Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

APLASTIC ANEMIA ET CAUSA ACUTE LYMPHOBLASTIC


LEUKEMIA

OLEH
dr. Alhoi Hendry Henderson

DOKTER PENDAMPING
dr. Latifah Indriani

STASE INSTALASI GAWAT DARURAT


RUMAH SAKIT DAERAH WATES
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERIODE 19 SEPTEMBER 2020 – 18 JUNI 2021
2021
PRESENTASI KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : An. RD
No RM : 742214
Tanggal lahir / usia : 14 Juli 2020 / 8 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Plampang III RT 069/022 Kalirejo Kokap
Tanggal masuk : 27 Maret 2021
Penjaminan : UMUM

2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Mimisan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Dari alloanamnesia pasien mengalami mimisan pada pukul
01.00 pagi. Pasien juga dikatakan sesak sejak tadi malam pukul 18.00,
dan semakin sesak. Pada pukul 00.00 pasien mulai demam. BAK
terakhir pasien pukul 01.00. 1 bulan yang lalu pasien batuk-batuk. 2
minggu yang lalu pasien dirawat di RS K dan pada tanggal 12 maret
2021 pasien menerima transfuse darah pertama 80 cc PRC karena Hb
pasien 2 dan dengan trombosit rendah. Pada tanggal 14 Maret 2021
pasien memperoleh transfuse sekali lagi. Pasien tidak memiliki
keluhan setelah transfuse.
Riwayat berpergian ke luar Kulon Progo (-), riwayat
dikunjungi tamu dari luar Kulon Progo (-), riwayat kontak dengan
pasien COVID (-), riwayat demam (+). Riwayat batuk, pilek, sesak
nafas, dan nyeri tenggorokan disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Anemia dengan Hb 2 dan trombosit rendah
d. Riwayat Penggunaan Obat
Transfusi PRC 80 cc 2 kali
3. Pemeriksaan Fisik
a. Deskripsi Umum
Kondisi umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Letargi
GCS : E2 Vx M6
b. Tanda Vital
Tekanan darah : - mmHg
Heart rate : 160 x/menit, regular
Respiratory rate : 48 x/menit
Saturasi O2 : 98%
Suhu : 38.1 oC
BB : 8 Kg

c. Pemeriksaan Sistem
Kepala : tidak tampak kelainan
Mata : konjungtiva palpebral inferior pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-)
Telinga : deformitas (-/-), bleeding (-/-)
Hidung : deviasi (-), tampak darah yang sudah mengering di
cavum nasi (+/+)
Mulut : sianosis (-), tidak tampak oedema pada ginginva
Leher : pembesaran KGB (-), JVP R-2 cmH2O
Thorax
Inspeksi : simetris, retraksi sub costae (+/+)
Palpasi : benjolan (-), SF kanan = SF kiri
Perkusi : sonor memendek pada paru regio basal sinistra; medial
dan basal dextra
Auskultasi : bronkovesikuler, ronkhi basah (+) paru regio basal
sinistra; medial dan basal dextra, wh (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di Linea Midclavicula Sinistra
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Bunyi jantung I > II, regular (+) cepat, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, spleen
teraba di schuffner III
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas
Ekstremitas superior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), nadi teraba kuat dan cepat
Ekstremitas inferior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-) CRT <2detik, nadi dorsalis pedis
teraba kuat dan cepat
UKK : Tampak purpura pada seluruh ekstremitas.

4. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin, GDS, Elektrolit, Rapid Antibody COVID-19 dan Antigen
COVID-19

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan


Hemoglobin 7.8 14.00 – 16.00 g/dL
Hematokrit 23.7 37.00 – 47.00 %
Leukosit 2.82 4.0 – 10.5 10^3/uL
Trombosit 8 150 - 450 10^3/uL
Eritrosit 2.78 3.90 – 5.50 10^6/uL
MCV 85.3 80.0 – 97.0 fL
MCH 28 27.0 – 32.0 pg
MCHC 32.8 32.0 – 38.0 g/dL
Neutrofil% 19.5 50.0 – 70.0 %
Limfosit% 79.4 25.0 – 40.0 %
Monosit% 0.4 3.0 – 9.0 %
Eosinofil% 0.5 0.5 – 5.0 %
Basofil% 0.2 0.0 – 1.0 %
Glukosa Darah
GDS 105 50 – 200 mg/dL
Elektrolit
Natrium 125.9 135 – 146 mmol/L
Kalium 4.14 3.4 – 5.4 mmol/L
Klorida 99.6 95 – 100 mmol/L
Kalsium 0.96 2.15 – 2.55 Mmol/L
COVID
IgM Anti SARS-CoV- Non Non Reaktif
2 Reaktif
IgG Anti SARS-CoV-2 Non Non Reaktif
Reaktif
Antigen SARS-CoV-2 Non Non Reaktif
Reaktif

Morfologi Darah Tepi


Erytrosit: Normosit, sel target, ovalosit, sel sigar, sedikit fragmentosit,
normokromik
Leukosit: Jumlah menurun, limfositosis, limfosit reaktif, Sebagian granulasi
toksik netrofil
Trombosit: Jumlah sangat menurun, morfologi dan penyebaran sulit dinilai.
Kesan:
- Anemia disertai kelainan morfologi eritrosit
- Lekopenia, limfositosis relative, reaktivitas limfosit dan netrofil
- Trombositopenia
Kesimpulan:
Observasi pansitopenia et causa suspek anemia aplastic
DD: Aplastic anemia of ALL

THORAX X-RAY

T
horax AP dan Lateral View
asimetris, inspirasi cukup
Kesan:
- infiltrat di pulmo dextra suspek pneumonia
- tak tampak gambaran massa pulmo maupun mediastinum
- tak tampak tanda2 efusi pleura
- konfigurasi cor dbn
- sistema tulang yg tervisualisasi intak

5. Diagnosis
Anemia Aplastik susp e.c ALL

6. Tatalaksana
Tx IGD:
- O2 3 LPM NK -> SpO2 98%
- IVFD RL 33.5 cc/jam
- IVFD RL 50 cc/jam
- IVFD TC 50 cc (dalam 30 menit)
- Inj Dexamethason 0.8 mg (pre transfuse)
- Inj. Furosemid 2 mg (post transfuse)
- Ca glukonas 4 cc diencerkan dalam nacl 0,9% 20 ml. Habis dalam 1 jam
- Pemasangan Kateter Urin
Konsul dr. Alfon, Sp. A
- Rujuk RSUP Dr. Sardjito
- O2 3lpm NK
- IVFD RL 50 gtt/i
- Cek PTT, aPTT, MDT
- Ro Thorax AP + Lateral
- Transfusi TC 10 cc/kgBB jika perdarahan aktif (TC Masuk dalam 30
menit)
- Pre transfusi diberikan dexametasone 0,1 mg/kgbb iv
- Post transfusi diberikan furosemide 0,5 mg/kgbb iv
- Kemudian Dilanjutkan program transfusi PRC 120 cc dengan
dexametasone pre transfusi & furosemide post transfuse
- Koreksi Kalsium dengan Ca glukonas 4 cc diencerkan dalam nacl 0,9% 20
ml. Habis dalam 1 jam (Jika bradikardi atau kesan aritmia hentikan
koreksi kalsium)
- TTV Setelah koreksi Kalsium
Monitoring Pasien

Waktu Keadaan Tindakan


03.00 Letargi Pasien Muntah
Darah
04.00 Somnolen
05.00 Somnolen
06.00 Somnolen HR: 129x/i
RR: 40 x/i
T: 36.1oC
07.00 Somnolen IVFD RL 50 cc/jam
15.00 - Inj Dexamethason 0.8 mg
- IVFD TC 50 cc (dalam 30 menit)
- Inj. Furosemid 2 mg
16.00 Letargi HR 143x/i Koreksi Kalsium dengan Ca glukonas 4 cc
RR 38x/I diencerkan dalam nacl 0,9% 20 ml.

SpO2 100%

7. Prognosis
Quo ad vitam : Malam
Quo ad functionam : Malam
Quo ad sanationam : Malam
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Anemia Aplastik


Anemia aplastik ditandai dengan penurunan atau ketiadaan unsur pembentuk
darah yang menyebabkan pansitopenia dan dapat diturunkan atau didapat. Anemia
aplastik berat didefinisikan oleh:
a. Selulularitas sumsum tulang kurang dari 25%
b. Setidaknya dua dari sitopenia berikut: jumlah granulosit <500/mm3, (<200 mm3
sangat menentukan anemia aplastik berat); jumlah trombosit < 20.000/mm3.
Non-Anemia aplastik berat terjadi jika kriteria di atas tidak terpenuhi. Ada sedikit
kesepakatan untuk membedakan antara anemia apalastik ringan dan sedang
(Lanzkowsky et al., 2016).
2. Patofisiologi
Anemia aplastik terjadi akibat mekanisme perusakan organ yang dimediasi
secara imunologis, jaringan spesifik. Didalilkan bahwa setelah terpapar antigen
pemicu, sel dan sitokin dari system kekebalan menghancurkan sel induk di sumsum
yang mengakibatkan pansitopenia. Pengobatan dengan imunosupresi mengarah pada
pemulihan sumsum (Lanzkowsky et al., 2016).
Gamma-Interferon (ɤ-IFN) berperan penting dalam patofisiologi anemia
aplastik. Studi invitro menunjukkan bahwa sel-T dari pasien anemia aplastik
mengeluarkan ɤ-IFN dan tumor necrosis factor (TNF). Kultur sumsum tulang jangka
panjang telah menunjukkan bahwa ɤ-IFN dan TNF merupakan penghambat yang kuat
baik untuk sel progenitor hematopoietic awal dan akhir. Kedua sitokin ini menekan
hematopoiesis melalui efeknya pada siklus mitosis dan, yang lebih penting, melalui
mekanisme pembunuhan sel. Mekanisme pembunuhan sel melibatkan jalur apoptosis
(yaitu, ɤ-IFN dan TNF saling meningkatkan reseptor seluler satu sama lain, serta
reseptor Fas dalam sel induk hematopoietik). Sel T sitotoksik juga mengeluarkan
interleukin-2 (IL-2), yang menyebabkan ekspansi poliklonal sel-T. Aktivasi reseptor
Fas pada sel induk hematopoietik oleh ligan Fas yang ada pada limfosit menyebabkan
apoptosis sel progenitor hematopoietik yang ditargetkan. Selain itu, ɤ-IFN memediasi
aktivitas penekan hematopoietiknya melalui faktor regulasi IFN 1 (IRF-1), yang
menghambat transkripsi gen seluler dan masuknya ke dalam siklus sel. ɤ-IFN juga
menginduksi produksi oksida nitrat, difusi yang menyebabkan efek toksik tambahan
pada sel nenek moyang hematopoietik. Interaksi sel-sel langsung antara limfosit
efektif dan sel hematopoietik yang ditargetkan mungkin juga terjadi. Ekspansi
oligoklonal sel-T CD41 dan CD81 yang berfluktuasi dengan aktivitas penyakit lebih
lanjut mendukung etiologi kekebalan (Lanzkowsky et al., 2016).
3. Definisi Acute Lymphoblastic Leukemia
Acute Limphoblastic Leukemia (ALL) adalah neoplasma prekursor sel
hematopoietik (B- dan T-limfoblas) yang melibatkan sumsum tulang (BM) atau
jaringan lain seperti kelenjar getah bening, timus dengan atau tanpa keterlibatan darah
tepi (Lanzkowsky et al., 2016)

4. Epidemiologi
ALL didiagnosis pada sekitar 2.400 anak di bawah usia 15 tahun di Amerika
Serikat setiap tahun. ALL memiliki insidensi puncak yang mencolok pada usia 2-3
tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan pada semua
usia. Insiden usia puncak ini terlihat beberapa dekade yang lalu pada populasi kulit
putih di negara-negara sosioekonomi maju, tetapi sejak itu telah dikonfirmasi pada
populasi kulit hitam di Amerika Serikat juga. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
anak-anak dengan kelainan kromosom tertentu, seperti sindrom Down, sindrom
Bloom, ataksia-telangiektasia, dan anemia Fanconi. Di antara kembar identik, risiko
pada kembar kedua jika 1 kembar mengembangkan leukemia lebih besar daripada
pada populasi umum. Risikonya> 70% jika ALL didiagnosis pada kembar pertama
selama tahun pertama kehidupan dan si kembar berbagi plasenta (monokorionik)
yang sama. Jika kembar pertama mengembangkan ALL pada usia 5-7 tahun, risiko
kembar kedua setidaknya dua kali lipat dari populasi umum, terlepas dari
zigositasnya (Kliegman et al., 2016).
5. Etiologi
Pada hampir semua kasus, etiologi ALL tidak diketahui, meskipun beberapa
faktor genetik dan lingkungan berhubungan dengan leukemia pada masa kanak-kanak
(Tabel 1). Sebagian besar kasus ALL dianggap disebabkan oleh mutasi somatik
pascakonsepsi pada sel limfoid. Namun, identifikasi urutan gen fusi spesifik-leukemia
di arsip bercak darah neonatal dari beberapa anak yang mengembangkan ALL di
kemudian hari menunjukkan pentingnya kejadian in utero dalam permulaan proses
ganas dalam beberapa kasus. Periode jeda yang lama sebelum timbulnya penyakit
pada beberapa anak, dilaporkan selama 14 tahun, mendukung konsep bahwa
modifikasi genetik tambahan diperlukan untuk ekspresi penyakit. Selain itu, mutasi
yang sama telah ditemukan pada bercak darah neonatal pada anak-anak yang tidak
pernah mengembangkan leukemia (Kliegman et al., 2016).

Tabel 1. Faktor predisposisi leukemia pada anak-anak

Faktor genetik Faktor lingkungan


- Down syndrome - Ionizing radiation

- Fanconi anemia - Drugs

- Diamond-Backfan anemia - Alkylating agents

- Shwachman-Diamond syndrome - Epipodophyllotoxin

- Kostmann syndrome - Benzene exposure

- Neurofibromatosis type 1

- Ataxia-telangiectasia

- Severe combined immune deficiency

- Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria
- Li-Fraumeni syndrome
Paparan radiasi diagnostik medis baik dalam rahim dan masa kanak-kanak
dikaitkan dengan peningkatan kejadian ALL. Selain itu, deskripsi dan investigasi
yang dipublikasikan dari kelompok kasus geografis telah menimbulkan kekhawatiran
bahwa faktor lingkungan dapat meningkatkan kejadian ALL. Sejauh ini, tidak ada
faktor selain radiasi yang telah diidentifikasi di Amerika Serikat. Di negara
berkembang tertentu, ada hubungan antara B-cell ALL (B-ALL) dan infeksi virus
Epstein-Barr (Kliegman et al., 2016).

6. Klasifikasi
Leukemia pada anak-anak dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis.
Leukemia akut ditandai dengan ekspansi klonal dari prekursor hematopoietik atau
limfoid yang belum matang, sedangkan leukemia kronis mengacu pada kondisi yang
ditandai dengan perluasan elemen sumsum dewasa. Leukemia kongenital mengacu
pada leukemia yang didiagnosis dalam 4 minggu pertama kehidupan (Orkin et al.,
2015).

Leukemia akut ditandai dengan penggantian elemen sumsum normal dengan sel
blast ganas, sel yang relatif tidak berdiferensiasi dengan kromatin inti terdistribusi
difus, satu atau lebih nukleolus, dan sitoplasma basofilik. Sejumlah metode ada untuk
mengkarakterisasi sel-sel blast ganas, termasuk morfologi, sitokimia, dan
imunofenotipe, serta penyimpangan genetik kromosom dan molekuler. Sekitar 80%
kasus leukemia akut pada anak-anak adalah limfoblas (Orkin et al., 2015).

Klasifikasi ALL secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya


dalam klinik, sebagai berikut:

a. L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin
lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti
c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi (Permono
& Ugrasena, 2018).

7. Tanda dan Gejala


ALL dapat muncul secara diam-diam atau akut, sebagai temuan insidental pada
jumlah sel darah rutin anak asimtomatik, atau sebagai perdarahan yang mengancam
jiwa, infeksi, atau episode gangguan pernapasan. Gejala umum yang muncul meliputi
demam, pucat, memar, petechiae, nyeri tulang (mungkin sekunder akibat peregangan
periosteum atau kapsul sendi oleh infiltrasi leukemia), dan lemas (Orkin et al., 2015).

Meskipun ALL pada dasarnya adalah penyakit sumsum tulang dan darah tepi,
setiap organ atau jaringan dapat disusupi oleh sel-sel abnormal. Infiltrasi tersebut
dapat terlihat secara klinis dengan pemeriksaan fisik. Pada diagnosis awal, 30%
sampai 50% anak mengalami pembesaran hati atau limpa, dengan organ teraba lebih
dari 4 cm di bawah batas kosta (lihat Tabel 2). Limfadenopati yang disebabkan oleh
infiltrasi leukemia adalah gejala yang sama seringnya. Umumnya, derajat infiltrasi
organ berkorelasi dengan hitung blast darah tepi, sehingga mencerminkan massa
leukemia total. Invasi leukemia jaringan, bagaimanapun, mungkin tersembunyi dan
hanya dapat dideteksi dengan pengambilan sampel histologis (Orkin et al., 2015).

Tabel 2. Presentasi Berdasarkan Usia pada 5181 Anak dan Remaja dengan ALL
yang diobati dengan ALL-BFM Trials

Usia (Tahun)
Presentasi
<1 1-<7 10-18
Gender
Male 52% 56% 61%
Female 48% 44% 39%
Jumlah Sel darah
59% 10% 15%
Putih ≥109/L
Fenotipe
Prekursor sel B 96% 90% 73%
Sel T 4% 10% 27%
CNS (+) 21% 2.3% 3.9%

8. Diagnosis
Diagnosis ALL sangat disarankan oleh temuan darah perifer yang menunjukkan
kegagalan sumsum tulang. Anemia dan trombositopenia terlihat pada kebanyakan
pasien. Sel leukemia mungkin tidak dilaporkan dalam darah tepi dalam pemeriksaan
laboratorium rutin. Banyak pasien dengan ALL datang dengan jumlah leukosit total
<10.000 / μL. Dalam kasus seperti itu, sel leukemia pada awalnya sering dilaporkan
sebagai limfosit atipikal, dan hanya pada evaluasi lebih lanjut sel tersebut ditemukan
sebagai bagian dari klon ganas. Jika hasil analisis darah tepi menunjukkan
kemungkinan leukemia, sumsum tulang harus segera diperiksa untuk menegakkan
diagnosis. Semua studi yang diperlukan untuk memastikan diagnosis dan
mengklasifikasikan jenis leukemia secara memadai penting dilakukan, termasuk
aspirasi dan biopsi sumsum tulang, flow cytometry, sitogenetika, dan studi molekuler
(Kliegman et al., 2016).

ALL didiagnosis dengan evaluasi sumsum tulang yang menunjukkan> 25% sel
sumsum tulang sebagai populasi limfoblas yang homogen. Evaluasi awal juga
mencakup pemeriksaan CSF. Jika limfoblas ditemukan dan jumlah leukosit CSF
meningkat, jelas terlihat SSP atau leukemia meningeal. Temuan ini mencerminkan
tahap yang lebih buruk dan menunjukkan kebutuhan untuk SSP tambahan dan terapi
sistemik. Penentuan stadium pungsi lumbal dapat dilakukan bersamaan dengan dosis
pertama kemoterapi intratekal, jika diagnosis leukemia sebelumnya ditegakkan dari
evaluasi sumsum tulang. Seorang ahli prosedur yang berpengalaman harus
melakukan pungsi lumbal awal, karena pungsi lumbal traumatis dikaitkan dengan
peningkatan risiko kekambuhan SSP (Kliegman et al., 2016).

9. Diagnosis Banding
Diagnosis leukemia mudah dibuat pada pasien dengan tanda dan gejala yang
khas, anemia, trombositopenia, dan peningkatan hitung darah putih dengan blast pada
apusan. Peningkatan dehidrogenase laktat sering kali merupakan petunjuk untuk
diagnosis ALL. Jika hanya terdapat pansitopenia, anemia aplastik (bawaan atau
didapat) dan mielofibrosis harus dipertimbangkan. Kegagalan garis sel tunggal,
seperti yang terlihat pada eritroblastopenia transien masa kanak-kanak,
trombositopenia imun, dan neutropenia kongenital atau didapat, jarang merupakan
gambaran umum dari ALL. Diperlukan indeks kecurigaan yang tinggi untuk
membedakan ALL dari infeksi mononukleosis pada pasien dengan onset akut demam
dan limfadenopati dan dari artritis idiopatik remaja pada pasien dengan demam, nyeri
tulang tetapi seringkali tidak ada nyeri tekan, dan pembengkakan sendi. Presentasi ini
juga memerlukan pemeriksaan sumsum tulang (Kliegman et al., 2016).

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, bersama dengan pemeriksaan


darah tepi dan sumsum tulang, menghasilkan diagnosis leukemia yang jelas pada
sebagian besar kasus. Namun, terkadang, ALL dapat muncul sebagai tanda dan gejala
dari kondisi lain. Ini termasuk ITP, anemia aplastik, JRA, mononukleosis menular
dan infeksi lain, dan tumor padat metastatic (Orkin et al., 2015).

10. Penatalaksanaan
Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif
meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan
komplikasi antara lain barupa pemberian transfuse darah/trombosit, pemberian
antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,
pemberian nutrisi yang baik, dan pendekatan aspek psikososial (Permono &
Ugrasena, 2018).

Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa


kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat
dan rumatan.
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil
yang dapat dicapat remisi komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan
kemoterapi intensif tambahan setelah remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia
pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya perpanjangan
remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan tinggi, induksi
diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan
mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan
melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infus
berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m 2) atau dosis tinggi pusat pengobatan
(3-5 gr/m2). Di beberapa pasien risiko dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif
dengan memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi
sistemik dosis tinggi (Permono & Ugrasena, 2018).

Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari


dan metotreksat sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan
tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-21/2
tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis
sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor
konsentrasi obat selama terapi rumatan (Permono & Ugrasena, 2018).

Pasien dikatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala
klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel bas < 5% dari sel
berinti, hemoglobin >12g/dl tanpa transfuse, jumlah leukosit >3.000/µl dengan hitung
jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2.000/µl, jumlah trombosit > 100.000/µl,
dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal (Permono & Ugrasena, 2018).

11. Komplikasi dari Tatalaksana


Pada saat diagnosis, masalah klinis utama adalah akibat dari gangguan
metabolisme sekunder akibat lisis sel leukemia, gangguan hematopoiesis yang
menyebabkan hitung darah tepi abnormal, dan infiltrasi leukemia pada organ
nonhematopoietik. Dimulainya kemoterapi dapat memperburuk masalah ini dan
menyebabkan masalah tambahan, termasuk myelosuppression, infeksi bakteri dan
jamur, dan toksisitas mukosa (Orkin et al., 2015).
Dengan kelangsungan hidup anak-anak dengan ALL, efek-efek terlambat yang
terkait dengan penyakit dan pengobatannya menjadi semakin jelas. Besaran klinis
dari efek akhir adalah fungsi dari pengobatan dan faktor terkait host, seperti usia saat
diagnosis. Efek akhir termasuk defisit neurokognitif, perawakan pendek, obesitas,
morbiditas tulang, disfungsi jantung, dan neoplasma ganas kedua (Orkin et al., 2015).

12. Prognosis
Usia dan jumlah leukosit adalah dua prediktor hasil yang paling penting. Pasien
yang berusia antara 1-9 tahun dengan WBC awal kurang dari 50.000 / mm3 (risiko
standar), yang mencakup dua pertiga dari pasien leukemia limfoblastik B, memiliki
kelangsungan hidup bebas kejadian (EFS) selama 4 tahun. lebih dari 80%. Pasien
yang tersisa (risiko tinggi) memiliki kelangsungan hidup bebas kejadian selama 4
tahun sebesar 75% (Lanzkowsky et al., 2016).

Tabel 3. Daftar Prognosis Berdasarkan Faktor

Faktor Baik Kurang Baik

Age (years) 1-9 <1 or >10

White blood cell count


<50 >50
(x109/l)

Immunophenotype B-precursor cell T-cell

Sex Girls Boys


Hipodiploid <44
Hyperdiploidy >50
chromosomes or DNA
chromosomes or DNA index
index <0.81
Genetics >1.16
MLL rearrangement
Trisomies 4,10, and 17
t(9;22)/BCR-ABL1
t(12;21)/ETV6-RUNX1
iAMP21

CNS status Absent Present

End if induction day 29

End of induction day 29 MRD >0,01%


MRD
MRD <0.01% Positive MRD at end
consolidation
DAFTAR PUSTAKA

Kliegman, R. M., Stanton, B. F., Geme, J. W., Schor, N. F., & Behrman, R. E.
(2016). Nelson Textbook of Pediatrics (20th ed.). Elsevier.

Lanzkowsky, P., Lipton, J. M., & Fish, J. D. (2016). Lanzkowsky’s Manual of


Pediatric Hematology and Oncology. In The Surgery of Childhood Tumors (6th
ed.). https://doi.org/10.1007/978-3-662-48590-3_34

Orkin, S. H., Fisher, D. E., Ginsburg, D., Look, T. A., Lux, S. E., & Nathan, D. G.
(2015). Nathan and Oski’s Hematology and Oncology of Infancy and
Childhood. In Elsevier (8th ed.).

Permono, B., & Ugrasena, I. (2018). Leukemia akut. Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak, 262–287.

Anda mungkin juga menyukai