Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Oleh
Eka Mulianingsih NIM. 1810029025
Izzaty Firdawati NIM. 1810029005
Pembimbing
dr. Moriko Pratiningrum, Sp. THT-KL
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Abses Septum Nasi”. Referat ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Moriko Pratiningrum,
Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan kepada
penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih terdapat banyak
ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi para
pembaca.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.2 Tujuan
Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang
“Abses septum nasi” meliputi anatomi, definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi
klinik, diagnosis, diagnosis banding serta diharapkan dokter muda dapat mengetahui
penatalaksanaan abses septum nasi sehingga dapat tertangani segera dan tidak
menimbulkan kecacatan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 1. Anatomi Septum Nasi (Hwang & Abdalkhani, 2009)
2.1.1 Vaskularisasi
Kavum nasi mendapat suplai darah dari arteri etmoidalis anterior dan
posterior dan arteri sfenopalatina. Bagian anterosuperior septum nasi dan dinding
lateral memperoleh perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan posterior,
sedangkan bagian posteroinferior septum nasi memperoleh perdarahan dari arteri
sfenopalatina dan arteri maksilaris interna. Arteri etmodialis anterior dan posterior
adalah cabang dari oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna. Arteri
etmoidalis anterior adalah pembuluh darah kedua terbesar yang memperdarahi
hidung bagian dalam, yang memperdarahi kedua bagian antero-superior dari septum
dan dinding lateral hidung. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arteri (Hwang & Abdalkhani, 2009; Snell, 2006).
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor, yang disebut dengan pleksus Kiesselbach (Damayanti, Endang, Retno 2009).
6
2.1.2 Inervasi
Persarafan sensoris hidung dipersarafi oleh nervus oftalmikus dan nervus
maksilaris yang merupakan bagian nervus kranialis V. Bagian oftalmikus terbagi ke
etmoid anterior dan posterior dan cabang infratrochlear. Nervus etmoid anterior
melewati lamina kribiformis dan masuk bersamaan dengan arteri etmoid anterior
melalui foramen etmoid anterior, yang setelah itu terbagi ke cabang medial dan
lateral. Cabang medial mempersarafi septum nasi dan cabang lateral ke dinding
lateral hidung. Nervus etmoid posterior melewati lamina kribiformis masuk ke
hidung bersamaan dengan arteri etmoid posterior melalui foramen etmoid posterior
mempersarafi septum nasi. Nervus maksilaris memasuki hidung melalui foramen
sfenopalatina dan melewati bagian anterior dari tulang sfenoid untuk mencapai
septum nasi sebagai nervus nasopalatina dan kemudian menuju kanal insisivus
(Hwang & Abdalkhani, 2009).
Bagian anterosuperior hidung bagian dalam dipersarafi oleh nervus etmoidalis
anterior dan posterior, sedangkan cabang dari nervus maksilaris dan ganglion
pterigopalatina mempersarafi bagian posterior dan sensasi pada bagian anteroinferior
septum nasi dan dinding lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
sensoris dari nervus maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari nervus Petrosus
profundus. Disamping mensarafi hidung, ganglion sfenopalatina mempersarafi
kelenjar lakrimalis dan palatum (Snell, 2006).
7
2.2 Etiologi dan Patogenesis
Penyebab abses septum nasi tersering adalah trauma hidung (75%) akibat
kecelakaan, perkelahian, olah raga ataupun trauma yang sangat ringan sehingga tidak
dirasakan penderita seperti mengorek kotoran hidung atau mencabut bulu hidung.
Dispenza, memberikan istilah pada supurasi septum akibat trauma sebagai abses
septum primer, sedangkan penyebab lainnya dianggap sebagai abses septum nasi
sekunder. Abses septum nasi dapat terjadi secara spontan pada pasien sindrom
imunodefisiensi yang didapat (Budiman, 2013).
Abses septum nasi juga sering terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh
yang menurun. Shah melaporkan adanya kasus abses septum nasi yang tidak
disebabkan trauma pada pasien dengan daya tahan tubuh yang menurun seperti pada
pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan pasien dengan
diabetes melitus (Shah, Murr & Lee, 2000).
Penyebab lain yang dapat menyebabkan abses septum nasi adalah
pembedahan, benda asing, penyebaran dari sinusitis etmoid dan sinusitis sfenoid,
infeksi gigi atau furunkel nasal. Lo (2004), melaporkan sekitar 7% abses septal nasi
merupakan komplikasi dari septomeatoplasti (Haryono, 2006). Infeksi yang luas dan
invasif dari kelenjar sebasea atau folikel rambut, yang melibatkan jaringan subkutan
membentuk furunkulosis dan vestibulitis dapat menyebabkan abses septum (Bestari,
2016).
George melaporkan abses septum nasi sekunder yang disebabkan pansinusitis
tanpa ada nya riwayat trauma atau pun daya tahan tubuh yang menurun (George, et
al, 2007) . Bakteri yang sering dijumpai dari hasil kultur abses septum nasi adalah
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Ada juga yang melaporkan
Group A beta hemolytic streptococcus dan Haemophilus Influenza terkadang juga
didapati dari hasil kultur (Lopez, 2000). Haemophilus Influenza lebih sering terjadi
pada pasien anak. Patogen yang jarang seperti Pseudomonas juga pernah
dilaporkan. Lo melaporkan sebuah kasus abses septum nasal yang disebabkan oleh
Klebsiella pneumoniae akibat komplikasi operasi (Lo, 2004).
Abses septum nasi hampir selalu didahului oleh hematoma septum nasi yang
terinfeksi. Hematoma septum nasi terjadi akibat trauma pada septum nasi yang
merobek pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum nasi. Jika
mukosa tetap intak, ini akan menjadi terbentuknya hematoma. Jika cedera cukup
berat sampai menyebabkan fraktur kartilago septum, darah sering melewati bagian
8
sisi lain dan menyebabkan hematoma bilateral. Hematoma yang cukup besar dapat
menyebabkan sumbatan pada kedua nares. Hematoma ini akan memisahkan
kartilago dari mukoperikondrium, sehingga aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan
tulang rawan terputus, maka dapat menyebabkan terjadinya nekrosis tulang rawan.
(Brain, 1997; Lo & Wang 2004).
Darah yang terkumpul dalam lapisan subperikondrium dan ini biasanya akan
mengganggu kehidupan tulang rawan. Tulang rawan septum yang tidak
mendapatkan aliran darah masih dapat hidup selama 3 hari, setelah itu kondrosit
akan mati dan absorbsi tulang rawan akan terjadi. Absorbosi kartilago dapat terjadi
dengan kecepatan yang menguatirkan dan Fry (1969) menduga proses ini dipercepat
dengan aksi enzim, kemungkinan dalam pembentukan jaringan kolagen. Hematoma
yang berukuran kecil tidak akan menyebabkan nekrosis tulang rawan, tapi dapat
menyebabkan absorbsi lambat sehingga terjadi penebalan permanen dari septum
dengan fibrosis yang besar (Brain, 1997).
Pada keadaan yang relatif kurang steril di bagian anterior hidung, hematoma
septum nasi dapat terinfeksi dan akan cepat berubah menjadi abses septum nasi yang
mempercepat resorpsi tulang rawan yang nekrotik. Hematoma yang terjadi
merupakan media yang ideal untuk kolonisasi dan pertumbuhan bakteri, sehingga
terbentuknya abses. Tidak semua hematom septum nasi berkembang menjadi abses,
dan bila sembuh dengan terapi antibiotik akan terbentuk jaringan ikat, sehingga akan
terjadi penebalan jaringan septum nasi yang dapat menyebabkan obstruksi saluran
nafas dan retraksi yang menimbulkan kontraktur septum nasi (Dirk et al, 2008; Lo &
Wang 2004; Debnam, Gillenwater & Ginsberg 2007).
9
Tulang septum nasi dan triangular kartilago dapat ikut terlibat dan perforasi
pada septum nasi dapat terjadi apabila gejala tidak segera ditangani dengan baik.
Pada akhirnya sedikit atau banyaknya akan terjadi parut dan hilangnya penyangga
pada 2/3 kaudal septum, ini akan menghasilkan hidung pelana, retraksi kolumella,
dan pelebaran dasar hidung (Budiman & Prijadi 2013).
Bila keadaan ini terjadi pada saat anak-anak, dapat mempengaruhi
perkembangan 2/3 dari wajah yang dapat menyebabkan hipoplasia maksila. Infeksi
pada septum nasi dapat masuk ke dalam sinus kavernosus sehingga akan terjadi
thromboflebitis atau meningitis (Brain, 1997).
10
sering timbul 24-48 jam setelah trauma, terutama pada orang dewasa dan anak
(Budiman & Prijadi, 2013).
Gejala yang dominan dari abses septum nasi adalah hidung tersumbat yang
progresif yang awalnya dimulai dengan rasa tidak nyaman dan disertai rasa nyeri.
Rasa nyeri dirasakan terutama di puncak hidung. Juga terdapat keluhan demam dan
sakit kepala (Brain, 1997; Lo & Wang, 2004).
Perlu juga ditanyakan adanya riwayat operasi hidung sebelumnya, gejala
peradangan di hidung dan sinus paranasal, furunkel intranasal, penyakit gigi dan
penyakit sistemik. Akibat trauma hidung, terkadang pada inspeksi masih tampak
kelainan berupa eksoriasi, laserasi kulit, epistaksis, deformitas hidung, edema dan
ekimosis (Budiman & Prijadi,2013).
Pemeriksaan sebaiknya tidak menggunakan spekulum hidung, dan akan terlihat
pembengkakan septum bilateral yang berbentuk bulat dengan permukaan licin yang
sering meluas sampai ke bagian lateral hidung sehingga menyebabkan obstruksi total
(Brain, 1997). Identifikasi abses septum nasi sangat mudah bagi para ahli, tetapi
tidak jarang dokter gagal dalam mengidentifikasi hal tersebut. Karena kegagalan
dalam mengidentifikasi hematoma atau abses septum nasi cukup banyak, maka
diperlukan pemeriksaan intra nasal yang teliti. Jika penderita tidak kooperatif,
misalnya pada anak-anak, pemeriksaan dapat dilakukan dengan anestesi umum
(Budiman & Prijadi,2013; Bailey 2006).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, seluruh septum nasi harus diperiksa dari
kaudal septum nasi sampai nasofaring. Tampak pembengkakan unilateral ataupun
11
bilateral, mulai tepat di belakang kolumella meluas ke posterior dengan jarak
bervariasi. Perubahan warna menjadi kemerahan atau kebiruan pada daerah septum
nasi yang membengkak menunjukkan suatu hematoma. Daerah yang dicurigai
dipalpasi dengan forsep bayonet atau aplikator kapas untuk memeriksa adanya
fluktuasi dan nyeri tekan. Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan (Dirk et al,
2008; Lo & Wang 2004).
Untuk memastikan abses septum nasi dapat dengan aspirasi pada daerah yang
paling fluktuasi. Pada aspirasi didapati darah pada hematoma septum sedangkan
pada abses septum nasi akan didapati pus. Pus yang telah diperoleh sebaiknya
diperiksakan ke laboratorium untuk mengetahui jenis kuman dan tes sensitifitas
terhadap antibiotik. Selain bernilai diagnostik, aspirasi juga berguna untuk
mengurangi ketegangan jaringan di daerah abses septum nasi dan mengurangi
kemungkinan komplikasi ke intrakranial (Lo & Wang, 2004; Budiman &
Prijadi,2013).
Diagnosa banding untuk abses septum nasi adalah hematoma septum nasi,
deviasi septum, furunkulosis dan vestibulitis. Infeksi yang luas dan invasif dari
kelenjar sebasea atau folikel rambut, yang melibatkan jaringan subkutan membentuk
furunkulosis dan vestibulitis dapat menyebabkan abses septum (Haryono, 2006).
Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan
foto rontgen, sinus paranasal atau CT scan harus dilakukan untuk mencari etiologi,
komplikasi ataupun untuk menyingkirkan diagnosa banding (Budiman &
Prijadi,2013; Bailey 2006).
Abses septum nasi mempunyai tampilan yang khas dalam pemeriksaan CT
scan yaitu terkumpulnya cairan dengan peningkatan tipis di pinggir, terlokasi dalam
kartilago septum nasal (Debnam, Gillenwater & Ginsberg, 2007).
12
Gambar 7 : (a) hematoma septum nasi pada CT scan Non-contrast. (b)
hematoma septum nasi pada CT scan dengan Contrast.
2.5 Penatalaksanaan
Untuk mencegah komplikasi, hematoma atau abses septum nasi harus
dianggap sebagai kasus darurat dalam bidang THT dan tindakan penanggulanganya
harus segera dilakukan. Penatalaksanaan abses septum nasi yang dianjurkan yaitu
drainase, antibiotik parenteral dan dapat dilakukan rekonstruksi defek septum.
Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk menyangga dorsum nasi, memelihara
keutuhan dan ketebalan septum, mencegah perforasi septum yang lebih besar dan
mencegah obstruksi nasal akibat deformitas. Pada abses bilateral atau nekrosis dari
tulang rawan septum nasi dianjurkan untuk segera melakukan eksplorasi dan
rekonstruksi septum nasi dengan pemasangan implan tulang rawan (Budiman &
Prijadi,2013).
Sangat direkomendasikan, sebelum insisi sebaiknya dilakukan aspirasi abses
untuk pemeriksaan pewarnaan Gram, kultur dan tes sensitifitas. Hasil dari pewarnaan
Gram, kultur dan tes sensitifitas dari aspirasi abses, menentukan antibiotik sistemik
yang sesuai. Jenis-jenis antibiotik termasuk metronidazole, chloramphenicol,
clindamycin, cefoxitin, dan kombinasi dari penicilin dan penghambat β-lactamase
(Debham et al 2007,Brook,1998; Cain & Roy, 2011).
Insisi dapat dilakukan 2 mm dari kaudal kartilago kira-kira perbatasan antara
kulit dan mukosa (hemitransfiksi) atau caudal septal incision (CSI) pada daerah sisi
kiri septum nasi. Jaringan granulasi, debris dan kartilago yang nekrosis diangkat
dengan menggunakan kuret dan suction. Sebaiknya semua jaringan kartilago yang
patologis diangkat. Dilakukan pemasangan drain dan pemasangan tampon anterior
untuk menekan permukaan periosteum dan perikondrium. Drain dipasang 2-3 hari
13
untuk jalan keluar pus serta serpihan kartilago yang nekrosis (Budiman &
Prijadi,2013; Haryono, 2006).
A. B. C.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah destruksi tulang rawan septum yang
dapat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (saddle nose).
Keterlambatan penanganan dari hematoma septum nasi dapat menyebabkan
terganggunya suplai aliran darah ke tulang rawan septum nasi, sehingga dapat
menyebabkan nekrosis dari tulang rawan sehingga menjadi deformitas berupa
hidung pelana, retraksi kolumella dan pelebaran dasar hidung (Nizar &
Mangunkusumo, 2009; Brain, 1997).
Komplikasi lain yang berat dan berbahaya jika terjadi keterlambatan dari
diagnosa dan penanganan dari abses septum nasi yaitu sepsis, bakteremia,
meningitis, abses otak, trombosis sinus kavernosus dan hipoplasia maksilaris (Cheng
& Kang, 2010; Debnam et al, 2007).
14
Gambar 9. Penampakan hidung pelana (saddle nose)
2.7 Pencegahan
Abses septum dapat dicegah dengan mengenali dan menangani hematoma
septum awal. Ini merupakan alas an dilakukannya inspeksi dan palpasi septum nasi
(setelah dekongesti dan anastesi mukosa) pada pasien yang baru saja mengalami
trauma, terutama pada anak-anak. Hal yang sama juga digunakan pada pasien yang
telah menjalani operasi septal dan tidak dapat bernafas melalui hidung setelah
pelepasan perban dibagian dalam hidung (Huizing E, et al, 2003).
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abses septum nasi didefinisikan sebagai pus atau nanah yang terkumpul antara
tulang rawan septum nasi dengan mukoperikondrium atau tulang septum dengan
mukoperiosteum yang melapisinya. Penyebab abses septum nasi tersering adalah
trauma hidung (75%) akibat kecelakaan, perkelahian, olah raga ataupun trauma yang
sangat ringan sehingga tidak dirasakan penderita seperti mengorek kotoran hidung
atau mencabut bulu hidung. Hematoma ini akan memisahkan tulang rawan dari
mukoperikondrium, sehingga aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan tulang rawan
terputus, maka dapat menyebabkan terjadinya nekrosis tulang rawan.
Gejala yang dominan dari abses septum nasi adalah hidung tersumbat yang
progresif yang awalnya dimulai dengan rasa tidak nyaman dan disertai rasa nyeri.
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium
darah menunjukkan leukositosis, pemeriksaan foto rontgen, sinus paranasal atau CT
scan untuk mencari etiologi, komplikasi ataupun untuk menyingkirkan diagnosa
banding. Diharapkan dengan diagnosis yang tepat, abses septum nasi dapat
ditatalaksana secara cepat untuk mencegah komplikasi dan memberikan angka
kesembuhan yang lebih tinggi.
16
Daftar Pustaka
Cain, J., Roy, S. “Nasal Septal Abscess”. ENT-Ear, Nose & Throat Journal.
90(2011): 144-147.
Cheng, L., Kang, B. “Nasal Septal Abscess and Facial Cellulitis Caused by
Community-Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. The
Journal of Laryngology & Otology. 124(2010); 1014-1016.
Debnam, J., Gillenwater, A., Ginsberg, L. ”Nasal Septal Abscess in Patients with
Immunosuppression”. 28(2007): 1878-1879.
Dhingra, P. Disease of Ear, Nose and Throat. India: Elvesier Company, 2007.
George, A., Smith, W., Kumar, S., et al. “Posterior Nasal Septal Abscess in a
Healthy Adult Patient”. The Journal of Laryngology & Otology. 122(2008):
1386-1388.
Hwang, P., Abdalkhani, A. “Embriologi, Anatomy and Physiologi of the Nose and
Paranasal Sinuses”. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
Eds. James Snow and P. Ashley Wackym. USA: BC Decker. 2009. 458-460.
17
Jalaludin MAB, Nasal Septal AbscessRetrospective Analysis Of 14 cases from
Lopez, M., Liu, J., Hartley, B., et al. “Septal Hematoma and Abscess After Nasal
Trauma”. Clinical Pediatrics. 39(2000): 609-610.
Maria P.Valencia, Mauricio Castillo. Congenital and Acquired Lesions of the Nasal
Septum: A Practical Guide for Differential Diagnosis. Radiographics
2008;28;205-23.
Nizar, N., Mangunkusumo, E.. “ Kelainan Septum”. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Eds. Efiaty A. Soepardi,
Nurbaiti Iskandar, Jenny Burhanuddin, Ratna D. Astuti. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. 126-127.
Shah, Saurabh B, Andrew H. Murr, and Kelvin C. Lee. “Nontraumatic Nasal Septal
Abscess in the Immunocompromised: Etiology, Recognition, Treatment, and
Sequelae”. American Journal of Rhinology. 14(2000): 39-43
18
Soepardi, Nurbaiti Iskandar, Jenny Burhanuddin, Ratna D. Astuti. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. 118- 120.
Valencia, M., Castillo, M. “Congenital and Acquired Lesions of the Nasal Septum:
A Pratical Guide for Differential Diagnosis”. 28(2008): 205-223.
19