Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

Tumor Colon

DOKTER PEMBIMBING
dr. Santi Andiani, Sp.B

DISUSUN OLEH
Reynold Y. P. Benu
030.11.246

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE 7 MARET 13 MEI 2016

REFERAT
Tumor Colon

DOKTER PEMBIMBING
dr. Santi Andiani, Sp.B

DISUSUN OLEH
Reynold Y. P. Benu
030.11.246

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE 7 MARET 13 MEI 2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Referat dengan judul Tumor Colon. Referat ini diajukan dalam rangka
melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
Budhi Asih periode 7 Mare 13 Mei 2016 dan juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi penulis serta pembaca mengenai Tumor Colon. Dalam kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan kerja sama
yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada dr. Santi Andiani,
Sp.B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum
Darerah Budhi Asih.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar
referat ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang
membacanya. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila masih banyak
kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini.
Jakarta, Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

COVER LUAR

COVER DALAM

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA......................................................
1
Embriologi & Anatomi.......................................................

4
5
7
7

Fisiologi Kolon..

13

Tumor Kolon.

16

Patogenesis....

18

Diagnosis 25

Diagnosis Banding....

41

Penatalaksanaan

42

Prognosis 48

Komplikasi

10

Pencegahan. 49

49

BAB III KESIMPULAN. 52


DAFTAR PUSTAKA................................................................................
53

BAB I
PENDAHULUAN
4

Tumor usus halus jarang terjadi, sebaliknya tumor usus besar atau rectum
relative umum. Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ
visceral dan 20% dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker
kolorektal.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Harijono Achmad di RSSA Malang,
didapatkan bahwa kasus karsinoma kolorektal di Indonesia sebanyak 97 penderita
selama 5 tahun, terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita
(14,26%).
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak pada rektum (22%),
rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon desenden (12%), flexura lienalis (8%),
kolon tranversum (6%),flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum
(12%),appendix (2%).
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Di Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan
makanan. Beberapa faktor lain seperti lingkungan, genetik dan immunologi
merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan
karsinogen, bakteri dan virus.
Gejala klinik tergantung dari lokasi tumor. Tumor cecum dan kolon asenden
biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan tumor rekto sigmoid
dapat menyumbat lumen atau berdarah.
Pemeriksaan radiologi untuk memeriksa adanya tumor kalon yaitu dengan
Ultrasonografi (USG), CT-Scan dan MRI, Foto Polos Abdomen Colon in Loop,
dan Kolonoskopi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5

I.

Embriologi dan Anatomi 1,2


I.1

Embriologi
Embriologi traktus gastrointestinal (GI) dimulai pada minggu ke-empat
masa gestasi. Usus primitif terbentuk dari lapisan endoderm dan dibagi menjadi
tiga segmen: foregut, midgut, dan hindgut. Midgut dan hindgut nanti akan
membentuk kolon, rektum, dan anus.
Midgut akan membentuk usus halus, kolon asenden, dan kolon
transversum proksimal, dan menerima suplai darah dari arteri mesenterika
superior. Saat minggu ke-enam masa gestasi, midgut bergerak menuju keluar
kavitas abdomen, dan berputar 270 berlawanan arah jarum jam disekitar arteri
mesenterika superior dan akhirnya akan menempati tempat terakhirnya, yaitu di
dalam kavitas abdomen pada minggu kesepuluh masa gestasi.
Hindgut akan berkembang menjadi kolon transversus distalis, kolon
desenden, rektum, dan anus proksimal, semuanya menerima suplai darah dari
arteri mesenterika inferior. Saat minggu keenam masa gestasi, bagian ujung distal
hindgut (kloaka) terbagi menjadi septum urorektal pada sinus urogenital dan
rektum. Bagian distal kanalis analis terbentuk dari ektoderm dan mendapat suplai
darah dari arteri pudenda interna.

Gambar 1. Pada minggu ketiga masa gestasi, usus primitif terbagi menjadi tiga bagian, foregut (F)
pada bagian kepala, hindgut (H) pada bagian ekor, dan midgut (M) diantara hindgut dan foregut.
Tahap perkembangan midgut: herniasi fisiologis (B), kembali ke abdomen (C), fiksasi (D). Pada
minggu keenam masa gestasi, septum urogenital bermigrasi kea arah kaudal (E) dan memisahkan
traktus urogenital dan intestinal (F, G). (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th
ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 2.)
I.2

Anatomi
Kolon berjalan sepanjang katup ileosekal sampai ke anus. Secara
anatomis, dibagi menjadi kolon, rektum, dan kanalis analis. Dinding dari kolon
dan rektum terdiri dari lima lapisan: mukosa, submukosa, otot sirkular dalam, otot
longitudinal luar, dan tunika serosa. Pada kolon, otot longitudinal luarnya terbagi
menjadi tiga taeniae coli, yang bertemu dengan apendiks pada ujung proksimal
dan rektum pada bagian distal. Pada rektum distal, lapisan otot polos dalam saling
menggabung sehingga membentuk sfingter anus internal pada minggu ke duabelas
masa gestasi. Kolon intraperitoneal dan sepertiga proksimal rektum terlapisi oleh
serosa; sedangkan bagian tengah dan bawah rektum kurang mengandung serosa.
7

I.2.1

Posisi Kolon
Kolon mulai berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan
sepanjang 3 sampai 5 kaki sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat
ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli membentuk otot polos longitudinal luar
rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang paling lebar (7,5 8,5 cm) dan
mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat sekum menjadi rentan
terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon asenden bagian
posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. White line of Toldt
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior.
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon
asenden (panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon
transversum intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan
ligamentum gastrokolika dan mesenterium kolon. Omentum majus menempel
pada ujung anterior/superior kolon transversum, hal inilah yang menyebabkan
gambaran seperti segitiga pada kolon tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura
kolika dan limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan
tebal, yang akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden
umumnya menempel pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon
dengan panjang yang bervariasi (15 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang
sempit namun mempunyai pergerakan yang luas. Meskipun kolon sigmoid
terletak pada kuadran kiri bawah, akbiat mobilitasnya yang hebat dapat berpindah
ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini menjelaskan mengapa volvulus umum
ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa penyakit yang mengenai kolon
sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai gejala nyeri pada kuadran
kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid membuat bagian ini
sangat rentan terhadap obstruksi.

I.2.2

Suplai Vaskular Kolon


Suplai arteri pada kolon mempunyai banyak variasi (gambar 2).
Singkatnya, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri ileokolika
(sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke ileus
terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai
darah ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon
tranversum. Arteri mesenterika inferior bercabang menjadi arteri kolika sinistra
yang menyuplai kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai
kolon sigmoid, dan arteri rektal superior yang menyuplai rektum proksimal.

Pengecualian pada vena mesenterika inferior, vena-vena pada kolon


mempunyai terminologi yang sama seperti arteri. Vena mesenterika inferior
berjalan naik pada retroperitoneum melewati m. psoas dan berjalan posterior ke
pankreas untuk bergabung dengan vena splenika. Pada kolektomi, vena ini di
gerakan secara independen dan di ligasi pada ujung inferior pankreas. Drainase
vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena mesenterika superior
yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta. Kolon
9

transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum
terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena
splenika.

.
Gambar 2. Drainase vena pada kolon. Dan rektum (Sumber: Gordon PH, Nivatvongs S [eds]:
Principles and Practice of Surgery for the Colon, Rectum, and Anus, 2nd ed. St. Louis, Quality
Medical Publishing, 1999, p 30)

Drainase limfatik juga dinamakan sesuai dengan arterinya. Drainase


limfatik bermulai dari jaringan-jaringan limfatik dari muskularis mukosa.
Pembuluh limfa dan limfonodusnya dinamakan sesuai dengan arteri regional yang
ada. Limfonodus epikolik ditemukan pada dinding usus dan pada epiploika.
Nodus yang berdekatan pada arteri disebut limfonodus parakolika. Limfonodus
intermediet terletak pada cabang utama pembuluh darah besar; limfonodus primer
rerletak pada arteri mesenterika superior atau inferior.

10

Gambar 3. Drainasi limfatik pada kolon (Sumber: Corman ML [ed]: Colon & Rectal Surgery, 4th
ed. Philadelphia, Lippincott-Raven, 1998, p 21)

I.2.3

Suplai Saraf Kolon


Kolon terinervasi oleh saraf simpatis dan saraf parasimpatis, yang
keduanya berjalan paralel dengan arteri. Saraf simpatis muncul dari T6 T12 dan
preganglion lumbal splanchnikus L1 L3. Inervasi parasimpatis pada bagian
kanan dan kolon transversum berasal dari nervus vagus dextra (N. X). Sedangkan
inervasi parasimpatik untuk kolon bagian kiri bermulai dari nervi erigentes S2
S4. Nervus preganglion parasimpatis bergabung dengan nervus postganglion
simpatis yang muncul pada akhir foramina sakralis. Serat-serat saraf ini, melalui
pleksus pelvis, mengelilingi dan menginervasi prostat, uretra, vesika semilunaris,
vesika urinaria, dan otot dasar panggul. Diseksi rektal dapat mengganggu pleksus
pelvis dan subdivisinya, menyebabkan disfungsi neurogenik vesika urinaria dan
seksual (sebanyak 45% kasus). Derajat dan tipe disfungsi tergantung pada derajat
keparahan cedera neurologinya. Ligasi arteri mesenterika inferior yang menyuplai

11

nervus hipogastrium menyebabkan disfungsi saraf simpatis yang dicirikan sebagai


ejakulasi retrograde dan disfungsi vesika urinaria. Cedera pada saraf simpatis dan
parasimpatis akan menghasilkan impotensi dan atonia vesika urinaria.

II.

Fisiologi Kolon 1,2


Secara garis besar, fungsi kolon adalah sebagai pencerna nutrien,
sedangkan dimana fungsi rektum adalah eleminasi feses. Pencernaan nutrien
tergantung pada koloni flora normal, motilitas usus, dan absorpsi dan ekskresi
mukosa. Fungsi kolon ialah menyerap air, vitamin, elektrolit, sekresi mucus, serta
menyimpan feses untuk kemudian dibuang. Dari 700-1000 mL cairan yang
diterima kolon dari ileum, hanya 150-200 mL yang akan dikeluarkan sebagai
feses.
II.1

Pencernaan Nutrien
Saat terjadi proses pencernaan, nutrien yang masuk ke dalam tubuh
tercampur oleh cairan biliopankreas dan GI. Usus halus mengabsorpsi sebagian
besar nutrien, dan juga beberapa cairan garam empedu yang tersekresi ke lumen.
Namun untuk cairan, elektrolit, dan nutrien yang sulit terabsorpsi oleh usus halus
akan diabsorpsi oleh kolon agar tidak kehilangan cairan, elektrolit, nitrogen, dan
energi terlalu banyak. Untuk mencapai ini, kolon sangat bergantung pada flora
normal yang ada. Kira-kira sebanyak 30% berat kering feses mengandung bakteri
sebanyak 1011 sampai 1012 bakteri/gram feses. Orgnasime yang paling banyak
adalah bakteri anaerob dengan spesies yang terbanyak dari kelas Bacteroides (1011
sampai 1012 organisme/mL). Eschericia coli merupakan bakteri spesies yang
paling banyak 108 sampai 1010 organisme/mL). Flora normal ini berguna untuk
memecah karbohidrat dan protein serta mempunyai andil dalam metabolisme
bilirubin, asam empedu, estrogen, dan kolesterol, dan juga vitamin K. Flora
normal juga berguna untuk menekan jumlah bakteri patogen, seperti Clostridium
difficile.

12

II.2

Absorpsi
Total luas absorpsi kolon kurang lebih sekitar 900 cm2 dan air yang masuk
kedalam kolon perharinya mencapai 1000 1.500 mL. Air yang tersisa di kolon
hanya sekitar 100 150 mL/hari. Absorpsi natrium per harinya juga cukup tinggi,
yaitu dari sebanyak 200 mEq/L natrium per hari yang masuk ke kolon, pada feses
hanya tersisa 25 50 mEq/L.
Epitel kolon dapat memakai berbagai macam sumber energi; namun, nbutirat akan teroksidasi ketika ada glutamin, glukosa, atau badan keton. Karena
sel mamalia tidak bisa menghasilkan n-butirat, epitel kolon bergantung pada
bakteri lumen untuk memproduksinya dengan cara fermentasi. Kurangnya nbutirat disebabkan oleh inhibisi fermentasi akibat antibiotik spektrum luas, yang
menyebabkan kurangnya absorpsi sodium dan air sehingga menyebabkan diare.
Sebagai penyeimbang akibat kehilangan natrium dan air, mukosa kolon
menyerap asam empedu. Kolon menyerap asam empedu yang lolos terserap dari
ileus

terminalis,

sehingga

membuat

kolon

menjadi

bagian

sirkulasi

enterohepatika. Ketika absorpsi asam empedu pada di kolon melewati batas,


bakteri akan mengkonjugasi asam empedu. Asam empedu yang terkonjugasi akan
mengganggu absorpsi natrium dan air, sehingga menyebabkan diare sekretoris
atau diare koleretik. Diare sekretoris dapat dilihat saat setelah hemikolektomi
sebagai fenomena transien dan lebih permanen reseksi ileus ekstensif.
II.3

Motilitas
Fermantasi pada kolon terbentuk sesuai morfologi-morfologi kolon. Kolon
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomis: kolon dextra, kolon sinistra, dan
rektum. Kolon dextra merupakan ruangan fermentasi pada traktus GI, dengan
sekum sebagai segmen kolon yang memiliki aktivitas bakteri yang aktif. Kolon
bagian kiri merupakan tempat penyimpanan sementara dan dehidrasi feses. Transit
pada kolon diatur oleh system saraf autonom. Sistem saraf parasimpatis mensuplai
kolon melalui nervus vagus dan nervus pelvikus. Serat-serat saraf saat mencapai
kolon akan membentuk beberapa pleksus seperti pleksus subserosa, pleksus
myenterika (Auerbach), submukosa (Meissner), dan pleksus mukosa.
13

Motilitas usus berbeda-beda tiap segmen anatomi. Pada kolon sebelah


kanan, gelombang antiperistaltik, atau retropulsif, menimbulkan aliran retrograd
sehingga isi dari usus terdorong kembali ke sekum. Pada kolon sebelah kiri, isi
dari lumen usus terdorong ke arah kaudal oleh kontraksi tonis, sehingga terpisahpisah menjadi globulus-globulus. Kontraksi yang ketiga, mass peristaltic,
merupakan gabungan antara gerakan retropulsif dan tonis.
III.

Tumor Colon
3.1 Definisi
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di
dalam permukaan usus besar atau rektum yang bersifat ganas dan menginvasi
jaringan sekitarnya.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar).
3.2

Insidens 1
Adenokarsinoma kolon dan rektum merupakan keganasan yang paling
umum ditemukan pada traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan
lebih dari 52.000 pasien meninggal tiap tahunnya, hal ini membuat kanker
kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit kanker di Amerika. (American
Cancer Society, 2009). Insidensinya terbagi rata antara pria dan wanita dan tetap
berada pada angka yang konstan selama 20 tahun terakhir. Deteksi dini dengan
pengembangan peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu
untuk mortalitas kanker kolorektal dalam beberapa tahun terakhir.

3.3

Epidemiologi (Faktor Risiko) 3


Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektar
merupakan hal yang penting untuk menentukan program screening dan surveilans
pada populasi dengan faktor risiko.

14

a. Usia
Usia merupakan faktor risiko yang dominan pada kanker kolorektal,
dengan insidens yang meningkat pada umur >50 tahun (sebanyak 90% kasus).
Umur ini dijadikan dasar rasionalitas untuk melakukan skrining pada orang
dengan gejala yang asimptomatis. Namun kanker kolorektal dapat terjadi pada
seluruh usia, maka jika ada gejala seperti perubahan keadaan usus, perdarahan
rektum, melena, anemia tanpa sebab yang jelas, atau penurunan berat badan maka
diperlukan pemeriksaan yang lebih mendetail.
b. Faktor Herediter
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya
riwayat keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan
penelitian yang lebih luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk
diagnosis dini. Karena pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan
pemeriksaan ini, seluruh pasien harus dilakukan konseling genetik jika memang
ada suspek keluarga yang dulunya terkena kanker kolorektal.
c. Faktor Diet dan Lingkungan
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi
dengan faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga
terdapat sebuah hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan
kanker. Diet yang tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid
meningkatkan risiko kanker kolorktal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat
(minyak zaitun, minyak kelapa sawit, dan minyak ikan) tidak meningkatkan
risiko. Pada penelitian dengan hewan menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik
langsung terhadap mukosa kolon sehingga mungkin dapat menyebabkan
perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur nampaknya bersifat
lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan
fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal.
d. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan penderita kolitis kronis mempunyai faktor risiko untuk
terkena kanker kolorektal. Telah ditarik sebuah hipotesis bahwa inflamasi kronis
akan membuat perubahan struktur pada mukosa kolon menjadi struktur maligna
dan hal ini juga dipengaruhi dengan derajat berat inflamasinya. Pada ulseratif
pankolitis, risiko terkena kanker meningkat sebanyak 2% setelah 10 tahun, 8%

15

setelah 20 tahun, dan 18% setelah 30 tahun. Kolitis daerah sebelah sinistra tanpa
alasan yang jelas mempunyai risiko yang relatif rendah.
e. Faktor Risiko Lain
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena adenoma kolon, terutama
ketika merokok lebih dari 35 tahun. Pasien dengan uterosigmoidestomi juga
mempunyai peningkatan faktor risiko adenoma maupun karsinoma. Akromegali,
dimana terjadi peningkatan growth hormone dan insulin-like growth factor I, juga
menambah faktor risiko.
IV.

Patogenesis 1,3
IV.1

Defek Genetik
Mutasi dapat menyebabkan aktivasi onkogen (K-ras) dan/atau aktivasi
tumor-suppressor genes [APC, DCC (deleted in colorectal carcinoma), p53].
Karsinoma kolorektal diperkirakan berkembang dari polip adenoma dengan
akumulasi mutasi-mutasi ini (gambar 4).

Gambar 4. Sekuens adenoma-karsinoma pada kanker kolorektal. (Sumber: Ivanovich JL, Read
TE, Ciske DJ, et al: A practical approach to familial and hereditary colorectal cancer. Am J Med
107:68-77, 1999).

Defek pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pertama kali


ditemukan pada pasien dengan Familial Adenomatous Polyposis (FAP). Dengan
menyelidiki keluarganya, karakteristik mutasi pada gen APC dapat diidentifikasi.

16

APC gen terdeteksi pada 80% penderita kanker kolorektal. Mutasi gen ini hanya
ditemukan pada adenoma atau karsinoma saja, tetapi tidak pada jaringan
disekitarnya. Hal ini menandakan bahwa mutasinya adalah mutasi somatik.
Karena APC adalah gen penekan tumor, pada kehilangan kedua alelnya dapat
menghilangkan aktifitas penekan tumornya. Mutasi yang terjadi, disebabkan oleh
pembentukan kodon stop yang terlalu awal, yang menghasilkan protein APC yang
terpotong. Pada FAP, tempat mutasi berkaitan dengan gambaran klinis penyakit.
Contohnya, mutasi pada ujung lengan 3 atau 5 menyebabkan pembentukan
bentuk FAP yang lemah, sedangkan pusat mutasi pada gen memperparah
penyakit. Sehingga, pengetahuan tentang mutasi spesifik pada keluarga dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan keputusan klinis.
Inaktifasi hanya pada APC tidak mampu menyebabkan karsinoma. Mutasi
pada APC akan mencetuskan akumulasi kerusakan-kerusakan genetik yang
akhirnya menyebabkan keganasan lewat jalur loss of heterozygosity (LOH).
Mutasi tambahan pada jalur ini termasuk aktivasi K-ras onkogen, dan hilangnya
tumor-suppressor gene DCC dan p53.
K-ras diklasifikasikan sebagai proto-onkogen karena mutasi hanya pada
satu alel saja dapat merusak seluruh siklus sel. Gen K-ras merupakan produk
protein G yang ikut dalam transduksi sinyal intrasel. Ketika K-ras yang aktif
berikatan dengan guanosin triphosphate (GTP), terjadi hidrolisis GTP menjadi
guanine diphosphate (GDP) sehingga menonaktifkan protein G. Mutasi pada Kras akan menyebabkan ketidakmampuan untuk menghidrolisis GTP, sehingga
protein G akan terus tetap aktif. Diperkirakan mekanisme inilah yang
menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol.

Gen
Adenomatous
Polyposis

Coli

Kromosom
5q

Kelas Gen
Tumor

Fungsi
Adhesi
dan

Keterangan
Mutasi
pada

suppressor

komuikasi

FAP, Gardners

interseluler

dan

(APC)

17

Turcots

Deleted

in

18q

Onkogen

Colorectal

Interaksi

dan

adhesi sel

syndrome.
Pertumbuhan
tumor,

Carcinoma

invasi,

dan metastasis

(DCC)
P53

17p

Tumor

Transkripsi

>50%

suppressor

faktor

kolon

untuk

gen

yang

mencegah

kanker

mempunyai
mutasi p53

pertumbuhan
K-ras

12p

Onkogen

tumor
Transduksi

50%

signal

kolon

kanker

mempunyai
hMSH2,

2p

hMLH1,

Mismatch

Memperbaiki

repair

kesalahan

aktivitas K-ras
HNPCC

hPMS1, hPMS2
replikasi DNA
Gen-gen yang Terlibat dalam Kanker Kolorektal. (Sumber: Allen Jl. Molecular Biology of
colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg 1995;8:181-202)

DCC merupakan tumor-suppressor gene dan jika kehilangan kedua alelnya


akan mernyebabkan degenerasi maligna. Peran produk gen DCC berhubungan
dengan adhesi sel dan interaksi sel dan matriks, yang mungkin penting untuk
mencegah pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis. Observasi tersebut
menimbulkan hipotesis bahwa DCC mungkin terlibat dalam adhesi dan
diferensiasi kanker kolorektal, namun teori ini masih belum di buktikan. Mutasi
pada DCC terlihat pada 70% kasus dan mungkin bisa berdampak negatif pada
prognosis.
Tumor-suppressor gene p53 berhubungan dengan beberapa keganasan.
Protein p53 nampaknya menjadi fakor determinan yang paling penting dalam
tomorigenesisi

kolorektal.

Kebanyakan

gen

yang

teraktifasi

oleh

p53

dimungkinkan dapat mencegah pertumbuhan. Sehingga, inaktivasi p53 akan


menimbulkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Mutasi pada p53 dapat
ditemukan pada setengah kanker manusia, membuat gen ini menjadi jalur pusat
biokimia dalam keganasan manusia.
18

IV.2

Jalur Genetik
Dua jalur utama inisiasi dan progresi tumor dapat dijelaskan menjadi jalur
Lost of Heterozygosity (LOH) dan replication error (RER). Jalur LOH dicirikan
dengan delesi kromosom dan aneuploiditas tumor dan sedikitnya ada tujuh buah
gen yang terlibat dalam jalur LOH ini. Delapan puluh persen karsinoma muncul
dari mutasi pada jalur LOH. Sisanya yang 20% muncul dari jalur RER, yang
dicirikan dengan kesalahan dalam perbaikan mismatch (kesalahan pasangan) pada
replikasi DNA. Beberapa gen telah terdeteksi dalam kesalahan perbaikan DNA
RER, yaitu hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi hanya
pada salah satu gen ini, cukup untuk membuat mutasi sel, yang mungkin dapat
timbul pada proto-onkogen atau tumor suppressor gen. Mismatch ini membuat
terus meningkatnya kesalahan eplikasi, sehingga terjadi instabilitas mikrosatelit
(pertumbuhan sel kanker ditempat lain yang berdekatan) dan malfungsi gen. Jika
telah terbentuk mikrosatelit yang tidakstabil, maka akan mudahnya terjadi
mikrometastasis di tempat lain akibat struktur sel-sel mikrosatelit yang mudah
lepas.

19

Faktor-faktor molekular yang berhubungan dengan perkembangan keganasan kolorektal. Faktor


Genetik muncul pada saat lahir yang menginisiasi karsinogenesis atau dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan yang menyebabkan kerusakan genetik dan karsinogenesis. (Sumber: Allen Jl.
Molecular Biology of colorectal cancer: a clinicians view. Perspect Colon Rectal Surg
1995;8:181-202)

20

V.

Diagnosis
Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling
pentng untuk kanker kolon adalah pengujian darah samar, enema barium,
proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan
setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari kanker
kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan
sitologi.
V.1

Manifestasi Klinis 3
Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori
umum: onset gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau
perforasi akut. Presentasi yang paling sering timbul adalah onset gejala kronis
yang asimtomatis (77 92%), diikuti oleh obstruksi (6 - 16%), dan perforasi
dengan peritonitis local atau difus (2 7%).
Gejala
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan
dengan suplai darah yang diterima. Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat
bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor yang berada pada kolon
kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar hingga tahap
lanjut. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus lebih
besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri
abdomen, perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing
dan penurunan berat badan).
Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya
ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar
mengakibatkan obstruksi. Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi

21

dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan
dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta
isi fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh
besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah
makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah
samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah
makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung
empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan
konsistensi feses ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual
mengoklusi lumen yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi
atau peningkatan frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering namun jarang yang
masif. Feses dapat diliputi atau tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta
sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga
jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan
besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien
dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang
membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien
dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar,
kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor
primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga
bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda
pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan
jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama
kali yang muncul dari kanker kolon

22

V.2

Pemeriksaan Fisik
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan
anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai
dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik.
Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun
telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari,
sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa
kanker kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
rectal toucher untuk menilai :
Tonus sfingter ani

: kuat atau lemah.

Ampula rektum

: kolaps, kembung atau terisi feses

Mukosa

: kasar,berbenjol benjol, kaku

Tumor

: teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari,


mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.

23

Gambar : pemeriksaan fisik digital rectal examination

a. Stadium
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang
akan dilakukan, dan perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang
dianggap invasif berarti harus menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang
berada tidak menembus muskularis mukosa tidak dianggap dapat invasif karena
tidak adanya limfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in situ.
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya
stadium TNM (tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American
College of Surgeons Commission on Cancer.
Stadium
Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3

TX
T0
Tis
T1
T2

Kedalaman
T1, T2
T3, T4
Seluruh T

Stadium 4
Seluruh T
tumor primer, tidak dapat dinilai
tidak ada bukti adanya tumor primer
carcinoma in situ
tumor menginvasi ke submukosa
tumor menginvasi muskularis propria

24

Status
Limfonodus
N0
N0
Setiap
N
(Kecuali N0)
Setiap N

Metastasis Jauh
M0
M0
M0
M1

T3
tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau
ke perikolika atau ke perirektal
T4a perforasi tumor ke peritoneum visceral
T4b tumor langsung menginvasi langsung struktur lain
NX
limfonodus regional tidak dapat dinilai
N0
tidak ada limfonodus regional yang terkena
N1
mengenai 1-3 limfonodus perirektal atau perikolik
N2
lebih dari 4 limfonodus perirektal atau perikolik terkena
N3
limfonodus regional beserta pembuluh darah besar
MX adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0
tidak ada metastasis jauh
M1
metastasis jauh
Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:
Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science
and Business Media LLC, www.springerlink.com).

V.3

Temuan Laboratorium 3
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan
adanya anemia. Tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika
sudah terjadi metastasis ke hepar. Jika terjadi metastasis ke hepar maka kadar
CEA juga akan ikut meningkat, namun jika tidak ada metastasis, kadar CEA juga
akan ikut meningkat.

V.4

1.

Pemeriksaan Penunjang
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna.

2.

Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening


CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang
masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk
memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan
metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan

25

sebagai

screening

kanker

kolorektal.

Meningkatnya

nilai

CEA serum,

bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA


berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan
kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan
bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
3.

Tes Occult Blood


Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi
berwarna biru oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis,
oksidase menjadi sempurna dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi
sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet. Seperti contohnya daging
merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari hal ini. Tes
ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses

4.

Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras
barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang
berukuran >1 cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel
sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti
kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi.

26

Gambar 9 : Gambaran colon in loop


5.

Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3%
dari pasien mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk
mempunyai polip premaligna.

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan pemeriksaan endoskopi


6.

Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut
angulasi dari rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen.
Pemeriksaan

ini

dapat

mendeteksi

20-25% dari

kanker kolon.

Rigid

proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk digunakan sebagai evaluasi

27

seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika digunakan bersama
sama dengan occult blood test.

Gambar : karsinoma kolon yang dilihat dengan sigmoidoskopi


7.

Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon
dan dapat mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari
kanker kolon dapat terdeteksi dengan menggunakan alat ini. Flexible
sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi terapeutik polipektomi,
kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada ileorektal
anastomosis.

8.

Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat
menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari
pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang
keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2%
28

pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk


mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik.
V.5

Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik
imaging yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.

a.

CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon
pre operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal,
ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk
mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah
pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %,
dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. 19
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi
metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.

29

Gambar : CT scan pelvis yang menunjukkan adanya karsinoma kolon


b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.

30

Gambar : MRI dari karsinoma kolon


c.

Endoskopi UltraSound (EUS)


EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%,
70% untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal,
kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal
examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah
mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari
kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.

Diagnosis Banding

VI.

a.

Ca. rekti 5
Gejala yang umum ditemukan pada ca. rekti mirip dengan kanker kolon,
yaitu: perubahan buang air besar, diare atau konstipasi atau perasaan seperti buang
air besar yang tidak puas, ada darah saat buang air besar (umumnya darah segar),
feses yang lebih kecil dari keadaan normal, adanya perasaan tidak enak di
abdomen seperti kembung, atau terasa penuh, berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas, cepat lelah, dan muntah.

31

Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan rectal toucher, barium


enema, dan fecal occult blood test (FOBT). Untuk FOBT, pemeriksaan ini tidak
terlalu spesifik karena pada kanker kolon juga terdapat perdarahan yang samar.
b.

Hemorrhoid 3
Pada pasien hemoroid, cenderung memiliki gejala yang mirip dengan
karsinoma kolon, kecuali pada hemoroid eksterna yang cenderung mengalami
prolapsus, namun bukan rektum, sehingga dapat dilihat pada saat pemeriksaan
anus. Penderita hemoroid juga dapat ditemukan perdarahan kronis tanpa nyeri
sehingga terjadi anemia. Untuk menyingkirkan diagnosis ini, diperlukan
pemeriksaan rectal toucher, barium enema, atau kolonoskopi.

c.

Ulkus peptic
Pasien dengan ulkus peptikum juga memiliki gejala yang sama seperti
kanker kolon terutama kanker kolon bagian kanan yaitu nyeri epigastrium.
Kadang disertai rasa panas terbakar yang hilang dengan pemberian antasida.
Namun jarang ulkus peptik menimbulkan gejala obstruksi, defekasi yang berdarah
ataupun teraba massa pada abdomen.
d.

Divertikulosis
Divertikulosis adalah suatu protusi mukosa keluar lumen. Divertikel

paling sering ditumakan di kolon terutama sigmoid. Keluhan yang sering


ditemukan seperti nyeri, obstipasi dan diare karena gangguan motilitas sigmoid.
Pada pemeriksaan adaanya nyeri tekan local ringan, tanpa demam dan jarang
menimbukan BAB berdarah.
e.

Kolitis ulserosa
Kolitis ulserosa merupakan penyakit inflamasi mukosa yang membentuk

abses di kripta Lieberkuhn dan bergabbung menjadi tukak. Daerah antara ulkus
tampak oedem dan terjadi proliferasi radang yang mirip dengan polip
f.

Polip rectum
Polip berasal dari epitel mukosa dan merupakan neoplasma jinak

terbanyak pada kolon dan rectum. Gejala utamanya adalah perdarahan spontan
yang kadang disertai lender.

32

g.

Massa periappendikular
Massa periapendikular terjadi jika dinding apendisitis gangrenosa ditutupi

omenntum. Klinisnya yaitu riwayat apendisitis yang khas kemudian diikuti


adanya massa nyeri region abdomen kanan bawah yang disertai demam dan
leukositosis.
h.

Kolesistitis
Reaksi inflamasi pada kandung empedu ini memiliki gejala klinik yang

hampir mirip seperti nyeri perut biasanya didaerah kanan atas. Klinisnya juga
spereti mual muntah, teraba massa pada abdomen kanan atas, dan dapat
menimbulkan ikterik dengan pemeriksaan penunjang kadar bilirubin yang
meningkat.
VII.

Penatalaksanaan 1
Prinsip Reseksi
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor
primer beserta dengan suplai limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada
kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang kolon yang direseksi bergantung
pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker. Setiap jaringan
yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus
dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi
paliatif menjadi pilihannya.
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau
adanya riwayat keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakan bahwa
seluruh kolon berisiko terkena karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan
dipertimbangkan

dilakukan

kolektomi

total

atau

subtotal.

Jika

terjadi

metachronous tumors (tumor kedua dari tumor primerkolon) maka dilakukan juga
dengan penatalaksanaan yang sama.
Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan
kualitas reseksi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12
limfonodus yang terangkat memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat.

33

Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor
primer tetap dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan
anastomosis primer jika kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan
keadaan pasien stabil.

34

35

Gambar panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura
hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon
desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).

VII.1

Stadium 0 (Tis, N0, M0)


Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak
berisiko untuk terjadi metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade
dysplasia, menaikkan adanya risiko karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal
ini, polip tersebut harus di eksisi seluruhnya dan batas patologik di sekitar polip
harus terbebas dari area displasia. Umumnya polip ini dapat dieksisi dengan
endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi
untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak
berkembang menjadi karsinoma kolon. Jika polip tidak bisa di angkat seluruhnya,
maka dapat direkomendasikan unutuk dilakukan eksisi segmental.

VII.2

Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)


Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip
dan risiko timbulnya metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus
tergantung pada kedalaman invasi. Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala
polip tanpa mengenai batangnya memiliki risiko metastasis yang rendah (<1%)
dan dapat direseksi secara endoskopi. Namun, invasi limfovaskular, gambaran
histologi dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm dari tempat
reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini
merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang
muncul dari polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat
dilakukan kolostomi segmental.

36

Gambar letak karsinoma invasif pada polip yang bertangkai dan polip sessile. (Sumber: Brunicardi
FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartzs
Principles of Surgery, 9th Edition).

VII.3

Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)


Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat
disembuhkan dengan reseksi. Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker
setelah dilakukan reseksi, pengobatan kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi
rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien setelah reseksi komplit
stadium II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut, dilakukanlah
pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II
(pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang
tinggi).

VII.4

Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)


Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis
lokal maupun jauh dan kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5flurouracil (5-FU) dan levamisole mengurangi angka kematian sampai 33%
dengan efek samping yang rendah. Agen kemoteraputik lain seperti capecitabine,
irinotecan,

oxaliplatin,

angiogenesis

menunjukkan efek yang baik.

37

inhibitors,

and

imunoterapi

juga

VII.5

Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)


Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun,
tidak seperti keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan
terlokalisir, memiliki keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang
paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan 20% diantara pasien yang
memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan pada pasien ini
meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling sering terkena
metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma
kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1
2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus
penatalaksanaan tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer
direkomendasikan agar dapat mencegah komplikasi seperti perdarahan dan
obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat mengurangi efek kemoterapi.
Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang signifikan dan
pengecilan tumor. Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya
dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.

VII.6

Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre


(MDACC) 4
Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena
mikrometastasis setelah reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah
komplikasi tersebut. Berikut adalah terapi yang umum digunakan pada MDACC
Kemoterapi Ajuvan

Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1
5 tiap 4 minggu. Total 6 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu
untuk 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat (tidak minum obat).
Total 3 siklus.
Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14
hari, 7 hari istirahat. Total 8 siklus.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV;
fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2

38

untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2, diberika tiap 14 hari. Total 12
siklus.
Terapi untuk Metastasis

Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1
5 tiap 4 minggu.
Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu
selama 6 minggu dengan 2 minggu waktu istirahat.
IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy): CPT-11 100125 mg/m2 IV tiap 90
min, 5-FU 500 mg/m2, semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu
waktu istirahat.
FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m2
IV; fluorouracil 400 mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2
untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2 diberikan selama 14 hari.
XELIRI: Irinotecan 200250 mg/m2 day 1; capecitabine 7501000 mg/m2
PO dua kali perhari hari ke-114, tiap 21 hari.
XELOX: Oxaliplatin 100 mg/m2 hari ke- 1; capecitabine 7501000 mg/m2
PO BID dua kali perhari hari ke-114, tiap 21 hari.
Bevacizumab: (Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FUbased chemotherapy.
Cetuximab: (Erbitux) 400 mg/m2 loading dose mencapai 120 menit
(minggu ke-1); 250 mg/m2 selama 60 menit per minggu dosis
maintenance, dengan irinotecan atau sebagai single agent pada pasien
yang tintoleransi irinotecan.
VIII.

Prognosis 1

Tabel stadium karsinoma kolorektal dan angka keselamatan selama 5 tahun. (Sumber: Greene et al.
AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science and Business
Media LLC, www.springerlink.com)

39

Pasien dengan stadium I dan II dapat mencapai angka keselamatan yang


sangat baik. Adanya metastasis pada limfonodus mengurangi angka keselamatan
sebanyak 40%. Angka keselamatan selama 5 tahun pada kanker kolorektum
stadium IV menurun drastis sampai 14%.
IX.

Komplikasi 1
Komplikasi yang paling timbul pada kanker adalah metastasis kanker ke
organ lain. Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah pada hepar dan
20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka keselamatan
pada pasien ini meningkat (20 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling
sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan
karsinoma kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani
reseksi (sekitar 1 2%), angka keselamatan jangka panjang mencapai 30 40%.

X.

Pencegahan
A.

Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat
polip dan menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang
menjalani kolonoskopi polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian
prospektif randomized clinical trial yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi
efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun penelitian
trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid
dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga
pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.

B.

Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien
yang mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan
mempunyai efek proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National
Research Council telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982.
Rekomendasi ini diantaranya :
40

1. Menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari total kalori


2. Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat
3. Membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan
4. Membatasi makanan yang mengandung bahan pengawet
5. Mengurangi konsumsi alkohol.

C. Non Steroid Anti Inflammation Drug


Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID
sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan
diameter dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran
dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan setelah
perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi
formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker
kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek
protektif ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan
setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun.2
D. Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan
sebanyak 59.002 orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara
pemakaian HRT dengan kanker kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT
menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker kolorektal sebesar 40%,
dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah pemakaian HRT
dihentikan.

BAB III

41

KESIMPULAN

Diagnosis tumor kolon dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diantaranya Ultrasonografi (USG), CT-Scan dan MRI,
Foto Polos Abdomen Colon in Loop, dan Kolonoskopi. Di klinik sehari-hari
metode pemeriksaan yang sering dipakai ialah metode Colon in loop. Dimana
pada tumor kolon akan terlihat gambaran penonjolan ke dalam lumen, kerancuan
dinding kolon, dan kekauan dinding kolon. Kontras yang dipakai biasanya yaitu
barium enema dengan lama pemeriksaan lima menit. Metode pemeriksaa yang
lebih canggih dapat dipakai untuk melihat adanya metastasis, misalnya dengan CT
scan.

42

TINJAUAN PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku Ajar
Ilmu Bedah; 3rd ed Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2010.
2. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB,
Pollock RE: Schwartzs Principles of Surgery, 9th Edition).
3. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery, 17th ed., Copyright 2004
Elsevier.
4. Norton, JA, et al: Surgery. Basic Science and Clinical Evidence. 2000.
Springer.
5. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.
6. University of California San Francisco. Rectal Cancer Diagnosis: Conditions
and Treatments. UCSF Medical Centre.
http://www.ucsfhealth.org/conditions/rectal_cancer/diagnosis.html
7. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
8. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta : EGC.2000.
9. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.

43

Anda mungkin juga menyukai