Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS INTERNSHIP RSU

SIAGA MEDIKA BANYUMAS

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus sebagai


bagian dari persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia di
Rumah Sakit Umum Siaga Medika Banyumas

Disusun Oleh:

dr. Gusti Karin A Tania

Pendamping:

dr. Tuti Bimasari

DOKTER INTERNSIP WAHANA RS SIAGA MEDIKA BANYUMAS


PERIODE AGUSTUS 2021 – MEI 2022 KABUPATEN
BANYUMAS, JAWA TENGAH

1
OPEN FRAKTUR 1/3 distal OS TIBIA ET FIBULA

CLOSE FRAKTUR MEDIAL OS TIBIA

ANAMNESIS Nama : Sdr. Gilang IGD

Umur : 13 tahun

Nama : Sdr. Gilang

Umur : 13 tahun

No. RM : 00-28-xx-xx

Tanggal (kasus) : 28 Oktober 2021

Topik : Kegawatdaruratan
Departemen : Bedah Orthopedi

Dokter Pembimbing : dr. Tuti Bimasari Presenter: dr. Gusti Karin A Tania

Keluhan Utama : Nyeri kaki kanan


ANAMNESIS

Keluhan utama :

- Pasien dibawa ke RS Siaga Medika Banyumas nyeri kaki kanan setelah


tertabrak motor 3 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang :

- pasien datang dengan nyeri kaki kanan setelah tertabrak motor, pasien
yang sedang jalan kaki ditabrak motor dari sebelah kanan, luka terbuka
±2cm pada tungkai bawah, perdarahan aktif (+) kesemutan (-), jari
masih bisa digerakkan(+), saat kejadian pasien sadar terus sampai
sekarang, pingsan (-) mual (-) muntah (-) kepala terbentur (-) pusing
(-), Demam (-) sesak (-) Penurunan kesadaran (-)

2
Riwayat penyakit dahulu :

- penyakit jantung-paru disangkal. Riwayat rawat inap terakhir di rumah


sakit disangkal

Riwayat penyakit keluarga :

- Keluarga tidak memiliki penyakit kronis seperti diabetes mellitus,


hipertensi dan penyakit sistem cardiovaskular.
Riwayat personal sosial :

- Pasien pelajar yang belajar melalui online

PEMERIKSAAN FISIK :

Kesan umum : Kesakitan

Kesadaran : Compos mentis , E4V5M6

Vital sign :

Tekanan darah : 105/80 mmHg


RR : 20x/menit
Nadi : 90 x /menit
Suhu : 36 C
Pemeriksaan kepala :

- Mata : pupil : isokor


3mm/3mm CA
(-/-), Sklera
ikterik (-/-)
Telinga : secret (-), perdarahan (-)

Hidung : secret (-), epistaksis (-)

- Pemeriksaan leher :
Kelenjar tiroid : tidak ditemukan pembengkakan
Kelenjar limfonodi : tidak ditemukan pembengkakan

Trachea : tidak ditemukan kelainan

3
Pemeriksaan thorax :

- Inspeksi : Jejas (-) pergerakan dada simetris (+)

- Palpasi : Nyeri tekan (-) krepitasi (-)

- Perkusi : Sonor (+)

- Auskultasi : Vesikuler (+) , wheezing (-) ronkhi(-)

Pemeriksaan abdomen :
- Inspeksi : Distensi (-), jejas (-) benjolan (-)

- Auskultasi : BU (+) dbn

- Perkusi : timpani

- Palpasi : Nyeri tekan Epigastrium (-), abdomen supel

Pemeriksaan genital dan regio inguinal :


- Pembesaran skrotum (-)

- Pembesaran kelenjar limfe inguinal (-)

- Benjolan (-)

Pemeriksaan status lokalis urologi:

Regio Suprapubic:

-Inspeksi : tak tampak massa, bulging (-)

-Palpasi : tak teraba massa, nyeri tekan (-) Regio Flank :


-Nyeri ketok (-/-)

Regio Genitalia Eksterna :

-Inspeksi : tak tampak kelainan, OUE dbn

-Palpasi : nyeri tekan (-)

Pemeriksaan Ektermitas:
Vulnus Laceratum cruris dextra

PEMERIKSAAN PENUNJANG
4
1. Foto Rontgen

 Thorax PA

 Cruris dextra

2. Laboratorium darah :

 Darah Lengkap

 Waktu pembekuan darah (CT)

 Waktu Pendarahan (BT)

 HBsAg

5
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah

PARAMETER HASIL SATUAN NILAI


NORMAL
HB 13.6 gr/dL 13,2 – 17,2
AL (Angka Leukosit) 9,9 ribu/ul 3,8 – 10,6
AE (Angka Eritrosit) 5.4 juta/ul 4,40 – 5,90
AT (Angka Trombosit)284 ribu/ul 150-450
HMT (Hematokrit) 41 38-43
Waktu Pembekuan (CT) menit 2-6
Waktu Pendarahan (BT) menit 1–3
MCV 0,3 80 – 100
MCH 26,7 26 – 34
MCHC 3,3 32 – 36
Eosinofil 2 1–4
Basofil 0.5 0-1
Limfosit .8 20 - 40
Monosit 0 2–8
Neutrofil 8.5
Imunoserologi
HBsAg Negative Negative

6
Hasil pemeriksaan Rotgen Thorax

Diagnosis Kerja

Open fraktur 1/3 distal os tibia et fibula

Close fraktur medial os tibia

TATALAKSANA IGD

Farmakoterapi
Infus RL 20 tpm
Wound Toilet
Injeksi Ceftriaxone 1750 mg / 24 jam
Injeksi ATS 1.500 IU single dose
Injeksi Ketorolac 30 mg / 8 jam
Inejksi Ranitidin 25 mg / 8 jam
Advice dr. Sp.OT
Orif wire + Gips Window

7
8
BAB II
PENDAHULUAN

1. Definisi
Fraktur adalah hilanganya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial .

2. Proses Terjadinya Fraktur


Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita
harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan
tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan
tekanan memutar (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Trauma bisa
bersifat :
 Trauma langsung.
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan.
 Trauma tidak langsung.
Disebut trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan
fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. Tekanan
pada tulang dapat berupa :
 Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
 Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
 Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
 Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atay memecah misalnya
pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak
 Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
 Fraktur oleh karena remuk
 Trauma karena tarikan pada ligament atau tendo akan menarik sebagian tulang

9
Gambar 1. Mekanisme Trauma (a) berputar (b) kompresi (c) fragmen
triangular butterfly (d) tension

3. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologis, klinis, dan radiologis. Klasifikasi
Etiologis :
 Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba
 Fraktur patologis. Terjadi kerana kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang
 Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat
tertentu Klasifikasi Klinis1
 Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak
mempunyai hubungan dengan dunia luar.
 Fraktur terbuka (compound fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur yang
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar)
 Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture). Fraktur dengan komplikasi adalah
fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union,
nonunion, infeksi tulang.
Klasifikasi Radiologis
1. Berdasarkan lokalisasi :
 Diafisal
 Metafisal
 Intra-artikuler
10
 Fraktur dengan dislokasi

2. Berdasarkan konfigurasi :
 Fraktur transversal
 Fraktur oblik
 Fraktur spiral
 Fraktur Z
 Fraktur segmental
 Fraktus komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
 Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
 Fraktur avulse, fragmen kecil oleh otot atau tendo misalnya fraktur epikondilus
humeri
 Fraktur depresi, karena trauma langsung
 Fraktur impaksi
 Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah misalnya pada
fraktur vertebra, patella, talus, kalkaneus
 Fraktur epifisis
3. Menurut ekstensi
 Fraktur total
 Fraktur tidak total
 Fraktur buckle
 Fraktur garis rambut
 Fraktur green stick
. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
 Tidak bergeser (undisplaced)
 Bergeser (displaced)
Bergeser dapat terjadi dalam 6 cara :
 Bersampingan
 Angulasi
 Rotasi
 Distraksi
 Over-riding

11
 Impaksi
4. Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase
yaitu :
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunanya yang
terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati,
yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-
sisi fraktur segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal Pada fase ini terjadi reaksi
jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan
fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari periosteum
untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus
interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan
yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-
sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap
awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel
osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang
sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak
terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi
jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang
sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis) Setelah pembentukan jaringan
seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas
dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast
diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh
garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini
12
disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone
sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan
fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik) Woven bone akan membentuk kalus
primer dan secara perlahan-lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh
aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan
diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk
bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis
medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara
osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna
secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami
peroonggaan untuk membentuk ruang sumsum.

5. Fraktur Ekstremitas

Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya gangguan
integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang, periosteum, dan
jaringan yang ada di sekitarnya5. Fraktur ekstrimitas adalah fraktur yang terjadi
pada tulang yang membentuk lokasi ekstrimitas atas (radius, ulna, carpal) dan
ekstrimitas bawah (pelvis, femur, tibia, fibula, metatarsal, dan lain-lain). Gustilo et
al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu :

 Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen tulang
yang menembus kulit.

 Tipe II: Ukuran luka antara 1 – 10 cm, tidak terkontaminasi dan tanpa cedera
jaringan lunak yang major

 Tipe III: Luka lebih besar dari 10 cm dengan kerusakan jaringan lunak yang
signifikan. Tipe III juga dibagi menjadi beberapa sub tipe:

- IIIA: Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang tanpa
memerlukan flap coverage.

- IIIB: kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local atau


distant flap coverage. III
13
- IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang
membutuhkan perbaikan segera.

6. Diagnosis Fraktur Ekstremitas

Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis baik


dari pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme
cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Pasien dengan
fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan ketidakmampuan
untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien kemungkinan
mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya.


Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look,
feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita memperhatikan
penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang terlihat kontak dengan
udara luar). Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh, hematoma,
pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah feel atau
palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal
termasuk sendi di proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa
sakit, efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi
bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai adalah move.
Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion) 7 . Seringkali
pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan oleh
pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan
Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari
ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return
(normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga
harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris. Tegantung dari kondisi
pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan. Dalam pemeriksaaan radiologi
untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu :

 Dua sudut pandang

 Dua Sendi
14
 Dua ekstrimitas

 Dua waktu

7. Tatalaksana Kegaawatan pada Fraktur

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk


mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik
anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer
yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3)
mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber-
sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur
dapat direduksi dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk
proses persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut

SURVEY PRIMER
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, Exposure)

- A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah


kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas
oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik
Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif .

- B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus


menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru
paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan
pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high
flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag .

- C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di


sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering

15
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang
terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha
3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang
terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau
ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada
patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal
penting disamping usaha menghentikan pendarahan .

- D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat


terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal

- E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara


menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia

-
pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur
adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi

1. Imobilisasi Fraktur

Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam


posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada
daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian
bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi
nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus
mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur. Fraktur femur dilakukan
imobilisasi sementara dengan traction splint. traction splint menarik bagian
distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint
didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan
pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma
16
adalah dengan tungkai sebelahnya.

Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam
ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan
cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips
dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

2. Pemeriksaan Radiologi

Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian


dari survey sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan
dilakukan ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan
hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto pelvis AP perlu dilakukan sedini
mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada
pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat ditentukan.

SURVEY SEKUNDER

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah


anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita
harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past
Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).
Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan
memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih
curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain Riwayat
AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum
pasien sampai di rumah sakit
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2)
fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
menilai warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian
17
inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal
aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan
tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang
bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada
periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal .
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari
fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit
pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran
darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan motorik
menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan
yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera
muskuloskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel
syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber – sumber
yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang
dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka
fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada ghas.
Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik
yang dapat diberikan adalah

1. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4


kali sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo

2. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120


mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III
klasifikasi Gustilo.

3. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk


mengatasi kuman anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup.
18
Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca
trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca trauma
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu
hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam
pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit
neurovaskular, maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan
teknik analgesia yang memadai
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur
ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle
fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk
manipulasi, splintage dan transfer pasien
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah
tulang digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri
akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat . Dosis
pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit
secara titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana
pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia
pada dosis rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai
respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari
ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan
menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah
dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan
benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena

19
Daftar pustaka

1. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th edition.
Butterworths Medical Publications. 2010.

2. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt William
& Wilkins. 2007

3. Stein M and Hirshberg A. Trauma Care in the New Millinium: Medical


Consequences of Terrorism, the Conventional Weapon Threat. Surgical Clinics of
North America. Dec 1999; Vol 79 (6).

4. Hogan D, et al. Emergency Department Impact of the Oklahoma City Terrorist


Bombing. Annals of Emergency Medicine; August 1999; 34 (2), pp

5. Mallonee S, et al. Physical Injuries and Fatalities Resulting From the Oklahoma
City Bombing. Journal of the American Medical Association; August 7, 1996; 276
(5); 382- 387.

20

Anda mungkin juga menyukai