Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

INFEKSI SALURAN KEMIH

OLEH
dr. Andika Putra Cipta

DOKTER PENDAMPING
dr. Latifah Indriani

STASE INSTALASI GAWAT DARURAT


RUMAH SAKIT DAERAH WATES
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERIODE 19 SEPTEMBER 2020 – 18 JUNI 2021
2021
PRESENTASI KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Tanggal lahir / usia : 81 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Wates
Tanggal masuk : 8 April 2021
Penjaminan : BPJS Non-PBI

2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri perut bawah
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien datang ke IGD RSUD Wates dengan keluhan
nyeri perut. Nyeri perut dirasakan oleh pasien terutama di bagian
bawah pusar. Keluhan nyeri perut sudah dirasakan oleh pasien sejak 3
hari yang lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus selama 3 hari dan tidak
pernah hilang. Selain nyeri perut, pasien juga merasakan nyeri pada
bagian pinggang sebelah kiri. Keluhan nyeri tersebut dirasakan
dengan keluhan mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien merasakan
BAK dan BAB tidak ada masalah. Keluhan lain seperti demam,
batuk, pilek, pusing, nyeri dada, sesak napas disangkal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
-
d. Riwayat Penggunaan Obat
-

3. Pemeriksaan Fisik
a. Deskripsi Umum
Kondisi umum : Tampak kesakitan
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
b. Tanda Vital
Tekanan darah : 127/70 mmHg
Heart rate : 66 x/menit, regular
Respiratory rate : 20 x/menit
Saturasi O2 : 97% Room air
Suhu : 36.4 oC

c. Pemeriksaan Sistem
Kepala : Dalam batas normal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-), bleeding (-/-)
Hidung : Deviasi (-), bleeding (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa oral basah
Leher : Dalam batas normal
Thorax
Inspeksi : simetris, jejas (-/-)
Perkusi : sonor (+/+)
Palpasi : taktil fremitus normal, ketertinggalan gerak (-/-)
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC 5 linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Tidak diperiksa
Auskultasi : Bunyi jantung I > II, regular (+), bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, jejas (-), distensi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) regio suprapubik,
hepatosplenomegali (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) dalam batas normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral
hangat, nadi teraba kuat, CRT < 2 detik
Ekstremitas inferior: sianosis (-/-), edema (-/-), pucat (-/-), akral
hangat, CRT <2 detik, nadi dorsalis pedis teraba kuat
4. Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin, GDS, Elektrolit, Rapid Antibody COVID-19 dan Antigen
COVID-19

Urinalisa
Warna urine Kuning
Jernih
Glukosa Negative
Protein Negative
Bilirubin Negative
Urobilinogen Normal
pH 6.0 5.6 – 6.5
BJ 1.015 1.005 – 1.030
Darah samar 0
urine
Keton Negative
Nitrit +
Leukosit esterase 250
Epitel +
Kristal Negative

5. Diagnosis
Infeksi Saluran Kemih

6. Tatalaksana
- Inj. Ketoroloac 1A
- Inj. Ranitidine 1A
- PO Ciprofloxacin 2 x 500 mg
- PO Na diklofenak 2 x 50 mg

7. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi dan inflamasi yang terjadi baik
pada saluran kemih bagian atas (ginjal hingga ureter) maupun bagian bawah
(kandung kemih hingga uretra) (Tan, 2016). Infeksi ini merupakan infeksi yang
umum terjadi dan terutama lebih sering pada wanita dibandingkan dengan pria,
diduga karena anatomi uretra yang lebih pendek pada wanita dan adanya substansi
antibakteri pada cairan prostat pria (Wang, 2013).
ISK merupakan salah satu dari infeksi bakteri yang umum terjadi dan telah
mengenai sekitar 150 juta orang di seluruh dunia (Flores, 2015). Di Amerika Serikat,
lebih dari 7 juta orang dengan ISK berkunjung ke dokter setiap tahunnya. Sekitar
15% dari komunitas yang diresepkan antibiotik adalah penderita ISK. Beberapa data
dari negara – negara di Eropa juga menunjukkan angka yang serupa (Grabe, 2015).
Diagnosis ISK dapat dibuat berdasarkan kombinasi gejala klinis dan hasil
positif dari analisa atau kultur urin. Kebanyakan dari jenis ISK adalah ISK
simpleks/tanpa penyulit (uncomplicated), diartikan sebagai sistitis pada wanita yang
tidak hamil, tidak memiliki gangguan sistem imun, tidak memiliki kelainan anatomi
dan fungsi dari saluran kemih, dan tidak menunjukkan gejala adanya invasi jaringan
atau infeksi sistemik. Semua jenis ISK yang tidak termasuk ke dalam ISK simpleks
digolongkan sebagai ISK rumit /dengan penyulit (complicated) (Geerlings, 2016).
Klasifikasi ISK berdasarkan sindroma klinis berupa ASB (Asymptomatic
Bacteriuria), Uncomplicated Sistitis (Infeksi pada kandung kemih), Pielonefritis
(Infeksi pada ginjal), Prostatitis (Infeksi pada prostat), dan Complicated UTI.
Klasifikasi tersebut dapat membantu klinisi dalam mendiagnosa dan memberikan
terapi secara tepat (Gupta, 2015).
2. Epidemiology
Epidemiologi infeksi saluran kemih (ISK) cukup besar karena penyakit ini
umum terjadi dan telah mengenai sekitar 150 juta orang di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat, lebih dari 7 juta orang dengan ISK berkunjung ke dokter setiap tahunnya.
Sekitar 15% dari komunitas yang diresepkan antibiotik adalah penderita ISK. Di
Singapura, 4% dari wanita usia muda mengalami ISK dan angka kejadian meningkat
sampai 7% hingga usia 50 tahun.   Data statistik dari Kementerian Kesehatan
Singapura melaporkan total 4.144 pasien ISK dirawat di rumah sakit Singapura dalam
1 tahun, dengan rata-rata lama hari rawat sekitar 2-5 hari.

Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Wanita

Tingkat kejadian ISK lebih tinggi pada wanita dibanding pria usia dewasa.
Pada wanita post menopause, kejadian ISK terbilang tinggi diakibatkan prolapse
uterus atau kandung kemih yang akan menyebabkan pengosongan kandung kemih
tidak komplit, penyebab lain ialah kehilangan estrogen yang menyebabkan perubahan
flora vagina (hilangnya Lactobacilli) sehingga memudahkan kolonisasi bakteri aerob
gram negatif seperti E. coli.
Sebanyak 50-80% dari total populasi wanita secara umum pernah mengalami
ISK setidaknya satu kali semasa hidupnya.  Sekitar 20-30% dari wanita yang sudah
pernah terkena ISK akan mengalami ISK berulang.

Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Neonatus

Pada neonatus, ISK lebih sering terjadi pada bayi laki – laki dikarenakan
kecenderungan mengalami anomali kongenital pada saluran kemih lebih tinggi
dibanding bayi perempuan, dan juga dikaitkan dengan bagian dari sindrom sepsis
gram negatif.  ISK pada neonatus yang disertai dengan adanya anomali kongenital
saluran kemih dapat menyebabkan skar pada ginjal yang nantinya dapat
menimbulkan komplikasi pada usia dewasa seperti hipertensi, proteinuria, kerusakan
ginjal, dan bahkan gagal ginjal yang sampai memerlukan terapi dialisis.

Epidemiologi Infeksi Saluran Kemih Usia Tua

Pada usia tua (>50 tahun), kejadian hipertrofi prostat meningkat pada pria
sehingga prevalensi ISK pada pria hampir sama tingginya dengan wanita (Brusch,
2016).

3. Etiologi

Etiologi infeksi saluran kemih (ISK) yang utama adalah  Escherichia


coli (80%) terutama pada ISK komuniti akut tanpa penyulit (acute community-
acquired uncomplicated infections). Organisme lain yang bisa menyebabkan ISK
adalah Staphylococcus saprophyticus (10% - 15%),  Klebsiella, Enterobacter,
Proteus sp, dan Enterococci.
Pada usia tua, penyebab terbanyak dari ISK simple yang bergejala
adalah E.coli, diikuti dengan bakteri gram positif dan infeksi polimikroba. Pada anak
- anak, penyebab tersering dari ISK simple adalah Enterobactericeae
Faktor risiko infeksi saluran kemih (ISK) yang menyebabkan peningkatan
kemungkinan infeksi misalnya faktor penyulit pada inang seperti usia, diabetes,
trauma korda spinalis, dan pemakaian kateter urin. Mikroorganisme dengan tingkat
virulensi yang rendah tetap dapat menyebabkan infeksi pada inang dengan kelainan
atau gangguan anatomi, metabolik, dan imunologi (Ronald, 2003). 

4. Patofisiologi

Patofisiologi infeksi saluran kemih (ISK) umumnya melibatkan infeksi bakteri


yang dapat terjadi melalui jalur ascending atau hematologi dan
limfatik.  E.Coli adalah bakteri yang paling umum untuk menyebabkan infeksi
seluran kemih.
Patofisiologi ISK melalui jalur hematogen melibatkan mikroorganisme
seperti Staphylococcus aureus, Candida sp., Salmonella sp. dan Mycobacterium
tuberculosis, yang menyebabkan infeksi primer ditempat lain pada tubuh manusia.
Ginjal merupakan lokasi yang sering ditemukan abses pada pasien dengan bakterimia
atau endokarditis yang disebabkan oleh bakteri gram positif, Staphylococcus Aureus
Patofisiologi ISK melalui jalur limfatik sangat jarang terjadi dengan bukti kejadian
yang sedikit. Sedangkan jalur ascending adalah yang paling sering.
Pada sebagian besar kasus ISK, infeksi awal bermula dari uretra lalu ke
kandung kemih melalu jalur ascending. Infeksi yang naik dan berkelanjutan ke ureter
dan ginjal merupakan jalur utama penyebab infeksi pada parenkim ginjal. Hal ini
memberikan penjelasan yang logis terhadap tingkat kejadian ISK yang lebih tinggi
pada wanita, dimana saluran uretra wanita yang lebih pendek dibandingkan pria akan
memudahkan bakteri untuk menginfeksi saluran kemih.
Kemunculan bakteri pada kandung kemih tidak selalu mengarah kepada
infeksi yang berkelanjutan dan bergejala. Interaksi antara inang, bakteri patogen dan
faktor lingkungan menentukan apakah invasi jaringan dan infeksi yang bergejala akan
terjadi

Faktor Inang

Individu memiliki mekanisme pertahanan untuk menghalangi akses bakteri ke


saluran kemih, yaitu aliran urin yang tinggi, frekuensi berkemih yang sering, efek
baterisidal dari mukosa kandung kemih, sekresi protein yang berikatan dengan adhesi
fimbrial pada dinding bakteri, dan respon inflamasi yang dimediasi oleh PMN
(polymorphonuclear leukocytes) dan sitokin.
Faktor predisposisi pada wanita usia muda adalah:
 Anatomi uretra yang pendek
 Hubungan seksual
 Tidak berkemih setelah berhubungan seksual
 Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang terpasang di serviks
 Pemakaian spermisida yang akan meningkatkan pH vagina dan bersifat toksik
terhadap flora normal juga meningkatkan pengikatan E. coli terhadap sel
epitel vagina
Pada wanita post menopause, defisiensi estrogen menyebabkan perubahan
flora vagina, seperti lactobacilli protektif yang merupakan flora normal dan akan
digantikan dengan E.coli dan uropatogen lainnya. Pada wanita tertentu dengan
antigen p1 dalam darah, ditemukan reseptor sel epitelial yang dapat berikatan
dengan E.coli sehingga memudahkan terjadinya invasi dan kolonisasi bakteri.

Bakteri Patogen

E.coli memiliki faktor virulensi berupa fimbrae (P fimbrae dan tipe-1


fimbrae) yang bersifat spesifik berikatan dengan sel uroepitelial, hal tersebut
meningkatkan patogenitas bakteri untuk menginvasi dan menginfeksi saluran kemih.
Beberapa bakteri uropatogen gram negatif yang dapat menyebabkan ISK
adalah Proteus mirabilis  dan Klebsiela  sp yang juga mampu menempel atau
berikatan pada sel periuretral dan vaginal.
Staphylococcus saprophyticus  (bakteri gram positif) memiliki potensi lebih
tinggi untuk menyebabkan infeksi pada saluran kemih dibandingkan
dengan Staphylococcus aureus  dan Staphylococcus epidirmidis. Hal tersebut
disebabkan kemampuanya dalam berikatan dengan sel uroepitelial.
Pada individu dengan kelainan struktural dari saluran kemih ataupun pada
pemakaian kateter, beberapa organisme dengan patogenitas yang rendahpun dapat
menyebabkan infeksi pada saluran kemih.

Faktor lingkungan 
Ekologi vagina merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya
ISK.  Kolonisasi flora saluran pencernaan (biasanya E. coli) pada introitus vagina dan
area periuretral merupakan tahap awal yang penting dalam terjadinya ISK.
Setiap kondisi yang menyebabkan stasis urin ataupun obstruksi akan
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya ISK, seperti; refluks vesikoureteral,
obstruksi ureteral sekunder akibat hipertrofi prostat, neurogenic baldder, operasi
pengalihan urin, batu saluran kemih, dan pemasangan kateter urin.
Adanya benda asing seperti batu atau kateter urin akan membuat perlukaan
pada mukosa saluran kemih sehingga memudahkan kolonisasi bakteri dan
membentuk biofilm yang persisten (Sobieszczyk, 2009). 

5. Diagnosis

Diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) dapat dibuat berdasarkan kombinasi


anamnesis, gejala klinis dan hasil positif dari analisa atau kultur urin.  Kebanyakan
ISK adalah simpleks/tanpa penyulit (uncomplicated UTIs), diartikan sebagai sistitis
pada wanita yang tidak hamil, tidak memiliki gangguan sistem imun, tidak memiliki
kelainan anatomi dan fungsi dari saluran kemih, dan tidak menunjukkan gejala
adanya invasi jaringan atau infeksi sistemik. Semua jenis ISK yang tidak termasuk ke
dalam klasifikasi ISK simpleks digolongkan sebagai ISK rumit/dengan penyulit
(complicated UTIs). Klasifikasi ISK berdasarkan sindroma klinis berupa ASB
(Asymtomatic Bacteriuria), Uncomplicated Sistitis (Infeksi pada kandung kemih),
Pielonefritis (Infeksi pada ginjal), Prostatitis (Infeksi pada prostat),
dan Complicated ISK. Klasifikasi tersebut dapat membantu klinisi dalam
mendiagnosa dan memberikan terapi secara tepat (Gupta, 2015).

Anamnesis

Gejala ISK yang muncul pada penderita wanita, pria, neonatus, anak-anak,
dan usia tua dapat berbeda-beda. Gejala klasik tersering dari ISK pada orang dewasa
adalah disuria, urgensi, dan frekuensi berkemih meningkat. Gejala ini dapat disertai
dengan kandung kemih terasa penuh dan rasa tidak nyaman pada perut bagian bawah.
Pada orang dewasa, nyeri pada pinggang dan sudut kostovertebra sering
terdapat pada ISK bagian atas, namun dikarenakan jalur alih nyeri, gejala tersebut
terkadang juga dapat mengindikasikan ISK bagian bawah. Hematuria muncul pada
sekitar 10% wanita penderita ISK tanpa penyulit, biasanya disebut dengan sistitis
hemoragik.
Pada wanita, anamnesa riwayat keputihan akibat vaginitis, servisitis,
dan penyakit radang paggula (PID Pelvic Inflammatory Disease) dapat menjadi faktor
risiko ISK. Riwayat penyakit infeksi menular seksual (IMS) seperti gonore, klamidia,
atau riwayat berhubungan dengan berganti pasangan.
Pada wanita hamil, sekitar 5-10% memiliki Asymptomatic Bacteriuria (ABU)
dan biasa muncul antara minggu kehamilan ke-9 dan ke-17. ASB menjadi faktor
predisposisi dari kelahiran preterm, intrauterine growth retardation (IUGR), berat
badan lahir rendah (BBLR), anemia, amnionitis, dan gangguan hipertensi pada
kehamilan.
Pada pria, gejala berupa disuria, urgensi dan peningkatan frekuensi
menunjukkan 75% kemungkinan terkena ISK. Sedangkan gejala hesitansi, urin
menetes, dan pancaran yang lemah menunjukkan sekitar 33% kemungkinan terkena
ISK. Pada pria, anamnesis tentang adanya pembesaran prostat, kelainan saluran
kemih, faktor penyulit seperti diabetes, status HIV, riwayat pemakaian obat
imunosupresan seperti prednisone, dan riwayat operasi saluran kemih harus
ditanyakan.
Pada neonatus dan bayi usia 0-2 bulan dengan pielonefritis biasanya tidak
menunjukkan gejala klinis lokal pada saluran kemih. ISK biasanya ditemukan sebagai
bagian dari evaluasi sepsis neonatus. Gejala ISK pada neonatus dapat berupa demam,
ikterus, gagal tumbuh, sulit makan, muntah, dan irritability.
Pada bayi dan anak usia 2 bulan sampai 2 tahun, gejala ISK dapat berupa
demam, muntah, sulit makan, urin yang berbau, dan irritability.
Pada beberapa anak usia 1-2 tahun dengan ISK, terkadang dapat muncul
gejala seperti rasa sakit saat berkemih dan bau busuk pada urin dengan demam yang
tidak begitu tinggi.  Penderita ISK kelompok usia di bawah 2 tahun memiliki faktor
risiko cedera ginjal yang lebih besar dibanding anak dengan usia yang lebih tua, hal
tersebut dikarenakan gejala yang muncul tidak khas sehingga diagnosis dan terapi
menjadi terlambat atau tidak tepat
Pada anak usia 2-6 tahun gejala ISK dapat berupa demam, muntah, sakit
perut, bau urin yang pekat, nyeri perut, mengompol (enuresis), dan gangguan
berkemih seperti disuria, urgensi, dan frekuensi kemih meningkat.
Pada anak usia di atas 6 tahun dapat menunjukkan gejala ISK berupa demam,
nyeri perut, nyeri pinggang, muntah, gangguan berkemih, inkontinensia, enuresis dan
urin yang berbau pekat.
Pada anak perempuan yang pernah mengalami pielonefritis saat masih bayi
atau masa kanak – kanak, risiko refluks vesikoureteral persisten meningkat, biasanya
akan terkena ISK–sistitis berulang saat usia mereka lebih tua. Mereka juga cenderung
terkena ISK berulang pada saat kehamilan (Fisher, 2016). 

Pemeriksaan Fisik 

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien nampak tidak nyaman dan dapat
disertai dengan demam terutama pada ISK bagian atas.  Hampir pada semua penderita
wanita dengan ISK ditemukan adanya nyeri tekan suprapubik.  Nyeri pada pinggang
dan sudut kostofrenikus dapat menunjukkan adanya pielonefritis.
Pada pria dengan gangguan genitourinari diperlukan pemeriksaan yang
menyeluruh yang dengan perhatian khusus terhadap tanda vital, ginjal, kandung
kemih, prostat, dan genitalia eksterna.  Pemeriksaan genitalia eksterna perlu
dilakukan dengan teliti. Penis harus diperika adanya lesi atau ulser, meatus eksterna
diperiksa adanya eritema atau cairan yang keluar (discharge). Colok dubur diperlukan
untuk menilai kondisi prostat yang dapat menjadi faktor risiko dari ISK. Prostat yang
teraba membesar dapat dicurigai sebagai BPH yang dapat memberikan gejala lower
urinary tract symptoms (LUTS), sedangkan nyeri tekan prostat lebih mengarah ke
prostatitis.
Pada neonatus dan bayi, sulit ditemukan pemeriksaan fisik yang khas dari
ISK. Pada anak usia lebih tua dengan ISK dapat ditemukan pemeriksaan fisik seperti
rasa nyeri abdomen, suprapubik pada palpasi, kandung kemih teraba, nyeri ketuk
sudut kostofrenikus, urin menetes, pancaran lemah, dan diperlukan usaha lebih untuk
berkemih (Brusch, 2016).

Diagnosis Banding

Diagnosis banding infeksi saluran kemih (ISK) memiliki diagnosis banding


yang berbeda-beda tergantung dengan usia dan jenis kelamin pasien.
ISK simpleks pada wanita memiliki diagnosis banding:
 Pielonefritis akut
 Kanker kandung kemih
 Infeksi genitourinari klamidia
 Herpes simpleks
 Penyakit radang paggula (PID Pelvic Inflammatory Disease) 
 Urethritis
 Vaginitis
ISK pada pria memiliki diagnosis banding:
 Gastrointestinal: Pankreatitis akut, Apendisitis
 Respiratori: Pneumonia bakterial
 Urinari: BPH, infeksi genitourinari klamidia, Prostatitis bakterial, tuberkulosis
sistem genitourinari, diversi urin dan tumor kandung kemih, obstruksi saluran
kemih
ISK pada anak memiliki diagnosis banding:
 Demam pada neonatus dan anak usia muda
 Nefrolitiasis
 Apendisitis pediatrik
 Gastroenteritis pediatrik
 Infeksi cacing kremi (pinworms)
 Obstruksi urin
 Vaginitis
 Vulvovaginitis

Pemeriksaan Laboratorium 

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa ISK adalah


urinalisis berupa tes dipstick urin, dan kultur urin.
Pada tes dipstik urin, hasil positif dari nitrit menunjukkan kecurigaan terhadap
ISK dikarenakan Enterobactericeae merupakan grup mikroorganisme yang dapat
merubah nitrat menjadi nitrit. Hal tersebut dapat terjadi jika urin telah berada dalam
kandung kemih minimal 4 jam. Jumlah nitrit harus cukup pada urin untuk mencapai
ambang batas pemerikaan.
Hasil positif palsu dari nitrit dapat muncul akibat penundaan pemeriksaan
yang mengakibatkan perkembang biakan bakteri di luar saluran kemih. Hasil negatif
palsu dari nitrit dapat diakibatkan oleh diet vegetarian yang menghasilkan nitrat
dalam jumlah cukup banyak, terapi antibiotik, organisme penyebab tidak mereduksi
nitrat, kadar asam askorbat yang tinggi, urin tidak dalam kandung kemih < 4-6 jam
(pada penderita dengan frekuensi urin meningkat), atau berat jenis urin tinggi.
Pemeriksaan leukosit esterase medeteksi enzim yang terdapat pada sel
leukosit PMN di urin, baik sel yang masih utuh ataupun sudah lisis, sehingga hasil
leukosit esterase yang positif juga menunjukkan adanya ISK.
Pemeriksaan baku emas untuk ISK adalah kultur urin. Namun sayangnya,
hasil kultur baru tersedia 24 jam setelahnya, pengidentifikasian mikroorganisme
tertentu juga memerlukan tambahan waktu 24 jam. Hasil jumlah koloni yang
mencapai ambang batas > 100 pada wanita mengidentifikasikan sistitis,sedangkan
pada pria mencapai > 1000.
Spesimen urin sering terkomimasi oleh flora norma dari ureral distal,vagina,
atau kulit. Kontaminasi ini dapat tumbuh.
Pada anak-anak, kriteria ISK dapat ditegakkan berdasarkan penemuan bakteri
pada spesimen urin dengan ketentuan sebagai berikut:
 Spesimen urin dari pungsi kandung kemih: setidaknya 10 koloni identical
 Spesimen urin dari kateterisasi kandung kemih: ≥1,000-50,000 cfu/mL
 Spesimen urin dari midstream urin: ≥10.000 cfu/mL dengan gejala  atau
≥100.000 cfu/mL tanpa gejala
Definisi klasik dari ASB adalah ditemukannya >100.000 cfu/mL organisme
uropatogen tunggal, namun temuan terbaru menyatakan nilai 10.000 cfu/ml dari
spesimen urin yang bersih adalah ambang batas (Roberts, 2011). 

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi seperti USG, CT Scan dan MRI biasanya dilakukan


pada pasien dengan ISK berulang dengan kecurigaan adanya anomali dari saluran
kemih. CT scan juga dapat dilakukan untuk mengetahui beberapa komplikasi dari
ISK seperti pielonefritis emfisematus, dan juga etiologi seperti adanya batu ginjal
(Staff, 2016).

Klasifikasi 

Klasifikasi ISK secara garis besar dibagi menjadi ISK simpleks


(uncomplicated) dan ISK rumit (complicated). ISK simpleks diartikan sebagai sistitis
pada wanita yang tidak hamil, tidak memiliki gangguan sistem imun, tidak memiliki
kelainan anatomi dan fungsi dari saluran kemih, dan tidak menunjukkan gejala
adanya invasi jaringan atau infeksi sistemik. Semua jenis ISK yang tidak termasuk ke
dalam ISK simple digolongkan sebagai ISK rumit / dengan penyulit.
ISK dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi terjadinya infeksi menjadi ISK
bagian bawah dan ISK bagian atas. ISK bagian bawah terdiri dari sistitis (infeksi pada
kandung kemih) dan urethritis (infeksi pada uretra). ISK bagian atas terdiri dari
ureteritis (ureter), pyelitis (tubulus kolektivus bagian atas), pyelonefritis (parenkim
ginjal).
ISK dapat timbul dengan gejala ataupun tanpa gejala yang biasa disebut
dengan Asymptomatic Bacteriuria (ASB). Keduanya sama – sama menunjukkan
adanya bakteri di dalam saluran kemih, biasa disertai dengan kemunculan sel darah
putih dan sitokin inflamasi dalam urin, namun ASB tidak menunjukkan gejala apapun
dan biasanya tidak memerlukan terapi.

European Association of Urology (EAU) membuat sebuah sistem klasifikasi ISK


berdasarkan presentasi klinis, tingkat keparahan, adanya faktor risiko / penyulit, dan
jenis patogen.

Tabel 1 Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

Presentasi Klinis Tingkat Keparahan Faktor risiko Patogen


UR: Urethritis 1: rendah, sistitis O : Tidak ada FR Spesies patogen
CY: Cystitis 2: PN, sedang R : ISK berulang

3: PN, E : Ekstra
PN: Pyelonephritis berat, established urogenital
Kerentanan terhadap
US: Urosepsis 4: US, SIRS N : Ganguan ginjal
antibiotik :
MA: Male genital a. rentan
glands 5: US, disfungsi organ U : Urologikal
b. kurang rentan
6: Gagal organ C : Kateter c. multi resisten
Contoh interpretasi tabel:
 CY-1R: E.coli (a) : Sistitis simple yang berulang, disebabkan E.coli yang
sensitif terhadap pengobatan antibiotik standar
 PN-3U: K Pneumonia (b) : Pielonefritis berat (disertai demam tinggi dan
muntah), dengan faktor risiko / penyulit dari penyakit urologi (contoh : batu
saluran kemih) disebabkan oleh Klebsiella sp., dengan profil resistensi yang
sedang terhadap antibiotik.

EAU menjelaskan lebih lanjut tentang pembagian ISK berdasarkan faktor risikonya
melalui tabel di bawah ini.

Tabel 2 Klasifikasi ISK Berdasarkan Penjabaran ORENUC

Tip
e Kategori faktor risiko Contoh faktor risiko

NO known/associated risk factor (tidak terdapat


O penyulit) wanita premenopause yang sehat

- perilaku seksual dan alat


kontrasepsi- kekurangan hormon
Recurrent UTI risk factor, but no risk of severe pada post menopause- tipe spesifik
outcome (faktor risiko ISK berulang tapi tidak terdapat dari golongan darah dengan antigen
R risiko akhir yang berat) tertentu-DM terkontrol

- kehamilan- jenis kelamin pria-


DM tidak terkontrol baik-
Extra-urogenital risk factor, with risk of more severe imunosupresi yang relevan*
outcome (faktor risiko di luar area urogenital dengan - penyakit jaringan penghubung*
E risiko akhir yang lebih berat) - neonatus prematur

Nephropathic disease, with risk of more severe


outcome (penyakit nefropati dengan risiko hasil yang - gangguan ginjal yang
N lebih berat) berhubungan*- nefropati polikistik
U Urological risk factor with risk of more severe - obstruksi ureter (batu, striktur)-
outcome, which can be resolve during pemasangan kateter urin sementara-
therapy (penyakit nefropati dengan risiko hasil yang ASB**- disfungsi kandung kemih
lebih berat namun dapat diperbaiki selama terapi) neurogenik terkontrol
- operasi

Permanent urinary Catheter and non resolvable - pemakaian kateter urin jangka


urological risk factor, with risk of more severe lama- obstruksi urin yang tidak
outcome (Kateter urin permanen dengan faktor risiko dapat diperbaiki- disfungsi kandung
urologi yang tidak dapat disembuhkan, risiko hasil kemih neurogenik yang tidak
C yang lebih berat) terkontrol dengan baik
*= tidak didefinisikan dengan baik; **= biasanya sebagai kombinasi dengan faktor
risiko lain (kehamilan, intervensi urologi)

Sedikit berbeda dengan definisi secara garis besar, EAU mendefinisikan ISK
simpleks sebagai sistitis akut dan pielonefritis akut pada individu sehat, baik yang
terjadi secara sporadik atau rekuren, yang terdiri dari faktor risiko O, R, dan sebagian
E jika mengacu pada klasifikasi ORENUC. Sedangkan ISK rumit diartikan sebagai
ISK pada individu dengan kelainan atau gangguan pada sistem urogenital, atau
adanya sebuah penyakit yang mendasarinya, yang terdiri dari faktor risiko N, U, C
pada klasifikasi ORENUC. ISK rumit mempunyai risiko hasil atau prognosis yang
lebih buruk dibandingkan ISK simpleks.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK) berbeda-beda pada wanita, pria,


dan anak-anak karena masing-masing memiliki kecenderungan etiopatogenesis yang
berbeda sehingga memerlukan terapi yang berbeda pula.
Tujuan penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK) adalah eradikasi infeksi,
mencegah komplikasi dan menghilangkan gejala pada pasien. Pengobatan dini
direkomendasikan untuk mengurangi risiko progresi penyakit ke arah yang lebih
berat.  Penelitian menunjukkan bahwa hasil ISK yang mendapat terapi antibiotik jauh
lebih baik dibandingkan terapi plasebo.  Pilihan dari penatalaksanaan ISK bergantung
pada jenis ISK tersebut, simpleks atau rumit.
Terapi antibiotik yang adekuat untuk ISK sangatlah penting untuk mencegah
kegagalan terapi dan peningkatan dari resistensi antibiotik.  Pemilihan antibiotik
harus berdasarkan dari: spektrum dan pola kerentanan uropatogen, kemanjuran pada
indikasi tertentu pada studi klinikal, harga, ketersediaan obat, tolerabilitas dan efek
yang merugikan (Wagenlehner, 2011).

Terapi Sistitis

Pada sistitis simpleks (ISK bagian bawah) respon sangat baik terhadap terapi
antibiotik oral. Berikut adalah beberapa regimen terapi yang efektif untuk sistitis
simple yang akut pada wanita (Gupta, 2015).

Tabel 3 Pilihan Antibiotik Pada Sistitis

Efikasi Efikasi
Obat dan dosis klinis, % bakterial, % Efek samping

Nitrofurantoin, 2x100 mg,


84-95 86-92 Mual, sakit kepala
selama 5-7 hari

TMP-SMX, 2x160-800 mg, Ruam, urtikaria, mual, muntah,


90-100 91-100 gangguan hematologi
selama 3 hari

Fosfomycin, 3g dosis tunggal,


70-91 78-83 Diare, mual, sakit kepala
serbuk

Pivmecillinam, 2x400mg, selama
55-82 74-84 Mual, muntah, diare
3-7 hari
Golongan Fluoroquinolone, Mual, muntah, diare, sakit
selama 3 hari 85-95 81-98 kepala, mengantuk, insomnia

Golongan β-Lactams, selama 5- Diare, mual, muntah, rash,


79-98 74-98 urtikaria
7hari
Terapi Pielonefritis 

Pilihan regimen terapi harus mampu mengeradikasi organisme kausatif dan


mampu mencapai level terapi dalam darah secara cepat. Golongan Fluoroquinolone
dikontraindikasikan terhadap ibu hamil (Gupta, 2015).

Tabel 4 Terapi Pielonefritis

Terapi oral pada kasus ringan – sedang pielonefritis simple

Antibiotik Dosis harian Lama terapi

Ciprofloxacin 500-750 mg 2x1 7-10 hari

Levofloxacin 500 mg 1x1 7-10 hari

Levofloxacin 750 mg 1x1 5 hari

Terapi alternatif (efektif secara klinis bukan mikrobiologi)

Cefpodoxime proxetil 200 mg 2x1 10 hari

Ceftibuten 400 mg 1x1 10 hari

Diberikan hanya bila patogen diketahui rentan terhadap antibiotik berikut (Bukan terapi
empiris)

Kotrimoksazol 160/800 mg 2x1 14 hari

Co-amoxiclav 0.5/0.125 gr 3x1 14 hari

Terapi ISK pada kehamilan 


Terapi lini pertama ISK pada kehamilan adalah:
 Nitrofurantoin monohydrate/macrocrystals 100 mg 2 kali sehari peroral
selama 5-7 hari
 Amoxicillin 500 mg 2 kali sehari peroral, atau 3 kali 250 mg oral) selama 5-7
hari
 Amoxicillin-clavulanate 500/125 mg 2 kali sehari peroral selama 3-7 hari
250/125 mg 3 kali sehari peroral selama 5-7 hari
 Cephalexin 500 mg 2 kali sehari peroral selama 3-7 hari
Sulfonamid harus dihindari pemakaiannya pada trimester awal dan pada
menjelang kelahiran dikarenakan efek teratogenik dan kemungkinan
kernicterus.  Fluoroquinolone (ciprofloxacin, levofloxacin, norfloxacin) dihindari
dikarenakan kemungkinan efek pada pertumbuhan kartilago fetus (Johnson, 2016).   

Terapi ISK pada anak

Terapi ISK pada anak memiliki empat tujuan utama;


1. mengeliminasi gejala dan bakteriuria pada episode akut,
2. mencegah skar ginjal,
3. mencegah ISK berulang,
4. megoreksi lesi urologi.
Anak dengan pielonefritis dapat diobati dengan antibiotik oral ataupun dengan
terapi antibiotik IV selama 2-4 hari kemudian diikuti dengan terapi antibiotik oral.
Jika bakteri gram positif dicurigai sebagai penyebab, maka terapi yang digunakan
adalah aminoglikosid yang dikombinasikan dengan ampisilin dan
amoxicillin/clavulanate.
Terapi antibiotik oral yang dapat diberikan berupa; trimetoprim (TMP),
trimetoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX), sefalosporin, amoxicillin klavulanat
dengan lama pemberian 5-7 hari pada ISK simpleks.
Untuk terapi parenteral pada anak dengan pielonefritis atau pada kasus berat
yang tidak memiliki alergi sefalosporin dapat diberikan ceftriaxone dengan dosis
75mg/kgbb IV/IM tiap 12-24 jam sekali, namun pada pasien dengan alergi
sefalosporin maka dapat diberikan gentamicin (2.5 mg/kgbb IV/IM dosis tunggal).
Tatalaksana yang sesuai, pemeriksaan radiologi untuk menilai adanya
kelainan anatomi di saluran kemih, dan follow-up dapat mencegah sekuele dalam
waktu yang lama terutama pada pasien dengan kasus yang berat, dan dapat mencegah
infeksi berulang.
Pencegahan pada anak yang berisiko tinggi terkena pielonefritis dapat
memakai nitrofurantoin, TMP, sefalexin, dan sefaklor. Penggunaan kloramfenikol,
sulfonamid, tetrasiklins, rifampisin, amfoterisin B dan kuinolon pada anak harus
dihindari (Strohmeier, 2014). 

Terapi ISK Rumit (Dengan Penyulit) 

ISK rumit/ complicated banyak terjadi pada sekumpulan individu dengan


berbagai kelainan struktural dan fungsional pada saluran kemih. Berbagai kelainan
dan individu juga memiliki kerentanan terhadap antibiotik yang berbeda pula
sehingga terapi untuk ISK rumit harus disesuaikan terhadap hasil kultur urin.
 Xanthogranulomatous pyelonephritis ditatalaksana dengan nefrektomi
 Pada emphysematous pyelonephritis dapat dilakukan drainase perkutan
sebagai inisial terapi, selanjutnya bila diperlukan dapat dilakukan nefrektomi
 Nekrosis papilar dengan obstruksi memerlukan intervensi untuk
membebaskan obstruksi dan menyelamatkan fungsi renal

Terapi Urosepsis 

Pasien dengan urosepsis harus didiagnosa pada tahap awal, terutama pada
kasus dengan ISK rumit. SIRS (systemic inflammatory response syndrome) dapat
menjadi penanda awal dari kaskade MOF (multi organ failure).
Terapi dari urosepsis merupakan kombinasi dari perawatan bantuan hidup
yang adekuat, terapi antibiotik yang tepat dan sesuai, terapi
tambahan (simpatomimetis, hidrokortison, kontrol gula darah), dan penanganan
optimal dari gangguan saluran kemih.
Terapi inisial anitbiotik empiris harus memiliki spektrum luas dan selanjutnya
disesuaikan dengan hasil kultur. Antibiotik harus diberikan tidak lebih dari satu jam
setelah asumsi klinis dari sepsis.  Antibiotik yang dapat menjadi pilihan antara lain
adalah Fluoroquinolone (ciprofloxacin, levofloxacin, norfloxacin), aminopenisilin,
sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosid dan kotrimoksazol (jika terbukti sensitif),
dengan lama pemberian 7-14 hari atau sampai 3-5 hari setelah penurunan demam atau
eliminasi dari faktor penyulitnya.
Pada <3 hari dari kegagalan terapi inisial maka dapat diberikan pilihan
berikut; fluoroquinolone, piperasilin, sefalosporin generasi 3b,
carbapenem+aminoglikosid, flukonazol, dan amfoterisin B.  Pertimbangkan
kombinasi dua antibitotik pada infeksi yang berat (Grabe, 2015). 

7. Komplikasi

Infeksi saluran kemih (ISK) simpleks bagian bawah jarang menyebabkan


komplikasi, ketika diobati dengan tepat dan segera. Tapi jika tidak diobati dengan
benar, ISK dapat menjadi suatu infeksi yang serius seperti urosepsis. ISK berulang
dapat terjadi terutama pada wanita yang pernah mengalami ISK lebih dari tiga kali.
ISK pada wanita hamil dapat menyebabkan risiko bayi lahir prematur atau dengan
berat badan di bawah normal. Striktur uretra dapat terjadi pada pria dengan urethritis
yang sebelumnya mengalami infeksi urethritis gonokokal. Sepsis dapat terjadi pada
infeksi asending hingga ke ginjal yang tidak ditangani dengan benar.
Abses ginjal atau infeksi piogenik pada parenkim ginjal dapat terjadi biasanya
akibat bakteri gram negatif dan biasa terjadi pada ISK rumit dengan faktor risiko
seperti DM, disfungsi kandung kemih neurogenik, dan kehamilan. Gejala mungkin
tidak spesifik berupa demam, menggigil, nyeri pada pinggang atau perut.
Pielonefritis emfisematus dapat terjadi terutama pada pasien ISK dengan
gangguan kekebalan sistem imun dan dengan faktor risiko diabetes melitus
dimana E. coli memproduksi karbon dioksida dari fermentasi gula.
Xanthogranulomatous pyelonephritis (XGP) merupakan tahap akhir obstruksi
ginjal dan ISK, XGP sangat jarang terjadi. Sering disebabkan oleh Proteus sp. atau
organisme yang berhubungan dengan pembentukan batu saluran kemih dan inflamasi
kronis. Tatalaksana dengan operasi dan membuang seluruh jaringan ginjal yang
terlibat. Kerusakan ginjal permanen dapat terjadi terutama pada pielonefritis akut atau
kronik yang tidak diobati (BMJ, 2016). 

8. Prognosis

Prognosis pada infeksi saluran kemih (ISK) simple terbilang sangat baik,
dengan pengobatan antibiotik yang tepat maka penderita dapat sembuh sempurna.
Pada beberapa wanita dapat mengalami episode ISK berulang, hal tersebut
dihubungkan dengan perilaku seksual, penggunaan spermisida, wanita dengan
antigen spesifik pada golongan darah tertentu. Pada ISK rumit dengan diagnosis dan
tatalaksana yang tepat, prognosis terbilang cukup baik.  Kerusakan dari fungsi ginjal
jarang namun mungkin saja terjadi sebagai bagian dari komplikasi (BMJ, 2016).

9. Edukasi

Edukasi dan promosi kesehatan infeksi saluran kemih (ISK) utamanya adalah
mengenai pengobatan dan pencegahan rekurensi. Tiga faktor risiko utama dari ISK
berulang pada wanita adalah frekuensi berhubungan seksual, penggunaan spermisida
dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), dan kehilangan efek estrogen pada
struktur vagina dan periuretra.  Modifikasi perilaku yang berhubungan dengan faktor
risiko utama tersebut dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan ISK.
Pada Individu yang aktif melakukan hubungan seksual harus dibiasakan
langsung berkemih setelah berhubungan seksual. Hal ini sebagai upaya menurunkan
risiko masuknya bakteri ke kandung kemih yang berhubungan dengan koitus. Pada
pria, penggunaan kodnom pada saat berhubungan seksual juga menurunkan risiko
ISK.
Sirkumsisi harus dipertimbangkan pada anak laki-laki dengan riwayat ISK berulang
dan pada individu dengan refluks vesikoureter tingkat tinggi (tingkat 3 atau lebih)
untuk mencegah terjadinya ISK.  Namun pada anak laki-laki yang normal dan tanpa
adanya faktor penyulit, berbagai penelitian menunjukkan tidak adanya keuntungan
yang signifikan dari sirkumsisi untuk mencegah ISK.
DAFTAR PUSTAKA

BMJ. (2016). Urinary tract infections in women. Available from BMJ:


http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/77.html
Brusch, J. L. (2016). Cystitis in Females. (M. S. Bronze, Editor). Available from Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/233101-overview#a5
Fisher, D. J. (2016). Pediatric Urinary Tract Infection. Available from Medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview
Flores-mireles, A. L., Walker, J. N., Caparon, M., & Hultgren, S. J. (2015). Urinary Tract
Infections: Epidemiology, Mechanisms of Infection and Treatment Options. Nature
Reviews Microbiology , 13 (5), 269-284.
Geerlings, S. (2016). Clinical Presentations and Epidemiology of Urinary Tract Infections.
Microbiol Spec , 04 (5). Available from:
http://www.asmscience.org/content/journal/microbiolspec/10.1128/microbiolspec.UTI-
0002-2012
Grabe, M., Bartoletti, R., Johansen, T. B., & et al. (2015). Guidelines on Urological
Infections. European Association of Urology. Available from Uroweb - EAU:
https://uroweb.org/wp-content/uploads/19-Urological-infections_LR2.pdf
Gupta, K., & Trautner, B. W. (2015). Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and
Prostatitis. In D. L. Kasper, S. L. Hauser, J. L. Jameson, A. S. Fauci, D. L. Longo, & J.
Loscalzo, Harrison's Principles of Internal Medicine (19th ed., pp. 861-868). United States
of America: McGraw-Hill Education.
Johnson, E. K. (2016). Urinary Tract Infections in Pregnancy Treatment & Management.
Available from Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/452604-treatment
Roberts, K. (2011). Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics ,
128 (3), 595-610.
Ronald, A. (2003). The Etiology of Urinary Tract Infection: Traditional and Emerging
Pathogens. Dis Mon , 49 (2), 71-82.
Sobieszczyk , M. E. (2009). Urinary Tract Infections. Available from Columbia Edu:
http://www.columbia.edu/itc/hs/medical/pathophys/id/2009/utiNotes.pdf
Staff, M. C. (2016). Urinary Tract Infection. Available from Mayo Clinic:
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/urinary-tract-
infection/basics/complications/con-20037892
Strohmeier, Y., & Hodson, E. (2014). Antibiotics for acute pyelonephritis in children.
Cochrane Database System Rev , 7. Available from PubMed:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25066627
Tan, C. W., & Chlebicki, M. P. (2016). Urinary tract infections in adults. Singapore Med J ,
57 (9), 485-490.
Wagenlehner FM, et al. (2011). Uncomplicated urinary tract infections. Dtsch Arztebl Int,
108 (24), 415-23.
Wang, A., Nizran, P., Malone, M. A., & Riley, T. (2013). Urinary Tract Infections. (J. J.
Heidelbaugh, Ed.) Primary Care: Clinics in Office Practice , 40 (3), 687-706.

Anda mungkin juga menyukai