Anda di halaman 1dari 47

BAGIAN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

DISLOKASI PINGGUL

DISUSUN OLEH:
Baso Suriadi
111 2018 2094

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Hendrian Chaniago, Sp.OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Baso Suriadi


NIM : 111 2018 2094
Judul : Dislokasi Pinggul

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Orthopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Juni 2020


Mengetahui,
Pembimbing Dokter Muda

dr. Hendrian Chaniago,Sp.OT Baso Suriadi, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................3
BAB II. PEMBAHASAN TEORI ........................................................................4
A. 5
B. 5
C. 6
D. 6
E. 11
F. 15
G. 23
H. 36
I. Prognosis.........................................................................................37
BAB III. KESIMPULAN ...................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................40

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Dislokasi pinggul umumnya disebabkan oleh adanya trauma dengan

tekanan energi yang besar seperti kecelakaan kendaraan bermotor, pejalan kaki

ditabrak mobil, kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian. Jika di liat secara

anatomis, kepala femoralis dengan kuat duduk di asetabulum, diperkuat oleh

tulang rawan labral.Namun, kekuatan besar (> 400 N, gaya yang dibutuhkan

hanya untuk mengalihkan kepala femoralis dari asetabula) diperlukan untuk

melepaskan sendi pinggul.

Secara umum dislokasi pinggul di bagi berdasarkan penyebab yaitu

kongenital dan trauma. Dislokasi pinggul posterior lebih sering ditemukan

dibanding dislokasi pinggul anterior yaotu sekitar 80 % dari semua jenis

dislokasi hips. Dislokasi posterior terjadi patah trauma saat panggul fleksi dan

adduksi. Arah trauma dan lutut ditransmisikan sepanjang batang femur dan

mendorong caput femur ke belakang (Dashboard injury).

Penentuan jenis jenis dari dislokasi pinggul bisa di nilai dari manifestasi

klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penatalaksanaan berdasarkan pada

tingkat keparahannya dan penegakkan diagnosa yang cepat dan tepat akan

memberikan prognosis yang baik sehingga mencegah terjadi komplikasi.

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. Definisi

Dislokasi sendi (luksasio) adalah tergesernya permukaan tulang yang

membentuk persendian terhadap tulang lainnya. Dislokasi sendi panggul

adalah keadaan dimana kaput femur keluar dari socketnya pada tulang

panggul (pelvis). islokasi sendi panggul adalah bergesernya caput femur dari

sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior),

di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus

acetabulum (dislokasi sentra).

B. Etiologi

Klasifikasi menurut penyebabnya :

Klasifikasi dislokasi menurut penyebab dikelompokkan menjadi :

1. Dislokasi Panggul kongenital : yaitu dislokasi yang terjadi sejak

lahir,akibat kesalahan pertumbuhan, paling sering terjadi pada sendi

pinggul

2. Dislokasi Panggul traumatic : Yaitu dislokasi akibat cidera dimana sendi

mengalami kerusakan akibat kekerasan atau trauma dengan gaya atau

tekanan yang besar seperti kecelakaan kendaraan bermotor, pejalan kaki

ditabrak mobil, kecelakaan mobil atau jatuh dari ketinggian. Biasanya

kekuatan besar (> 400 N, gaya yang dibutuhkan hanya untuk

mengalihkan kepala femoralis dari asetabula) diperlukan untuk

melepaskan sendi pinggul, karena ia terkendala dengan baik oleh anatomi

5
tulang dan jaringan lunaknya. Posisi tulang paha pada saat trauma

menentukan pola dislokasi.

Diklasifikasikan menurut arah pergeseran kaput femoral:

• yaitu posterior, anterior dan sentral

C. Epidemiologi

Dislokasi pinggul posterior lebih sering ditemukan dibanding dislokasi

pinggul anterior yaotu sekitar 80 % dari semua jenis dislokasi hips. Frekuensi

menurun dengan dipakainya sabuk pengaman ketika berkendaraan. Anterior

dan central dislokasi terjadi sekitar 10% dari seluruh dislokasi hips.

Dislokasi pinggul dikaitkan dengan trauma energi tinggi di sebagian

besar kasus. Mereka sering terjadi bersamaan dengan fraktur tulang paha atau

pasien yang mengalami trauma (40-75%).

D. Anatomi

Kepala femoralis dengan kuat duduk di asetabulum, diperkuat oleh

tulang rawan labral. Kapsul yang dikembangkan dengan baik, ligamen di

atasnya, dan otot proksimal dari ekstremitas bawah menambah kekuatan pada

sendi Secara struktural, leher femoralis berfungsi sebagai penyangga miring

antara pelvis (balok horizontal) dan poros tulang paha (balok vertikal)

Panjang, sudut, dan lingkar leher femur yang sempit memungkinkan rentang

gerak substansial di pinggul, tetapi karakteristik yang sama ini membuat leher

memiliki gaya geser yang luar biasa.

6
1. Articulatio

Articulatio coxae adalah persendian antara caput femoris yang

berbentuk hemisphere dan acetabulum os coxae yang berbentuk

mangkuk dengan tipe “ball and socket”. Permukaan sendi acetabulum

berbentuk tapal kuda dan dibagian bawah membentuk takik disebut

incisura acetabuli. Rongga acetabulum diperdalam dengan adanya

fibrocartilago dibagian pinggrinya yang disebut sebagai labrum acetabuli.

Labrum ini menghubungkan incisura acetabuli dan disini dikenal sebagai

ligamentum transversum acetabuli. Persendian ini dibungkus oleh

capsula dan melekat di medial pada labrum acetabuli.

Gambat 2.1 Articulatio

7
Gambar ROM 2. (a) ekstensi-fleksi : 10”- 0”- 130”, (b) abduksi-adduksi :

40’-0’-30’ (c) dan (d) rotasi lateral-rotasi medial : 50’-0’-40’

Articulatio coxae merupakan suatu enarthrosis ( Articulatio

Cotylica). Yakni sendi ball dan socket yang memiliki 3 sumbu

pergerakan. Semua sumbu berjlan melalui pusat caput femoris. Rentang

pergerakan di batasi pleh Actabulum serta ligamen-ligamen kuat yang

begitu ketat. Semua ligamen secara bersamaan membatasi ekstensi

(retroversi) dengan menyelubungi Capit femoris dengan ligamentosa

berbentuk spiral yang melingkar, sehingga memungkinkan di capainya

posisi tegak yang stabil. Karena penting bagi gerakan berjalan, fleksi

(Anteversi) dapat dilakukan dalam derajat yang lebih besar dan hanya di

batasi oleh jaringan lunak. Selain itu, rotasi medial dan lateral serta

adduksi dan abduksi di batasi oleh ligamen

2. Ligamentum

8
Gambar 2.2 Ligamentum

Simpai sendi jaringan ikat di sebelah depan diperkuat oleh sebuah

ligamentum yang kuat dan berbentuk Y, yakni ligamentum ileofemoral

yang melekat pada SIAI dan pinggiran acetabulum serta pada linea

intertrochanterica di sebelah distal. Ligamentum ini mencegah ekstensi

yang berlebihan sewaktu berdiri . Di bawah simpai tadi diperkuat oleh

ligamentum pubofemoral yang berbentuk segitiga. Dasar ligamentum

melekat pada ramus superior ossis pubis dan apex melekat dibawah pada

bagian bawah linea intertrochanterica. Ligamentum ini membatasi

gerakan ekstensi dan abduksi.

Di belakang simpai ini diperkuat oleh ligamentum ischiofemorale

yang berbentuk spiral dan melekat pada corpus ischium dekat margo

acetabuli. Ligamentum ini mencegah terjadinya hiperekstensi dengan


9
cara memutar caput femoris ke arah medial ke dalam acetabulum

sewaktu diadakan ekstensi pada articulatio coxae.

Ligamentum teres femoris berbentuk pipih dan segitiga.

Ligamentum ini melekat melalui puncaknya pada lubang yang ada di

caput femoris dan melalui dasarnya pada ligamentum transversum dan

pinggir incisura acetabuli. Ligamentum ini terletak pada sendi dan dan

dibungkus membrana sinovial.

3. Batas batas articulatio coxae

Gambar 2.3 Musculus pada Cavum Pelvic

 Anterior M. Iliopsoas, m.pectineus, m. rectus femoris. M. Iliopsoas

dan m.pectineus memisahkan a.v. femoralis dari sendi.

 Posterior : m.obturatorius internus, mm.gemelli, dan m.quadratus

femoris memisahkan sendi dari n.ischiadicus.

 Superior : musculus piriformis dan musculus gluteus minimus

 Inferior : tendo m.obturatorius externus

10
4. Perdarahan

Gambar 2.4 Vaskularisasi pada os femoralis

Cabang cabang arteria circumflexa femoris lateralis dan arteria

circumflexia femoris medialis dan arteri untuk caput femoris, cabang

arteria obturatoria.

5. Persyarafan

Gambar 2.5 persarafan Lumbosacralis

11
Nervus femoralis (cabang ke m.rectus femoris, nervus obturatorius

(bagian anterior) nervus ischiadicus (saraf ke musculus quadratus

femoris), dan nervus gluteus superior.

6. Gerakan

 Fleksi dilakukan oleh m. Iliopsoas, m. Rectus femoris, m.sartorius,

mdan juga mm. Adductores.

 Ekstensi dilakukan oleh m. Gluteus maximus dan otot otot hamstring

 Abduksi dilakukan oleh m. Gluteus medius dan minimus, dan dibantu

oleh m. Sartorius, m.tensor fascia latae dan m. Piriformis

 Adduksi dilakukan oleh musculus adductor longus dan musculus

adductor brevis serta serabut serabut adductor dari m adductor

magnus. Otot otot ini dibantu oleh musculus pectineus dan m.gracilis.

Rotasi lateral

Rotasi medial

Circumduksi merupakan kombinasi dari gerakan gerakan diatas.

E. Jenis Jenis Dislokasi

1. Dislokasi Pinggul Kongenital

Merupakan suatu fase ketidakstabilan sendi panggul pada bayi baru

lahir. Dalam keadaan normal, panggul bayi baru lahir dalam keadaan

stabil dan sedikit fleksi. Dislokasi perkembangan pinggul, sebelumnya

12
disebut sebagai dislokasi bawaan pinggul, terdiri dari perpindahan kepala

femoralis dari hubungan normal dengan asetabulum. Ini adalah masalah

yang relatif sering, dengan insiden 1 hingga 2 per 1000 kelahiran.

Umumnya terdeteksi pada saat lahir atau segera sesudahnya. Bayi

perempuan dipengaruhi secara signifikan lebih sering daripada bayi laki-

laki, dan dislokasi unilateral dua kali lebih sering dari bilateral. Dislokasi

perkembangan dapat dibagi menjadi tipe idiopatik dan teratogenik.

Dislokasi idiopatik lebih sering, dan pasien sering memiliki riwayat

keluarga positif untuk cacat.

Tingkat keparahannya bervariasi dari subluksasi, ke dislokasi dan

direduksi, ke dislokasi dan tidak dapat direduksi. Jenis dislokasi

perkembangan ini mungkin terkait dengan posisi intrauterin abnormal atau

pembatasan pergerakan janin dalam rahim, yang menghambat

perkembangan dan stabilitas kompleks sendi panggul yang memadai. Efek

relaksasi dari hormon pada jaringan lunak selama kehamilan juga dapat

berkontribusi, dengan bayi yang terkena mungkin lebih sensitif terhadap

efek relaksasi panggul dari estrogen ibu.

13
Gambar 2.6 Dislokasi Pinggul Kongenital

Koreksi dislokasi kongenital yang berhasil tergantung pada

diagnosis dini dan perawatan yang tepat. Dalam 6 bulan pertama

kehidupan, penggunaan harness Pavlik, yang memungkinkan gerakan

lembut pinggul dalam posisi tertekuk , Reduksi dapat mencapai dan

mempertahankan dengan hasil memuaskan. Antara usia 6 dan 18 bulan,

reduksi dan imobilisasi tertutup yang lembut dalam spica cast dengan atau

tanpa diindikasi pelepasan iliopsoas yang dikontrak dan otot-otot

adduktor. Setelah 18 bulan, pengurangan dengan tindakan manipulatif sulit

karena kontraktur jaringan lunak yang terkait. Dalam kasus seperti itu,

reduksi terbuka biasanya ditunjukkan. Dalam kasus dislokasi teratogenik,

maldevelopment yang mendasari membuat hasilnya kurang memuaskan,

bahkan dengan manajemen yang optimal.

14
Dengan pengenalan dini dan perawatan yang tepat, pinggul yang

relatif normal dengan fungsi yang memuaskan dapat diantisipasi dalam

kasus dislokasi panggul idiopatik. Kegagalan reduksi konsentris atau

komplikasi, seperti nekrosis avaskular kepala femoral, akibat dari upaya

yang terlalu bersemangat pada pengurangan tertutup dalam kasus yang

sudah berlangsung lama, dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup

yang ditandai dengan nyeri dan kekakuan di pinggul; kiprah antalgik,

susah payah; dan pemendekan anggota tubuh yang terlibat.

2. Dislokasi posterior

Gambar 2. Mekanisme cedera pada dislokasi panggul posterior

15
Dislokasi posterior terjadi patah trauma saat panggul fleksi dan

adduksi. Arah trauma dan lutut ditransmisikan sepanjang batang femur

dan mendorong caput femur ke belakang (Dashboard injury) atau jatuh

dengan posisi kaki fleksi dan lutut tertumpu.

Gambar 2.6 internal rotasi

3. Dislokasi anterior

Dislokasi anterior ter adi pada trauma jika tungkai terkangkang,

lutut lurus, punggung bongkok arah ke depan dan ada puntiran ke

balakang

16
Gambar 2.7: eksternal rotasi

4. Dislokasi sentral

Dislokasi sentral terjadi kalau trauma datang dan arah samping

sehingga trauma ditransmisikan lewat trokanter mayor mendesak terjadi

fraktur acetabulum sehingga caput femors masuk ke rongga pelvis.

F. Manifestasi klinis

1. Dislokasi pinggul kongenital

a. Gambaran Klinis

Asimetri pada lipatan lipatan kulit paha. Pemeriksaan klinik

untuk mengetahui dislokasipanggul bawaan pada bayi baru lahir

adalah.

o Uji Ortolani

Pada pemeriksaan ini ibu jari pemeriksa memegang paha

bayi bagian medial dan jari lainnya pada trochanter mayor. Sendi

panggul difleksikan 90 derajat kemudian di abduksi secara hati hati.

Pada bayi normal abduksi dpat sebesar 65-80 derajat dapat dengan

mudah dilakukan, dan bila abduksi kurang dari 60 derajat maka

harus dicurigai adanya dislokasi panggul bawaan dan kemudian jika

trochanter mayor ditekan terdengar bunyi klik maka hal ini

menandakan adanya reduksi dislokasi dan kemudian pinggul

berabduksi sepenuhnya dan disebut uji ortolani +. Jika abduksi

17
berhenti ditengah jalan dan tidak ada sentakan ke dalam, mungkin

adanya suatu dislokasi yang tidak dapat direduksi.

o Uji Barlow

Dilakukan dengan cara yang sama, tetapi disini ibu jari

pemeriksa ditempatkan pada lipatan paha dan, dengan memegang

paha bagian atas, diusahakan mengungkit kaput femoris ke dalam

dan keluar asetabulum baik dalam keadaan abduksi dan adduksi.

Bila caput femoris dapat dikeluarkan dari soketnya (asetabulum) dan

dimasukkan kembali disebut dislocatable/unstable of the hip.

b. Pencitraan

Ultrasonografi secara luas menggantikan radiografi untuk

pencitraan pinggul neonates.Pada saat kelahiran caput femoris dan

acetabulum pada bayi baru lahir tidak dapat dinilai dengan visualisasi

langsung, karena caput femur belum mengalami ossifikasi dan

merupakan tulang rawan tubuh yang tidak divisualisasikan pada sinar x

ray.

Sinar X polos bermanfaat setelah 6 bulan pertama karena Pusat

ossifikasi untuk caput femoris umumnya muncul antara tiga - enam

bulan. Pengukuran digunakan untuk mengevaluasi hubungan caput

femoral dan acetabulum termask garis Hilgenreiner, indeks acetabular,

garis Perkin-Ombredanne, line Shenton-Menard.

Garis Perkins-Ombredanne adalah garis yang ditarik tegak

lurus dengan garis-Y, melalui tepi palinglateral tulang rawan

18
acetabular,yang sebenarnya sesuai dengan SIAI pada bayi baru lahir,

aspek medial leher femoralis harusnya berada pada lower inner quadran .

Munculnya salah satu dari struktur di luar kuadran tersebut

menunjukkan subluksasi atau dislokasi pinggul.

Garis Hilgenreiner atau Y-line adalah garis yang ditarik

melalui bagian superior dari tulang rawan triradiate. Pada bayi normal,

jarak diwakili oleh garis (ab) tegak lurus terhadap garis-Y pada titik

paling proksimal dari leher femoralis harus sama pada kedua sisi

panggul, sebagaimana seharusnya jarak diwakili oleh garis (bc) yang

ditarikbertepatan dengan garis-Y medial ke lantai acetabular. Pada usia

bayi enam sampai tujuh bulan, nilai rata-rata untuk jarak (ab) telah

bertekad untuk menjadi 19,3 mm + / - 1,5 mm; untuk jarak (bc), 18,2 mm

+ / - 1,4 mm. Indeks acetabular adalah sudut yang dibentuk oleh garis

singgung ditarik ke atap acetabular dari titik (c) di lantai acetabular di

garis-Y. Nilai normal sudut ini berkisar dari 25 derajat hingga 29 derajat.

Garis Shenton-Menard adalah garis yang ditarik melalui aspek medial

leher femoralis di perbatasan superior foramen obturatorius.

2. Dislokasi pinggul posterior

Empat dari lima dislokasi pinggul traumatic adalah posterior.

Biasanya fraktur ini dapat terjadi akibat traumadengan gaya atau tekanan

yang besar dalam kecelakaan lalu lintas bila seseorang yang duduk dalam

truk atau mobil yang terlempar kearah depan, sehingga lutut terbentur

pada dashboard. Dengan demikian Femur terdorong Ke atas dan Kaput

19
femoris keluar dari mangkuknya : sering sepotong tulang pada punggung

asetabulum terpotong ( fraktur – dislokasi).

a. Gambaran Klinik

o Kaki pendek dan beradduksi

o Berotasi internal

o Dan sedikit berfleksi

Tetapi bila salah satu tulang panjang mengalami fraktur

( biasanya femur ) cedera pinggul dengan mudah dapat terlewat.

b. Pemeriksaan Rontgen

Dilakukan foto anteroposterior

o Terlihat kaput femoris diluar mangkuknya dan di atas asetabulum.

o Segmen atap asetabular atau kaput femoris mungkin telah patah

dan bergeser

o Foto oblik berguna untuk menunjukan ukuran fragmen itu

o CT scan adalah cara terbaik untuk menunjukan fraktur asetabulum

atau setiap fragmen tulang.

c. Klasifikasi

Ada beberapa klasifikasi yang digunakan untuk

mendeskripsikan dislokasi posterior. Klasikasi Thompson-Epstein

didasarkan pada penemuan radiografi, yaitu:

Type Radiography
Type I Simple dislocation with or without an insignificant posterior

wall fragment

20
Type II Dislocation associated with a single large posterior wall

fragment
Type III Dislocation with a comminuted posterior wall fragment
Type IV Dislocation with fracture of the acetabular floor
Type V Dislocation with fracture of the femoral head

Gambar 2.8 X-ray dislokasi posterior

3. Dislokasi pinggul anterior

Penyebab yang lazim adalah kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan

penerbangan. Dislokasi bisa pada satu atau kedua pinggul bisa terjadi

kasus apabila buruh tambang atau bangunan kejatuhan benda berat pada

punggungnya saat mereka sedang bekerja dengan posisi kaki yang

merentang lutut lurus dan punggung membungkuk kedepan.

21
a. Gambaran Klinis

o Kaki Rotasi luar

o Abduksi dan sedikit fleksi

o Kaki tidak memendek

o Tonjolan anterior pada kaput yang dislokasi tampak jelas, Bila

dilihat dari arah samping

o Gerakan pinggul tak dapat digerakan.

b. Pemeriksaan penunjang

Foto rontgren anteroposterior dislokasi dan arah lateral

c. Klasifikasi

Type Radiography
Type II IA No associated fractures
IB Associated fracture or impaction of the
Superior
femoral head
dislocations, IC Associated fracture of the acetabulum
including pubic and
subspinous
Type II IIA No associated fractures
IIB Associated fracture or impaction of the
Inferior dislocations,
femoral head
including obturator, IIC Associated fracture of the acetabulum

and perineal

22
Gambar 2.8 X-ray (a) dislokasi posterior (b) setelah reduksi

4. Dislokasi sentral

Dislokasi sentral terjadi kalau trauma datang dan arah samping

sehingga trauma ditransmisikan lewat trokanter mayor mendesak terjadi

fraktur acetabulum sehingga caput femors masuk ke rongga pelvis.

a. Gambaran klinis

23
Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai bagian

proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri pada daerah trokanter.

Gerakan sendi panggul sangat terbatas.

b. Radiologis

Adanya pergeseran dari caput femur menembus panggul, Tampak

kaput femoris begerser ke medial dan lantai asetabulum mengalami

fraktur.

c. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur acetabulum dideskripsikan oleh Letournel dan

Judet. Mereka membagi fraktur acetabulum menjadi 2 kelompok dasar

yaitu fraktur sederhana dan fraktur kompleks. Fraktur sederhana

adalah fraktur terisolasi pada satu columna atau dinding bersamaan

dengan fraktur melintang, fraktur tipe ini meliputi fraktur dinding

posterior, columna posterior, dinding anterior, atau columna anterior

dan fraktur melintang. Fraktur kompleks memiliki geometri fraktur

lebih kompleks dan meliputi fraktur berbentuk T (T-shaped),

kombinasi fraktur dinding dan columna posterior, kombinasi fraktur

24
melintang dan dinding posterior, fraktur columna anterior dengan

fraktur posterior hemitransverse, dan fraktur kedua columna.

Gambar 2.14 . Klasifikasi Letournel dan Judet

A) Fracture dinding posterior, B) Fracture columna posterior,


C) Fracture dinding anterior, D) Fracture columna anterior, E)
Fracture melintang, F) Fracture columna dan dinding posterior, G)
Fracture melintang dan fracture dinding posterior, H) Fracture
berbentuk T, I) Fracture columna anterior dengan fracture posterior
hemitransverse, J) Fracture komplit kedua columna.

G. Penatalaksanaan

1. Dislokasi posterior

Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi

umum. Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya

dislokasi. Pada sebagian besar kasus dilakukan reduksi tertutup, namun

jika reduksi tertutup gagal sebanyak 2 kali maka harus dilakukan reduksi

25
terbuka untuk mencegah kerusakan caput femoris lebih lanjut. Sebelum

melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan neurovaskular.

Indikasi reduksi tertutup:

 Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak ada fraktur.

 Dislokasi yang disertai fraktur jika tidak terdapat defisit neurologis.

Kontraindikasi reduksi tertutup:

 Dislokasi panggul terbuka.

Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan untuk

mereduksi dislokasi panggul posterior sederhana (tipe I Epstein).

a. Metode Allis

Untuk melakukan teknik Allis untuk pengurangan pinggul

posterior dislokasi:

1) Tempatkan pasien dalam posisi terlentang, dengan panggul stabil

oleh asisten.

2) dengan lutut terkelam, oleskan traksi stabil sejalan dengan kelainan

bentuk.

3) perlahan-lahan membawa pinggul untuk 90 derajat fleksi sementara

menerapkan traksi stabil ke atas dan rotasi lembut.

4) Mintalah asisten untuk mendorong trochanter yang lebih besar ke

depan menuju asetabulum.

5) setelah reduksi telah tercapai, membawa pinggul ke posisi

diperpanjang sambil mempertahankan traksi.

26
Gambar 2.9 metode Allis

b. Metode stimson

Teknik Stimson menggunakan bobot tungkai dan gaya

gravitasi untuk mengurangi dislokasi dan relatif atraumatic. Meskipun

teknik Stimson umumnya efektif, menempatkan pasien trauma yang

27
terluka yang banyak dalam posisi rawan yang diperlukan bisa menjadi

sangat rawan

Gambar 2.10 Metode Stimson

Untuk melakukan teknik Stimson untuk pengurangan

dislokasi pinggul posterior:

1) Tempatkan pasien dalam posisi rentan, dengan kaki menggantung

di tepi tempat tidur. Pinggul dan lutut yang tertekuk pada 90

derajat.

2) Mintalah seorang asisten untuk menstabilkan panggul.

3) Terapkan traksi stabil ke bawah sejalan dengan femur.

4) lembut memutar kepala femoralis sementara asisten mendorong

lebih besar trochanter anterior terhadap acetabulum.

5) setelah pengurangan telah tercapai, membawa pinggul ke posisi

diperpanjang sambil mempertahankan traksi.

c. Metode Captain Morgan

28
Gambar 2.11 teknik Captain Morgan

Untuk melakukan teknik Captain Morgan untuk

mengurangi dislokasi pinggul posterior :

1) Pasien dengan terlentang pada tandu di posisi terendah,

kencangkan panggul ke tandu dengan sprei atau tali pengikat.

Tempatkan tali di atas sayap ischial dan symphysis kemaluan. Hal

ini mencegah Anda dari mengangkat pasien dari tempat tidur dan

lebih efektif daripada memiliki seorang asisten mencoba untuk

mengamankan panggul.

2) berdiri di sisi tempat tidur dan tempatkan satu kaki di atas tempat

tidur (seperti Kapten Morgan berdiri di atas Tong rum). Jika Anda

memerlukan ketinggian tambahan, pertimbangkan untuk

menggunakan bangku resusitasi kardiopulmonary (CPR) yang

stabil.

3) Tempatkan kaki ipsilateral pasien di atas kaki Anda sehingga lutut

Anda beristirahat dalam fosa popliteal nya.

4) sambil memegang pergelangan kaki dalam posisi dengan sedikit

tekanan ke bawah, angkat dengan kedua kaki untuk menerapkan

traksi pada femur dan mengurangi pinggul.

5) jika traksi saja tidak bekerja, menggunakan tangan Anda untuk

secara internal dan eksternal memutar kaki untuk mencapai

29
Gambar 2.12 metode Whisler
d. Metode Whistler

Teknik Whistler ini sering bekerja lebih baik bagi para praktisi

yang perawakan pendek dan memiliki kesulitan mendapatkan kaki

mereka dalam posisi yang tepat untuk teknik Captain Morgan. Dalam

metode ini, dokter menggunakan lengan stabil pada lutut ipsilateral

untuk mengangkat kaki menggunakan otot kaki.

Untuk melakukan teknik Whistler pengurangan dislokasi

pinggul posterior

1) Mulailah dengan pasien berbaring terlentang di tempat tidur, dan

mengamankan pinggul pasien ke tempat tidur, seperti untuk teknik

Captain Morgan.

30
2) Tekuk kaki kontralateral sehingga lutut pasien dikilit 90 derajat dan

kaki berada di tempat tidur.

3) Tekuk kaki ipsilateral ke posisi yang sama.

4) Tempatkan lengan Anda di bawah lutut ipsilateral dan istirahatkan

di atas lutut kontralateral.

5) sekarang putar tubuh Anda sehingga Anda tegak lurus dengan

pasien dan melihat kakinya. Ini akan menyebabkan Anda untuk

jongat sedikit.

6) sambil menahan pasien ipsilateral pergelangan kaki dengan tangan

yang lain, perlahan-lahan angkat dengan kaki Anda, sambil

menjaga lengan Anda lurus dan kuat. Hal ini menempatkan traksi

pada femur dan harus mengurangi dislokasi.

7) jika pengurangan tidak dicapai dengan traksi saja, gunakan tangan

Anda yang ada di pergelangan kaki untuk secara internal atau

eksternal memutar kaki untuk mencapai pengurangan.

e. Traksi longitudinal

Pasien dibaringkan dalam posisi supine, kemudian seorang

asisten melakukan traksi lateral, sementara operator melakukan traksi

longitudinal. (Gambar dapat dilihat di halaman berikutnya)

31
Gambar . Traksi longitudinal

f. Leg-crossing maneuver

Kadang-kadang dislokasi dapat direduksi dengan cara

membujuk pasien untuk perlahan-lahan menyilangkan tungkai

yang mengalami dislokasi ke arah tungkai sebelahnya (adduksi)

dan kemudian lakukan traksi lembut ketika asisten memandu caput

femoris kembali ke posisi semula dengan melakukan tekanan di

sebelah anterior.

Pemeriksaan X-Ray sangat diperlukan untuk memastikan reduksi

dan untuk menyingkirkan fraktur. Bila terdapat sedikit kecurigaan saja

bahwa fragmen tulang telah terperangkap di dalam sendi, maka

diperlukan pemeriksaan CT-scan.

Reduksi biasanya stabil, panggul yang telah mengalami cedera

harus diistirahatkan. Cara yang paling sederhana untuk mengistirahatkan

panggul adalah dengan memasang traksi dan mempertahankannya selama

3 minggu. Gerakan dan latihan dimulai segera setelah nyeri mereda. Pada

akhir minggu ketiga pasien diperbolehkan berjalan dengan kruk

penopang.

Jika pemeriksaan X-ray atau CT-scan pasca reduksi

memperlihatkan adanya fragmen intra-articular, fragmen itu harus

dibuang dan sendi dibilas melalui posterior approach. Hal ini biasanya

ditunda hingga keadaan pasien stabil.

32
Fraktur-dislokasi tipe II Epstein sering diterapi dengan reduksi

terbuka segera dan fiksasi anatomis pada fragmen yang terlepas. Namun,

jika keadaan umum pasien meragukan atau tidak tersedia ahli bedah yang

terampil di bidang ini, panggul direduksi tertutup seperti diuraikan di

atas. Jika sendi tidak stabil atau fragmen besar

tetap tidak tereduksi, maka reduksi terbuka dan fiksasi internal

tetap diperlukan. Pada kasus tipe II, traksi dipertahankan selama 6

minggu.

Fraktur-dislokasi tipe III diterapi secara tertutup, tetapi mungkin

terdapat fragmen yang bertahan dan fragmen-fragmen ini harus dibuang

dengan operasi terbuka. Traksi dipertahankan selama 6 minggu.

Fraktur-dislokasi tipe IV dan V pada awalnya diterapi dengan

reduksi tertutup. Fragmen caput femoris dapat secara otomatis berada

pada tempatnya, dan ini dapat dipastikan dengan CT-scan pasca reduksi.

Jika fragmen tetap tidak tereduksi, terapi operasi diindikasikan: fragmen

yang kecil dibuang, namun fragmen yang besar harus diganti; sendi

dibuka, caput femoris didislokasikan dan fragmen diikat pada posisinya

dengan countersunk screw. Pasca operasi, traksi dipertahankan selama 4

minggu dan pembebanan penuh ditunda selama 12 minggu.

Dislokasi Panggul yang Tidak Tereduksi

Kadang-kadang dislokasi panggul posterior tanpa fraktur

acetabulum atau caput femoris tidak dapat direduksi dengan metode

reduksi tertutup.

33
Pada dislokasi posterior, caput femoris keluar ke arah

posteroinferior dari kapsul dan dapat menembus otot-otot exorotasi.

Jaringan lunak yang mengelilingi collum femoris dapat mencegah

relokasi dari caput femoris.

Sebagai contoh, labrum acetabulum dapat terlepas dari tempat

melekatnya, dengan atau tanpa fragmen tulang, ketika reduksi, labrum

mungkin tertarik masuk ke dalam sendi di depan caput femoris sehingga

mencegah kembalinya posisi caput secara konsentris ke dalam

acetabulum.

Tata laksana untuk dislokasi yang tidak tereduksi ini adalah dengan

reduksi operatif (terbuka).

Posterior approach sendi panggul (Kocher-Langenbeck)

1) Pasien dibaringkan dalam posis lateral.

2) Mulai dengan insisi kulit pada daerah trochanter major dan perluas

ke arah proximal sepanjang 6 cm dari spina iliaca posterior. Insisi

dapat diperluas ke arah distal sepanjang permukaan lateral paha

sepanjang 10 cm atau seperlunya.

3) Pisahkan fasciae latae sejajar dengan insisi kulit dan pisahkan

gluteus maximus secara tumpul sejajar dengan arah seratnya

Lindungi cabang dari nervus gluteus inferior ke arah anterosuperior

dari gluteus maximus.

4) Kenali dan lindungi nervus ischiadicus yang berada di atas

34
5) quadratus femoris.

6) Pisahkan tendon M. Piriformis, gemellus, dan obturatorius

internus sejajar dengan insersinya pada trochanter major dan

kemudian otot-otot exorotasi tersebut ditarik ke arah medial untuk

melindungi nervus ischiadicus. M. qudratus femoris tetap dibiarkan

intak untuk melindungi cabang arteri circumflexa femoris medialis.

Tempat melekatnya tendon M. gluteus maximus pada femur dapat

diinsisi untuk memperluas daerah paparan.

7) Identifikasi kapsul yang mengelilingi collum femoris dan jika perlu

perbesar robekan ke arah proximal dan distal untuk membebaskan

collum dan caput femoris.

8) Reduksi:

 Traksi paha sepanjang aksis longitudinalnya.

 Panggul diflexikan 90’ dan diadduksi.

 Dislokasikan caput femoris ke arah posterior dengan

mengendorotasikan paha.

 Buat traksi longitudinal pada femur dengan kuat.

 Cari gambaran cartilago labrum di dalam

acetabulum.

 Tarik labrum keluar dari acetabulum dengan kait tumpul.

 Potong bagian yang tidak melekat dari labrum. Eratkan caput

femoris dengan membuat traksi longitudinal pada femur yang

diflexikan dan diadduksi.

35
 Setelah reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skin traction di

tungkai bawah. Panggul dalam posisi extensi dan extremitas

sedikit abduksi.

Traksi dipertahankan selama 3 minggu. Beberapa hari setelah

reduksi, gerakan aktif dan pasif sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir

minggu ketiga, pasien diperbolehkan jalan menggunakan kruk penopang.

Pasien diperbolehkan menopang berat badan pada akhir minggu ke 12-14

dan diperbolehkan kembali beraktivitas seperti biasa 6-10 bulan setelah

operasi. Ikuti perkembangan pasien selama 2 tahun (setiap 3 bulan),

setiap pemeriksaan rekam perkembangan range of motion dari sendi

panggul dan lakukan pemeriksaan X-ray untuk mengetahui ada tidaknya

nekrosis avaskular dari caput femoris.

2. Terapi dislokasi anterior

Dislokasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi

umum. Reduksi harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya

dislokasi. Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan

neurovaskular.

Manuver yang digunakan hampir sama dengan yang digunakan

untuk mereduksi dislokasi posterior, kecuali bahwa ketika paha yang

berflexi ditarik ke atas, paha harus diadduksi. Tata laksana berikutnya

mirip dengan tata laksana pada dislokasi posterior.

36
Gambar 2. Manuver Reduksi Tertutup Dislocasi Panggul Anterior

Setelah reduksi, panggul diistirahatkan dengan pemasangan skin

traction selama tiga minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan aktif

dan pasif sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien

diperbolehkan jalan menggunakan kruk penopang tanpa bertumpu pada

sisi yang mengalami dislokasi. Selama periode ini dapat dilakukan

latihan aktif terkontrol untuk mengembalikan fungsi sendi dan

perkembangan tonus dan kekuatan otot. Kerja ringan dapat dilanjutkan

pada minggu ke 14-16 dan aktivitas penuh dapat dilakukan 6-10 bulan

setelah cedera.

Ikuti perkembangan pasien selama minimal 2 tahun, setiap

pemeriksaan rekam perkembangan range of motion dari sendi panggul

37
dan lakukan pemeriksaan X-ray setiap 4-6 bulan untuk mengetahui ada

tidaknya necrosis avaskular dari caput femoris.

a. Dislokasi Panggul yang Tidak Tereduksi

Pada kasus yang jarang, manuver reduksi tertutup dapat gagal

dalam mereduksi dislokasi panggul anterior. Jika hal ini terjadi, maka

reduksi tertutup tidak boleh dipaksakan dan hal ini merupakan indikasi

untuk dilakukannya reduksi terbuka.

Kegagalan reduksi tertutup ini dapat disebabkan oleh :

1) Penetrasi caput femoris ke dalam otot iliopsoas

2) Ekstrusi caput femoris ke dalam lubang (buttonhole) di kapsul

anterior.

b. Anterolateral approach sendi panggul (Smith-Petersen)

1) Buat insisi kulit sepanjang 1/3 anterior crista iliaca dan sepanjang

tepi anterior M. tensor fasciae latae, kemudian insisi dibelokkan

ke arah posterior melewati insersio otot tersebut di region

subtrochanterica (biasanya 8-10 cm di bawah dasar trochanter

major).

2) Insisi fasia sepanjang tepi anterior M. tensor fasciae latae. Kenali

dan lindungi nervus cutaneous femoris lateralis, yang biasanya

berada di bagian medial M. tensor fasciae latae dan lateral dari M.

sartorius.

38
3) Insisi perlekatan otot di aspek lateral ilium sepanjang crista iliaca.

Pisahkan perlekatan otot di antara spina iliaca anterior superior

dan acetabulum labrum, lalu tampak M. tensor fasciae latae, M.

gluteus minimus, dan bagian anterior M.gluteus medius.

4) Insisi fasia kemudian dilanjutkan ke arah insersio M. tensor

fasciae latae ke ikatan iliotibial dan paparkan bagian lateral

5) M. rectus femoris dan bagian anterior M. vastus lateralis.

6) Mulai insisi kapsular di aspek inferior kapsul, lateral dari

acetabulum labrum; dari titik ini, perluas ke arah proximal,

paralel dengan acetabulum labrum dan belokkan ke arah lateral.

7) Lakukan traksi longitudinal pada tungkai bawah. Ketika traksi

dipertahankan, tungkai di-endorotasi-kan dan berikan tekanan

pada caput femoris secara langsung untuk menimbulkan efek

reduksi.

Gambar 24. Smith-Petersen Approach

39
Setelah reduksi, panggul diistirahatkan dengan pemasangan skin

traction selama tiga minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan aktif

dan pasif sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien

diperbolehkan jalan menggunakan kruk penopang tanpa bertumpu pada

sisi yang mengalami dislokasi. Selama periode ini dapat dilakukan

latihan aktif terkontrol untuk mengembalikan fungsi sendi dan

perkembangan tonus dan kekuatan otot. Kerja ringan dapat dilanjutkan

pada minggu ke 14-16 dan aktivitas penuh dapat dilakukan 6-10 bulan

setelah cedera.

Ikuti perkembangan pasien selama minimal 2 tahun, setiap

pemeriksaan rekam perkembangan range of motion dari sendi panggul

dan lakukan pemeriksaan X-ray setiap 4-6 bulan untuk mengetahui ada

tidaknya necrosis avaskular dari caput femoris.

3. Terapi dislokasi sentral

Pada kasus dislokasi panggul central tetap harus diusahakan untuk

melakukan reduksi dan memulihkan bentuk lazim panggul. Meskipun

osteoartritis sekunder tidak dapat dielakkan, paling tidak anatomi yang

normal akan memudahkan pembedahan rekonstruktif.

Dislokasi central yang disertai dengan fraktur kominusi pada lantai

acetabulum kadang-kadang dapat direduksi dengan manipulasi di bawah

anestesi umum. Ahli bedah menarik paha dengan kuat dan kemudian

mencoba mengungkit keluar caput dengan mengadduksi paha,

40
menggunakan bantalan keras sebagai titik tumpu. Jika cara ini berhasil,

traksi longitudinal dipertahankan selama 4-6 minggu dengan

pemeriksaan X-ray untuk memastikan bahwa caput femoris tetap berada

di bawah bagian acetabulum yang menahan beban.

Jika manipulasi gagal, kombinasi traksi longitudinal dan lateral

dapat mereduksi dislokasi selama 2-3 minggu. Pada semua metode ini,

gerakan perlu dimulai secepat mungkin. Bila traksi dilepas, pasien

diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Penahanan beban

diperbolehkan setelah 8 minggu. Hasilnya terhadap fungsi lebih baik

daripada yang ditunjukkan pada penampilan X-ray, tetapi semua gerakan

kecuali flexi dan extensi tetap sangat terbatas, dan pada akhirnya terjadi

artritis degeneratif, kecuali jika pergeseran hanya terjadi sedikit.

Indikasi Operasi

a. Fraktur acetabulum dengan pergeseran > 2 mm di dalam kubah

acetabulum.

b. Fraktur dinding posterior dengan > 50% keterlibatan permukaan

artikulasi sendi pada dinding posterior.

c. Ketidakstabilan klinis pada flexi 90’.

d. Fragmen yang terjebak di dalam acetabulum setelah reduksi tertutup.

Beberapa penulis menganjurkan operasi dilakukan 2-3 hari setelah

cedera untuk menunggu kondisi pasien agar stabil. Idealnya reduksi

terbuka dan fiksasi internal fraktur acetabulum seharusnya dilakukan

41
dalam 5-7 hari setelah cedera. Reduksi anatomis akan menjadi lebih sulit

setelah melewati waktu tersebut karena pembentukan hematoma,

kontraktur jaringan lunak, dan pembentukan callus awal.

Setelah dilakukan reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skeletal

traction. Pemasangan ini dilakukan dengan cara:

1. Masukkan threaded wire di bawah tibial tubercle.

2. Pasang bebat Thomas dengan Pearson attachment

balanced dari rangka di atas kepala.

3. Panggul dan lutut sedikit diflexikan

4. Berikan beban seberat 20-25 lbs.

Gambar 2.13 Skeletal Traction

F. Komplikasi

Awal

1. Cedera nervus skiatikus. Kadang –kadang mengalami cedera tapi biasanya

dapat membaik

42
2. Cedera pembuluh darah Arteri gluteal superior yang terobek

3. Fraktur batang femoris yang menyertai, bila ini terjadi bersamaan dengan

dislokasi pinggul , biasanya keadaan dislokasi terlewatkan.

Lanjut

1. Nekrosis avaskular

Persediaan darah pada kaput femoris sangat terganggu sebesar 10%

pada dislokasi pinggul, jika penangan reduks ditunda dan lebih beberapa

jam, maka angkanya meningkat jadi 40%

2. Dislokasi yang tak dapat direduksi tertutup apabila setelah beberapa

minggu dislokasi tidak diterapi sehingga diperlukan reduksi terbuka.

3. Osteoarthritis sekunder

Sering terjadi dan diakibatkan oleh : kerusakan kartilago pada saat

dislokasi atau adanya fragmen yang bertahan dalam sendi, nekrosis

iskemik pada kaput femoris.

Komplikasi dislokasi sentral

Pada tahap dini seperti fraktur lainnya mungkin terjadi cedera

viseral ataupun syok. Pada tahap lebih lanjut kekakuan sendi dengan atau

tanpa osteoartritis sering terjadi.

H. Prognosis

Pengakuan awal dan reduksi cepat yang cepat menghasilkan hasil

fungsional terbaik Namun, hasil jangka panjang mungkin buruk bahkan

43
dengan dislokasi sederhana dan pengurangan awal; satu studi menemukan

24% dari dislokasi sederhana memiliki hasil jangka panjang yang buruk

dengan kriteria klinis dan radiologis

Hip dislokasi terkait dengan fraktur acetabular atau kepala femoral

memiliki prognosis yang lebih buruk daripada yang lain. Dengan tidak

adanya cedera kepala femoral, dislokasi anterior memiliki prognosis jangka

panjang yang lebih baik daripada dislokasi posterior.

44
BAB III

KESIMPULAN

Dislokasi pinggul mengacu pada hilangnya kontak penuh

antara kepala femoral dan asetabulum; biasanya terjadi sebagai akibat dari

kongenital pada bayi dan trauma energi tinggi, karena kekuatan besar

diperlukan untuk memindahkan kepala femoralis dari asetabulum pada

orang dewasa Diklasifikasikan sesuai dengan arah perpindahan kepala

femoralis sehubungan dengan asetabulum dan disubklasifikasi oleh adanya

cedera terkait; kebanyakan kasus melibatkan dislokasi posterior dan dapat

disertai dengan fraktur bersamaan dari dinding posterior acetabulum

Saat presentasi, pasien mungkin tidak sadar atau menderita banyak

cedera; pasien yang sadar dapat melaporkan nyeri pinggul yang parah dan

ketidakmampuan untuk memindahkan ekstremitas yang terkena. Evaluasi

ekstremitas bawah dapat menunjukkan keberadaan dan jenis dislokasi

Dislokasi posterior: pinggul tertekuk, adduksi, dan diputar secara internal

dengan dislokasi posterior dan Dislokasi anterior: pinggul tertekuk,

diculik, dan diputar secara luar

Dislokasi pinggul didiagnosis berdasarkan riwayat, pemeriksaan

fisik, dan radiografi panggul dan panggul; CT abdomen dan panggul juga

dilakukan untuk menilai fraktur periartikular, fragmen intraartikular, dan

cedera terkait
45
Pengurangan mendesak kepala femoralis ke dalam asetabulum

diindikasikan untuk mengurangi risiko komplikasi seperti osteonekrosis

dan radang sendi .

Reduksi tertutup dengan sedasi atau anestesi yang memadai saat di

unit gawat darurat atau ruang operasi dianjurkan, asalkan tidak ada fraktur

leher femur terkait Reduksi bedah terbuka dianjurkan jika pinggul tidak

dapat direduksi dengan teknik reduksi tertutup, reduksi nonconcentric

karena fragmen intra-artikular, atau dislokasi dikaitkan dengan fraktur

leher femur atau fraktur asetabular besar atau tidak stabil.

46
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Apley, Graham dan Louis Solomon. 2007. System of Orthopaedics and Trauma.

Jakarta : Taylorandfrancisgroup. Edisi 10 hal 881-884

Abraham, Michael K.; Bond, Michael C, 2018. Anatomy of the Hip and Femur

Rosen’s Emergency Medicine: Concept and Clinical Practice. Philadelphia:

Elsevier

Moore, Keith L dan Anne M. R. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :

EGC.

Vincent dan Davis.2018. Zitelli dan Davis Atlat diagnosa fisik Anak. Elsevier.

Edisi 7 hal 806

Rasjad, Chairrudin. 2002. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsif Watampone

Steelei, Joseph R dan John R. Edwards. 1997. Traumatic Anterior Dislocation of

the Hip : Spectrum of Plain Film and CT Findings. Jurnal 1997.

http://www.ajronline.org

47

Anda mungkin juga menyukai