Anda di halaman 1dari 30

HIRSCHPRUNG

Oleh :

Restu Anggraini

G1A219125

Dosen Pembimbing :

dr. Willy Hardy Marpaung, Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN BEDAH RSUD MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan


disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi
saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid
pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai seluruh usus sampai pylorus.1
Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada
gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi
hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun
1886, dan belum diketahui secara pasti patofisiologi terjadinya penyakit ini
hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltic dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion pada usus tersebut.3
Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara
pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir sekitar 1400 bayi dengan penyakit
Hirschprung. Laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan.2
Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit megakolon kongenital
masih rendah, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini
menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis penyakit megakolon
kongenital yang berujung pada keterlambatan dalam penatalaksanaan
penyakit ini.4
Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran
mekonium yang terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau,
dan perut membuncit keseluruhan.4
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah
dan pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk
mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk
memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif
dapat dikerjakan.4
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan
bedah sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara
dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi
pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.4
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini
mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat
membahayakan jiwa pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses
perikolon, perforasi, dan septikimia yang dapat menyebabkan kematian.
Enterokolitis merupakan komplikasi yang amat berbahaya sehingga
mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna.
Mortalitas dari kondisi ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam
diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan, dan
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit Hirschprung dengan
enterokolitis. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Embriologi Kolon dan Rektum


2.1.1 Kolon
Secara embriologi, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan
kolon kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam
perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional,
sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas.
Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar
usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada
kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.5
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang
sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani.
Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5
inchi (sekitar 6,5cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum
menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat
dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri
atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk
S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu
dengan rectum. Rectum terbentang dari kolon sigmoid sampai dengan anus.
Satu inci terakhir dari rectum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh
sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani
adalah 5,9 inci.6
Gambar 1. Anatomi Kolon15

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, yaitu tunika serosa,


muskularis, tela submukosa, dan tunika mukosa, akan tetapi usus besar
mempunyai gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal
tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli
yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus
sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
disebut haustra. Pada taenia, melekat kantong-kantong kecil perineum yang
berisi lemak yang disebut appendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar
lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai
sel goblet lebih banyak daripada usus halus.6
Gambar 2. Lapisan Dinding Kolon16

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan


inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan
dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum. Arteri
mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama, yaitu arteri ileokolika,
arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika
inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal
kolon transversum sampai rectum bagian proksimal). Arteri mesenterika
inferior mempunyai tiga cabang, yaitu arteri kolika sinistra, arteri
hemoroidalis superior, dan arteri sigmoidea.6
Gambar 3. Vaskularisasi Kolon17

Vaskularisasi tambahan daerah rectum diatur oleh arteri sakralis


media dan arteri hemoroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari
kolon dan rectum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior
serta vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system portal yang
mengalirkan darah ke hati.6
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar.
Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon
transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai
bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf
splangnikus untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan
penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.7
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :7
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada
ketiga pleksus tersebut.7

Gambar 4. Skema syaraf autonom intrinsik usus12


Jadi pasien dengan kerusakan medulla spinalis, maka fungsi ususnya
tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschprung akan
mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi
keabsenan pleksus aurbach dan meissner.9

2.1.2 Rektum
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal
dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.
Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.7

Gambar 5 . Anatomi anus dan rektum beserta otot-ototnya. LA = otot levator


anal; PR = otot puborektal; SE = sfingter anal externa: SI = sfingter anal internal;
TK = tulang koksigeus; MM = muskularis mukosa.12

Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf


simpatis (N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
saraf parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus
pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf
simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).7

2.2 Fisiologi Kolon


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin dan elektrolit, ekskresi
mucus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari
700-1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml
yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu
makan, minum, atau menelan ludah.10
Oksigen dan karbondioksida didalamnya diserap di usus, sedangkan
nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan
sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada
infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus, gas
tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.10

2.3 Penyakit Hirschsprung


2.3.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rectum. Tidak adanya inervasi
saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid
pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai selruh usus sampai pylorus.11

Gambar 6. Gambaran Megacolon Kongenital12


2.3.2 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan
lahir 1400 bayi dengan penyakit hirschsprung. Kartono mencatat 20-40
pasien penyakit hirschsprung akan dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
MAngunkusumo Jakarta.12
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah
laki-laki, sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor
keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup
signifikan, yaitu Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi seperti
refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
1/ kasus).4

2.3.3 Etiologi
Sampai tahun 1930an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas dik
eta-hui. Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan
Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler,dan Faber pada tahun 194
0 mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung
primer disebabkan oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion
di usus bagian distal.12
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah
defek ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung
ataukah defek ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari
stasis feses dalam kolon. Dari segi etiologi, Bodian dkk menyatakan bahwa
aganglionosis pada penyakit Hirschprung bukan disebabkan oleh kegagalan
perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan lesi primer,
sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi
dengan simpatektomi.12
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan
prosedur bedah definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan
segmen aganglion disertai dengan preservasi sfingter anal.12

2.3.4 Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan spingter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di bagian
proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian distal rectum.7
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus
internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus besar.7

Gambar 7. Gambaran segmen aganglion pada penyakit hirschprung12

a. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi.
Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang
dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus
berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.8

b. Imaturitas dari sel ganglion


Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali
dengan pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur
tidak memiliki sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel
saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh
reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada
minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan
oleh reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2
sampai 4 tahun. Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan
hipoganglionosis.8
c. Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat
berasal dari vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab
nonvascular adalah infeksi Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas),
defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti Tuberculosis. Kerusakan
iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran
darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave.8

2.3.5 Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 12
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).
Gambar 8. Tipe penyakit hirschsprung,: (a) rectosigmoid aganglionosis, (b)
short atau ultrashort segment, (c) long segment, (d) total colonic
aganglionosis, (e) aganglionosis ke seluruh kolon dan sebagian ke usus
kecil12

2.3.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Swenson (1973) mencatat
angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono
mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu
48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius
bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang
pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai
demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi.12

2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi
semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit
untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan
terdiagnosis di kemudian hari. 12

2.3.7 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografi, serta pemeriksaan
patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada
sebagian kasus dapat ditegakkan. 12
1. Anamnesis12
a. Pada neonatus :
1) Mekonium keluar terlambat > 24 jam
2) Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3) Perut cembung dan tegang
4) Muntah
5) Feses encer 

b. Pada anak :12


1) Konstipasi kronis
2) Failure to thrive (gagal tumbuh)
3) Berat badan tidak bertambah
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Gambar 9. Foto pasien penderita Hirschsprung12

Sumber: Diambil dari http://freddypanjaitan.wordpress.com/2011

2. Pemeriksaan Fisik12
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi,
bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting
pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.11
Gambar 10. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung12

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan


diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai
3 tanda khas :11
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
kearah daerah dilatasi
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi
kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.11
Gambar 11. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar11

b. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit


hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi
sfingter ani interna ketika rectum dilebarkan dengan balon.
Keuntungan metode ini adalah dapat segera dilakukan dan pasien
bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. Metode
ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan
pada neonatus. 11
c. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis
penyakit hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction
khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya
diambil 2 cm diatas linea dentata dan juga mengambil sample yang
normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik.
Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.11

2.3.8 Diagnosis Banding


1. Meconium plug syndrome12
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.
2. Akalasia recti12
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Aurbach.

2.3.9 Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.
Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam
basa dan mencegah terjadinya over distensi sehingga akan menghindari
terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-
tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa
nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon
dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.12

2. Tindakan Bedah
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan
guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya
enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama
terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian
pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar
sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.12
b. Tindakan Bedah Definitif
Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat
digunakan untuk tindakan bedah definitif antara lain teknik
Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein Operation.12

Gambar 12. Tekhnik Operasi Definitif pada Hirschprung Disease12

1) Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi
dengan preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan
langsung di luar rongga peritoneal. Pembedahan ini disebut
sebagai prosedur rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-
through abdomino-perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3
cm dari garis mukokutan. Pada masa pascabedah ditemukan
beberapa komplikasi seperti kebocoran anastomosis, stenosis,
inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.13
Teknik Pembedahan
Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan
arteri dan vena sigmoidalis dan hemoroidalis superior. Segmen
sigmoid dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar peritoneum
sampai 1-2 cm proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid
dibebaskan dari jaringan sekitarnya di dalam rongga pelvis
untuk dapat diprolapskan melalui anus. Pembebasan kolon
proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat
ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.13
Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang
dipasang di dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm
proksimal dari garis mukokutan, bagian posterior dan bagian
anterior sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan
dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5
cm di bagian posterior (prosedur Swenson II). Selanjut-nya,
kolon proksimal ditarik ke perineum melalui puntung rektum
yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua
lapis dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl.
Setelah anastomosis kolorektal selesai dilakukan, kemudian
rektum dimasukkan kembali ke rongga pelvis.
Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada
vaskularisasi kolon agar tidak terjahit. Penutupan dinding
abdomen dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum.
Kateter dan pipa rektal kecil dipertahankan untuk 2 - 3 hari.13

Gambar 13. Prosedur Swenson12

2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rectum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side. Prosedur Duhamel asli memiliki
beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis,
inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung
rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.12
Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel, diantaranya :12
a) Modifikasi Grob (1959)
Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan
endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensi
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch
Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan
anastomose side to side yang panjang
c) Modifikasi Ikeda
Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose,
yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian
d) Modifikasi Adang
Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan
prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke 7-14 pasca bedah dengan
memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem;
kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini
lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis.

Gambar 14. Skema tahapan bedah definitif prosedur Duhamel


modifikasi. (1) gambar kolon dan rektum setelah reseksi kolon
dilatasi; (2) pembebasan ruang retrorektal dari lantai dasar
peritoneum; (3) posisi kolon setelah pull-through retrorektal,
kolon dibiarkan prolaps; (4) dan (5), tahapan anastomosis,
reseksi kolon yang diprolapskan dan setelah reseksi septum.12

3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through


Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan
dua prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan
pendekatan abdominoperineal dengan membuang lapisan
mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular. Selanjutnya
dilakukan penarikan kolon berganglion normal keluar anus
melalui selubung seromuskular rektosigmoid. Prosedur ini
disebut juga sebagai prosedur pull-through endorektal. Setelah
21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong. Boley pada
waktu yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull-
through endorektal persis seperti prosedur Soave dengan
anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan lebih dahulu.
Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi
nekrosis bagian kolon yang diprolapskan.13

Gambar 15. Skema tahapan bedah prosedur Soave


(sigmoidektomi dengan tarik-melalui endorektal). Reseksi
kolon disertai diseksi mukosa rektum, sehingga tersisa
selubung seromuskular.12

4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,
dimana dilakukan anastomose end to end antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm
diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah
stenosis.12

Gambar 16. Skema tahapan bedah prosedur Rehbein, deep anterior


resection (rekto-sigmoidektomi dengan anastomosis ujung-ke-ujung,
dilakukan intraabdominal extraperitoneal).12

2.3.10 Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai
faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia
muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah
yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan
cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.12
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi
yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi
pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.12
Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga
7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila
dikerjakan dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat
baik dengan tak satu kasus pun mengalami kebocoran.12
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam. Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala
peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,
kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-
tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen
proksimal.4,12
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah
yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan
komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang
terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi
abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari
businasi hingga sfingterektomi posterior.4
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya,
dan dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1%
untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah 4
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung
penyebab/prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada
stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani, dapat
juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya
disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi
posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab
enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak
sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang.12
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih
kecil pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis
merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon
kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson
adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah
disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis
berupa distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau
atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau busuk.
Enterokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah karena
terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon
kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough,
kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.12
4. Gangguan Fungsi Sphingter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling
(kecepirit) merupakan parameter yang sering dipakai peneliti
terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun
secara teoritis tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan
keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur
dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan, Swenson
memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus
justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan angka 0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila
penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.12

2.3.10 Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,
90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang
masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. 12
DAFTAR PUSTAKA

1. KA Sari. 2011. Penyakit Hirschsprung. Medan: Universitas Sumatra Utara


2. Asrul mappiwali. 2011.Hirschprung Disease. Available from: URL:
http://www.scribd.com diakses 7 september 2012
3. Hidayat M, Nurmantu F, Bahar B. Anorectal Function of Hirsphrung’s
Patients After Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science.
2009 June;2(2): 77-78
4. Swenson O. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002 ; 109 : 914-
918
5. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan.Dalam : Embriologi Kedokteran Langm
anEdisi 7,Jakarta : EGC, 243-271
6. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Patofisi
ologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Volume 1, Edisi 6.Jakarta. EGC.
456-468
7. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10 th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
8. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468.
9. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi,
Obstruksiusus. Mahanani, Dewi Asih,dkk. Ringkasan Patologi Anatomi.
Jakarta.EGC5. 532-538
10. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.Sjamsuhida
ja R, De Jong,Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 646-647
11. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (PenyakitHirschsprun
g) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak  Nelson. Edisi 15, Jilid
II. Jakarta: EGC, 1316-1319
12. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-
82
13. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s
Atlas of Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
14. Lee, Steven L. Hirschprung disease. Available from :
http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 8 September 2012.
15. Anatomi Kolon. Available from: URL: http://www.scribd.com diakses 7
september 2012
16. Victor,P. E. 2007. Atlas of Histology with Functional Correlation. New York.
Page 42
17. Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta

Anda mungkin juga menyukai