Anda di halaman 1dari 55

REFERAT

KELAINAN ANATOMI DAN FISIOLOGI COLON DAN


RECTUM

Disusun oleh:
Ancilla Agra Yathesta Nauli (030.15.018)

Pembimbing:
dr. Harinto Sp, B.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 28 APRIL – 11 JULI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul


“KELAINAN ANATOMI DAN FISIOLOGICOLON DAN
RECTUM”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik


Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta 28 April – 11 Juli 2019

Disusun oleh:
Ancilla Agra Yathesta Nauli
030.15.018

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Harinto Sp.B selaku dokter pembimbing
Ilmu Penyakit Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta

Jakarta, Juni 2019


Mengetahui,

dr. Harinto Sp.B

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan YME , karena berkat rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik
Ilmu Bedah Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di RSUD Budhi Asih
Jakarta.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, terutama :
1. dr. Harinto Sp.B selaku pembimbing dalam penyusunan makalah.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk
membantu saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut
memperbaiki makalah ini agar dapat bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat
luas.

Jakarta, Juni 2019

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar rata -rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5cm), tetapi makin dekat anus
diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum.
Beberapa penyakit pada kolon dan rectum yang dapat mempengaruhi anatomi
dan fisiologinya diantaranya Hirscprung Disease, Inflammatory Bowel Disease
yang terdiri dari penyakit Crohn dan Kolitis Ulserativ, dan Hemoroid interna.
Hirscprung Disease adalah kelainan perkembangan yang ditandai dengan tidak
adanya ganglia di usus besar distal, mengakibatkan obstruksi fungsional. Insidensi
penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000
kelahiran hidup. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit hirschsprung akan
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Penyakit radang usus (IBD) adalah penyakit idiopatik yang disebabkan oleh
respon imun yang tidak teratur terhadap microflora inang usus. Dua jenis utama
penyakit radang usus adalah Kolitis ulserativ dan penyakit Crohn. Penyakit Crohn
dapat mengenai di seluruh segmen traktus gastrointestinal, mulai dari mulut
hingga anus.Kolitis ulseratif terlokalisasi di usus besar (kolon) dan rektum.
Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia muda
antara umur 15-30 tahun dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS
Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD
berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus
hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan
pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%.
Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus
yang berasal dari pleksus hemoroidalis. Hemoroid interna adalah pelebaran
pleksus v.hemoroidalis superior diatas garis mukokutan (linea dentata) dan
ditutupi oleh mukosa.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Embriologi Kolon dan Rektum


2.1.1 Kolon
Secara embriologi, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon
kiri sampai dengan rectum berasal dari usus belakang.1
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar rata -rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5cm), tetapi makin dekat anus
diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum.1
Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon
dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid.
Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan
kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S.6
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan dari sekum
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum. Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama, yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan
arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon
bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rectum bagian
proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang, yaitu arteri kolika
sinistra, arteri hemoroidalis superior, dan arteri sigmoidea.6

5
Gambar 1.
Vaskularisasi Kolon

Aliran balik vena dari kolon dan rectum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior serta vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari system
portal yang mengalirkan darah ke hati.6
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar.
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :7
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada
ketiga pleksus tersebut.7

6
Gambar 2.
Skema syaraf autonom intrinsik usus

Jadi pasien dengan kerusakan medulla spinalis, maka fungsi ususnya tetap
normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschprung akan mempunyai fungsi
usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach
dan meissner.9

2.1.2 Rektum
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian
ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal;
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan.7

7
Gambar 3
Anatomi anus dan rektum beserta otot-ototnya.
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter
ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus
pelvik (saraf parasimpatis).7

2.2 Fisiologi Kolon


Usus besar atau colon memiliki empat fungsi yaitu motilitas (dan
reservoir), absorbsi, sekresi, dan endokrin.4,5,6
1. Pertukaran cairan dan elektrolit
Usus besar adalah tempat utama untuk penyerapan air dan pertukaran
elektrolit. Dalam keadaan normal, sekitar 90% air yang terkandung dalam cairan
ileum diserap di usus besar (1000-2000 mL / hari), tetapi hingga 5.000 mL cairan

8
dapat diserap setiap hari. Sodium diserap secara aktif melalui ATPase natrium-
kalium (Na + / K +). Usus besar dapat menyerap hingga 400 mEq natrium per
hari. Air yang mengandung natrium diangkut dan diserap secara pasif sepanjang
gradien osmotik. Kalium secara aktif disekresikan ke dalam lumen kolon dan
diserap oleh difusi pasif. Klorida diserap secara aktif melalui pertukaran klorida-
bikarbonat.
Degradasi bakteri protein dan urea menghasilkan amonia. Amonia kemudian
diserap dan diangkut ke hati. Penyerapan amonia sebagian tergantung pada pH
intra-luminal. Penurunan bakteri kolon (mis., Karena penggunaan antibiotik
spektrum luas) dan / atau penurunan pH intraluminal (mis., Karena pemberian
laktulosa) akan menurunkan penyerapan amonia.
2. Mikroflora Kolon dan Gas Usus
Sekitar 30% dari berat kering tinja terdiri dari bakteri . Anaerob adalah kelas
mikroorganisme yang dominan, dan spesies Bacteroides adalah yang paling
umum. Escherichia coli adalah aerob paling banyak. Mikroflora endogen sangat
penting untuk pemecahan karbohidrat dan protein dalam usus besar dan
berpartisipasi dalam metabolisme bilirubin, asam empedu, estrogen, dan
kolesterol. Bakteri kolon juga diperlukan untuk produksi vitamin K. Bakteri
endogen juga dianggap menekan kemunculan mikroorganisme patogen, seperti
Clostridium difficile. Namun, tingginya beban bakteri usus besar mungkin
berkontribusi pada sepsis pada pasien yang sakit kritis dan dapat berkontribusi
pada sepsis intraabdomen, abses, dan infeksi luka setelah kolektomi.
Gas usus timbul dari udara yang tertelan, difusi dari darah, dan produksi
intraluminal. Nitrogen, oksigen, karbon dioksida, hidrogen, dan metana adalah
komponen utama gas usus. Nitrogen dan oksigen sebagian besar berasal dari
udara yang tertelan. Hidrogen dan metana diproduksi oleh bakteri kolon. Produksi
metana sangat bervariasi. Saluran pencernaan biasanya mengandung antara 100
dan 200 mL gas, dan 400 hingga 1200 mL / hari dilepaskan sebagai flatus,
tergantung pada jenis makanan yang dicerna.

9
2.3 Kelainan Anatomi dan Fisiologi Kolon
Penyakit Hirschsprung
2.3.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan perkembangan yang ditandai dengan tidak
adanya ganglia di usus besar distal, mengakibatkan obstruksi fungsional. 1

Gambar 4.
Gambaran Megacolon Kongenital
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit hirschsprung akan dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.12
2.3.3 Etiologi
Salah satu etiologi yang mungkin dari penyakit Hirschsprung adalah
abnormalitas migrasi neuroblas atau, meskipun migrasi sel normal dapat
terjadi, neuroblas dapat mengalami apoptosis, kegagalan proliferasi, atau
diferensiasi yang tidak tepat dalam segmen usus distal yang terkena.[4, 5, 6]
2.3.4 Patogenesis
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, tidak ada pleksus
mienterika (Aurbach) dan submukosa (Meissner’s). Anus selalu
dipengaruhi, dan aganglionosis berlanjut secara proksimal untuk jarak yang
bervariasi. Dengan tidak adanya refleks Enteric Nervous System , kontrol

10
otot polos usus sangat ekstrinsik. Aktivitas sistem kolinergik dan sistem
adrenergik 2-3 kali lipat dari usus normal. Sistem kolinergik (rangsang)
diperkirakan mendominasi sistem adrenergik (penghambatan), yang
mengarah pada peningkatan tonus otot polos. Dengan hilangnya impuls
rileks enterik intrinsik, peningkatan tonus otot tidak terhalang. Fenomena ini
menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang
tidak terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. 7
Dasar patofisiologi dari Hirschsprung Disease adalah tidak adanya
gelombang propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari
sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis
atau disganglionosis pada usus besar.7

Gambar 7
Gambaran segmen aganglion pada penyakit hirschprung

Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel ganglion kurang


dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel berkurang 5 kali dari
jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus berkurang
50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang
colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.8

11
2.3.5 Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 12
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).

Gambar 8. Tipe penyakit hirschsprung,: (a) rectosigmoid aganglionosis, (b)


short atau ultrashort segment, (c) long segment, (d) total colonic
aganglionosis, (e) aganglionosis ke seluruh kolon dan sebagian ke usus
kecil12
2.3.6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
1. Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi

12
abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi
yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, paling tinggi
saat usia 2-4 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen,
feces berbau busuk dan disertai demam.12
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi
semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit
untuk defekasi. 12

2.3.7 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografi, serta pemeriksaan
patologi anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada
sebagian kasus dapat ditegakkan. 12
1. Anamnesis12
a. Pada neonatus :
1) Mekonium keluar terlambat > 24 jam
2) Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3) Perut cembung dan tegang
4) Muntah
5) Feses encer
b. Pada anak :12
1) Konstipasi kronis
2) Failure to thrive (gagal tumbuh)
3) Berat badan tidak bertambah

13
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Gambar 9. Foto pasien penderita Hirschsprung

2. Pemeriksaan Fisik12
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi,
bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah
yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara.
3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting
pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.11

14
Gambar 10. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan


diagnosa Hirschsprung adalah Barium Enema, dimana akan dijumpai
3 tanda khas :11
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
kearah daerah dilatasi
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi
kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.11

15
Gambar 11. Terlihat gambar barium enema penderita
Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,
dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar

b. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis


penyakit hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction
khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya
diambil 2 cm diatas linea dentata dan juga mengambil sample yang
normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik.
Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.11

16
2.3.8 Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome12
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.
2. Akalasia recti12
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Aurbach.

2.3.9 Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit,
asam basa dan mencegah terjadinya over distensi sehingga akan
menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis.
Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan
pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase
kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.12
2. Tindakan Bedah
Jika bayinya sehat, dan hanya Hirschsprung rektosigmoid yang
dicurigai, ia dapat dikelola dengan pencucian rektum secara teratur untuk
membersihkan usus dan operasi awal pada 4-6 minggu, menghindari
kolostomi jika memungkinkan.
Jika bayi sakit dan dicurigai segmen yang lebih panjang, maka
manajemennya adalah sebagai berikut:
- Kolostomi default awal (persarafan normal pada segmen usus
digunakan untuk kolostomi harus dikonfirmasi oleh bagian beku)
- Reseksi segmen yang terpengaruh antara usia 3 dan 6 bulan dan tarikan
melalui usus ganglion ke rectum (Pull-through procedure)
- Kolostomi yang rusak ditutup 3-4 minggu kemudian.

17
Gambar 12.
Prosedur pembedahan Pull-through

Post Operasi

Segera setelah colostomy dibuat atau prosedur pull-through definitif


dilakukan, pasien sering tetap menggunakan antibiotik intravena spektrum luas
(misalnya, ampisilin, gentamisin, dan metronidazol) sampai fungsi usus kembali
dan tujuan makan tercapai.
Setelah prosedur penarikan definitif dilakukan dan fungsi usus normal
diperoleh, tidak diperlukan obat tambahan.
Injeksi toksin botulinum dalam mekanisme sfingter internal yang
dikontrak telah dilaporkan menginduksi pola pergerakan usus yang lebih normal
pada pasien pasca operasi dengan obstruksi atau enterokolitis.
Pasca operasi, pasien akan menerima cairan intravena dan antibiotik;
Namun, tidak ada yang dapat diberikan melalui mulut sampai keluarnya flatus
atau feses menandakan kembalinya fungsi usus. Jika bayi baru lahir mengalami
pembentukan kolostomi pengalihan, perlunya flatus atau feses dari stoma
diperlukan sebelum pemberian makanan oral.

Diet Post Operasi


Setelah kembalinya fungsi usus, pemberian susu formula atau susu
formula dapat dilanjutkan. Cairan bening dikirim melalui mulut, dan diet dapat
ditingkatkan sampai tujuan makan terpenuhi. Pemberian makanan biasanya

18
dimulai 24-48 jam setelah pembentukan kolostomi. Pasien dapat dipulangkan dari
rumah sakit setelah mendapat makan penuh.
Diet yang terdiri dari buah-buahan segar, sayuran, dan makanan berserat
tinggi dapat meningkatkan fungsi usus pasca operasi.
Berkenaan dengan aktivitas, batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu
untuk memungkinkan sayatan sembuh dengan benar (berlaku lebih untuk anak
yang lebih besar).

2.3.10 Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.12
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan
suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran
berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis
umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini
kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.4,12
2. Stenosis
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab
stenosis, mulai dari businasi hingga sfingterektomi posterior.4
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Tindakan yang dapat dilakukan pada
penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah 4
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.

19
Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti
tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar
eksplosif cair dan berbau busuk.12

2.3.10 Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,
90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang
masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. 12

20
DAFTAR PUSTAKA

1. KA Sari. 2011. Penyakit Hirschsprung. Medan: Universitas Sumatra Utara


2. Asrul mappiwali. 2011.Hirschprung Disease. Available from: URL:
http://www.scribd.com diakses 7 september 2012
3. Hidayat M, Nurmantu F, Bahar B. Anorectal Function of Hirsphrung’s
Patients After Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science.
2009 June;2(2): 77-78
4. Swenson O. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002 ; 109 : 914-
918
5. Sadler,T.W, 2000. Sistem Pencernaan.Dalam : Embriologi Kedokteran Langm
anEdisi 7,Jakarta : EGC, 243-271
6. Lindseth, Glenda N, 2005. Gangguan Usus Besar. Hartanto Huriawati. Patofisi
ologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Volume 1, Edisi 6.Jakarta. EGC.
456-468
7. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153
8. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468.
9. Taylo,Clive R, 2005. Struktur dan Fungsi, Sindrom Malabsorbsi,
Obstruksiusus. Mahanani, Dewi Asih,dkk. Ringkasan Patologi Anatomi.
Jakarta.EGC5. 532-538
10. Pieter, John, 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.Sjamsuhida
ja R, De Jong,Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 646-647
11. Wyllie, Robert, 2000. Megakolon Aganglionik Bawaan (PenyakitHirschsprun
g) .Behrmann, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jilid
II. Jakarta: EGC, 1316-1319
12. Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-
82
13. Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s
Atlas of Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
14. Lee, Steven L. Hirschprung disease. Available from :
http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 8 September 2012.
15. Anatomi Kolon. Available from: URL: http://www.scribd.com diakses 7
september 2012
16. Victor,P. E. 2007. Atlas of Histology with Functional Correlation. New York.
Page 42
17. Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta

21
Inflammatory Bowel Disease
2.4.1 Definisi
Penyakit radang usus (IBD) adalah penyakit idiopatik yang disebabkan oleh
respon imun yang tidak teratur terhadap microflora inang usus. Dua jenis utama
penyakit radang usus adalah Kolitis ulserativ dan penyakit Crohn (4,10)
Penyakit Crohn
Penyakit Crohn dapat mengenai di seluruh segmen traktus gastrointestinal,
mulai dari mulut hingga anus. Biasanya sering melibatkan usus kecil (ileum)
bagian akhir yang berhubungan dengan kolon. Penyakit Crohn ditandai dengan
munculnya “patches”, terjadi secara segmental dan dapat diselingi jaringan sehat
diantaranya. Peradangan yang terjadi dapat meluas ke dalam ketebalan dinding
usus.(3)

Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif terlokalisasi di usus besar (kolon) dan rektum. Proses
inflamasi hanya terjadi pada lapisan mukosa dari usus. Biasanya dimulai dari
rektum dan kolon bagian bawah, kemudian menyebar hingga seluruh kolon.(3)
2.4.2 Epidemiologi
Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia
muda antara umur 15-30 tahun dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan.(4,5)
Dari data di unit endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM,
RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD
berkisar 12.2% kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus
hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan
pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar 2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa
secara umum, kejadian KU lebih banyak daripada kasus PC. (1,12)

2.4.3 Patogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Salah
satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada individu yang

22
merupakan kelainan gentetik yang menyebabkan gangguan integritas pada barrier
epitl, dan masalah dieferensiasi limfosit. Hal ini terutama terjadi pada penyakit
Crohn. Respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora
normal usus pada penderita berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus.

Mediator inflamasi memainkan peran penting dalam karakteristik


patologis dan klinis gangguan ini. Sitokin, yang dilepaskan oleh makrofag sebagai
respons terhadap berbagai rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor yang
berbeda dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin
membedakan limfosit menjadi berbagai jenis sel T. Sel T helper, tipe 1 (Th-1),
terkait terutama dengan penyakit Crohn, sedangkan sel Th-2 terutama terkait
dengan kolitis ulserativa. Respons imun mengganggu mukosa usus dan
menyebabkan proses inflamasi kronis. [9]

Kolitis Ulserativa

Pada kolitis ulserativa, peradangan dimulai pada rektum dan meluas secara
proksimal ke kolon proksimal dan akhirnya dapat melibatkan seluruh panjang
usus besar. Rektum selalu terlibat dalam kolitis ulserativa; dan tidak seperti pada
penyakit Crohn, tidak ada "skip area " (yaitu, daerah normal usus diselingi dengan
daerah yang sakit), kecuali sebelum diobati dengan terapi rektum topikal (yaitu,
enema steroid atau asam 5-aminosalisilat [5-ASA]) .

Ketika kolitis ulserativa menjadi kronis, kolon menjadi tabung kaku yang tidak
memiliki tanda haustral seperti biasanya, yang mengarah ke penampakan pipa
timah yang diamati pada barium enema.

Penyakit Crohn

Penyakit Crohn dapat memengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, dari
mulut ke anus, dan menyebabkan 3 pola keterlibatan: penyakit radang, striktur,
dan fistula. Penyakit ini terdiri dari keterlibatan segmental oleh proses inflamasi
granulomatosa nonspesifik. Ciri patologis paling penting dari penyakit Crohn

23
adalah bahwa penyakit ini bersifat transmural, melibatkan semua lapisan usus,
bukan hanya mukosa dan submukosa, yang merupakan karakteristik dari kolitis
ulserativa. Lebih lanjut, penyakit Crohn bersifat diskontinyu, dengan daerah
loncatan diselingi antara 2 atau lebih daerah yang terlibat.

Dalam 35% kasus, penyakit Crohn terjadi di ileum dan usus besar; di 32%, hanya
di usus besar; di 28%, di usus kecil; dan pada 5%, di wilayah gastroduodenal. [10]
Diare, kram, dan nyeri perut adalah gejala umum penyakit Crohn di semua lokasi
di atas, kecuali untuk daerah gastroduodenal, di mana anoreksia, mual, dan
muntah lebih sering terjadi. [10]

2.4.4 Gejala Klinis


KLINIS KOLITIS PENYAKIT CROHN
ULSERATIF (KU) (PC)
Diare kronik ++ ++
Hematochezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen - ++
Fistulasi ± ++
Stenosis/ striktur + ++
Keterlibatan usus halus ± ++
Keterlibatan rektum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + ±
Keterangan: ++: sering; +: kadang; ±: jarang; -: tidak ada
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis.(1)

Kolitis Ulseratif

Pada umumnya gejala utama dari Kolitis Ulseratif berupa diare,


perdarahan rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi
secara perlahan (insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau
hipoalbuminemia. Meskipun KU dapat muncul secara akut, gejala umumnya telah
ada selama beberapa minggu hingga bulan. Pada beberapa keadaan, diare dan
perdarahan cukup jarang dan ringan sehingga pasien sering tidak mencari
pertolongan medis. (11,19,20)

24
Ketika penyakitnya meluas melewati rektum, feses atau diare umumnya
tercampur dengan darah dapat ditemukan. Mobilitas kolon berubah oleh karena
inflamasi dengan transit cepat melalui intestinal. Ketika penyakit menjadi berat,
pasien akan bebas dari feses yang mengandung darah dan pus. Diare umumnya
nokturnal dan/atau setelah makan. Meskipun nyeri hebat bukan merupakan gejala
yang paling menonjol, beberapa pasien dengan penyakit aktif dapat mengalami
rasa tidak nyaman pada perut bagian bawah atau kram perut bagian tengah. Pada
penyakit derajat berat dapat muncul kram berat dan nyeri perut. Gejala lain pada
penyakit derajat sedang-berat termasuk anoreksia, mual, muntah, demam, dan
penurunan berat badan.(11)

Pada Kolitis Ulseratif, setidaknya terdapat 3 bentuk gejala dan tanda klinis
yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.

Klinis Ringan Sedang Berat


Pergerakan usus < 4x /hari 4-6x /hari > 6x /hari
Darah pada feses Sedikit Sedang Berat
Demam Tidak ada < 37,5°C > 37,5°C
Takikardi Tidak ada < 90x /menit > 90x /menit
Anemia Ringan > 75% <75%
Tabel 2. Derajat Gejala Klinis Kolitis Ulseratif .(11)

Penyakit Crohn

Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan),
kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang
paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum
terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh
mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn.(21)

Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi


pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan
berlebih dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. .
Diare berdarah yang menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut

25
dan urgensi untuk defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon
dan distensi dari bagian kolon yang mengalami inflamasi.
Kriteria derajat gejala klinis Penyakit Crohn, yaitu:(21)
Ringan - Sedang Rawat jalan, tanpa abdominal tenderness, masa yang
nyeri, atau obstruksi.
Sedang - Berat Tidak respon terhadap pengobatan untuk stadium ringan-
sedang atau demam yang menonjol, penurunan berat
badan, anemia, nyeri perut, atau mual-muntah.
Berat - Fulminan Gejala yang persisten dengan kortikosteroid dengan
demam tinggi, kaheksia atau abses.
Remisi Asimtomatik, tanpa inflamasi sequelae, tidak
membutuhkan kortikosteroid sistemik.
Tabel 3. Derajat Gejala Klinis Penyakit Crohn.(21)

Ekstraintestinal

Sepertiga pasien IBD minimal disertai satu manifestasi penyakit


ekstraintestinal. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:(11)

Tempat Manifestasi
Kulit Eritema nodusum, pioderma gangrenosum
Hati Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis,
kolelitiasis
Tulang Osteopenia, aseptik nekrosis
Sendi Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis
Mata Uveitis, episkleritis, kerastitis
Ginjal/urologi Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal,
glomerulonefritis
Hematologi Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12)
Vaskular Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal
Pankreas Pankreatitis

26
Lain-lain Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual

Tabel 4. Gejala Klinis Ekstraintestinal.(11)

2.4.5 Diagnosis

A. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala klinis seperti


yang telah dijabarkan.

C. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi abdomen posisi tegak dan terlentang untuk


mengevaluasi dilatasi kolon dan eksklusi obstruksi yang berhubungan dengan
ileus, obstruksi, pneumoperitonium karena perforasi.

Gambar 13
Foto polos abdomen, menunjuka striktur colon ascenden pada pasien
dengan riwayat kronik kolitis ulcertif.

27
Gambar 14
Toxic megacolon sebagai komplikasi yang berbahaya dari penyakit kolitis
ulcerativ dimana diameter colon transversum > 8cm, dan dibutuhkan tindakan
colostomi segera dalam 24-48 jam.

Barium enema dapat menilai karakteristik dan luas kelainan kolon, akan
tetapi tidak boleh dilakukan pada penyakit akut (active disease), yaitu kolitis aktif
karena dapat menyebabkan dilatasi toksik. Pada kolitis ringan dan sedang tanpa
distensi abdomen, barium enema dengan double contrast dapat mendeteksi
kelainan mukosa berupa karakteristik lesi, deformitas sekum, kelainan
(4,19)
segmental/seluruh kolon. Kelainan yang dapat dilihat pada pemeriksaan
barium enema dengan double contrast kolon penderita IBD adalah:

- Stove pipe/ Lead pipe : Menunjukkan kolitis ulserativa kronis yang


mengakibatkan hilangnya haustra kolon karena usus besar menjadi
kaku yang diperpendek.
- Rectal Sparing: Colitis pada Crohn disease.
- Thumbprinting: indikasi peradangan mukosa
- Skip Lesion
- String Sign
- Collar Button

28
Gambaran 15 Gambar 16
stove-pipe/ lead pipe Rectal Sparing

Gambar 17 Gambar 18
Tumbprinting String Sign

29
D. Pemeriksaan Colonoskopi

Ketika digunakan dengan tepat, kolonoskopi dapat membantu menentukan


tingkat dan keparahan kolitis, membantu dalam membimbing pengobatan, dan
menyediakan jaringan untuk membantu dalam diagnosis. Pada tangan-tangan
terampil, kolonoskop sering dapat mencapai ileum terminal dan memungkinkan
penilaian peradangan untuk membantu dalam diagnosis atau pengecualian
penyakit Crohn. Peradangan kadang-kadang dapat terjadi di terminal ileum pada
pasien dengan kolitis ulserativa; ini disebut sebagai ileitis backwash dan ringan,
tidak menyebabkan perdarahan, dan dapat terjadi ketika terdapat katup ileocecal
yang dipatenkan secara luas.

Gambar 19
Colitis berat pada penderita Inflamatory Bowel Disease dengan
pemeriksaan Colonoscopy

PEMERIKSAAN KOLITIS PENYAKIT


ULSERATIF CROHN
LABORATORIUM
ANCA-positif Sering Jarang
ASCA-positif Jarang Sering
Keterangan: ANCA: Anti Neutrophil Cytoplasm Antibody, ASCA: Anti
Saccharomyces Cerevisiae Antibody
RADIOLOGI
Usus halus abnormal Tidak Ya
Ileum terminal abnormal Terkadang Ya

30
Kolitis segmental Tidak Ya
Kolitis asimetris Tidak Ya
Striktura Terkadang Sering
KOLONOSKOPI
LESI INFLAMASI
Bersifat kontinyu +++ +
Adanya skip area - +++
Keterlibatan rektum +++ +
Lesi mudah berdasar +++ +
Cobblestone appearance (CSA) + +++
atau pseudopolyp
SIFAT ULKUS
Terdapat pada mukosa yang +++ +
inflamasi - ++++
Keterlibatan ileum + ++++
Lesi ulkus bersifat diskrit
BENTUK ULKUS
Diameter >1cm + +++
Dalam + +++
Bentuk linier (longitudinal) + +++
Aphtoid - ++++
Keterangan: (-) = Tidak ada; (++++) = Sangat diagnostik (karakteristik)
Tabel 5. Perbedaan laboratorium, radiologi, dan kolonoskopi IBD (4,19)

Gambar 20 Gambaran kolonoskopi pada (a) usus normal, (b) penyakit Crohn
dengan gambaran “Cobblestoning”, (c) gambaran pseudopolyps, (d) kolitis
ulseratif berat.(25)

31
2.4.6 Penatalaksanaan
A. TERAPI MEDIKAMENTOSA
Tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga
diperlukan suatu alogaritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer
(Gambar 6 dan 7). Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap akhir jika
medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi. (12,26)

OBAT GOLONGAN ASAM AMINO SALISILAT


5-Aminosalicylic acid (5-ASA)
Obat yang sudah lama dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat
sulfasazin bekerja sebagai agen anti-inflamasi.(4)
Agen ini efektif dalam menginduksi remisi pada kedua KU dan PC juga
mempertahankan remisi pada KU, namun masih belum jelas apakah dapat
mempertahankan remisi pada PC diterapi dengan 2 g/hari dari 5-ASA; respon
dosis dapat dinaikkan hingga 4,8 g/hari. Dosis 1,5-4 g/hari untuk
mempertahankan remisi KU.(23)
OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID
Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan
untuk PC semua derajat dan KU derajat sedang dan berat.(4) Prednisolon biasanya
dimulai dari dosis 40-60 mg/hari untuk KU aktif yang tidak berespon terhadap
terapi 5-ASA.11,23)
Glikokortikoid tidak memiliki peranan dalam terapi rumatan baik pada KU
maupun PC. Sekali sudah terjadi remisi, sebaiknya obat dilakukan tapering dose
sesuai dengan aktivitas klinis, normalnya tidak lebih dari 5 mg/minggu. Dapat
juga diturunkan sampai 20 mg/hari dalam 4-5 minggu namun sering memerlukan
beberapa bulan untuk menghentikan seluruhnya.(11)
ANTIBIOTIK
Antibiotik tidak memiliki peranan dalam pengobatan KU aktif maupun
tenang, umumnya respon terhadap pengobatan metronidazole ataupun
ciprofloxacin. Metronidazole efektif pada inflamasi aktif, fistula, dan PC perianal
dan dapat mencegah kekambuhan setelah reseksi ileum.(11)

32
Dosis paling efektif adalah 15-20 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis;
biasanya dilanjutkan sampai beberapa bulan. Coprofloxacin (500 mg 2x/hari) juga
bermanfaat untuk PC inflamasi, perianal, dan fistula. Kedua antibiotic ini
sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama pada PC perianal dan fistula,dan
sebagai obat lini kedua untuk PC aktif setelah agen 5-ASA.(11)
OBAT GOLONGAN IMUNOSUPRESIF
Azathioprine dan 6-Mercaptopurine
Azathioprine dan 6-Mercaptopurine (6-MP) adalah analog purin yang
umumnya digunakan dalam penangan glucocorticoid-dependent IBD.
Azathioprine (2-3 mg/kg/hari) atau 6-MP (1-1,5 mg/kg/hari) telah digunakan pada
dua per tiga pasien KU dan PC yang sebelumnya tidak dapat menghentikan
penggunaan glikokortikoid. Azathioprine dan 6-MP efektif untuk profilaksis pada
pasien post operasi dari PC. (11)
Cyclosporine
Cyclosporine (CSA) bekerja lebih cepat bila dibandingkan azathioprine
dan 6-MP. CSA paling efektif bila diberikan pad adosis 2-4 mg/kg/hari secara
intravena pada KU berat yang tidak dapat disembuhkan dengan glukokortikoid
intravena. Oral CSA saja hanya efektif pada dosis yang lebih tinggi (7,5
mg/kg/hari) pada penyakit aktif namun tidak efektif untuk rumatan tanpa
azathioprine / 6-MP.(11,23)
Antibodi Anti-TNF
TNF adalah sitokin inflamasi dan meditor dari inflamasi intestinal.
Ekspresi TNF mengikat pada IBD. Pada pasien PC aktif yang tidak sembuh
dengan glukokortikoid, 6-MP/ 5-ASA, 65% akan respon terhadap infliximab
(INF) dengan dosis 5mg/hari intravena. INF efektif pada pasien KU dapat
mempertahankan remisi setelah 30 dan 54 minggu. INF juga efektif pada pasien
PC dengan fistula perianal dan enterokutaneus yang tidak sembuh, dengan angka
respon 68% dan 50% mengalami remisi komplit.(11)

33
Alogaritma rencana terapeutik Kolitis Ulseratif di Pelayanan Kesehatan Lini
Pertama.(1)

Alogaritma rencata terapeutik Penyakit Crohn di Pelayanan Kesehatan Lini


Pertama.(1)

B. PEMBEDAHAN
Kolitis ulseratif perlu dilakukan operasi yaitu dengan membuang bagian
dari kolon dan rektum. Standar prosedur pembedahan untuk kolitis ulseratif yang

34
disebut an ileal pouch anal anastomosis (IPAA). Dalam prosedur tersebut setelah
seluruh usus besar dan rektum diangkat, usus kecil dilekatkan pada daerah anus.
Kemudian dibuat kantung untuk pembuangan, hal ini untuk memudahkan buang
air besar. Namun ada beberapa pasien yang mengalami komplikasi seperti
pouchitis (radang kantung). Beberapa pasien membutuhkan ileostomy permanent,
dimana dibuatkan kantung ekternal yang melekat pada perut pasien sebagai
tempat pembuangan feses.(27)
Penyakit Crohn membutuhkan setidaknya pembedahan satu kali selama
hidupnya. Sekitar 70% pasien dengan penyakit Crohn memerlukan operasi
pembedahan. 30% pasien yang menjalani operasi dapat mengalami kekambuhan
dalam jangka waktu tiga tahun dan 60% dapat kambuh dalam jangka waktu
sepuluh tahun. Pembedahan dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan penyakit
dan lokasi penyakit di usus. Pasien dengan penyakit usus kecil memiliki 80%
kemungkinan untuk dilakukan pembedahan. Pembedahan dapat menjadi pilihan
ketika pengobatan medis telah gagal atau terdapat komplikasi yang mengharuskan
tindakan bedah.(11,27)

INDIKASI PEMBEDAHAN

KOLITIS ULSERATIF PENYAKIT CROHN

Penyakit yang sulit disembuhkan Usus halus

Penyakit yang fulminan Striktura dan obtruksi yang tidak


respon terapi medikamentosa.
Megakolon toksik
Perdarahan masif.
Perforasi kolon
Fistula yang sulit ditangani.
Perdarahan masif kolon
Abses
Penyakit ekstrakolon
Kolon dan Rektum
Obstruksi kolon

35
Pencegahan kanker kolon Penyakit yang sulit disembuhkan.

Displasia kolon atau kanker Penyakit fulminan.

Prolonged corticosteroid dependent Penyakit perianal yang tidak respon


terapi medikamentosa.

Obstruksi kolon.

Pencegahan kanker.

Displasia kolon atau kanker.

Tabel 6. Indikasi pembedahan IBD.(11)

2.4.7 Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: (1) Perforasi usus
yang terlibat, (2) Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, (3) Megakolon
toksik (terutama pada KU), (4) Perdarahan, (5) Degenerasi maligna. Diperkirakan
resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%.(4)
Perforasi usus kronis dapat mengakibatkan melemahnya dinding usus.(3)
Komplikasi yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus
kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan megakolon toksik
mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif
dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan
keganasan.(11)

Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan


penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi
adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan
bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa

36
keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan,
enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan
enterovesikal.(11,20)

2.4.8 Prognosis
Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan
eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan
(4)
dalam jangka waktu yang lama. Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis
Ulseratif mengalami remisi dalam 3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih
50% remisi dalam 2 tahun. (11)

Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah


didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk
mengalami respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak
dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun
setelah diagnosis.(22)

Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal.
Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis
Ulseratif. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal
meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma
adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis.(22)

37
1. Firmansyah MA. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan
Inflammatory Bowel Disease. CDK-203 2013; 40(4): 247-52.
2. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of
inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149-55.
3. Crohn’s & Colitis Foundation of America. The Facts about Inflammatory
Bowel Diseases 2014. Available at:
http://www.ccfa.org/assets/pdfs/updatedibdfactbook.pdf. Accessed on 2016,
March 1.
4. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima.
Jakarta: Interna Publishing; 2010: 591-7.
5. Loftus EV, Shivashankar R, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeisetes AR.
Updates Incidence and Prevalence of Crohn’s Disease and Ulcerative Colitis
in Olmsted Country, Minnesota (1970-2011). AGC 2014 Annual Scientic
Meeting. October 2014.
6. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al.
World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and
management of IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.

7. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic in ammatory bowel disease.
Surg Clin N Am 2007; 87: 697-725. 

8. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004: 281-94.
9. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system, Edisi keenam. Jakarta:
EGC; 2012: 641-92.
10. Lilihata G, Syam AF. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Tanto C, Liwang
F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat.
Jakarta: Media Aesculapius; 2014: 598-601.
11. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo DL,
Fauci AS, penyunting. Harrison, Gastroentrology and Hepatology. 17th
edition. United States: The McGraw-Hill Companies; 2010; 16: 174-95.
12. Kelompok Studi Infammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional
penatalaksanaan infammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi 
Indonesia 2011.
13. Bossuyt X. Serologic markers in in ammatory bowel disease. Clinical Chem
2006;52(2):171-81. 

14. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH.
Relationships between in ammatory bowel disease and perinatal factors: both
maternal and paternal disease are 
related to preterm birth o spring. In amm
Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55. 


38
15. Rowe WA, Katz J. Inflammatory bowel disease. Available at:
http://www.medscape.com. Accessed on 2016, March 2.
16. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of
syndecans in tissue injury and inflammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66. 

17. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of
dextran sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-de cient mice. Am J
Path. 2010;176(1):146-57. 

18. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in
inflammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy.
Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15. 

19. Julis, Zubir N, Miro S, Tarigan P, et al, Editors. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan IBD di Indonesia Tahun 2008.
20. Danese S, Fiocchi C, Rutgeerts P. Ulcerative Colitis. The New England J of
Medicine 2011; 365: 1713-25.
21. Hanauer SB, Sandborn W. Management of Crohn’s Disease in Adult. The
American J of Gastroenterology 2001; 96: 635-43.
22. Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ,
editors. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004: 1248-1255
23. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SP. Guidelines for the management of
inflammatory bowel disease in adults. Gut 2004; 53 (Suppl V): v1-v16.
24. Lashner BA. Colitis Ulcerative. In: Koch TR, editor. Colonic Disease.
Humana Press 2003; 2003: 479-90.

39
HEMOROID INTERNA
2.5.1 Definisi
Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus
yang berasal dari pleksus hemoroidalis. Pelebaran dan inflamasi ini menyebabkan
pembengkakan submukosa pada lubang anus. Dalam masyarakat umum hemoroid
lebih dikenal dengan wasir. Hemoroid dibedakan menjadi hemoroid interna dan
eksterna.(1,6)
Hemoroid interna adalah pelebaran pleksus v.hemoroidalis superior diatas garis
mukokutan (linea dentata) dan ditutupi oleh mukosa.

Hemoroid interna ini merupakan bantalan vaskuler didalam jaringan


submukosa pada rektum sebelah bawah. Sering hemoroid terdapat pada posisi
primer, yaitu kanan-depan, kanan-belakang, dan kiri-lateral. Hemoroid yang
lebih kecil terdapat diantara ketiga letak primer tersebut. (6)

2.5.2 Klasifikasi
Secara klinis Hemoroid Interna dibagi atas 4 derajat, yaitu(1,2,3)
• Derajat I, Merupakan hemoroid stadium awal. Hemoroid hanya berupa benjolan
kecil didalam kanalis anal pada saat vena-vena mengalami distensi ketika
defekasi.
• Derajat II. Hemoroid berupa benjolan yang lebih besar, yang tidak hanya
menonjol ke dalam kanalis anal, tapi juga turun kearah lubang anus. Benjolan ini
muncul keluar ketika penderita mengejan, tapi secara spontan masuk kembali
kedalam kanalis anal bila proses defekasi telah selesai.
• Derajat III. Benjolan hemoroid tidak dapat masuk kembali secara spontan.
Benjolan baru masuk kembali setelah dikembalikan dengan tangan ke dalam
anus.
• Derajat IV. Hemoroid yang telah berlangsung sangat lama dengan bagian yang
tertutup kulit cukup luas, sehingga tidak dapat dikembalikan dengan baik ke
dalam kanalis anal.

Tabel 1. Pembagian derajat hemoroid interna

40
Hemoroid Interna
Derajat Berdarah Menonjol Reposisi
I (+) (-) (-)
II (+) (+) Spontan
III (+) (+) Manual
IV (+) Tetap Tidak dapat

2.5.3 Manifestasi Klinis


Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau “wasir” tanpa ada
hubungannya dengan gejala rektum atau yang khusus. Nyeri yang hebat jarang
sekali ada hubungannya dengan hemoroid interna dan hanya timbul pada
hemoroid eksterna yang mengalami trombosis.(3,6,7)
Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama dari hemoroid interna akibat
trauma oleh faeces yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak
tercampur dengan faeces, dapat hanya berupa garis pada faeces atau kertas
pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet
menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar berwarna merah
segar karena kaya akan zat asam. Perdarahan luas dan intensif di fleksus
hemoroidalis menyebabkan darah di vena tetap merupakan “darah arteri”. (80
Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat berakibat timbulnya
anemia berat. Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat
menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya
terjadi pada waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada
stadium yang lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali setelah
defekasi agar masuk kembali ke dalam anus. Pada akhirnya hemoroid dapat
berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak bisa
didorong masuk lagi. Keluarnya mukus dan terdapatnya faeces pada pakaian
dalam merupakan ciri hemoroid yang mengalami prolaps menetap. Iritasi kulit
perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai pruritus anus dan ini

41
disebabkan oleh kelembaban yang terus menerus dan rangsangan mukus. Nyeri
hanya timbul apabila terdapat trombosis yang luas dengan oedem dan radang.(8)

2.5.4 Patofisiologi
Kebiasaan mengedan lama dan berlangsung kronik merupakan salah satu
risiko untuk terjadinya hemorrhoid. Peninggian tekanan saluran anus sewaktu
beristirahat akan menurunkan venous return sehingga vena membesar dan
merusak jar. ikat penunjang Kejadian hemorrhoid diduga berhubungan dengan
faktor endokrin dan usia. Hubungan terjadinya hemorrhoid dengan seringnya
seseorang mengalami konstipasi, feses yang keras, multipara, riwayat
hipertensi dan kondisi yang menyebabkan vena-vena dilatasi masih belum
jelas hubungannya.(7,8)
Hemoroid saat kehamilan sering terjadi akibat penekanan vena rectalis
superior oleh uterus gravid. Hipertensi portal akibat sirosis hati juga dapat
menyebabkan hemoroid. Kemungkinan kanker rectum juga menghambat vena
rectalis superior. Hemorhoid interna merupakan pelebaran cabang-cabang v.
rectalis superior (v. hemoroidalis) dan diliputi oleh mukosa. Cabang vena yang
terletak pada colllum analis posisi jam 3,7, dan 11 bila dilihat saat pasien dalam
posisi litotomi mudah sekali menjadi varises. Penyebab hemoroid interna diduga
adanya kelemahan kongenital dinding vena yang biasanya juga ditemukan pada
anggota keluarga yang sama. Vena rectalis superior merupakan bagian paling
bergantung pada sirkulasi portal dan tidak berkatup. Jadi berat kolom darah vena
paling besar pada vena yang terletak pada paruh atas canalis ani. Disini jaringan
ikat longgar submukosa sedikit memberi penyokong pada dinding vena.
Selanjutnya aliran balik darah vena dihambat oleh kontraksi lapisan otot dinding
rectum selama defekasi. Konstipasi kronik yang dikaitkan dengan mengedan yang
lama merupakan faktor predisposisi.(7,8)
Hemoroid eksterna adalah pelebaran cabang-cabang vena rectalis
(hemorroidalis) inferior waktu vena ini berjalan ke lateral dari pinggir anus.
Hemorroid ini diliputi kulit dan sering dikaitkan dengan hemorroid interna yang
sudah ada. Keadaan klinik yang lebih penting adalah ruptura cabang-cabang v.

42
rectalis inferior sebagai akibat batuk atau mengedan, disertai adanya bekuan darah
kecil pada jaringan submukosa dekat anus. Pembengkakan kecil berwarna biru ini
dinamakan hematoma perianal. (7,8)
Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus, saling berhubungan secara
longgar dan merupakan awal dari aliran vena yang kembali bermula dari rectum
sebelah bawah dan anus. Pleksus hemoroid intern mengalirkan darah ke v.
hemoroid superior dan selanjutnya ke vena porta. Pleksus hemoroid eksternus
mengalirkan darah ke peredaran sistemik melalui daerah perineum dan lipat paha
ke daerah v. Iliaka. Benjolan atau prolaps terjadi pada grade 2-4.(8)

2.5.5 Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang keras, yamg
membutuhkan tekanan intra abdominal meninggi ( mengejan ), pasien sering
duduk berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri bila terjadi peradangan.
Pemeriksaan umum tidak boleh diabaikan karena keadaan ini dapat disebabkan
oleh penyakit lain seperti sindrom hipertensi portal. Hemoroid eksterna dapat
dilihat dengan inspeksi apalagi bila terjadi trombosis. Bila hemoroid interna
mengalami prolaps, maka tonjolan yang ditutupi epitel penghasil musin akan
dapat dilihat apabila penderita diminta mengejan. (7,9)

Pemeriksaan Fisik(g)

Inspeksi dilihat kulit di sekitar perineum dan dilihat secara teliti adakah jaringan
/ tonjolan yang muncul.

Palpasi pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak
dapat diraba sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan biasanya
tidak nyeri. Hemoroid dapat diraba apabila sangat besar. Apabila hemoroid sering
prolaps, selaput lendir akan menebal. Trombosis dan fibrosis pada perabaan terasa

43
padat dengan dasar yang lebar. Pemeriksaan colok dubur ini untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma rektum.( )6

Anoskopi

Dengan cara ini dapat dilihat hemoroid internus yang tidak menonjol keluar.
Anoskop dimasukkan untuk mengamati keempat kuadran. Penderita dalam posisi
litotomi. Anoskop dan penyumbatnya dimasukkan dalam anus sedalam mungkin,
penyumbat diangkat dan penderita disuruh bernafas panjang. Hemoroid interna
terlihat sebagai struktur vaskuler yang menonjol ke dalam lumen. Apabila
penderita diminta mengejan sedikit maka ukuran hemoroid akan membesar dan
penonjolan atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya benjolan, derajatnya, letak
,besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip, fissura ani dan tumor ganas
harus diperhatikan.(6,8)
Proktosigmoidoskopi
Dilakukan untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses
radang atau keganasan di tingkat yang lebih tinggi, karena hemorrhoid
merupakan keadaan yang fisiologis saja ataukan ada tanda yang menyertai.(7,8,9)

2.5.6 Diagnosa Banding


Perdarahan rektum merupakan manifestasi utama hemoroid interna yang juga
terjadi pada :(8,9)
1. Karsinoma kolorektum
2. Penyakit divertikel
3. Polip
4. Kolitis ulserosa
Pemeriksaan sigmoidoskopi harus dilakukan. Foto barium kolon dan
kolonoskopi perlu dipilih secara selektif, bergantung pada keluhan dan gejala
penderita. Prolaps rektum juga harus dibedakan dari prolaps mukosa akibat
hemoroid interna.

44
2.5.7 Tatalaksana

Terapi non bedah

A. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet

Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat kedua dapat


ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat tentang makan.
Makanan sebaiknya terdiri atas makanan berserat tinggi seperti sayur dan buah-
buahan. Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak, sehingga
mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengejan berlebihan.

Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang


bermakna kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami
prolaps oleh karena udem umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan
disusul dengan tirah baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan.
Rendam duduk dengan dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri(6,7,8)

B. Skleroterapi

Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya


5% fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke submukosa dalam
jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid interna dengan tujuan
menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik dan
meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari garis mukokutan
dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Apabila penyuntikan dilakukan
pada tempat yang tepat maka tidak ada nyeri.(7,8)

Penyulit penyuntikan termasuk infeksi, prostatitis akut jika masuk dalam


prostat, dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang disuntikan.Terapi suntikan
bahan sklerotik bersama nasehat tentang makanan merupakan terapi yang efektif
untuk hemoroid interna derajat I dan II, tidak tepat untuk hemoroid yang lebih
parah atau prolapse(6)

45
C. Ligasi dengan gelang karet

Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat ditangani


dengan ligasi gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan anoskop, mukosa di
atas hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap ke tabung ligator
khusus. Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan secara rapat di
sekeliling mukosa pleksus hemoroidalis tersebut. Pada satu kali terapi hanya
diikat satu kompleks hemoroid, sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam
jarak waktu 2 – 4 minggu.(6)

Penyulit utama dari ligasi ini adalah timbulnya nyeri karena terkenanya
garis mukokutan. Untuk menghindari ini maka gelang tersebut ditempatkan cukup
jauh dari garis mukokutan. Nyeri yang hebat dapat pula disebabkan infeksi.
Perdarahan dapat terjadi waktu hemoroid mengalami nekrosis, biasanya setelah 7
– 10 hari (6)

D. Krioterapi / bedah beku

Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah sekali. Jika
digunakan dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian atas hemoroid pada
sambungan anus rektum, maka krioterapi mencapai hasil yang serupa dengan
yang terlihat pada ligasi dengan gelang karet dan tidak ada nyeri. Dingin diinduksi
melalui sonde dari mesin kecil yang dirancang bagi proses ini. Tindakan ini cepat
dan mudah dilakukan dalam tempat praktek atau klinik. Terapi ini tidak dipakai
secara luas karena mukosa yang nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini
lebih cocok untuk terapi paliatif pada karsinoma rektum yang ireponibel (5)

E. Hemorroidal Arteri Ligation ( HAL )

Pada terapi ini, arteri hemoroidalis diikat sehingga jaringan hemoroid tidak
mendapat aliran darah yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan hemoroid
mengempis dan akhirnya nekrosis.(5)

46
F. Infra Red Coagulation ( IRC ) / Koagulasi Infra Merah

Dengan sinar infra merah yang dihasilkan oleh alat yang


dinamakanphotocuagulation, tonjolan hemoroid dikauter sehingga terjadi nekrosis
pada jaringan dan akhirnya fibrosis. Cara ini baik digunakan pada hemoroid yang
sedang mengalami perdarahan.(5)

G. Generator galvanis

Jaringan hemoroid dirusak dengan arus listrik searah yang berasal dari baterai
kimia. Cara ini paling efektif digunakan pada hemoroid interna.(5)

H. Bipolar Coagulation / Diatermi bipolar

Prinsipnya tetap sama dengan terapi hemoroid lain di atas yaitu


menimbulkan nekrosis jaringan dan akhirnya fibrosis. Namun yang digunakan
sebagai penghancur jaringan yaitu radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi.
Pada terapi dengan diatermi bipolar, selaput mukosa sekitar hemoroid dipanasi
dengan radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi sampai akhirnya timbul
kerusakan jaringan. Cara ini efektif untuk hemoroid interna yang mengalami
perdarahan.(5,7)

Terapi bedah

Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun


dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat
dilakukan dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh
dengan cara terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV
yang mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan
hemoroidektomi.

47
Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi yang
hanya dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat
mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak
mengganggu sfingter anus. Eksisi jaringan ini harus digabung dengan rekonstruksi
tunika mukosa karena telah terjadi deformitas kanalis analis akibat prolapsus
mukosa Jong (5,6)

Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah konvensional (
menggunakan pisau dan gunting), bedah laser ( sinar laser sebagai alat pemotong)
dan bedah stapler ( menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler).

Bedah konvensional

Saat ini ada 3 teknik operasi yang biasa digunakan yaitu (5,7)

1. Teknik Milligan – Morgan

Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemoroid di 3 tempat utama. Teknik


ini dikembangkan di Inggris oleh Milligan dan Morgan pada tahun 1973. Basis
massa hemoroid tepat diatas linea mukokutan dicekap dengan hemostat dan
diretraksi dari rektum. Kemudian dipasang jahitan transfiksi catgut proksimal
terhadap pleksus hemoroidalis. Penting untuk mencegah pemasangan jahitan
melalui otot sfingter internus.

Hemostat kedua ditempatkan distal terhadap hemoroid eksterna. Suatu


incisi elips dibuat dengan skalpel melalui kulit dan tunika mukosa sekitar pleksus
hemoroidalis internus dan eksternus, yang dibebaskan dari jaringan yang
mendasarinya. Hemoroid dieksisi secara keseluruhan. Bila diseksi mencapai
jahitan transfiksi cat gut maka hemoroid ekstena dibawah kulit dieksisi. Setelah
mengamankan hemostasis, maka mukosa dan kulit anus ditutup secara
longitudinal dengan jahitan jelujur sederhana.

48
Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok hemoroid yang dibuang pada satu
waktu. Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari eksisi tunika mukosa
rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih baik mengambil terlalu sedikit
daripada mengambil terlalu banyak jaringan.

2. Teknik Whitehead

Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini yaitu
dengan mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa dari
submukosa dan mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa daerah itu. Lalu
mengusahakan kontinuitas mukosa kembali.(7,8)

3. Teknik Langenbeck

Pada teknik Langenbeck, hemoroid internus dijepit radier dengan klem.


Lakukan jahitan jelujur di bawah klem dengan cat gut chromic no 2/0. Kemudian
eksisi jaringan diatas klem. Sesudah itu klem dilepas dan jepitan jelujur di bawah
klem diikat. Teknik ini lebih sering digunakan karena caranya mudah dan tidak
mengandung resiko pembentukan jaringan parut sekunder yang biasa
menimbulkan stenosis. (6)

Bedah Laser

Pada prinsipnya, pembedahan ini sama dengan pembedahan konvensional, hanya


alat pemotongnya menggunakan laser. Saat laser memotong, pembuluh jaringan
terpatri sehingga tidak banyak mengeluarkan darah, tidak banyak luka dan dengan
nyeri yang minimal.

Pada bedah dengan laser, nyeri berkurang karena syaraf rasa nyeri ikut terpatri. Di
anus, terdapat banyak syaraf. Pada bedah konvensional, saat post operasi akan
terasa nyeri sekali karena pada saat memotong jaringan, serabut syaraf terbuka
akibat serabut syaraf tidak mengerut sedangkan selubungnya mengerut.

49
Sedangkan pada bedah laser, serabut syaraf dan selubung syaraf menempel jadi
satu, seperti terpatri sehingga serabut syaraf tidak terbuka. Untuk
hemoroidektomi, dibutuhkan daya laser 12 – 14 watt. Setelah jaringan diangkat,
luka bekas operasi direndam cairan antiseptik. Dalam waktu 4 – 6 minggu, luka
akan mengering. Prosedur ini bisa dilakukan hanya dengan rawat jalan (8,6)

Bedah Stapler

Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse


Hemorrhoids (PPH) atau Hemoroid Circular Stapler. Teknik ini mulai
diperkenalkan pada tahun 1993 oleh dokter berkebangsaan Italia yang bernama
Longo sehingga teknik ini juga sering disebut teknik Longo. Di Indonesia sendiri
alat ini diperkenalkan pada tahun 1999. Alat yang digunakan sesuai dengan
prinsip kerja stapler. Bentuk alat ini seperti senter, terdiri dari lingkaran di depan
dan pendorong di belakangnya.(6)

Pada dasarnya hemoroid merupakan jaringan alami yang terdapat di


saluran anus. Fungsinya adalah sebagai bantalan saat buang air besar. Kerjasama
jaringan hemoroid dan m. sfinter ani untuk melebar dan mengerut menjamin
kontrol keluarnya cairan dan kotoran dari dubur. Teknik PPH ini mengurangi
prolaps jaringan hemoroid dengan mendorongnya ke atas garis mukokutan dan
mengembalikan jaringan hemoroid ini ke posisi anatominya semula karena
jaringan hemoroid ini masih diperlukan sebagai bantalan saat BAB, sehingga
tidak perlu dibuang semua.(6)

50
`[1] [2] [3]

[4] [5] [6]

`Mula-mula jaringan hemoroid yang prolaps didorong ke atas dengan alat yang
dinamakan dilator, kemudian dijahitkan ke tunika mukosa dinding anus.
Kemudian alat stapler dimasukkan ke dalam dilator. Dari stapler dikeluarkan
sebuah gelang dari titanium diselipkan dalam jahitan dan ditanamkan di bagian
atas saluran anus untuk mengokohkan posisi jaringan hemoroid tersebut. Bagian
jaringan hemoroid yang berlebih masuk ke dalam stapler. Dengan memutar sekrup
yang terdapat pada ujung alat , maka alat akan memotong jaringan yang berlebih
secara otomatis. Dengan terpotongnya jaringan hemoroid maka suplai darah ke
jaringan tersebut terhenti sehingga jaringan hemoroid mengempis dengan
sendirinya. (8)

Keuntungan teknik ini yaitu mengembalikan ke posisi anatomis, tidak


mengganggu fungsi anus, tidak ada anal discharge, nyeri minimal karena
tindakan dilakukan di luar bagian sensitif, tindakan berlangsung cepat sekitar 20 –
45 menit, pasien pulih lebih cepat sehingga rawat inap di rumah sakit semakin
singkat.(8)

Meskipun jarang, tindakan PPH memiliki resiko yaitu (6,8,9)

51
• Jika terlalu banyak jaringan otot yang ikut terbuang, akan mengakibatkan
kerusakan dinding rektum.
• Jika m. sfinter ani internus tertarik, dapat menyebabkan disfungsi baik dalam
jangka waktu pendek maupun jangka panjang.
• Seperti pada operasi dengan teknik lain, infeksi pada pelvis juga pernah
dilaporkan.
• PPH bisa saja gagal pada hemoroid yang terlalu besar karena sulit untuk
memperoleh jalan masuk ke saluran anus dan kalaupun bisa masuk, jaringan
mungkin terlalu tebal untuk masuk ke dalam stapler.

Tindakan pada hemoroid eksterna yang mengalami trombosis

Keadaan ini bukan hemoroid dalam arti yang sebenarnya tetapi merupakan
trombosis vena oroid eksterna ang terletak subkutan di daerah kanalis analis.

Trombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena tersebut misalnya ketika
mengangkat barang berat, batuk, bersin, mengejan, atau partus. Vena lebar yang
menonjol itu dapat terjepit sehingga kemudian terjadi trombosis. Kelainan yang
nyeri sekali ini dapat terjadi pada semua usia dan tidak ada hubungan dengan
ada/tidaknya hemoroid interna Kadang terdapat lebih dari satu trombus.

Keadaan ini ditandai dengan adanya benjolan di bawah kulit kanalis analis yang
nyeri sekali, tegang dan berwarna kebiru-biruan, berukuran dari beberapa
milimeter sampai satu atau dua sentimeter garis tengahnya. Benjolan itu dapat
unilobular, dan dapat pula multilokuler atau beberapa benjolan. Ruptur dapat
terjadi pada dinding vena, meskipun biasanya tidak lengkap, sehingga masih
terdapat lapisan tipis adventitiia menutupi darah yang membeku.

Pada awal timbulnya trombosis, erasa sangat nyeri, kemudian nyeri berkurang
dalam waktu dua sampai tiga hari bersamaan dengan berkurangnya udem akut.
Ruptur spontan dapat terjadi diikuti dengan perdarahan. Resolusi spontan dapat
pula terjadi tanpa terapi setelah dua sampai empat hari (6)

52
Terapi

Keluhan dapat dikurangi dengan rendam duduk menggunakan larutan


hangat, salep yang mengandung analgesik untuk mengurangi nyeri atau gesekan
pada waktu berjalan, dan sedasi. Istirahat di tempat tidur dapat membantu
mempercepat berkurangnya pembengkakan.(7,8)

Pasien yang datang sebelum 48 jam dapat ditolong dan berhasil baik
dengan cara segera mengeluarkan trombus atau melakukan eksisi lengkap secara
hemoroidektomi dengan anestesi lokal. Bila trombus sudah dikeluarkan, kulit
dieksisi berbentuk elips untuk mencegah bertautnya tepi kulit dan pembentukan
kembali trombus dibawahnya. Nyeri segera hilang pada saat tindakan dan luka
akan sembuh dalam waktu singkat sebab luka berada di daerah yang kaya akan
darah.(7,8)

Trombus yang sudah terorganisasi tidak dapat dikeluarkan, dalam hal ini
terapi konservatif merupakan pilihan. Usaha untuk melakukan reposisi hemoroid
ekstern yang mengalami trombus tidak boleh dilakukan karena kelainan ini terjadi
pada struktur luar anus yang tidak dapat direposisi(7,8)

Dilatasi anus merupakan salah satu pengobatan pada hemoroid interna


yang besar, prolaps, berwarna biru dan sering berdarah atau yang biasa disebut
hemoroid strangulasi. Pada pasien hemoroid hampir selalu terjadi karena kenaikan
tonus sfingter dan cincin otot sehingga menutup di belakang massa hemoroid
menyebabkan strangulasi. Dilatasi dapat mengatasi sebagian besar pasien
hemoroid strangulasi, akan terjadi regresi sehingga setidak-tidaknya akan terjadi
penyembuhan sementara. Dilatasi tidak boleh dilakukan jika sfingter relaksasi (
jarang pada strangulasi), karena bisa menyebabkan inkontinensia flatus atau tinja
atau kedua-duanya yang mungkin menetap.(8,)

Anestesi umum dilakukan dan pasien diletakkan pada posisi lateral kiri
atau posisi litotomi. Dengan hati-hati anus diregangkan cukup luas sehingga dapat
dilalui 6–8 jari. Sangat penting sekali bahwa untuk prosedur ini diperlukan waktu

53
yang cukup agar tidak merobekkan jaringan. Satu menit untuk sebesar satu jari
sudah cukup ( berarti dibutuhkan waktu 6-8 menit), terutama jika kanalis agak
kaku. Selama prosedur tersebut, sfingter anus dapat terasa memberikan jalan.
Namun karena metode dilatasi menurut Lord ini kadang disertai penyulit
inkontinensia sehingga tidak dianjurkan.

2.5.8 Prognosis

Dengan terapi yang sesuai, semua hemoroid simptomatis dapat dibuat


menjadi asimptomatis. Pendekatan konservatif hendaknya diusahakan terlebih
dahulu pada semua kasus. Hemoroidektomi pada umumnya memberikan hasil
yang baik. Sesudah terapi penderita harus diajari untuk menghindari obstipasi
dengan makan makanan serat agar dapat mencegah timbulnya kembali gejala
hemoroid.(6)

54
Daftar Pustaka

1. Grace PA, Borley NR. At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2007. Hal 114-5.

2. Silvia A.P, Lorraine M.W, Hemoroid, 2005. Dalam: Konsep – konsep


Klinis Proses Penyakit, Edisi VI, Patofisiologi Vol.1. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal: 467
3. Nelson, Heidi MD., Roger R. Dozois, MD., Anus, in Sabiston Text Book
of Surgery, Saunders Company, Phyladelphia 2001
4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hemoroid, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah, Ed.2, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 672 – 675
5. Werner Kahle ( Helmut Leonhardt,werner platzer ), dr Marjadi
Hardjasudarma ( alih bahasa ), 1998, Berwarna dan teks anatomi Manusia
Alat – Alat Dalam,Hal: 232
6. Linchan W.M,1994,Sabiston Buku Ajar Bedah Jilid II,EGC, Jakarta,hal 56
– 59
7. Anonim, 2004, Hemorhoid, http://www.hemorjoid.net/hemoroid
galery.html. Last update Desember 2009.
8. Mansjur A dkk ( editor ), 1999, Kapita selekta Kedokteran, Jilid II, Edisi
III, FK UI, Jakarta,pemeriksaan penunjang: 321 – 324.
9. Susan Galandiuk, MD, Louisville, KY, A Systematic Review of Stapled
Hemorrhoidectomy – Invited Critique, Jama and Archives, Vol. 137 No.
12, December, 2002,

55

Anda mungkin juga menyukai