Anda di halaman 1dari 5

1.

Tingkat kesadaran

Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya
maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa
dengan baik.

Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.

Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus


tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-
ronta.

Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila
dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.

Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.

Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap pertanyaan,


tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi
refleks kornea dan pupil masih baik.

Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Untuk mengukur tingkat kesadaran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan
GCS (Glasgow Coma Scale)
Nilai GCS (15-14) : Composmentis
Nilai GCS (13-12) : Apatis
Nilai GCS (11-10) : Delirium
Nilai GCS (9-7) : Somnolen
Nilai GCS (6-5) : Sopor
Nilai GCS (4) : semi-coma
Nilai GCS (3) : Coma
2. Komplikasi fraktur
Komplikasi fraktur

1) Komplikasi Awal

a) Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.

b) Kompartement Syndrom

Syndrome kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan


interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup.
Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. Gejala
utama dari sindrom kompartemen adalah rasa sakit yang bertambah parah terutama pada
pergerakan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh narkotik. Tanda lain adalah terjadinya
paralysis, dan berkurangnnya denyut nadi. 

c) Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. Serangan biasanya
2-3 hari setelah cedera.

d) Infeksi 

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

f) Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama

Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang
tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring

Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang
lebih lambat dari keadaan normal.

3. Persiapan Rujukan pasien patah tulang


4. Kegunaan kristaloid, kolid dan darah pada kondisi apa saja?
Kontroversi dalam memilih antara kristaloid atau koloid untuk digunakan pada penanganan
syok hipovolemik sudah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Kristaloid atau koloid keduanya
berfungsi untuk mempertahankan atau menambahkan volume intravaskuler.

Pada kondisi hipovolemik, cairan koloid bertahan lebih lama di dalam vaskuler dibandingkan
dengan cairan kristaloid yang segera berpindah ke jaringan interstisial. Hal ini membuat
resusitasi cairan menggunakan koloid dapat mencapai perbaikan hemodinamik lebih cepat
dengan menggunakan volume yang lebih sedikit.[2]

Penggunaan kristaloid dalam jumlah banyak dapat meningkatkan tekanan hidrostatik,


sehingga cairan banyak keluar ke ruang interstisial dan dapat menimbulkan komplikasi
seperti edema paru (terutama pada pasien dengan gangguan ginjal dan jantung), edema
dinding gastrointestinal, dan hemodilusi.[7] Oleh karena itu, penggunaan koloid diajukan
sebagai pengganti kristaloid karena dianggap dapat mengurangi komplikasi tersebut. Namun,
sampai saat ini beberapa penelitian menunjukkan efikasi koloid tidak lebih baik
dibandingkan dengan kristaloid. Penggunaan koloid juga bisa menyebabkan reaksi alergi dan
permasalahan pembekuan darah.
5. Prinsip terapi cairan :
 Bila kehilangan darah kurang dari 1/3 ABL ( Acceptable Blood Loss) (kehilangan darah
masih dapat ditolerir) maka penggantian darah yang hilang cukup dengan larutan Ringer Laktat.
 Bila kehilangan darah melebihi 1/3 ABL maka penggantian darah yang hilang dengan larutan
koloid (albumin 5%)
 Bila kehilangan darah melebihi ABL yaitu sekitar >10% EBV, maka harus diberikan tranfusi
darah atau PRC (Packed Red Cell) ditambah koloid dengan volume yang sama.
 Kehilangan darah pada bayi atau anak sulit diukur dengan pasti sedangkan kehilangan darah
sedikit saja sudah akan dapat menimbulkan gangguan, oleh sebab itu menghadapi perdarahan
pada bayi atau anak perlu perhitungan yang tepat antara lain selain memperhatikan keadaan
umum juga perlu mengukur pemeriksaan hematokrit agar pemberian tranfusi darah tepat pada
waktunya. 
6. Derajat syok

Anda mungkin juga menyukai