OLEH
dr. Alhoi Hendry Henderson
DOKTER PENDAMPING
dr. Latifah Indriani
2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Mimisan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Dari alloanamnesia pasien mengalami mimisan pada pukul
01.00 pagi. Pasien juga dikatakan sesak sejak tadi malam pukul 18.00,
dan semakin sesak. Pada pukul 00.00 pasien mulai demam. BAK
terakhir pasien pukul 01.00. 1 bulan yang lalu pasien batuk-batuk. 2
minggu yang lalu pasien dirawat di RS K dan pada tanggal 12 maret
2021 pasien menerima transfuse darah pertama 80 cc PRC karena Hb
pasien 2 dan dengan trombosit rendah. Pada tanggal 14 Maret 2021
pasien memperoleh transfuse sekali lagi. Pasien tidak memiliki
keluhan setelah transfuse.
Riwayat berpergian ke luar Kulon Progo (-), riwayat
dikunjungi tamu dari luar Kulon Progo (-), riwayat kontak dengan
pasien COVID (-), riwayat demam (+). Riwayat batuk, pilek, sesak
nafas, dan nyeri tenggorokan disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Anemia dengan Hb 2 dan trombosit rendah
d. Riwayat Penggunaan Obat
Transfusi PRC 80 cc 2 kali
3. Pemeriksaan Fisik
a. Deskripsi Umum
Kondisi umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Letargi
GCS : E2 Vx M6
b. Tanda Vital
Tekanan darah : - mmHg
Heart rate : 160 x/menit, regular
Respiratory rate : 48 x/menit
Saturasi O2 : 98%
Suhu : 38.1 oC
BB : 8 Kg
c. Pemeriksaan Sistem
Kepala : tidak tampak kelainan
Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-)
Telinga : deformitas (-/-), bleeding (-/-)
Hidung : deviasi (-), tampak darah yang sudah mengering di
cavum nasi (+/+)
Mulut : sianosis (-), tidak tampak oedema pada ginginva
Leher : pembesaran KGB (-), JVP R-2 cmH2O
Thorax
Inspeksi : simetris, retraksi sub costae (+/+)
Palpasi : benjolan (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi : sonor memendek pada paru regio basal sinistra; medial
dan basal dextra
Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi basah (+) paru regio basal
sinistra; medial dan basal dextra, wh (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di Linea Midclavicula Sinistra
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Bunyi jantung I > II, regular (+) cepat, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, spleen
teraba di schuffner III
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas
Ekstremitas superior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), nadi teraba kuat dan cepat
Ekstremitas inferior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-) CRT <2detik, nadi dorsalis pedis
teraba kuat dan cepat
UKK : Tampak purpura pada seluruh ekstremitas.
4. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin, GDS, Elektrolit, Rapid Antibody COVID-19 dan Antigen
COVID-19
THORAX X-RAY
T
horax AP dan Lateral View
asimetris, inspirasi cukup
Kesan:
- infiltrat di pulmo dextra suspek pneumonia
- tak tampak gambaran massa pulmo maupun mediastinum
- tak tampak tanda2 efusi pleura
- konfigurasi cor dbn
- sistema tulang yg tervisualisasi intak
5. Diagnosis
Anemia Aplastik susp e.c ALL
6. Tatalaksana
Tx IGD:
- O2 3 LPM NK -> SpO2 98%
- IVFD RL 33.5 cc/jam
- IVFD RL 50 cc/jam
- IVFD TC 50 cc (dalam 30 menit)
- Inj Dexamethason 0.8 mg (pre transfuse)
- Inj. Furosemid 2 mg (post transfuse)
- Ca glukonas 4 cc diencerkan dalam nacl 0,9% 20 ml. Habis dalam 1 jam
- Pemasangan Kateter Urin
Konsul dr. Alfon, Sp. A
- Rujuk RSUP Dr. Sardjito
- O2 3lpm NK
- IVFD RL 50 gtt/i
- Cek PTT, aPTT, MDT
- Ro Thorax AP + Lateral
- Transfusi TC 10 cc/kgBB jika perdarahan aktif (TC Masuk dalam 30
menit)
- Pre transfusi diberikan dexametasone 0,1 mg/kgbb iv
- Post transfusi diberikan furosemide 0,5 mg/kgbb iv
- Kemudian Dilanjutkan program transfusi PRC 120 cc dengan
dexametasone pre transfusi & furosemide post transfuse
- Koreksi Kalsium dengan Ca glukonas 4 cc diencerkan dalam nacl 0,9% 20
ml. Habis dalam 1 jam (Jika bradikardi atau kesan aritmia hentikan
koreksi kalsium)
- TTV Setelah koreksi Kalsium
Monitoring Pasien
SpO2 100%
7. Prognosis
Quo ad vitam : Malam
Quo ad functionam : Malam
Quo ad sanationam : Malam
TINJAUAN PUSTAKA
4. Epidemiologi
ALL didiagnosis pada sekitar 2.400 anak di bawah usia 15 tahun di Amerika
Serikat setiap tahun. ALL memiliki insidensi puncak yang mencolok pada usia 2-3
tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan pada semua
usia. Insiden usia puncak ini terlihat beberapa dekade yang lalu pada populasi kulit
putih di negara-negara sosioekonomi maju, tetapi sejak itu telah dikonfirmasi pada
populasi kulit hitam di Amerika Serikat juga. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
anak-anak dengan kelainan kromosom tertentu, seperti sindrom Down, sindrom
Bloom, ataksia-telangiektasia, dan anemia Fanconi. Di antara kembar identik, risiko
pada kembar kedua jika 1 kembar mengembangkan leukemia lebih besar daripada
pada populasi umum. Risikonya> 70% jika ALL didiagnosis pada kembar pertama
selama tahun pertama kehidupan dan si kembar berbagi plasenta (monokorionik)
yang sama. Jika kembar pertama mengembangkan ALL pada usia 5-7 tahun, risiko
kembar kedua setidaknya dua kali lipat dari populasi umum, terlepas dari
zigositasnya (Kliegman et al., 2016).
5. Etiologi
Pada hampir semua kasus, etiologi ALL tidak diketahui, meskipun beberapa
faktor genetik dan lingkungan berhubungan dengan leukemia pada masa kanak-kanak
(Tabel 1). Sebagian besar kasus ALL dianggap disebabkan oleh mutasi somatik
pascakonsepsi pada sel limfoid. Namun, identifikasi urutan gen fusi spesifik-leukemia
di arsip bercak darah neonatal dari beberapa anak yang mengembangkan ALL di
kemudian hari menunjukkan pentingnya kejadian in utero dalam permulaan proses
ganas dalam beberapa kasus. Periode jeda yang lama sebelum timbulnya penyakit
pada beberapa anak, dilaporkan selama 14 tahun, mendukung konsep bahwa
modifikasi genetik tambahan diperlukan untuk ekspresi penyakit. Selain itu, mutasi
yang sama telah ditemukan pada bercak darah neonatal pada anak-anak yang tidak
pernah mengembangkan leukemia (Kliegman et al., 2016).
- Neurofibromatosis type 1
- Ataxia-telangiectasia
- Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
- Li-Fraumeni syndrome
Paparan radiasi diagnostik medis baik dalam rahim dan masa kanak-kanak
dikaitkan dengan peningkatan kejadian ALL. Selain itu, deskripsi dan investigasi
yang dipublikasikan dari kelompok kasus geografis telah menimbulkan kekhawatiran
bahwa faktor lingkungan dapat meningkatkan kejadian ALL. Sejauh ini, tidak ada
faktor selain radiasi yang telah diidentifikasi di Amerika Serikat. Di negara
berkembang tertentu, ada hubungan antara B-cell ALL (B-ALL) dan infeksi virus
Epstein-Barr (Kliegman et al., 2016).
6. Klasifikasi
Leukemia pada anak-anak dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis.
Leukemia akut ditandai dengan ekspansi klonal dari prekursor hematopoietik atau
limfoid yang belum matang, sedangkan leukemia kronis mengacu pada kondisi yang
ditandai dengan perluasan elemen sumsum dewasa. Leukemia kongenital mengacu
pada leukemia yang didiagnosis dalam 4 minggu pertama kehidupan (Orkin et al.,
2015).
Leukemia akut ditandai dengan penggantian elemen sumsum normal dengan sel
blast ganas, sel yang relatif tidak berdiferensiasi dengan kromatin inti terdistribusi
difus, satu atau lebih nukleolus, dan sitoplasma basofilik. Sejumlah metode ada untuk
mengkarakterisasi sel-sel blast ganas, termasuk morfologi, sitokimia, dan
imunofenotipe, serta penyimpangan genetik kromosom dan molekuler. Sekitar 80%
kasus leukemia akut pada anak-anak adalah limfoblas (Orkin et al., 2015).
a. L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin
lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti
c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi (Permono
& Ugrasena, 2018).
Meskipun ALL pada dasarnya adalah penyakit sumsum tulang dan darah tepi,
setiap organ atau jaringan dapat disusupi oleh sel-sel abnormal. Infiltrasi tersebut
dapat terlihat secara klinis dengan pemeriksaan fisik. Pada diagnosis awal, 30%
sampai 50% anak mengalami pembesaran hati atau limpa, dengan organ teraba lebih
dari 4 cm di bawah batas kosta (lihat Tabel 2). Limfadenopati yang disebabkan oleh
infiltrasi leukemia adalah gejala yang sama seringnya. Umumnya, derajat infiltrasi
organ berkorelasi dengan hitung blast darah tepi, sehingga mencerminkan massa
leukemia total. Invasi leukemia jaringan, bagaimanapun, mungkin tersembunyi dan
hanya dapat dideteksi dengan pengambilan sampel histologis (Orkin et al., 2015).
Tabel 2. Presentasi Berdasarkan Usia pada 5181 Anak dan Remaja dengan ALL
yang diobati dengan ALL-BFM Trials
Usia (Tahun)
Presentasi
<1 1-<7 10-18
Gender
Male 52% 56% 61%
Female 48% 44% 39%
Jumlah Sel darah
59% 10% 15%
Putih ≥109/L
Fenotipe
Prekursor sel B 96% 90% 73%
Sel T 4% 10% 27%
CNS (+) 21% 2.3% 3.9%
8. Diagnosis
Diagnosis ALL sangat disarankan oleh temuan darah perifer yang menunjukkan
kegagalan sumsum tulang. Anemia dan trombositopenia terlihat pada kebanyakan
pasien. Sel leukemia mungkin tidak dilaporkan dalam darah tepi dalam pemeriksaan
laboratorium rutin. Banyak pasien dengan ALL datang dengan jumlah leukosit total
<10.000 / μL. Dalam kasus seperti itu, sel leukemia pada awalnya sering dilaporkan
sebagai limfosit atipikal, dan hanya pada evaluasi lebih lanjut sel tersebut ditemukan
sebagai bagian dari klon ganas. Jika hasil analisis darah tepi menunjukkan
kemungkinan leukemia, sumsum tulang harus segera diperiksa untuk menegakkan
diagnosis. Semua studi yang diperlukan untuk memastikan diagnosis dan
mengklasifikasikan jenis leukemia secara memadai penting dilakukan, termasuk
aspirasi dan biopsi sumsum tulang, flow cytometry, sitogenetika, dan studi molekuler
(Kliegman et al., 2016).
ALL didiagnosis dengan evaluasi sumsum tulang yang menunjukkan> 25% sel
sumsum tulang sebagai populasi limfoblas yang homogen. Evaluasi awal juga
mencakup pemeriksaan CSF. Jika limfoblas ditemukan dan jumlah leukosit CSF
meningkat, jelas terlihat SSP atau leukemia meningeal. Temuan ini mencerminkan
tahap yang lebih buruk dan menunjukkan kebutuhan untuk SSP tambahan dan terapi
sistemik. Penentuan stadium pungsi lumbal dapat dilakukan bersamaan dengan dosis
pertama kemoterapi intratekal, jika diagnosis leukemia sebelumnya ditegakkan dari
evaluasi sumsum tulang. Seorang ahli prosedur yang berpengalaman harus
melakukan pungsi lumbal awal, karena pungsi lumbal traumatis dikaitkan dengan
peningkatan risiko kekambuhan SSP (Kliegman et al., 2016).
9. Diagnosis Banding
Diagnosis leukemia mudah dibuat pada pasien dengan tanda dan gejala yang
khas, anemia, trombositopenia, dan peningkatan hitung darah putih dengan blast pada
apusan. Peningkatan dehidrogenase laktat sering kali merupakan petunjuk untuk
diagnosis ALL. Jika hanya terdapat pansitopenia, anemia aplastik (bawaan atau
didapat) dan mielofibrosis harus dipertimbangkan. Kegagalan garis sel tunggal,
seperti yang terlihat pada eritroblastopenia transien masa kanak-kanak,
trombositopenia imun, dan neutropenia kongenital atau didapat, jarang merupakan
gambaran umum dari ALL. Diperlukan indeks kecurigaan yang tinggi untuk
membedakan ALL dari infeksi mononukleosis pada pasien dengan onset akut demam
dan limfadenopati dan dari artritis idiopatik remaja pada pasien dengan demam, nyeri
tulang tetapi seringkali tidak ada nyeri tekan, dan pembengkakan sendi. Presentasi ini
juga memerlukan pemeriksaan sumsum tulang (Kliegman et al., 2016).
10. Penatalaksanaan
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain barupa pemberian transfuse darah/trombosit, pemberian
antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial (Permono &
Ugrasena, 2018).
Pasien dikatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala
klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel bas < 5% dari sel
berinti, hemoglobin >12g/dl tanpa transfuse, jumlah leukosit >3.000/µl dengan hitung
jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2.000/µl, jumlah trombosit > 100.000/µl,
dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal (Permono & Ugrasena, 2018).
12. Prognosis
Usia dan jumlah leukosit adalah dua prediktor hasil yang paling penting. Pasien
yang berusia antara 1-9 tahun dengan WBC awal kurang dari 50.000 / mm3 (risiko
standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien leukemia limfoblastik B, memiliki
kelangsungan hidup bebas kejadian (EFS) selama 4 tahun. lebih dari 80%. Pasien
yang tersisa (risiko tinggi) memiliki kelangsungan hidup bebas kejadian selama 4
tahun sebesar 75% (Lanzkowsky et al., 2016).
Kliegman, R. M., Stanton, B. F., Geme, J. W., Schor, N. F., & Behrman, R. E.
(2016). Nelson Textbook of Pediatrics (20th ed.). Elsevier.
Orkin, S. H., Fisher, D. E., Ginsburg, D., Look, T. A., Lux, S. E., & Nathan, D. G.
(2015). Nathan and Oski’s Hematology and Oncology of Infancy and
Childhood. In Elsevier (8th ed.).
Permono, B., & Ugrasena, I. (2018). Leukemia akut. Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak, 262–287.