LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Nn. LM
Nomor RM : 00270855
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Tanggal masuk : 7 Juni 2021
Riwayat keluarga:
Tidak ada keluarga yg mengalami hal serupa
1
Riwayat pengobatan:
Pasien belum berobat untuk keluhan saat ini.
Pemeriksaan Fisik
● Keadaan umum : tampak sakit sedang
● Kesadaran : compos mentis
● Tanda vital
● Tekanan darah : 107/63 mmHg
● Nadi : 121 x/menit
● Respirasi : 24 x/menit
● Suhu : 36,9 0C
● SpO2 : 93% free air
● Status generalis:
• Kepala :
• Mata : Edema palpebral -/-, Conjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-
• Mulut : mukosa eritema (-)
• Leher : KGB tidak teraba membesar
• Thorax : Cor S1-S2 murni reguler, murmur (-)
Pulmo vesikular kiri = kanan, rhonchi -/-, wheezing -/-
• Abdomen : datar, Bising usus (+), Nyeri tekan epigastrium (-), soepel,
2
Laboratorium 2 3 / 0 8 / 2 0 2 1
HEMATOLOGI
Ht 21.1 % 36 – 47
MCV 84 fL 78 – 95
MCH 25.4 pg 26 – 32
HItung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 2 % 2-4
Batang 0 % 3-5
Segmen 57 % 50-70
Limfosit 35 % 25-40
Monosit 6 % 2-8
3
Mikrobiologi
Thorax (7-06-2021)
Diagnosis :
Anemia gravis e.c. Evans syndrome
Covid 19 terkonfirmasi
4
Tatalaksana :
O2 6 lpm
IVFD Nacl 20 tpm
Transfusi PRC 3 unit
Transfusi trombosit 6 unit
Avigan 2x1600mg hari 1, selanjutnya 2x600mg PO
Paracetamol 3x500mg PO
NAC 3x400mg PO
Pantoprazole 1x40mg IV
Vit. C 2x500mg PO
Vit D 1x1000IU PO
Zinc 1x20mg PO
Cefixime 2x100mg PO
Methilprednisolon 1x125 mg IV
Tap-off 1x62,5mg
Tap-off 1x32,25mg
5
6
7
8
9
10
11
12
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Evans syndrome
DEFINISI
hemolitik autoimun (AIHA) yang terjadi secara bersamaan atau bergantian, tanpa
etiologi yang jelas. Kondisi ini umumnya berlangsung kronis dan ditandai
eksaserbasi dan remisi. Evans syndrome ditegakkan bila penyebab lain sitopenia
SEJARAH
Evans syndrome pertama kali digambarkan pada tahun 1951 oleh Robert
namun tidak ada hemolisis dan 4 dengan hemolitik autoimun dan trombositopenia
purpura (pasien yang lain digambarkan memiliki acquired haemolytic anemia (10
14
memperkirakan trombositopenia memiliki kesamaan penyebab yaitu karena
dengan variable onset, perjalanan penyakit dan respon terapi dan remisi spontan
EPIDEMIOLOGI
kejadian yang pasti tidak diketahui. Penelitian pada pasien dewasa dengan
imunositopenia dari tahun 1950 sampai 1958 termasuk 399 kasus AIHA dan 367
kasus trombositopenia, hanya enam dari 766 pasien mengalami Evans syndrome.
Syndrome ini dapat dialami baik laki-laki maupun perempuan, semua etnis dan
semua usia. Usia yang terdapat pada anak antara 5,5 – 7,7 tahun.
PATOFISIOLOGI
patofisologi yang pasti belum diketahui. Namun ada bukti yang menyatakan
eritrosit sehingga umur erotrosit memendek. Perusakan ini terjadi melalui aktivasi
15
dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan
melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan
mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai
aglutinin tipe dingin karena antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida
pada permukaan eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut
aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan eritrosit pada suhu
tubuh.
suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan
mengaktifkan komplemen. C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d
dan C3g akan tetap berikatan dengan membran eritrosit dan merupakan produk
final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b,2b menjadi
C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b
membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
16
Jika sel darah merah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen lebih lanjut, maka eritrosit tersebut akan dihancurkan oleh sel
autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari IgG. Trombosit yang
dan hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag
sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular dan faktor
normal.
terbentuk pada tahap ini. Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan
dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg
kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi. Sel penyaji antigen tidak
17
hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari
clone 1 dan spesifisitas tambahan (T cell clone 2). Reseptor sel immunoglobulin
dengan kontrol normal dan pasien dengan ITP kronik. Pasien anak umur 12 tahun
ditemukan penurunan rasio CD4:CD8 meskipun jumlah limfosit CD4 dan CD8
juga ditemukan pada kondisi autoimun yang lain dan berhubungan dengan infeksi
18
Gambar 1. Patogenesis Penyebaran Epitop pada ITP
MANIFESTASI KLINIS
Pasien dapat bergejala seperti AIHA atau ITP. Neutropenia terjadi pada
55% pasien atau pansitopenia. Terjadinya sitopenia kedua pada beberapa bulan
sampai beberapa tahun setelah sitopenia akibat rekasi imun yang pertama. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik, tanda-tanda gagal jantung pada kasus
limfadenopati dan organomegali dapat bersifat kronik atau intermiten dan pada
19
beberapa kasus hanya muncul pada episode eksaserbasi akut. Urin berwarna gelap
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
apusan darah tepi dapat menunjukkan adanya polikromasia dan sferosit, dan dapat
bawah 7 g/dl. Direct Antiglobulin Test (DAT)/ Direct Coomb’s Test sebagian
besar menunjukkan hasil positif, bahkan jika tidak ditemukan anemia hemolitik,
20
DIAGNOSIS BANDING
syndrome.
PENATALAKSANAAN
kondisi akut yang mengancam jiwa, transfusi dapat diberikan. Dosis prednisolon
dapat diberikan IVIG. Pemberian IVIG 0,4 g/kg/hari selama 4 hari, bahkan
menunjukkan hasil yang baik. Juga pada anak di bawah dua tahun, dimana
21
antibodi. Sebagian besar pasien akan mengalami relaps jika terapi dihentikan
lini kedua berdasarkan kriteria klinis, umur pasien, keparahan penyakit dan
I. steroid + IVIG
22
III. oral siklosporin (5-6 mg/kg/hari)
Williams dan Boxer tahun 2003 mengobati 4 orang anak dengan Evans
syndrome yang refrakter dengan pemberian steroid dan IVIG, sehingga diberikan
jumlah trombosit >50x109/L yang diberikan bersama oral siklosporin 5-7 mg/kg
dua kali sehari. Hasilnya tiga dari empat anak mencapai respon komplit setelah 4-
12 bulan terapi.
diberikan 500 mg dua kali sehari, setelah dua minggu dosis dinaikkan menjadi 1
gram dua kali sehari. Obat ini digunakan jika tidak efektif dengan terapi
siklosporin.
minggu). Remisi parsial dan remisi komplit terjadi 40%, sedangkan remisi minor
terjadi 12%. Efek samping terapi ini antara laindemam, mual, hipotensi.
Splenektomi sebagai terapi lini kedua pada pasien yang tidak berespon
atau mengalami relaps terhadap pemberian terapi standar steroid dan IVIG.
masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah
23
eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih banyak untuk menimbulkan
kerusakan eritrosit yang sama. Splenektomi tidak boleh dilakukan pada anak <6
tahun.
Terapi lini ketiga digunakan untuk pasien dengan penyakit yang sangat
parah, relaps setelah terapi lini kedua. Agen yang digunakan siklofosfamid,
alemtuzumab atau stem cell transplantation (SCT). Bagi pasien dewasa tua SCT
bukanlah pilihan karena mortalitas yang tinggi dan angka kegagalan pada Evans
syndrome, namun bagi pasien anak-anak dengan relaps kronik dan keadaan
mengancam nyawa. SCT dari human leucocyte antigen (HLA) merupakan suatu
dengan dosis 1-2 mg/kg/hari selama 2-3 bulan. Alemtuzumab merupakan antibodi
monoklonal IgG yang spesifik terhadap antigen CD52 pada limfosit T dan B,
Autolog dan allogenik SCT telah digunakan pada beberapa orang pasien dengan
Evans syndrome dan 50% pasien tersebut bertahan hidup dengan remisi komplit.
24
Gambar 4. Pendekatan Terapi ITP
Pada umumnya obat yang digunakan untuk terapi awal ITP menghambat
terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg
mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel T dan sel B yang
terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula
25
berperan merangsang progenitor megakariosit. Beberapa imunosupresan
monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik,
sel T makrofag dan interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi
PROGNOSIS
CORONAVIRUS DISEASE 19
Wuhan, Provinsi Hubei. Sumber penularan kasus ini masih belum diketahui pasti,
tetapi kasus pertama dikaitkan dengan pasar ikan di Wuhan.1 Tanggal 18 Desember
hingga 29 Desember 2019, terdapat lima pasien yang dirawat dengan Acute
26
Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat,
ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan, penyakit
ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan Korea
China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020.
Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86
kasus lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam,
Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan,
sejumlah dua kasus. Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi
berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di
Indonesia sebesar 8,9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
VIROLOGI
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini
(MERS-CoV).
27
Virus masuk ke sel inang setelah protein S yang berada di sampul virus
yang umumnya banyak di epitel saluran pernapasan. Selanjutnya, RNA virus masuk
saluran pernapasan dari atas hingga bawah. Replikasi virus ini diawali dengan
translasi RNA virus yang masuk. Selanjutnya, sistem transkripsi dan translasi sel
inang akan berfokus memperbanyak salinan RNA virus dan memproduksi komponen-
Selanjutnya, terjadi viral shedding atau pelepasan virus dari sel inang ke sel-
sel sekitarnya. Hal ini menyebabkan sel-sel lain, seperti sel-sel pada saluran
28
Badai Sitokin
(cytokine storm). Jumlah sitokin yang berlebihan ini menyebabkan paru memadat dan
mengalami fibrosis sehingga terjadi gangguan oksigenasi hingga gawat napas dan
Terdapat jumlah sitokin yang bervariasi antar pasien COVID-19. Pada pasien
COVID-19 di ICU, ditemukan GCSF, IP10, MCP1, MIP1A, dan TNF-alfa dengan
konsentrasi lebih tinggi dibanding yang tidak memerlukan ICU. Jumlah sitokin ini
TRANSMISI
dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin.
Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan
transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat
terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal
tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu
pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif. SARS-CoV-2 telah terbukti
29
menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi pada sel epitel gaster, duodenum,
dan rektum.
Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan
virusnya tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel
saluran napas. Kedua fakta ini menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara
fekal-oral.
Definisi Kasus
COVID-19 yaitu kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, kontak erat
Kasus Suspek
Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu kriteria
epidemiologis:
Kriteria Klinis:
kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/ pilek/ hidung
DAN
Kriteria Epidemiologis:
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau bekerja di
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau bepergian
30
Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan,
baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas yang melaksanakan
2. Kasus Probable
Seseorang yang memenuhi kriteria klinis DAN memiliki riwayat kontak erat dengan
COVID19*****
Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra penciuman) atau
ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang
dapat diidentifikasi
Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN memiliki riwayat
kontak erat dengan kasus probable atau terkonfirmasi, atau berkaitan dengan cluster
COVID-19*****
Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memenuhi kriteria
Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif
DAN Memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable ATAU terkonfirmasi.
31
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
4. Kontak Erat: Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau
Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam
Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman,
Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi
Catatan:
* Gejala/tanda yang dipisahkan dengan garis miring (/) dihitung sebagai satu
gejala/tanda
Ada indikasi penularan/tidak jelas ada atau tidaknya penularan pada tempat tersebut.
berada dalam suatu tempat pada waktu tertentu dalam kondisi berdekatan secara jarak
kasus konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan
kasus tersebut. Negara transmisi lokal merupakan negara yang termasuk dalam
klasifikasi kasus klaster dan transmisi komunitas, dapat dilihat melalui situs
32
https://www.who.int/emergencies/diseases/ novel-coronavirus-2019 /situation-reports
https://infeksiemerging.kemkes.go.id.
**** ISPA Berat yaitu Demam akut (≥ 380 C)/riwayat demam, dan batuk, dan tidak
lebih dari 10 hari sejak onset, dan membutuhkan perawatan rumah sakit.
pemeriksaan rapid antigen SARS-CoV-2: (1) Memiliki sensitivitas > 80% dan
spesifisitas > 97% jika dibandingkan dengan RT-PCR; (2) Hanya digunakan dalam
kondisi RT-PCR tidak tersedia atau membutuhkan hasil diagnosis yang cepat
berdasarkan pertimbangan klinis; dan (3) hanya dilakukan oleh petugas terlatih dalam
(memenuhi kriteria klinis A & B kasus suspek) dilihat dari aspek waktu, tempat, dan
Paparan terhadap minimal 2 orang bergejala dengan hasil rapid antigen SARS-CoV2
positif
X-Ray toraks: hazy opacities yang terdistribusi di bagian basal dan perifer paru
CT Scan toraks: opasitas ground glass multipel bilateral yang terdistribusi di bagian
USG paru: penebalan pleural lines, B lines (multifocal, diskret, atau konfluens), pola
33
Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia.
Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala,
diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang
muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk
SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis
pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan
dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat). Kriteria napas cepat : usia <2
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit,
distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan. ATAU
34
Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan
distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada yang
sangat berat);
tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau penurunan
Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11
Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok
sepsis.
mulai dari asimtomatik hingga syok sepsis. Belum diketahui proporsi kasus
nasofaring dari kasus asimtomatik. Kemudian, hingga saat ini terhitung 80% kasus
menunjukkan gejala ringan atau sedang, 13,8% menunjukkan gejala sakit berat, dan
Pada 55.924 kasus, tercatat gejala tersering adalah batuk kering, lemas, dan
demam. Gejala yang menyertainya dapat berupa sesak napas, batuk produktif, sakit
kongesti nasal, dan kongesti konjungtiva. Pada 40% kasus COVID-19 dengan
Lama masa inkubasi sekitar 3-14 hari dengan rata-rata 5 hari. Pada fase awal,
35
virus menyebar ke jaringan yang mengekspresi ACE2, seperti paru, jantung, dan
saluran cerna melalui aliran darah. Gejala yang ditimbulkan pada fase ini biasanya
ringan. Gejala dirasa bertambah berat pada hari keempat hingga ketujuh setelah gejala
awal. Bila tidak teratasi, sitokin yang diproduksi akan terus meningkat hingga terjadi
badai sitokin yang berujung pada sepsis, ARDS, dan komplikasi lainnya.
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari
sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8%
mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis.
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas
atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa
sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala.
Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga
36
salah satu dari gejala:
sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas. 1 Berdasarkan data
55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue. Gejala lain
yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri
Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara
38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C.3 Perjalanan
penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5
hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan
pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui
aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-
paru, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan
kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien
masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Penanda
inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase
selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
37
Pemeriksaan Laboratorium
ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat
Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan
Computed Tomography Scan (CT scan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan
konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis, seperti terlihat pada Gambar 3. Foto
toraks kurang sensitif dibandingkan CT scan, karena sekitar 40% kasus tidak
Sumber: Susilo A, et al. Coronavirus disease 2019: Tinjauan literatur terkini. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. 2020;7(1):45-67
38
Gambar 4. CT-scan pasien COVID-19
Sumber: Susilo A, et al. Coronavirus disease 2019: Tinjauan literatur terkini. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. 2020;7(1):45-67
Studi dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan
utama. Konsolidasi subpleural posterior juga ditemukan walaupun jarang. Studi lain
praktik sehari-hari. Berdasarkan telaah sistematis oleh Salehi, dkk.70 temuan utama
pada CT scan toraks adalah opasifikasi ground-glass (88%), dengan atau tanpa
(87,5%), multilobular (78,8%), lebih sering pada lobus inferior dengan distribusi lebih
39
Gambaran CT scan yang lebih jarang ditemukan yaitu efusi pleura, efusi
gambaran-gambaran tersebut bersifat jarang, namun bisa saja ditemui seiring dengan
progresivitas penyakit. Studi ini juga melaporkan bahwa pasien di atas 50 tahun lebih
ditemukan.
Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus, predominan gambaran
Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground-glass dan pola
limfadenopati.
pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di hari kedua,
berikutnya (hari kedua). Pada pasien yang dirawat inap, pemeriksaan PCR dilakukan
40
Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan
pasien yang berat dan kritis. Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat
kesehatan masing-masing. Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik,
bebas demam selama tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang
Pertimbangkan nilai Cycle Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau
tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan laboratorium pemeriksa PCR karena
nilai cutt off berbeda-beda sesuai dengan reagen dan alat yang digunakan.
TANPA GEJALA
dipersiapkan pemerintah.
Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP). Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
Pasien :
Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota
41
keluarga
Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi
tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci
Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)
Lingkungan/kamar:
Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya
Keluarga:
Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan
42
Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
pintu dll
c. Farmakologi
pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat
perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ; - Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8
jam oral (untuk 14 hari) - Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari) -
Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari), -
Vitamin D - Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup) - Obat:
1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
DERAJAT RINGAN
Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul
43
gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika gejala
lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan 3
hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik
Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa gejala).
Farmakologis
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),
Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah
5000 IU)
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
44
Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
DERAJAT SEDANG
COVID-19
COVID-19
Non Farmakologis
Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi cairan,
oksigen
Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto toraks
secara berkala.
c. Farmakologis
Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai
alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750
mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). Ditambah
45
o Salah satu antivirus berikut :
Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau
hari ke 2-10)
Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
Non Farmakologis
Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi cairan),
dan oksigen
Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila
LDH, D-dimer.
46
- Limfopenia progresif,
- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal multiorgan yang
3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut
o Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation
(NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan
Terapi oksigen:
- Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan udara bebas dengan mulai
dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%.
- Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC (High Flow Nasal
Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi perburukan klinis.
- Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40% sesuai dengan
Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti peningkatan fraksi oksigen, jika
47
Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu nafas aktif)
Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali sehari dapat
memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan
hingga sedang.
Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX
>4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak membutuhkan
ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan
intubasi.
Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan terapi oksigen dengan
HFNC tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, pertimbangkan untuk
menurunkan FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi 30%, selanjutnya flow
Trial NIV selama 1-2 jam sebagai bagian dari transisi terapi oksigen
Inisiasi terapi oksigen dengan menggunakan NIV: mode BiPAP atau NIV + PSV,
48
Titrasi tekanan inspirasi untuk mencapai target volume tidal 6-8 ml/Kg; jika pada
inisiasi penggunaan NIV, dibutuhkan total tekanan inspirasi >20 cmH2O untuk
Fisiologis: laju pernafasan 7,25, PaCO2; 30 – 55mmHg, PaO2 >60 mmHg, rasio
Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok disarankan untuk segera
Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan dengan NIV tidak
tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, lakukan metode ventilasi invasif.
Kombinasi Awake Prone Position + NIV 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki
oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga
sedang.
NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol, sehingga jika hendak
tekanan normal, namun pasien terisolasi dari pasien yang lain) dengan standar APD
yang lengkap.
Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis maupun oksigenasi setelah
dilakukan terapi oksigen ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus dilakukan
49
Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8 ml/kgBB), plateau pressure 10
cmH2O.
Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia refrakter (meski parameter
ventilasi optimal), dilakukan ventilasi pada posisi prone selama 12-16 jam per hari
Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi; dissinkroni antar pasien dan
ventilator yang persisten, plateau pressure yang tinggi secara persisten dan ventilasi
pada posisi prone yang membutuhkan sedasi yang dalam, pemberian pelumpuh otot
Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS tipe A yang memiliki layanan
dan sumber daya sendiri untuk melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat
menerima terapi ECMO bila memenuhi indikasi ECMO setelah pasien tersebut
Indikasi ECMO :
C. Farmakologis
50
Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan
Vitamin D
Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah
5000 IU)
Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari) atau sebagai
alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750
Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri,
pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko
yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan
Antivirus :
Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau
hari ke 2-10)
Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang
setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus
51
Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang
sudah ada.
Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi klinis pasien
hati dan melalui diskusi dengan tim COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6
(tocilizumab), plasma konvalesen, IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel
52
Gambar 3. Algoritma penanganan pasien COVID-19
53
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
54