Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2


BLOK RESPIRASI II
“AKU SESAK NAPAS”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

Baiq Nita Ardila (017.06.0026)


I Nyoman Bayu Aditya Parta Wibawa (018.06.0077)
Ni Kadek Cyntia Devi (018.06.0081)
Syavira Adinda Widiastuti (018.06.0087)
I Wayan Agus Merta Wiguna (019.08.0043)
Irawati Sofia (019.06.0044)
Kadek Artana Kusumajaya (019.06.0045)
Lalu Muhamad Hafidz Al Alim (019.06.0051)
Wiratul Hasanah (019.06.0092)
Wulidah A. Quratain (019.06.0093)

Tutor : dr. Putri Nisia Rinayu, S.Ked


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2021

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 2 yang berjudul ‘Aku Sesak Napas’ dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 2 yang berjudul ‘Aku Sesak Napas’ meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Putri Nisia Rinayu, S.Ked Sebagai dosen fasilitator kelompok SGD
1 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam
pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk


menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Mataram, 03 Februari 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL..........................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Skenario..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Skenario............................................................................2
2.2 Pembahasan Diagnosa Banding.............................................................4
2.2.1 Asma............................................................................................4
2.2.2 Bronkhitis....................................................................................7
2.2.3 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...................................10

2.3 Diagnosa Kerja.......................................................................................11


2.3.1 Patofisiologi PPOK.......................................................................12
2.3.1 Pemeriksan Fisik PPOK...............................................................12

2.3.2 Pemeriksaan Penunjang PPOK.....................................................13

2.3.3 Tatalaksana....................................................................................13

2.3.4 Komplikasi..................................................................................14

2.3.5 Prognosis.....................................................................................15

2.3.6 KIE...............................................................................................15

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
SESI I
“AKU SESAK NAPAS”
Seseorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke UGD RS di antar oleh
keluarga dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan
memberat sejak 3 jam yang lalu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak
satu minggu dan merasa suara napasnya berbunyi “ngik-ngik”. Pasien sering
merasakan keluhan serupa sejak 5 tahun ini, terutama saat mengalami batuk pilek
dan bila terpapar asap.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain. Keluarga pasien tidak
memiliki keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 20 tahun.
Pasien rata-rata merokok 1 bungkus per hari dan baru berhenti sejak 3 tahun yang
lalu.
Pemeriksaan fisik, didapatkan TD : 130/70 mmhg, Nadi : 109x/m, suhu
36,9 C, RR : 35x/m. Npas cuping hidung, dyspneu, otot-otot bantu napas aktif,
retraksi subcosta, dan menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi diffuse (+),
wheezing eskpiratorik (+).
SESI II
Dokter selanjutnya melakukan pemeriksaan rontgen toraks untuk
membantu menegakkan diagnosis.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Skenario
Seseorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke UGD RS di antar oleh
keluarga dengan keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan
memberat sejak 3 jam yang lalu. Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak
satu minggu dan merasa suara napasnya berbunyi “ngik-ngik”. Pasien sering
merasakan keluhan serupa sejak 5 tahun ini, terutama saat mengalami batuk pilek
dan bila terpapar asap. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain. Keluarga
pasien tidak memiliki keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat merokok sejak
usia 20 tahun. Pasien rata-rata merokok 1 bungkus per hari dan baru berhenti
sejak 3 tahun yang lalu.
Berdasarkan keluhan seseorang laki-laki mengalami sesak napas, batuk
berdahak dan disertai suara napasnya berbunyi dapat dikarenakan adanya
haambatan aliran udara yang progresif memburuk yang merupakan perubahan
fisiologi utama pada paru. Perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian
proksimal, perifer, parenkim, dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu
proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan
jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah
ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peran
besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam
penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus yaitu salah satunya partikel
noxius yang terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran pernafasan
dan mengendap dan terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas sillia.
Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan
iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa. Kelenjar mukosa
akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus yang akan
berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta
menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang

2
menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi
adalah batuk kronis yang produktif. Dampak lain yang ditimbulkan partikel
tersebut dapat berupa rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa
perforasi alveolus yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveolus satu dan
yang lain membentuk abnormal large-space. Selain itu, terjadinya modifikasi
fungsi anti-protase pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat
neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring
dengan terus terjadinya iritasi di saluran pernafasan makan lama-kelamaan akan
menyebabkan erosi epitel hingga terbentuknya jaringan parut pada saluran nafas.
Selain itu juga dapat menimbulkan metaplasia skuamosa (sel yang berada di
permukaan dan lapisan tengah kulit) dan penebalan lapisan skuamosa yang dapat
menimbulkan stenosis dan obstruksi irreversibel dari saluran nafas.

3
2.2 Pembahasan Diagnosa Banding
2.2.1 PERBEDAAN OBSTRUKTIF DAN RESTRIKTIF
Penyakit paru restriktif ditandai dengan gangguan pada parenkim,
pleura, dinding thorax atau neuromuscular dan menyebabkan Total Lung
Capacity (TLC). Sedangkan pada penyakit paru obstruktif contohnya asma
dan COPD Chronic Obstructif Pulmonary Disease) terjadi peningkatan
TLC. Penyakit Paru Obstruksi (PPO) dimana terjadi gangguan pada paru
mengalami kesusahan untuk ekspirasi, dimana saat menarik nafas lancar
tetapi ketika mengeluarkan nafas susah. Penyakit paru restriktif (PPR)
dimana mengalami kesusahan saat inspirasi karena paru tidak bisa
mengembang karena adanya jaringan fibrotic.
2.2.2 ASMA
Definisi
Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas
akibat adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas
sehingga menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang
menimbulkan reaksi berlebihan. Akibatnya saluran nafas menyempit dan
jumlah udara yang masuk dalam paru-paru berkurang. Hal ini
menyebabkan timbulnya napas berbunyi (wheezing), batuk-batuk, dada
sesak, dan gangguan bernapas terutama pada malam hari dan dini hari.
Etiologi
Penyebab awal terjadinya inflamasi saluran pernapasan pada
penderita asma belum diketahui mekanismenya. Terdapat berbagai
keadaan yang memicu terjadinya serangan asma, diantara lain:
1) Kegiatan fisik (exercise)
2) Kontak dengan alergen dan irritan
Allergen dapat disebabkan oleh berbagai bahan yang ada di sekitar
penderita asma seperti misalnya kulit, rambut, dan sayap hewan. Selain itu
debu rumah yang mengandung tungau debu rumah (house dust mites) juga
dapat menyebabkan alergi. Hewan seperti lipas (cockroaches, kecoa) dapat
menjadi pemicu timbulnya alergi bagi penderita asma. Bagian dari

4
tumbuhan seperti tepung sari dan ilalang serta jamur (nold) juga dapat
bertindak sebagai allergen. Irritans atau iritasi pada penderita asma dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti asap rokok, polusi udara. Faktor
lingkungan seperti udara dingin atau perubahan cuaca juga dapat
menyebabkan iritasi. Bau-bauan yang menyengat dari cat atau masakan
dapat menjadi penyebab iritasi. Selain itu, ekspresi emosi yang berlebihan
(menangis, tertawa) dan stres juga dapat memicu iritasi pada penderita
asma.
3) Akibat terjadinya infeksi virus
4) Penyebab lainnya. Berbagai penyebab dapat memicu terjadinya
asma yaitu:
a.) Obat-obatan (aspirin, beta-blockers)
b) Sulfite (buah kering wine)
c) Gastroesophageal reflux disease, menyebabkan terjadinya rasa
terbakar pada lambung (pyrosis, heart burn) yang memperberat
gejala serangan asma terutama yang terjadi pada malam hari
d) Bahan kimia dan debu di tempat kerja
e) Infeksi
Epidemiologi
Asma dapat timbul pada segala umur, di mana 30% penderita
mempunyai gejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80–90% anak yang
menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum usia 4–5 tahun.
Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat
serangan ringan sampai sedang yang relatif mudah ditangani. Sebagian
kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak
yang terus menerus dari pada musiman. Hal tersebut yang menjadikannya
tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain,
dan fungsi dari hari ke hari. Prevalensi asma anak di Australia dengan usia
12–13 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7%
pada 1992. Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi
antara 3–8%, penelitian yang dilakukan di Medan, Palembang, Ujung

5
Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%, 8,08%,
17% dan 4,8%. Penelitian epidemiologi asma yang dilakukan pada siswa
SMP di beberapa tempat di Indonesia, antara lain Palembang di mana
prevalensi asma sebesar 7,4%, Jakarta prevelansi asma sebesar 5,7% dan
Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. Belum disimpulkan kecendrungan
perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya
penelitian dengan sasaran siswa SMP, namun tampaknya terjadi
penurunan prevalensi siswa SMP sebanding dengan bertambahnya usia
terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevelansi
asma pada orang dewasa lebih rendah dibandingkan dengan angka
kejadian asma pada anak.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul yaitu dyspnea, wheezing, pusing-
pusing, sakit kepala, nausea, peningkatan nafas pendek, kecemasan,
diaphoresis, dan kelelahan. Hiperventilasi adalah salah satu gejala awal
dari asma. Kemudian sesak nafas parah dengan ekspirasi memanjang
disertai wheezing (di apeks dan hilus). Gejala utama yang sering muncul
adalah dipsnea, batuk dan mengi. Mengi sering dianggap sebagai salah
satu gejala yang harus ada bila serangan asma muncul.
Pemeriksaan Diagnostik
Berdasarkan gejala klinis dan keluhan penderita, diagnosis asma
dapat ditegakkan. Riwayat adanya asma dalam keluarga dan adanya
benda-benda yang dapat memicu terjadinya reaksi asma penderita
memperkuat dugaan penyakit asma. Pemeriksaan spinometri hanya dapat
dilakukan pada penderita berumur di atas 5 tahun. Jika pemeriksaan
spinometri hasilnya baik, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk
menetapkan penyebab asma, yaitu:
1) Uji alergi untuk menentukan bahan alergen pemicu asma
2) Pemeriksaan pernapasan dengan peak flow meter setiap hari
selama 1-2 minggu
3) Uji fungsi pernapasan waktu melakukan kegiatan fisik

6
4) Pemeriksaan untuk mengetahui adanya gastroesophageal reflux
disease
5) Pemeriksaan untuk mengetahui adanya penyakit sinus
6)Pemeriksaan Sinar-X thorax dan elektrokardiogram untuk
menemukan penyakit paru, jantung, atau adanya benda asing
pada jalan napas penderita .
2.2.3 Bronkhitis
Definisi
Bronkhitis adalah peradangan satu atau lebih bronkhus, dapat
bersifat akut dan kronik. Gejala-gejala yang biasanya termasuk demam,
batuk dan ekspektorasi. Bronkhitis akut adalah serangan bronkhitis dengan
perjalanan penyakit yang singkat atau kurang berat, gejalagejala termasuk
demam,batuk dan pilek. Serangan berulang mungkin menunjukkan
bronkhitis kronis. Bronkhitis kronis adalah suatu bentuk penyakit
obstruksi paru kronik, pada keadaan ini terjadi iritasi bronkhial dengan
sekresi yang bertambah dan batuk produktif selama sedikitnya tiga bulan
atau bahkan dua tahun berturut-turut, biasanya keadaan ini disertai
emfisema paru.
Etiologi
Etiologi adalah penyebab terjadinya suatu penyakit. Bronkhitis
terjadi paling sering pada saat musim pancaroba, musim dingin, biasanya
disertai dengan infeksi pernapasan atas, dapat disebabkan oleh berbagai
hal antara lain :
a. Bronkhitis infeksiosa, disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri atau
organisme lain yang menyerupai bakteri (Mycoplasma pneumoniae
dan Chlamyidia). Serangan bronkhitis berulang bisa terjadi pada
perokok, penderita penyakit paru-paru dan saluran pernapasan
menahun. Infeksi berulang bisa terjadi akibat sinusitus kronis,
bronkhiektasis, alergi, pembesaran amandel dan adenoid pada anak-
anak.

7
b. Bronkhitis iritatif, karena disebabkan oleh zat atau benda yang
bersifat iritatif seperti debu, asap (dari asam kuat, amonia, sejumlah
pelarut organik, klorin, hidrogen, sulfida, sulfur dioksida dan
bromin), polusi udara menyebabkan iritasi ozon dan nitrogen
dioksida serta tembakau dan rokok.
Petogenesis
Bronkhitis adalah hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
bronkhus, dimana dapat menyebabkan penyempitan pada saluran
bronkhus, sehingga diameter bronkhus ini menebal lebih dari 30-40% dari
normal. Terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuklear di
submukosa trakeo bronkial, metaplasia epitel bronkhus dan silia
berkurang. Perubahan yang penting juga adalah perubahan pada saluran
napas kecil yaitu sekresi sel goblet, bukan saja bertambah dalam
jumlahnya akan tetapi juga lebih kental sehingga menghasilkan substansi
yang mukopurulen, sel radang di mukosa dan submokusa, edema, fibrosis
penbrokial, penyumbatan mukus intraluminal dan penambahan otot polos.
Dua faktor utama yang menyebabkan bronkhitis yaitu adanya zat-zat asing
yang ada di dalam saluran napas dan infeksi mikrobiologi. Pada bronkhitis
terjadi penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada
penderita bronkhitis saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan
bagian bawah paru akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal
ini akan mengakibatkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang,
sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli
tidak merata. Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia
alveoli menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam jangka panjang dapat
menimbulkan kor pulmonal.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis yang timbul pada pasien bronkhitis
tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada

8
tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas pada penyakit ini adalah adanya
batuk disertai produksi sputum, adanya haemaptoe dan pneumonia
berulang. Tanda dan gejala klinis dapat demikian hebat pada penyakit
berat dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Tanda dan gejala tersebut yaitu :
a. Batuk produktif Pada bronkhitis mempunyai ciri antara lain
batuk produktif berlangsung lama, jumlah sputum bervariasi,
umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah
ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak
ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedangkan apabila
terjadi infeksi sputumnya purulen, dapat memberikan bau yang
tidak sedap.
b. Haemaptoe Terjadi pada 50% kasus bronkhitis, kelainan ini
terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkhus
mengenai pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah dan
timbul perdarahan. Perdarahan yang timbul bervariasi mulai dari
yang paling ringan sampai perdarahan cukup banyak atau
massif. Pada bronkhitis kering, haemaptoe justru tanda
satusatunya karena bronkhitis jenis ini letaknya di lobus atas
paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan
kurang menimbulkan reflek batuk, pasien tanpa batuk atau
batuknya minimal. Pada tuberkolosis paru dan bronkhitis ini
merupakan penyebab utama komplikasi haemaptoe.
c. Sesak napas atau dispnea Pada 50% kasus ditemukan sesak
napas. Hal tersebut timbul dan beratnya tergantung pada
seberapa luas bronkhitis yang terjadi dan seberapa jauh
timbulnya kolap paru dan desturksi jaringan paru yang terjadi
akibat infeksi berulang (ISPA), biasanya menimbulkan fibrosis
paru dan emfisema. Kadang juga ditemukan suara mengi
(wheezing), akibat adanya obstruksi bronkhus. Mengi dapat
lokal atau tersebar tergantung pada distribusi kelainnya.

9
d. Demam berulang Bronkhitis merupakan penyakit yang berjalan
kronis, sering mengalami infeksi berulang pada bronkhus
maupun paru, sehingga sering timbul deman.

Kriteria Diagnosa
Anamnesa: gejala utama dari infeksi saluran nafas bawah adalah
batuk. Pada bronkitis, batuk kering menandakan adanya keradangan awal
pada saluran udara bagian atas, sering berkembang menjadi batuk yang
produktif dalam jumlah sedang dengan sputum mukopurulen dimana onset
biasanya didahului oleh prodormal minimal 24 jam dengan gejala coryza
dan faringitis. Pemeriksaan Fisik: pemeriksaan fisik dada tergantung dari
luas lesi di paru. Tidak ada tanda yang khas pada pemeriksaan fisik pada
bronkitis akut maupun kronis dan biasanya pasien jarang terlihat sakit
kecuali terdapat komplikasi pneumonia. Pada bronkitis, auskultasi dapat
terdengar ronkhi dengan mengi tetapi tidak didapatkan konsolidasi.
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan peningkatan jumlah lekosit dan pada hitung jenis lekosit
didapatkan pergeseran kekiri serta terjadi peningkatan LED. Pemeriksaan
C-reaktif Protein (CRP) adalah tes terbaik untuk membedakan antara
pneumonia dan infeksi saluran nafas bawah-non pneumonia.
2.2.4 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit yang
dapat dicegah dan dapat diobati, dengan karakteristik hambatan aliran
udara menetap dan progresif yang disertai dengan peningkatan respon
inflamasi kronis pada saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya.
(Tanto,2014)
Etiologi
Penyebab utama PPOK adalah pajanan asap rokok, polusi udara di
dalam ruangan, seperti bahan biomass untuk memasak dan memanaskan,
pekerjaan yang berkaitan dengan paparan bahan kimia dan partikel yang

10
lama dan terus-menerus, polusi udara di luar ruangan, genetik diketahui
berpearan dalam terjadinya PPOK yaitu defisiensi antitripsin alfa-I, dan
masalah pada paru yang terjadi saat masa gestasi atau saat kanak-kanak
(berat badan rendah, infeksi pernapasan) juga berpotensi meningkatkan
risiko terjadinya PPOK.
Epidemiologi
Data di indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS), Prevalensi PPOK adalah sebesar 2,7%. Angka kejadian
penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada
laki-laki (4,2%) dibanding prempuan (3,3%).
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari penyakit paru obstruksi kronis diawali
dengan timbulnya sesak napas kronis, batuk produktif kronis dan mudah
lelah.
Kriteria Diagnosis
pada anamnesis didapatkan adanya riwayat merokok atau bekas
perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat terpajan zat iritan
yang bermakna di tempat kerja, riwayat penyakit emfisema pada keluarga,
terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan
atau tanpa bunyi mengi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pursed
- lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), barrel chest (diameter
antero - posterior dan transversal sebanding), penggunaan otot bantu
napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai, penampilan pink puffer atau blue bloater fremitus melemah, sela
iga melebar, perkusi hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah, suara napas vesikuler
normal, atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas

11
biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung
terdengar jauh
2.3 Diagnosa Kerja
Diagnosis Pada scenario dijelaskan bahwa pasien laki laki 60 tahun datang
ke ugd. Kemudian dari hasil anamnesa pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 3
hari yang lalu dan batuk berdahak sejak stu minggu yang lalu, pasien juga
mengeluhkan suara nafas ‘ngik ngik’ Semu keluhan sering dialami sejak 5 tahun
yang lalu. Pada pemeriksaan fidik didapatkan TD 130/70, nadi 109x/m, suhu 36,9,
RR 35x/m, nafas cuping hidung, dyspnea, otot bantu nafas aktif, retraksi
subcostal, menurunnya rasio inspirasi dan ekspirasi, terdengar suara ronki diffuse
dan wheezing ekspiratorik. Daripernyataan tersebut diagnosanya adalah penyakit
paru obstruktif konik (PPOK).
2.3.1 Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Ada beberapa mekanisme utama terjadinya PPOK, yaitu adanya
proses inflamasi kronik pada saluran napas, stress oksidatif, gangguan
keseimbangan antara proteolitik dan anti proteolitik. Inflamasi kronik dari
saluran napas karena masuknya sel inflamasi ke paru sebagai respons
terhadap asap rokok. Beberapa sel inflamasi seperti makrofag, netrofil, sel
T CD8+ telah diketahui berperan dalam proses inflamasi pada saluran
napas pasien PPOK. Stres oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan
fungsi sel atau bahkan kematian sel serta dapat menginduksi kerusakan
matriks ekstraseluler paru. Stres oksidatif selanjutnya akan mempengaruhi
keseimbangan antara proteolitik dan anti proteolitik melalui aktivasi
protease dan mengnonaktifkan antiproteinase. Gangguan keseimbangan
antara proteolitik dan anti proteolitik pada paru, mengakibatkan kerusakan
parenkim paru sehingga terjadi emfisema. Peningkatan aktivitas proteolitik
ini merupakan konsekuensi dari respons inflamasi, yaitu pelepasan enzim
proteolitik oleh sel inflamasi seperti makrofag dan netrofil atau juga
karena faktor genetik yaitu defisiensi a1-antitripsin.
2.3.2 Pemeriksaan Fisik

12
Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi mengi dan
ekspirasi yang memanjang. Tanda hiperinflasi seperti barrel chest juga
mungkin ditemukan. Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan
pursed lips breathing biasa muncul pada pasien dengan PPOK sedang
sampai berat.

2.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk
mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk
membantu menentukan diagnosis PPOK, dan Computed Tomography
(CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli.
2.3.4 Tatalaksana
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil.Edukasi pada PPOK berbeda dengan
edukasi pada asma.Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang
paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK
dan memperlambat progresivitas penyakit.
3. Obat-obatan
- Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser

13
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting).
- Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP 1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
- Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi. Antibiotik yang
digunakan (lihat di halaman 52, tentang penatalaksanaan
eksaserbasi)
- Antioksidan
- Mukolitik kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin.
- Antitusif
- Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan
memiliki riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik.
Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat mengurangi
eksaserbasi, diberikan secara oral dengan glukokortikosteroid.
2.3.4 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK yaitu :
a. Gagal nafas
Gagal nafas kronis:
Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu
aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan
pursed lips breathing.

14
Gagal nafas akut :
pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan atau
tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran
menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi
berulang. Pada kondisi kronis ini imunitas menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Cor Pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat
disertai gagal jantung kanan.
2.3.5 Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat
disembuhkan secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang
berat akan meninggal dalam waktu satu tahun, 95% meninggal dalam
waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh karena kegagalan napas, pneumonia,
aritmia jantung atau emboli paru, bergantung pada kondisi klinis, riwayat
penyakit, dan komorbiditas masing-masing orang.
2.3.6 KIE
Edukasi kesehatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau
choronic obstruktive pulmonary disease (COPD) yang paling utama adalah
modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang harus ditekankan
adalah menangani merokok, bukan hanya edukasi mengenai bahaya dan
berhenti merokok, tapi juga mengenai peningkatan harapan hidup dan
kualitas hidup setelah berhenti merokok.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah penyakit respirasi kronik
dengan adanya hambatan aliran udarah progresif, yang berhubungan
dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas. Hambatan
jalan napas pada PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas dan
kerusakan parenkim paru. Rokok merupakan faktor resiko terpenting
sehingga berhenti merokok merupakan cara yang efektif untuk
menurunkan risiko PPOK dan memperlambat progresivitasnya. Tujuan
terapi PPOK adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan eksaserbasi,
memperbaiki kualitas hidup pasien dan kemungkinan menurunkan
mortalitas. Obat farmakologi utama untuk PPOK adalah bronkodilator
seperti agonis β2 dan antikolinergik (antagonis muskarinik). Bronkodilator
kerja panjang lebih efektif dibanding bronkodilator kerja singkat untuk
terapi pemeliharaan PPOK. Kombinasi bronkodilator (agonis β2 dan
antikolinergik) atau kombinasi bronkodilator dengan corticosteroid
inhalasi lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru dibanding
monoterapi. Kombinasi 3 obat (LABA, LAMA, dan ICS) dapat
memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup, serta menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding kombinasi LABA/ICS atau LABA/LAMA.

16
DAFTAR PUSTAKA
Ariz Pribadi, Darmawan BS.2004. Serangan Asma Berat pada Asma Episodik.
Sari Pediatri, Vol. 5, No. 4, Maret 2004: 171 – 177.
Arto YS. 2014. Penyakit paru obstruktif kronik: ina j chest crit and emerg med.
1(2): 1-2.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Stategy for Asthma
Management and Prevention. Diakses dari: http://ginasthma.org
Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto,
E. et al. 2004. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia.Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Meiyanti, Mulia Julius I. Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma
Bronkial. J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 125
Novita Fajar Lestari,Nurul Hartini.2014. Hubungan Antara Tingkat Stres dengan
Frekuensi Kekambuhan pada Wanita Penderita Asma Usia Dewasa Awal yang
Telah Menika. JURNAL Psikologi Klinis dan Kesehtan Mental Volume 2, No. 1,
April 2014.
O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et
al.2010.Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Ontario Canada.
Risala Kusumawati. 2013. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut Di Rsup Dr. Sardjito Yogyakarta.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tanto, C. 2014. Kapita selekta kedokteran: edisi 4 jilid 2. Jakarta: media
aesculapius.

17

Anda mungkin juga menyukai