Anda di halaman 1dari 29

ILEUS OBSTRUKTIF

DAN PARALITIK

Disusun Oleh
Topan M Nur
29.12.1185.2013 // 2014730022

Pembimbing :
dr. Winoto Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ISLAM CEMPAKA PUTIH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2018
Kata Pengantar
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tugas ini disusun
guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Islam Jakarta
Cempaka Putih

Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Winoto


Sp.B yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan tugas ini serta kepada semua
pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun.

Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal


mungkin untuk menyelesaikan tugas ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata,
penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita
semua.

Jakarta, 25 April 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ileus adalah gangguan pasase isi usus. Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh
obstruksi lumen usus (ileus dinamik) atau oleh gangguan peristaltik (ileus andinamik).
Ileus merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai 60-70% dari
seluruh kasus akut abdomen yang bukan apendisitis akut. Ileus memiliki mortalitas tinggi
jika tidak segera didiagnosis dan ditangani.

Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus Di Amerika
diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderitaileus setiap tahunnya). Di Indonesia
tercatat ada 7.059 kasus ileusparalitik dan obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan
7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004.

Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan darurat,dan
mortalitas dan morbiditas sangat bergantung pada pengenalan awal dan diagnosis yang
tepat. Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar. Keduanya
memiliki cara penanganan yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Obstruksi usus
halus yang dibiarkan dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi usus dan memicu
iskemia, nekrosis, perforasi dan kematian, sehingga penanganan obstruksi usus halus lebih
ditujukan pada dekompresi dan menghilangkan penyebab untuk mencegah kematian
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang sekitar 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
Duodenum, merupakan segmen yang paling proksimal, terletak retroperitoneal
berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus pankreas. Doudenum
dipisahkan dari gaster oleh adanya pylorus dan dari jejunum oleh batas Ligamentum
Treitz.
Jejunum dan ileum terletak di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal
melalui mesenterium. Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara
Jejunum dan Ileum; 40% panjang dari jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60%
sisanya sebagai Ileum. Ileum berbatasan dengan sekum di katup ileosekal

Gambar 1 : Gambaran Usus Halus


Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau valvula
conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga terlihat secara
radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan kolon. Lipatan ini
akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus daripada bagian distal. Hal lain
yang juga dapat digunakan untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus
ialah sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial yang
lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari usus halus
juga didapatkan adanya folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut
sebagai Peyer Patches.

Gambar 1 : Gambaran Usus Halus

Gambar 2 : Gambaran Regional Usus Halus

B. Fisiologi Usus

Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahan–
bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan
lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk.
Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim – enzim pankreas
yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat – zat yang lebih
sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam
dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim – enzim. Sekresi empedu dari hati
membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan
permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.

Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan – bahan
makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :

 Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang


mencampur makanan dengan enzim – enzim pencernaan agar mudah
untuk dicerna dan diabsorbsi.
 Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke
arah usus besar.

Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang
terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang
terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot
longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan
berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1 –
4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi,
segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus
berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan
hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
BAB III

ILEUS OBSTRUKTIF

A. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan
pasase lumen usus terganggu

Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi intestinal


untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal ini merujuk pada
adanya sumbatan mekanik parsial atau total dari usus besar dan usus halus. Jenis
obstruksi juga bersifat sederhana ( tanpa jepitan pembuluh darah) atau strangulata
(pembuluh darah terjepit)

B. Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan pertama.
Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah perlekatan. Survey
Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada tahun 2001 mendapatkan 50% dari
penyebabnya adalah perlekatan usus, kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%,
Volvulus 1,7%.(5,10).

C. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar pembedahan
pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak dapat melewati
lumen intestinal karena adanya sumbatan yang menghalangi. Obstruksi mekanik dari
lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga mekanisme ; 1. blokade intralumen
(obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3. kompresi lumen
atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan
terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu
pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari
satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan operasi.
Gambar 3 Penyebab ileus obstruktif

Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan umur dan


tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan penyebab utama dari terjadinya
obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya,
adhesi karena inflamasi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus
dipikirkan. Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus
obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh adhesi; intususepsi
merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang terjadi pada anak-anak. Volvulus dan
intususepsi merupakan 30 % kasus komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus
dipikirkan bila ileus obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon,
pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering daripada tumor primer di
intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus merupakan penyebab tersering terjadinya
obstruksi kolon, dengan karsinoma kolorektal. (Thompson, 2005).

Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al.,
2005) (Thompson, 2005)

Obturasi Intraluminal Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik

Benda Asing Adhesi Kongenital

- Iatrogenik Benda Asing - Atresia, stenosis,


- Tertelan dan webs
Hernia
- Batu Empedu - Divertikulum
- Cacing - Eksternal Meckel
- Internal
Intususepsi Massa Inflamasi

Pengaruh Cairan - Anomali organ atau - Divertikulitis


pembuluh darah - Drug-induced
- Barium - Organomegali - Infeksi
- Feses - Akumulasi Cairan - Coli ulcer
- Meconium - Neoplasma
Neoplasma

Post Operatif - Tumor Jinak


- Karsinoma
Volvulus - Karsinoid
- Limpoma
- Sarcoma
Trauma

- Intramural
Hematom
D. Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi

Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal dan
pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan menuju
ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal
bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di
proksimal daerah obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi
normal proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah
distal dari obstruksi.

Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam beberapa


jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang terus bertambah
terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah
terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan
meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa
splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif. Pengguyuran cairan
intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen
terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen
menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.

Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif.


Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme bakteri.
Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida
(8%), yang komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya karbon dioksida yang
memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari lumen.

Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik dengan


cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut: terjadinya
hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir terjadi ileus.
Bagian distal obstruksi segera menjadi kurang aktif. Obstruksi mekanik yang
berkepanjangan menyebabkan penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan
kerusakan aktivitas gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon
terhadap rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga menyebabkan aliran
cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari pembuluh
darah ke lumen meningkat. Perubahan yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan
sekresi dari Natrium dan Khlorida. Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu
terjadi dan mungkin terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada
mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin, atau
endotoksin.

Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal di


bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Proses
obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses absorbsi dan sekresi semakin
ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit
cairan intravaskular yang disebabkan oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan
intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan
nasogastric tube malah memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss.
Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering
dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.

Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri. Bakteri


Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni berlebihan dari bakteri
dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan menyebabkan
terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi sepsis

Strangulasi

Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi dari


intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari vasa
mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada dinding intestinal. Komplikasi
ini sering berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan oleh hernia dan volvulus.
Obstruksi strangulasi pada kolon paling sering disebabkan oleh volvulus.

Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan


peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena,
kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis dari
arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa jam setelah
strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan dapat merangsang
pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka
terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan radikal
bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan
mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan
segera berpindah tempat dari dinding intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe
pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya
iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian
akibat syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya
gagal organ, seperti paru.

Tabel 4 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate

Obstruksi kolon

Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal. Kolon


khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada absorbsi.
Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya yang berada
paling distal dari saluran pencernaan dan karena sebagian besar cairan telah
diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan
kolon untuk beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang
inkompeten. Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding
cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture.
Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari
lapisan otot, ataupun karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon
berakibat pada motilitas abnormal namun tidak hiperperistaltik.

E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok
(Yates, 2004) :

a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.

b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.

c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.

Berdasarkan Lokasi Obstruksi :


a.Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b. Letak Tengah : Ileum Terminal
c.Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong,
2005):

1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya


pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau
gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari
jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar
suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi
dua (Ullah et al., 2009):

1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai duodenum,
jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon, sigmoid
dan rectum.

F. Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :

1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:

1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)

Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan obstipasi.
Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri khas dari
obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang
berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya
menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah
abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri
menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark.

Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak terjadi
bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan bising usus. Hasil
laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan
abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis ringan.

Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih sering
saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah linear dengan
tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering ditemukan pada obstruksi letak tinggi.
Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah
lebih bersifat malodorus.
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi pada
obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi. Diare yang
terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.

Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal yang
muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba dapat di
diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi. Auskultasi digunakan
untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun
rushes yang merupakan tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak
terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda
strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta
rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu
dilakukan.

Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam, takikardia,


dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga menyebabkan diagnosis
strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada obstruksi karena strangulasi bisa
terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam, leukositosis dan asidosis. Level serum
dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat.
Penting dicatat bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara
obstruksi sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.

G. Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas
pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi
dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa ileus obstruktif diperoleh
dari :

1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan
penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi
sebelumnya atau terdapat hernia. Pada ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di
sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar
suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus
obstruktif usus besar onset muntah lama.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan
turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya
distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang
kurus/sedang juga dapat ditemukan “darm contour” (gambaran kontur usus)
maupun “darm steifung” (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada
saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga
pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik.

b. Palpasi dan perkusi


Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani yang
menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi
peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup ‘defance muscular’
involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal.

c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik gemerincing
logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa tenang. Tetapi setelah
beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka
aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah.
Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus
obstruktif strangulata.

Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum


dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus sfingter ani biasanya
cukup namun ampula recti sering ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi
perforasi akibat obstruksi. Mukosa rectum dapat ditemukan licin dan apabila
penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada bagian anorectum maka akan
teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan, konsistensi, serta
jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari. Nyeri
tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada keadaan peritonitis.
Kita juga menilai ada tidaknya feses di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif
usus feses tidak teraba pada colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung
tangan. Pada sarung tangan dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif
adalah lesi intrinsik di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik dengan


ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara obstruksi parsial atau
komplit dan membedakan obstruksi sederhana dengan strangulasi. Hal penting yang
harus diketahui saat anamnesis adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya
adhesi) dan adanya kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma
iritasi usus) yang dapat membantu kita menentukan etiologi terjadinya obstruksi.
Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses juga harus diperiksa untuk
melihat adanya darah atau tidak, kehadiran darah menuntun kita ke arah strangulasi.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami obstruksi intestinal
terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan serum
amylase. Obstruksi intestinal yang sederhana tidak akan menyebabkan perubahan pada
hasil laboratorium jadi pemeriksaan ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis
obsruksi intestinal yang sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat
mendeteksi adanya hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.

4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau posisi dekubitus) dan
posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus ( diameter >
3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak, dan kurangnya gambaran
udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus
mencapai 70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat ditemukan
beberapa gambaran, antara lain:

1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi


2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara dan gelung usus
yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran serupa dengan
obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis
ketika letak obstruksi berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi
oleh cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi tampaknya air-
fluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung
tertutup. Meskipun terdapat kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena kegunaannya
yang luas namun memakan biaya yang sedikit.

H. Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan
intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor
dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada
cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya hematokrit
dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas
diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal.

Dekompresi

Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk
mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena
muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi
parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja.
Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi
parsial.

Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi
operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal
komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak
akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam,
takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non
operatif ini dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi
pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya
injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif
melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam masih dalam batas aman namun
meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi
dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan
adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari
enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari
segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar,
terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya
sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif.
Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada
by pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi
usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari
segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan,
segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin
moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila
warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus
tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana
untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-
strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus
yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus
untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,
invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya,
misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari
dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et al., 2009).

Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus yang
masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang terkumpul
dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena catatan tersebut
mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah tidak
dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising usus. Hal
tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi
meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik.

Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare pasca
bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga
keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan pada pasca
bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring
pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain
pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai
nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan
disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.
BAB IV
ILEUS PARALITIK

A. Definisi Ileus Paralitik


Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal/ tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus merupakan kondisi dimana
terjadi kegagalan neurogenik atau hilangnya peristaltic usus tanpa adanya obstruksi mekanik.

B. Etiologi Ileus Paralitik


Ileus pada pasien ditemukan pada: (1) proses intraabdominal seperti pembedahan
perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis, perdarahan); (2)
sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang memerlukan intubasi, sepsis atau
infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia,
hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia); dan (3) obat-obatan yang mempengaruhi
motilitas usus (opioid, antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya
pertama kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon
(48-72 jam).
Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya obstruksi usus
mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk mengangkut isi usus.
Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam
usus. Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah keadaan yang
paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan
dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah
motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah
operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi. Sering, ileus terjadi
setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah pembedahan
retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah
pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih
singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.

Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan ileus merasa
tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus juga
meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya
perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit.(2)

Beberapa penyebab terjadinya ileus:

 Trauma abdomen
 Pembedahan perut (laparatomy)
 Serum elektrolit abnormalitas
1. Hipokalemia
2. Hiponatremia

3. Hipomagnesemia

4. Hipermagensemia

 Pengobatan
1. Narkotika
2. Fenotiazin

3. Diltiazem atau verapamil

4. Clozapine

5. Obat Anticholinergic

C. Patofisiologi

Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem


saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal,
menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem
parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap
yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis
mukosa, dimana ia merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh
inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan
yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus
gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan
menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastrointestinal, namun tidak
semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik,
beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter
inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.

Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca operasi dimediasi melalui aktivasi hambat
busur refleks tulang belakang. Secara anatomis, 3 refleks berbeda yang terlibat: ultrashort
refleks terbatas pada dinding usus, refleks pendek yang melibatkan ganglia prevertebral, dan
refleks panjang melibatkan sumsum tulang belakang. Refleks panjang yang paling signifikan.

Respon stres bedah mengarah ke generasi sistemik endokrin dan mediator inflamasi yang
juga mempromosikan perkembangan ileus.

Penyakit/ keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti


yang tercantum dibawah ini:

Kausa Ileus Paralitik

Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi
persarafan splanknikus, pankreatitis.

Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia), uremia, komplikasi


DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple

Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin, antihistamin.

Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat lainnya.

Iskemia Usus.

 Neurogenik
- Refleks inhibisi dari saraf afferent: incisi pada kulit dan usus pada operasi
abdominal.
- Refleks inhibisi dari saraf efferent: menghambat pelepasan neurotransmitter
asetilkolin.
 Hormonal
Kolesistokinin, disekresi oleh sel I dalam mukosa duodenum dan jejunum terutama
sebagai respons terhadap adanya pemecahan produk lemak, asam lemak dan
monogliserida di dalam usus. Kolesistokinin mempunyai efek yang kuat dalam
meningkatkan kontraktilitas kandung empedu, jadi mengeluarkan empedu kedalam
usus halus dimana empedu kemudian memainkan peranan penting dalam
mengemulsikan substansi lemak sehingga mudah dicerna dan diabsorpsi.
Kolesistokinin juga menghambat motilitas lambung secara sedang. Oleh karena itu
disaat bersamaan dimana hormon ini menyebabkan pengosongan kandung empedu,
hormon ini juga menghambat pengosongan makanan dari lambung untuk memberi
waktu yang adekuat supaya terjadi pencernaan lemak di traktus gastrointestinal bagian
atas.
Hormon lainnya seperti sekretin dan peptide penghambat asam lambung juga
memiliki fungsi yang sama seperti kolesistokinin namun sekretin berperan sebagai
respons dari getah asam lambung dan petida penghambat asam lambung sebagai
respons terhadap asam lemak dan asam amino.
 Inflamasi
- Makrofag: melepaskan proinflammatory cytokines (NO).
- prostaglandin inhibisi kontraksi otot polos usus.
 Farmakologi
Opioid menurunkan aktivitas dari neuron eksitatorik dan inhibisi dari pleksus
mienterikus. Selain itu, opioid juga meningkatkan tonus otot polos usus dan
menghambat gerak peristaltik terkoordianasi yang diperlukan untuk gerakan propulsi.
- Opioid: efek inhibitor, blockade excitatory neurons yang mempersarafi otot
polos usus.

D. Manifestasi Klinik
Ileus adinamik (ileus inhibisi) ditandai oleh tidak adanya gerakan usus yang
disebabkan oleh penghambatan neuromuscular dengan aktifitas simpatik yang
berlebihan. Sangat umum, terjadi setelah semua prosedur abdomen, gerakan usus
akan kembali normal pada: usus kecil 24 jam, lambung 48 jam, kolon 3-5 hari.

Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung ( abdominal


distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak
ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan
perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut
kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani
dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali.
Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak
ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila
penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran
peritonitis.
E.Diagnosa

Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent abdomen yaitu
bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen didapatkan pelebaran udara usus
halus atau besar.

Anamnesa

Pada anamnesa ileus paralitik sering ditemukan keluhan distensi dari usus, rasa mual
dan dapat disertai muntah. Pasien kadang juga mengeluhkan tidak bisa BAB ataupun
flatus, rasa tidak nyaman diperut tanpa disertai nyeri.

Pemeriksaan fisik

- Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus
dilihat adanya distensi,Pada pasien yang kurus tidak terlihat gerakan
peristaltik.
- Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau
nyeri tekan, yang mencakup ‘defence muscular’ involunter atau rebound dan
pembengkakan atau massa yang abnormal untuk mengetahui penyebab ileus.
- Perkusi
Hipertimpani
- Auskultasi
Bising usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent abdomen) dan borborigmi

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit.


Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan adalah leukosit darah, kadar elektrolit, ureum,
glukosa darah dan amylase. Foto polos abdomen sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung, usus halus dan usus besar.
Air fluid level ditemukan berupa suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air
fluid level pada ileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga).
Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan foto
abdomen dengan mempergunakan kontras.

E. Penatalaksanaan

Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa


dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa dan penyakit
primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat. Prognosis biasanya baik, keberhasilan
dekompresi kolon dari ileus telah dicapai oleh kolonoskopi berulang. Beberapa obat-obatan
jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau parasimpatomimetik pernah dicoba, ternyata
hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila
perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi
parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian
nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk
gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus paralitik pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan
bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan. Neostigmin juga efektif
dalam kasus ileus kolon yang tidak berespon setelah pengobatan konservatif

1. Konservatif

 Penderita dirawat di rumah sakit.


 Penderita dipuasakan

 Kontrol status airway, breathing and circulation.

 Dekompresi dengan nasogastric tube.

 Intravenous fluids and electrolyte

 Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

2. Farmakologis

 Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.


 Analgesik apabila nyeri.
 Prokinetik: Metaklopromide, cisapride

 Parasimpatis stimulasi: bethanecol, neostigmin

 Simpatis blokade: alpha 2 adrenergik antagonis

3. Operatif

 Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis.
 Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah
sepsis sekunder atau rupture usus.

 Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.

 Pintas usus : ileostomi, kolostomi.

 Reseksi usus dengan anastomosis

 Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.


BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Ileus dibedakan menjadi beberapa macam, ileus obstruktif, ileus paralitik dan ileus
vaskuler, Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar. Penyebab
terbanyak dari Ileus adalah perlekatan atau adhesi, kemudian diikuti Hernia, keganasan, dan
Volvulus.
Penegakan diagnosis pada illeus meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, terdapat 4 gejala cardinal yang sering dijumpai yaitu nyeri abdomen
(kolik abdomen), muntah, distensi dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan
takikardia, demam, nyeri tekan abdomen, nyeri lokal pada perut, dan distensi perut. Salah
satu pemeriksaan penunjang pada illeus adalah pemeriksaan radiologi, gambaran radiologi
berupa pengumpulan gas dalam lumen usus yang melebar (dilatasi) dinding usus menebal
membentuk gambaran heering bone appearance dan terdapat gambaran Air fluid level.
Prognosis dari ileus bervariasi tergantung pada penyebab ileus itu sendiri, bila
penyebab primer dari ileus cepat tertangani maka prognosis menjadi lebih baik. Prognosis
ileus baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA
Basson, M.D.: Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, J.B., Talavera, F., Mechaber, A.J., and
Katz, J. http://www.emedicine.com. Last Updated, June 14, 2004.
Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus,
apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor:
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 615-681.
Levine, B.A., and Aust, J.B. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar Bedah Sabiston’s
essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa: Andrianto, P., dan I.S., Timan.
Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC, 1992.
Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty,
L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 1994.
Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal:
181-192.

Anda mungkin juga menyukai