BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Sumatera
2
Universitas Sumatera
3
6. Rektum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu kolon sigmoid dengan
panjang sekitar 15 cm. Rektum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral.Mukosa rektum lebih halus dibandingkan dengan usus besar.
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian
proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.Kedua bagian ini dipisahkan
oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian
posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dikelilingi oleh spinkter
ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia
luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan
Usus besar terdiri atas membrane mukosa tanpa adanya lipatan kecuali pada
bagian distalnya (rektum).Vili usus tidak dijumpai pada usus ini.Kelenjar usus yang
berukuran panjang ditandai dengan banyaknya sel goblet, sel absorptif dan sedikit sel
enteroendokrin.Di dalam lamina propria, banyak dijumpai sel limfoid dan nodul yang
sering kali menyebar sampai ke dalam submukosa.Banyaknya jaringan limfoid ini
berkaitan dengan banyaknya bakteri di dalam usus besar.Muskularis terdiri atas
berkas-berkas longitudinal luarnya mengelompok dalam 3 pita longitudinal yang
disebut taenia coli.Pada kolon bagian intraperitoneal, lapisan/ tunika serosa ditandai
dengan tonjolan kecil yang terdiri atas jaringan lemak, yaitu apendiks epiploika.Di
daerah anus, membran mukosa membentuk sederetan lipatan memanjang, yaitu
kolumna rektalis Morgagni. (Junqueira, 2007)
Universitas Sumatera
4
Kebanyakan air dan elektrolit dalam kimus ini diserap di dalam kolon, biasanya
hanya meninggalkan sekitar 100ml dari cairan yang akan dieksresikan ke dalam
feses. Pada pokoknya semua ion diserap dan hanya meninggalkan 1 hingga 5
miliequivalen setiap ion sodium dan klorida di dalam feses.Kebanyakan penyerapan
di usus besar terjadi di pertengahan proksimal dari kolon, sehingga dapat disebut juga
kolon penyerapan (absorbing colon). (Guyton, 2006)
Di dalam usus besar tidak terjadi pencernaan karena tidak terdapat enzim-
enzim pencernaan.Namun, bakteri kolon melakukan pencernaan terhadap sebagian
selulosa dan menggunakannya untuk kepentingan metabolisme mereka
sendiri.Kontraksi haustra secara lambat mengaduk-aduk isi kolon maju mundur untuk
dapat menyelesaikan penyerapan sisa cairan dan elektrolit.Tiga sampai empat kali
sehari, umumnya setelah makan terjadi peningkatan nyata mortalitas.Terjadi
kontraksi simultan segmen-segmen besar di kolon asenden dan transversum, sehingga
dalam beberapa detik feses terdorong sepertiga sampai tiga perempat dari panjang
kolon. Kontaksi-kontraksi massif yang diberi nama gerakan massa (mass movement)
ini, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat isi tersebut di simpan
sampai terjadi defekasi. Sewaktu gerakan masa di kolon mendorong isi kolon ke
dalam rektum terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang
di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter
anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemes dan rektum serta kolon
sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat.Apabila sfingter ani eksternus (yang terdiri
dari otot rangka) juga melemas terjadi defekasi.Karena otot rangka sfingter ani
eksternus berada dibawah kontrol kesadaran.Peregangan awal dinding rektum
menimbulkan perasaan ingin buang air besar.Jika keadaan tidak memungkinkan
defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan sfingter anus eksternus secara
segaja walaupun terjadi refleks defekasi.Sekresi kolon terdiri dari larutan mukus
alkalis yang fungsinya adalah untuk melindungi mukosa usus besar dari cedera
kimiawi dan mekanis. (Sherwood, 2001)
Universitas Sumatera
5
Universitas Sumatera
6
kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat ke rumah sakit.( IKABDI,
2012).
Universitas Sumatera
7
Universitas Sumatera
8
jugadapat ditemukan di dalam lambung dan usus halus. Jika kolon tidak direseksi,
kemungkinan 100% pasien dapat berubah menjadi kanker. Sindroma Gardner’s
dibedakan menjadi osteomas, fibromas dan yang lainnya yang termasuk dalam polip
intestinal. Setiap tahun sigmoidoskopi fleksibel harus dimulai sejak umur 10 tahun
pada asimptomatis individu yang membawa gen untuk FP. Colonoskopi dapat
diindikasikan bila sigmoidoskopi fleksibel normal. Total protokolektomi dengan
ileostomi atau prosedur penyelamatan anal spingter di lakukan bila diagnosis FP telah
ditegakkan.
2. Sindroma Turcot’s
Kasus ini jarang, polip kolon berasosiasi dengan tumor otak. Kedua pola resesif dan
dominan dari transmisi gen telah dijabarkan. Skrining dan pengobatan pada individu
yang terkena sama seperti FP.
3. Sindroma Peutz-Jeghers
Dalam sindroma Peutz-Jeghers, intusepsi, obstruksi atau infark dari polip
dapat berkembang dengan akibat nyeri abdomen dan pendarahan.Dengan alasan ini,
operasi menjadi sebuah indikasi. Karena resiko dari kanker kurang dari 3%,
operasi prophilaksis tidak diindikasikan.
Sindroma polip lain tidak berhubungan dengan resiko kanker, kecuali pasien
dengan polip juvenile mungkin mempunyai kanker lambung, usus halus, kolon, atau
pangkreas. Bagaimanapun pasien dengan sindroma ini mungkin punya komplikasi
dari polip seperti pendarahan dan obstruksi. Jika terapi konservatif gagal, wajib
dilakukan operasi. (Avunduk, 2002)
2.5.4. Kolitis ulseratif
Sejumlah penelitian mempunyai indikasi dengan pasien kolitis ulseratif
punya 2-8,2 resiko relatif dari kanker kolorektal dibandingkan dengan populasi
normal, sekitar 2% dari kanker kolorektal. Salah satu faktor yang mempengaruhi
resiko individu adalah durasi dari kolitis – berakumulasi dengan meningkatnya
kanker kolorektal 5% pada usia 15 tahun dan 8-13% pada usia 25 tahun. Luas
Universitas Sumatera
9
dari kanker juga penting.Pasien dengan keterlibatan kolon tranversum dan kolon
kanan meningkatkan resiko kanker kolorektal (resiko relatif pada pasien ini 15
dibanding dengan populasi normal). Koeksitas primary sklerosing cholangitis
meningkatkan resiko relatif dari kolitis ulseratif asosiasi dengan neoplasia (UCAN) 3-
15%. Tambahan, high grade displasia dalam random rektosigmoid biopsi asosiasi
dengan unsuspek kanker di kolektomi dalam 33% pasien. (KEER, 2001)
Universitas Sumatera
10
2.7. Stadium
Abrams mencoba menghubungkan ukuran tumor, ada atau tidaknya
ulserasi dan derajat differensiasi dengan stadium akhir berdasarkan pembagian
Dukes. Ulserasi keseluruhan tumor merupakan faktor penentu prognostik yang
penting, di mana 63% karsinoma nonulserasi secara patologis terbatas hanya
pada dinding usus , dibanding dengan hanya 28% pada karsinoma dengan lesi
ulserasi.
Sistem pembagian stadium berdasarkan klinis lainnya dibuat oleh suatu
kelompok dari RS Princess Margaret di Toronto berdasarkan beberapa variabel
prognostik, misalnya : ada atau tidak adanya metastasis, apakah tumor tersebut
melekat atau mobil, apakah bentuknya anular dan apakah terdapat gejala klinis
seperti penurunan berat badan, anoreksia, lemah dan anemia.
Variabel - variabel ini digunakan untuk menentukan 4 kelas secara klinis :
Kelas I : tidak ada satupun variabel-variabel tersebut di atas.
Kelas II : tumor berbentuk anular atau adanya gejala sistemik.
Kelas III : tumor sudah melekat.
Kelas IV : sudah terdapat metastasis.
Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita sangat berhubungan dengan
pembagian kelas-kelas ini dan pembagian stadium berdasarkan Dukes, tetapi
tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan system Dukes. Mobilitas tumor
merupakan faktor preoperasi yang paling penting yang berhubungan dengan
reseksi kuratif.
Pembagian stadium secara klinikopatologi di Australia menggabungkan baik
gambaran sistemik, stadium patologi dan stadium klinis, berdasarkan hanya pada
karakteristik tumor lokal. York-Mason mengusulkan penggunaan sistem stadium
klinis berdasarkan mobilitas tumor primer, yaitu:
Stadium Klinis I : tumor bergerak bebas.
Stadium Klinis II : tumor masih mobil.
Universitas Sumatera
11
Stadium klinis I-II meliputi pasien - pasien yang masih dapat dilakukan eksisi
lokal kuratif. Hasil terapi pembedahan pada karsinoma rektum dinilai dari ekstensi
penyebarannya. Klasifikasi berdasarkan penyebaran ini pertama kali diajukan
oleh Dukes pada tahun 1930, di mana dinilai berdasarkan ekstensi
penyebaran langsung dan adanya metastasis ke sistem limfatik. Dibagi menjadi
3 kategori :
Stadium A : pertumbuhan ke arah dinding rektum di mana tidak mengarah ke
Jaringan di luar rektum dan sistim limfatik
Stadium B : pertumbuhan menye-bar ke arah jaringan di luar rektum, tetapi tidak
mengenai sistim limfatik
Stadium C : pertumbuhan sudah mengenai sistim limfatik
Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk
adanya metastasis jauh. Sistem klasifikasi yang kemudian digunakan adalah
sistem Astler - Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi
tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah
bening, adanya metastasis jauh, yaitu :
Stadium A : hanya terbatas pada lapisan mukosa
Stadium B : sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam
lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan (B3)
Stadium C : bila sudah ada keterlibatan kelenjar (C1 sampai C3)
Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen
Pada tahun 1987 American Joint Committee on Cancer dan International
Union against Cancer memperkenalkan sistem klasifikasi TNM (Tumor, Kelenjar,
Metastasis ) di mana ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; adanya
keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas : N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3
Universitas Sumatera
12
bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; adanya metastasis jauh (M1).
(IKABDI, 2012)
Universitas Sumatera
13
pada pasien kanker kolorektal. Dia menemukan bahwa koloid karsinoma tidak
mempunyai faktor prognosis untuk bertahan hidup, namun percaya bahwa itu
seharusnya di laporkan bersama dengan hasil pola histologi untuk memahami
bagaimana riwayat naturalnya. Umumnya semakin menuju ke tumor poorly
differentiated semakin invasif dari waktu diagnosisnya, dan semakin invasive
tumor, maka semakin buruk prognosisnya. ( Corman, 2005)
Universitas Sumatera