“MEGACOLON”
Pembimbing :
dr. Wicaksono Probowoso, Sp.B
Disusun Oleh :
Dean Gama Putrisani H2A014040P
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSU PKU MUHAMMADIYAH DELANGGU KLATEN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
2
Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran
mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau,
dan perut membuncit keseluruhan.4
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah
dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk
mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk
memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif
dapat dikerjakan.4
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan
bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara
dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi
pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.4
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini
mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat
membahayakan jiwa pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses
perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat menyebabkan kematian.
Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga
mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna.
Mortalitas dari kondisi ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam
diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan, dan
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit Hirschprung dengan
enterokolitis. 4
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 1. Anatomi Kolon15
5
Gambar 2. Lapisan Dinding Kolon16
6
Gambar 3. Vaskularisasi Kolon17
7
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada
ketiga pleksus tersebut.7
2.1.2 Rektum
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal
dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.
Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.7
8
Gambar 5 . Anatomi anus dan rektum beserta otot-ototnya. LA = otot levator
anal; PR = otot puborektal; SE = sfingter anal externa: SI = sfingter anal internal;
TK = tulang koksigeus; MM = muskularis mukosa.12
9
infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus, gas
tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.10
10
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup
signifikan, yaitu Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi seperti
refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
1/ kasus).4
2.3.3 Etiologi
Sampai tahun 1930an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas dik
eta-hui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan
Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler,dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung
primer disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion
di usus bagian distal.12
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah
defek ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung
ataukah defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari
stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk menyatakan bahwa
aganglionosis pada penyakit Hirschprung bukan disebabkan oleh kegagalan
perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan lesi primer,
sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi
dengan simpatektomi.12
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan
prosedur bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan
segmen aganglion disertai dengan preservasi sfingter anal.12
2.3.4 Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan spingter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian
proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian distal rectum.7
11
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus
internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus besar.7
a. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang
dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus
berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.8
12
minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan
oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2
sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.8
c. Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat
berasal dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab
nonvascular adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas),
defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan
iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran
darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave.8
2.3.5 Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 12
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).
13
Gambar 8. Tipe penyakit hirschsprung,: (a) rectosigmoid aganglionosis, (b)
short atau ultrashort segment, (c) long segment, (d) total colonic
aganglionosis, (e) aganglionosis ke seluruh kolon dan sebagian ke usus
kecil12
14
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi.12
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi
semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit
untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan
terdiagnosis di kemudian hari. 12
2.3.7 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografi, serta pemeriksaan
patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada
sebagian kasus dapat ditegakkan. 12
1. Anamnesis12
a. Pada neonatus :
1) Mekonium keluar terlambat > 24 jam
2) Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3) Perut cembung dan tegang
4) Muntah
5) Feses encer
15
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
2. Pemeriksaan Fisik12
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi,
bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting
pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.11
16
Gambar 10. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung12
17
Gambar 11. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar11
18
ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan
pada neonatus. 11
c. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis
penyakit hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction
khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya
diambil 2 cm diatas linea dentata dan juga mengambil sample yang
normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik.
Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.11
2.3.9 Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.
Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam
basa dan mencegah terjadinya over distensi sehingga akan menghindari
terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-
tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa
nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon
dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.12
19
2. Tindakan Bedah
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan
guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama
terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian
pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar
sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.12
b. Tindakan Bedah Definitif
Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat
digunakan untuk tindakan bedah definitif antara lain teknik
Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein Operation.12
1) Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi
dengan preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan
20
langsung di luar rongga peritoneal. Pembedahan ini disebut
sebagai prosedur rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-
through abdomino-perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3
cm dari garis mukokutan. Pada masa pascabedah ditemukan
beberapa komplikasi seperti kebocoran anastomosis, stenosis,
inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.13
Teknik Pembedahan
Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan
arteri dan vena sigmoidalis dan hemoroidalis superior. Segmen
sigmoid dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar peritoneum
sampai 1-2 cm proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid
dibebaskan dari jaringan sekitarnya di dalam rongga pelvis
untuk dapat diprolapskan melalui anus. Pembebasan kolon
proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat
ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.13
Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang
dipasang di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm
proksimal dari garis mukokutan, bagian posterior dan bagian
anterior sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan
dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5
cm di bagian posterior (prosedur Swenson II). Selanjut-nya,
kolon proksimal ditarik ke perineum melalui puntung rektum
yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua
lapis dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl.
Setelah anastomosis kolorektal selesai dilakukan, kemudian
rektum dimasukkan kembali ke rongga pelvis.
Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada
vaskularisasi kolon agar tidak terjahit. Penutupan dinding
abdomen dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum.
Kateter dan pipa rektal kecil dipertahankan untuk 2 - 3 hari.13
21
Gambar 13. Prosedur Swenson12
2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rectum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side. Prosedur Duhamel asli memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis,
inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung
rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.12
Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel, diantaranya :12
a) Modifikasi Grob (1959)
Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan
endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensi
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch
Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan
anastomose side to side yang panjang
c) Modifikasi Ikeda
22
Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose,
yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian
d) Modifikasi Adang
Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan
prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke 7-14 pasca bedah dengan
memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem;
kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini
lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis.
23
3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan
dua prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan
pendekatan abdominoperineal dengan membuang lapisan
mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular. Selanjutnya
dilakukan penarikan kolon berganglion normal keluar anus
melalui selubung seromuskular rektosigmoid. Prosedur ini
disebut juga sebagai prosedur pull-through endorektal. Setelah
21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong. Boley pada
waktu yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull-
through endorektal persis seperti prosedur Soave dengan
anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan lebih dahulu.
Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi
nekrosis bagian kolon yang diprolapskan.13
4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,
dimana dilakukan anastomose end to end antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm
diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
24
sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah
stenosis.12
2.3.10 Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai
faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia
muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah
yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan
cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.12
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi
yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi
pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.12
Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga
7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila
dikerjakan dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat
baik dengan tak satu kasus pun mengalami kebocoran.12
25
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-
tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen
proksimal.4,12
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah
yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan
komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang
terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi
abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari
businasi hingga sfingterektomi posterior.4
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya,
dan dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1%
untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah 4
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
26
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung
penyebab/prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada
stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani, dapat
juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya
disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi
posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab
enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak
sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang.12
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih
kecil pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis
merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah
disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis
berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau
atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah karena
terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon
kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough,
kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.12
27
keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur
dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan, Swenson
memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus
justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan angka 0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila
penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.12
2.3.10 Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,
90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang
masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. 12
DAFTAR PUSTAKA
28
3. Hidayat M, Nurmantu F, Bahar B. Anorectal Function of Hirsphrung’s Patients
After Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science. 2009
June;2(2): 77-78
4. Swenson O. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002 ; 109 : 914-918
5. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan.Dalam : Embriologi Kedokteran Langm
anEdisi 7,Jakarta : EGC, 243-271
6. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Patofisi
ologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Volume 1, Edisi 6.Jakarta. EGC.
456-468
7. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
8. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468.
9. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi,
Obstruksiusus. Mahanani, Dewi Asih,dkk. Ringkasan Patologi Anatomi.
Jakarta.EGC5. 532-538
10. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.Sjamsuhidaj
a R, De Jong,Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 646-647
11. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (PenyakitHirschsprun
g) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid
II. Jakarta: EGC, 1316-1319
12. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-
82
13. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s
Atlas of Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
14. Lee, Steven L. Hirschprung disease. Available from :
http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 8 September 2012.
29
15. Anatomi Kolon. Available from: URL: http://www.scribd.com diakses 7
september 2012
16. Victor,P. E. 2007. Atlas of Histology with Functional Correlation. New York.
Page 42
17. Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta
30