Disusun Oleh:
dr. Gusti Karin A Tania
Pendamping:
dr. Tuti Bimasari
1
REAKSI ANAFILAKTIK
Nama : Ny. SS
Umur : 51 tahun
No. RM : 00-28-xx-xx
Tanggal (kasus) : 28 Oktober 2021
Topik : Kegawatdaruratan
Departemen : Penyakit Dalam
Dokter Pembimbing : dr. Tuti Bimasari Presenter: dr. Gusti Karin A Tania
Keluhan Utama : Sesak napas
ANAMNESIS
Keluhan utama :
- Pasien datang ke RS Siaga Medika Banyumas dengan keluhan utama
sesak napas.
ANAMNESIS SISTEM
a. Sistem saraf pusat : pusing (+), nyeri kepala (-), penurunan kesadaran(-)
b. Sistem integumentum : urtikaria(+), facial edema(+), pruritus(+), eritema(+)
c. Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
d. Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
e. Sistem urinaria : BAK normal tidak ada keluhan
f. Sistem respiratori : sesak nafas (+), penurunan saturasi oksigen(+)
g. Sistem cardiovascular : berdebar-debar (+), hipotensi(-), pucat(+), keringat
dingin(+)
PEMERIKSAAN FISIK :
Kesan umum : tampak lemah
Vital sign :
- Pemeriksaan leher :
Kelenjar tiroid : tidak ditemukan pembengkakan
Kelenjar limfonodi : tidak ditemukan pembengkakan
Pemeriksaan thorax :
- Inspeksi : Jejas (-) pergerakan dada simetris (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-) krepitasi (-)
- Perkusi : Sonor (+/+)
- Auskultasi : Vesikuler (+/+) , wheezing (-/-) ronkhi(-/-)
Pemeriksaan abdomen :
- Inspeksi : Distensi (-), jejas (-) benjolan (-)
- Auskultasi : BU (+) dbn
- Perkusi : timpani
- Palpasi : Nyeri tekan Epigastrium (-), abdomen supel
Pemeriksaan Ektermitas:
Edema -/-/-/-
Akral Dingin -/-/-/-
CTR <2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Rontgen
Thorax PA
2. Laboratorium darah :
Darah Lengkap
Elektrolit
4
Gula Darah Sewaktu
Ureum
Creatinin
HBsAg
5
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah
Diagnosis Kerja
Reaksi Anafilaktik
TATALAKSANA IGD
6
Farmakoterapi
Oksigen 2-4lpm
Infus RL 20 tpm
Inj Diphenhydramin 10mg IV
Inj Dexametason 5mg IV
7
BAB II
PENDAHULUAN
1. Reaksi Anafilaktik
A. Definisi
B. Etiologi
8
Gambar 1. Faktor-faktor yang bisa mencetuskan reaksi anafilaksis
C. Patofisiologi
a. Reaksi tipe I
Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis, dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh.
Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh fagosit, diproses
dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel yang akan melepas sitokin
dan merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan diikat oleh sel yang
memiliki reseptor seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar
ulang dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik
yang berada di permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi
sel mast. Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang
akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin, mediator
lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam
arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul
gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala yang segera muncul setelah
9
paparan alergen antara lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG
atau IgM karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat
mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri
juga dapat terjadi melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor
antibody dependent cell cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe II adalah destruksi sel
darah merah akibat reaksi transfusi dan juga kasus anemia hemolitik. Sebagian
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan
tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme ini.
d. Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga disebut
juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi delayed
type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4+ dan T cell mediated
cytolysis dengan peran CD8+.
D. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit
sesudah terpajan allergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun
diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berikut adalah gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan
organ sasaran.
Sistem Gejala dan Tanda
10
Umum Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
dilukiskan, rasa tak enak di dada dan
perut, rasa penuh dalam mulut dan
tenggorokan, rasa gatal di hidung dan
palatum
Pernapasan
Hidung Hidung gatal, bersin dan tersumbat
Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak napas,
stridor, edema, spasme
Lidah Edema
Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme
Kardiovaskular Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia,
hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan
EKG: gelombang T datar, terbalik atau
tanda-tanda infark miokard.
Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang
kadang-kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi.
Kulit Urtika, gatal, angioedema di bibir, muka
atau ekstremitas
Mata Gatal, lakrimasi, merah dan kelopak mata
bengkak.
Susunan saraf pusat Gelisah, kejang
E. Penatalaksanaan
Reaksi anafilaksis harus ditanggulangi secara cepat dan tepat. Pasien dengan simptom
anafilaksis yang berat harus diberikan intervensi yang standar. Intervensi tersebut
antara lain pemberian oksigen, cardiac monitoring dan akses IV.
11
Gambar 2. Penatalaksanaan dasar anafilaktik.
Langkah-langkah pengobatan :
1. Hentikan faktor-faktor yang dicurigai menimbulkan anafilaksis.
2. Baringkan pasien dengan kaki lebih tinggi daripada kepala
3. Segera suntikkan adrenalin 0,3-0,5 ml intramuscular di lengan atas atau paha
depan. Bila anafilaksis oleh sengatan serangga, ikan atau binatang lain atau
suntikan pada ekstremitas, absorpsi allergen dapat dihambat dengan turniket di
proksimal tempat masuknya antigen. Di tempat tersebut diinfiltrasi dengan 0,2 ml
adrenalin. Suntikan adrenalin kalau perlu dapat diulang setiap 5-15 menit,
biasanya cukup 1-4 kali suntikan.
4. Dengan segera evaluasi saluran nafas karena kemungkinan bisa terjadi edema
atau bronkospasm. Apabila pasien tidak sadar dilakukan ekstensi kepala, dorong
mandibula ke depan dan buka mulut. Pada keadaan reaksi anafilaksis yang berat
sampai terjadi edema laring, krikotireodotomi atau catheter jet ventilation bisa
12
menyelamatkan nyawa pasien.
5. IV line harus kaliber yang besar karena diperlukan volume cairan IV yang banyak
untuk resusitasi cairan. Cairan kristaloid yang isotonis seperti larutan salin atau
Ringer lactate bisa digunakan
6. Jika hipotensi tidak membaik dengan adrenalin intramuscular, dapat diberikan
adrenalin intravena 1-5ml larutan 1:10000 dengan cairan fisiologis + 1 liter
dalam 15-30 menit pertama dan seterusnya bisa sampai 6 liter dalam 12 jam.
Apabila renjatan belum teratasi dapat diberikan vasopressor seperti dopamine 2-
20mg/kgBB per menit untuk mempertahankan tensi di atas 80mmHg.
7. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus. Urtikaria dan
angioedema dapat ditanggulangi dengan memberikan 10-20 mg diphendhidramin
intravena secara perlahan-lahan. Jika pasien mengalami syok, pemberian
antihistamin diberikan setelah keadaan pasien mulai stabil.
8. Kortikosteroid tidak bermanfaat pada fase akut tapi diberikan untuk mengurangi
insiden dan bahaya dari reaksi biphasic atau reaksi lambat. Dapat diberikan
metilprednisolon 125 mg secara intravena.
9. Observasi harus dilakukan 2-4 jam, oleh karena ada 20% kasus muncul kembali
setelah beberapa jam.
10. Konsultasi kepada ahli allergi immunologi jika perlu dan untuk follow-up
seterusnya
13
Daftar pustaka
Estelle F. et all. 2011. World Allergy Organization Guideline for the Assessment
and Management of Anaphylaxis. 2011 American Academy of Allergy,
Asthma & Immunology. WAO Journal 2011; 4:13–37
14