Anda di halaman 1dari 31

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

STEMI INFERIOR POST TROMBOLITIK DENGAN HIPERGLIKEMI


DAN BELLS PALSY

LAPORAN KASUS

Rahmad Ari Wibowo 1610070100059


Khalvia Khairin 1610070100133

Pembimbing

dr. Ade Ariadi, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


KEPANITERAAN KLINIK SENIIOR BAGIAN ANESTESIOLOGI
SOLOK
MARET 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 2

BAB II ILUSTRASI KASUS....................................................................... 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 13

3.1 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut........................................................... 13

3.2 Diagnosis.................................................................................................. 13

3.3 Tatalaksana............................................................................................... 16

3.4 Komplikasi............................................................................................... 22

3.5 Prognosis.................................................................................................. 23

BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 25

BAB V KESIMPULAN................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 30
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Koroner Akut merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia,

World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 melaporkan penyakit

kardiovaskuler menyebabkan 17,5 juta kematian atau sekitar 31% dari

keseluruhan kematian secara global dan yang diakibatkan sindrom koroner akut

sebesar 7,4 juta. Penyakit ini diperkirakan akan mencapai 23,3 juta kematian pada

tahun 2030.1

Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan

ketidaknyamanan dada, nyeri dada (chest pain), atau gejala lain yang disebabkan

oleh kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium). Lebih dari delapan juta

pasien per tahun datang dengan keluhan nyeri dada atau gejala penyerta lainnya

yang berhubungan dengan iskemik miokardial di departemen emergensi yang ada

di Amerika Serikat. Mekanisme terjadinya SKA disebabkan oleh proses

pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh

adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi,

trombosis, vasokonstriksi, dan mikroembolisasi dengan manifestasi dapat berupa

angina pektoris tidak stabil (APTS) atau unstable angina (UA), Non-ST elevation

myocardial infarction (NSTEMI), dan ST elevation myocardial infarction

(STEMI).2

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu manifestasi klinis

Penyakit Jantung Koroner (PJK) selain Angina Pektoris Stabil (Stable Angina).

Namun SKA memiliki prognosis yang lebih buruk dibanding Angina Pektoris
Stabil karena bersifat progresif dan pada perjalanan penyakitnya sering terjadi

perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak stabil atau

akut serta paling sering mengakibatkan kematian.2


BAB 2

Ilustrasi Kasus

Seorang pasien laki-laki usia 58 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri

dada sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan pasien saat

beraktivitas dan disertai keringat dingin. Pasien tidak mengeluhkan sesak, nyeri

ulu hati tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, batuk tidak ada, dan demam

tidak ada. Kesadaran pasien saat masuk CMC dengan GCS 15. Pasien memiliki

riwayat bells palsy sejak 9 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi ada, riwayat stroke

ada, riwayat DM tidak ada, riwayat penyakit jantung tidak ada. Riwayat obat:

acyclovir, mecobalamin, methilprednisolon.

Pasien direncanakan untuk pemeriksaan darah rutin, X-Ray, dan cek elektrolit.

Hari I/ 02-03-2021 , 16.18 WIB DI IGD

Subjektif : Dada terasa berat ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit

Keluhan dirasakan saat beraktivitas dan disertai keringat dingin

Objektif :

- Status generalis :

Kes: CMC, GCS E4V5M6

TD : 176/103 mmhg

HR : 57 x/i

RR : 20 x/I

T : 36,5 ℃
- Pemeriksaan fisik :

- Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik

- Jantung : Irama reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada

- Paru : Vesikuler, Ronkhi tidak ada, Wheezing tidak ada

- Abdomen : Nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas tidak ada, bising usus

(+)

- Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

- Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan


Hematologi
Hematologi Lengkap
Hb 14.1 g/dl 14.0-17.4
Eritrosit 9.94 106/mm3 4.5-5.5
Hematokrit (L) 38.4 % 42-52
MCV (L) 77.7 fL 84-96
MCH 28.5 pg/cell 28-34
MCHC (H) 36.7 g/dl 32-36
RDW-CV 14.0 % 11.5-14.5
Leukosit (H) 13.1 103/mm3 5.0-10.0
Trombosit (L) 139 103/mm3 140-400
Basofil 0% 0-1
Eosinofil (L) 0 % 1-3
Neutrofil 70 % 50-70
Limfosit 23 % 20-40
Monosit 7% 2-8
ALC (absolute 3013 /µL 1500-4000
lomfosit count)
Pemeriksaan Hasil Rujukan
Kimia Klinik
Glukosa darah (H) 298 mg/dL <200
Ureum 43 mg/dL 20-50
Kreatinin 1.08 mg/dL 0,5-1.5
Kalsium 9.23 mg/dL 8.8-10.4
Elektrolit Serum (Na-
K-CL)
Natrium (Na) 140.4 mEq/L 135-145
Kalium (K) 4.1 mEq/L 3.5-5.5
Clorida (CL) 106.1 mEq/L 9-108
Troponin I < 0.50 ng/mL < 0.50
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
IMUNOLOGI
Rapid test antibodi: Non-Reaktif Non-Reaktif
Anti SARS-CoV-2

EKG:
Ro Thorax :

- Trakea ditengah

- Jantung tidak membesar

- Hilus terselubung kanan dan kiri

- Corakan bronkovaskuler kiri dan kanan tidak meningkat

- Tidak tampak infiltrat di apeks paru

- Sinus kostofrenikus kiri dan kanan lancip

Assessment: STEMI inferior dengan hiperglikemi dan bells palsy

Planning :

Terapi :

• IVFD RL 500cc 12 jam/kolf

• Loading Criticall ILL insulin

• Terpasang O2 nasal canul 2-3 Liter

• ISDN sublingual 5mg


• Loading aspilet 1x160 mg dan CPG 1x300 mg

• Simvastatin 1x40 mg

• Nitral 1x500 mcg

Rencana Lanjutan:

• Trombolitik

• Pasien dipindahkan ke ruang CVCU untuk perawatan lebih lanjut pada

pukul 19.30 WIB

Hasil pemeriksaan pasien saat di pindahkan ke CVCU pada tanggal 02-03-

2021 pukul 19.30 WIB

Subjektif : Pasien di pindahkan ke CVCU dalam keadaan sadar dan nyeri pada

bagian dada rasa terhimpit disertai keringat dingin.

Objektif :

- Status generalis :

- Kesadaran : CMC, GCS : E4M6V5


- TD : 158/88 mmHg
- HR : 61 x/menit
- RR : 16 x/menit
- T : 36,5 ℃
- SPO2 : 98%
- MAP : 115

- Pemeriksaan fisik :

- Mata : konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik

- Jantung : irama reguler, murmur (-), s3 gallop (-)

- Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

- Abdomen : supel, BU (+), nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)


- Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik

Gula darah sewaktu:

• Pukul 20.00 : 166 mg/dL

• Pukul 21.00 : 157 mg/dL

• Pukul 22.00 : 176 mg/dL

• Pukul 23.00 : 141 mg/dL

• Pukul 00.00 : 135 mg/dL

• Pukul 01.00 : 113 mg/dL

EKG:

Assessment: STEMI inferior dengan hiperglikemi dan bells palsy (dalam

pengobatan)

Planning :

Terapi :

• IVFD Dextrose 5% 12 jam/kolf

• Critical ILL

• Syrinx NTG

• Inj. Ranitidin 2x50 mg

• Inj. Lovenox 2x0,6 cc

• Novorapid 3x7 unit

• Levemir 1x8 unit

• Methilprednisolone 3x4 mg

• Acyclovir 3x400 mg

• Mecobalamin 3x500 mg

• Aspilet 1x80 mg
• CPG 1x75 mg

• Simvastatin 1x40 mg

• Nitral 2x500mcg

• Lactulose syrup 1x10 cc

• Diet : MCDJRG + AP

Selama 2 hari perawatan di ICU pasien stabil, dengan kronologis sebagai berikut:
Hari ke-I / 03 Maret 2021 , 07.00 Hari ke-II / 04 Maret 2021,
WIB di CVCU 07.00 WIB di CVCU
Subjektif Pasien mengatakan nyeri dada Pasien mengatakan nyeri dada
berkurang sudah berkurang
Objektif Status generalisata Status generalis
Keadaan umum : sedang Keadaan umum : sedang
Kesadaran : CMC, GCS Kesadaran : CMC, GCS
E4V6M5 E4V6M5
TD : 119/73 mmhg TD : 115/71 mmhg
HR : 45 x/i HR : 51 x/i
RR : 15 x/I, RR : 12 x/I,
T : 36,6 ℃ T : 36 ℃
SPO2 : 98 % SPO2 : 97 %
Pemeriksaan fisik MAP : 89
Mata : konjungtiva tidak anemis , Pemeriksaan fisik
sklera tidak ikterik Mata : konjungtiva
Jantung : irama reguler, murmur (-), tidak anemis , sklera tidak
s3 gallop (-) ikterik
Paru : vesikuler, rhonki (-/-), Jantung : irama reguler,
wheezing (-/-) murmur (-), s3 gallop (-)
Abdomen : supel, Nyeri tekan (-), Paru : vesikuler,
Nyeri lepas (-), BU (+) rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 Abdomen : supel, Nyeri
detik tekan (-), Nyeri lepas (-), BU
(+)
Ekstremitas : akral hangat,
CRT <2 detik
Assessment STEMI inferior post trombolitik + STEMI inferior post trombolitik
hiperglikemi + bells palsy + Sinus bradikardi
Planning • Terpasang monitor • Terpasang monitor
• Terpasang kondom kateter • Terpasang kondom kateter
• Terpasang nasal kanul 3L/menit • Terpasang nasal kanul
• IVFD RL 500 cc /12 jam 3L/menit
• Inj. Ranitidin 2x50 mg • IVFD RL 500 cc /12 jam
• Inj. Lovenox 2x0,6 cc • Inj. Ranitidine 2x50 mg
• Novorapid 3x7 unit • H3 inj. Lovenox 2x0,6 cc
• Levemir 1x8 unit • Syr. Dopamin 5
• E2 Ceftriaxone 1x2 gr mcg/kgBB/menit
• Syringe dopamine 5 • E2 ceftriaxon 1x2 gr
mcg/kgBB/menit • Novorapid 3x7 IU
• Methylprednisolone 3x4 mg • Levemir 1x8 IU
• Acyclovir 3x400 mg • Methlprednisolone 3x4 mg
• Mecobalamin 3x500 mg • Acyclovir 3x400 mg
• Aspilet 1x80 mg • Mecobalamin 3x500 mg
• CPG 1x75 mg • Aspilet 1x80 mg
• Simvastatin 1x40 mg • CPG 1x75 mg
• Nitral 2x500 mcg • Simvastatin 1x40 mg
• Lactulax syrup 1x10 cc • Nitral 2x500 mcg
• Diet : MCDJRGDD • Lactulax syrup 1x10 cc
• AP • Diet : MSDJRGDD
• AP
• Pasien dipindahkan ke
bangsal jantung pada pukul
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram

(EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi

menjadi

1. Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI)

2. ST elevation myocardial infarction (STEMI)

3. Angina pektoris tidak stabil (APTS) atau unstable angina (UA)

ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi


total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi

untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara

medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi

koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina

pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang

bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan

biomarka jantung.3

3.2 Diagnosis

3.2.1 Anamnesis

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal

(angina tipikal) atau angina atipikal (angina ekuivalen). Nyeri dada tipikal merupakan

gejala pasien Infark Miokard Akut (IMA). Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: 3,4

a. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial

b. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, rasa tertindih benda berat,

rasa tertusuk, rasa diperas dan dipelintir.

c. Penjalaran: ke lengan kiri, ke leher, rahang bawah, gigi, punggung, perut dan

dapat juga ke lengan kanan.

d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat

e. Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin.

f. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas

dan lemas.

Selain anamnesis nyeri dada yang perlu ditanyakan adalah faktor resiko

predisposisi aterosklerosis dan penyakit arteri koroner, yakni merokok,

dislipidemia, hipertensi, diabetes, dan riwayat keluarga penyakit arteri koroner

sebelumnya.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus

iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis

banding. Regurgitasi katup mitral akut, bunyi jantung tiga (S3), hipotensi,

diaforesis, dan ronkhi basah halus dapat meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.

Bunyi jantung S3 dapat ditemukan akibat disfungsi sistolik venrtikel kiri

menyebakan overload volume cairan. Bising sistolik dapat terjadi akibat

komplikasi mekanis. Ronkhi basah dapat terdengar jika terjadi edema paru.3

3.2.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram


Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien dengan keluhan nyeri

dada atau yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan EKG harus dilakukan segera

dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak

diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan

kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12

sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi

perkembangan elevasi segmen ST. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien

dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu normal, non-diagnostik, left bundle

branch block (LBBB) baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit)

maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpat inversi

gelombang ST. Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2

sadapan yang bersebelahan.3,4

3.2.4 Pemeriksaan Biomarka Jantung

Creatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka

nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.

Troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Pada dasarnya troponin T dan troponin I

memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali

pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai


spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.3

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T

menunjukan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, sehingga

pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Tes yang negatif

pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan

diagnosis IMA. Kadar troponin pada pasien IMA meningkat didalam darah perifer

3-4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan

kadar troponin biasanya menghilang dalam 2-3 hari, namun bila terjadi nekrosis

luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.3

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan

CKMB. CKMB akan meningkat dalam waktu 4-6 jam, mencapai puncaknya pada

12 jam, dan menetap sampai 2 hari.3

3.2.5 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan yaitu tes darah rutin, gula

darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.

Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.3

3.3 Tatalaksana

3.3.1 Tatalaksana Awal

Tatalaksana awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin

dan Clopidogrel (MONACo), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

1. Tirah baring

2. Oksigen diindikasi pada hipoksemia (SaO2 <90% atau PaO2 < 60

mmHg)

3. Aspirin 160-320mg tablet tidak bersalut  absorpsi sublingual lebih


cepat

4. Penghambat reseptor adenosin disfosfat (ADP)

a. Ticagrelor. Dosis awal 180 mg, dilanjutkan 2x90 mg/hari. Tidak

disarankan untuk pasien STEMI yang direncanakan fibrinolitik.

b. Clopidogrel. Dosis awal 300 mg, dilanjutkan 75 mg/hari.

5. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk keluhan nyeri dada,

dapat diulang tiap 5 menit maksimal 3 kali pemberian, dan dilanjutkan

intravena jika masih tidak menunjukkan respon. Dalam keadaan NTG

tidak tersedia, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai. Nitrat tidak

diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau

>30mmHg dibawah nilai awal, bradikardia, takikardia tanpa gejala gagal

jantung, infark ventrikel kana, telah konsumsi fosfodiesterase, sidenafil

dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam.

6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi

pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.

3.3.2 Terapi Perfusi

Tujuan utama dari tatalaksana STEMI adalah terapi reperfusi segera untuk

mengembalikan aliran darah coroner ke jaringan miokard yang mengalami

iskemia. Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama dan

diagnosis STEMI harus tegak selambat lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba

untuk mendukung keberhasilan tatalaksana.

Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien STEMI dengan onset

dalam 12 jam dengan elevasi ST segmen yang menetap atau LBBB yang (terduga)

baru. Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi perfusi,
antara lain:

1. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting

luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam

menghancurkan trombus sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang

diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang

menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka

kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami

infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien

yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh

keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah

2-3 jam setelah gejala.

2. Risiko STEMI. Beberapa model telah dikembangkan yang membantu

dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi

mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan

syok kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.

3. Risiko perdarahan. Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko

perdarahan pada pasien. Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi

risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk

memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi

farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.

4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI. Adanya

fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat

dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian

menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika


composite end point kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke

dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark

miokard nonfatal berulang.

3.3.2.1 Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Primary PCI merupakan PCI emergensi dengan balon, stent atau alat

lainnya yang dikerjakan pada arteri yang infark tanpa terapi fibrinolitik

sebelumnya. Primary PCI adalah terapi reperfusi pilihan apabila dapat dilakukan

dalam waktu 120 menit dari onset dan pasien dengan resiko tinggi. Tidak

disarankan untuk melakukan PCI secara rutin pada arteri yang telah tersumbat

total lebih dari 24 jam pada pasien stabil tanpa gejala iskemia.

Pasien yang akan menjalani primary PCI akan diberikan farmakoterapi

periprosedural berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP disertai antikoagulan

intravena. Farmakoterapi periprosedural yang dapat diberikan antara lain :

1. Aspirin : dosis loading 150-300 mg per oral diikuti dosis rumatan 75-

100 mg/hari

2. Inhibitor reseptor ADP :

- Clopidogrel: dosis loading 600 mg per oral diikuti dosis rumatan 75

mg/hari

- Ticagrelor : dosis loading 180 mg peroral diikuti dosis rumatan 90

mg, 2x/hari

- Sediaan lain : Prasugrel, Abiciximab, Eptifibatide, tirofiban

3. Antikoagulan :

- UFH : bolus 70-100 IU/kg IV jika tidak diberikan inhibitor GP

IIb/IIIa, 50-70 IU/kg IV bolus jika diberikan inhibitor GP IIb/IIIa


- Enoxaparin : 0,5 mg/kg IV bolus

- Bivalirudin : 0,75 mg/kg IV bolus

3.3.2.2 Fibrinolitik

Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to

needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya

adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam

obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,

tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi

plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin. 5

Indikasi terapi fibrinolitik:5

Kelas I :

1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien

STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2

sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas

2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI

dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.

Kelas II a

1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien

STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan

infark miokard posterior.

2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien

STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala

iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2

sandapan prekordial yang berdampingan atau minimal 2 sandapan ekstremitas.


Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan

penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.

Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska

CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.

Tabel 1. Kontraindikasi Fibrinolitik

Absolute Relatif
1. Stroke hemoragik atau stroke 1. Transcient ischemic attack
yang penyebabnya belum dalam 6 bulan terakir
diketahui dengan awitan 2. Penggunaan antikoagulan oral
kapanpun 3. Kehamilan hingga 1 minggu
2. Stroke iskemis dalam 6 bulan post partum
terakhir 4. Hipertensi refrakter (tekanan
3. Kelainan sistem saraf sentral dan darah sistolik >180mmHg)
neoplasma 5. Penyakit hepar lanjut
4. Trauma/ pembedahan kepala 6. Endocarditis infektif
(dalam 1 bulan terakhir) 7. Ulkus peptikum aktif
5. Perdarahan gastrointestinal 8. Resusitasi traumatik
dalam 1 bulan terakhir
6. Gangguan perdarahan,
menstruasi
7. Diseksio aorta

Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka terapi

fibrinolitik sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis ditegakkan.

Setelah pemberian fibrinolitik, direkomendasikan agar pasien dirujuk ke rumah

sakit dengan fasilitas PCI untuk dilakukan PCI.

3.3.2.3 Coronary Artery Bypass Graft (CABG) Surgery


Pembedahan CABG emergensi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan

arteri infark yang paten, tapi tidak dapat dilakukan PCI secara anatomi, luas infark

yang besar, ataupun dengan syok kardiogenik. CABG lebih dipilih untuk

dilakukan. Pada pasien STEMI dengan gagal PCI atau oklusi coroner yang sulit

untuk dilakukan PCI, CABG jarang dilakukan karena keuntungan

revaskularisasinya tidak jelas. Semakin lama waktu reperfusi, prognosis miokard

semakin turun dan risiko pembedahan semakin naik.

3.3.3 Terapi Jangka Panjang

Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI

adalah:

1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok

dengan ketat.

2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100mg) diindikasikan

tanpa henti.

3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12

bulan setelah STEMI.

4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien dengan

gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.

5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada pasien STEMI sesegera mungkin

sejak datang.

6. Statin intensitas tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien

masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,

tapa memandang nilai kolesterol inisial.

7. Penghambat ACE diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien STEMI dengan


gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior.

8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat

gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia.

3.4 Komplikasi

- Disfungsi ventrikuler

- Gangguan hemodinamik

- Syok kardiogenik

- Infark ventrikel kanan

- Aritmia pasca STEMI

3.5 Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA:5

1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3

gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 2. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Klasifikasi Definisi Mortalitas (%)


I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

2) TIMI risk score (Thrombolhysis in Myocardial Infarction) adalah sistem

prognostik yang menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan

fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik.

Tabel 3. TIMI Risk Score untuk STEMI

Skor Risiko / Mortalitas


Faktor Risiko (Bobot)
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)
Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik 100 (2 poin) 3 (4,4)
Frekuensi jantung >100 (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi >4 jam (1 poin) 8 ( 26,8)
Skor risiko = total poin (0-14) >8 (35,9)

3) GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events) merupakan skor

risiko yang digunakan sebagai prediktor mortalitas pada pasien STEMI

saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah

sakit.

Tabel 4. GRACE Score untuk STEMI

Kematian di Rumah
Kategori Risiko Skor Risiko GRACE
Sakit (%)
Rendah ≤108 <1
Menengah 109-140 1-3
Tinggi >140 >3
Kematian dalam 6
Kategori Risiko Skor Risiko GRACE Bulan Setelah Keluar
dari Rumah Sakit (%)
Rendah ≤88 <3
Menengah 89-118 3-8
Tinggi >118 >8
BAB 4

Pembahasan

Berdasarkan hasil anamnesa, pada pasien ini didapatkan keluhan utama

adalah nyeri dada sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit dan keluhan dirasakan

pasien saat beraktivitas disertai dengan keringat dingin. Pasien tidak mengeluhkan

sesak, nyeri ulu hati tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, batuk tidak ada,

dan demam tidak ada. Kesadaran pasien saat masuk CMC dengan GCS 15. Pasien

memiliki riwayat bells palsy sejak 9 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi ada,

riwayat stroke ada, riwayat DM tidak ada, riwayat penyakit jantung tidak ada.

Riwayat obat: acyclovir, mecobalamin, methilprednisolon.

Gejala klinis yang ditemui pada pasien adalah nyeri dada. Nyeri dirasakan

seperti terhimpit dan pasien tidak dapat menunjukkan lokasi nyeri. Nyeri

dirasakan saat beraktivitas dan disertai keringat dingin. Gejala nyeri ini disebut

dengan angina tipikal, yaitu khas pada sindrom koroner akut.

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada yang mengalami iskemia harus

menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang

gawat darurat. Hasil EKG pada pasien ini menunjukkan adanya ST elevasi di lead
II, III, AVF yang menandakan lokasi iskemia atau infark di inferior.

Pada pemeriksaan EKG:

- Pertama, saat di IGD hasilnya menunjukan adanya ST elevasi di lead II,

III, dan AVF.

- Kedua, saat tiba di ruang CVCU hasilnya menunjukan adanya ST elevasi

di lead II, III dan AVF yang sudah mulai berkurang dan Q patologis sudah

muncul sedikit.

- Ketiga, saat hari rawatan pertama hasilnya ST elevasi mulai menghilang,

Q patologis semakin jelas dan muncul sedikit T inverted.

- Keempat, saat hari rawatan terakhir hasilnya Q patologis masih ada, dan T

inverted yang semakin jelas.

Pasien juga melakukan pemeriksaan biomarka jantung troponin I. Hasil yang

didapatkan saat pemeriksaan pertama pada tanggal 02 Maret 2021 yaitu < 0.50

ng/mL dan saat pemeriksaan kedua pada tanggal 03 Maret 2021 adalah 46.95

ng/ml dimana terjadi peningkatan enzim troponin I jantung.

Troponin adalah protein pada sel otot jantung yang mengatur interaksi

antara aktin dan miosin jantung. Troponin T/I sangat spesifik dan sensitif untuk

mendeteksi cedera kardiomiosit, sehingga peningkatan nilai biomarker ini

digunakan sebagai diagnostik dan prognostik.

Diagnosis awal pasien yaitu STEMI dimana keluhannya berupa angina

pektoris akut, elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan

disertai peningkatan enzim jantung.

Terapi awal pada pasien ini :

• O2 berupa nasal kanul 3L/menit untuk mempertahankan oksigenasi pada


pasien, karena berkurangnya supply oksigen sementara demand

meningkat.

• Loading aspilet 160 mg

• Maintenance diberikan dengan dosis 80 mg. Merupakan anti agregrasi

trombosit pada pasien infark miokard dan angina tidak stabil. Sehingga

dapat menghambat pembentukan trombus, dan menghambat aktivitas

enzim cyclo-oxygenase I dan II (COX 1 dan 2) yang selanjutnya

menghambat produksi tromboksan.

• Loading CPG 1x300 mg

• Maintenance diberikan dengan dosis 75mg. Diindikasikan untuk

menurunkan atertrombosis yang menyertai serangan infark miokard. CPG

dapat menghambat ikatan ADP pada reseptor ADP diplatelet 

menghambat aktivasi kompleks glikoprotein GPIIb/IIIa yang

menimbulkan penghambat terhadap agregasi platelet.

• Simvastatin 1x40 mg

• Nitral 1x500 mcg

• Diindikasikan untuk penyakit jantung dan angina akut. Mekanisme kerja

obat ini adalah Glyceryl trinitrate membentuk radikal bebas nitrat oksida

(NO), yang merangsang guanylate cyclase dalam sel otot polos vaskular

yang menghasilkan relaksasi otot polos  mengurangi permintaan O2

jantung dengan mengurangi preload dan dapat mengurangi afterload,

melebarkan pembuluh darah jantung dan meningkatkan aliran kolateral ke

daerah iskemik.
• Dopamine 5 mcg/kgBB/menit

• Digunakan untuk meningkatkan curah jantung dan tekanan darah selama

resusitasi jantung paru, serta dapat digunakan untuk tatalaksana denyut

jantung lambat (bradikardi) yang disertai dengan gejala. Obat ini bekerja

pada otot jantung sehingga dapat meningkatkan denyut jantung,

kontraktilitas jantung  meningkatkan curah jantung dan tekanan darah.

• Streptokinase 1,5 juta unit

• Mekanisme kerja Streptokinase sebagai agen fibrinolitik dengan

mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin sendiri memiliki

aktivitas sebagai penghancur fibrin, yang merupakan protein penggumpal

darah.

• Critical ILL insulin

• Indikasi untuk pasien dengan hiperglikemia dengan kondisi infark miokard

akut dan gagal jantung akut.

Pasien dipindahkan ke ICU tanggal 02 Maret 2021 pukul 19.30 untuk

memantau hemodinamik pasien. Di ICU dilakukan pemasangan nasal kanul

3L/menit, terpasang kondom kateter untuk memantau balance cairan, Pasien juga

diberikan RL 500 cc 12/kolf untuk menggantikan cairan dan elektrolit pasien yang

hilang. Pasien juga mengeluhkan nyeri dada, lalu diberikan aspilet 80mg, CPG

75mg dan nitral 500mg.

Selama dua hari di ICU keluhan nyeri dada yang dirasakan pasien sudah

mulai berkurang karena pemberian trombolitik dan tanda – tanda vital pasien

sudah membaik. Pada tanggal 04 Maret 2021 pasien dipindahkan ke bangsal

jantung pada pukul 16.30 WIB.


BAB 5

Kesimpulan

Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan

ketidaknyamanan dada, nyeri dada (chest pain), atau gejala lain yang disebabkan

oleh kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium).

Diagnosa stemi dapat ditegakkan berdasarkan 2 dari 3 kriteria seperti nyeri

angina tipikal, ST elevasi pada 2 lead yang berpasangan, dan peningkatan enzim

jantung. Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah terapi awal dan terapi

reperfusi untuk mengembalikan aliran darah koroner yang mengalami sumbatan

sehingga dapat kembali ke keadaan semula.


DAFTAR PUSTAKA

1. Muhibbah, Wahid A, Agustina R, Illiandri O. Karakteristik Pasien Sindrom

Koroner Akut Pada Pasien Rawat Inap Ruang Tulip Di Rsud Ulin Banjarmasin.

Indonesian Journal For Health Sciences [Internet]. 2019 [Cited 4 March

2021];3(1):6. Available From: Http://Journal.Umpo.Ac.Id/Index.Php/Ijhs/

2. Mahayyun Im. Perbedaan Kadar Sgot Pada Sindroma Koroner Akut Di Rsd

Dr. Soebandi Jember [Skripsi]. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember;

2015.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Pedoman Tata

Laksana Sindrom Koroner Akut. Edisi 4. Jakarta : Perki; 2018.

4. Setiati Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna

Publishing, 2014.

Anda mungkin juga menyukai