Anda di halaman 1dari 59

BAGIAN ILMU BEDAH NOVEMBER 2021

UNIVERSITAS TADULAKO REFERAT


FAKULTAS KEDOKTERAN

“TUMOR COLON DESCENDENS”

Nama : Ade Vira Ananda


No. Stambuk : N 111 19 035
Pembimbing : dr. Agung Kurniawan, Sp.B-KBD, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Ade Vira Ananda


No. Stambuk : N 111 19 035
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Referat : Tumor Colon Descendens
Bagian : Bagian Ilmu Penyakit Bedah

Bagian Ilmu Penyakit Bedah


RSUD UNDATA PALU
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, November 2021


Pembimbing Mahasiswa

dr. Agung Kurniawan, Sp.B-KBD, M.Kes Ade Vira Ananda

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kanker kolorektal adalah suatu tumor maligna yang muncul dari jaringan epitel
dari kolon atau rektum. Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang
ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan rektum adalah bagian dari usus besar
pada sistem pencernaan yang disebut juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya
kolon berada dibagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7
cm di atas anus. Kolon dan rektum berfungsi untuk menghasilkan energi bagi tubuh
dan membuang zat-zat yang tidak berguna. 1
Karsinoma kolorektal adalah kanker paling umum ketiga di Amerika Serikat
setelah kanker prostat dan paru-paru/bronkus pada pria dan setelah kanker payudara
dan paru-paru/bronkus pada wanita. Pada tahun 2011, diperkirakan 141.210 kasus
baru karsinoma kolorektal didiagnosis di Amerika Serikat, dengan perkiraan
49.380 kematian, mewakili sekitar 9% dari semua kanker yang baru didiagnosis dan
semua kematian terkait kanker (tidak termasuk kanker kulit sel basal dan
skuamosa).2
Kenaikan kasus kanker kolorektal di negara maju dapat dikaitkan dengan
populasi yang semakin menua, kebiasaan diet modern yang tidak menguntungkan
dan peningkatan faktor risiko seperti merokok, olahraga fisik yang rendah, dan
obesitas. Pengobatan baru untuk kanker kolorektal primer dan metastatik telah
muncul, memberikan pilihan tambahan untuk pasien; perawatan ini termasuk
operasi laparoskopi untuk penyakit primer, reseksi penyakit metastasis yang lebih
agresif (seperti metastasis hati dan paru), radioterapi untuk kanker dubur dan
kemoterapi neoadjuvant dan paliatif.3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Embriologi dan Anatomi


1) Embriologi

Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi
tiga bagian, foregut (F) pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor,
dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut. Tahap perkembanga midgut:
herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada minggu
keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E)
dan memisahkan traktus urogenital dan intestinal (F, G).

Embriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat


masa gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi
menjadi tiga segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti
akan membentuk kolon, rektum, dan anus. Midgut akan membentuk usus
halus, kolon asenden, dan kolon transversum proksimal, dan menerima suplai
darah dari arteri mesenterika superior. Saat minggu ke-enam masa gestasi,
midgut bergerak menuju keluar kavitas abdomen, dan berputar 270o

4
berlawanan arah jarum jam disekitar arteri mesenterika superior dan akhirnya
akan menempati tempat terakhirya, yaitu di dalam kavitas abdomen pada
minggu kesepuluh masa gestasi.4

Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon


desenden, rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari
arteri mesenterika inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung
distal hindgut (kloaka) terbagi menjadi septum urorektal pada sinus
urogenital dan rektum. Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm
dan mendapat suplai darah dari arteri pudenda interna.5

2) Anatomi

Gambar 2. Anatomi kolon dan rectum

5
Gambar 3. Lapisan otot kolon

Kolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara anatomis,


dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon dan rektum
terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot longitudinal
luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi menjadi tiga
taenia coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal dan rektum pada
bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling menggabung
sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke 12 masa gestasi. Kolon
intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh serosa; sedangkan
bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.6

a) Posisi Kolon

Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan
sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat
ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar
rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 - 8,5 cm) dan
mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan
terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden
bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan

6
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. "White line of Toldt"
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. 7
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon
asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon
transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan
ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel
ada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan
gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada
kolonoskopi.7
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura
koli dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan
tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden
umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon
dengan panjang yang bervariasi (15 - 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang
sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid
terletak pada kuadran kiri bawah, akibat mobilitasnya yang hebat dapat
berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa
volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang
mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala
nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid
membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.7
b) Vaskularisasi Kolon

Suplai arteri pada kolon mempunyai banyak variasi (gambar 4).


Singkatnya, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika
(sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang mensuplai darah ke ileus
terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai
darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon
tranversum. Arteri mesenterika inferior bercabang menjadi arteri kolika sinistra
yang menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang

7
menyuplai kolon sigmoid, dan arteri rektal superior yang menyuplai rektum
proksimal.6

Kecuali pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai


terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik
pada retroperitoneum melewati muskulus psoas dan berjalan posterior ke
pancreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi, vena ini
digerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior pankreas.
Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena mesenterika
superior yang bergabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta.
Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar
rektum terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas
menuju vena splenika.8

Gambar 4. Vaskulaisasi pada kolon dan rectum

8
Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase limfatik
dimulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa. Pembuluh limfa
dan limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional yang ada. Limfonodus
epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada epiploika. Nodus yang berdekatan
pada arteri disebut limfonodus parakolika. Limfonodus intermediet terletak pada
cabang utama pembuluh darah besar; limfonodus primer terletak pada arteri
mesenterika superior atau inferior.8

Gambar 5. Drainase limfatik pada kolon

c) Suplai Saraf Kolon

Kolon terinervasi oleh saraf simpatis (inhibisi) dan saraf parasimpatis


(eksitasi/stimulasi), yang keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis
muncul dari T6 - T12 dan pre-ganglion Iumbal splanchnikus L1 - L3. Inervasi
parasimpatis pada bagian kanan dan kolon transversum dan berasal dari nervus

9
vagus dextra (N. X). Sedangkan inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri
dimulai dari nervi erigentes S2 - S4. Nervus preganglion parasimpatis bergabung
dengan nervus postganglion simpatis yang muncul pada akhir foramina sakralis.
Serabut-serabut saraf ini, melalui pleksus pelvis, mengelilingi dan menginervasi
prostat, uretra, vesika semilunaris, vesika urinaria, dan otot dasar panggul.
Diseksi rektal dapat mengganggu pleksus pelvis dan subdivisinya, menyebabkan
disfungsi neurogenik vesika urinaria dan seksual (sebanyak 45% kasus). Derajat
dan tipe disfungsi tergantung pada derajat keparahan cedera neurologinya.
Ligasi arteri mesenterika inferior yang menyuplai nervus hipogastrium
menyebabkan disfungsi saraf simpatis yang dicirikan sebagai ejakulasi
retrograde dan disfungsi vesika urinaria. Cedera pada saraf simpatis dan
parasimpatis akan menghasilkan impotensi dan atonia vesika urinaria. 6,7

Gambar 6. Saraf Kranial


B. Fisiologi Kolon

10
Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien, sedangkan
fungsi rektum adalah eliminasi feses. Pencernaan nutrien tergantung pada koloni
flora normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi mukosa.8
1) Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh
tercampur oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian
besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen.
Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus
akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan
energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora
normal yang ada. Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung
bakteri sebanyak 1011 sampai 1012 bakteri/gram feses. Organisme yang paling
banyak adalah bakteri anaerob dengan spesies yang terbanyak dari kelas
Bacteroides (1011 sampai 1012 rganisme/mL). Eschericia coli merupakan
bakteri spesies yang paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL. Flora
normal ini berguna untuk memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai
peran dalam metabolisme bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan
juga vitamin K. Flora normal juga berguna untuk menekan jumlah bakteri
patogen, seperti Clostridium difficile. Jumlah bakteri yang tinggi dapat
menyebabkan sepsis pada pasien dengan keadaan umum yang buruk dan dapat
menyebabkan sepsis intra-abdomen, abses, dan infeksi pada luka post-operasi
kolektomi.5,7
2) Urea Recyling
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme nitrogen. Pada manusia
dan sebagian besar mamalia tidak mempunyai enzim urease, namun flora normal
bakteri pada ususnya kaya akan enzim urease. Kondisi patologis urea yang
paling umum adalah gagal hepar. Ketika hepar tidak mampu menggunakan
kembali urea nitrogen yang diabsorpsi kolon, ammonia masuk ke blood-brain
barrier dan menyebabkan gangguan neurotransmiter, dimana akan
menyebabkan koma hepatik.5
3) Absorpsi

11
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
ke dalam kolon perharinya mencapai 1000 - 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 - 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup
tinggi, yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon,
pada feses hanya tersisa 25 - 50 mEq/L. Epitel kolon dapat memakai berbagai
macam sumber energi; namun, n-butirat akan teroksidasi ketika ada glutamin,
glukosa, atau badan keton. Karena sel mamalia tidak bias menghasilkan n-
butirat, epitel kolon bergantung pada bakteri lumen untuk memproduksinya
dengan cara fermentasi. Kurangnya n-butirat disebabkan oleh inhibisi
fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan kurangnya
absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.6,7
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari
ileus terminalis, sehingga membuat kolon menjadi bagian sirkulasi
enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas.
bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi
akan mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare
sekretoris atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat di lihat setelah
hemikolektomi sebagai fenomena transien dan lebih permanen reseksi ileus
ekstensif.7
4) Motilitas
Fermentasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon.
Kolon dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra,
dan rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI,
dengan sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif.
Kolon bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi
feses. Transit pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf
parasimpatis mensuplai kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-
serat saraf saat mencapai kolon akan membentuk beberapa pleksus; pleksus
subserosa, pleksus myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus
mukosa. Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah

12
kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd
sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi
dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonus, sehingga terpisah
pisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic,
merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonus.6

C. Histologi Kolon
Usus besar terdiri atas membran mukosa tanpa adanya lipatan kecuali
pada bagian distalnya (rektum). Vili usus tidak dijumpai pada usus ini.
Kelenjar usus berukuran panjang dan ditandai dengan banyaknya sel goblet
dan sel absorptif dan sedikit sel enteroendokrin. Sel absorptifnya berbentuk
silindris dengan mikrovili pendek dan tidak teratur. Usus besar disesuaikan
dengan fungsi utamanya yaitu; absorpsi air, pembentukan massa tinja dan
produksi mukus. Mukus adalah jel berhidrasi tinggi yang tidak hanya
melumasi permukaan usus, namun juga menutupi bakteri dan zat renik lain.
Absorpsi air berlangsung pasif dan mengikuti transpor aktif natrium yang
keluar dari permukaan basal sel-sel epitel. Di dalam lamina propria, banyak
dijumpai sel limfoid dan nodul yang sering kali menyebar sampai ke dalam
sub mukosa. Banyaknya jaringan limfoid ini berkaitan dengan banyaknya
bakteri di dalam usus besar. Muskularis terdiri atas berkas-berkas
longitudinal dan sirkular. Lapisan ini berbeda dari lapisan muskularis di
usus halus karena serabut lapisan longitudinal luamya mengelompok dalam
3 pita longitudinal yang disebut taenia coli. Pada kolon bagian
intraperitoneal, lapisan atau tunika serosa ditandai dengan tonjolan kecil
yang terdiri atas jaringan lemak yaitu apendiks epiploika.11

13
Gambar 7. Histologi colon
D. Tumor Kolon Descendens
1) Definisi
Tumor kolon adalah pertumbuhan jaringan yang tidak normal di kolon.
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam
permukaan usus besar atau rektum. Dari beberapa pengertian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor
yang bersifat ganas dan merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon
(usus besar). Tumor kolon terbagi atas tumor jinak dan tumor ganas. Tumor
jinak di awali dengan terbentuknya polip, kemudian berdegenerasi menjadi
karsinoma kolon dan rektum yang merupakan jenis tumor ganas di kolon
maupun rektum.3

2) Epidemiologi

14
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling
umum ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika
dan lebih dari 52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker
kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika.
Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap berada pada angka
yang konstan selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan pengembangan
peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu untuk
mortalitas kanker kolorektal dalam beberapa tahun terakhir.5
Menurut data dari GLOBOCAN (Global Cancer Observatory) pada
tahun 2020 insidensi kanker kolon di indonesia adalah 17.368 kasus dengan
proporsi 4.4% dan merupakan peringkat ke 6 insidensi kanker tertinggi di
indonesia dari seluruh kasus kanker yang dilaporkan. Adapun mortalitas dari
kanker kolon pada tahun 2020 dilaporkan sebanyak 9.444 mortalitas, yang
berkontribusi sebesar 4.0% dan merupakan peringkat ke 8 kematian tertinggi di
indonesia dari seluruh mortalitas akibat kanker.10
3) Etiologi
Sejumlah besar studi telah mempertimbangkan faktor risiko CRC
secara umum, namun beberapa studi telah mencoba memisahkan faktor
lingkungan dan genetik yang dapat mempengaruhi kemungkinan kanker
colon dan kanker rectum. Telah dikonfirmasi bahwa riwayat keluarga
dengan kanker kolorektal tampaknya mempengaruhi risiko kanker colon
lebih kuat daripada risiko kanker rectum. Sindrom herediter seperti
familial Adenomatous Polyposis (FAP), Hereditary Non-Polyposis
Colorectal Cancer (HNPCC), dan MUTYH-associated Polyposis (MAP)
adalah sampel dari sindrom familia kanker kolon. Prevalensi mutasi K-ras
dan pola mutasi pada gen p53 pada kanker rectum juga berbeda dari yang
terlihat pada kanker colon. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko
penting yang mempengaruhi kanker colon dan kanker rectum. 12,13
Faktor lingkungan seperti diet dan aktivitas fisik juga dapat
mempengaruhi risiko. Hasil kontradiktif telah dipublikasikan tentang peran
kalsium pada kanker dubur. Wei, et al; menunjukkan bahwa pasien dengan

15
kanker rektal cenderung memiliki folat yang sedikit lebih tinggi dan asupan
kalsium yang sedikit lebih rendah. Sedangkan Wu, et al menemukan
hubungan yang signifikan antara kalsium dan kanker yang timbul di usus
distal. Juga telah ditunjukkan bahwa diet dengan susu dan produk susu yang
lebih tinggi dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam risiko
kanker colon, tetapi tidak mempengaruhi risiko kanker rectum. Daging sapi,
babi atau domba sebagai hidangan utama, daging olahan dan alkohol
merupakan factor resiko dari kanker colon. Hubungan yang sedikit lebih
kuat dilaporkan antara merokok dan kanker rectum dibandingkan dengan
kanker colon. 13,14
Menurut American Cancer Society, terdapat 2 faktor besar yang
menjadi faktor risiko antara lain, faktor risiko yang dapat dimodifikasi
(modifiable risk factor) dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
(unmodifiable risk factor). Lebih dari setengah (55%) dari kanker kolorektal
di United States didominasi dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi
(modifiable risk factor). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
(unmodifiable risk factor) terdiri dari, riwayat pribadi, riwayat kanker
kolorektal di keluarga atau polip adenomatous, kondisi genetik tertentu
(Lynch syndrome), riwayat chronic inflammatory bowel disease (ulcerative
colitis atau chron’s disease) dan diabetes tipe 2. 15
Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk
factors) antara lain, obesitas, aktivitas fisik yang sangat rendah, riwayat
merokok jangka panjang, konsumsi tinggi daging merah, konsumsi alkohol
yang berat, rendah asupan kalsium serta konsumsi yang sangat rendah dari
buah-buahan dan sayur- sayuran. Penggunaan obat-obatan NSAID dalam
jangka panjangn seperti, aspirin, diduga dapat menurunkan risiko kanker
kolorektal, tetapi obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping
yang serius seperti perdarahan pada gaster.15
a. Keturunan dan riwayat keluarga Seseorang dengan orang tua, saudara
atau anak yang memiliki kanker kolorektal memiliki 2 sampai 3
kali risiko mengembangkan penyakit dibandingkan dengan individu

16
yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal di keluarga. Jika
terdapat riwayat keluarga yang didiagnosis pada usia muda atau jika ada
sahli keluarga lebih dari satu orang yang terkena, risiko meningkat
hingga 3 sampai 6 kali. Sekitar 20% dari semua pasien kanker
kolorektal memiliki saudara dengan riwayat kanker kolorektal. Dan
sekitar 5% dari pasien kanker kolorektal mempunyai sindrom genetik
yang menyebabkan penyakit ini. Yang paling umum adalah Lynch
syndrome (juga dikenal sebagai hereditary non- polyposis colorectal
cancer. Meskipun individu dengan sindrom Lynch cenderung juga
untuk berbagai jenis kanker lain, risiko kanker kolorektal adalah
tertinggi. Familial adenomatous polyposis (FAP) adalah faktor
predisposisi sindrom genetik yang paling umum dan ditandai dengan
perkembangan ratusan hingga ribuan polip kolorektal pada individu
yang terkena.
b. Riwayat kesehatan
Salah satu faktor risiko dari kanker kolorrektal yaitu riwayat polip
adenomatous. Hal ini terutamanya apabila ukuran polip besar atau jika
lebih dari satu. Seseorang dengan Inflammatory bowel disease, kondisi
dimana terjadi peradangan usus selama jangka waktu yang panjang,
memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker kolorektal. Inflammatory
bowel disease yang paling umum adalah Ulcerative colitis dan penyaki
Crohn.
c. Aktifitas fisik Menurut penelitian, mereka yang aktif dari segi fisik
mempunyai risiko 25% lebih rendah terkena kanker usus berbanding
seseorang yang tidak aktif. Pada penyakit kanker kolorektal, orang
yang memiliki aktivitas yang cukup lebih rendah case fatality rate nya
daripada mereka yang tanpa aktivitas fisik.
d. Obesitas Obesitas dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi terjadinya
kanker kolorektal pada laki-laki dan kanker usus pada perempuan.
Obesitas perut (diukur keliling pinggang) merupakan faktor risiko

17
yang lebih penting berbanding obesitas keseluruhan baik pada laki-
laki dan perempuan.
e. Diet Konsumsi daging merah atau daging diproses secara berlebihan
akan meningkatkan risiko terjadinya kanker di usus besar dan juga
rektum. Alasan ini terkait dengan adanya karsinogen yang dihasilkan
ketika daging merah dimasak pada suhu yang tinggi selama jangka
waktu yang panjang atau aditif nitrit yang digunakan untuk pengawetan.
f. Merokok International Agency for Research on Cancer, menyatakan ada
bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahawa tembakau dalam rokok
dapat menyebabkan kanker kolorektal. Asosiasi tampaknya lebih kuat
pada rektum dari kanker kolon (American Cancer Society, 2019).
Bukti menunjukkan bahwa 12% kematian akibat kanker kolorektal
disumbangkan oleh merokok. Giovannucci menyimpulkan bahwa 21
dari 22 penelitian menemukan bahwa jangka panjang perokok berat
memiliki 23 kali lipat peningkatan risiko adenoma kolorektal.
Kandungan carsinogenic yang ditemukkan di dalam rokok
meningkatkan pertumbuhan kanker di kolon dan rektum serta mencapai
mukosa kolon dan rektum, baik melalui saluran pencernaan atau sistem
sirkulasi dan kemudian menyebabkan kerusakan atau perubahan dari
gen yang mengekspresikan kanker
g. Alkohol Kanker kolorektal dikaitkan dengan konsumsi alkohol berat
dan sedang. Seorang dengan kebiasaan meminum alkohol sebanyak 2-4
kali perhari memiliki risiko 23% lebih tinggi terkena kanker kolorektal
dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi 1 minuman per hari.
Sebagaimana merokok, konsumsi rutin dari alkohol berhubungan
dengan peningkatan risiko dari perkembangan kanker kolorektal.
Konsumsi alkohol merupakan faktor dari onset kanker kolorektal pada
usia muda. Metabolit reaktif di alkohol seperti acetaldehyde dapat
menjadi carsinogenic . Alkohol juga dapat berperan sebagi pelarut,
memicu penetrasi dari molekul carsinogenic lainnya kedalam mukosa
sel. Sebagai tambahan, efek alkohol dapat dimediasi melalui produksi

18
prostaglandin, peroksidasi lipid, dan generasi dari radikal bebas.
Seseorang yang mengonsumsi alkohol akan terjadi penurunan nutrisi
esensial dari makanan yang telah dikonsumsi, sehingga jaringan tubuh
mudah mengalami proses karsinogenik.15,16
NCCN Guidelines Cancer Colorectal
Risiko rata-rata:
• Usia 45 tahun
Data yang mendukung penurunan usia untuk memulai skrining sebagian
besar berasal dari studi pemodelan.Antara tahun 1992 dan 2015 terjadi
peningkatan relatif 30% dalam kejadian CRC pada usia 40 tahun.Namun,
ini berarti perbedaan mutlak dalam insiden 8,2 kasus per 100.000.Saat ini
kami kekurangan data empiris untuk mendukung skrining pada <50 tahun
tersebut, karena studi skrining diindividu dengan risiko rata-rata terbatas
pada mereka yang berusia 50 tahun. Pertimbangan usia untuk memulai
skrining CRC mungkin tergantung pada ras/etnis, pasien preferensi, dan
sumber daya yang tersedia. Karena ada beberapa opsi untuk penyaringan,
pilihannya modalitas skrining tertentu harus mencakup percakapan dengan
pasien tentang preferensi dan ketersediaan.
 Tidak ada riwayat adenoma atau polip bergerigi sessile (SSP)c atau
CRC
Polip potensial untuk menjadi kanker kolon. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana
proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation,
perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan
invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi
adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif
karsinoma.3
Polip berasal dari epitel mukosa dan merupakan neoplasma
jinak terbanyak di kolon dan rektum. Polip juvenile terdapat pada
anak usia sekitar 5 tahun dan dapat ditemukan diseluruh kolon.

19
Biasanya tumor mengalami regresi spontan dan tidak bersifat ganas.
Gejala klinis utama perdaraban spontan dari rektum yang kadang
disertai lendir. Karena selalu bertangkai, polip dapat menonjol
keluar dari anus pada saat defekasi.5
Polip adenomatosa adalah polip asli yang bertangkai dan
jarang ditemukan pada usia dibawah 21 tahun. Insiden meningkat
sesuai dengan meningkatnya usia. Gambaran klinis umumnya tidak
ada, kecuali perdarahan dari rektum dan prolaps polip dari anus
disertai anemia. Letaknya 70% di sigmoid dan rektum. Polip ini
bersifat premaligna sehingga harus segera diangkat.5
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi
pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor
Suppresor Gene= TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen
menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel.
TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis
kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai
anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif
(penekanan) pada pertumbuhan sel.6
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi
protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi
mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen
gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan
mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi
pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang
terbentuknya kanker.6
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai
dengan kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan
secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper
secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen
ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka
keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel.

20
Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker
dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu perpendekan waktu
siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam
satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan
proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak
aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi
dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel,
yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam
mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel
akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel
yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.5,10
Secara histologi polip diklarifikasikan sebagai neoplastik dan
non neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang
termasuk polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous
retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.5

Gambar 8. Adenoma carcinoma sequences

21
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial
berdegenerasi maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan
sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous
adenoma. 70% dari polip berupa adenomatous, dimana 75%- tubular
adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma
dibawah 5%.3,5

Gambar 9. Adenomatous polip


Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade.
6% dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5%
didalamnya berupa invasive karsinoma pada saat terdiagnosa.
Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,
tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari
1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai
villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi
kanker kolon. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak
berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolon.
Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar
dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang mempunyai multipel polip.
Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm
jika tidak ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar
2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun.
Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung

22
beratnya derajat displasia. 3,5 tahun untuk displasia sedang dan 11,5
tahun untuk atypia ringan.5

Gambar 10. Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous


adenoma, (C) tubulovillous adenoma, (D) karsinoma pada tangkai
tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari sebuah
villous adenoma

 Tidak ada riwayat penyakit radang usus (IBD)


 Riwayat keluarga negatif untuk CRC atau adenoma lanjut yang
dikonfirmasi (yaitu, displasia derajat tinggi, 1 cm, histologi vili atau
tubulovilous) atau ≥1 cm, displasia apa pun.17
E. Pathogenesis
a) Defek Genetik

Selama dua dekade terakhir, penelitian ilmiah memfokuskan tentang defek


genetik dan abnormalitas molekular yang berhubungan dengan progresi dan
perkembangan adenoma dan karsinoma kolorektal. Mutasi dapat menyebabkan
aktivasi onkogen (K-ras) dan/atau aktivasi tumor-suppressor genes [APC, DCC
(deleted in colorectal carcinoma), p53]. Karsinoma kolorektal diperkirakan
berkembang dari polip adenoma dengan akumulasi mutasi-mutasi ini.7

23
Gambar 11. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal

Defek pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pertama kali ditemukan
pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Dengan menyelidiki
keluarganya, karakteristik mutasi pada gen APC dapat diidentifikasi. APC gen
terdeteksi pada 80% penderita kanker kolorektal. Mutasi gen ini hanya ditemukan
pada adenoma atau karsinoma saja, tetapi tidak pada jaringan disekitarnya. Hal ini
menandakan bahwa mutasinya adalah mutasi somatik. Karena APC adalah gen
penekan tumor, pada kehilangan kedua alelnya dapat menghilangkan aktifitas
penekan tumornya. Mutasi yang terjadi, disebabkan oleh pembentukan kodon stop
yang terlalu awal, yang menghasilkan protein APC yang terpotong. Pada FAP,
tempat mutasi berkaitan dengan gambaran klinis penyakit. Contohnya, mutasi pada
ujung lengan 3' atau 5' menyebabkan pembentukan bentuk FAP yang lemah,
sedangkan pusat mutasi pada gen memperparah penyakit. Sehingga, pengetahuan
tentang mutasi spesifik pada keluarga dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
menentukan keputusan klinis.4

Inaktifasi hanya pada APC tidak mampu menyebabkan karsinoma. Mutasi


Pada APC akan mencetuskan akumulasi kerusakan-kerusakan genetic yang
akhirnya menyebabkan keganasan lewat jalur loss of heterozygosity (LOH). Mutasi
tambahan pada jalur ini termasuk aktivasi K-ras onkogen, dan hilangnya tumor-
suppressor gene DCC dan p53. K-ras diklasifikasikan sebagai proto-onkogen
karena mutasi hanya pada satu alel saja dapat merusak seluruh siklus sel. Gen K-ras
merupakan produk protein G yang ikut dalam transduksi sinyal intrasel. Ketika K-
ras yang aktif berikatan dengan guanosin triphosphate (GTP); terjadi hidrolisis GTP
menjadi guanine diphosphate (GDP) sehingga menonaktifkan protein G. Mutasi
pada K-ras akan menyebabkan ketidakmampuan untuk menghidrolisis GTP,

24
sehingga protein G akan terus tetap aktif. Diperkirakan mekanisme inilah yang
menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol.7

Gen Kromosom Kelas Gen Fungsi Keterangan


Adenomatous 5q Tumor Adhesi dan Mutasi pada
polyposis coli suppressor komunikasi FAP,
(APC) intra seluler Gardner’s dan
Turcot’s
syndrome
Deleted in 18q Onkogen Interaksi dan Pertumbuhan
colorectal adhesi sel tumor, invasi,
carcinoma dan melastasis
(DCC)
P53 17p Tumor Transkripsi >50% kanker
suppressor factor untuk kolon
gen yang mempunyai
mencegah mutasi p53
pertumbuhan
tumor
K-ras 12p Onkogen Transduksi 50% kanker
signal kolon
mempunyai
aktivitas k-ras
hMSH2, 2p Mismatch Memperbaiki HNPCC
hMLH1, repair kesalahan
hPMS1, replikasi DNA
hPMS2
Tabel 1. Gen-gen yang terlibat dalam kanker kolorektal

DCC merupakan tumor-suppressor gene dan jika kehilangan kedua


alelnya akan mernyebabkan degenerasi maligna. Peran produk gen DCC
berhubungan dengan adhesi sel dan interaksi sel dan matriks, yang mungkin

25
penting untuk mencegah pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis. Fungsi
utamanya nampaknya terletak pada system saraf sentral, yang berfungsi
dalam migrasi dan diferensiasi akson. Observasi tersebut menimbulkan
hipotesis bahwa DCC mungkin terlibat dalam adhesi dan diferensiasi kanker
kolorektal, namun teori ini masih belum di buktikan. Mutasi pada DCC
terlihat pada 70% kasus dan mungkin bisa berdampak negatif pada
prognosis.4
Tumor-suppressor gene p53 berhubungan dengan beberapa keganasan.
Protein p53 nampaknya menjadi faktor determinan yang paling penting
dalam tomorigenesisi kolorektal. Kebanyakan gen yang teraktifasi oleh p53
dimungkinkan dapat mencegah pertumbuhan. Sehingga, inaktivasi p53 akan
menimbulkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Mutasi pada p53 dapat
ditemukan pada setengah kanker manusia, membuat gen ini menjadi jalur
pusat biokimia dalam keganasan manusia.4,6
b) Jalur Genetik
Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi
jalur Lost of Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH
dicirikan dengan delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya
ada tujuh buah gen yang terlibat dalam jalur LOH ini. 80% karsinoma muncul
dari mutasi pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang
dicirikan dengan kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan)
pada replikasi DNA. Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan
perbaikan DNA RER, yaitu hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan
hMSH6/GTBP. Mutasi hanya pada salah satu gen ini, cukup untuk membuat
mutasi sel, yang mungkin dapat timbul pada proto-onkogen atau tumor
suppressor gen. Mismatch ini membuat terus meningkatnya kesalahan
eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit (pertumbuhan sel kanker
ditempat lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika telah terbentuk
mikrosatelit yang tidak stabil, maka akan mudah terjadi mikrometastasis di
tempat lain akibat struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah lepas.2,4

Mutasi gen APC atau hilangnya kromosom 5q (mutasi didapat pada


sindroma polyposis adenomatosa)
26
Hiperproliferasi sel kripta dan proliferasi klonal sel batang yang
menyebabkan timbulnya adenoma kecil

Aktivasi onkogen K-ras dalam adenoma kecil dan proliferasi penggandaan


sel yang bermutasi

Adenoma intermediet

Hilangnya DCC, sehingga terjadi proliferasi dengan alterasi genetic multiple

Adenoma tingkat akhir dengan displasia

Hilangnya p53 atau mutasi sehingga terjadi proliferasi maligna

Karsinoma invasif

F. Diagnosis
Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis
pemeriksaan fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling
penting untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium,
proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap
tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari kanker kolorektal
dapat di identifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan sitology.9

27
Gambar 12. NCCN Guidelines colon cancer

1) Manifestasi Klinis

Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori


umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau
perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis
yang asimtomatis (77 - 92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi
dengan peritonitis lokal atau difus (2 -7%).9

a) Gejala

Usus besar secara klinis dibagi menjadi bagian kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior
memvaskularisasi colon bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga
proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang
memperdarahi colon bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon

28
descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari
kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan
kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang
berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubaban pola defekasi
sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses,
dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan
obstruksi.3,5

b) Gejala Subakut

Sakit perut bagian bawah biasanya berhubungan dengan tumor yang


berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar. Pasien ini biasanya
menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah yang
berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang
jarang adalah penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya
kecil tetapi kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika
ditemukan orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial
intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.6,7

c) Gejala Akut

Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan
kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan
penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total
obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan
perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan
terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jawh lagi nekrosis akan menyebabkan
peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini
dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada
vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan

29
fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang
sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul
dari kanker kolon.3,5

2) Pemeriksaan Fisik
 Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior
serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai
dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik.
Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun
telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari,
sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker
kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan."rectal toucher" untuk menilai :

Tonus sfingter ani: kuat atau lemah

Ampula rectum : kolaps, kembung atau terisi feses

Mukosa : kasar, berbenjol benjol, kaku

Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari, mudah
berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari
garis anorektal sampai tumor. 4

 Stadium

Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang akan
dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang dianggap
invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang berada tidak
menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena tidak adanya
linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ. Banyak sistem stadium
keganasan kolorektal yang ada, contohnya stadium TNM (tumor/nodus/metastasis)
yang diklasifikasikan oleh American College of Surgeon's Commission on Cancer.3

30
Stadium Kedalaman Status limfonodus Metastasis jauh
Stadium 1 T1, T2 N0 M0
Stadium 2 T3,T4 N0 M0
Stadium 3 Seluruh T Setiap N (kecuali M0
N0)
Stadium 4 Seluruh T Setiap N M1

TX: tumor primer, tidak dapat dinilai

T0: tidak ada bukti adanya tumor primer

Tis: carcinoma in situ

T1: tumor menginvasi ke submukosa

T2 : tumor menginvasi muskularis propria

T3 : tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke


perikolika atau ke perirectal

T4a: perforasi tumor ke peritoneum visceral

T4b : tumor langsung menginvasi struktur lain

NX: limfonodus regional tidak dapat dinilai

N0: tidak ada limfonodus yang terkena

N1: mengenai 1-3 limfonodus perirectal atau perikolik

N2 : lebih dari 4 limfonodus perirectal atau perikolik terkena

N3 : limfonodus regional beserta pembuluh darah besar

MX: adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0: tidak ada metastasis

M1: metastasis jauh

31
3) Temuan Laboratorium
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan
adanya anemia. Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika
sudah terjadi metastasis ke hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA
juga akan ikut meningkat, namun jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga akan
ikut meningkat.3
4) Pemeriksaan Penunjang
 Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.2
 Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bias digunakan
sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai CEA serum,
bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan
faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna
pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.2
Kadarnya pada dewasa normal adalah kurang dari 2.5 ng/mL (perlu diingat
kadar normal dapat bervariasi di setiap laboratorium. Meskipun keterbatasan
spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan untuk
mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai
faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai
CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari
metatase karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai
CEA.2,3

32
Baru-baru ini, the American Society of Clinical Oncology (ASCO)
mengembangkan petunjuk untuk pemakaian penanda tumor pada kanker payudara
dan kolorektum :
 CEA harusnya tidak digunakan sebagai uji penapisan untuk kanker
kolorektum
 CEA dapat diperiksa praoperasi pada pasien dengan karsinoma kolorektum
apabila hal ini membantu menentukan stadium dan merencanakan
pengobatan
 CEA dapat diperiksa setiap 2-3 bulan pascaoperasi apabila akan
diindikasikan reseksi metastasis hati
 CEA dapat diperiksa untuk memantau pengobatan metastasis
Walaupun menyatakan bahwa CEA adalah penanda pilihan untuk
memantau kanker kolorektum, namun petunjuk-petunjuk ini juga menekankan
sifat nonspesifisitas relatif CEA untuk keganasan tersebut. Tidak adanya terapi
efektif untuk banyak kasus peningkatan CEA (walaupun peningkatan kadar secara
tepat memperkirakan prognosis yang buruk) dan besarnya biaya untuk pemeriksaan
yang ekstensif. Bagaimanapun, pemantauan pasien kanker kolorektum dengan
CEA sudah menjadi praktik standar di banyak daerah.18
Petunjuk ASCO tidak menganjurkan CEA untuk pemeriksaan
penapisan, diagnosis, penentuan stadium, atau surveilans rutin pada pasien
dengan kanker kolorektum setelah terapi awal, juga tidak untuk memantau respon
penyakit metastasis terhadap pengobatan. Namun, peningkatan kadar CEA dapat
digunakan untuk mendeteksi rekurensi apabila tidak ada parameter penyakit
yang lain.18
 Barium Enema
Double-contrast barium enema (DCBE) sering digunakan sebagai alat
skrining kanker pada pasien yang gagal didiagnosis dengan pemeriksaan
kolonoskopi (incomplete colonoscopy). Indikasi pemeriksaan DCBE antara lain
meliputi skrining suspect kanker kolon yang tidak dapat diperiksa dengan
kolonoskopi karena adanya striktur. Studi menemukan polip terdeteksi pada 2,1%
dari 233 pasien yang menjalani DCBE setelah incomplete colonoscopy.

33
Apple core sign terlihat pada pemeriksaan barium enema sebagai
penyempitan lumen usus karena adanya kanker kolorektal sehingga hanya sedikit
larutan kontras yang dapat melewati lumen. Penampakannya menyerupai bagian
tengah buah apel (apple core). Gambaran ini juga disebut sebagai napkin ring sign.
Apple core sign juga dapat terlihat pada pemeriksaan radiografi lain seperti CT
scan, magnetic resonance imaging enterography, dan CTC.

Gambar 13. Gambaran colon in loop

 Proktosigmoidoskopi

Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut
angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid
proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluas seseorang
dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun.9

34
Gambar 14. Proktosigmoidoskopi colon

 Flexible sigmoidoscopi

Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan


dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker
kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak
dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik polipektomi, kauterisasi dan
semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada ileorektal anastomosis.
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun merupakan
metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik
yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah
polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan
indikasi untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm),
adenoma yang berada di distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma
yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien. 5

 Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa


kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.

35
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar
67%. Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,
mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur
yang sangat aman dimana Komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan
perforasi) muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara
yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari infammatory bowel
disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding,
megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik. 4,5

Gambar 15. Gambaran kolonoskopi

36
5) Imaging Technique
 MRI
Lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT Scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentikasi dengan menggunakan CT
Scan. Karena sensitivitasnya yang tinggi, maka MRI digunakan untuk identifikasi
metastasis ke hepar.7

37
Gambar 16. Hasil MRI Kanker Kolorectal
 CT Scan
Dapat digunakan untuk evaluasi cavitas abdominal dari pasien kanker kolon
pre operatif. CT Scan dapat mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT Scan juga berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang tinggi setelah
pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT Scan mencapai 55-70%.7

38
39
Gambar 17. Hasil CT Scan Kanker kolon

 Endoscopi Ultra Sound (EUS)


EUS secara signifikan menguatkan penilaian pre operatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Akurasi dari EUS sebesar 95%.7

Gambar 18. Hasil EUS kolon descendens

40
G. Diagosis Banding
a) Carsinoma Rekti
Gejala yang umum ditemukan pada karsinoma rekti mirip dengan kanker
kolon, yaitu: perubahan buang air besar, diare atau konstipasi atau perasaan seperti
buang 40 air besar yang tidak lampias, ada darah saat buang air besar (umumnya
darah segar), feses yang lebih kecil dari keadaan normal, adanya perasaan tidak
enak di abdomen seperti kembung, atau terasa penuh, berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas, cepat lelah, dan muntah. Untuk pemeriksaan penunjang, dapat
dilakukan rectal toucher, barium enema, dan fecal occult blood test (FOBT). Untuk
FOBT, pemeriksaan ini tidak terlalu spesifik karena pada kanker kolon juga
terdapat perdarahan yang samar.,6
b) Hemorrhoid
Pada pasien hemoroid, cenderung memiliki gejala yang mirip dengan
karsinoma kolon, kecuali pada hemoroid eksterna yang cenderung mengalami
prolapsus, namun bukan rektum, sehingga dapat dilihat pada saat pemeriksaan
anus. Penderita hemoroid juga dapat ditemukan perdarahan kronis tanpa nyeri
sehingga terjadi anemia. Untuk menyingkirkan diagnosis ini, diperlukan
pemeriksaan rectal toucher, barium enema, atau kolonoskopi. 4,6

H. Penatalaksanaan
a) Prinsip Reseksi

Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor


primer beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada kolon
bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung pada
pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan yang
menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus dilakukan
reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi paliatif
menjadi pilihannya. Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan,
atau adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakan bahwa
seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan
dipertimbangkan dilakukan kolektomi total atau subtotal. Jika terjadi metachronous

41
tumors (tumor kedua daritumor primerkolon) maka dilakukan juga dengan
penatalaksanaan yang sama.3

Pembedahan merupakan tindakan primer pada kira-kira 75% pasien dengan


kanker kolorektal. Pembedahan dapat bersifat kuratif atau palliative. Kanker yang
terbatas pada satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolosotomi laparoskopik
dengan polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk meminimalkan
luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan sebagai
pedoman dalan membuat keputusan dikolon massa tumor kemudian dieksisi.
Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B serta
lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker kolon D. Tujuan
pembedahan dalam situasi ini adalah palliative. Apabila tumor telah menyebar dan
mencangkup struktur vital sekitarnya, maka operasi tidak dapat dilakukan.19

42
Gambar 19. panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B.
Karsinoma felksura hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D.
Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon desenden. F. Karsinoma kolon
sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter G,
Metthews JB, Pollock RE: Schwartz's Principles of Surgery,9th Edition).

b) Stadium Tumor
 Stadium 0 (Tis, N0, M0)

Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak


berisiko untuk terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade dysplasia,
menaikkan adanya risiko karsinoma invasif di dalam polip hal ini, polip tersebut
harus di eksisi seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip harus terbebas dari
area displasia. Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan endoskopi. Setelah
dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi untuk meyakinkan
bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak berkembang menjadi
karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat seluruhnya, maka dapat
direkomendasikan unutuk dilakukan eksisi segmental.

 Stadium 1 : Polip Maligna (T1, N0, M0)

Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip dan


risiko timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus tergantung
pada kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala polip tanpa
mengenai batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%) dan dapat
direseksi secara endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran histologi

43
dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat reseksi
mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini
merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang
muncul dari polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat dilakukan
kolostomi segmental.5,7

 Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)

Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat


disembuhkan dengan reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker
setelah dilakukan reseksi. Pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi
rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit stadium
II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah
pengobatan adjuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II
(pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang tinggi).
Data yang ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan setelah bedah
mampu meningkatkan survival rate.5

 Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)

Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis


lokal maupun jauh dan kemoterapi adjuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-
flurouracil (5-FU) dan levamisole mengurangi angka kematian sampai 33% dengan
efek samping yang rendah. Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine,
irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, and imunoterapi juga menunjukkan
efek yang baik.5

 Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)

Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun,


tidak seperti keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan
terlokalisir, memiliki keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang
paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang
memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini meningkat

44
(20 - 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena metastasis
adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma kolorektal. Meski
hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1 - 2%), angka
keselamatan jangka panjang mencapai 30- 40%.5,7
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi, fokus
penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer
direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan
obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi.
Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan
pengecilan tumor. Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya
dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.5
KLASIFIKASI SISTEM DUKES

Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum berdasarkan gambaran histologic


dibagi menurut klasifikasi Dukes.

Dukes Dalamnya infiltrasi Prognosis hidup setelah 5


tahun
A Terbatas di dinding usus 97%
B Menembus lapisan 80%
muskularis mukosa
C Metastasis kelenjar limfe 65%
C1 Beberapa kelenjar limfe
dekat tumor primer
C2 Dalam kelenjar limfe jauh 35%
D Metastasis <5%

45
Stadium 0 menunjukkan cancer in situ. Sel kanker terdapat di dalam kolon dan
rectum.

Pada kanker stadium I, sel kanker tumbuh melewati mukosa. Kanker belum
menyebar ke jaringan sekitar atau limfonodi (T1 atau T2, N0, M0).

46
Pada kanker stadium II, sel kanker masuk ke jaringan otot di bawah lapisan
mukosa.(T3 atau T4, N0, M0).

Pada stadium IIIa, sel kanker tumbuh melewati mukosa, menyebar ke bagian
kelenjar limfe secaraunilateral, belum menyebar ke bagian tubuh yang lain (Tl atau
T2, N1, M0).

47
Pada stadium IIIb, sel kanker masuk ke jaringan otot di bawah lapisan mukosa,
menyebar ke bagian kelenjar limfe secara unilateral, belum menyebar ke bagian
tubuh yang lain (T3 atau T4, N1, M0).

Pada stadium IIIc, sel kanker (semua ukuran), menyebar ke bagian kelenjar limfe
secara bilateral, belum menyebar ke bagian tubuh yang lain (semua T, N2, M0).

48
Pada stadium IV, sel kanker telah metastasis ke bagian distal tubuh, seperti dan
paru-paru (semua T, semua N, M1).

c) Metasasis
Dari semua kanker, kanker kolorektal (CRC) adalah yang ketiga
paling umum dengan metastasis menjadi penyebab utama kematian pada
sebagian besar pasien. Tempat paling sering dari metastasis jauh adalah hati
dan peritoneum. Sekitar 20% pasien datang dengan metastasis, paling
sering di hati, dan hingga 60% pasien mengalami metastasis jauh dalam 5
tahun. Metastasis di peritoneum ditemukan pada 25% pasien dengan
prognosis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tempat metastasis
lainnya. Namun, meskipun karsinomatosis peritoneal dianggap sebagai
stadium lanjut dari CRC, pada 4145% dari pasien CRC yang bermetastasis,
ini adalah satu-satunya tempat penyakit metastasis yang menunjukkan
bahwa penyebaran peritoneal mungkin merupakan bentuk CRC yang lanjut
secara lokal tanpa metastasis jauh lainnya. Data ini menunjukkan
kompleksitas penyebaran metastasis dan banyak upaya telah dilakukan
untuk memahami prinsip-prinsip yang mendasari metastasis dan
organotropisme.20

49
Perkembangan karsinomatosis peritoneal: (1) pelepasan sel kanker kolorektal
dari tumor primernya dan peningkatan motilitas, (2) penghindaran anoikis, (3)
perlekatan pada permukaan peritoneum, (4) invasi ke peritoneum, dan (5)
proliferasi dan pembentukan dari metastase peritoneum. Beberapa molekul adhesi
telah diidentifikasi menjadi penting dalam proses adhesi ke permukaan peritoneum,
termasuk integrin, proteoglikan, musin, dan anggota dari superfamili
imunoglobulin. Banyak sel dan faktor yang terlibat dalam proses invasi termasuk
peritoneal macrophages (PMs), peritoneal mesothelial cells (PMCs), peritoneal
fibroblast (PFBs), dan subperitoneal fibroblast (SPFs). Faktor-faktor yang telah
diidentifikasi berperan dalam karsinomatosis peritoneal di CRC disorot dengan
warna merah.20

50
Mekanisme metastasis pada CRC: penyebaran hematogen versus peritoneal.
Penyebaran hematogen: Sel tumor mengalami transisi epitel mesenkim dan
meninggalkan tumor primer. Melalui angiogenesis sel tumor menemukan jalan
masuk ke dalam sistem peredaran darah. Selama transportasi, CTC dilindungi oleh
trombosit dan neutrofil dari serangan imun dan pergeseran. Menggunakan molekul
adhesi yang berbeda CTC kemudian menempel pada stroma hati dan membentuk
koloni. Penyebaran peritoneum: Sel tumor meninggalkan tumor primer melalui
pelepasan sel tumor spontan, intervensi bedah, atau pelepasan ke dalam sistem
limfatik. Dalam cairan peritoneum, sel tumor membentuk kelompok untuk
menghindari anoikis. Menggunakan molekul adhesi tertentu sel tumor menempel
pada peritoneum dan menggunakan angiogenesis untuk menyebar lebih lanjut di
peritoneum. Faktor-faktor yang telah diidentifikasi berperan dalam bagian-bagian
tertentu dari proses multilangkah ini di CRC disorot dengan warna abu-abu.20
Sebuah studi baru-baru ini dapat menunjukkan bahwa di bawah kondisi
hipoksia, sel-sel CRC melepaskan eksosom ke dalam lingkungan mikro tumor yang
mendorong angiogenesis. Eksosom ini, diperkaya dengan WNT4, menyebabkan
induksi pensinyalan catenin dalam sel endotel dan merangsang mereka untuk
berproliferasi dan bermigrasi. Mempertimbangkan mekanisme metastasis di CRC,
tampaknya angiogenesis berbeda antara penyebaran hati dan peritoneum, meskipun

51
tidak relevansi tetapi dalam hal waktu dan urutan selama kaskade metastasis.
Metastasis hati dianggap sebagai hasil dari penyebaran hematogen. Namun, agar sel
tumor dapat diangkut ke hati, mereka harus terlebih dahulu menemukan akses ke
sistem peredaran darah. Mereka juga bergantung pada pembentukan pembuluh
darah kecil baru yang berasal dari sekitar tumor primer yang meningkatkan
kemungkinan sel tumor memasuki aliran darah. Begitu mereka tiba di hati,
angiogenesis lagi diperlukan agar metastasis tumbuh dan berkembang biak. Tumor
primer itu sendiri dapat secara aktif mendukung proses ini dengan membuat
parenkim hati lebih siap untuk ditinggali dan pertumbuhan metastasis dengan
merekrut VEGFR-1 mengekspresikan sel-sel progenitor hematopoietik yang
memulai proses premetastatik. Pasien dengan metastasis hati sinkron dan tumor
primer masih in situ menunjukkan ekspresi VEGFR1 dan VEGF A yang secara
signifikan lebih tinggi pada parenkim hati yang berdekatan dengan metastasis
dibandingkan pasien dengan metastasis hati metachronous setelah reseksi tumor
primer yang menandai kemampuan tumor angiogenesis pada tumor primer.
Sebaliknya, karsinomatosis peritoneal tidak dianggap sebagai akibat dari
penyebaran hematogen tetapi konsekuensi dari penyebaran limfatik atau pelepasan
sel tumor ke dalam rongga peritoneum dengan perlekatan selanjutnya ke
peritoneum jauh. Oleh karena itu, angiogenesis tampaknya tidak menjadi elemen
kunci dalam langkah awal kaskade metastatik. Namun, begitu sel CRC tiba di
peritoneum melalui mekanisme yang disebutkan, mereka mengandalkan
angiogenesis untuk mempertahankan proliferasi dan memungkinkan pertumbuhan
lebih lanjut.20

52
Gambar 21. Metastasis hepar
Sebagian besar metastasis hati dimulai sebagai kanker di usus besar atau rektum.
Hingga 70 persen orang dengan kanker kolorektal akhirnya mengembangkan
metastasis hati. Hal ini terjadi sebagian karena suplai darah dari usus terhubung
langsung ke hati melalui pembuluh darah besar yang disebut vena portal.20
Dari usus besar dan bagian proksimal rektum, darah dialirkan melalui sistem
portal ke hati. Dari hati organ selanjutnya adalah paru-paru, melalui jantung.
Bagian distal rektum melampaui hati, dan organ pertama yang ditemui adalah paru-
paru. Oleh karena itu tampaknya logis bahwa kami mengamati bahwa kanker
rektum lebih sering bermetastasis ke organ dada daripada kanker usus besar, yang
sejalan dengan saran sebelumnya. Juga, semua tempat di sistem gastro-intestinal
berbagi saluran limfatik yang sama, mengalir melalui cisterna chyli ke vena
subklavia kiri, dan ke paru-paru. Menambah kerumitan, metastasis dapat menyebar
melalui cairan peritoneum di dalam rongga peritoneum. Adenokarsinoma
mucinous menunjukkan metastasis berlebihan di dalam peritoneum. Produksi
mukus memungkinkan akses ke ruang peritoneum. Adenokarsinoma musinosa
dianggap lebih agresif. Hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan di lapisan
peritoneum segera setelah peritoneum diakses, meskipun mungkin juga

53
adenokarsinoma mucinous mungkin memiliki keuntungan genetik untuk
pertumbuhan di rongga peritoneum. Meskipun perbedaan antara kanker usus besar
dan rektum sangat mencolok, ada juga perbedaan mencolok antara usus besar
proksimal dan distal, yang dengan jelas menunjukkan perbedaan biologi mereka.
Kolon proksimal berasal dari usus tengah, sedangkan kolon distal berasal dari usus
belakang. Kedua entitas bervariasi dalam mis. epidemiologi, biologi, dan genetik.20
Temuan kami mengenai beberapa metastasis penting untuk memahami
penyebaran metastasis. Metastasis respiratorik memang lebih sering terjadi pada
pasien yang juga memiliki metastasis ke tulang atau sistem saraf, sedangkan
metastasis respiratorik jarang terjadi bersamaan dengan metastasis peritoneal dan
tempat gastro-intestinal lainnya. Kebanyakan pasien dengan metastasis pernapasan
juga memiliki metastasis hati. Beberapa pola yang berbeda dapat dikenali.
Tampaknya CRC menyebar melalui sirkulasi portal ke hati, dan dari sana ke paru-
paru. Ini juga dapat mencapai paru-paru secara langsung, mungkin menggunakan
limfatik, atau langsung dari rektum distal. Namun, dalam data ini ada indikasi yang
jelas bahwa paru-paru tampaknya menjadi titik arah penting menuju penyebaran
lebih lanjut: metastasis sistem saraf terjadi lebih sering bersama-sama dengan
metastasis pernapasan dibandingkan dengan metastasis hati. Satu spekulasi adalah
bahwa tumor yang bermetastasis melalui rute portal "normal" kurang bergerak
daripada sel-sel petualang yang mampu mencari paru-paru atau sistem saraf pusat.
20

Studi lebih lanjut jelas diperlukan, tetapi mungkin kelas sel yang terakhir
mewakili sel induk kanker klasik lebih baik daripada sel-sel pemicu tumor yang
lebih pasif yang hanya berakhir di hati dengan aliran darah. CRC dapat
bermetastasis dalam rongga perut, sehingga menimbulkan metastasis ovarium non-
hematogen, yang sering dideteksi bersamaan dengan metastasis peritoneal,
terutama pada kanker usus besar. Hal ini logis karena peritoneum dan ovarium
sering dianggap sebagai satu kesatuan terutama dalam konteks kanker primer organ
-organ ini. Lebih lanjut, metastasis ovarium secara substansial lebih umum di antara
wanita dengan kanker usus besar daripada kanker rektal, yang mungkin disebabkan

54
oleh faktor anatomi saat usus meninggalkan kantong ganda peritoneal sekitar
pertengahan rektum.20
d) Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre
(MDACC)

Pasien dengan kanker kolon stadium II dan IlI mempunyai risiko terkena
mikrometastasis setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah
komplikasi tersebut. Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC.9
Kemoterapi Ajuvan
Mano Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2+ leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1-
5 tiap 4 minggu. Total 6 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg m2 per minggu
untuk 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirabat (tidak ninun obat).
Total 3 siklus.
Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hari selama 14
hari. 7 hari istirahat. Total 8 siklus.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1: leucovorin 200 mg/m2 IV;
fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, dikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2
I. Prognosis
Prognosis tergantung dari ada atau tidaknya metastasis jauh, yaitu klasifikasi
penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Untuk tumor yang terbatas
pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup 5 tahun adalah
80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar
32%, dan dengan metastasis jauh 1%, Bila disertai dengan diferensiasi sel tumor
buruk, prognosisnya sangat buruk. Prognosis hidup setelah 5 tahun pada karsinoma
kolon dengan klasifikasi TNM adalah:7
A. Stadium I, 72%
B. Stadium II, 54%
C. Stadium III, 39%
D. Stadium IV,7%
J. Komplikasi

55
Komplikasi yang paling sering timbul pada kanker adalah metastasis kanker
ke organ lain. Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan
20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan
pada pasien ini meningkat (20 - 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling
sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan
karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi
(sekitar 1 - 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30-40%.3,4
K. Pencegahan
a) Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat
polip dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang
menjalani kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian
prospektif randomized clinical trial yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif
untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian trial untuk
tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan dengan
polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan
kolonoskopi harus dilakukan.4,6,7
b) Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang
mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek
proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National Research Council
telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982.6,7
Rekomendasi ini diantaranya :
a. Menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori
b. Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat
c. Membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan
d. Membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet
e. Mengurangi konsumsi alkohol.

BAB III

KESIMPULAN

56
Tumor kolon terbagi atas dua yaitu jinak dan ganas. Pada tumor kolon jinak,
diawali dengan terbentuknya polip. Polip berasal dari epitel mukosa dan merupakan
neoplasma jinak terbanyak di kolon dan rektum. Berbagai polip kolon dapat
berdegenerasi menjadi ganas dan setiap polip kolon harus dicurigai.
Diagnosis tumor kolon dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang diantaranya Ultrasonograi (USG), CT-Scan dan MRI,
Foto Polos Abdomen Colon in Loop, dan Kolonoskopi. Di klinik sehari-hari
metode pemeriksaan yang sering dipakai ialah metode Colon in loop. Tumor kolon
akan terlihat seperti gambaran penonjolan ke dalam lumen, kerancuan dinding
kolon, dan kekauan dinding kolon. Kontras yang dipakai biasanya yaitu barium
enema dengan lama pemeriksaan lima menit. Metode pemeriksaan yang lebih
canggih dapat dipakai untuk melihat adanya metastasis, misalnya dengan CT scan
atau MRI.
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan pembedahan.
Kemoterapi dan radiasi hanya bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat
kuratif. Prognosis dari tumor kolon tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh,
yaitu klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Bila tumor
kolon disertai diferensiasi sel tumor buruk, maka prognosisnya sangat jelek.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sayuti, M. 2019. Kanker kolorektal. Jurnal Averrous. 5(2). 76-88. Dilihat 26


oktober 2021. Dari <http://ojs.unimal.ac.id>

57
2. Fleming, M. et all. 2012. Colorectal carcinoma: Pathologic aspects. J
gastrointest oncol. 3(3). 153-173. Viewed on 26 oktober 2021. From
http://ncbi.nih.gov/pmc/articles/PMC3418538
3. Kuipers. E. J. et all. 2015. Colorectal cancer. Nat Rev Dis Primers. Viewed
on 26 oktober 2021. From <http://
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4874655>
4. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara. 2010.
5. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.2014.
6. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta : EGC.2010.
7. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 2004.
8. Sherwood L. Sistem Pencernaan. Dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem, edisi ke 2. Jakarta : EGC. Hal 582-584.
9. Townsend, Beauchamp, Evers, Matton. Colon and rectum. In Sabiston's
Textbook of Surgery. 17th edition. 2004. Philadelphia: Elsevier Saunders. P
1443-65.
10. IARC, 2020. Globocan 2020 : Estimated Cancer Incidence, Mortality And.
Prevalence. Worldwide. In. 2020.
11. Junqueira,LC.dan J. Carneiro. Histologi Dasar. Alih Bahasa Adji Dharma.
EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal. 123-132.2012
12. Jones RG, Wyrwicz L, Brown G, Rodel C, Cervantes A, Arnold D, et al.
colorectal cancer: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis,
treatment and follow-up. Oxford University Press on behalf of the European
Society for Medical Oncology : Annals of Oncology; 2017 (Supplement 4):
iv22–iv40.
13. Johns Hopkins Medicine. Colon Cancer Centre. Colorectal
Cancer.2015

58
14. Benson AB, Venook AP, Hawary MA, Cederquist L, Chen YJ, Ciombor
KK, et al. Colorectal Cancer. Journal of the National Comprehensive
Cancer Network July 2018. 16 (7).
15. Nakayama T, Watanabe M, Teramoto T, Kitajima M. CA19-9 as a predictor
of recurrence in patients with colorectal cancer. J Surg
Oncol.66(4):238-43.doi: 10.1002/(sici)1096-9098(199712)66:4<238::aid-
jso3>3.0.co;2-c. PMID: 9425326.2010
16. Park IJ, Choi GS, Lim KH, et al. Serum carcinoembryonic antigen
monitoring after curative resection for colorectal cancer: clinical
significance of the preoperative level.2009
17. Benson A, Venook A, Bekaii-Saab T, et al. Colorectal Cancer. NCCN;
2.2021
18. Sacher,R.A. and McPherson,R.A.Tinjauan Klinis Hasil pemeriksaan
Laboratorium,519.EGC.Jakarta.201
19. Casciato DA. 2004. Manual of Clinical Oncology 5 th ed. USA: Lippincott
20. Abdullah M.. Jalur Inflamasi pada Karsinogenesis Kolorektal Sporadik di
Indonesia : peran NFkB dan COX-2 serta hubungannya dengan
karakteristik klinikopatologis (disertasi). Universitas Indonesia.
Jakarta.2010

59

Anda mungkin juga menyukai