Anda di halaman 1dari 21

Lab/SMF Ilmu Kesehatan THT Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

RINOSINUSITIS ANAK

Oleh :

Agil Kusumawati 1810029020


Ni Putu Vivi Andriani 1810029024

Pembimbing
dr. Eva Susanti, Sp.THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan THT
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang
“Rinosinusitis Anak”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik
di Laboratorium Ilmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.

Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Eva Susanti,
Sp.THT-KL selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan
kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih
terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

Samarinda, Mei 2019

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Tujuan...........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal........................................................2
2.2 Definisi.........................................................................................................6
2.3 Epidemiologi................................................................................................7
2.4 Etiologi.........................................................................................................8
2.5 Patogenesis...................................................................................................9
2.6 Manifestasi Klinis......................................................................................10
2.7 Diagnosis....................................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan.........................................................................................12
2.9 Komplikasi.................................................................................................15
2.10 Prognosis....................................................................................................16
BAB III PENUTUP..............................................................................................17
3.1 Kesimpulan................................................................................................17

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi secara bersamaan, sehingga


terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis. Rinosinusitis adalah
peradangan pada membran mukosa hidung dan sinus paranasalis. Rinosinusitis
anak memiliki dua atau lebih gejala-gejala berikut, satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau nasal discharge (sekret hidung anterior/
posterior), nyeri wajah/ rasa tekan di wajah, batuk (Fokkens, et al., 2012)
Infeksi saluran pernapasan akut atas, sering ditemukan dalam praktek
dokter anak. Anak-anak diperkirakan setiap tahunnya rata-rata mengalami 6-8 kali
infeksi saluran napas akut dibanding dewasa yang hanya 2-3 kali dalam setahun.
Diperkirakan 0,5%-10% ISPA mengakibatkan komplikasi sinusitis. Lasley
memperkirakan sebanyak 6%-13% anak sampai usia 3 tahun pernah menderita
sinusitis (Rinaldi, Lubis, Daulay, & Panggabean, 2006).
Berdasarkan etiologinya, rinosinusitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
jamur, parasit, ataupun campuran. Virus adalah penyebab paling umum dari
rinosinusitis akut. Bakteri yang sering menjadi penyebab rinosinusitis adalah
Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, beta-
hemolytic Streptococcus pyogenes (Fokkens, et al., 2012)

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang
“Rinosinusitis anak” meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinik, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis. Serta
diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai tata cara melakukan
penulisan referat secara baik dan benar.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal


Anatomi sinus paranasalis saat lahir belum semua terbentuk, kecuali
beberapa sel etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua
sinus paranasal terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus
frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa
sfeno-palatina (Broek, 2010). Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari
invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus
usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus
etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi
sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada
usia antara 15-18 tahun (Soetjipto, 2010).
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Gambar 2.1 Sinus Paranasalis

2
Gambar 2.2 Sinus Paranasalis

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila
berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang
disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid. Dari segi klinik
yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1) dasar dari anatomi
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar
M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. 2) Sinusitis maksila
dapat menyebabkan komplikasi orbita. 3) Ostium sinus maksila terletak lebih
tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga
harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus

3
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke
empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn. Sinus frontal kanan dan kiri
biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh
sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm
dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-
lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi
dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdraenase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari
sinus etmoid anteroir.
Sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling
penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat
di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9
sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-
superior dari perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid enterior
ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus

4
frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sisnusitis maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea
yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian
belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid. Batas-batasnya ialah, sebelah
superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap
nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis
interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan
dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

2.1.1 Kompleks Ostio-Meatal


Meatus medius terdapat muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan
kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

2.1.2 Fungsi Sinus


Paranasal Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal. Beberapa pendapat meliputi, 1) sebagai pengatur kondisi
udara (air conditioning). Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk
memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori
ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara

5
sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi
dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 2) sebagai penahan suhu (termal
insulators). Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. 3) membantu
keseimbangan kepala. Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori
dianggap tidak bermakna. 4) membantu resonansi suara. Sinus mungkin berfungsi
sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan
tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara
resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. 5) Sebagai
peredam perubahan tekanan udara. Misalnya pada waktu bersin atau membuang
ingus. 6) membantu produksi mukus. Jumlahnya kecil dibandingkan dengan
mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat
yang paling strategis.

2.2 Definisi
Rinitis dan sinusitis biasanya terjadi secara bersamaan, sehingga
terminologi yang digunakan saat ini adalah rinosinusitis. Rinosinusitis adalah
peradangan pada membran mukosa hidung dan sinus paranasalis. Rinosinusitis
anak memiliki dua atau lebih gejala-gejala berikut, satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau nasal discharge (sekret hidung anterior/
posterior), nyeri wajah/ rasa tekan di wajah, batuk (Fokkens, et al., 2012)
Dan tanda lainnya dari pemeriksaan endoskopi yaitu adanya polip nasi
atau sekret yang mukopurulen dari meatus media atau edema/obstruksi pada
meatus media. Atau pada CT didapatkan adanya perubahan mukosa dalam
kompleks ostiomeatal dan /atau sinus. Rinosinusitis akut apabila terjadi <12
minggu, sembuh tanpa gejala sisa. Rinosinusitis kronis apabila gejala ≥12 minggu,
dan masih ada gejala sisa (Fokkens, et al., 2012).
Rinosinusitis akut pada anak-anak didefinisikan sebagai timbulnya dua
atau lebih gejala secara tiba-tiba, salah satunya meliputi hidung

6
tersumbat/obstruksi/kongesti atau adanya nasal discharge, batuk (siang dan
malam) terjadi selama <12 minggu. Pada rinosinusitis anak juga perlu ditanyakan
terkait gejala alergi, seperti bersin, rinorea, hidung gatal, dan mata berair.
Rinosinusitis akut dapat terjadi sekali atau lebih dari sekali dalam periode waktu
tertentu, dengan syarat harus terjadinya penyembuhan total tanpa gejala sisa
antara episode tersebut, disebut sebagai rinosinusitis akut berulang.
Rinosinusitis bakterial akut (ABRS), setidaknya 3 gejala / tanda-tanda,
discoloured discharged (dominasi unilateral) dan sekret purulen pada cavum nasi,
nyeri lokal yang parah (dominasi unilateral), demam (> 38ºC), ESR / CRP tinggi,
atau double sickening
Rinosinusitis kronis (dengan atau tanpa polip hidung) pada anak-anak
didefinisikan sebagai adanya dua atau lebih gejala salah satunya harus berupa
hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau nasal discharge (hidung anterior /
posterior), nyeri/nyeri tekan wajah, batuk terjadi selama ≥12 minggu (Fokkens, et
al., 2012)
Gejala yang terjadi selama 4-12 minggu, disebut rinosinusitis subakut.
Apabila gejala bertahan lebih dari 12 minggu, disebut sebagai rinosinusitis
kronis. Rinosinusitis apabila tidak diobati atau tidak tepat dalam pengobatan
dapat menjadi rinosinusitis akut refrakter. Rinosinusitis refrakter adalah adanya 4
atau lebih episode infeksi sinus dalam satu tahun dengan masing-masing episode
berlangsung sekitar 1 minggu (Shahid, 2012).
Klasifikasikan berdasarkan durasi : akut (hingga satu bulan), subakut
(satu hingga tiga bulan) dan kronis (lebih dari tiga bulan). Rinosinusitis bakteri
akut didiagnosis pada anak berdasarkan beberapa kriteria : gejala lebih dari 10
hari (batuk atau rhinorea atau keduanya) (Badr, Gaffin, & Phipatanakul, 2017).

2.3 Epidemiologi
Infeksi saluran pernapasan akut atas, sering ditemukan dalam praktek
dokter anak. Anak-anak diperkirakan setiap tahunnya rata-rata mengalami 6-8 kali
infeksi saluran napas akut dibanding dewasa yang hanya 2-3 kali dalam setahun.
Diperkirakan 0,5%-10% ISPA mengakibatkan komplikasi sinusitis. Lasley
memperkirakan sebanyak 6%-13% anak sampai usia 3 tahun pernah menderita

7
sinusitis (Rinaldi, Lubis, Daulay, & Panggabean, 2006). Diperkirakan setiap
tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika Serikat untuk pengobatan
rinosinusitis. Tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa angka kejadian
rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI
tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan
ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat
jalan di rumah sakit. Hingga 5-10% dari infeksi saluran pernapasan bagian atas
virus pada anak-anak berkembang menjadi Acute bacterial rhinosinusitis, dengan
beberapa dari mereka berkembang menjadi rinosinusitis kronis (Badr, Gaffin, &
Phipatanakul, 2017).

2.4 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, rinosinusitis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur, parasit, ataupun campuran. Virus adalah penyebab paling umum
dari rinosinusitis akut. Wald et al. mendalami terkait bakteri yang menyebabkan
rinosinusitis akut pada 1981, dari kultur sekret pada sinus maksilaris didapatkan
bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis adalah organisme yang
paling sering diisolasi dari aspirasi sinus maksilaris pada anak-anak (Fokkens, et
al., 2012)
Selain itu spesies Mycoplasma dan klamidia juga terkait dengan sinusitis
pada anak-anak. Pada kondisi kronis melibatkan infeksi bakteri Staphylococcus,
Streptococcus alpha-hemolyticus,serta bakteri anaerob seperti
Peptostreptococcus, spesies Bacteroides and Fusobacterium, Pseudomonas.
Sedangkan parasit sebagai penyebab sinusitis sangat jarang dan biasa ditemui
pada kondisi gangguan kekebalan tubuh. Beberapa penyebab terjadinya
rinosinusitis adalah kelainan anatomik seperti hipertrofi adenoid, deviasi septum
nasi, concha bullosa, Haller cells, edema mukosa akibat rinitis akut dan rinitis
alergi, rinitis non alergi (rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa), polip nasi,
benda asing pada hidung, kondisi defisiensi imun, fibrosis kistik, sindrom
disfungsi silia seperti primary ciliary dyskinesia, Kartagener’s syndrome, tumor
hidung seperti angiofibroma nasofaring, polusi dan iritasi lingkungan,
periodontitis / penyakit gigi. Hipertrofi adenoid pada anak-anak merupakan faktor

8
penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya (Shahid, 2012).
Patogen bakteri utama dalam sinusitis bakteri akut adalah Streptococcus
pneumoniae (30-40%), Haemophilus influenzae (20-30%), Moraxella catarrhalis
(12-20%) dan Streptococcuspyogenes (hingga 3%). Agen anaerob lebih sering
pada sinusitis terkait dengan infeksi odontogenik. Jamur sering pada anak-anak
dengan defisiensi imun dan/atau diabetes (Bilac, Yorganci, & Dinleyici, 2017).

2.5 Patogenesis
Tidak semua sinus langsung berkembang dengan baik saat lahir. Setelah
tahun keempat, sinus frontal mulai membesar dan biasanya dapat terlihat secara
radiologi pada usia 6 tahun. Ukurannya terus meningkat hingga akhir remaja. Saat
lahir, sinus ethmoid dan maksilaris adalah sinus yang cukup besar yang secara
klinis dapat menyebabkan rinosinusitis. Penelitian menunjukkan lebih dari 90%
anak menunjukkan sinus ethmoid yang terlihat secara radiologis saat lahir. Sinus
ethmoid dengan cepat meningkat ukurannya sampai usia 7 tahun dan
pertumbuhan selesai pada usia 15-16 tahun. Sinus maksila adalah sinus yang
terlihat secara radiologis dan tumbuh dengan cepat mencapai volume sekitar 10
ml saat usia 9 tahun dan pertumbuhan selesai saat usia 15 tahun dengan volume
rata-rata 14,8 ml (Bilac, Yorganci, & Dinleyici, 2017).
Fungsi normal sinus terjadi apabila ostium dalam kondisi normal, fungsi
mukosiliar baik dan respon imun sistemik dan lokal. Ketika semua sistem ini
bekerja dengan baik, sinus paranasalis umumnya steril. Sinusitis dimulai dengan
peradangan dan oklusi ostium, gangguan pembersihan oleh mukosiliar, drainase
sinus tersumbat atau struktur anatomi yang abnormal. Hal ini menyebabkan
akumulasi sekret dan penurunan ventilasi sinus. Oksigenasi dalam sinus
berkurang dan terjadi tekanan negatif pada sinus. Selain itu pH dalam sinus
menurun. Bakteri pada nasofaring, jaringan adenoid dan amandel dapat menjadi
sumber infeksi (Bilac, Yorganci, & Dinleyici, 2017).
Tiga faktor utama berperan pada fisiologi sinus paranasal adalah ostium yang
terbuka, silia yang berfungsi efektif dan pengeluaran sekret yang normal. Retensi
sekret dalam sinus paranasal dapat diakibatkan oleh obstruksi ostium, penurunan

9
jumlah atau fungsi silia atau produksi yang berlebihan atau berubahnya viskositas
sekret, diikuti dengan infeksi sekunder sehingga terjadi peradangan mukosa sinus
paranasal (Rinaldi, Lubis, Daulay, & Panggabean, 2006).
Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya
hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini
akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini boleh
dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam waktu
beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini
berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas
sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem
fisiologis dan menyebabkan sinusitis (Bilac, Yorganci, & Dinleyici, 2017).

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala ARS pada anak-anak meliputi rhinorrhoea (71-80%), demam (50-
60%), batuk (50-80%), dan nyeri (29-33%). Gejala yang dianggap sangat penting
dalam diagnosis ARS adalah durasi gejala, rhinorrhoea yang purulen, dan hidung
tersumbat. Para peneliti sepakat bahwa diagnosis ARS bakteri setelah Upper
Respiratory Track infection (URTI) karena virus dengan gejala selama> 10 hari
tanpa perbaikan (nasal discharge, batuk siang hari memburuk di malam hari) atau
perburukan gejala secara tiba-tiba setelah adanya perbaikan gejala sebelumnya,
gejala lebih parah dari biasanya (demam tinggi, sekret purulen, edema periorbital
dan nyeri).

10
Membedakan antara ARS dan CRS didasarkan pada durasi penyakit pada
anak-anak dan orang dewasa. ARS didefinisikan oleh gejala berlangsung <12
minggu dengan resolusi gejala secara penuh. Gejala yang berlangsung ≥12
minggu tanpa resolusi gejala yang penuh disebut CRS (Fokkens,et al., 2012)

2.7 Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis biasanya ditemukan gejala rinosinusitis
berupa hidung tersumbat, nasal discharge, batuk, nyeri atau nyeri tekan pada sinus
yang terkena, demam (apabila infeksi bakteri), malaise, nyeri kepala. Selain itu
juga perlu ditanyakan terkait gejala alergi meliputi bersin, rinorea, hidung gatal,
dan mata berair. Riwayat alergi dalam keluarga juga penting untuk ditanyakan.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan hidung dilihat pada meatus,
mukosa, dan adanya pus/sekret yang purulen. Pemeriksaan menggunakan lampu
kepala dan spekulum hidung. Dekongestion topikal dapat digunakan
untuk memperjelas visualisasi. Pemeriksaan rongga mulut untuk melihat adanya
post nasal drip, adanya cobblestoen atau adanya hipertrofi tonsil. Gold standar
penegakan diagnosis adalah dengan aspirasi sinus maksilari, namun tindakan ini
merupakan tindakan yang invasif dan sulit dilakukan pada anak. Diagnosis ARS
pada anak dasarkan klinis, sedangkan computed tomography (CT) adalah
modalitas pencitraan pilihan. Rekomendasi dari American Academy of
Paediatrics, yang diterbitkan pada tahun 2001, menyatakan bahwa CT digunakan
apabila gejala tetap ada setelah 10 hari terapi adekuat, imunokompremais dan
pada pasien dengan dugaan komplikasi (terutama komplikasi pada otak dan
orbita). sinus yang paling sering terlibat adalah sinus maksilaris (99%) kemudian
diikuti oleh sinus ethmoid (91%) (Fokkens, et al., 2012)

11
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Rinosinusitis akut
2.8.1.1 Antibiotik
Saat mempertimbangkan pilihan antibiotik, ARS tanpa komplikasi pada
anak yang belum menerima banyak antibiotik sebelumnya dapat diberikan
amoksisilin (40 mg /kgBB/hari atau 80 mg/kgBB/hari). Selain itu pilihan lainnya
adalah amoksisilin-klavulanat dan sefalosporin yang efektif pada bakteri terutama
yang memproduksi β-laktamase. Jika hipersensitif terhadap antimikroba diatas,
pilihan alternatif yang dapat diberikan adalah trimethoprim / sulfamethoxasole,
azithromycin, atau klaritromisin. Klindamisin efektif apabila organisme anaerob,
etapi tidak efektif pada bakteri gram negatif (Fokkens, et al., 2012)
Amoksisilin dosis tinggi (90mg/kgBB/hari) harus dipertimbangkan
sebagai agen lini pertama untuk pengobatan sinusitis. Karena kebanyakan kasus
disebabkan oleh Haemophilus influenza penambahan asam klavulanat ke
amoksisilin memberikan keuntungan dibandingkan amoksisilin saja. Sefalosporin
generasi 2 atau 3 adalah antibiotik alternatif, meskipun kurang aktif melawan S.
pneumoniae dari pada amoksisilin-klavulanat. Pada pasien dengan kontraindikasi
terhadap antibiotik beta-laktam, fluoroquinolone (levofloxacin atau moxifloxacin)
atau doksisiklin dapat digunakan. Gejala biasanya membaik dalam waktu 48 jam.
Jika gejala memburuk dalam 72 jam atau tidak membaik dalam 3-5 hari, maka
penilaian klinis diperlukan. Aspirasi sinus dapat dipertimbangkan untuk
identifikasi organisme penyebab. Durasi terapi antimikroba yang tepat belum
diteliti secara menyeluruh. Untuk anak-anak yang memiliki respon cepat, terapi
biasanya diberikan selama sepuluh hari (Badr, Gaffin, & Phipatanakul, 2017)

2.8.1.2 Steroid nasal


Pemberian steroid intranasal dalam beberapa penelitian dikombinasikan
dengan antibiotik sebagai lini pertama terapi. Kombinasi yang diberikan adalah
budesonide dan amoksisilin-klavulanat selama 3 minggu. Selain itu dalam
penelitian, pada anak lebih dari sama dengan 12 tahun pemberian mometason 200
mcg dua kali sehari (dua kali lipat dari dosis untuk rinitis alergi) lebih efektif
dalam mengendalikan gejala, sehingga dosis steroid intranasal pada anak yang

12
lebih besar mungkin efektif sebagai monoterapi untuk ARS. Namun,
pemberiannya pada anak dengan usia lebih muda tidak dibenarkan (Fokkens, et
al., 2012).

Gambar 2. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak

2.8.2 Rinosinusitis kronik


Rinosinusitis kronik pada pediatrik yang terkait dengan rinitis alergi,
penghindaran alergen, anti-histamin, dan steroid hidung akan membantu
memperbaiki gejala. Pernyataan konsensus terbaru mengenai rinosinusitis kronik
pada pediatrik yang diterbitkan oleh Brietzke et al, disepakati bahwa semprotan
steroid nasal harian dengan irigasi hidung merupakan terapi medis tambahan yang
efektif. Selain itu, dalam penelitian menemukan bahwa penggunaan jangka
panjang dari irigasi saline hidung mengurangi kebutuhan untuk operasi.
Penggunaan antibiotik selama 20 hari berturut-turut memiliki respons klinis yang
lebih baik dibandingkan dengan 10 hari (Badr, Gaffin, & Phipatanakul, 2017).
Intervensi bedah bukan pengobatan unggulan untuk rinosinusitis kronik
dan hanya digunakan jika ada komplikasi, kegagalan terapi medikamentosa, dan

13
pada pasien dengan dugaan kelainan anatomi. Pada anak dengan adenoid sebagai
reservoir bakteri, adenoidektomi sangat efektif. Adenoidektomi efektif sebagai
terapi bedah pada anak-anak berusia hingga 6-12 tahun (Mustafa, et al., 2015).
Penatalaksanaan rinosinusitis kronis dengan komplikasi orbita dapat
berupa pemberian medikamentosa baik antibiotik intravena dengan spektrum luas
dan atau kombinasi, dekongestan, kortikosteroid sistemik maupun disertai dengan
tindakan operatif. Selulitis periorbita dan selulitis orbita biasanya dapat sembuh
hanya dengan terapi medikamentosa. Pada abses periorbita, selain terapi
medikamentosa dilakukan juga drainase abses dan eradikasi sumber infeksi pada
sinus yang terlibat. Pada abses orbita diberikan terapi medikamentosa dan operatif
berupa drainase abses dan orbitotomi untuk dekompresi saraf optik. Umumnya
tindakan operatif dilakukan bila terdapat kegagalan terapi medikamentosa yang
optimal atau sudah terdapat komplikasi orbita yang berat dan atau komplikasi
intrakranial

Gambar 2. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak

14
2.9 Komplikasi
Komplikasi intraorbital dan intrakranial sering terjadi pada sinusitis
kronis, dan sinusitis jamur serta dengan fibrosis kistik dan status imunodefisiensi.
Meningitis, abses otak, dan trombosis sinus kavernosa dapat terjadi. Sinusitis
dapat meluas ke jaringan yang berdekatan dan menyebabkan adenoiditis, otitis
media serosa atau purulen, radang tenggorokan, dan dakriosistitis (Badr, Gaffin,
& Phipatanakul, 2017).
Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik dapat
berupa komplikasi lokal (mukokel, osteomielitis), komplikasi orbita dan
komplikasi intrakranial. Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan
infeksi rinosinusitis akut pada anak sedangkan pada anak yang lebih besar dan
orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik.
Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran
langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka,
erosi tulang terutama pada lamina papirasea dan tromboflebitis retrograd langsung
melalui pembuluh darah vena yang tidak berkatup yang menghubungkan orbita
dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal.

Gambar 2. Klasifikasi komplikasi orbital (Frederick & Suh, 2015)

Komplikasi orbital meliputi 1) selulitis periorbita: peradangan pada


kelopak mata yang ditandai dengan edema pada kelopak mata. 2) Selulitis orbita:
peradangan dan edema sudah meluas ke orbita, ditandai dengan adanya proptosis,
kemosis dan gangguan pergerakan bola mata. Biasanya bisa meluas menjadi abses
orbita dan kebutaan. 3) abses periorbita (abses subperiosteal): pembentukan dan

15
pengumpulan pus antara periorbita dan dinding tulang orbita, yang ditandai
dengan proptosis dengan perubahan letak bola mata, gangguan pergerakan bola
mata dan penurunan visus. 4) abses orbita: terdapat pembentukan dan
pengumpulan pus di orbita ditandai dengan optalmoplegi, proptosis dan
kehilangan penglihatan. 5) trombosis sinus kavernosus: sudah terjadi perluasan
infeksi ke sinus kavernosus yang ditandai dengan proptosis, optalmoplegi,
kehilangan penglihatan disertai perluasan tanda infeksi ke mata yang sehat dan
tanda-tanda meningitis.

2.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada tahap rinosinusitis, kondisi, tingkat komplikasi,
jenis dan tingkat keparahan infeksi, faktor host, faktor lingkungan, kepatuhan
dengan pengobatan, dan modalitas pengobatan yang digunakan. Rinosinusitis akut
jika dikelola dengan baik berpotensi untuk pulih tanpa gejala sisa. Tingkat
kekambuhan akan lebih rendah jika kondisi terkait diperbaiki secara simultan dan
faktor lingkungan dihilangkan (Badr, Gaffin, & Phipatanakul, 2017).
.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rinosinusitis adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal yang
ditandai dua gejala atau lebih, salah satunya hidung tersumbat atau obstruksi
atau kongesti disertai dengan nyeri wajah dan/atau batuk.
Berdasarkan etiologinya, rinosinusitis dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur, parasit, ataupun campuran. Virus adalah penyebab paling
umum dari rinosinusitis akut. Bakteri yang sering menjadi penyebab
rinosinusitis adalah Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, beta-hemolytic Streptococcus pyogenes. Tatalaksana
yang dapat dilakukan berupa pemberian medikamentosa atau tindakan
pembedahan. Jamur sering pada anak-anak dengan defisiensi imun dan/atau
diabetes.
Tatalaksa pada rinosinusitis anak adalah dengan medikamentosa.
Tindakan pembedahan dilakukan apabila ada komplikasi, kegagalan terapi
medikamentosa, dan pada pasien dengan dugaan kelainan anatomi.
Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik
dapat berupa komplikasi lokal (mukokel, osteomielitis), komplikasi orbita
dan komplikasi intrakranial. Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat
perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak sedangkan pada anak yang
lebih besar dan orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut
ataupun kronik.
Prognosis tergantung pada tahap rinosinusitis, kondisi, tingkat
komplikasi, jenis dan tingkat keparahan infeksi, faktor host, faktor
lingkungan, kepatuhan dengan pengobatan, dan modalitas pengobatan yang
digunakan. Rinosinusitis akut jika dikelola dengan baik berpotensi untuk
pulih tanpa gejala sisa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Badr, D. T., Gaffin, J. M., & Phipatanakul, W. (2017). Pediatric Rhinosinusitis.


PMC.

Bilac, O., Yorganci, B., & Dinleyici, E. C. (2017). Pediatric Sinusitis. SMGroup.

Fokkens, W. J., Lund, V. J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., & Baroody, F.
(2012, March). European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps. EPOS, 50(23), 48.

Frederick, J. W., & Suh, J. D. (2015). Indications for Referral for Pediatric
Rhinosinusitis. Curr Treat Options Peds, 242-252.

Mustafa, M., Patawari, P., Iftikhar, H., Shimmi, S., Hussain, S., & Sien, M.
(2015). Acute and Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology and
Treatment. International Journal of Pharmaceutical Science Invention,
4(2), 30-36.

Rinaldi, Lubis, H. M., Daulay, R. M., & Panggabean, G. (2006). Sinusitis pada
Anak. Sari Pediatri, 7(4), 244-248.

Shahid, S. K. (2012). Rhinosinusitis in Children. ISRN Otolaryngology, 1-11.

18

Anda mungkin juga menyukai