Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

FIRST UNPROVOKED SEIZURE

Oleh:
Mayang Febrina Putri

Diajukan Kepada:
dr. Lilis D. Hendrawati , Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
PERIODE 17 JUNI 2019 – 24 AGUSTUS 2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
FIRST UNPROVOKED SEIZURE

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

RSUP Persahabatan

Disusun oleh:

Mayang Febrina Putri 1820221109

Pembimbing

dr. Lilis D. Hendrawati , Sp.A (K)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“First Unprovoked Seizure”. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada dr. Lilis D. Hendrawati , Sp.A (K) selaku pembimbing
selama penyusunan tugas ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan

Jakarta, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

I.1 Pendahuluan ............................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2

II.1 Definisi .................................................................................................... 2

II.2 Klasifikasi Kejang ................................................................................... 2

II.3 Patofisiologi ............................................................................................ 5

II.4 Diagnosis ................................................................................................. 5

II. 5 Diagnosis Banding ................................................................................. 8

II.6 Faktor Risiko Berulangnya Kejang ....................................................... 10

II.7 Penatalaksanaan .................................................................................... 12

II.8 Indikasi Pemberian Obat Anti-Epilepsi ................................................ 12

II.9 Prognosis ............................................................................................... 14

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 15

III.1 Kesimpulan .......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Pendahuluan
Kejang merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering
ditemui pada pasien anak.Sebagian besar kejang terjadi pada masa anak-anak
dengan perkiraan 2-3% anak mengalami kejang sebelum berumur 16 tahun (Hirtz
et al, 2003).
Kejang dapat terjadi dengan atau tanpa provokasi. Kejang dengan provokasi
jika terjadi kerusakan atau gangguan otak akut (Landau YE et al, 2010) sedangkan
tanpa provokasi jika tidak adanya gangguan otak akut dan sering dihubungkan
dengan epilepsy (Moshe SL, 2005). First unprovoked seizure (FUS) adalah kejang
tanpa provokasi yang terjadi pertama kali pada anak. Keadaan yang tidak
termasuk FUS misalnya trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat, dan gangguan
metabolik, serta pemakaian obat-obatan (D. Hirtz et al, 2000).
Rerata risiko berulangnya kejang setelah FUS adalah 22% setelah 6 bulan,
29% setelah 12 bulan, 37% setelah 24 bulan, 43% setelah 60 bulan, dan 46%
setelah 120 bulan (Moshe SL, 2005).
Keadaan yang ditemukan saat ini adalah mengobati anak yang mengalami
FUS dengan obat anti-epilepsi (OAE) jangka panjang sebab dikhawatirkan kejang
akan berulang kembali dan kejang sangat berbahaya karena berpotensi
menyebabkan kerusakan otak, disamping itu OAE bersifat aman, memiliki sedikit
efek samping, dan efektif untuk mencegah berulangnya kejang (D. Hirtz et al,
2000).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Secara umum definisi kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal
yang tanpa atau disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang
disebabkan akibat perubahan aktivitas elektrik di otak (Sampson et al, 2007).
First unprovoked seizure (FUS) didefinisikan sebagai rangkaian kejang
pada seorang anak berumur lebih dari 1 bulan disertai pulihnya kesadaran diantara
kejang dan tidak diketahui adanya faktor pemicu terjadinya kejang seperti demam,
trauma kepala, infeksi sistem saraf pusat, tumor, atau kelainan metabolik seperti
hipoglikemia serta obat-obatan (D. Hirtz et al, 2003). Kejang yang terjadi pertama
kali dapat berupa kejang biasa, berulangnya kejang atau status epileptikus (Moshe
SL, 2005). Kejang yang berulang dalam satu hari dianggap sebagai satu episode
kejang (D. Hirtz et al, 2000).

II.2 Klasifikasi Kejang


a. Berdasarkan keterlibatan hemisfer serebri:
Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat
diklasifikasikan menjadi (Fauci A et al, 2008) :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu
hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada
30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan pada
anak berusia 3 hingga 13 tahun (Major dan Thiele, 2007). Kejang parsial dapat
dikelompokkan menjadi :
a) Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan
perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas
motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang
terjadi.

2
b) Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.
c) Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang
umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik.
Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan
kedua hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran.
Kejang umum dapat dikelompokkan menjadi :
a) Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba,
namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau
sensorik).
Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua
pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot yang
progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia
tinja.
Pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan
gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan
kesadaran pada anak selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut
hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.
b) Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik.
Anak tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas
otot yang progresif.

3
c) Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh
secara tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat
terjadi hingga ratusan kali per hari.
d) Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba –
tiba.
e) Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal)
atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang
absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara
tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai
dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode
kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang
dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun.
Kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan
berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai
dengan perubahan kesadaran (Friedman dan Sharieff, 2006).
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak
dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. Kejang
ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1 tahun
(Fauci A et al, 2008).
b. Berdasarkan penyebab:
Berdasarkan penyebabnya kejang dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Kejang kriptogenik:
Kejang yang tidak diketahui penyebabnya. Klasifikasi sebelumnya
menyebutkan dengan istilah kejang idiopatik akan tetapi istilah ini tidak lagi
digunakan oleh ILAE. Kejang ini disebut juga first unprovoked seizure (Murro,
1997).

4
2. Kejang simtomatik:
Kejang yang penyebab atau kemungkinan penyebab kerusakan otak
dapat diketahui dan dapat meningkatkan risiko menjadi epilepsi. Kejang
simtomatik dibedakan menjadi dua yaitu:
a) Acute symptomatic seizure atau provoked seizurey :
Kejang yang timbul setelah gangguan otak akut yaitu dalam satu
minggu sebelum terjadinya kejang
b) Remote symptomatic seizure
Kejang yang timbul lama setelah adanya gangguan otak sebelumnya.
Remote symptomatic seizure yang terjadi pertama kali juga dikelompokkan
kedalam first unprovoked seizure (Murro, 1997).

II.3 Patofisiologi
Secara umum kejang terjadi apabila neuron-neuron dalam area otak
teraktivasi dengan cara sinkronisasi. Aktivasi fokal sekelompok neuron kemudian
menyebar ke neuron sekitarnya dan neuron-neuron jatuh dalam aktivasi abnormal.
Terjadinya suatu kejang melibatkan berbagai macam aspek selular atau
biokimiawi seperti gangguan fungsi kanal ion, level neurotransmiter, fungsi
reseptor neurotransmiter, atau metabolisme energi yang mengganggu eksitabilitas
neuron sehingga menimbulkan kejang.
Secara umum, depolarisasi diperantarai oleh neurotransmiter eksitatori yaitu
glutamat dan aspartat. Peningkatan efektivitas sinaptik terjadi akibat
meningkatnya ambilan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) sehingga terjadi
influks kalsium kedalam sel dan peningkatan eksitabilitas sel. Ketika proses
eksitatori meningkat terjadi reduksi simultan sirkuit inhibisi sehingga manifestasi
kejang berlangsung (Delanty dan Vaughan, 2003).

II.4 Diagnosis
First unprovoked seizure ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan penyebab
kejang lainnya.

5
a. Anamnesis
1. Kejadian pre-iktal :
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian
sebelum episode kejang terjadi :
a) Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
b) Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak sedang
demam sebelum kejang terjadi?
c) Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau –
bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara,
mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
d) Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu
sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
e) Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
f) Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala,
beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang :
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian
saat episode kejang terjadi :
a) Berapa lama kejang berlangsung?
b) Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
c) Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
d) Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang
terjadi?
e) Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar atau
tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal:
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian
setelah episode kejang terjadi :
a) Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
b) Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau
anak tampak seperti tidak terjadi apa – apa?

6
c) Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung? (Rajna P et
al, 2008).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus diperiksa,
karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak.
Diagnosis FUS juga ditegakkan dengan mengesampingkan keadaan lain
yang menyerupai kejang seperti sinkop, serangan napas terhenti sejenak
(breathholding spell), tic, migren, masturbasi infantil serta gangguan tidur
(parasomnia) sehingga diperlukan kemampuan untuk mendeskripsikan kejang
dengan akurat sehingga dapat dibedakan apakah kejadian tersebut kejang atau
kejadian lain yang meyerupai kejang (Hirtz D et al., 2000).
c. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada anak yang
mengalami FUS seperti:
1. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan bersifat individual berdasarkan
riwayat dan kondisi klinis pasien seperti muntah, diare, dehidrasi, dan tidak
sadar (Deputy, 2009).
2. Elektroensefalografi (EEG).
Elektroensefalografi sangat berguna untuk mengidentifikasi jenis kejang,
membantu mengklasifikasi kejang dan memperkirakan prognosis jangka
panjang. Dengan melakukan pemeriksaan EEG maka dapat mengungkapkan
fokal epilepsi atau kelainan lateralisasi. Jika memungkinkan, EEG harus
diperoleh saat pasien terjaga dan tidur (Moshe SL, 2005).
Jika kejadian FUS merupakan kejang umum tonik klonik yang terjadi
singkat (kurang dari 10 menit) maka EEG tidak mutlak diperlukan, akan tetapi
jika awitan kejang itu tidak disaksikan maka EEG sebaiknya dilakukan (Hirtz
D et al, 2003).

7
3. Pemeriksaan pencitraan
a) Magnetic resonance imaging (MRI)
Merupakan modalitas utama dalam pemeriksaan pencitraan dari
pasien dengan kejang pencetus pertama kali. Pemeriksaan MRI emergensi
dikerjakan pada setiap anak dengan defisit post-iktal (paresis Todd’s) yang
tidak segera membaik atau tidak kembali dalam beberapa jam pengamatan.
Pemeriksaan MRI tidak emergensi dikerjakan pada pasien dengan FUS
disertai adanya kelainan neurologis seperti keterlambatan perkembangan
global, kejang parsial, umur kurang dari satu tahun atau pada gambaran
EEG tidak menunjukkan epilepsi parsial benign atau epilepsi umum primer
(Hirtz D et al, 2000).
b) Computed tomography scan (CT-Scan)
Bermanfaat pada pasien dengan riwayat trauma kepala. Jika tidak ada
trauma kepala dan anak tampak normal maka pemeriksaan CT scan tidak
diperlukan sebab CT scan tidak sensitif dalam mendeteksi berbagai
penyebab kejang misalnya heterotopia pada substansia grisea atau ukuran
hipokampus yang asimetris (Deputy R, 2009).

II. 5 Diagnosis Banding


Berikut adalah beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai
kejang :
a. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita
tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya
terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang
terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja.
b. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak –
anak, biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells
terjadi pada 5% anak – anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe
dari Breath holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell
dan pallid spell.

8
Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan napas,
sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai dengan gerakan
seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan nyeri,
diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang singkat.
c. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
d. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang
abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi.
Tics adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh
manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan
kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang
berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal.
Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara involunter
dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis.
e. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal
movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang
sebenarnya dan sering terjadi pada anak – anak dengan riwayat epilepsi.
f. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik
perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum
masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan
menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan
tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleep walking atau somnabulisme dapat
ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan tanpa
tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut kembali ke
tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja dengan perubahan
kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan
katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba – tiba (Rajnaa P et al, 2008).

9
II.6 Faktor Risiko Berulangnya Kejang
Kebanyakan anak tidak akan mengalami kejang berulang setelah FUS.
Identifikasi pasien dengan risiko tinggi berulangnya kejang penting dilakukan
sebab pendekatan terhadap pasien dengan risiko tidak sama dengan pasien tanpa
faktor risiko (Hirtz D et al, 2003).
Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan berulangnya kejang pada
FUS seperti: kelainan neurologis (retardasi mental, palsi serebral, pasca-trauma
kepala, pasca infeksi sistem saraf pusat), gambaran EEG epileptiform, dalam
keadaan tidur saat serangan, dan riwayat kejang demam kompleks sebelumnya;
sedangkan beberapa faktor risiko yang belum pasti berperan dalam berulangnya
kejang misalnya: umur saat kejang, jenis kelamin, tipe kejang, durasi kejang, dan
riwayat epilepsi dalam keluarga (Berg, 2008).
a. Kelainan neurologis dan gambaran EEG epileptiform
Kelainan neurologis yang mendasari seperti retardasi mental, palsi serebral,
pasca trauma kepala atau pasca infeksi sistem saraf pusat sebelumnya, serta
gambaran EEG epileptiform. Kedua faktor tersebut bersifat menguatkan dan
kehadiran keduanya pada pasien menjadikan risiko tinggi berulangnya kejang jika
dibandingkan tanpa salah satu atau kedua faktor risiko tersebut.
Pada penelitian Multicenter Epilepsy and Single Seizure (MESS) pasien
dengan EEG normal dan gambaran neurologis normal berisiko untuk berulangnya
kejang yaitu 20%, 25%, dan 30% pada 1, 2, dan 4 tahun setelah FUS (Kim et al.,
2006).
b. Umur saat kejang
Beberapa penelitian observasional dan penelitian MESS dengan jumlah
subjek yang besar menunjukkan tidak ada pengaruh umur terhadap berulangnya
kejang (Berg, 2008).
c. Tipe kejang
Winckler dan Rotta pada penelitian mengatakan bahwa jika kejang pertama
yanag dialami adalah kejang fokal, maka pasien memiliki risiko enam kali lipat
lebih besar untuk mengalami kejang dikemudian hari. Hasil penelitian lain banyak
yang menemukan bahwa tipe kejang saat pertama kali terjadi tidaklah
mempengaruhi berulangnya kejang yang dialami oleh pasien (Maia et al., 2016).

10
Secara umum beberapa tipe kejang tertentu sangat jarang ditemukan pada
pasien dengan FUS misalnya tipe kejang absans, mioklonik, dan kejang parsial
kompleks serta spasme epileptik. Beberapa tipe kejang yang lebih sering
ditemukan sebagai FUS misalnya kejang umum tipe tonik-klonik (Berg, 2008).
d. Durasi kejang
Durasi kejang bukan merupakan faktor risiko yang mendukung terjadinya
berulangnya kejang akan tetapi pertimbangan pemberian pengobatan OAE bukan
hanya menurunkan risiko berulangnya kejang tetapi juga menurunkan risiko
terjadinya kejang yang berkepanjangan bahkan status epileptikus (Pohlmann-Eden
et al, 2006).
e. Keadaan tidur
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko berulangnya kejang
jika kejang terjadi pada saat pasien tidur. Tidur pada saat kejang pertama
menimbulkan risiko berulang sebesar 50% atau lebih dan berulangnya kejang
cenderung terjadi dalam keadaan tidur, sama seperti pada kejang yang pertama
(Berg, 2008).
f. Riwayat epilepsi dalam keluarga
Beberapa tipe epilepsi bersifat diturunkan melalui kode genetik dan
berhubungan dengan kejadian kejang pada anggota keluarga lainnya. Belum
didapatkan bukti yang mendukung terjadinya peningkatan risiko kejang berulang
pada pasien dengan FUS yang memiliki riwayat epilepsi dalam keluarga (Berg,
2008).
g. Riwayat kejang demam kompleks sebelumnya
Ditemukan peningkatan risiko berulangnya kejang pada pasien dengan
riwayat kejang demam kompleks sebelumnya. Beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan angka berulangnya kejang bervariasi mulai dari 24% pada pasien
tanpa faktor risiko hingga 65% atau lebih pada pasien yang memiliki dua atau
lebih faktor risiko (misalnya riwayat epilepsi dalam keluarga, awitan parsial,
gambaran EEG epileptiform, dan kelainan pada sistem saraf pusat) (Deputy R,
2009).

11
II.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan FUS adalah penanganan pada saat serangan kejang. Pada
pasien yang mengalami serangan kejang prioritas utama adalah mengatasi kejang,
pakaian dilonggarkan, dan posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi serta
menjaga agar jalan napas tetap terbuka. Sebagian besar kasus kejang berhenti
sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan
pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi
(Deliana, 2002).
Diazepam dapat diberikan secara rektal maupun intravena dengan dosis 0,3
mg/kg berat badan. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman
dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam
tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital suntikan intramuskular dengan dosis
awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan –1 tahun, dan 75 mg untuk
usia lebih dari 1 tahun (Deliana, 2002).
Sampai saat ini belum terdapat panduan dalam tatalaksana jika FUS terjadi
sebagai kejang multipel lebih dari satu kali dalam periode 24 jam. Kejang multipel
sampai saat ini diyakini bukan merupakan faktor risiko berulangnya kejang di
masa mendatang sehingga menurut Kho dkk (Kho et al, 2006) kejang multipel
dalam kurun waktu 24 jam sebaiknya dilakukan tatalaksana yang sama seperti
kejang tunggal yaitu dilakukan tatalaksana saat terjadi serangan kejang. Sekitar
10-12% pasien dengan FUS mengalami status epileptikus dan kemungkinan untuk
status epileptikus lebih tinggi pada FUS dengan kejang berulang. Beberapa
praktisi menganjurkan untuk pemberian OAE dalam keadaan FUS dengan jenis
kejang status epileptikus dengan alasan mencegah kerusakan otak lebih lanjut jika
terjadi kejang berulang (Hirtz et al, 2003).

II.8 Indikasi Pemberian Obat Anti-Epilepsi


Rekomendasi dari American Academic of Neurology tahun 2003 yaitu
keputusan untuk memberikan pengobatan OAE atau tidak pada pasien anak
dengan FUS harus berdasarkan pertimbangan risiko berulangnya kejang dan
konsekuensi akibat berulangnya kejang tersebut, dan mempertimbangkan risiko

12
akan pengobatan OAE jangka panjang yaitu meliputi aspek kognitif, tingkah laku,
faktor fisik maupun psikososial. Pengobatan FUS dengan OAE bukan sebagai
profilaksis terjadinya epilepsi dan pengobatan dengan OAE dipertimbangkan jika
keuntungan untuk mengurangi risiko berulangnya kejang melebihi efek samping
psikologis maupun farmakologis pasien (Hirtz et al, 2003).
American Academic of Neurology menyimpulkan bahwa terapi dengan OAE
akan menurunkan berulangnya kejang hingga 50%, dan pengobatan anti epilepsi
yang diberikan setelah kejang pertama dapat mengurangi kekambuhan kejang
dalam dua tahun pertama setelah kejang pertama terjadi, akan tetapi OAE tidak
dapat mengurangi munculnya kejadian epilepsi di masa mendatang, hal ini
disebabkan proses epileptogenik akan terus berkembang tidak tergantung dari
penggunaan OAE.
Pada saat ini, OAE umumnya direkomendasikan diberikan setelah terjadi
kejang kedua atau pada saat terjadi kejang pertama kali pada kasus-kasus khusus,
seperti, anak dengan defisit neurologism hasil EEG menunjukkan aktivitas
epilepsi fokal, atau pada saat gambaran neuroimaging menghilangkan
kemungkinan kelainan struktural (Maia et al., 2016)
Remisi kejang lebih berkaitan dengan berbagai faktor risiko yang mendasari
dibandingkan dengan intervensi pengobatan yang diberikan sebelumnya (Hirtz et
al, 2003).
Jika pasien didapatkan dengan risiko tinggi berulangnya kejang dan
dipertimbangkan untuk memberikan OAE maka pemilihannya OAE dengan
efektivitas tinggi, dosis minimal yang dapat memberikan efek terapi, memiliki
keamanan jangka panjang, dan dapat ditoleransi dengan baik, interaksi obat
minimal, serta dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Jika kelainan mendasar
epilepsi telah diketahui misalnya melalui gambaran EEG epileptiform maka
terdapat beberapa pilihan pengobatan OAE yaitu untuk kejang fokal maka pilihan
OAE yaitu karbamazepin, klobazam, gabapentin, lamotrigin,
oxkarbamazepin,topiramat, asam valproat; sedangkan untuk kejang umum pilihan
OAE yaitu lamotrigin, topiramat,dan asam valproat. Pemilihan OAE bersifat
individual dengan mempertimbangkan faktor biaya maupun kepatuhan dan
pertimbangan keluarga (Pohlmann-Eden et al, 2006).

13
Saat ini kesepakatan yang sering digunakan pada anak dengan FUS adalah
melanjutkan pengobatan OAE hingga bebas kejang satu tahun kecuali pada kasus
abnormalitas gambaran EEG berupa juvenile myoclonic epilepsy yang
memerlukan terapi jangka panjang. Beberapa ahli berpendapat untuk
menggunakan gambaran EEG epileptiform yang persisten untuk memutuskan
kelanjutan pengobatan OAE sebab risiko tinggi berulangnya kejang ditentukan
oleh gambaran EEG epileptiform tersebut (Pohlmann-Eden et al, 2006).
Obat anti-epilepsi dapat menyebabkan efek samping sistemik seperti ruam,
hirsutisme, dan peningkatan berat badan, mual didapatkan pada tujuh hingga 58%
anak. Efek samping lainnya yang lebih berat berupa toksisitas hepar, toksisitas
sumsum tulang, dan Stevens Johnson syndrome, OAE fenobarbital juga
menimbulkan efek samping gangguan perilaku dan kognitif (Hirtz et al, 2003).

II.9 Prognosis
Penelitian oleh Sogawa dkk yang meneliti secara prospektif selama 15 tahun
mengenai luaran kognitif pasien anak dengan FUS tanpa pengobatan OAE
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan fungsi kognitif antara pasien
FUS dengan saudara kandung yang tidak mengalami FUS. Penelitian tersebut
juga mendapatkan kecenderungan nilai kognitif yang lebih tinggi pada pasien
dengan FUS jika dibandingkan dengan pasien yang menderita epilepsi (Sogawa et
al., 2010).

14
BAB III
KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan
First unprovoked seizure adalah rangkaian kejang pada seorang anak
berumur lebih dari 1 bulan disertai pulihnya kesadaran diantara kejang dan tidak
diketahui adanya factor pemicu kejang seperti demam, trauma kepala, infeksi
system saraf pusat, tumor, atau kelainan metabolik seperti hipoglikemia serta
obat-obatan. Kejang yang berulang dalam satu hari dianggap sebagai satu episode
kejang. Sebagian besar anak yang mengalami FUS tidak mengalami berulangnya
kejang dimasa mendatang dan jika berulang maka pengobatannya tidak tergantung
dari terapi yang diberikan sebelumnya.
Tatalaksana FUS merupakan tatalaksana fase akut yaitu mengatasi kejang
pada saat serangan dengan pemberian obat anti-kejang dimulai dari
diazepam.Tujuan utama pengobatan OAE pada pasien dengan FUS adalah untuk
mengoptimalisasi kualitas hidup pasien dengan mempertimbangkan risiko
berulangnya kejang dan efek samping pemberian OAE. Keputusan untuk
memberikan atau tidak memberikan pengobatan OAE bersifat perorangan
menurut aspek medis maupun pilihan keluarga. Pengobatan dengan OAE setelah
FUS jika dibandingkan dengan pengobatan setelah mengalami epilepsi tidak
memperbaiki prognosis dalam hal remisi bebas kejang di masa mendatang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Berg, A. T. (2008) “Risk of recurrence after a first unprovoked seizure,”


Epilepsia, 49(1), hal. 13–18.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/j.1528-1167.2008.01444.x.

D, S. H. dan L. (2007) “Seizures in Childhood,” in Kliegman (ed.) Nelson


Textbook of Pediatrics. 18 ed. Philadelphia.

Delanty, N. dan Vaughan, C. J. (2003) “Pathophysiology of Acute Symptomatic


Seizures,” Seizures, hal. 007–023.

Deliana, M. (2002) Tata Laksana Kejang Demam pada Anak, Sari Pediatri.
Jakarta: Balai Pustaka FK-UI.
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/962/893.

Deputy R, S. (2009) “Evaluation of pediatric patients,” 30(11). Tersedia pada:


https://www.aappublications.org/content/aapnews/30/11/14.full.pdf.

Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al (2008)


“Epilepsy,” in Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 ed. McGraw
Hill.

Friedman, M. J. dan Sharieff, G. Q. (2006) “Seizures in children,” Pediatric


Clinics of North America, 53(2), hal. 257–277.

Hirtz D, Ashwal S, B. A., Bettis D, Camfield C, C. dan P. (2000) “PRACTICE


PARAMETER: EVALUATING A FIRST NONFEBRILE SEIZURE IN
CHILDREN,” American Academy of Neurology, 55, hal. 616–623.
https://n.neurology.org/content/neurology/55/5/616.full.pdf.

Hirtz D, Berg A, B. D., Camfield P, C. P. dan Elteman R (2003) “Practice


parameter: Treatment of the child with a first unprovoked seizure: Report of
the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of
Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society,”
Neurology, 60(2), hal. 166–175.

16
Kim, L. G. et al. (2006) “Prediction of risk of seizure recurrence after a single
seizure and early epilepsy: Further results from the MESS trial,” Lancet
Neurology, 5(4), hal. 317–322.

Landau YE, W. Y. dan A, S. (2010) “Management of children with nonfebrile


seizures in the emergency department,” European Paediatric Neurology
Society, 14, hal. 439–444.

Lay Kun Kho, Nicholas D. Lawn, John W. Dunne, J. L. (2006) “First seizure
presentation: Do multiple seizures within 24 hours predict recurrence?,”
American Academy of Neurology, 67, hal. 1047–1049.
https://n.neurology.org/content/67/6/1047.

Maia, C. et al. (2016) “Risk of recurrence after a first unprovoked seizure in,”
Jornal de Pediatria. Sociedade Brasileira de Pediatria, (xx), hal. 1–6.

Major, P. dan Thiele, E. A. (2007) “Seizures in children: Determining the


variation,” Pediatrics in Review, 28(10), hal. 363–371.

Moshe SL, B. J. (2005) Current Management in Child Neurology. 3 ed. Diedit


oleh M. BL. Hamilton: BC Decker.

Murro, A. (1997) “Seizure Disorders,” Medical College of Georgia Epilepsy


Program.
http://www.jasoncartermd.com/resources/pdf/Seizure Disorders.pdf.

Pohlmann-Eden B, B. e dan Camfield C, C. P. (2006) “The first seizure and its


management in adults and children.,” BMJ, 332, hal. 339–342.
https://www.bmj.com/content/332/7537/339.full.

Rajnaa Peter, Sólyomb András, Mezőfic László, V. É. (2008) “Are there real
unprovoked/unprecipitated seizures?,” medical hypotheses, 71(6), hal. 851–
857.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0306987708003484?
via%3Dihub.

17
Sogawa, Y. et al. (2010) “Cognitive outcomes in children who present with a first
unprovoked seizure,” Epilepsia, 51(12), hal. 2432–2439.

18

Anda mungkin juga menyukai