam (n 4) Siapa yang biasa menyiapkan cemilan untukmu?
= 7); 4) Buah-buahan: Pisang (n = 10); 5) Jajanan: Ciki (n = 5); 10. Apakah kamu suka memakan jajanan?
Probe: Jajanan apa saja yang suka kamu makan?
6) Cemilan: Biskuit (n = 6). Mengapa kamu suka jajan? Kapan saja kamu jajan?
Dengan siapa biasanya kamu jajan? Kenapa kamu
makan jajanan itu? Dapat uang jajan ngga? Berapa
uang jajannya?
11. Apakah kamu biasa makan buah?
Probe:
1) Buah apa saja yang kamu makan?
2) Mengapa kamu makan buah itu?
3) Kapan saja kamu makan buah?
4) Siapa yang menyiapkan buah yang kamu makan?
176
I. TK Larasati
Alamat : Jl. Rambutan No. 48 Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta
Selatan
Hari, tanggal : Selasa, 16 Januari 2018
Waktu : 11.30-12.10
II. SD Pelita
Alamat : Jl. Karang Pola VII No. 2A Jati Padang, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan
Hari, tanggal : Rabu, 24 Januari 2018
Waktu : 10.30-11.15
III. TK Pelangi
Alamat : Jl. Ksu-Parung Serab, Tirtajaya, Sukmajaya, Depok,
Jawa Barat
Hari, tanggal : Rabu, 7 Februari 2018
Waktu : 10.15-11.00
Umar (6 tahun), dan Fakhri (5 tahun). Saat pertama kali masuk kelas,
seorang anak perempuan menangis dan tidak bersedia untuk diwawancarai
oleh peneliti, sehingga guru kelas harus mencari partisipan lain. Sebelumnya,
peneliti mengajak seluruh partisipan untuk bermain “teko kecil” dan
“kupikir-pikir” untuk memecahkan suasana.
Setelah itu, peneliti membagi dua kelompok, yaitu kelompok laki-laki
dan perempuan. Saya dan Fathia melakukan wawancara dengan kelompok
perempuan, terdiri dari Najla, Kanaya, dan Amira. Ketiga partisipan tersebut
sangat pendiam dan pasif, sehingga peneliti harus mengulang pertanyaan
beberapa kali agar mereka dapat menjawab. Terdapat satu partisipan
bernama Najla yang senang bercerita hal-hal di luar dari pertanyaan,
sehingga peneliti harus mengarahkan kembali jawaban Najla. Partisipan lain
yang bernama Amira mampu memahami dan menjawab seluruh pertanyaan
yang diajukan peneliti, walaupun ada beberapa jawaban yang mengikuti
jawaban dari Najla. Di sisi lain, Kanaya sangat pendiam dan beberapa kali
tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti sehingga
beberapa jawaban tidak dapat terjawab oleh Kanaya.
Pada pukul 10.30, guru kelas masuk dan meminta peneliti untuk
menyelesaikan wawancara dengan cepat karena waktu pulang sekolah pukul
11.00, sedangkan peneliti baru mengajukan beberapa pertanyaan. Hal
tersebut membuat peneliti hanya menanyakan pertanyaan utama kepada
partisipan dan tidak banyak melakukan probing. Walaupun begitu, peneliti
berhasil menanyakan jenis-jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh ketiga
partisipan, meskipun informasi yang ditanyakan tidak terlalu rinci.
180
No.
Form Panduan Wawancara Anak
Diaptasi dari penelitian Zeinstra, Koelen, Kok, dan Graaf (2007) dan Scaglioni,
Salvioni, dan Galimberti (2008) tentang cara yang dilakukan orang tua untuk
memengaruhi kebiasaan makan anak. Selain itu, panduan wawancara orang tua juga
disusun berdasarkan hasil FGD yang dilakukan pada pada 18 orang anak (6 orang anak
di usia 8 s.d. 9 tahun dan 12 anak di usia 4 s.d. 6 tahun).
dibeli?
Jika buat sendiri, di mana
biasanya
Ibu/Bapak membeli bahan-
bahan
makanan?
Siapa yang biasa
menyiapkan
makanan anak?
Apakah anak Ibu/Bapak
dilibatkan dalam proses
menyiapkan makanan?
Jika ya, mengapa?
Apa yang anak
Ibu/Bapak lakukan?
Jika tidak, mengapa?
Apakah dalam proses
menyiapkan makanan tersebut
Ibu/Bapak mengenalkan
makanan
kepada anak Ibu/Bapak?
INFORMED CONSENT
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
Maka dari itu, kami meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan
dalam penelitian kami. Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Jika
Bapak/Ibu bersedia untuk berpartisipasi, Bapak/Ibu berhak mendapatkan hasil
penelitian. Apabila Bapak/Ibu merasa tidak nyaman ketika proses pengambilan data
berlangsung, Bapak/Ibu berhak untuk berhenti sebagai partisipan dalam penelitian ini
kapanpun dan tidak mendapatkan dampak apapun dari pemberhentian tersebut.
Jika terdapat hal-hal terkait pengambilan data yang kurang jelas, maka
Bapak/Ibu berhak untuk mengajukan pertanyaan terkait hal tersebut. Apabila Bapak/Ibu
memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai wawancara ini, silakan menghubungi kami
melalui telepon atau surat elektronik Fathia Adani Harsya dan tim di nomor
085714694979 atau email fathia.adani@ui.ac.id.
Apabila Bapak/Ibu telah memahami hak yang dijelaskan di atas dan menyetujui untuk
menjadi partisipan, mohon tanda tangani formulir ini.
_________________________________
________________________________ Nama: Fathia Adani Harsya
NPM : 1406545245
188
PARENTAL CONSENT
SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN
Maka dari itu, kami meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk mengizinkan anak
Bapak/Ibu untuk menjadi partisipan dalam tugas kami. Partisipasi anak bersifat sukarela
dan tanpa paksaan. Jika anak bersedia untuk berpartisipasi, Bapak/Ibu berhak
mendapatkan hasil penelitian. Apabila anak merasa tidak nyaman ketika proses
pengambilan data berlangsung, Bapak/Ibu berhak untuk meminta anak berhenti menjadi
partisipan dalam penelitian ini kapanpun dan tidak mendapatkan dampak apapun dari
pemberhentian tersebut.
Jika terdapat hal-hal terkait pengambilan data yang kurang jelas, maka
Bapak/Ibu berhak untuk mengajukan pertanyaan terkait hal tersebut. Apabila Bapak/Ibu
memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai wawancara ini, silakan menghubungi kami
melalui telepon atau surat elektronik Fathia Adani Harsya dan tim di nomor
085714694979 atau email fathia.adani@ui.ac.id.
Apabila Bapak/Ibu telah memahami hak yang dijelaskan di atas dan menyetujui untuk
menjadi partisipan, mohon tanda tangani formulir ini.
_________________________________
________________________________
Nama: Nama:
190
No.
Data Demografis Partisipan Penelitian
Inisial :
…………………………………………………………………………………...
Alamat :
…………………………………………………………………………………...
Usia :
…………………………………………………………………………………...
Pekerjaan :
Bapak : a. PNS b. Swasta c. Wiraswasta d. Lainnya
Ibu : a. PNS b. Swasta c. Wiraswasta d. Lainnya
Jumlah Anak : ………………………………………………………..
Pendidikan Terakhir :
Bapak : a. SMA/sederajat b. Diploma c. S1/S2/S3 d. Lainnya
Ibu : a. SMA/sederajat b. Diploma c. S1/S2/S3 d. Lainnya
Pengeluaran Perbulan: a. < Rp 400.000,00
b. Rp 400.000,00 ─ Rp 600.000,00
c. Rp 600.000,00 ─ Rp 800.000,00
d. Rp 800.000,00 ─ Rp 1.250.000,00
e. Rp 1.250.000,00 ─ Rp 1.750.000,00
f. Rp 1.750.000,00 ─ Rp 2.250.000,00
g. > Rp 2.250.000,00
II. Data Anak
Inisial : ………………………………………………………
Usia Anak : …… tahun …… bulan
Tempat, Tanggal Lahir : ………………………………………………………
Jenis Kelamin :L / P *lingkari salah satu