Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS MEDIK

“HIPERKALEMI”

Disusun Oleh:
dr. Muhammad Diastika Bakhtiar

Pendamping:
dr. Nia Tri Mulyani

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM MUHAMMADIYAH SITI AMINAH BUMIAYU
KABUPATEN BREBES
JAWA TENGAH
2021
HIPERKALEMIA EC CKD

Anamnesis:
Nama : Ny S
Umur : 56 tahun
Tanggal (kasus) : 27 Maret 2021
Topik : Kegawatdaruratan
Departemen : Medik

Dokter Pembimbing : dr. Nia Tri Mulyani Presenter: dr. Muhammad Diastika B
Keluhan Utama : Sesak nafas
ANAMNESIS

Riwayat penyakit sekarang:


- Pasien dibawa ke RS setelah mengeluh sesak nafas sejak siang tadi. Kedua kaki
bengkak. Tampak pucat. Perut dirasakan semakin membesar. Terasa lemas. BAB
dan BAK sedikit. Mual (-), muntah (-)

Riwayat penyakit dahulu:


- Pasien memiliki riwayat DM tidak terkontrol. Riwayat hipertensi dan penyakit
jantung disangkal. Pasien terdiagnosis DM sejak 20 tahun lalu dan tidak rutin
kontrol.

Riwayat penyakit keluarga:


- Keluarga tidak memiliki penyakit asthma, diabetes mellitus, gangguan ginjal dan
penyakit sistem kardiovaskular.

Riwayat personal sosial:


- Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga

ANAMNESIS SISTEM
a. Sistem saraf pusat : pusing (-), nyeri kepala (-)
b. Sistem integumentum : tampak pucat

2
c. Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
d. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), BAB sedikit
e. Sistem urinaria : BAK sedikit
f. Sistem respiratori : sesak nafas (+), batuk (-)
g. Sistem kardiovascular : berdebar-debar (-) dada terkadang nyeri, kedua kaki
bengkak, perut tampak membesar

PRIMARY SURVEY
a. Aiway : Jalan nafas clear, tidak ada sumbatan, berbicara lancar
Look : Jejas (-) pergerakan dada simetris, ketinggalan gerak (-)
Listen : Vesikuler thorax normal
Feel : Letak trachea tidak bergeser
b. Breathing : Nampak sesak, frekuensi nafas 24x/m
c. Circulation : TD: 157/85, denyut nadi 73 x/m

PEMERIKSAAN FISIK :
Kesan umum : Sesak nafas
Kesadaran : Compos mentis , E4V5M6
Vital sign : Tekanan darah : 157/85 mmHg
RR : 24x/menit, SpO2 90% free air
Nadi : 73 x /menit
Suhu : 37,1 C
Pemeriksaan kepala :
- Mata : pupil : isokor 3mm/3mm
CA (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Telinga : secret (-), perdarahan (-)
- Hidung : secret (-), epistaksis (-)
Pemeriksaan leher :
Kelenjar tiroid : tidak ditemukan pembengkakan
Kelenjar limfonodi : tidak ditemukan pembengkakan

3
Trachea : tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan thorax :
- Inspeksi : Jejas (-) pergerakan dada simetris, ketinggalan gerak (-) retraksi (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-) krepitasi (-)
- Perkusi : Sonor +/+
- Auskultasi : Vesikuler pulmo normal , wheezing (-), ronkhi (+) kedua lapang paru
Pemeriksaan abdomen :
- Inspeksi : Distensi (+), jejas (-) benjolan (-)
- Auskultasi : BU (+) dbn
- Perkusi : timpani-redup, shifting dullness (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-), abdomen supel
Pemeriksaan genital dan regio inguinal :
- Pembesaran kelenjar limfe inguinal (-)
- Benjolan (-)
Pemeriksaan status lokalis urologi:
Regio Suprapubic:

-Inspeksi : tak tampak massa, bulging (-)


-Palpasi : tak teraba massa, nyeri tekan (-)
-Nyeri ketok (-/-)
Pemeriksaan Ektermitas:
Akral hangat (+), CTR <2 detik, edema -/-/+/+

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Thorax PA
2. Darah Lengkap
3. EKG, GDS
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah
PARAMETER HASIL SATUAN NILAI NORMAL

HB 10,8 (L) gr/dL 13,2 – 17,2


4
AL (Angka Leukosit) 9,2 ribu/ul 3,8 – 10,6
AE (Angka Eritrosit) 4,7 juta/ul 4,40 – 5,90
AT (Angka Trombosit) 320 ribu/ul 150-450
HMT (Hematokrit) 43 % 40 -52
MCV 92   80 – 100
MCH 30   26 – 34
MCHC 34   32 – 36
DIFFERENTIAL COUNT
Neutrofil 55,2 % 50 – 70
Limfosit 33 % 25 – 40
Monosit 3 % 2–8
Eosinofil 3,2 % 2.00 – 4.00
Basofil 0,20 % 0–1
Kimia klinik
Gula Darah sewaktu 203 (H) mg/dL 70 – 120
Ureum 126 (H) 10-50
Creatinin 6,6 (H) 0,62-1,01
Sero Imunologi
HbsAg Negative
Elektrolit
Kalium 8,15 (H) mEq/L 3,5 – 5,3
Klorida 117,2 (H) mEq/L 100 – 106
Natrium 137 mEq/L 135 – 145

EKG : Sinus Rhythm HR 69, T tall


Hasil pemeriksaan Rotgen Thorax
Kesan:
- Pelebaran hilus dan arcus aorta
- Corakan pulmo dextra dan sinistra meningkat
- Besar Cor normal
Diagnosis Kerja
Observasi Dsypnue ec CKD
5
Hiperkalemia

TATALAKSANA IGD
Farmakoterapi
Inf NaCl 10 tpm
Inf D40 2 flash
Inj Ketorolac 30 mg
Inj Ranitidine 50 mg
Inj Furosemide 40 mg
Inj Ca Glukonas 1 A
ISDN 5 mg PO
Konsul Sp. PD

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERKALEMIA
A. Definisi
Hiperkalemia adalah kondisi kadar kalium dalam darah di atas nilai batas atas,
yaitu pada umumnya melebihi 5,0-5,5 meq/L pada orang dewasa. Pada anak-anak,
kisaran batas atas beragam, tergantung dengan usia. Kelainan elektrolit ini sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal, diabetes mellitus, gagal jantung, dan pengguna obat
golongan renin-angiotensin-aldosterone system inhibitors (RAASi).

B. Etiologi
Etiologi hiperkalemia didasari oleh 3 hal, yaitu peningkatan asupan kalium,
gangguan distribusi kalium intrasel dan ekstrasel, ataupun gangguan ekskresi kalium.
Tiga hal yang mendasari hiperkalemia tersebut bisa didapat dari:
 Gangguan sistem ekskresi ginjal yang diakibatkan oleh penurunan laju filtrasi
glomerulus atau penurunan sekresi pada tubulus distal nefron
 Gangguan sistem renin angiotensin yang dipicu oleh efek hormon (seperti
aldosteron), atau akibat inhibisi secara farmakologis oleh obat
 Defisiensi insulin
 Asidosis
 Kerusakan jaringan yang dapat melisiskan sel, seperti pada kasus luka bakar,
rhabdomyolisis, dan trauma

C. Faktor Resiko
Beberapa penyakit penyerta dan penggunaan obat dapat menginduksi
hiperkalemia. Pasien dengan riwayat gagal ginjal, diabetes, atau gagal jantung lebih
berisiko untuk terkena hiperkalemia. Obat obatan yang dapat memicu terjadinya
hiperkalemia antara lain captopril, ramipril, candesartan, mineralocorticoid receptor
antagonist (MRA), dan K+ sparing diuretic.

7
Gagal Ginjal
Gagal ginjal akut maupun kronik merupakan faktor risiko hiperkalemia karena dapat
menyebabkan gangguan sekresi kalium. Sebuah meta analisis menunjukkan bahwa risiko
hiperkalemia akan terkait dengan laju filtrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi
glomerulus hingga 15 ml/menit meningkatkan risiko terjadinya hiperkalemia hingga 2
kali lipat.

Diabetes Mellitus
Pasien dengan diabetes mellitus berisiko mengalami hiperkalemia karena keadaan
hipoaldosteronisme hiporeninemik yang berhubungan dengan berkurangnya kemampuan
untuk memindahkan kalium ke ruang intraseluler dan gangguan ekskresi ginjal.

Gagal Jantung
Pasien-pasien dengan gagal jantung mengalami peningkatan risiko hiperkalemia karena
penyakit itu sendiri, komorbiditas yang dimiliki, serta terapi yang dikonsumsi.

Obat Obatan
Berikut obat obatan yang dapat menginduksi hiperkalemia:
 Mengganggu sinyal aldosteron: penyekat beta, obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS), Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI), angiotensin receptor
blocker (ARB), heparin, ketoconazole, spironolactone
 Mengganggu reabsorbsi sodium distal: amilorid, triamterene, trimetoprim
 Mempengaruhi perpindahan kalium dalam sel: agonis alfa, digoxin,
succinylcholine, isofluran, minoksidil, somatostatin, dan mannitol
 Memiliki kandungan kalium yang tinggi: penicillin intravena

D. Patofisiologi

Patofisiologi hiperkalemia berkaitan dengan ketidakseimbangan


homeostasis akibat gangguan internal distribusi kalium intrasel dan ekstrasel, serta
gangguan pada ekskresi kalium.

8
Fisiologi Homeostasis Kalium

Kalium (K+) merupakan kation yang paling banyak ditemukan di tubuh. Sebanyak 98%
kalium berada di intrasel, terutama pada sel otot, dan hanya 2% berada di ekstrasel.

Kalium pada umumnya dipertahankan dalam batas normal dengan kisaran yang sempit
melalui mekanisme homeostasis yang secara bergantian dan efisien mengatur distribusi
kalium antara kompartemen intrasel-ekstrasel dan ekskresi kalium. Pada kondisi
fisiologis, konsentrasi kalium intrasel mencapai 140 meq/L, sedangkan pada ekstrasel 4-5
meq/L. Distribusi kation ini diregulasi oleh Na-K-ATPase yang memompa K+ ke dalam
sel dan Na+ keluar sel dengan rasio 2:3 untuk mempertahankan potensi membran istirahat
yang berperan penting dalam pembentukan aksi potensial sel-sel otot.

Kalium terutama diekskresikan di ginjal (90%) dan hanya sebanyak 10% diekskresikan
pada saluran gastrointestinal. Gangguan pada distribusi kalium intrasel-ekstrasel atau
ekskresi kalium dapat menyebabkan hiperkalemia.

Gangguan Distribusi Kalium Intrasel dan Ekstrasel

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan gangguan distribusi internal kalium, yaitu
insufisiensi insulin, asidosis, katekolamin, dan hiperosmolaritas.

Insufisiensi insulin

Pada saat makan, insulin dikeluarkan untuk meregulasi glukosa. Setelah mengikat
reseptor pada permukaan sel, insulin menyebabkan penyisipan GLUT4 (transporter
glukosa tipe 4) yang memfasilitasi pengambilan glukosa dalam jaringan yang responsif
terhadap insulin dan juga meningkatkan aktivitas pompa Na-K-ATPase yang
meningkatkan pengambilan K ke dalam sel. Pada kondisi insufisiensi insulin, terjadi
penurunan aktivitas Na-K-ATPase, sehingga K akan lebih banyak di ekstrasel.

9
Katekolamin

Katekolamin dapat berperan juga dalam regulasi kalium internal. Katekolamin bekerja
pada reseptor beta 2 adrenergik dan alfa adrenergik.

Katekolamin yang bekerja pada reseptor beta 2 adrenergik akan meningkatkan aktivitas
Na-K-ATPase untuk mencegah konsentrasi kalium berlebih di ekstrasel. Penggunaan obat
yang menginhibisi reseptor ini, seperti penyekat beta, dapat meningkatkan konsentrasi
kalium ekstrasel.

Katekolamin yang menstimulasi reseptor alfa adrenergik akan memicu pengeluaran


kalium ke ekstrasel. Oleh karena itu, obat golongan agonis alfa adrenergik dapat juga
meningkatkan konsentrasi kalium dalam darah.

Asidosis

Pada asidosis metabolik yang disebabkan oleh anion anorganik (asidosis mineral),
penurunan pH ekstraseluler akan menurunkan laju pertukaran ion natrium dan hidrogen,
dan menghambat laju masuknya kotransport natrium dan bikarbonat.

Penurunan Na+ intrasel akan mengurangi aktivitas Na-K-ATPase, menyebabkan


hilangnya K+ intrasel. Selain itu, penurunan konsentrasi bikarbonat ekstrasel akan
meningkatkan pemasukan ion klorida (Cl−) ke dalam sel, yang selanjutnya meningkatkan
effluks K+.

Hiperosmolaritas

Ketika osmolaritas ekstrasel meningkat akibat akumulasi dari osmoles, seperti glukosa,
mannitol, dan sukrosa, terjadi perpindahan komponen air dari kompartemen intrasel ke
kompartemen ekstrasel. Ketika air keluar, maka volume sel akan menurun dan kalium
menjadi lebih terkonsentrasi. Konsentrasi K+ intrasel yang lebih tinggi memicu untuk
terjadinya effluks ion kalium keluar sel menuruni gradien konsentrasi melalui kanal yang
permeabel.

10
Lisis sel

Pada kondisi terdapat kerusakan sel atau lisis sel yang ekstensif, seperti pada luka bakar
berat, rhabdomyolisis, lisis tumor, atau hemolisis, maka substansi yang ada di dalam sel
akan keluar, termasuk juga ion kalium. Akibat lisis sel ini, akan ada lebih banyak ion
kalium yang terdapat pada kompartemen ekstrasel.

Gangguan Ekskresi Kalium

Kalium difiltrasi di glomerulus, kemudian direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan


lengkung Henle. Hanya sekitar 10% kalium yang mencapai distal nefron. Pada tubulus
konvoltus distal dan duktus kolektivus, kalium dapat diabsorbsi ataupun disekresi sesuai
dengan kebutuhan tubuh. Proses reabsorbsi diregulasi oleh alpha intercalated cell,
sedangkan proses sekresi diregulasi oleh sel prinsipal.

Kondisi yang meningkatkan konsentrasi K+ intrasel, menurunkan konsentrasi K+ lumen,


membuat lumen lebih elektronegatif, serta kondisi yang meningkatkan permeabilitas
membran luminal untuk K+, akan meningkatkan kecepatan sekresi K+. Dua penentu
utama sekresi K+ adalah aktivitas mineralokortikoid dan perpindahan Na+ dan air di
distal.

Aldosteron

Aldosteron merupakan mineralokortikoid yang banyak di dalam tubuh. Aldosteron


meningkatkan konsentrasi K+ intrasel dengan menstimulasi aktivitas Na-K-ATPase di
membran basolateral, menstimulasi reabsorpsi Na+ melintasi membran luminal, yang
meningkatkan elektronegativitas lumen, sehingga meningkatkan gradien listrik yang
mendukung sekresi K+. Aldosteron memiliki efek langsung pada membran lumen untuk
meningkatkan permeabilitas terhadap K+. Pada kondisi hipoaldosteronisme, sekresi
kalium menjadi terganggu sehingga dapat menyebabkan hiperkalemia.

11
Selain itu, beberapa obat obatan yang dapat menginhibisi aldosterone, seperti captopril,
ramipril, candesartan, mineralocorticoid receptor antagonist (MRA), dan selective
aldosterone inhibitor dapat menginduksi hiperkalemia.

Gangguan Ginjal

Pasien gagal ginjal akut, seperti yang terjadi pada nekrosis tubular akut atau nefritis
interstitial, juga cenderung mengalami hiperkalemia. Tubulus distal dan duktus kolektivus
mengalami kerusakan sehingga tidak dapat mensekresi kalium.

12
E. Diagnosis
Diagnosis hiperkalemia ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan
temuan peningkatan kadar kalium dari pemeriksaan laboratorium. Hal yang
perlu diwaspadai dari kasus hiperkalemia adalah efek kardiovaskular, misalnya
aritmia.

Anamnesis

Gejala yang ditimbulkan oleh hiperkalemia sering tidak spesifik. Gejala yang
paling banyak dikeluhkan pasien hiperkalemia adalah kelemahan dan kelelahan.
Hiperkalemia juga dapat bermanifestasi sebagai keluhan pada sistem
kardiovaskular atau muskuloskeletal.

Riwayat penyakit ginjal, diabetes, kemoterapi, trauma mayor, atau nyeri otot
yang mengarah pada rhabdomyolisis dapat menjadi petunjuk tambahan
kecurigaan terhadap hiperkalemia. Terkadang pasien juga dapat mengeluhkan
kelumpuhan otot, sesak napas, palpitasi, atau nyeri dada. Pasien dapat juga
mengalami mual, muntah, dan parestesia.

Pada anamnesis juga perlu ditanyakan hal-hal yang bisa meningkatkan risiko
hiperkalemia, misalnya penggunaan obat-obatan tertentu, seperti heparin,
ketoconazole, atau spironolactone.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien hiperkalemia bisa saja normal. Temuan


pemeriksaan fisik yang didapat mungkin berhubungan dengan penyakit yang
mendasari, misalnya hipertensi dan edema pada penderita penyakit ginjal; nyeri
otot pada pasien dengan rhabdomyolisis; atau ikterus pada pasien dengan
kondisi hemolitik.

Pasien dapat mengalami kelemahan otot, flaccid paralysis, atau penurunan


refleks tendon dalam. Kelemahan otot dapat terjadi secara ascending, dimulai
13
dari kaki dan berlanjut ke tubuh dan lengan. Hal ini kemudian dapat berkembang
menjadi flaccid paralysis, mirip dengan sindrom Guillain-Barré. Tonus sfingter
dan fungsi saraf kranial biasanya normal. Kelemahan otot pernapasan dapat
terjadi namun insidensinya jarang.

Pada pemeriksaan jantung bisa didapatkan ekstrasistol, pause, atau bradikardia


akibat blokade jantung. Takipnea dapat ditemukan bila terjadi gangguan pada
otot pernapasan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat menunjukkan diagnosis hiperkalemia adalah


pemeriksaan elektrolit. Pemeriksaan penunjang lain yang perlu dilakukan
mencakup EKG dan fungsi ginjal.

Elektrolit

Pemeriksaan elektrolit yang dilakukan meliputi evaluasi kadar kalium, natrium,


dan kalsium dalam serum. Kadar kalsium serum penting untuk diperiksa karena
hipokalsemia dapat memperburuk efek hiperkalemia pada jantung.

Nilai referensi kadar kalium dalam darah adalah 3,5-5,0 meq/L. Jika kadar
kalium lebih dari 5,0-5,5 mEq/L maka diagnosis hiperkalemia dapat ditegakkan.

Elektrokardiografi (EKG)

Peningkatan kalium ekstrasel memiliki beberapa efek pada elektrofisiologi


miokard yang berkontribusi pada gangguan konduksi jantung. Ketika terjadi
peningkatan kalium ekstrasel, gradien kalium intrasel ke ekstrasel menurun,
sehingga menurunkan potensi membran istirahat. Peningkatan kalium ekstrasel
juga meningkatkan permeabilitas membran terhadap kalium, menurunkan
resistensi membran, meningkatkan arus repolarisasi, dan memperpendek
potensial aksi transmembrane.

14
Kelainan EKG klasik yang dapat ditemukan pada kasus hiperkalemia adalah
gelombang T yang tinggi yang merefleksikan penurunan ambang batas
depolarisasi cepat dan pemanjangan interval QT. Kemudian, akan terjadi
pemanjangan interval PR secara progresif, dan gelombang P akan menghilang,
bradikardia, dan QRS melebar.

Pada kasus yang lebih jarang, hiperkalemia dapat membentuk perubahan segmen
ST non-spesifik yang menyerupai sindroma Brugada. Pola EKG ini terjadi pada
pasien sakit kritis dengan hiperkalemia yang signifikan dan dapat dibedakan dari
sindrom Brugada genetik dengan tidak adanya gelombang P, pelebaran QRS,
atau sumbu QRS yang abnormal.

Fungsi Ginjal

Pemeriksaan fungsi ginjal penting untuk dilakukan sebab gangguan ekskresi


kalium di ginjal merupakan hal yang sering mendasari hiperkalemia.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi pengukuran kadar blood urea
nitrogen (BUN) dan kreatinin serum untuk menilai fungsi ginjal, serta urinalisis
untuk skrining penyakit ginjal.

Pemeriksaan Lain

Selain untuk keperluan diagnostik, pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan


untuk mengevaluasi kemungkinan penyebab dari hiperkalemia. Bergantung pada
temuan klinis dan hasil laboratorium, pemeriksaan berikut dapat bermanfaat:

 Kadar glukosa: pada pasien dengan kecurigaan diabetes melitus atau riwayat
penyakit diabetes mellitus yang sudah diketahui
 Kadar digoxin: jika pasien dalam pengobatan digitalis
 Gas darah arteri atau vena: jika terdapat kecurigaan asidosis
 Kadar kortisol dan aldosteron serum: untuk memeriksa defisiensi
mineralokortikoid ketika penyebab lain telah dieliminasi
 Tes asam urat serum dan fosfor: untuk sindrom lisis tumor
 Pengukuran serum kreatinin fosfokinase (CPK): untuk rhabdomyolysis

15
F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding hiperkalemia dibuat untuk mempersempit


kemungkinan penyebab yang mendasari. Hiperkalemia juga dapat didiagnosis
banding dengan pseudohiperkalemia.

Pseudohiperkalemia

Pseudohiperkalemia terjadi ketika hasil laboratorium kadar kalium tidak


menunjukkan nilai kalium yang sebenarnya. Penyebab tersering adalah lisis
dari sel darah merah pada spesimen flebotomi. Diagnosis dapat dieksklusi
dengan mengulangi pemeriksaan dan mengukur nilai kalium di serum dan di
plasma. Pada pseudohiperkalemia, kadar plasma akan normal dan kadar serum
meningkat.

Hiperkalemia Karena Penurunan Ekskresi Kalium

Penurunan ekskresi kalium umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal,


misalnya gagal ginjal, hipoperfusi ginjal, ataupun hipoaldosteronisme.

Hiperkalemia Diinduksi Obat

Berbagai obat dapat menyebabkan hiperkalemia, misalnya penyekat beta, obat


antiinflamasi nonsteroid (OAINS), captopril, ramipril, candesartan, heparin,
ketoconazole, spironolactone, amilorid, triamterene, trimetoprim, agonis alfa,
digoxin, succinylcholine, isofluran, minoksidil, somatostatin, dan mannitol.

Hiperkalemia Kongenital

Abnormalitas kongenital sintesis aldosteron juga dapat menyebabkan


peningkatan kadar kalium dan peningkatan ekskresi natrium. Pada kondisi
yang berat, neonatus bisa mengalami komplikasi yang fatal bahkan berujung
kematian. Contoh kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis
banding adalah congenital adrenal hyperplasia dan pseudohipoaldosteronisme.

16
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hiperkalemia difokuskan terhadap tiga hal, yaitu
menangani abnormalitas konduksi jantung, meregulasi perpindahan kalium
ekstrasel ke intrasel, dan menginduksi ekskresi dari kalium.

Penanganan Gangguan Konduksi Jantung


Antagonisme kelainan konduksi jantung dapat dicapai dengan pemberian
kalsium. Kalsium dapat diberikan dalam larutan kalsium glukonase atau
kalsium klorida. Berikan 10 ml dari larutan 10% melalui rute intravena (IV)
selama 2-3 menit. Onset terapi umumnya dicapai dalam 5 menit, dan efeknya
bertahan hingga 30-60 menit. Terapi dapat diulangi 5 menit kemudian sesuai
kebutuhan, terkadang diperlukan infus kalsium berkelanjutan.

Akses vena besar direkomendasikan untuk administrasi kalsium konsentrat,


terutama kalsium klorida, karena obat ini dapat mengiritasi vena. Kalsium
tidak boleh diberikan bersamaan dengan larutan yang mengandung
bikarbonat karena akan terjadi presipitasi.

Tujuan terapi ini adalah untuk menaikkan ambang batas depolarisasi dan
memulihkan perbedaan antara potensi istirahat dan potensi ambang batas
normal.

Kalsium intravena tidak menurunkan kadar kalium serum, tetapi terapi ini
diperlukan jika ada perubahan EKG akibat hiperkalemia untuk mencegah
aritmia.

17
Regulasi Perpindahan Kalium Ekstrasel ke Intrasel
Pergeseran kalium terjadi relatif cepat dan dapat dicapai melalui terapi
berikut:

 Insulin menurunkan kadar kalium dengan meningkatkan aktivitas Na-K-


ATPase. Glukosa juga diberikan bersamaan dengan insulin untuk mencegah
hipoglikemia. Insulin dapat diberikan secara bolus dengan dosis 10 IU
bersamaan dengan administrasi glukosa 25 gram (50 ml dextrose 50%). Onset
terapi 15-30 menit dengan durasi kerja 2-6 jam. Glukosa hanya diberikan
pada pasien dengan kadar glukosa darah < 250 mg/dl.
 Beta 2 agonist, seperti salbutamol, dapat diberikan. Kadar kalium dapat
menurun 0,3-0,6 mmol/L dalam 30 menit. Tidak didapatkan perbedaan hasil
jika diberikan melalui rute administrasi manapun. Dosis 10-20 mg dapat
diberikan secara inhalasi selama 15 menit.
 Natrium bikarbonat mendistribusikan kalium ke dalam sel. Walaupun
demikian, kegunaannya masih kontroversial. Natrium bikarbonat dapat
diberikan jika terdapat kondisi asidosis metabolik. Dosis yang dapat
digunakan adalah 150 mEq dalam 3-4 jam.

Induksi Ekskresi Kalium


Ekskresi kalium dapat dicapai melalui terapi medikamentosa atau intervensi
hemodialisis. Medikamentosa yang dapat digunakan adalah furosemide 40-80
mg secara intravena, dapat diberikan secara bolus atau infus kontinyu.
Diberikan jika pasien memiliki fungsi ginjal yang normal atau gangguan
ginjal dalam batas ringan.

Agen baru seperti patiromer dan natrium zirkonium siklosilikat telah


dikembangkan untuk meningkatkan eliminasi kalium pada saluran cerna dan
telah dipelajari untuk terapi hiperkalemia yang lebih kronis. Namun, kedua
obat ini masih diteliti lebih lanjut dan penggunaannya untuk hiperkalemia
belum direkomendasikan.

18
Hemodialisis dan Dialisis Peritoneal
Dialisis diindikasikan pada pasien hiperkalemia dengan gangguan ginjal
berat, baik akut maupun kronis. Dibandingkan dengan dialisis peritoneal,
hemodialisis lebih banyak dipilih karena tingkat pembuangan kalium jauh
lebih cepat. Hemodialisis dapat menghilangkan 25 hingga 50 mEq kalium per
jam, dengan variabilitas berdasarkan konsentrasi kalium serum awal, jenis
dan luas permukaan dialiser yang digunakan, laju aliran darah, laju aliran
dialisat, dan durasi dialisis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Alsauskas DC, Mackelait L, Nayak V. Hyperkalemia. Medscape, 2016.


https://emedicine.medscape.com/article/240903-overview
2. Simon LV, Hashmi MF, Farrell MW. Hyperkalemia. [Updated 2020 Jul 20]. In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470284/
3. Sarwar CMS, Papadimitriou L, Pitt B, Piña I, Zannad F, Anker SD, Gheorghiade M,
Butler J. Hyperkalemia in Heart Failure. Journal of The American College of Cardiology.
2016. 68(14): 1575-1589. https://www.jacc.org/doi/pdf/10.1016/j.jacc.2016.06.060
4. Palmer BF, Clegg DJ. Physiology and pathophysiology of potassium homeostasis. Adv
Physiol Educ. 2016; 40:480-490.
https://journals.physiology.org/doi/pdf/10.1152/advan.00121.2016
5. Dépret F, Peacock WF, Liu KD, et al. Management of hyperkalemia in the acutely ill
patient. Ann. Intensive Care 9, 32 (2019). https://doi.org/10.1186/s13613-019-0509-8
6. Mount, DB, Sterns RH, Forman JP. Treatment and prevention of hyperkalemia in adults.
Uptodate, 2020. https://www.uptodate.com/contents/treatment-and-prevention-of-
hyperkalemia-in-adults
7. Biff F. Palmer, Deborah J. Clegg. Physiology and Pathophysiology of Potassium
Homeostasis: Core Curriculum 2019. Am J Kidney Dis. 74(5): 682-695.
https://www.ajkd.org/article/S0272-6386(19)30715-2/pdf
8. Montford JR, Linas S. How Dangerous Is Hyperkalemia? JASN, 2017. 28 (11) 3155-
3165. https://doi.org/10.1681/ASN.2016121344
9. Palmer BF. Regulation of Potassium Homeostasis. Clin J Am Soc Nephrol.
2015;10(6):1050-1060. doi:10.2215/CJN.08580813
10. Schnaubelt S, Niederdoeckl J, Schoergenhofer C, Cacioppo F, Schuetz N, Spiel AO, et
al. Hyperkalemia: A persisting risk. A case report and update on current management. Clin
Case Rep. 2020;8:1748–1753. https://doi.org/10.1002/ccr3.2974
11. Hunter RW, Bailey MA. Hyperkalemia: pathophysiology, risk factors and
consequences. Nephrol Dial Transplant. 2019;34(Suppl 3):iii2-iii11.
doi:10.1093/ndt/gfz206

20

Anda mungkin juga menyukai