Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TUBERKULOSIS INTESTINAL

Disusun Oleh:

Romi Andriyana

112016304

Pembimbing:

Dr. Yusak, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

PERIODE 25 JUNI S/D 01 SEPTEMBER 2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang dapat mengenai hampir semua bagian tubuh
namun paling sering menginfeksi paru-paru. Pada awalnya penyakit ini secara primer menjangkiti
paru-paru, dan terbawa ke saluran cerna melalui sputum yang tertelan. Tuberkulosis yang
menginfeksi traktus intestinal dapat disebabkan oleh baik Mycobacterium tuberculosis ataupun
Mycobacterium bovis.

Mycobacterium tuberculosis, menginfeksi sekitar 1/3 populasi dunia dan membunuh


sekitar 3 juta pasien setiap tahunnya dan oleh sebab itu menjadi penyebab kematian yang paling
sering di seluruh dunia. Namun tidak semua individu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis.
Mycobacterium menyebabkan timbulnya penyakit apabila sistem imun melemah seperti pada usia
lanjut dan orang-orang dengan HIV positif. Proporsi tuberkulosis ekstrapulmonal lebih tinggi pada
orang-orang dengan AIDS, dibuktikan dengan adanya peningkatan frekuensi terjadinya
tuberkulosis intestinal yang dilaporkan pada individu ini. Orang dengan AIDS mempunyai
penurunan ketahanan respon imun seluler sel T terhadap invasi M.tuberculosis sehingga
perkembangan penyakit ini lebih cepat dibandingkan dengan orang yang sehat, memiliki lebih
banyak penyakit paru-paru yang berat dan lebih mudah menularkan bakteri M.tuberculosis ke
orang lain. Sebagai tambahan, M.tuberculosis yang resisten terhadap beberapa obat telah muncul
diantara pasien-pasien AIDS, orang-orang yang kontak erat dengan pasien AIDS dan petugas
kesehatan.

Ketika penyakit ini mengenai traktus intestinal, biasanya disebabkan oleh bakteri yang
menginfeksi paru-paru dan lokasi terseringnya adalah regio ileocecal. Alasan dari distribusi ini
dikarenakan keberadaan kelenjar limfe yang berlebih pada area tersebut, peningkatan stasis
fisiologis dan peningkatan rata-rata absorbsi di usus proksimal. Meskipun kondisi ini paling sering
terlihat di colon proksimal dan ileum, namun biasanya dapat ditemukan pula keterlibatan usus
segmental.

2
Berdasarkan data WHO pada tahun 2014, sebanyak 9,6 juta orang terkena Tuberkulosis
(TB) dan 1,5 juta orang meninggal akibat TB. Secara global, India dan Indonesia memiliki jumlah
kasus tertinggi berturut-turut sebanyak 23% dan 10% kasus global. Pada tahun 2014, Indonesia
menempati urutan kedua sebagai negara dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara setelah
Timor Leste. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 adalah 647 per 100.000 penduduk,
sedangkan insidennya ditemukan sebanyak 399 kasus per 100.000 penduduk.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

Anatomi Usus

Usus halus merupakan tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari pilorus sampai
ke sekum. Pada orang hidup panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi).
Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah rongga abdomen.1,2

Usus halus terdiri dari bagian-bagian berikut ini:

a. Duodenum
Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai jejunum, bentuknya
melengkung seperti kuku kuda. Pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan
duodenum merupakan tempat bermuaranya saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran
pankreas (duktus pankreatikus), tempat ini dinamakan papilla vateri. Dinding duodenum
mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar brunner untuk memproduksi getah
intestinum. Pemisahan duodenum dan jejunum ditandai oleh ligamentum treitz. Ligamentum ini
berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung).1,2
b. Jejunum
Jejunum bermula dari duodenojejunal angle, yang dimana didukung oleh lipatan peritoneal
yang dikenal sebagai ligamen Treitz. Panjangnya 2-3 meter dan berkelok-kelok, terletak di
sebelah kiri atas intestinum minor. Tidak ada garis pemisah yang jelas antara jejunum dan ileum,
jejunum menyusun 2/5 dari usus halus.1
Dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas (mesentrium) memungkinkan
keluar masuknya arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe, dan saraf ke ruang antara
lapisan peritoneum. Penampang jejunum lebih lebar, dindingnya lebih tebal, dan banyak
mengandung pembuluh darah.
c. Ileum
Ujung batas antara ileum dan jejunum tidak jelas, panjangnya ± 4-5 m. Ileum merupakan usus
halus yang terletak di sebelah kanan bawah berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang
orifisium ileosekalis yang diperkuat sfingter dan katup valvula ceicalis (valvula bauchini) yang

4
berfungsi mencegah cairan dalam kolon agar tidak masuk lagi ke dalam ileum. Ileum menyusun
3/5 dari sisanya.1,2

Gambar 1. Anatomi saluran pencernaan.

Mukosa jejunum relatif lebih tebal dengan plikae circulares yang menonjol; pembuluh
mesenterika membentuk hanya satu atau dua arcade dengan vasa recta yang panjang. Diameter
ileum lebih kecil dan memiliki dinding yang tipis; pembuluh mesenterika membentuk beberapa
arcade vascular dengan vasa recta yang pendek.

Gambar 2. Perbedaan pembuluh mesenterika pada jejunum dan ileum.

5
Usus halus kaya akan pembuluh darah, saraf dan pasokan limfatik. Semuanya melintasi
mesenterium. Dasar mesenterium menempel pada dinding perut posterior di sebelah kiri vertebra
lumbalis kedua dan berjalan oblique ke kanan dan inferior menuju ke sendi sacroiliac kanan.
Vaskularisasi usus halus, seluruhnya berasal dari arteri mesenterika superior kecuali untuk
duodenum proksimal divaskularisasi oleh percabangan aksis celiac. Arteri mesenterika superior
merupakan rangkaian dari anterior ke prosesus uncinatus pancreas, dan ketiga porsio duodenum,
dimana arteri ini memvaskularisasi pancreas, duodenum bagian distal, seluruh usus halus, colon
asendens dan transversal.1,2
Terdapat banyak vaskularisasi kolateral ke usus halus yang disediakan oleh arcade
vaskular yang mengalir di mesenterium. Drainase vena pada usus halus sejajar dengan
vaskularisasi arteri, darah mengalir ke vena mesenterika superior, yang bergabung dengan vena
lienalis di belakang coulum pancreas untuk membentuk vena portal.1

Gambar 3. Suplai darah ke jejunoileum dan duodenum distal sepenuhnya dari arteri mesenterika
superior, rangkaian anterior ke porsio ketiga dari duodenum. Arteri celiac memvaskularisasi
duodenum proksimal. (Adapted from Thompson JC: Atlas of Surgery of the Stomach, Duodenum,
and Small Bowel. St Louis, Mosby–Year Book, 1992, p 265.)

6
Persarafan usus halus dipersarafi oleh parasimpatik dan simpatik dari sistem saraf otonom,
yang selanjutnya memberikan saraf eferen ke usus kecil. Saraf parasimpatis berasal dari vagus,
melintasi ganglion celiac yang mempengaruhi sekresi, motilitas, dan mungkin semua aktivitas
usus. Serat vagal aferen ternyata tidak merangsang impuls nyeri. Serat simpatis berasal dari tiga
pasang saraf splanknik dan memiliki sel ganglion yang biasanya terdapat pada pleksus di sekitar
pangkal arteri mesenterika superior. Rangsangan motorik mempengaruhi motilitas pembuluh
darah dan mungkin juga motilitas dan sekresi usus. Nyeri di daerah usus secara umum dimediasi
melalui serat aferen visceral pada sistem simpatik. Limfatik dari usus kecil tercatat sebagai
simpanan utama jaringan limfatik, terutama di patch Peyer bagian distal usus halus.1,2
Secara mikroskopik, dinding usus halus dibagi atas empat lapisan yaitu lapisan serosa,
muskularis propria, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Lapisan serosa merupakan lapisan
terluar yang terdiri dari peritoneum visceralis dan parietal dan ruang yang terletak antara lapisan
visceral dan parietal dinamakan rongga peritoneum. Lapisan muscularis propria terdiri dari dua
lapisan otot yaitu lapisan otot longitudinal yang tipis dan lapisan otot sirkular yang tebal. Ganglion
sel berasal dari pleksus Mesenterica (Auerbach) yang berada di antara lapisan otot dan
mengirimkan rangsangan pada kedua lapisan tersebut. Lapisan submucosa terdiri dari lapisan
jaringan konektif fibroelastis yang berisi pembuluh darah dan saraf. Lapisan mukosa dibagi
menjadi 3 lapisan yaitu mukosa muscularis, lamina propria dan lapisan epitel. Lapisan mukosa dan
submukosa membentuk lapisan sirkular yang dinamakan valvula koniventes (Lig.Kerckringi) yang
menonjol ke dalam sekitar 3 mm.2

Gambar 4. Lapisan-lapisan pada dinding usus halus.

7
Struktur Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekitar 1,5
m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar
daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya
semakin kecil. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir, lapisan otot yang
memanjang, dan jaringan ikat. Ukurannya lebih besar daripada usus halus, mukosanya lebih halus
daripada usus halus dan tidak memiliki vili.1,2
Serabut otot longitudinal dalam muskulus ekterna membentuk tiga pita, taenia coli yang
menarik kolon menjadi kantong-kantong besar yang disebut dengan haustra. Dibagian bawah terdapat
katup ileosekal yaitu katup antara usus halus dan usus besar. Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk
merespon gelombang peristaltik sehingga memungkinkan kimus mengalir 15 ml masuk dan total aliran
sebanyak 500 ml/hari.1

Bagian-bagian usus besar terdiri dari:


a. Sekum adalah kantong tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal apendiks. Pada
sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Apendiks
vermiform, suatu tabung buntu yang sempit yang berisi jaringan limfoit, menonjol dari ujung
sekum.
b. Kolon adalah bagian usus besar dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga divisi diantaranya
yaitu:
- Kolon ascenden merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati di sebelah kanan dan
membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
- Kolon transversum: merentang menyilang abdomen di bawah hati dan lambung sampai ke tepi
lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah fleksura splenik.
- Kolon desenden : merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid
berbentuk S yang bermuara di rektum.
c. Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12-13 cm. Rektum berakhir
pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.

8
Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh
hipersensitifitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Pada awalnya penyakit ini
secara primer menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (ekstraparu),
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.2,3
Berdasarkan tingkatan keparah TB ekstra pulmonal terbagi menjadi dua bagian, diantaranya:
- TB ekstrapulmonal ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
- TB ekstrapulmonal berat, meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran, kemih dan alat kelamin.

Etiopatogenesis dan Transmisi


Infeksi tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, morfologi dari bakteri
ini adalah memiliki bentuk batang lurus atau melengkung, bersifat aerobik, tidak berspora, dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Dinding bakteri ini
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel ialah
asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding
sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur
dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan
asam-alkohol.3,4
Infeksi TB umumnya melalui inhalasi dan menyebabkan TB paru yang merupakan
manifestasi klinis tersering dibandingkan organ lain. Bakteri pada saluran cerna dapat berasal dari
bakteri yang tertelan, penyebaran dari organ yang berdekatan, maupun melalui peredaran darah.
Usus dan peritoneum dapat terinfeksi melalui empat mekanisme, yaitu menelan sputum yang
terinfeksi, penyebaran lewat darah dari TB aktif atau TB milier, konsumsi susu atau makanan yang
terkontaminasi dan penyebaran langsung dari organ yang berdekatan. Reaktivasi setelah

9
penyebaran infeksi melalui darah mungkin terjadi beberapa tahun setelah infeksi. Sementara invasi
langsung dari dinding usus mungkin terjadi setelah konsumsi susu yang tidak dipasterurisasi yang
dapat dari sumber penularan dari TB zoonosis yang disebabkan oleh mycobacterium bovis. atau
konsumsi basil dari kavitas paru.3,4

Gambar 5. Pewarnaan Ziehl-Neelsen memperlihatkan Myobacterium tuberculosis.

Epidemiologi

TB sampai dengan saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di Dunia ini, walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak
negara sejak tahun 1995. Data laporan WHO tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012, dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif.
Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika.3

Satu dari lima pasien TB merupakan pasien TB ekstra paru. Bentuk yang paling sering
ditemukan adalah TB kelenjar, pleura, perikardial dan meningitis TB. TB abdominal atau TB usus
merupakan TB ekstraparu keenam yang paling sering terjadi. Prevalensi TB ekstra-paru meningkat
pada penderita respon imun yang rendah (AIDS). TB Abdominal di Afrika Barat dan Turki
menyerang pada dewasa muda dan terutama pada wanita. Pada sebuah penelitian di Zambdia dari
31 pasien positif HIV dengan tanda-tanda TB abdominal ditemukan sebanyak 22 pasien wanita
dengan usia 18-46 tahun.3,4

TB usus merupakan penyakit yang umumnnya terjadi pada negara-negara dengan sosial
ekonomi yang rendah di Dunia. India merupakan negara dengan prevalensi kasus TB tertinggi,
disusul Cina kemudian Afrika Selatan. Di dunia terjadi peningkatan prevalensi TB usus sebesar

10
1,1 % pertahun, laju peningkatan ini terjadi pada pasien dengan imunokompromised. Di Negara-
negara maju seperti Amerika serikat juga mengalami peningkatan kasus TB terutama pada imigran
dan pasien-pasien mengalami AIDS. Selain itu di Eropa misalnya inggris juga mengalami
peningkatan kasus TB usus selama 20 tahun terahir, khususnya london dan pada populasi imigran,
serta pasien-pasien dengan yang mengalami resistensi Obat. Berdasarkan data tahun 2012, di
Dunia kasus TB MDR sekitar 450.000 kasus dan terbanyak kasusnya di India, cina dan Rusia.3,4

Patofisiologi

Ada beberapa cara yang dapat melibatkan tuberkulosis abdome, diantaranya, pertama
adalah basil tuberkulum mungkin masuk ke saluran usus melalui konsumsi terinfeksi susu atau
sputum. Lapisan mukosa saluran pencernaan bisa terinfeksi basil dengan pembentukan epiteloid
tuberkel di jaringan limfoid dari submukosa. Setelah 2-4 minggu, nekrosis caseous dari tuberkel
menyebabkan ulserasi mukosa di atasnya yang nantinya bisa menyebar lapisan yang lebih dalam
dan ke limfnoda yang berdekatan dan menjadi peritoneum. Jarang, bacilli ini bisa masuk ke dalam
sirkulasi portal atau ke arteri hepatika untuk melibatkan solid organ seperti hati, pankreas dan
limpa.3-5

Jalur kedua adalah penyebaran hematogen dari fokus tuberkular dari di tempat lain di tubuh
ke organ padat perut, ginjal, limfnoda dan peritoneum. Jalur ketiga termasuk penyebaran langsung
ke peritoneum dari berdekatan yang terinfeksi fokus, termasuk tuba fallopi atau adneksa, atau
abses psoas, sekunder untuk spondilitis tuberkulosis. Akhirnya itu bisa menyebar melalui saluran
limfatik dari nodus yang terinfeksi.3-5

Manisfestasi Klinis

Manisfestasi klinis dan temuan patologi anatomi TB intestinal sangat bervariasi.


Manifestasinya dapat tidak spesifik dan menunjukkan kemiripan dengan gangguan gastrointestinal
lain, seperti penyakit Crohn, colitis ulseratif, limfoma, enteritis amuba, actinomikosis dan
enterokolitis Yersinia sp atau bahkan keganasan pada kolon. Gejala klinis dapat berupa gejala akut
maupun kronik intermiten. Pasien dengan TB peritoneum biasanya bermanifestasi sebagai TB
gastrointestinal, ditemukan pada individu berusia <40 tahun dan frekuensinya lebih besar pada
perempuan.3,4

11
Pada umumnya, pasien datang dengan keluhan nyeri perut, diare dan penurunan berat
badan. Keluhan nyeri abdomen dapat ditemukan pada TB intestinal dan penyakit Crohn’s. Namun,
jika pada anamnesis didapatkan data pasien dari daerah endemis TB, riwayat imunosupresi dan
ada keluarga yang terdiagnosis TB atau ditemukan TB ditempat lain, maka kecurigaan lebih
mengarah ke TB.3,4

Gambaran klinis TB intestinal meliputi: 1) gejala konstitusi seperti demam, anoreksia dan
penurunan berat badan; 2) gejala akibat ulserasi mukosa seperti diare, hematoskezia dan
malabsorpsi; 3) Gejala terkait keterlibatan transmural seperti nyeri perut, tegang dan muntah akibat
obstruksi lumen, teraba benjolan, perforasi usus, fistula perianal dan intestinal; 4) manifestasi
ekstraintestinal seperti artritis, peritoneum dan kelenjar limfe; 5) riwayat kontak dengan TBC.
Penelitian oleh Mukewar, dkk menyebutkan perubahan pola defeksi dapat berupa diare atau diare
yang bergantian dengan konstipasi.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan abdomen (37,3%), doughy abdomen, massa
abdomen (13,4%), limfadenopati (1,5%), hepatomegali dan asites. Organ yang paling sering
terlibat adalah ileum terminal karena prevalensi kelenjar getah bening di daerah tersebut tinggi dan
waktu kontak isi usus halus lebih lama. Lesi yang paling sering ditemukan adalah ulkus dan
penyempitan lumen paling sering ditemukan di usus halus. Tuberkulosis usus besar jarang
ditemukan dan diagnosisnya mirip dengan tumor kolon, inlammatory bowel disease, kolitis
iskemik atau kolitis infeksi.3-5

Lokasi

Lokasi TB saluran cerna yang paling umum ditemui adalah ileum atau ileosacecal. Hal ini
disebabkan karena tingginya kelenjar limfoid dan kontak yang lama dengan usus kecil.
Mikroorganisme berpenetrasi ke mukosa dan jaringan limfoid di submukosa dan kemudian terjadi
reaksi inflamasi yang diikuti limfangitis, edarteritis, granuloma, nekrosis perkijuan, ulserasi
mukosa dan fibrotik jaringan. Pada kolon, lesi yang tersering adalah sisi kanan (kolon asenden dan
kolon tranversum). Beberapa studi menemukan bahwa lesi tersering adalah di kolon transversum
dengan lesi dominan striktur, namun penelitian hanya berdasarkan radiologis bukan endoskopis.4

Chong dan Lim menampilkan data prevalensi TB saluran cerna dari berbagai literatur dan
frekuensi kasus dari data lokal dalam kurun waktu 1997- 2004 seperti tampak pada tabel berikut:

12
Tabel 1. Distribusi anatomis tuberkulosis pada salurana cerna.

Pendekatan Diagnosis

Diagnosis memerlukan kecurigaan yang tinggi. Sebaiknya ketika suatu lesi pulmonal dapat
diidentifikasi maka perlu dipertimbangkan adanya tuberkulosis intestinal. Tetapi hanya sekitar
25% TB Abdomen yang disertai dengan TB paru. Problem diagnostik diakibatkan sulitnya
konfirmasi TB saluran cerna melalui metode bakteriologik. Klinisi yang handal mungkin
menegakkan diagnosis yang tepat pada setengah pasien berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala
saja. Sementara itu, pemeriksaan radiologis, endoskopik, histopatologik dan mikrobiologik dapat
mendukung diagnostik sampai 80%.4,5

Diagnosis pasti TB kolon ditegakkan bila dari biopsi ditemukan granuloma dan atau basil
tahan asam. Biopsi dari lesi hanya dapat mendeteksi 60-80% penyakit. Pemeriksaan diagnostik
yang membutuhkan waktu lama seperti pewarnaan basil tahan asam dari biopsi atau sputum, kultur
Mycobacterium tuberculosis, uji Mantoux dan rontgen toraks sering negatif pada TB ekstraparu.
Beberapa kepustakaan mengatakan bahwa pemeriksaan diagnostik yang direkomendasikan adalah
kolonoskopi dan biopsi. Ada beberapa kriteria diagnostik klinis untuk TB intestinal yang perlu

13
diperhatikan. Beberapa kriteria tersebut yaitu: 1) kultur positif jaringan atau kelenjar getah bening
2) istopatologik menunjukkan menunjukkan batang tahan asam M. tuberculosis di lesi 3)
ditemukan tuberkel dan nekrosis perkijuan dari gambaran histologik 4) gambaran endoskopi dan
histologik sesuai dengan infeksi TB dan 5) respon baik dengan terapi OAT.4,5

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan non-spesifik pada tuberkulosis abdomen mencakup laju endap darah,
anemia normokrom normositer dan hipoalbumin. Pemeriksaan tuberkulin mempunyai nilai
diagnostik yang terbatas dan memberikan hasil positif yang bervariasi mulai dari 30%
sampai 100% dalam rangkaian yang berbeda. Pasien dengan tuberkulosis abdomen secara
umum memiliki hasil tes positif lemah dibandingkan dengan pasien dengan tuberkulosis
paru-paru yang aktif. Soluble Antigen Ab (SAFA) test dan enzyme-linked immunoabsorbent
assay (ELISA) yang biasanya positif pada tuberkulosis paru-paru juga positif pada 83%
dan 94% pada pasien yang diduga dengan tuberkulosis abdomen.4,5
b. Pemeriksaan Histologi
Secara histologi, terdapat perpaduan beberapa granuloma yang terdiri dari sel-sel
epiteloid yang dikelilingi suatui zona fibroblast dan limfosit yang biasanya mengandung
sel Langerhans raksasa. Nekrosis perkejuan biasanya terjadi di pusat tuberkel. Jumlah
tuberkel ini tergantung dari kepekaan pasien dan vitrulensi organisme.4

Gambar 6. Granuloma pada tuberkulosis memperlihatkan nekrosis luas.

14
Pada kasus yang dicurigai sebagai tuberkulosis, diagnosis dipastikan melalui pewarnaan
histologi, apusan dan kultur batang tahan asam. Basil tuberkel dapat dilihat pada fase eksudatif
awal dan fase perkejuan dapat akan sulit menemukan basil tuberkel pada fase fibrokalsifikasi
lanjut.5

Berdasarkan pemeriksaan patologis, tuberkulosis intestinal diklasifikasikan menjadi:

a. Bentuk tuberkulosis ulseratif, terlihat pada kira-kira 60% pasien. Ulkus superficial multipel
terdapat di permukaan epitel. Hal ini dipertimbangkan sebagai bentuk aktif penyakit tersebut.
b. Bentuk tuberkulosis hipertropik, terlihat pada kira-kira 10% pasien dan terdiri dari penebalan
dinding usus dengan pembentukan jaringan parut, fibrosis dan massa yang keras menyerupai
karsinoma.

Bentuk tuberkulosis ulserohiperetropik, yang terlihat pada 30% pasien. Pasien ini memiliki
kombinasi bentuk ulseratif dan hipertrofik.

Pemeriksaan Imaging
Rontgen toraks mungkin dapat membantu diagnosis TB intestinal, namun hasil yang
normal tidak menyingkirkan kemungkinan TB intestinal. Hanya 20% TB paru aktif yang dikaitkan
dengan TB saluran cerna. Penggunaan fluorescent untuk diagnosis TB usus meningkatkan
sensitifitas namun spesifisitas masih rendah. Pemeriksaan Barium enema akan menunjukkan ulkus
segmental, ketebalan mukosa, stenosis dan deformitas katup ileosekal. Terminal ileum akan
menyempit (fleischner sign). Pemeriksaan usus kecil dan barium enema menunjukkan hasil high
riding caecum dengan atau tanpa string like lesion dari ileum terminal.4,6,7
Pemeriksaan computer tomography scan (CT scan) mungkin menunjukkan inflitrasi
omentum, peritoneum dan mesenteium pada penebalan lapisan peritoneum dan adanya cairan
peritoneum yang berdensitas tinggi. Gambaran yang paling umum ditemui dari CT scan adalah
penebalan dinding sirkumferensial saekum dan terminal ileum serta asimetris dari ileosaekal.4,7

15
a b

Gambar 7. Barium enema menunjukkan striktur di katup ileo-cecal dan kolon ascenden (a). CT
scan TB intestinal menujukkan lokasi obstruksi (b).

Pullimod, dkk, membedakan gambaran CT scan untuk membedakan penyakit Crohn


dengan TB intestinal seperti:4

Tabel 2. Perbedaan gambaran ct-scan pada TB intestinal dengan penyakit crohn disease.

USG abdomen mungkin menunjukkan penebalan usus yang konsentrik dan regular. Foto
polos abdomen tidak memberikan informasi yang bermakna karena gambaran obstruksi atau
perforasi tidak khas. Selain itu, gambaran klasifikasi nodus mesenterikus juga tidak memastikan
diagnosis jika klinis tidak mendukung.

16
Endoskopi
Endoskopi gastrointestinal ileokolonoskopi, enteroskopi dan gastroduodenoskopi berperan
penting dalam membedakan TB intestinal dengan penyakit Crohn. Endoskopi memungkinkan
visualisasi langsung dan biopsi lesi. Lesi makroskopik yang paling sering ditemukan disebelah
kanan (caecum dan ascending colon) atau didaerah ileosaekal yang merupakan lokasi tersering
terkena infeksi dan kolonoskopi dengan intubasi ileum retrograd (ileokolonoskopi) adalah
pemeriksaan pilihan. Ileokolonoskopi ini, pada pasien dengan dugaan atau terbukti penyakit
Crohn, dibandingkan dengan video kapsul enteroskopi menunjukkan sensitifitas 67% vs 83% dan
spesifisitas 100% vs 53%.4,7,8

Ballon assisted dan spiral enteroskopi adalah modalitas pilihan untuk mengevaluasi usus
kecil karena kemampuan biopsi dan terapeutik. Biospi usus kecil penting karena lesi ulseratif tidak
dapat dibedakan hanya dari gambaran endoskopi. Biopsi dari mukosa kolon atau gastroduodenal
mukosa yang tampak normal mungkin dapat menjadi kunci diagnostik pada pasien yang diduga
menderita penyakit Crohn. Skip lession lebih umum ditemui pada pasien penyakit Crohn dibanding
TB intestinal (66% vs 17%), begitu juga dengan ulserasi aftosa, ulserasi linier, ulserasi superfisial
dan cobblestone mukosa kolon, yaitu masing-masing 54% vs 13%, 30 % vs 7%, 51% vs 17%) dan
17% vs 0%.7

Sementara itu, nodularitas kolon lebih banyak ditemukan pada TB intestinal (24.5% vs
49%). Penggunaan kapsul endoskopi untuk diagnosis TB intestinal jarang digunakan karena tidak
mampu untuk 17ultip. Namun, beberapa kasus TB intestinal yang diperiksa melalui kapsul
endoskopi menujukkan gambaran 17ultiple ulkus mukosa yang scattered, pendek, oblik atau
tranversal dengan dasar nekrotik pada jejunum dan ileum. Sulit untuk membedakan TB intestinal
dengan penyakit Crohn hanya dari gambaran kapsul endoskopi saja. Endoskopi juga digunakan
untuk evaluasi lesi TB intestinal pasca terapi.

17
a b c

Gambar 8. (a) Gambaran kolonoskopi menunjukkan lesi ulsero-hipertropik di caecum dengan


multipel lesi nodular dan penebalan katup ileosaecal dengan perluasan ke colon ascenden.
(b)Lesi ulserasi dengan slough nekrotik (c) Nodul proksimal katup ileosaecal.

Pada penyakit Crohn sering ditemukan granuloma di mukosa dengan keterlibatan kurang
dari 4 segmen. Lesi dikelilingi mukosa yang tampak normal dan tidak tampak ulser aftosa, kecuali
pada pasien yang sebelumnya telah didiagnosis penyakit Crohn. Lesi dapat meliputi lesi anorektal.
Ulkus longitudinal, ulkus aftosa, fistula dan gambaran cobblestone. Ulkus yang dalam, fisura,
longitudinal, khas untuk penyakit Crohn, ulkus longitudinal yang lebih kecil yang dipisahkan oleh
edema atau mukosa yang tidak terlibat dapat membentuk gambaran cobblestone.,4,8

Pada TB saluran cerna granuloma sering ditemukan di submukosa. Gambaran lesi per
endoskopi dapat berupa liner, fisura, ulkus transversal, sirkumferens atau massa polipoid. Mukosa
sekitar lesi dapat tampak abnormal, eritema, edema, iregular atau nodul. Tidak seperti pada
penyakit Crohn, pada TB saluran cerna umumnya lesi bersifat multifokal. Lesi makroskopik TB
saluran cerna dari endoskopik dapat berupa ulserasi, nodul, polip dan penyempitan lumen.4

Selain itu, dapat juga ditemui gambaran multipel fibrous band irregular. Beberapa literatur
menyebutkan bahwa ulkus kolon berbentuk linear atau transversal, namun Yusuf, dkk.16
menemukan bentuk ulkus yang bulat sepanjang kolon. Gambaran ulkus atau kolitis pada TB
intestinal pada umumnya segmental, namun pada kondisi yang jarang dapat ditemui gambaran
colitis difus 21 Keterlibatan 3 atau lebih segmen intestinal lebih mengarahkan ke diagnosis
penyakit Crohn, sedangkan lesi TB intestinal lebih terlokalisasi. Chong, dkk.5 membagi lesi TB
saluran cerna menjadi 3 kategori, yaitu tipe ulseratif (60%), hipertrofik (10%) dan lesi seperti
massa atau hipertrofik menyerupai ulkus (30%). Ulserasi dan penyempitan lumen adalah lesi yang

18
paling sering ditemui. Lesi ulseratif banyak ditemukan pada pasien dengan defisiensi sistem imun,
sedangkan lesi hipertrofik ditemukan pada pasien dengan sistem imun baik. Lesi hipertrofik
menyerupai ulkus paling banyak ditemukan pada TB ileosaekal dibanding TB pada segmen usus
lain.

Kultur

Waktu yang dibutuhkan untuk kultur M. tuberculosis dengan BACTEC adalah 2-3 minggu
namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan kultur M. tuberculosis dari biopsi spesimen mahal dan
hasilnya dapat bervariasi. Sebuah studi menunjukkan bahwa dari 62 pasien tidak ada yang
menujukkan kultur positif. Sementara itu, studi lainnya menunjukkan hanya 3 dari 50 pasien yang
menunjukkan hasil kultur positif. Oleh karena itu, penelitian oleh Mukewar, dkk.3 tidak
melakukan pengambilan kultur spesimen.4

Gambar 9. Management Algoritma Tuberkulosis Abdominal.7

19
Tatalaksana

Terapi untuk TB intestinal meliputi terapi farmakologis OAT dan bedah. Pilihan pertama
untuk terapi TB intestinal adalah OAT. Ketika pasien diduga TB intestinal, maka OAT dapat
diberikan dosis penuh. Sementara itu, pembedahan adalah pilihan kedua untuk mengatasi TB
intestinal dengan komplikasi. Sulitnya diagnostik menimbulkan kesulitan untuk menentukan pada
kondisi apa terapi TB dimulai. Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa memulai terapi TB
dilakukan jika kecurigaan klinis sangat mendukung ke arah TB intestinal. Respon terhadap terapi
anti TB digunakan sebagai kriteria untuk konfirmasi TB saluran cerna.4,7,8

- Farmakologis
Semua kasus yang didiagnosis sebagai TB gastrointestinal harus menerima
setidaknya 6 bulan terapi antituberkulosis yang mencakup dua bulan awal dengan
isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol tiga kali seminggu. Meskipun 6 bulan
regimen pengobatan dianjurkan sesuai pedoman program TB nasional yang telah direvisi,
tetapi banyak dokter yang memperpanjang regimen pengobatan selama 9 atau 12 bulan.
Namun tidak ada perbedaan yang terlihat dalam efektivitas antara 6 bulan pengobatan
regimen antituberkulosis dengan rifampisin, isoniazid untuk 2 bulan diikuti oleh rifampisin
dengan isoniazid untuk 4 bulan (seri 6R) dan 12 bulan rejimen standar etambutol yang
dilengkapi dengan streptomisin untuk 2 minggu.4,9
Park, dkk. menyebutkan bahwa terapi 3 bulan anti TB cukup untuk melihat respon
terapi dan membedakan TB kolon dengan penyakit Crohn. Mayoritas pasien menunjukkan
perbaikan klinis setelah terapi 4-6 minggu setelah terapi anti TB. Sementara itu, Lee, dkk.
menyatakan perbaikan tampak setelah terapi minimal 2 bulan dan perbaikan kolonoskopi
ditemukan pada 93% yang dilakukan kolonoskopi ulang setelah terapi OAT 3 bulan. Oleh
karena itu, panduan di Korea merekomendasikan kolonoskopi dilakukan ulang setelah 2-3
bulan terapi OAT. Park, dkk memberikan terapi OAT 4 regimen selama 10 bulan dengan
hasil yang baik. Kombinasi isoniazid, pirazinamid, rifampicin, etambutol dan streptomicin
diberikan selama 9-12 bulan dan tidak ditemukan relaps selama pengamatan 425±120 hari
pada 94%. Tujuh pasien yang dilakukan kolonoskopi ulang setelah 2-3 bulan terapi
mengelami ulkus sembuh dan perbaikan parameter laboratorium lain.4

20
Terapi 6 bulan untuk TB intestinal direkomendasikan karena tidak terdapat
perbedaan bermakna antara terapi 6 bulan dibandingkan 9 bulan. Terapi yang lebih lama
mungkin dipertimbangkan pada pasien dengan komplikasi.
Kadang diagnosis TB intestinal sulit ditegakkan dan baru diketahui setelah
pembedahan. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan terapi empirik OAT walaupun
diagnosis pasti belum tegak. Hal ini dilakukan terutama pada pasien dari daerah endemik.
Reaksi paradoksikal dapat terjadi selama pemberian OAT. Reaksi ini didefinisikan sebagai
perburukan klinis atau radiologis pada pasien dengan lesi TB. Reaksi ini juga dapat berupa
terjadinya lesi baru pada pasien yang awalnya memberikan respon dengan terapi.4,9
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pembedahan merupakan pilihan kedua untuk
mengatasi TB usus dengan komplikasi. Komplikasi serius yang mungkin terjadi adalah
obstruksi usus (15-60%), fistula (25%) dan perforasi (15%) dengan angka kematian 30-
40%. Komplikasi lainnya yaitu dapat berupa perdarahan masif meskipun jarang terjadi.
Pasien dengan keluhan perut walaupun telah diberikan terapi OAT harus dicurigai
obstruksi intestinal subakut. Hal ini harus dideteksi dini dan dipertimbangkan tindakan
pembedahan untuk mengurangi komplikasi akibat perforasi. Namun demikian, tidak
seperti TB paru, definisi sembuh untuk TB ekstra paru sulit didefinisikan dan belum ada
kriteria baku untuk mengakhiri terapi.9
- Pembedahan
Perawatan bedah dilakukan untuk mengelola komplikasi seperti obstruksi,
perforasi dan perdarahan masif tidak merespons terapi konservatif. Strictures dikelola oleh
stricturoplasty atau resection dari segmen yang terlibat usus. Perforasi dikelola oleh reseksi
dan anastomosis daripada dengan penutupan sederhana sehingga dapat dihindari formasi
fistula. Bypass surgery seperti enteroenterostomy, Kolostomi ileotransverse tidak
dianjurkan untuk lesi obstruktif karena dapat menyebabkan pembentukan blind loop yang
mengarah ke obstruksi, fistula, malabsorpsi dll. Tindakan operatif pada TB gastrointestinal
terdiri dari tiga jenis, diantaranya adalah:2,4,9
a. Tipe pertama adalah operasi yang dilakukan untuk memotong segmen usus yang
terlibat seperti pada kasus enteroenterostomi atau kolostomi ileotransversa. Operasi ini
biasanya dipersulit oleh adanya sindrom blind loop, pembentukan fistula dan

21
munculnya infeksi yang berulang pada segmen usus yang tersisa oleh sebab itu
tindakan pembedahan ini tidak sering dilakukan.
b. Tipe kedua adalah tindakan pembedahan yang melibatkan reseksi radikal seperti
hemikolektomi dan dapat dilakukan pengobatan bersamaan dengan pemberian obat
antituberkulosis sehingga dapat sepenuhnya mengobati penyakit ini. Operasi ini juga
dipersulit oleh status kurang gizi pasien dari sebagian besar pasien dengan tuberkulosis
gastrointestinal. Selain itu dapat terjadi lesi secara luas pada tempat pembedahan dan
reseksi radikal tidak dapat dilakukan pada semua kasus.
c. Tipe ketiga biasanya bersifat konservatif seperti strikturplasti pada kasus-kasus striktur
yang menyebabkan lebih dari 50% luminal compromise. Jenis-jenis operasi konservatif
yang biasanya dilakukan saat ini. Perforasi yang diakibatkan oleh TB usus biasanya
diterapi dengan reseksi segmen usus yang teribat dengan anastomosis primer.

Sekarang telah dibuktikan oleh beberapa penelitian, bahwa obat antituberkulosis saja dapat
meringankan obstruksi lesi usus.4

22
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis intestinal adalah manifestasi TB ekstrapulmonal terbanyak keenam.


Diagnostik yang akurat penting agar tatalaksana OAT dapat segera diberikan. Sulitnya diagnosis
TB intestinal disebabkan karena gambaran klinis yang tidak spesifik. Sampai saat ini tidak ada
metode tunggal yang dapat mendeteksi TB intestinal secara tepat dan akurat, sehingga dibutuhkan
kombinasi penilaian klinis dan pemeriksaan berbagai modalitas. Pasien yang telah didiagnosis TB
intestinal, diberikan terapi OAT dan pertimbangan bedah jika mengalami komplikasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Williams, Lippincot and Wilkins. Anatomy & Physiology Made Incredibly Visual! 1st
Edition. Wolters Kluwer Health. 2009.
2. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, Prasetyono TOH, Rudiman R, dkk. Buku ajar ilmu bedah.
Edisi IV. Vol.3. Jakarta: EGC; 2014.
3. Kemenkes RI. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tuberkulosis. Jakarta: 2013.
4. Murwaningrum A, Abdullah M, Makmun D. Pendekatan diagnosis dan tatalaksana
tuberkulosis intestinal. Jakarta: Jurnal Penyakit Dalam Indonesia; 2016. Vol. 3. No. 2.
5. Rathi P, Gambhire P. Abdominal tuberculosis. Journal of the association of physicians of
india; 2016.
6. Sharma R. Abdominal Tuberculosis. Imaging Science Today 2009: 146. Available from:
http://www.imagingsciencetoday.com/node/146.
7. Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/376015-overview#a4, diunduh pada
tanggal 20 Juli 2018.
8. Chong, VH & Lim, KS. Gastrointestinal tuberculosis. Singapore: Med J; 2009.
9. Debi U, Ravisankar V, Prasad KK, Sinha SK, Sharma AK. Abdominal tuberculosis of the
gastrointestinal tract: revisited. World Journal of Gastroenterology; 2014.

24

Anda mungkin juga menyukai