Anda di halaman 1dari 45

.

LAPORAN KASUS

ILEUS OBSTRUKTIF E.C. INVAGINASI

Pembimbing:

dr. Mega Sari Sitorus, M.Kes

Disusun Oleh:
Yongky Suganda
207041087

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN

ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyajikan makalah mengenai Ileus Obstruktif ec
Invaginasi. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Bedah Universitas Sumatera Utara, Medan.
            Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Mega Sari Sitorus, M.Kes atas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini,
pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Ileus Obstruktif ec Invaginasi semakin
bertambah.
            Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, baik
dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik
secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
kesehatan.
           
 
 

Medan, April 2021
                                                                                               
 
 

Yongky Suganda
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi
usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus terbagi dua yaitu
ileus obstruksi dan ileus paralitik. Ileus obstruksi merupakan kegawatdarurataan
abdomen dan merupakan 60-70% dari seluruh kasus akut abdomen diluar appendisitis
akut.(3)

Ileus obstruksi adalah hilangnya atau adanya gangguan pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik. Obstruksi usus dapat disebabkan karena adanya
lesi pada bagian dinding usus, diluar usus, maupun di lumen usus. Obstruksi usus dapat
bersifat akut maupun kronis, parsial maupun total. Penyebab obstruksi kolon yang
paling sering adalah karsinoma, terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri
distal. Sebagian besar obstruksi mengenai usus halus. Obstruksi pada usus halus dapat
disebabkan oleh strangulasi, invaginasi atau sumbatan di dalam lumen usus. 75% dari
kasus obstruksi usus halus disebabkan oleh adhesi intraabdominal pasca operasi. Pada
laporan kasus ini akan dibahas mengenai ileus obstruksi, mulai dari anatomi usus,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik maupun
penunjang, komplikasi, terapi sampai prognosis. (3)

1.2 Tujuan Penulisan


1. Memahami anatomi yang bersangkutan dengan penyakit Ileus obstruksi e.c
Invaginasi
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu tugas Pendidikan dokter Speialis Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI USUS

2.1 Anatomi Usus

A. Usus Halus

Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat, dan membentang


dari pilorus hingga katup ileosekal dengan panjang sekitar 6,3m (21 kaki) dengan
diameter kecil 2,5 cm (1 inci). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum,
jejenum, dan ileum.(1,4) Duodenum merupakan bagian proksimal dari usus halus yang
letakya retroperitoneal.Duodenum berbentuk seperti huruf C yang panjangnya 25 cm
yang menghubungkan gaster dengan jejenum. Duodenum merupakan muara dari saluran
pankreas dan empedu. Duodenum terdiri dari 4 bagian yaitu (15)

1. Pars superior duodeni, yang hampir selalu ditutupi oleh peritoneum dan cukup
mobile.

2. Pars descenden duodenum terletak pada garis vertical dari apex pars superior
duodeni sampai sepertiga bagian horizontal. Pada bagian medialnya terdapat
ductus choledocus dan ductus pancreaticus wirsungi. Terletak di
retroperitoneum

3. Pars horizontalis duodenum, melintasi garis setinggi vertebra lumbalis ketiga.


Serta terletak di bagian depan vena cava inferior

4. Pars ascendens duodenum, terletak di anterior kiri aorta. Terdapat ligamentum


treitz yang memfiksasi pada bagian kaudal.
Gambar 2.1. Bagian duodenum

Duodenum diperdarahi terutama oleh arteri gastroduodenalis dan cabangnya


yaitu arteri pankreatikoduodenalis superior yang beranastomosis dengan arteri
pancreaticoduodenalis inferior (cabang pertama dari arteri mesentrica superior). Darah
dikembalikan melalui vena pankreatikoduodenalis yang bermuara ke vena mesenterika
superior. Pembuluh limfe mengalir melalui pembuluh limfe mesenteric, ke cisterna
chyli lalu menuju ducutus thoracicus dan ke vena subklavia kiri. Persarafan duodenum
diatur oleh parasimpatis dan simpatis yang berasa dari nervus vagus dan nervus
splanchnic.(1,3)

Gambar 2.2. Perdarahan usus halus

Pemisahan duodenum dan ileum ditandai oleh adanya ligamentum Treitz, yaitu
suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus
esophagus dan berinsersi pada perbatasan anatara duodenum dn jejenum. Ligamentum
ini berperan sebagai penggantung (suspensorium). (1)

Sekitar dua perlima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga perlima bagian
akhirnya adalah ileum. Jejenum dan ileum digantung oleh mesenterium yang
merupakan lipatan peritoneum yang menyokong pembuluh darah dan limfe yang
menyuplai ke usus. Secara histologi, ileum memiliki plak peyeri dan jejenum memiliki
lapisan mukosa yang lebih tebal yang disebut plica sirkulare. (1)

Perdarahan jejenum dan ileum berasal dari arteri mesenterika superior yang
dicabangkan dari aorta tepat dibawah arteri celiaca. Cabang cabang arteri jejenal dan
ileal muncul dari arteri mesenterka superior sebelah kiri. Mereka saling beranastomosis
dan membentuk arkade yang disebut vasa recta, yang menyupai jejenum dan ileum dan
terbentang diantarata mesenterium, jejenum memiliki arkade lebih sedikit namun vasa
recta yang lebih panjang. Sedangkan ileum memiliki 4-5 arkade dan vasa recta yang
lebih pendek. Bagian ileum terbawah juga diperdarahi oleh arteri ileokolika. (1,5)

Dinding usus halus terdiri dari 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis
propria, dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari vili, yang memperluas permukaan
untuk absorpsi, sel goblet, kripta Lieberkuhn, lamina propria, dan mucosa muskularis.
Lapisan submukosa terdiri dari pembuluh darah dan pleksus Meissner. Lapoisan
muskularis propria terdiri dari lapisan otot yaitu lapisan otot sirkular dan lapisan otot
longitudinal dan pleksus myenteric Auerbach. Lapisan serosa menyelimuti organ dalam
rongga peritoneum yang disebut peritoneum visceral.(5)

Terbentang dari pylorus sampai junctura ileocaecalis. Terdiri dari :(8)


a) Duodenum
b) Jejenum
c) Ileum

a. Duodenum
Bagian intestinum tenue terpendek dengan panjang sekitar 10 inci (25 cm) dan
berbentuk huruf C yang melingkari caput pancreas. Duodenum berawal pada pylorus di
sebelah kanan dan berakhir pada peralihan duodenojejunal di sebelah kiri. Merupakan
organ yang penting karena merupakan tempat bermuara dari ductus choledochus dan
ductus pancreatis.

b. Jejenum dan Ileum


Jejenum berawal dari flexura duodenojejunalis, dan intestinum ileum berakhir
pada ileocecal junction (pertemuan ileum dg caecum). Panjang jejenum dan ileum
bersama adalah 6-7 m, dari panjang ini dua perlima bagian adalah jejenum dan sisanya
ileum. Lengkung-lengkung jejenum dan ileum dapat brgerak bebas dan melekat dengan dinding
posterior abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dan dikenal
sebagai mesentrium.

Vaskularisasi
Diperdarahi oleh A.mesentrica superior dan bagian paling bawah ileum
diperdarahi oleh a.ileocolica.
Vena sesuai dengan percabgan A.mesentrica superior dan mengalirkan darahnya
ke dalam vena mesentrica superior.

Gambar 2.3. Vaskularisasi Ileum Jejunum

Aliran Limfe
Pembuluh limfe jejenum dan ileum melintasi antara lembar-lembar mesentrium
ke nodi lymphoidei mesentrici yang terletak :
a) Dekat pada dinding intestinum
b) Antara lengkung-lengkung arterial
c) Sepanjang bagian proksimal arteriae mesentrica superior
Inervasi
Berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis ( nervus vagus ) plexus mesentricus
superior.

B. Usus Besar

Kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5m yang
terbentang dari sekum hingga rektum. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon asenden,
kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan rektum. Kolon transversum dan
kolon sigmoid memiliki penggantung sendiri yang disebut mesokolon tranversum dan
mesocolon sigmoid, sehingga letaknya intraperitoneal. Sedangkan kolon asending dan
desending letaknya retroperitoneal.(6,7)

Gambar 2.4. Anatomi usus besar

Secara histologi, usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti usus lain.
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam tiga pita
yang disebut taenia koli. Panjang taenia koli lebih pendek daripada usus, seehingga usus
tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustrae.(7)

Gambar 2.5. Perdarahan dan histologi usus besar

Perdarahan usus besar secara garis besar diperdarahi oleh arteri mesenterica
superior dan arteri mesenterica inferior. Arteri mesenterica superior bercabang menjadi
arteri kolika dekstra, arteri kolika media, arteri ileokolika, dan arteri appendikulare yang
kemudian memperdarahi sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal kolon
transversum. Sedangkan arteri mesenterica inferior bercabang menjadi arteri kolika
sinistra, arteri sigmoid, dan arteri rektal superior yang kemudian memperdarahi
sepertiga distal kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, dan bagian
proksimal rektum. Pada rektum, terdapat supai darah tambahan yaitu arteri hemoroidalis
media dan inferior yang merupakan cabang dari arteri iliaka interna.(7)

Aliran balik vena usus besar melalui vena mesenterica superior, vena
mesenterika inferior dan vena hemoroidalis superior yang bermuara ke vena porta. Vena
hemoroidalis media dan inferior menuju ke vena iliaka. Kolon dipersarafi oleh serabut
simpatis yang berasal dari nervus splangnikus dan pleksus presakralis, sedangkan
serabut parasimpatis berasal dari nervus vagus.(7)

C. Dinding Abdomen

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di


bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang pada tulang belakang, di
sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah melekat pada tulang panggul.(5)
Dinding perut terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapisan kulit
yang terdiri dari:
1. Kutis
2. Subkutis
- Fascia superfisial (fascia camper)
- Fascia profunda (fascia scarpa)
3. Otot dinding perut
a. Kelompok ventrolateral
- Tiga otot pipih : Musculus obliquus abdominis eksternus , Musculus
obliquus abdominis internus, Musculus transversus abdominis
- Satu otot vertikal: musculus rectus abdominis
b. Kelompok posterior : musculus psoas major, musculus psoas minor,
musculus iliacus, musculus quadratus lumborum
4. Fascia tranversalis
5. Peritonium

Gambar 2.6. Lapisan Dinding Abdomen

D. Regio Abdomen

Dinding abdomen terdiri dari pada kulit, fascia superfiscialis, lemak, otot-
otot, fascia transversalis dan parietal peritoneum. Selain itu, posisi abdomen ada
diantara toraks dan pelvis. Pada abdomen, terdapat empat kuadran yang dibahagi dari
bagian midline dan bagian transumbilical. (7)

Gambar 2.7. Kuadran empat bagian abdomen

 Bagian kanan atas: Hepar dan kantong empedu


 Bagian kiri atas: Gastric dan limfa
 Bagian kanan bawah: Cecum, ascending colon dan usus kecil
 Bagian kiri bawah: Descending colon, sigmoid colon, dan usus kecil

Sedangkan bagian abdomen terbagi kepada : (5,7)

Gambar 2.8. Bagian-bagian abdomen

Tempat organ abdomen adalah pada:

1. Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung


empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal
kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2. epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hepar.
3) hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
4) lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5) Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6) Lateralis sinistra meliputi organ: kolon descenden, bagian distal
ginjal kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7) Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal
ileum dan ureter kanan.
8) Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9) Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.

2.2 Ileus Obstruktif dan Invaginasi

2.2.1 Definisi

Ileus obstruksi merupakan gangguan mekanik baik parsial maupun total dari
pasase isi usus. Ileus obstuktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi
karena adanya daya mekanik yang mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan
penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal ini menyebabkan pasase lumen usus
tergangggu.(8)

Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen
lainnya, yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi ataupun strangulasi.
Invaginasi sering disebut juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal
(intussuseptum) masuk ke bagian distal (intususepien). (7)

2.2.2 Epidemiologi

Ileus obstruksi merupakan kelainan bedah yang paling sering ditemui pada usus halus.
Adhesi intraabdominal pasca operasi merupakan etiologi yang paling sering yaitu 75%
dari seluruh kasus. Etiologi yang sering lainnya adalah hernia dan penyakit Crohn. Pada
kolon, kanker merupakan penyebab tersering darri ileus obstruksi. Penyebab lainnya
meliputi menyempitnya lumen usus karena diverkulitis atau penyakit infeksi usus.(3,10)
Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-masing penulis
mengajukan jumlah penderita yang berbeda-beda. Kelainan ini umumnya ditemukan
pada anak-anak dibawah 1 tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia.
Umumnya invaginasi ditemukan lebih sering pada laki-laki dengan perbandingan antara
laki-laki dan perempuan 3:2. (15)

2.2.3 Klasifikasi

1. Secara umum

 Ileus obstruksi sederhana : obstruksi yang tidak disertai terjepitnya


pembuluh darah

 Ileus obstruksi strangulata : ada pembuluh darah yang terjepit sehingga


terjadi iskemia yang akan menyebabkan nekrosis
atau gangren.(10)

2. Berdasarkan letak obstruksi

 Letak tinggi : duodenum – jejenum

 Letak tengah : ileum terminal

 Letak rendah : colon sigmoid – rectum. (12)


Gambar 2.9. Klasifikasi ileus berdasarkan letak obstruksi

3. Berdasarkan stadium

• Parsial : menyumbat sebagian lumen usus. Sebagian sisa makanan dan


udara masih dapat melewati tempat obstruksi.

• Komplit : menyumbat total lumen usus.

• Strangulasi : sumbatan kecil tapi dengan jepitan pembuluh darah.

Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya yaitu pada bagian usus mana yang
terlibat : (11)

1. Ileo-ileal, adalah bagian ileum masuk ke bagian ileum.

2. Ileo-colica, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian kolon.

3. Ileo-caecal, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian apex dari invaginasi.

4. Appedicial-colica, adalah bagian caput dari caecum terinvaginasi.

5. Colo-colica, adalah bagian colon masuk ke bagian kolon.

2.2.4 Etiologi

Penyebab ileus obstruksi secara umum dapat dibagi menjadi tiga mekanisme,
yaitu blokade intralumen,intramural atau lesi instrinsik dari dinding usus, kompresi
lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari usus (Thompson 2005). Lesi
intraluminal seperti fekalit, batu empedu, lesi intramural misalnya malignansi atau
inflamasi, lesi ektralumisal misalnya adhesi, hernia, volulus atau intususepsi.(3)
Gambar 2.10. Penyebab ileus obstruksi pada usus halus

Ileus obstruksi pada usus halus dapat disebabkan oleh :(9)

1. Adhesi

Adhesi umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis


lokal atau umum, atau pascaoperasi. Adhesi dapat berupa perlengketan dalam
bentuk tunggal maupun multipel, dan dapat setempat maupun luas.Sering juga
ditemukan adhesi yang bentuknya pita. Pada operasi, perlengketan dilepaskan,
dan pita dipotong agar pasase usus pulih kembali. Ileus akibat adhesi umumnya
tiak disertai strangulasi.(9)

2. Hernia inkarserata

Hernia disebut hernia inkarserata bila isinya terjepit cincin hernia


sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga
perut, sehingga terjadi gangguan pasase atau gangguan vaskularisasi. Hernia
merupakan penyebab kedua terbanyak setelah adhesi dan merupakan penyebab
tersering pada pasien yang tidak mempunyai riwayat operasi abdomen. (9)

3. Volvulus

Volvulus merupakan proses memutarnya usus sehingga menyebabkan


obstruksi usus dan gangguan vaskularisasi. Volvulus jarang terjadi di usus halus.
Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum. (9)
4. Tumor

Lebih dari separuh tumor jinak ditemukan di ileum, sisanya di


duodenum dan yeyenum. Tumor jinak usus halus agak jarang menyebabkan
obstruksi usus, kecuali jika menimbulkan invaginasi (penyebab tidak langsung)
atau karena tumornya sendiri (penyebab langsung).

Separuh kasus tumor ganas terdapat di ileum. Keluhannya samar,


seperti penurunan berat badan dan sakit perut. Sama halnya dengan tumor jinak
usus halus, tumor ganas juga jarang menyebabkan obstruksi. (9)

5. Invaginasi

Invaginasi atau intususepsi sering ditemukan pada anak dan agak jarang
pada dewasa muda. Invaginasi adalah masukya bagian usus proksimal
(intussuseptum) kedalam bagian yang lebih distal dari usus (intussupien).
Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk dan naik ke kolon
asenden serta mungkin keluar dari rektum. Invaginasi dapat mengakibatkan
obstruksi ataupun nekrosis iskemik pada bagian usus yang masuk dengan
kompikasi perforasi dan peritonitis. (9)

Gambar 2.11. Invaginasi

a. Idiophatic

Menurut kepustakaan 90 – 95 % invaginasi pada anak dibawah umur satu


tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai
“infatile idiphatic intussusceptions”.
Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum terminal
berupa hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai akibat infeksi
virus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point) terjadinya invaginasi. (2)

b. Kausal

Pada penderita invaginasi yang lebih besar (lebih dua tahun) adanya
kelainan usus sebagai penyebab invaginasi seperti : inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma, duplikasi usus. (8)

Gross mendapatkan titik awal invaginasi berupa : divertikulum Meckel,


polip,duplikasi usus dan lymphoma pada 42 kasus dari 702 kasus invaginasi anak.
(8)

Ein’s dan Raffensperger, pada pengamatannya mendapatkan “Specific


leading points” berupa eosinophilik, granuloma dari ileum, papillary lymphoid
hyperplasia dari ileum hemangioma dan perdarahan submukosa karena
hemophilia atau Henoch’s purpura. Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai
penyebab invaginasi pada anak yang berusia diatas enam tahun. (11)

Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul


setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus,
disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas
dan hipoksia lokal. (5)

Penyakit ini sering terjadi pada umur 3 – 12 bulan, di mana pada saat itu
terjadi perubahan diet makanan dari cair ke padat, perubahan pemberian makanan
ini dicurigai sebagai penyebab terjadi invaginasi. Invaginasi kadang – kadang
terjadi setelah / selama enteritis akut, sehingga dicurigai akibat peningkatan
peristaltik usus. Gastroenteritis akut yang dijumpai pada bayi, ternyata kuman rota
virus adalah agen penyebabnya, pengamatan 30 kasus invaginasi bayi ditemukan
virus ini dalam fesesnya sebanyak 37 %. Pada beberapa penelitian terakhir ini
didapati peninggian insidens adenovirus dalam feses penderita invaginasi. (10)

2.2.4 Patofisiologi

Pada invaginasi dapat berakibat terjadinya obstruksi ataupun strangulasi


dari usus. Obstruksi yang terjadi secara mendadak ini, akan menyebabkan bagian
apex invaginasi menjadi udem dan kaku, jika hal ini telah terjadi maka tidak
mungkin bagian usus yang tidak viabel tersebut dapat kembali normal secara
spontan. (7)

Gambar 2.12. Gambaran Invaginasi melalui laparaskopi

Gambar 2.13. Invaginasi tipe ileocaecal

Pada sebagian besar kasus invaginasi obstruksi usus terjadi pada daerah ileo –
caecal. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat dari
penyakit invaginasi yang berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk
kedalam caecum dan kolon, akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi edem dan
kaku, mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulata
dan perforasi usus. (11)

2.2.5 Manifestasi Klinik

Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi dikenal dengan “Trias Invaginasi”,

yang terdiri dari : (3)

1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat serang serangan, lama

serangan 2-3 menit, nyeri menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi

serangan (colicky abdominal pain). Pada umumnya selama serangan nyeri perut itu

diikuti dengan muntah berisi cairan dan makanan yang ada di lambung.

2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas, kanan bawah,

atas tengah, kiri bawah atau kiri atas (palpebra abdominal mass).

3. Buang air besar campur darah dan lendir ataupun terjadi diare (red currant jelly

stools).

Bila penderita terlambat datang ke rumah sakit, sumbatan atau obstruksi pada

usus yang disebabkan oleh invaginasi dapat menyebabkan perut sangat menggembung

atau distensi sehingga pada saat pemeriksaan sukar untuk meraba adanya massa tumor,

oleh karena itu untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias

invaginasi yang lainnya.(4)

Tumor lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut
bagian kanan bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini akibat caecum dan
kolon naik ke atas, ikut proses invaginasi.Pembuluh darah mesenterium dari bagian
yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem,
hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus, ini memperlihatkan gejala berak darah
dan lendir, tanda ini baru dijumpai sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali,
kadang-kadang sesudah 12 jam. Berak darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus
ke kasus, ada juga yang dijumpai hanya pada saat melakukan colok dubur. (5)

Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama, usus yang tadinya tersumbat
partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses oedem yang semakin bertambah,
sehingga pasien dijumpai dengan tanda- tanda obstruksi, seperti perut kembung dengan
gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan dehidrasi. (4)

Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan
defekasi hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan
dijumpai muntah feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran
pembuluh darah arteri, pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis usus,
ganggren, perforasi, peritonitis umum, shock dan kematian. (4)

Pemeriksaan colok dubur didapati: (10)

- Tonus sphincter melemah, mungkin invaginat dapat diraba berupa massa seperti
portio

- Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.

2.2.6 Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis ileus obstruksi tinggi, sering dapat ditemukan penyebab,


misalnya berupa adhesi dalam perut karena dioperasi atau terdapat hernia. Gejala yang
timbul umumya berupa syok, oligouri,dan gangguan elektrolit.Kemudian ditemukan
adanya serangan kolik perut, di sekitar umbilikus pada ileus obstruksi usus halus dan
disuprapubik pada ileus obstruksi usus besar. Pada anamnesis, didapatkan adaya mual
dan muntah,tidak bisa BAB (buang air besaar), tidak dapat flatus, perut kembung. (4)
Pada strangulasi, terdapat jepitan yang menyebabkan gangguan peredaran darah
sehinggga terjadi iskemia, nekrosi atau gangren. Gangren menyebabkan tanda toksis
seperti, demam, takikardi, syok septik, dengan leukosistosis.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Pada inspeksi secara umum, terlihat adanya tanda tanda dehidrasi, dilihat
dari turgor kulit, mulut kering. Penderita tampak gelisah dan menggeliat
sewaktu serangan kolik. Pada inspeksi abdomen, terlihat distensi, darm
countour (gambaran kontur usus), darm steifung (gambaran gerakan usus),
terutama pada penderita yang kurus. (15)

b. Auskultasi

Pada auskultasi, terdengar hiperperistaltik yang kemudian suara usus


meninggi (metallic sound) terutama pada permulaan terjadinya obstruksi dan
borborygmi sound terdengar sangat jelas pada saat serangan kolik. Kalau
obstruksi berlangsung lama dan telah terjadi strangulasi serta peritonitis, maka
bising usus akan menghilang. (15)

c. Palpasi

Pada palpasi, diraba adanya defans muskular, ataupun adanya tanda


peritonitis seperti nyeri tekan, nyeri lepas, teraba massa seperti pada tumor,
invaginasi, dan hernia. (15)

d. Perkusi

Pada perkusi didapatkan bunyi hipertimpani.


e. Rectal Toucher

Untuk mengetahui apakah adanya massa dalam rectum. Apakah ada darah
samar, adanya feses harus diperhatikan. Tidak adanya feses menunjukan
obstruksi pada usus halus. Apabila terdapat darah berarti penyebab ileus
obstruksi adalah lesi intrinsik di dalam usus seperti malignansi. .(11,15)

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak dapat dijadikan pedoman


untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
ialah darah lengkap, elektrolit, BUN (blood urea nitrogen), ureum
amilase, dan kreatinin. (11)

Pada ileus obstruksi sederhana, hasi pemeriksaan larobarotiumnya


dalam batas normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis, dan nliai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum
amilase sering didapatkan pada semua jenis ileus obstruksi, terutama
strangulasi. Penurunan dalam kadar serum natrium, klorida dan kalium
merupaan manifestasi lebih lanjut, dapat juga terjadi alkalosis akibat
muntah. Bila BUN didapatkan meningkat, menunjukkan hipovolemia
dengan azotemia prerenal.(15)

b. Pemeriksaan Radiologi

Diagnosis ileus obstruksi biasanya dapat dikonfirmasi dengan


pemeriksaan radiologi.

 Foto polos abdomen

Diperlukan foto abdomen 3 posisi yaitu foto posisi supine, foto


posisi setengah duduk, dan foto left lateral decubitus. Pada posisi
supine dapat ditemukan gambaran distensi usus dan herring bone
appearance, posisi lateral dekubitus ataupun setengah duduk dapat
ditemukan gambaran step ladder pattern. (3)

Hal yang paling spesifik dari obstruksi usus halus ialah distensi
usus halus (diamater > 3 cm), adanya air fliud level pada foto posisi
setengah duduk, dan kekurangan udara pada kolon. Negatif palsu
dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi ketika letak obstruksi
berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja dengan tidak adanya udara. Hal ini dapat mengakibatkan
tidak adanya gambaran air fluid level ataupun distensi usus.(3)

Pada ileus obstruksi kolon, pemeriksaan foto abdomen


menunjukan adanya distensi pada bagian proksimal dari obstruksi.
Selain itu, tampak gambaran air fluid level yang berbentuk seperti
tangga yang disebut juga step ladder pattern karena cairan transudasi.
(3)

Gambar 2.14. Foto polos abdomen posisi supine (dilatasi usus)


Gambar 2.15. (a) ileus obstruksi (b) posisi setengah duduk denga gambaran air fluid
level yang membentuk step ladder pattern

 Barium enema

Dikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis

dikerjakan bila gejala-gejala klinik meragukan, pada barium enema akan

tampak gambaran cupping, coiled spring appearance yang dapat terlihat padaa

gambar 2.16. (11)


Gambar 2.16. Barium enema menunjukkan intussusepsi di colon desenden (Gabriel,
2011)

Ultrasonografi: pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan gam-baran

target sign pada potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada

potongan longitudinal invaginasi. (4)

Pada infeksi rotavirus akut dijumpai gambaran lymphadenopathy

dan tampak penebalan dinding ileum distal. Penebalan dari dinding ileum

distal merupakan lead point terjadinya invaginasi (Zupancic, 1994). Karena

itu rotavirus diduga mempunyai kaitan dengan terjadinya invaginasi. (7)

Gambar 2.17. Gambaran USG Abdomen menunjukkan tanda klasik dari intussusepsi di

dalam intussupien

 Foto Thorax
Foto thorax dapat menggambarkan adanya free air sickle yang terletak dibawah
difaragma kanan yang menunjukkan adanya perforasi usus.(11)
Gambar 2.18. Gamabaran free air sickle

 CT scan
CT scan berguna untuk menentukan diagnosa dini dari obstruksi
strangulasi dan untuk menyingkirkan penyebab akut abdominal lain, terlebih jika
klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT scan juga dapat membedakan
penyebab dari ileus obstrusi usus halus,yaitu penyebab ekstrinsik (seperti adhesi
dan hernia) dengan penyebab instrinsik (seperti malignansi dan penyakit Chron).
Obtruksi pada CT scan ditandai dengan diameter usus halus sekitar 2,5 cm pada
bagian proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan diameter kurang dari 1
cm.(11)
Temuan lain pada obstruksi usus yaitu zona transisi dengan dilatasi usus
proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tidak dapat
melewati bagian obstruksi, dan pada bagian kolon terdapat gas ataupun cairan.
Strangulasi ditandai dengan menebalnya dinding usus, pneumatosis intestinalis
(udara pada dinding usus), udara pada vena porta, dan berkurangnya kontras
intravena ke dalam usus yang terkena. Penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas
CT 80-90%, spesifisitas 70-90% dalam mendeteksi obstruksi.(3)
Gambar 2.19. Ileus obstruksi pada CT scan (dilatasi lumen usus halus, dan dekompresi
terminal ileum (I) dan kolon asenden (C))

 Enteroclysis

Enteroclysis berguna untuk mendeketsi adanya obstruksi dan berguna


membedakan antara obstruksi parsial atau total. Metode ini berguna jika foto polos
abdomen mempelihatkan gambaran normal namun gambaran klinis menunjukan
adanya obstruksi atau jika foto polos abdomen tidak spesifik. Pemeriksaan ini juga
dapat membedakan adhesi karena metastase, tumor yang rekuren, dan kerusakan
akibat radiologi. Penggunaan barium sering dihubungkan dengan terjadinya
peritonitis, dan harus dihindari bila diduga adanya perforasi.(11)

Enteroclysis jarang digunakan pada keadaan akut. Pada pemeriksaan ini,


digunakan 200-250 mL barium dan diikuti 1-2 L larutan methylcellulose dalam air
yang dimasukan melalui proksimal jejenum melalu kateter nasoenteric.
Gambar 2.20. (a). adhesional small bowel obstruction. Menunjukan gambaran lumen usus
yang menyempit (tanda anak panah) (b). Enteroclysis

2.2.7 Diagnosa Banding

Diagnosa banding dari invaginasi adalah :

 Gastro – enteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai

perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.

 Diverticulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.

 Disentri amoeba, pada keadaan ini diare mengandung lendir dan darah, serta

adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus

dan demam.

 Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.

 Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali.

Pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal,
sedangkan pada invaginasi didapati adanya celah. (8)

2.2.8 Penatalaksanaan

Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan


diberikan, jika pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka
akan memberikan prognosis yang lebih baik. (2)

Penatalaksanaan dari invaginasi pada umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi


diagnostik melalui ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema
(kecuali anak mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan intervensi bedah merupakan
pilihan terakhir kecuali pada kasus khusus. (1)
Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak
dahulu mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:
1. Reduksi dengan barium enema
Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada invaginasi pada
anak, namun kontroversi terhadap terapi ini masih terus diperdebatkan. (7)
Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita: dipuasakan,
resusitasi cairan, dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah
dijumpai tanda gangguan pasase usus dan hasil pemeriksaan laboratorium
dijumpai peninggian dari jumlah leukosit dan neutrofil segmen maka antibiotika
berspektrum luas dapat diberikan. Narkotik seperti Demerol dapat diberikan
(1mg/kg BB) untuk menghilangkan rasa sakit. (9)
Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi dalam
diagnostik dan terapI. Reduksi invaginasi dengan nonoperatif telah
menunjukkan lama rawat inap, pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya
rumah sakit, dan mengurangi kompilkasi yang berhubungan dengan operasi
abdomen. (6)

Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna bagi pasien


dengan gejala invaginasi lebih dari 48 jam, dan khususnya pasien dengan
keadaan umum yang jelek dan membutuhkan operasi reduksi sebagai
penanganannya. (5)

Menurut Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat diberikan bila


tidak dijumpai kontra indikasi seperti:
- Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun
pada foto abdomen.
- Dijumpai tanda-tanda peritonitis.

- Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam.


- Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.
- Usia penderita dibawah 1 tahun.

Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak
menangis atau gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat
membantu (Gabriel, 2011). Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke
rektum dan difiksasi dengan plester, melalui kateter bubur barium dialirkan dari
kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan aliran bubur barium
dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat di
identifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon transversum
dan bagian proksimal kolon descendens. Bila kolom bubur barium bergerak
maju menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila kolom bubur barium
berhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-5 menit. Reduksi
dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10-15 menit tetapi
tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga,
bubur barium dievakuasi terlebih dahulu. (4)

Reduksi barium enema dinyatakan berhasil, apabila:(5)

- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai massa
feses dan udara.
- Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian
usus halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum.
- Hilangnya massa tumor di abdomen.
- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit
test positif.

Penderita perlu dirawat inap selama 2-3 hari karena sering dijumpai
kekambuhan selama 36 jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung
kepada beberapa hal antara lain, waktu sejak timbulnya gejala pertama,
penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis pelaksanaan-nya (Ravitch,
2007). Jika reduksi dengan enema gagal untuk mengatasi keadaan ini,
intervensi bedah dapat dilakukan.(8)

2. Reduksi dengan tindakan operasi


Tindakan ini sangat menentukan prognosis, jangan melakukan tindakan
operasi sebelum mengoptimalkan keadaan umum pasien (pasien baru dapat
dioperasi apabila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini ditandai
apabila produksi urine sekitar 0,5-1 cc/kg BB/jam). Nadi kurang dari
120x/menit, pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral yang tadinya dingin dan
lembab telah berubah menjadi hangat dan kering, turgor kulit mulai membaik
dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C. Biasanya perfusi jaringan akan baik
apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan
sambil operasi berjalan dan pasca bedah.(4)

3. Pemberian antibiotic
Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan operasi karena usus
dapat menjadi nekrosis karena perfusi jaringan masih buruk Harus diingat
bahwa obat anestesi dan stress operasi akan memperberat keadaan umum
penderita serta perfusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan
bertumpuknya hasil metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat ginjal
dan pernafasan, begitu pula perfusi jaringan yang belum baik akan
mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula. Bila dipaksakan kelainan
tersebut akan irreversible.(11)

4. Tindakan reposisi usus

Tindakan selama operasi tergantung kepada temuan keadaan usus,


reposisi manual dengan cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga
bergantung pada keterampilan dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk
tindakan ini dilakukan secara transversal (melintang), pada anak-anak dibawah
umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal supraumbilikal oleh karena letaknya
relatif lebih tinggi. Ada juga yang menganjurkan insisi transversal
infraumbilikal dengan alasan lebih mudah untuk eksplorasi usus, mereduksi
intusussepsi dan tindakan appendektomi bila dibutuhkan. Tidak ada batasan
yang tegas kapan kita harus berhenti mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus
dilakukan apabila: pada kasus yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual,
bila viabilitas usus diragukan atau ditemukan kelainan patologis sebagai
penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan anastomosis ”end to end”,
apabila hal ini memungkinkan tetapi bila tidak mungkin maka dilakukan
“exteriorisasi” atau enterostomi.(4)
Gambar 2.21. Milking Prosedur (Ashcraft, 1994)

2.2.9 Komplikasi

Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir
dengan perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis
umum.(3)

2.2.10 Perawatan Pasca Operasi Pada kasus tanpa reseksi

Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada saluran cerna selama 1 – 2 hari

dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari intestine menghilang, pasase dan

peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine ditandai dengan

menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube. Abdomen menjadi lunak, tidak

distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh pasca operasi yang akan turun
secara  perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan

reduksi. Pada kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.(12)


BAB 3
LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : By. CL
Umur : 8 Bulan 15 hari
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : bacem RT 3 RW 1 Jepon Blora
No. RM : 01281020

II. Keluhan Utama


Muntah

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien muntah 2 hari SMRS di pagi hari. Muntah dapat terjadi lebih dari
sepuluh kali per hari dengan volume kurang lebih 30 cc setiap muntah. Muntah
berupa cairan dan lendir berwarna kehijauan. Selain itu pasien juga mengalami
buang air besar berupa darah sejak 2 hari SMRS di malam hari. Darah yang keluar
dari anus terjadi satu kali dengan volume kurang lebih 2 sendok teh. Darah yang
keluar berwarna merah kehitaman disertai dengan lendir. Pasien juga rewel
menangis sepanjang malam. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan dua hari
SMRS di malam hari, demam dirasakan terus menerus. Orang tua pasien kemudian
membawa pasien ke RSUD di Blora, dan pasien mendapatkan obat-obatan dan
infus. Di pagi harinya, perut pasien membesar dan keras seperti kembung. Perut
dirasakan terus menerus membesar dan tidak berkurang sampai pasien dirujuk ke
RSDM.Setelah pasien berusia 6 bulan mendapatkan ASI, ibu pasien memberikan
makanan berupa bubur bubuk instan yang diberikan sebagai makanan pendamping
ASI, selama kurang lebih dua bulan terakhir. Batuk (-), pilek (-) , BAK (+).

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit serupa : (-)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat trauma : (-)
Riwayat mondok : (+) 2 hari di RSUD Blora dengan keluhan serupa
Riwayat alergi : (-)
Riwayat dipijat : (-)

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama : disangkal

VI. Riwayat Kelahiran


Pasien lahir dengan persalinan normal di bidan terdekat, usia kehamilan 9 bulan,
G1P1A0. BBL 3.100 gram. Saat lahir pasien menangis kuat dan bergerak aktif.

VII. Riwayat Kehamilan


Riwayat Ibu ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat Ibu sakit saat hamil : disangkal

VIII. Riwayat Imunisasi


Pasien telah mendapatkan imunisasi Hep.B, Polio, dan BCG

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : lemah, gerak aktif menurun
b. Vital sign :
TD : 100/70 mmHg
N : 124 x/menit
RR : 45 x/menit
T : 38,4 o C per aksilar

II. General Survey


a. Kulit: Kulit sawo matang,kering (-), ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)
b. Kepala : mesocephal, ubun ubun tidak cekung, LK 48 cm
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+), cekung (-/-), reflex
cahaya (+/+), pupil isokhor 2mm/2mm
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar darah (-).
f. Mulut : mukosa basah (-), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
i. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : kontur abdomen cembung, perut distended (+), bowel contour tidak
tampak, bowel movement tidak tampak, venektasi tidak tampak
Auskultasi : bising usus (+), peristaltik usus menigkat
Perkusi : Timpani meningkat
Palpasi : muscle guarding tidak ada, sulit meraba massa, dance’s sign dan
saussage sign sulit dinilai
l. Genitourinaria : anus (+) normal, BAK normal
m. Rectal Touche : Tonus muskulus sfingter ani normal, mukosa rekti kolaps,
tidak teraba adanya massa, pada sarung tangan tampak darah
bercampur lendir.
n. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

C. ASSESMENT I
Suspek Ileus obstruktif dd invaginasi

D. PLANNING I
 IVFD D5-1/4 NS 275 cc/24 jam
 Injeksi Cefotaxime 100 mg/12 jam
 Injeksi Metamizole
 Cek darah lengkap
 USG, Foto BNO, edukasi puasa (+)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 9,1 g/dL 12,3 – 15,3
Hematokrit 27 % 33 – 45
Leukosit 4,9 Ribu/µl 4,5 – 14,5
Trombosit 437 Ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3,98 Juta/µl 3,8 – 5,8
Hemostasis
PT 16,2 /um 10.0-15.0
APTT 31,7 pg 20.0-40.0
INR 1,390 g/dl -
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 79 mg/dl 50-80
SGPT 15 u/l <31
SGOT 29 u/l <34
Albumin 3.1 g/dl 3.8-5.4
Creatinin 0.4 mg/dl 0.2-0.4
Ureum 16 mg/dl <42
Elektrolit
Natrium Darah 139 mmol/l 129-147
Kalium Darah 3.0 mmol/l 3.6-6.1
Calsium Ion 108 mmol/l 1.17-1.29
Hepatitis
HBsAg Non Reactive

II. FOTO Rontgen


Foto BNO :
Foto abdomen posisi dupine dan LLD kondisi cukup, hasil:
- pre peritoneal fat kanan dan kiri tegas
- tampak distribusi udara usus tidak merata, tampak distensi pada sistema usus
halus dengan gambaran coil spring, tampak air fluid level.
- Tak tampak gambaran udara bebas extra lumendi posisi tertinggi LLD
Kesimpulan :
Mengarah gambaran ileus obstruktif
Tak tampak gambaran penumoperitoneum

III. USG ABDOMEN


Hepar : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tepi regular, tak tampak
nodule/kista/massa
GB : Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tak
tampaknodule/kista/massa, tak tampak batu
Lien : ukuran normal, intensitas echoparenkim
Bladder: terisi cukup urin, tak tampak massa/kalsifikasi
Regio illiaca kiri: tampak gambaran target sign dengan adannya intususeptum dan
intususipien regio sigmoid dan colon descenden
Tak tampak bayangan gas usus prominent dan dilatasi usus di bagian proximal
Kesimpulan :
Menyokong gambaran invaginasi colocolika di regio parailliaca kiri (kemungkinan
daerah sigmoid dan colon descenden)
Bayangan gas usus prominent dan dilatasi usus di bagian proximal)Mengarah
gambaran ileus obstruktif

F. ASSESMENT II
Suspek Ileus obstruktif ec invaginasi

G. PLANNING II
 Pro Laparotomy
BAB IV
KESIMPULAN

Invaginasi adalah keadaan gawat darurat akut dibidang bedah dimana suatu segmen
usus masuk kedalam lumen usus bagian distalnya sehingga timbul obstruksi dan pada fase
lanjut berakibat strangulasi usus yang berujung perforasi dan peritonitis.(14)

Gejala klinis awal adalah TRIAS yang terdiri dari nyeri perut (kolik), muntah, dan
currant jelly stool. Beberapa ahli mengganti gejala muntah dengan sausage’s sign. Reposisi
hidrostatik atau pneumostatik hanya dilakukan apabila invaginasi masih dalam fase awal
(early phase). Milking merupakan tindakan reposisi operatif pada invaginasi. Prognosis
semakin memburuk apabila invaginasi dioperasi pada fase lanjut.(14)
DAFTAR PUSTAKA

1. Lindseth Glenda. Gangguan Usus Halus. In : Price Slyvia, Wilson Lorraine,editors.


Patofisiologi Konsep Kinis Proses – Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta : EGC ; 2006. p
437-52

2. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.

3. Sjamsuhidajat R,Dahlan M, Jusi Djang. Gawat Abdomen. Dalam : Sjamsuhidajat R,


Karnadiharja W, Rudiman R, Prasetyono Theddeus, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Ed 3. Jakarta : EGC ; 2018. P 237-45

4. Whang E E, Ashley Stanley, Zinner J Michael. Small Intestine. In :Charles F


Brunicardi. Schwartz’s Manual of Surgery. Ed 8. USA : McGraw-Hill. 2006. P 702-
11

5. Sherwood Lauralee. Sistem Pencernaan. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. D 2.


Jakarta ; EGC ; 2001. p 570-88

6. Kumar Vinay Kapoor. Small Intestine Anatomy. 2011. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/1948951-overview#showall.

7. Lindseth Glenda. Gangguan Usus Besar. In : Price Slyvia, Wilson Lorraine,editors.


Patofisiologi Konsep Kinis Proses – Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta : EGC ; 2006. p
456-59

8. Ansari Parswa. Intestinal Obstruction. 2018. Available at :


http://www.merckmanuals.com/professional/gastrointestinal_disorders/acute_abdom
en_and_surgical_gastroenterology/intestinal_obstruction.html#v890928.
9. Riwanto Ign. Hidayat A H, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus Halus,
Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam : Sjamsuhidajat R, Karnadiharja W,
Rudiman R, Prasetyono Theddeus, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta :
EGC ; 2018. p 731- 72

10. Anonim. Bowel Obstruction. 2011. Available at : http://www.webmd.com/digestive-


disorders/tc/bowel-obstruction-topic-overview.

11. Hopkins Christy. Large Bowel Obstruction. 2011. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/774045-treatment#showall.

12. Bullard Kelli, Rothenberger David. Colon, Rectum, and Anus. In : Charles F
Brunicardi. Schwartz’s Manual of Surgery. Ed 8. USA : McGraw-Hill. 2006. P 770

13. Nobie Brian. Small Bowel Obstruction. 2011. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview#showall.

14. Schrock TR. Obstruksi Usus. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery). Alih
Bahasa: Adji Dharma, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1993; 239 – 42

15. Hodin Richard, Matthews Jeffrey. Small Intestine. Dalam : Norton Jeffey, Bolinger
Randal, Chang Alfred, Lowry Stephen, et all. Surgery Basic Science and Clinical
Evidence. New Yoek : Springer. 2000. P 617-26.

Anda mungkin juga menyukai