Anda di halaman 1dari 16

6.

Patofisiologi

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf


otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung
akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di
kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan
pembentukan kelenjar baru.1
Ditemukan pada sel polip bahwa adanya aktivitas kuat dari eosinophil colony-
stimulating dan juga aktivitas interleukin-3 (IL-3) yang akan memicu peningkatan sintesis
dari granulocyte monocyte – colony stimulating factor (GM-CSF) dari sel epitel, fibroblas,
monosit dan eosinofil. Pada pasien yang memiliki alergi dan polip nasi, kepadatan GM-CSF,
IL-3, IL-4 dan IL-5 lebih tinggi sedangkan pada pasien yang memiliki polip nasi tanpa alergi
memiliki kepadatan GM-CSF, IL-3 dan interferon-gamma lebih padat.2
Pada polip nasi, konsentrasi IL-5 ditemukan meningkat pada konsentrasi yang jauh
lebih signifikan dibandingkan dengan IL-3 ataupun GM-CSF dan peningkatan IL-5 tidak
terpengaruh oleh status alergi. IL-5 berfungsi untuk mengaktivasi eosinofil pada polip nasi
dan mengaktivasi sel T helper 1 dan 2. Konsentrasi tertinggi dari IL-5 ditemukan pada pasien
dengan asma non-alergi dan sensitif terhadap aspirin.2
Transforming Growth Factor (TGF)-β1 merupakan sebuah sitokin fibrogenik yang
menstimulasi pembentukan matriks ekstraselular, bertindak sebagain kemoatraktan untuk
fibroblas namun menginhibisi sintesis dari IL-5 dan menetralisir efek dari keberlangsungan
hidup dari hematopoietin (IL-5 dan GM-CSF) pada eosinofil sehingga IL-5 dan TGF-β1
memiliki cara kerja yang bertolak belakang yaitu TGF-β1 akan memiliki kadar yang rendah
pada polip yang memiliki kadar IL-5 yang tinggi.2
Salah satu karakteristik lain dari pembentukan polip nasi adalah edema dan
pseudokista dengan sedikit area fibrosis. Ketidakseimbangan dari metalloproteinase (MMP)
dengan peningkatan regulasi dari MMP-7 dan MMP-9 berakibat pada peningkatan MMP-9 di
nasal polip yang mengakibatkan edema akibat retensi albumin dan plasma protein lainnya.2
Gambar 1. Patofisiologi dari rinosinusitis
kronik dengan nasal polip.3
7. Diagnosis
Pada anamnesis keluhan utama dari penderita polip nasi adalah hidung berasa
tersumbat dari ringan hingga berat, rinorea dari jernih hingga purulen, hiposmia atau
anosmia. Dapat pula disertai bersin, rasa nyeri pada hidung dan sakit kepala di bagian frontal.
Bila disertai infeksi sekunder maka dapat dijumpai adanya post-nasal drip dan rinorea
purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Polip nasi dapat menyebabkan gejala
pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi terutama pada pasien dengan
asma. Perlu ditanyakan juga apakah ada riwayat rinitis alergi, asma, intoleransi pada asma
(Samter’s triad) dan alergi obat serta makanan. Apabila polip sudah pada tahap lanjut maka
polip dapat terlihat menonjol dari lubang hidung.1,4

Gambar 2. Polip yang menonjol dari lubang hidung kiri pada pasien dengan polip ethmoid
bilateral.4
Pada rinoskopi anterior, polip terlihat sebagai massa yang licin, mengkilau, berbentuk
seperti anggur dan pucat. Polip dapat berbentuk sessile atau pedunculated, tidak sensitif
terhadap probing dan tidak berdarah saat disentuh. Polip seringkali multipel dan bilateral.
Pada pasien dengan polip yang sudah lama dapat terjadi pelebaran hidung dan jarak
intercanthus. Polip dapat menonjol dari lubang hidung dan terlihat sebagai massa berawarna
pink. Dapat terlihat juga sekret purulen akibat sinusitis. Probing pada polip ethmoid soliter
mungkin diperlukan untuk membedakan polip dari hipertrofi turbinate atau cystic middle
turbinate.4
Untuk pembagian stadium polip dapat digunakan 3 klasifikasi yaitu yang pertama
adalah klasifikasi menurut Mackay dan Lund dimana mereka membagi stadium polip sebagai
berikut1:
 Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
 Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
 Stadium 3 : polip yang masif
World Allergy Organization (WAO) membagi nasal polip menurut tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi polip nasi.5
Klasifikasi Polip Nasi
Histologi
Tipe 1 Tipe eosinofilik edematosa
Tipe 2 Tipe inflamatori kronik atau fibrotik
Tipe 3 Tipe kelenjar seromucinous
Tipe 4 Tipe stromal atipikal
Klinis dan Endoskopis
Tipe 1 Polip antrokoanal
Tipe 2 Polip besar terisolasi
Tipe 3 Polip dengan rinosinusitis kronis (RSK) – predominan non-
eosinofil, tidak berhubungan dengan sindrom hiperreaktivitas dari
jalur nafas
Tipe 4 Polip dengan RSK- predominan eosinofil
Tipe 5 Polip dengan penyakit tertentu (fibrosis kistik, sinusitis non-alergi)

Meltzer juga membuat suatu sistem klasifikasi untuk menentukan derajat polip seperti
berikut6:
 Skor 0 : Tidak terlihat polip nasi
 Skor 1 : Terlihat polip soliter yang terbatas pada meatus media
 Skor 2 : Terlihat polip multipel pada meatus media
 Skor 3 : Polip sudah mulai keluar dari meatus media
 Skor 4 : Polip sudah mengobstruksi total dari kavum nasi.
Gambar 2. Skor Meltzer untuk nasal polip.6
Polip stadium 1 atau 2 menurut Lund terkadang tidak dapat terlihat oleh rinoskopi
anterior sehingga perlu digunakan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat
dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.1

Gambar 3. Polip nasi terlihat dari kavum nasi sinistra pada nasoendoskopi anterior.7
Derajat keparahan gejala dari polip nasi dapat dinilai dari 22-item Sinonasal Outcome
Test (SNOT-22) dimana kuesioner ini terdiri dari 22 pertanyaan dengan skala 0 sampai 5
dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan gejala yang lebih buruk. Penilaian melalui skala
analog visual (VAS) juga dapat dipakai dengan VAS 0-3 mengindikasikan gejala ringan, 4-7
gejala sedang sedangkan diatas 7 mengindikasikan gejala yang berat.7
Pemeriksaan penunjang tidak perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis namun
pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah
terutama bedah endoskopi.1 CT scan dari sinus paranasal juga penting untuk mengeksklusi
erosi tulang yang sugestif untuk neoplasia.4
Polip nasi yang terlihat jinak dapat menyembunyikan sebuah keganasan sehingga
semua polip harus diperiksakan untuk histopatologinya. Apabila polip berwarna merah,
bergranular, friable dan fleshy, terutama pada pasien yang lebih tua maka harus dicurigai
sebuah keganasan.4

8. Diagnosis Diferensial
Diagnosis diferensial pertama yang perlu dipikirkan untuk polip nasal bilateral adalah
polip antrokoanal. Polip antrokoanal berasal dari mukosa antrum maksila dekat pada ostium
aksesoris dan tumbuh pada koana dan kavum nasi. Polip antrokoanal dapat dibedakan dengan
polip ethmoidal sesuai dengan tabel 2.4
Tabel 2. Perbedaan antara polip antrokoanal dan ethmoidal.4
Karakteristik Antrokoana Ethmoidal
Usia Anak-anak Dewasa
Etiologi Infeksi Alergi atau multifaktorial
Jumlah Satu Multipel
Lateralitas Unilateral Bilateral
Asal Sinus maksilaris dekat ostium Sinus ethmoidal, processus
uncinatus, turbinate tengah dan
meatus media
Ukuran dan bentuk Trilobed dengan bagian Biasanya kecil dan berbentuk
antral, nasal dan koanal. seperti anggur
Bagian koanal dapat
menonjol ke koana dan
mengisi nasofaring dan
mengobstruksi kedua sisi
Rekurensi Jarang Sering
Pertumbuhan Kebelakang ke arah koana, Kedepan dan dapat muncul dari
dapat bergantung di belakang lubang hidung
palatum molle
Penanganan Polipektomi Polipektomi
Apabila terlihat massa hidung yang disertai perdarahan berulang yang masif terutama
pada masa remaja maka angiofibroma nasofaring belia harus dipikirkan. Tindakan operasi
merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan radioterapi.8 Keganasan yang dapat
menjadi diagnosis diferensial adalah karsinoma nasofaring yang merupakan tumor ganas
daerah kepala dan leher terbanyak di Indonesia. Awal daripada tumor ini biasanya berasal
dari fosa Rosenmuller yang berbeda dengan polip nasi bilateral yaitu dari kompleks
osteomeatal.9

9. Tatalaksana

Tatalaksana untuk nasal polip terdiri dari gabungan dari observasi, tatalaksana medis
dan bedah tergantung keadaan per pasien. Tujuan dari tatalaksana adalah untuk
menghilangkan atau secara signifikan mengurangi ukuran NP untuk mengurangi
sumbatan hidung, perbaikan drainase sinus, pemulihan penciuman dan rasa. Tindakan
prosedur bedah saja tidak cukup untuk mengobati radang mukosa hidung yang
mendasarinya. Tatalaksana medis tambahan selalu diperlukan untuk mencegah
kekambuhanB.

a. Medikamentosa
Nasal polip (NP) awalnya adalah penyakit yang dapat ditangani dengan obat.
Walaupun beberapa kasus memerlukan tindakan bedah, terapi medis agresif sebelum dan
sesudah operasi dibutuhkan. Tujuan dari tatalaksana ini adalah untuk mengembalikan
ventilasi dan drainase sinus serta untuk mencegah kekambuhan penyakitA.

Glukokortikoid intranasal merupakan pengobatan NP terbaik saat ini. Glukokortikoid


mengecilkan ukuran polip, meningkatkan patensi jalan nafas hidung, memperbaiki gejala
rinitis seperti rinorea, bersin dan penyumbatan hidung, menunda kekambuhan polip
setelah operasi dan menunda kebutuhan untuk dilakukannya operasi baruB.

Antibiotik

Polip hidung dapat menyebabkan sumbatan pada sinus, yang mengakibatkan infeksi.
Mengobati infeksi dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan polip lebih lanjut dan
mengurangi perdarahan selama operasi. Terapi antibiotik harus ditujukan pada spesies
Staphylococcus, spesies Streptococcus, dan bakteri anaerob, yang merupakan organisme
umum pada sinusitis kronis. Pada pasien dengan immunocompromised atau pasien yang
telah menjalani beberapa program antibiotik sebelumnya, kultur endoskopi langsung atau
tusukan antral direkomendasikan untuk mengeksklusi organisme yang tidak biasa atau
resistenA.

Berdasarkan konsep kolonisasi intraepitel S. aureus, penelitian telah dilakukan untuk


mendukung penggunaan antibiotik dengan kortikosteroid untuk mengobati pasien dengan
NP. Studi terbaru menunjukkan bahwa doksisiklin oral (200 mg pada hari pertama, diikuti
oleh 100 mg sekali sehari) selama 20 hari menunjukkan penurunan ukuran NP secara
signifikanB.

Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek anti-inflamasi yang luas. Steroid topikal telah terbukti
mengurangi jumlah limfosit dalam jaringan polip hidung dan menghambat sintesis
sitokinA. Glukokortikoid topikal dan sistemik dapat mempengaruhi fungsi eosinofil
dengan secara langsung mengurangi jumlah, viabilitas dan fungsi eosinofil atau secara
tidak langsung mengurangi sekresi sitokin kemotaktik oleh mukosa hidung dan sel epitel
polip. Steroid sistemik digunakan untuk kasus lanjut atau refraktori terutama ketika alergi
hadir dan menyebabkan peningkatan dramatis jangka pendek yang relatif cepat, gejala
hidung dan temuan endoskopi (polipektomi medis). Pembilasan hidung dengan normal
saline (irigasi) untuk membantu membersihkan hidung sebelum obat topikal bermanfaat
karena meningkatkan pembersihan mukosilier hidungB. Irigasi atau semprot saline
(dilakukan satu hingga empat kali sehari) dan glukokortikoid intranasal dapat diberikan
untuk polip yang tidak menyumbang hidung secara signifikanM. Kortikosteroid harus
digunakan dengan hati-hati pada 'kelompok berisiko' terutama pasien dengan diabetes,
hipertensi yang tidak terkontrol, dan penyakit ulkus peptikumB.

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan NP disebut juga polipektomi


medikamentosa. Polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap
pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan tipe neutrofilikC.

Kortikosteroid Intranasal
Kortikosteroid topikal telah menjadi obat pilihan untuk polip hidung. Jika operasi
selanjutnya diperlukan, pengobatan paska-operasi jangka panjang dengan semprotan
hidung kortikosteroid meningkatkan waktu kekambuhan. Beberapa pasien dengan polip
hidung tidak merespon dengan steroid topikal. Ini mungkin disebabkan oleh dua
mekanisme. Pertama, penyebab dasar dari polip hidung, seperti fibrosis kistik atau
diskinesia silia primer, tidak responsif terhadap kortikosteroid. Kedua, hidung tersumbat
oleh polip hidung dapat menyebabkan distribusi intranasal yang tidak adekuat dari
semprotan steroid topikalA.

Pemakaian semprot hidung steroid jangka panjang, seperti mometasone furoate dapat
memperbaiki gejala karena akan dapat menyebarkan steroid dengan baik di sekitar rongga
hidung. Ini dapat diberikan pada dosis yang lebih tinggi, seperti 2 semprot mometason
furoate di setiap lubang hidung dua kali sehari selama 6 minggu pertama, kemudian
dikurangi untuk dosis pemeliharaan (2 semprotan di setiap lubang hidung sekali sehari),
tergantung pada responsD.

Pada keadaan masuknya udara hidung yang buruk, hentikan pengobatan dengan
semprot steroid hidung jika sudah diresepkan, dan mulailah nasal Flixonase 200 mcg
(sekitar 6 tetes) ke dalam setiap lubang hidung dua kali sehari (isi dari satu wadah 400
mcg harus dibagi di antara kedua lubang hidung). Ini harus dilakukan atas rekomendasi /
saran spesialis. Pemakaian 6 minggu biasanya direkomendasikan, namun percobaan 2
bulan dapat dilakukan adalah pada pasien dengan penurunan sedang dari polip hidung
yang diketahui /sudah ada sebelumnya sebelumnya berdasarkan saran spesialisA.

Kortikosteroid Sistemik

Pengobatan jangka pendek dengan kortikosteroid sistemik adalah metode alternatif


untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip hidung. Berbeda dengan steroid
intranasal, kortikosteroid sistemik dapat mencapai semua bagian hidung dan sinus,
termasuk celah olfaktorius dan meatus media, dan meningkatkan indera penciuman lebih
baik daripada steroid topikal. Selain itu, pemakaian jangka pendek steroid sistemik dapat
digunakan untuk poliposis hidung untuk membuka sumbatan hidung sebelum terapi
dengan steroid intranasal, yang menghasilkan distribusi semprotan intranasal yang lebih
baik. Pengobatan jangka panjang dengan steroid oral dosis rendah harian dan steroid
intranasal pada pasien dengan intoleransi aspirin dan sinusitis jamur alergi mungkin
diperlukanA.

Sebelum operasi, steroid oral biasanya diberikan sekitar 3 atau 4 hari untuk
mengecilkan polip. Steroid oral juga bermanfaat pada pasien asma dengan mengurangi
hiperreaktivitas bronkus, yang dapat diperburuk dengan operasiA.

Adanya perburukan gejala yang signifikan, berikan steroid oral. Steroid oral tidak
disarankan kecuali ada polip yang sudah jelas terkait dengan gejala yang parah. Jika ada
perburukan gejala, berikan prednisolon oral 20mg setiap hari selama 14 hari (jika kondisi
medis pasien memungkinkan) harus dikombinasikan dengan 6 minggu nasal Flixonase,
dua kali sehari. Pengobatan menggunakan steroid oral dan nasal Flixonase dapat diulang
hingga dua kali setahun, namun jika gagal mengendalikan gejalanya, disarankan untuk
rujukan ke THT. Selain itu, steroid oral (prednisolon 20mg setiap hari selama 14 hari)
juga dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami penurunan gejala moderat di mana
percobaan 2 bulan nasal Flixonase gagal mengontrol gejala. Jika diagnosis belum
dikonfirmasi oleh spesialis THT, steroid oral umumnya tidak direkomendasikanD.

Leukotrin Antagonis

Jika pasien memiliki polip hidung yang berkaitan dengan asma dan sensitivitas
aspirin, ini biasanya disebut sebagai triad Samter. Sensitivitas aspirin berperan penting
dalam perkembangan rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan berhubungan dengan
oversintesis leukotrien. Leukotrien, juga dikenal sebagai zat anafilaksis yang bereaksi
lambat, adalah kelas mediator inflamasi yang meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah, sel inflamasi kemotaksis, dan konstriksi otot polos. Asam arakidonat dibelah dari
membran seluler oleh fosfolipase A2 dan selanjutnya diarahkan ke jalur leukotrien oleh
enzim 5-lipoksigenase atau jalur prostaglandin oleh enzim siklooksigenase. Prostaglandin
E2, produk dari jalur siklooksigenase, menghambat 5-lipoksigenase dalam feedback
loop. Aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lainnya menghambat siklooksigenase dan
menurunkan prostaglandin E2, menghasilkan peningkatan leukotrien karena produksi
yang tidak dihambat. Ini bermanifestasi secara klinis sebagai bronkospasme, peningkatan
produksi lendir, dan polip nasal yang meradangH.
Leukotrien (LT) dan prostaglandin adalah produk metabolisme asam arakidonat, dan
merupakan mediator utama dalam penyakit radang akut dan kronis pada saluran
pernapasan. Kadar leukotrien telah terbukti meningkat pada pasien dengan poliposis
sinonasal dan sinusitis. Studi terbaru menunjukkan, adanya penurunan atau setidaknya
stabilisasi, poliposis sinonasal setelah menggunakan terapi kortikosteroid oral jangka
pendek dikombinasikan dengan inhibitor sintesis LT zileuton atau antagonis reseptor LT
zafirlukast dan montelukast sebagai terapi pemeliharaan. Perbaikan ini mungkin
didasarkan pada kontrol peradangan NP dan kemungkinan pertumbuhan polip. Maka,
terapi kortikosteroid oral jangka pendek dikombinasikan dengan montelukast dalam dosis
harian 10 mg sebagai terapi pemeliharaan dalam mengendalikan gejala poliposis
sinonasal berat telah terbukti sangat efektif. Selain itu, tambahan 3 bulan terapi
montelukast dikombinasikan dengan kortikosteroid intranasal dan inhalasi menghasilkan
perbaikan subjektif dan objektif dalam gejala dan fungsi hidung serta peningkatan yang
signifikan dalam fungsi paru pada pasien dengan poliposis hidungB.

Furosemide Intranasal

Pendekatan terapi terbaik untuk kekambuhan poliposis hidung adalah merusak fase
awal perkembangan NP. Memanipulasi fase awal perkembangan NP bertujuan untuk
mencegah kekambuhan setelah operasi. Menurut hipotesis ini, genesis poliposis hidung
dan kekambuhannya adalah pengembangan edema sekunder akibat peningkatan plasma
dan penyerapan air ke dalam lamina propria jaringan NPB.

Furosemid adalah loop diuretik yang kerja utamanya menghambat simporter natrium-
kalium-klorida (NKCC). Dua isoform dari simporter ini ada di tubuh, NKCC1 dan
NKCC2. Secara khusus, NKCC2 hanya ditemukan di ginjal, tetapi NKCC1 telah
ditemukan di seluruh tubuh termasuk pada permukaan basolateral sel epitel polip hidung.
Sangat mungkin bahwa furosemide topikal menghambat transporter ini dan
mengakibatkan penurunan penyerapan natrium dan penurunan drastis dalam penyerapan
air sehingga menginhibisi kemampuan polip untuk mengembangkan edemaB,J.

Furosemide umumnya dikenal aman, tetapi obat-obatan topikal secara intranasal


biasanya memiliki tingkat penyerapan sekitar 33% dibandingkan pemberian oral, dan
sebagai hasilnya, penurunan tekanan darah, tinitus, potensi gangguan pendengaran,
fotosensitifitas pada sinar UV, dan ketidakseimbangan elektrolit seperti hipokalemia
mungkin akan terjadi, mirip dengan efek samping yang ditemukan dengan oral
furosemide. Simporter NKCC1 bertanggung jawab untuk pembuatan endolimf yang kaya
kalium dalam koklea, sehingga ahli THT harus sangat berhati-hati dalam memantau
pendengaran dalam penggunaan furosemide topikalJ.

Antibodi Monoklonal

Terapi biologis adalah pilihan lain untuk pasien dengan penyakit yang sulit hilang. Di
Amerika Serikat, sejauh ini hanya dupilumab yang disetujui untuk pengobatan
rinosinusitis kronik (CRS) dengan NP. Pengalaman klinis dengan agen ini untuk
pengobatan CRS dengan NP masih terbatas, tetapi dupilumab akan menjadi pilihan
pertama. Dupilumab adalah antibodi monoklonal yang menghambat pensinyalan IL-4 dan
IL-13, sitokin penting dalam generasi peradangan yang dimediasi oleh sel-sel T helper
tipe 2 dan menghambat migrasi eosinofil ke dalam jaringanM.

Dosis yang disetujui untuk CRS dengan NP adalah 300 mg diberikan secara subkutan
setiap minggu. Meskipun masih terlalu dini untuk mengetahui pasien polip hidung mana
yang harus dipilih untuk pengobatan dupilumab, perkiraan indikasi pengobatan
dupilumab adalah untuk pasien yang NP-nya gagal dikendalikan oleh rangkaian
glukokortikoid sistemik dan / atau bedah sinus yang diikuti oleh pengobatan
glukokortikoid topikal. Efek samping dupilumab pada pasien dengan dermatitis atopik
berat adalah konjungtivitis yang cukup berat sehingga memerlukan penghentian
pengobatan. Namun, dalam penelitian yang ada, konjungtivitis berkembang hanya pada
tujuh pasien dan tidak parahM.

b. Bedah
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat
masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Polipektomi dapat dilakukan untuk
mengekstraksi polip dengan menggunakan senar polip atau forcep (cunam) dengan
analgesi lokal, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip
etmoid. Tindakan yang paling baik adalah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat
dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional)C.
Polipektomi hidung adalah operasi untuk menghilangkan polip dari dalam hidung.
Dilakukan melalui hidung, sehingga tidak menghasilkan sayatan di luar. Ada 2 teknik
utama untuk polipektomi hidung. Teknik yang dipilih sebagian besar tergantung pada
dimana letak polip di hidung. Jika polip mudah dilihat dan dicapai dari depan hidung,
maka dilakukan "polipektomi intranasal" menggunakan penggenggam kecil. Namun,
kadang-kadang, dapat digunakan teleskop kecil untuk mendapatkan pandangan yang lebih
baik di hidung jika polip lebih kecil dan terletak di atap hidung atau di sinus. Ini disebut
"polipektomi endoskopi hidung". Operasi ini paling baik untuk meredakan hidung
tersumbat karena polip hidung. Dapat memperbaiki infeksi sinus yang disebabkan oleh
polip. Beberapa gejala sinusitis yang mungkin membaik dengan pembedahan sinus
endoskopi termasuk hidung tersumbat, keluarnya hidung, tetesan pasca-hidung, rasa
penuh di pipi, sakit kepala bagian depan dan berkurangnya indera penciumanF.

Operasi sinus endoskopi sekarang menjadi pengobatan utama untuk polip hidung,
meskipun tidak ada teknik bedah tunggal yang terbukti sepenuhnya bersifat kuratif dan
angka kekambuhan sekitar 5-10%. Bilas rongga hidung teratur dengan saline pasca
operasi sangatlah penting untuk mencegah pengerasan kulit dan perlengketan. Steroid
intranasal topikal juga merupakan bagian rutin dari perawatan setelah operasi untuk
mencegah kekambuhanB.

Pembedahan bertujuan untuk menghilangkan polip serta meningkatkan akses ke terapi


topikal yang sedang berlangsung; efektivitas glukokortikoid intranasal meningkat setelah
operasi sinus. Sebuah konsensus baru-baru ini untuk merekomendasikan indikasi
pembedahan sinus untuk pasien dewasa dengan rinosinusitis kronis tanpa komplikasi
dengan polip hidung ketika ada bukti objektif dari CT scan adanya rinosinitis kronisE.

Pembedahan dilakukan dengan anestesi umum. Bedah biasanya melibatkan


pengangkatan kedua polip yang menghalangi rongga hidung dan prosedur untuk
membuka dan menghilangkan polip dari sinus paranasalE.

Dalam sebuah studi, orang-orang yang menjalani operasi memiliki perbaikan kualitas
hidup jangka panjang yang berhubungan dengan kesehatan yang dipertahankan selama 5
tahun. Namun, kekambuhan polip sering terjadi. Polip berulang telah dilaporkan untuk
operasi endoskopi pada 40% pasien 18 bulan setelah operasi dan dalam penelitian kohort
besar, 20% pasien menjalani prosedur perbaikan sinus dalam 5 tahun. Studi lain
mengatakan bahwa perawatan pasca operasi penggunaan glukokortikoid intranasal
mengontrol gejala lebih baik. Oleh karena itu terapi medis yang sedang berjalan dianggap
sebagai bagian penting dari manajemen bedah, dan pasien harus dikonseling dengan tepat
sebelum dan setelah operasiE.

Gambar 1. Algoritma Pengobatan Rhinosinusitis Kronis dan Polip Hidung pada DewasaE

Algoritma pengobatan didasarkan pada pedoman saat ini dan bukti terbaik yang tersedia.

10 cm visual-analogue scale (VAS) berguna dalam perawatan primer untuk evaluasi


keparahan gejala keseluruhan (skor dari 0 hingga 3: ringan, > 3 - 7: sedang, dan > 7: parah) E.
10. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada NP adalah eksarsebasi dari rinosinusitis,


proptosis, diplopoa, erosi tulang, osteitis dan meningitisG.

Risiko terjadinya komplikasi pada operasi polipektomi hidung sangat kecil, pada
umumnya aman. Risiko tergantung pada letak polip dalam hidung, riwayat operasi polip
sebelumnya, dan juga pada masalah medis lain. Beberapa dari risiko ini sangat jarang, tetapi
serius. Beberapa lebih umum tetapi tidak terlalu menyusahkan. Komplikasi yang dapat
terjadiF;

Umum:

• Obstruksi Hidung: Mungkin terdapat banyak darah kering dan pengerasan kulit yang
menyebabkan hidung tersumbat selama beberapa minggu pertama.

• Perdarahan: Sejumlah perdarahan kecil segera setelah operasi polipektomi cukup


umum. Mungkin dapat terlihat darah ketika membuang ingus hidung sekitar sebulan setelah
operasi, tetapi terkadang beberapa pasien mungkin perlu kembali ke rumah sakit. Jika
mengonsumsi aspirin atau Warfarin, atau jika Anda memiliki riwayat masalah perdarahan,
maka Anda harus memberi tahu dokter bedah Anda sebelum operasi.

Tidak selalu terjadi:

• Infeksi: kadang-kadang pembengkakan pada sinus segera setelah operasi dapat


menyebabkan infeksi.

• Kembalinya gejala: operasi polipektomi mungkin tidak menyembuhkan gejala Anda


secara permanen. Sebenarnya polip hidung sering berulang, tetapi seberapa cepat seringkali
tidak dapat diprediksi.

11. Prognosis

Pada umumnya, pasien dengan polip hidung dapat dikontrol gejalanya dengan
medikamentosa dan perawatan alergi. Ketika ini gagal, operasi dapat menghilangkan polip
dan memperbaiki jalur pernapasan. Terapi medis lanjutan biasanya masih diperlukan setelah
operasi untuk mencegah kekambuhanI.
Pengobatan yang berhasil ditentukan oleh hilangnya seluruh gejala yang dilaporkan
oleh pasien. Namun, hal ini jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari, terutama ketika
berhadapan dengan penyakit kronis. Sebuah studi yang menilai gejala residu setelah operasi
sinus endoskopi untuk poliposis hidung menunjukkan bahwa perbaikan yang signifikan pada
gejala secara global setelah operasi, walaupun hanya sejumlah kecil pasien yang melaporkan
tidak gejala setelah operasi (4.62% pada 6 minggu dan 7.69% pada 7 bulan setelah operasi).
Demikian pula, meskipun adanya peningkatan yang signifikan pada kualitas hidup terlihat
pada 3, 6, dan 12 bulan setelah terapi medikamentosa yang optimal (prednison oral selama 2
minggu, diikuti oleh pemeliharaan dengan menggunakan steroid intranasal jangka panjang,
dan antibiotik makrolida 250 mg setiap hari selama 3 bulan pertama) di antara pasien dengan
NP grade I dan II, sebuah studi menunjukkan bahwa skor rata-rata kualitas hidup tidak
mencapai nol pada setiap kunjungan follow-up yang berbeda. Sebenernya, menyingkirkan
semua gejala pada penatalaksanaan NP tampaknya sangat sulit. Semua jenis operasi
ditunjukkan untuk memperbaiki gejala NP; oleh karena itu, prosedur bedah dianggap
“efektif.” Namun, gejalanya membaik pada derajat yang berbeda sesuai dengan masing-
masing prosedur. Dengan demikian, melihat keparahan gejala residual adalah salah satu cara
untuk melihat efektivitas operasi dan cara untuk membandingkan berbagai jenis prosedur
yang tersediaK.

Pasien dengan polip yang tetap bergejala meskipun telah menjalani terapi
medikamentosa harus dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan bedah. Pembedahan dapat
memperbaiki keadaan untuk sementara waktu, polip cenderung kambuh dalam beberapa
bulan hingga beberapa tahun setelah intervensi bedah. Dalam sebuah studi kohort multicenter
prospektif pada 363 pasien dewasa yang telah menjalani operasi sinus endoskopi untuk
poliposis (244 di antaranya dinilai dengan endoskopi paska operasi), 40% menunjukkan
kekambuhan dalam 18 bulan. Manajemen medikamentosa berkelanjutan dari etiologi yang
mendasarinya diperlukan setelah operasiL.

Sebuah studi prospektif oleh Brescia et al menunjukkan bahwa pada pasien yang
menjalani operasi endoskopi untuk CRS dengan NP, polip lebih cenderung kambuh dalam
kasus CRS dengan NP tipe eosinofilik. Pada studi tersebut, yang melibatkan 143 pasien, juga
menemukan bahwa polip hidung kambuh lebih cepat pada tipe eosinofilik daripada tipe non-
eosinofilik. Sebuah studi juga menemukan bahwa 549 pasien dengan poliposis hidung yang
telah menjalani bedah sinus endoskopik selama 10 tahun: angka operasi revisi terjadi lebih
tinggi secara signifikan pada pasien dengan asma, triad Samter (asosiasi polip hidung dengan
asma dan sensitivitas aspirin), atau penyakit sinus frontalN.

Daftar Pustaka:
1. Mangunkusumo E, Wardani S.R. Polip Hidung. In: Soepardi E, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti R, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. 7th Edition. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 101-3.
2. Fokkens W, Lund V, Bachert C, Clement P, Hellings P, Holmstrom M, et al.
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2005; p.1-87
3. Banhawy O, Abri R, Khali Y, Shafy I, Fayaz F. Update of pathogenesis and
management of nasal polyposis. MMJ. 2017; 29(3):469-77.
4. Dhingra PL, Dhingra S, Dhingra D. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and
Neck Surgery. 6th Edition. Elsevier: India. 2014, p. 172-5.
5. Potter P, Pawankar R. Indications, Efficacy, an Safety of Intranasal Corticosteroids in
Rhinosinusitis. WAO 2012; 5:S14-17.
6. Yoon HC, Kim TM, Joo JW, Song IS, Hong SN, Yoo JH, et al. The impact of nasal
polyposis on olfactory dysfunction in chronic rhinosinusitis. J Rhinol 2017; 24(1):31-
6.
7. Hopkins C. Chronic rhinosinusitis with nasal polyps. N Engl J Med 381.1:55-63.
8. Roezin A, Dharmabakti U, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. In: Soepardi E,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th Edition. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p. 164-6.
9. Rozein A, Adham M. Karsinoma Nasofaring. In: Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti R, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. 7th Edition. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. p. 158-63.

Anda mungkin juga menyukai