Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Kolon dan Rektum


Usus besar memanjang dari ujung akhir dari ileum sampai anus. Panjangnya
bervariasi sekitar 1.5 m. Ukuran Usus besarberbentuk tabung muskular berongga
dengan panjang sekitar 1.5 m (5 kaki) yang terbentang dari saekum hingga kanalis
ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6.5
cm (2.5 inci). Makin dekat anus diameternya akan semakin kecil. Usus besar terdiri
dari 6 bagian yaitu saekum, kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden,
kolon sigmoid dan rektum.

Gambar 2.1. Anatomi Kolon dan Rektum

Struktur usus besar:


1. Saekum
Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar. Panjang
dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Saekum terletak pada fossa iliakakanan
di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinale. Biasanya saekum seluruhnya
dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai

Universitas Sumatera
2

mesenterium. Terdapat perlekatan ke fossa iliaka di sebelah medial dan lateral


melalui lipatan peritoneum yaitu plika caecalis, menghasilkan suatu kantong
peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.
2. Kolon asenden
Bagian ini memanjang dari saekum ke fossa iliaka kanan sampai ke sebelah kanan
abdomen.Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan dan di hati
membelok ke kiri.Lengkungan ini disebut fleksura hepatika (fleksura coli dextra) dan
dilanjutkan dengan kolon transversum.
3. Kolon Transversum
Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas
karena tergantung pada mesokolon, yang ikut membentuk omentum
majus.Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura coli
dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis.Letaknya tidak tepat
melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga terletak di regio
umbilikus.
4. Kolon desenden
Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, dari atas ke
bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung dengan
sigmoid, dan dibelakang peritoneum.
5. Kolon sigmoid
Sering disebut juga kolon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk
lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim)
sampai peralihan menjadi rektum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini
ditandai dengan berakhirnya ketiga teniae coli dan terletak + 15 cm di atas
anus.Kolon sigmoid tergantung oleh mesokolon sigmoideum pada dinding belakang
pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas (mobile).

Universitas Sumatera
3

6. Rektum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu kolon sigmoid dengan
panjang sekitar 15 cm. Rektum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral.Mukosa rektum lebih halus dibandingkan dengan usus besar.
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3
bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian
proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.Kedua bagian ini dipisahkan
oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian
posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dikelilingi oleh spinkter
ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia
luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan
Usus besar terdiri atas membrane mukosa tanpa adanya lipatan kecuali pada
bagian distalnya (rektum).Vili usus tidak dijumpai pada usus ini.Kelenjar usus yang
berukuran panjang ditandai dengan banyaknya sel goblet, sel absorptif dan sedikit sel
enteroendokrin.Di dalam lamina propria, banyak dijumpai sel limfoid dan nodul yang
sering kali menyebar sampai ke dalam submukosa.Banyaknya jaringan limfoid ini
berkaitan dengan banyaknya bakteri di dalam usus besar.Muskularis terdiri atas
berkas-berkas longitudinal luarnya mengelompok dalam 3 pita longitudinal yang
disebut taenia coli.Pada kolon bagian intraperitoneal, lapisan/ tunika serosa ditandai
dengan tonjolan kecil yang terdiri atas jaringan lemak, yaitu apendiks epiploika.Di
daerah anus, membran mukosa membentuk sederetan lipatan memanjang, yaitu
kolumna rektalis Morgagni. (Junqueira, 2007)

2.2. Fungsi kolon dan rektum


Fungsi utama dari kolon adalah menyerap air dan elektrolit dari kimus
menjadi bentuk padat feses dan menyimpan feses sampai bisa dieksresikan.Sekitar
1500 ml kimus biasanya melewati katub iliosaekal menuju usus besar setiap hari.

Universitas Sumatera
4

Kebanyakan air dan elektrolit dalam kimus ini diserap di dalam kolon, biasanya
hanya meninggalkan sekitar 100ml dari cairan yang akan dieksresikan ke dalam
feses. Pada pokoknya semua ion diserap dan hanya meninggalkan 1 hingga 5
miliequivalen setiap ion sodium dan klorida di dalam feses.Kebanyakan penyerapan
di usus besar terjadi di pertengahan proksimal dari kolon, sehingga dapat disebut juga
kolon penyerapan (absorbing colon). (Guyton, 2006)
Di dalam usus besar tidak terjadi pencernaan karena tidak terdapat enzim-
enzim pencernaan.Namun, bakteri kolon melakukan pencernaan terhadap sebagian
selulosa dan menggunakannya untuk kepentingan metabolisme mereka
sendiri.Kontraksi haustra secara lambat mengaduk-aduk isi kolon maju mundur untuk
dapat menyelesaikan penyerapan sisa cairan dan elektrolit.Tiga sampai empat kali
sehari, umumnya setelah makan terjadi peningkatan nyata mortalitas.Terjadi
kontraksi simultan segmen-segmen besar di kolon asenden dan transversum, sehingga
dalam beberapa detik feses terdorong sepertiga sampai tiga perempat dari panjang
kolon. Kontaksi-kontraksi massif yang diberi nama gerakan massa (mass movement)
ini, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat isi tersebut di simpan
sampai terjadi defekasi. Sewaktu gerakan masa di kolon mendorong isi kolon ke
dalam rektum terjadi peregangan rektum yang kemudian merangsang reseptor regang
di dinding rektum dan memicu refleks defekasi. Refleks ini disebabkan oleh sfingter
anus internus (yang terdiri dari otot polos) untuk melemes dan rektum serta kolon
sigmoid untuk berkontraksi lebih kuat.Apabila sfingter ani eksternus (yang terdiri
dari otot rangka) juga melemas terjadi defekasi.Karena otot rangka sfingter ani
eksternus berada dibawah kontrol kesadaran.Peregangan awal dinding rektum
menimbulkan perasaan ingin buang air besar.Jika keadaan tidak memungkinkan
defekasi, defekasi dapat dicegah dengan penguatan sfingter anus eksternus secara
segaja walaupun terjadi refleks defekasi.Sekresi kolon terdiri dari larutan mukus
alkalis yang fungsinya adalah untuk melindungi mukosa usus besar dari cedera
kimiawi dan mekanis. (Sherwood, 2001)

Universitas Sumatera
5

2.3. Kanker Kolorektal


2.3.1. Definisi Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa
kolon atau rektum atau keduanya. (Tao, 2013)
2.3.2. Epidemiologi
Insiden kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya.Insiden pada pria sebanding dengan wanita. Sekitar 75% di usia muda
temukan di rektosigmoid. Di negara Barat, perbandingan insiden lelaki dan
perempuan adalah 3 banding 1. Kurang dari 50% kanker kolorektal ditemukan di
rektosigmoid, dan merupakan penyakit orang usia lanjut. (Sjamsuhidajat, 2011)
Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak didunia dan
penyebab kematian kedua terbanyak di Amerika Serikat. Diperkirakan dalam tahun
2002 akan ditemukan kasus baru sebanyak 148.300 dengan kematian 56.600. Antara
tahun 1973 sampai 1995 di Amerika Serikat. Kematian akibat kanker kolonrektal
menurun 20,8% dan insiden juga menurun 7,4%. Angka survival 5 tahun adalah
62,1%. Sekitar 6% penduduk Amerika diperkirakan bisa berkembang kanker
kolorektal dalam hidupnya. Risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal mulai
meningkat setelah umur 40 tahun dan meningkat tajam pada umur 50 sampai 55
tahun, risiko meningkat dua kali lipat setiap dekade berikutnya.
Di Indonesia dari berbagai laporan terdapat kenaikan jumlah kasus tetapi
belum ada angka yang pasti berapa insiden kankerkolorektal Sjamsuhidajat (1986)
dari evaluasi data-data di Departemen Kesehatan mendapatkan 1,8 per 100.000
penduduk.Tirtosugondo (1986) untuk Kodya Semarang, melaporkan peningkatan
kanker kolorektal, dimana Age Standardized Rate (ASR) per 100.000 penduduk
untuk laki-laki tahun 1970-1974: 2,5 ; tahun 1980-1981: 3,2 ; sementara untuk wanita
tahun 1970-1974: 2,2 ; tahun 1982: 3,4 dan menduduki urutan kelima diantara
keganasan yang lain. Angka ini agaknya insiden minimal, karena tidak jarang ada

Universitas Sumatera
6

kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat ke rumah sakit.( IKABDI,
2012).

2.4. Polip dan Molekular Pathogenesis.

Kebanyakan dari kanker kolorektal, tanpa memperhatikan etiologinya berasal


dari polip adenoma.Polip berupa tonjolan yang tampak jelas dari permukaan mukosa
dan dapat diklasifikasikan menurut patologinya sebagai nonneoplasia hamartoma
(polip juvenile), hyperplasia mukosa poloferasi (polip hiperplastik) atau polip
adenoma.Hanya adenoma yang jelas merupakan premalignansi dan hanya sedikit
lessi saja dapat berubah menjadi kanker. Polip adenoma dapat ditemukan pada kolon
sebanyak sekitar 30% pada umur pertengahan dan sekitar 50% pada orang tua.
Dimana hanya <1% dari polip yang berubah menjadi malignansi.

Nomer dari molekular berubah diperhatikan dalam polip adenoma, lessi


displasia dan polip yang menggandung bentuk mikroskopi dari sel tumor (karsinoma
in situ), dimana mereka menggambarkan banyak langkah proses dari evolusi dari
mukosa kolon normal menjadi karsinoma invasif yang mengancam nyawa.
Perkembangan ini termasuk dengan pembentukan kanker, namun tidak membatasi
juga. Titik mutasi dalam K-ras protooncogen, hypomethylation of DNA, aktivasi gen,
loss of DNA (allelic loss) di daerah tumor-suppresor gen (adenomatosus poplysis coli
(APC gen) dari lengan panjang kromosom 5 (5q21), kromosom 18q ( hilang dalam
kanker kolorektal gen) kromosom 17p, berhubungan dengan mutasi p53 tumor-
supprensor gen. Secara klinis kemungkinan polip adenoma menjadi kanker
tergantung pada tonjolan lessi, bentuk histologi, dan ukurannya. ( Robert, 2010).

2.5. Etiologi dan Faktor Resiko


2.5.1. Diet
Etiologi dari hampir semua kasus kanker pada kolorektal tampak
berhubungan dengan faktor lingkungan. Biasanya penyakit ini lebih banyak

Universitas Sumatera
7

menyerang populasi masyarakat ekonomi menengah ke atas di daerah maju. Angka


kematian dari kanker kolorektal berhubungan langsung dengan rata-rata konsumsi
dari kalori, daging, lemak dan minyak yang meningkatkan konsentrasi dari kolesterol
darah dan angka kematian karena penyakit arteri koroner. Perbedaan geografi dalam
insiden tidak berhubungan dengan perbedaan genetik, semenjak grup migrasi
mengansumsikan insiden kanker usus besar di daerah mereka. Tetapi grup populasi
seperti Mormons dan Sevent Day Adventistsyang mempunyai kebiasaan pola hidup
dan pola makan yang berbeda dari tetangga mereka memiliki perbedaan signifikan
insiden dan angka kematian dari kanker kolorektal. Kanker kolorektal juga
meningkat di Jepang semenjak negara nya mengadosi budaya “western” diet. Tiga
hipotesis terakhir telah membuktikan hubungan terhadap diet. ( Lango, 2010)
2.5.2. Alkohol dan Rokok
Penelitian prospektif dari laki-laki Jepang di Hawaii berhubungan dengan
konsumsi alkohol dan kanker kolorektal, diakibatkan dari konsumsi bir bulanan 15
L atau lebih. Beberapa penelitian mempublikasi hubungan antara rokok dan kanker.
Dalam penelitian tersebut tidak terdapat hubungan antara merokok dan kanker
kolorektal. Laporan dari Quebec, Canada melaporkan efek dari merokok terhadap
resiko kanker kolon berhubungan dengan daerah anatomi.Hubungan positif dari
merokok dan kanker kolorektal masih terus di teliti. Tidak ada data yang signifikan
antara hubungan merokok dan kanker kolon namun ada asosiasi positif dengan
kanker kolon proksimal. (Corman, 2005)
2.5.3. Sindroma Polip
Polip sindrom berbeda dalam manifestasi klinis, patologi, pola dari inhereditas dan
predisposisi dari karsinoma.
1. Familial polip (FP) dan sindroma Gardner’s
Kondisi ini biasanya berhubungan dan menunjukkan genetik sindroma yang sama:
salah satunya inhereditas dalam pola autosomal dominan. Menyerang individu yang
mempunyai banyak polip kolorektal dalam 3 dekade pertama hidupnya. Polip

Universitas Sumatera
8

jugadapat ditemukan di dalam lambung dan usus halus. Jika kolon tidak direseksi,
kemungkinan 100% pasien dapat berubah menjadi kanker. Sindroma Gardner’s
dibedakan menjadi osteomas, fibromas dan yang lainnya yang termasuk dalam polip
intestinal. Setiap tahun sigmoidoskopi fleksibel harus dimulai sejak umur 10 tahun
pada asimptomatis individu yang membawa gen untuk FP. Colonoskopi dapat
diindikasikan bila sigmoidoskopi fleksibel normal. Total protokolektomi dengan
ileostomi atau prosedur penyelamatan anal spingter di lakukan bila diagnosis FP telah
ditegakkan.
2. Sindroma Turcot’s
Kasus ini jarang, polip kolon berasosiasi dengan tumor otak. Kedua pola resesif dan
dominan dari transmisi gen telah dijabarkan. Skrining dan pengobatan pada individu
yang terkena sama seperti FP.
3. Sindroma Peutz-Jeghers
Dalam sindroma Peutz-Jeghers, intusepsi, obstruksi atau infark dari polip
dapat berkembang dengan akibat nyeri abdomen dan pendarahan.Dengan alasan ini,
operasi menjadi sebuah indikasi. Karena resiko dari kanker kurang dari 3%,
operasi prophilaksis tidak diindikasikan.
Sindroma polip lain tidak berhubungan dengan resiko kanker, kecuali pasien
dengan polip juvenile mungkin mempunyai kanker lambung, usus halus, kolon, atau
pangkreas. Bagaimanapun pasien dengan sindroma ini mungkin punya komplikasi
dari polip seperti pendarahan dan obstruksi. Jika terapi konservatif gagal, wajib
dilakukan operasi. (Avunduk, 2002)
2.5.4. Kolitis ulseratif
Sejumlah penelitian mempunyai indikasi dengan pasien kolitis ulseratif
punya 2-8,2 resiko relatif dari kanker kolorektal dibandingkan dengan populasi
normal, sekitar 2% dari kanker kolorektal. Salah satu faktor yang mempengaruhi
resiko individu adalah durasi dari kolitis – berakumulasi dengan meningkatnya
kanker kolorektal 5% pada usia 15 tahun dan 8-13% pada usia 25 tahun. Luas

Universitas Sumatera
9

dari kanker juga penting.Pasien dengan keterlibatan kolon tranversum dan kolon
kanan meningkatkan resiko kanker kolorektal (resiko relatif pada pasien ini 15
dibanding dengan populasi normal). Koeksitas primary sklerosing cholangitis
meningkatkan resiko relatif dari kolitis ulseratif asosiasi dengan neoplasia (UCAN) 3-
15%. Tambahan, high grade displasia dalam random rektosigmoid biopsi asosiasi
dengan unsuspek kanker di kolektomi dalam 33% pasien. (KEER, 2001)

2.6. Gambaran Klinis


Gejala klinis kanker pada kolon kiri berbeda dengan kanan. Kanker pada
kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan
obstruksi, terlebih karena fesesnya sudah menjadi padat. Pada kanker kolon kanan,
jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi.
Gejala dan tanda dini kanker kolorektal tidak ada. Umumnya, gejala pertama
timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, pendarahan atau
akibat penyebaran.
Kanker kolon kiri dan rektum menyebabkan pola defekasi, seperti konstipasi
atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis
seperti kotoran kambing atau lebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmi
merupakan gejala yang biasa didapat pada kanker rektum. Pendarahan akut jarang
dialami, demikian juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila
pada obstruksi penderita dapat flatus, penderita akan merasa lega.
Gambaran klinis tumor sekum dan kolon asendens tidak khas. Dispepsia,
kelemahan umum, penurunan berat badan dan anemia merupakan gejala umum. Oleh
karena itu penderita sering datang dalam keadaan menyedihkan.
Nyeri pada kolon kiri lebih nyata dari pada kolon kanan. Tempat yang
di rasa nyeri berbeda karena asal embriogenik yang berlainan, yaitu dari usus
tengah dan usus belakang. Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus,
sedangkan dari kolon kanan di epigastrium. (Sjamsuhidajat, 2011)

Universitas Sumatera
10

2.7. Stadium
Abrams mencoba menghubungkan ukuran tumor, ada atau tidaknya
ulserasi dan derajat differensiasi dengan stadium akhir berdasarkan pembagian
Dukes. Ulserasi keseluruhan tumor merupakan faktor penentu prognostik yang
penting, di mana 63% karsinoma nonulserasi secara patologis terbatas hanya
pada dinding usus , dibanding dengan hanya 28% pada karsinoma dengan lesi
ulserasi.
Sistem pembagian stadium berdasarkan klinis lainnya dibuat oleh suatu
kelompok dari RS Princess Margaret di Toronto berdasarkan beberapa variabel
prognostik, misalnya : ada atau tidak adanya metastasis, apakah tumor tersebut
melekat atau mobil, apakah bentuknya anular dan apakah terdapat gejala klinis
seperti penurunan berat badan, anoreksia, lemah dan anemia.
Variabel - variabel ini digunakan untuk menentukan 4 kelas secara klinis :
 Kelas I : tidak ada satupun variabel-variabel tersebut di atas.
 Kelas II : tumor berbentuk anular atau adanya gejala sistemik.
 Kelas III : tumor sudah melekat.
 Kelas IV : sudah terdapat metastasis.
Angka kelangsungan hidup 5 tahun penderita sangat berhubungan dengan
pembagian kelas-kelas ini dan pembagian stadium berdasarkan Dukes, tetapi
tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan system Dukes. Mobilitas tumor
merupakan faktor preoperasi yang paling penting yang berhubungan dengan
reseksi kuratif.
Pembagian stadium secara klinikopatologi di Australia menggabungkan baik
gambaran sistemik, stadium patologi dan stadium klinis, berdasarkan hanya pada
karakteristik tumor lokal. York-Mason mengusulkan penggunaan sistem stadium
klinis berdasarkan mobilitas tumor primer, yaitu:
 Stadium Klinis I : tumor bergerak bebas.
 Stadium Klinis II : tumor masih mobil.

Universitas Sumatera
11

 Stadium Klinis III : tumor dengan gerakan yang terbatas.


 Stadium IV : tumor yang sudah terfiksasi.

Stadium klinis I-II meliputi pasien - pasien yang masih dapat dilakukan eksisi
lokal kuratif. Hasil terapi pembedahan pada karsinoma rektum dinilai dari ekstensi
penyebarannya. Klasifikasi berdasarkan penyebaran ini pertama kali diajukan
oleh Dukes pada tahun 1930, di mana dinilai berdasarkan ekstensi
penyebaran langsung dan adanya metastasis ke sistem limfatik. Dibagi menjadi
3 kategori :
 Stadium A : pertumbuhan ke arah dinding rektum di mana tidak mengarah ke
Jaringan di luar rektum dan sistim limfatik
 Stadium B : pertumbuhan menye-bar ke arah jaringan di luar rektum, tetapi tidak
mengenai sistim limfatik
 Stadium C : pertumbuhan sudah mengenai sistim limfatik
Pada tahun 1967 Turnbull dan kawan-kawan menambahkan stadium D untuk
adanya metastasis jauh. Sistem klasifikasi yang kemudian digunakan adalah
sistem Astler - Coller yang diperkenalkan pada tahun 1954 dan kemudian direvisi
tahun 1978, berdasarkan atas kedalaman invasi tumor, keterlibatan kelenjar getah
bening, adanya metastasis jauh, yaitu :
 Stadium A : hanya terbatas pada lapisan mukosa
 Stadium B : sudah masuk dalam lapisan muskularis propria (B1), masuk dalam
lapisan subserosa (B2), masuk sampai ke struktur-struktur yang berdekatan (B3)
 Stadium C : bila sudah ada keterlibatan kelenjar (C1 sampai C3)
 Stadium D : bila sudah ada metastasis baik secara limfatik atau hematogen
Pada tahun 1987 American Joint Committee on Cancer dan International
Union against Cancer memperkenalkan sistem klasifikasi TNM (Tumor, Kelenjar,
Metastasis ) di mana ekstensi tumor (T) dibagi atas T1 s/d T4; adanya
keterlibatan kelenjar (N) dibagi atas : N1 bila < 4 kelenjar, N2 bila > 4 kelenjar, N3

Universitas Sumatera
12

bila terdapat kelenjar sepanjang pembuluh darah; adanya metastasis jauh (M1).
(IKABDI, 2012)

Tabel 2.1. Stadium dan Prognosis kanker kolorektal

Stadium Deskripsi Histopatologi


Dukes TNM Derajat
A T1N0M0 I Kanker terbatas
pada mukosa/
submukosa
B1 T2N0M0 I Kanker mencapai
muskularis
B2 T3N0M0 II Kanker cenderung
untuk masuk atau
melewati lapisan
serosa
C TxN1M0 III Tumor melibatkan
Kelenjar Getah
Bening Regional
D TxNxM1 IV Metastasis

2.8. Gambaran Histopatologi


Secara histologinya kanker dapat terbagi menjadi well differentiated,
moderately differentiated dan poor differentiated.Tumor dapat memproduksi begitu
banyak mukus sehingga mendorong salah satu sisi dari sel, menghasilkan
gambaran signet ring. Tipe terakhir ini masih di perdebatkan untuk melihat hasil
dari prognosisnya. Minsky telah meneliti insidensi dan kira - kira manifestasi klinis

Universitas Sumatera
13

pada pasien kanker kolorektal. Dia menemukan bahwa koloid karsinoma tidak
mempunyai faktor prognosis untuk bertahan hidup, namun percaya bahwa itu
seharusnya di laporkan bersama dengan hasil pola histologi untuk memahami
bagaimana riwayat naturalnya. Umumnya semakin menuju ke tumor poorly
differentiated semakin invasif dari waktu diagnosisnya, dan semakin invasive
tumor, maka semakin buruk prognosisnya. ( Corman, 2005)

Universitas Sumatera

Anda mungkin juga menyukai