Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Parasit adalah istilah yang digunakan untuk menyebut makhluk hidup yang hidupnya
tergantung pada makhluk hidup lainnya. Kata parasit berasal dari bahasa Yunani
‘Parasitos’ yang artinya di samping makanan (para=di samping/di sisi, dan
sitos=makanan). Parasit hidup dengan menempel dan menghisap nutrisi dari makhluk
hidup yang di tempelinya. Makhluk hidup yang di tempeli oleh parasit disebut dengan
istilah inang. Secara umum, keberadaan parasit pada suatu inang akan merugikan dan
menurunkan produktivitas inang. Karena selain menumpang tempat tinggal, parasit juga
mendapatkan nutrisi dan sari makanan dari tubuh inang. Hal seperti ini akan
menyebabkan tubuh inang mengalami mal nutrisi yang akan mempengaruhi metabolisme
tubuhnya.
Kelainan pada kulit manusia salah satunya dapat disebabkan oleh parasit. Kelainan
kulit yang diseabkan oleh parasit menyebabkan sensasi rasa gatal dan panas hingga timbul
lesi bahkan infeksi sekunder (pus dan krusta). Parasit-parasit yang menginfeksi kulit
manusia menyebabkan beberapa penyakit antara lain pedikulosis, skabies dan creeping
eruption.

Pedikulosis adalah infeksi kulit atau rambut pada manusia yang disebabkan oleh
pedikulus (tergolong family pediculae). Selain menyerang manusia penyakit ini juga
menyerang binatang, oleh karena itu dibedakan pediculus humanus dengan pedicilus
animalis. Pedikulus ini merupakan parasir obligat artinya harus menghisap darah manusia
untuk dapat bertahan hidup. Penyakit ini banyak terjadi di lingkungan yang padat dan
penularannya dapat melalui benda yang dipakai oleh penderita ataupun secara kontak
langsung.

Skabies dari bahasa latin scabere, yang artinya to scratch, dulu dikenal sebagai
gatal 7 tahun,yaitu penyakit kulit menular yang menyerang manusia dan binatang. Dalam
klasifikasi WHO dikelompokkan sebagai water-related disease. Penyebabnya adalah
Sarcoptes scabiei, yaitu kutu parasit yang mampu menggali terowongan di kulit dan
menyebabkan rasa gatal.

1
Invasi penyakit creeping eruption sering terjadi pada anak-anak terutama yang
sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir.
Demikian pula para petani dan tentara sering mengalami hal yang sama.Penyakit ini
banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab.

Infeksi parasit pada kulit manusia dapat menular melalui kontak secara langsung atau
kontak secara tidak langsung. Untuk itu melakukan pengobatan terhadap seseorang
yang memiliki keluhan yang sama dengan penderita dalam waktu yang bersamaan
sangat dianjurkan. Hal ini dilakukan untuk mencegah infeksi ulang dari parasit tersebut
(rekuren).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi Penyakit Parasit Hewan ?
2. Apakah etiologi dan pathogenesis dari Pedikulosis, Skabies dan Creeping eruption ?
3. Bagaimana cara menegakkan diagnosis penyakit Pedikulosis, Skabies dan Creeping
eruption ?
4. Bagaimana gambaran klinis dari penyakit Pedikulosis, Skabies dan Creeping
eruption?
5. Bagaimana tatalaksana dari penyakit Pedikulosis, Skabies dan Creeping eruption?

1.3 Tujuan
1. Agar pembaca mengetahui definisi dari Penyakit Parasit Hewan.
2. Agar pembaca mengetahui etiologi dan patogenesis dari penyakit Pedikulosis, Skabies
dan Creeping eruption.
3. Agar pembaca mengetahui gambaran klinis dari penyakit Pedikulosis, Skabies dan
Creeping eruption.
4. Agar pembaca mengetahui bagaimana mendiagnosa penyakit Pedikulosis, Skabies
dan Creeping eruption.
5. Agar pembaca mengetahui tatalaksana dari penyakit Pedikulosis, Skabies dan
Creeping eruption.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi parasit adalah pertumbuhan atau serangan organisme parasit terhadap organ
tubuh manusia sehingga menyebabkan penyakit. Parasit merupakan organisme yang
hidup dari organisme lain. Infeksi parasit biasanya terjadi karena organisme
tersebut masuk ke dalam tubuh melalui mulut atau kulit. Parasit yang masuk melalui
mulut dan tertelan dapat bertahan di dalam usus, atau membuat lubang dalam dinding
usus sehingga menyerang organ lain. Sedangkan infeksi parasit melalui kulit, terjadi
karena gigitan vektor (penyebar penyakit), misalnya serangga yang membawa parasit atau
kontak langsung dengan penderita yang mempunyai infeksi parasit hewan pada tubuhnya
seperti tungau atau kutu.
Kelainan pada kulit manusia salah satunya dapat disebabkan oleh parasit. Kelainan
kulit yang diseabkan oleh parasit seperi tungau dan larva cacing menyebabkan sensasi
rasa gatal dan panas hingga timbul lesi bahkan infeksi sekunder (pus dan krusta). Parasit-
parasit yang menginfeksi kulit manusia menyebabkan beberapa penyakit antara lain
pedikulosis, skabies dan creeping eruption.

2.1 PEDIKULOSIS
Pedikulosis merupakan infeksi kulit dan rambut manusia yang disebabkan oleh
Pedikulus (dari famili Pediculidae). Pedikulus ini dapat menyerang manusia maupun
hewan sehingga dibedakan Pediculus humanus untuk yang menyerang manusia dan
Pediculus animalis untuk yang menyerang hewan. Pedikulus merupakan parasit obligat
yang harus menghisap darah manusia untuk dapat mempertahankan hidup. Pada manusia
sendiri, terdapat klasifikasi pedikulosis berdasarkan spesies pedikulus yang menyerang
beserta tempat predileksinya yaitu: Pediculus humanus capitis (yang menyebabkan
pedikulosis kapitis), Pediculus humanus corporis (yang menyebabkan pedikulosis
korporis), dan Pthirus pubis (yang menyebabkan pedikulosis pubis).

2.1.1 PEDIKULOSIS KAPITIS


2.1.1.1 Definisi
Pedikulosis kapitis merupakan infeksi kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh
Pediculus humanusvar capitis.

3
2.1.1.2 Morfologi dan Etiologi Pediculosis humanus var capitis
Pediculus humanus var. capitis memiliki tubuh yang pipih dorsoventral,
memiliki tipe mulut tusuk hisap untuk menghisap darah manusia, badannya
bersegmen segmen, memiliki 3 pasang kaki dan berwarna kuning kecoklatan atau
putih ke abu-abuan. Tungau ini tidak memiliki sayap, oleh karena itu parasit ini tidak
bisa terbang dan penjalaran infeksinya harus dari benda atau rambut yang saling
menempel. Tungau memiliki cakar di kaki untuk bergantung di rambut. Bentuk
dewasa betina lebih besar dibandingkan yang jantan. Telur (nits) berbentuk oval/bulat
lonjong dengan panjang sekitar 0,8 mm ,berwarna putih sampai kuning kecoklatan.
Telur diletakkan di sepanjang rambut dan mengikuti tumbuhnya rambut, yang berarti
makin ke ujung terdapat telur yang lebih matang.

Gambar 1. Morfologi Pediculus humanus var. capitis dewasa betina dan


jantan.

Gambar 2. Morfologi Pediculus humanus var. capitis: A. Telur; B. Dewasa

4
2.1.1.Patogenesi

2.1.1.3 Patogenesis
Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa
gatal. Gatal tersebut timbul karena pengaruh liur dan ekskreta dari kutu yang masuk
ke dalam kulit waktu menghisap darah.

2.1.1.4 Gejala Klinis


Gejala klinis yang dominan ialah rasa gatal, terutama pada daerah oksipital dan
temporal serta dapat meluas ke seluruh kepala. Kemudian karena garukan terjadi
erosi, ekskoriasi, dan infeksi sekunder (pus, krusta). Bila infeksi sekunder berat,
rambut akan bergumpal disebabkan oleh banyaknya pus dan krust, keadaan ini disebut
plica polonica yang dapat ditumbuhi jamur, dan disertai pembesaran kelenjar getah
bening regional (oksiput dan retroaurikuler). Pada keadaan tersebut kepala
memberikan bau busuk (Mansjoer,2000).

Gambar 3. Gambaran klinis pedikulosis capitis: A.Ruam pada tengkuk dan


regio oksipital kulit kepala; B.Ruam serta terlihat banyak telur yang menempel
di rambut daerah retroaurikuler dan oksipital.

5
Gambar 4. Gambaran klinis pediculosis capitis berupa makula eritema,
ekskoriasi, papul pada kulit kepala dan telur tungau yang menempel pada
rambut

2.1.1.5 Dasar Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Biodata : Nama, umur, alamat, jenis kelamin, pekerjaan
Anamnesa yang berkaitan dengan pedikulosis :
a) Keluhan atau gejala yang dirasakan ?
b) Sejak kapan keluhan dirasakan ?
c) Adakah anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama dengan
pasien ?
d) Apakah pasien pernah merasakan gatal-gatal disekitar kulit kepala ?
e) Apakah pasien pernah pinjam-pinjaman alat mandi, handuk, sisir,
bantal, kasur, topi, baju kepada orang lain atau anggota keluarga ?
f) Identifikasi kegiatan pasien selama diluar rumah.

2. Pemeriksan fisik
Kulit kepala ditemukan telur-telur di rambut pada oksiput dan diatas
telinga (biasanya ditemukan kurang dari 10 ekor kutu dewasa). Ditemukan
impetigo sekunder dan furunkulosis (Fitzpatrick,2008).

2.1.1.6 Diagnosis Banding


Penyakit kulit lainnya juga dapat menyebabkan gatal pada kulit kepala seperti
dermatitis seboroik, psoriasis, gigitan serangga,eksim dan infeksi jamur ( tinea
kapitis). Pada dermatitis seboroik juga terdapat gatal, tetapi terdapat sisik yang

6
terakumulasi dengan krusta yang berwarna kuning dan selain menyerang kepala juga
menyerang alis, lipatan nasolabial dan kulit dada. Pada psoriasis gatal yang dirasakan
tidak seberat gatal pada pediculosis capitis. Psoriasis memiliki gambaran klinis kulit
plak eritematosa yang ditutupi oleh skuama berwarna abu-abu, dan daerah
predileksinya adalah perbatasan daerah berambut. Pada tinea kapitis terdapat
kebotakan parsial atau seluruhnya yang nyata, bentuk kelainan lesi nya berupa papula
eritem disertai sisik halus berwarna putih kelabu.

2.1.1.7 Penatalaksanaan
Berikut adalah macam macam obat yang dapat digunakan untuk terapi pediculosis
capitis :

a. Piretrin
Nama dagang : A-200, Pronto, Rid, Triple X
Piretrin berasal dari ekstrak alami bunga Chryantheum cinerariaefolium. Ekstrak
piretrin alami digunakan pada tahun 1940 dan sangat mahal. Sehingga, Piperonyl
Butoxide (PBO) ditambahakan sebagai zat sinergis. Pasien yang alergi terhadap
tanaman chysanteums atau sari tanaman yang terkait akan mengalami sesak nafas
dan dispnea.
b. Permetrin
Nama dagang : Nix
Permetrin adalah satu-satunya piretoid sintesis yang yang memiliki kegunaan
untuk membunuh tungau di seluruh dunia. Diperkenalkan di Amerika Serikat
tahun 1986, permetrin memiliki aktifitas residual selama 2 minggu setelah
pengobatan tunggal selama 10 menit. Permetrin krim di aplikasikan selama 10
menit,namun pengobatan 8-12 jam dengan krim 5% untuk penyakit kudis/scabies
adalah pengobatan alternatif dan lebih efektif. Resistensi terhadap konsentrasi
tinggi juga menjadi masalah, terutama di daerah dimana terdapat resistensi
DDT/piretroid.
c. Lindane
Nama dagang : Tidak tersedia
Lindane adalah Chlorinated hydrocarbon, seperti DDT, dan kelas ini adalah
senyawa yang pada umumnya lambat membunuh. Tersedia dalam sediaan
shampoo 1% yang diaplikasikan selama 4 menit. Para peneliti tidak menyarankan
penggunaan Lindane karena resistensi, efek samping pada sistem saraf pusat

7
(SSP). Obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang gagal untuk respon terapi
tungau.
d. Carbaril
Nama dagang : Sevin Carbaril adalah inhibitor cholinesterase. Carbaril tersedia
dalam lotion dan shampoo 0,5% di Inggris dan di negara-negara lain. Produk ini
tidak tersedia di Amerika Serikat dan mungkin tidak disetujui FDA karena
toksisitasnya. Carbaril lebih beracun dan bersifat karsinogenik pada pasien dan
kurang mematikan tungau
e. Malathion
Nama dagang : Ovide Seperti Carbaril, Malathion adalah inhibitor cholinesterase
dan telah digunakan selama 20 tahun untuk mengobati tungau. Pengobatan secara
topikal di antaranya dengan pemberian malathion yang memberikan efek
pedikulosid dengan cara pemberian sebanyak 0,5% atau 1% dalam bentuk lotion
atau spray. Lotion malathion digunakan malam hari sebelum tidur setelah rambut
dicuci dengan sabun,kemudian kepala ditutup dengan kain. Keesokan harinya
rambut dicuci lagi dengan sabun dan disisir menggunakan sisir rapat atau serit.
Pengobatan dapat diulangi satu minggu kemudian jika masih terdapat telur.

2.1.1.8 Pencegahan
Kutu kepala paling sering menyebar melalui hubungan langsung antar kepala
(dari rambut ke rambut). Meskipun demikian tungau dapat menyebar melalui pakaian
atau aksesoris kepala yang yang digunakan secara bersama. Resiko untuk tertular
melalui karpet atau tempat tidur dimana tempat tungau jatuh sangatlah kecil. Kutu
kepala dapat bertahan kurang dari 1-2 hari jika mereka tidak berada di rambut dan
tidak mendapatkan makanan. Sedangkan telur dapat bertahan sekitar 1 minggu jika
tidak berada di kelembapan dan temperatur yang salima dengan kulit kepala dan
rambut

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat mencegah penyebaran penularan


kutu kepala :

1. Menghindari adanya kontak langsung (rambut dengan rambut) ketika bermain dan
beraktivitas di rumah, sekolah, dan dimanapun.

8
2. Tidak menggunakan pakaian seperti topi, scarf, jaket, kerudung, kostum olahraga,
ikat rambut secara bersamaan

3. Tidak menggunakan sisir, sikat, handuk secara bersamaan. Melakukan desinfeksi


sisir dan sikat dari orang yang terinfestasi dengan direndam di air panas (sekitar 130
F) selama 5-10 menit.

4. Mencuci dan menjemur pakaian, perlengkapan tempat tidur, karpet, dan lain-lain.

5. Menyapu dan membersihkan lantai dan perabotan rumah tangga lainnya

2.1.2 PEDIKULOSIS KORPORIS


2.1.2.1 Definisi
Pedikulosis korporis merupakan Infeksi kulit yang disebabkan oleh
Pediculus humanus var. corporis.

2.1.2.2 Morfologi dan Etiologi Pediculosis humanus var corporis


Pediculus humanus var. corporis mempunyai 2 jenis kelamin, yakni jantan
dan betina berukuran panjang 1,2-2,4 mm dan lebar kira-kira 1/2 panjangnya,sedangkan
yang jantan lebih kecil. Siklus hidup dan larna kutu ini sama dengan yang
ditemukan pada kepala. Pada kutu tubuh P. humanus var corporis lebih besar dari
kutu kepala 30%, tapi pada dasarnya memiliki morfologi yang sama. Rentang
kehidupan rata-rata 18 hari dan selama waktu ini kutu betina dapat
menghasilkan 270-300 t e l u r .
Kutu ini biasanya ditularkan melalui pakaian yang terkontaminasi atau tempat
tidur. Kutu ini bisa bertahan hidup di lapisan pakaian tanpa makan sampai 3 hari. Setelah
terkena, tidak mencuci pakaian dan mengganti baju memungkinkan untuk kutu dapat
bertahan.

2 . 1 . 2 . 3 Patogenesis
Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa gatal.
Rasa gatal ini disebabkan oleh pengaruh liur dan ekskreta dari kutu pada waktu
menghisap darah.

9
Gambar 5:Pediculus humanus var. corporis.

Gambar 6: Siklus hidup Pediculus humanus var. corporis.

2.1.2.4 Gejala Klinis


1) Makula, terutama pada daerah tubuh tempat pakaian terikat seperti pinggang, bokong
dan paha.
2) Bekas garukan berukuran 1,5cm pada badan karena gatal.
3) Kadang timbul infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah bening regional.
4) Pigmentasi pasca inflamasi yang terjadi pada kasus kronis.

10
2.1.2.5 Dasar Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Biodata : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
Anamnesa yang berkaitan dengan pedikulosis :
a) Keluhan atau gejala yang dirasakan ?
b) Sejak kapan keluhan dirasakan ?
c) Adakah anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama dengan
pasien?
d) Apakah pasien pernah merasakan gatal-gatal disekitar badan?
e) Apakah pasien pernah pinjam-pinjaman alat mandi, handuk, sisir, bantal,
kasur, topi, baju kepada orang lain atau anggota keluarga ?
f) Identifikasi kegiatan pasien selama diluar rumah.

2. Pemerisaan fisik
Terlihat jalur bekas garukan sejajar, perubahan-perubahan urtikaria, dan
papula erithematosa, lesi tampak jelas. Ditemukan kutu-kutu yang biasanya terdapat
pada lipatan-lipatan pakaian dan jarang sekali dikulit.

3. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis pasti adalah ditemukan kutu dan telur pada serat kapas pakaian. Bisa
juga dilakukan pemeriksaan lampu wood pada lesi yang akan berfloresensi berwarna
kuning kehijauan.

2.1.2.6 Diagnosis Banding


1. Skabies
Persamaan dengan pedikulosis korporis adalah dari manifestasi klinis pruritus
nocturnal, biasanya penyakit ini juga sama-sama efloresensi manifestasi klinisnya
juga didapatkan makula, menyerang manusia secara berkelompok dengan latar
belakang hygiene yang buruk, ekskoriasi dan lesi bekas garukan di kulit penderita.
Perbedaannya terletak pada kalau scabies dalam pemeriksaan selanjutnya akan
ditemukan tungau sebagai penyebabnya dengan ekskoriasi yang lebih luas daripada
pedikulosis korporis. Pada skabies ditemukan lesi yang berbentuk
terowongan/kunikulus. Lesi pada skabies biasanya di kulit yang stratum korneumnya

11
tipis seperti sela-sela jari tangan, ketiak, dll. Kalau pedikulosis korporis pada daerah
lipatan-lipatan baju tempat terdapatnya kutu.

2. Neurotic Excoriation
Merupakan diagnosis banding dari pedikulosis korporis. Gejala dan manifestasi
yang ditemukan hampir sama dengan pedikulosis korporis. Perbedaanya pada
penyakit ini, pasien memiliki gangguan psikis dan neurogenik yang melatar belakangi
timbulnya lesi garukan di kulit.

2.1.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatannya ialah dengan krim gameksan 1% yang dioleskan tipis di seluruh
tubuh dan didiamkan 24 jam, setelah itu penderita disuruh mandi. Jika masih belum
sembuh diulangi 4 hari kemudian. Obat lain ialah emulsi bensil benzoate 25% dan bubuk
malathion 2%.
Pakaian agar direbus atau disetrika, maksudnya untuk membunuh telur dan kutu. Jika
terdapat infeksi sekunder diobati dengan antibiotic secara sistemik dan topical.
Karena kutu bereproduksi dalam pakaian dan tidak pada kulit, membuang atau
mencuci pakaian dan mengembalikan kebersihan yang layak dapat menyembuhkan
serangan kutu. Kasur juga harus dicuci dengan air panas atau dibuang.
Beberapa dokter percaya bahwa setelah perlakuan pakaian yang tepat, pasien
harus ditangani dari kepala sampai kaki dengan aplikasi permetrin krim 5% biarkan
selama 8 sampai 10 jam kemudian dibersihkan secara menyeluruh.

2.1.2.8 Pencegahan
Edukasi pencegahan difokuskan kepada factor pencetus terjadinya penyakit
pedikulosis pedikulosis korporis. Edukasi pencegahan bisa dilakukan dengan cara pasien
disarankan untuk mandi, mengganti dan mencuci baju setiap hari, menghindari kebiasaan
bertukar baju dengan orang lain dan tidur bersama-sama apalagi dengan jumlah yang
padat. Baju, selimut, seprei bisa dicuci dengan air panas untuk menjaga kebersihan
pakaian dari mikroorganisme penyebab (Fitzpatrick,2008).

2.1.3 PEDIKULOSIS PUBIS


12
2.1.3.1 Definisi
Pedikulosis pubis merupakan infestasi kutu Phthirus pubis pada rambut pubis. Gejala
utama adalah rasa gatal di daerah pubis dan sekitarnya. Rasa gatal ini dapat
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada. Pediculus pubis biasanya terlihat
pada daerah yang terinfeksi, tetapi kadang-kadang telurnya yang berwarna cokelat, lebih
mudah terlihat. Bila parasit yang terdapat pada pakaian dalam sangat banyak
jumlahnya maka dapat menimbulkan bercak -bercak akibat darah yang sudah
berubah yang dikeluarkan oleh kutu tersebut.

2.1.3.2 Morfologi dan Etiologi Phithirus pubis


Phithirus pubis bentuknya pipih dorsoventral, bulat menyerupai ketam dengan kuku
pada ketiga pasang kakinya. Stadium dewasa berukuran 1,5-2mm dan berwarna abu-abu.
Karena bentuknya menyerupai ketam, P.pubis juga disebut crab louse. P.pubis hidup pada
rambut kemaluan, dapat juga ditemukan pada rambut ketiak, jenggot, kumis, alis dan bulu
mata. Waktu yang diperlukan untuk pertumbujan telur menjadi dewasa kurang lebih 3-4
minggu.

Gambar 7: Phthirus pubis

2.1.3.3 Patogenesis
Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa gatal.
Rasa gatal ini disebabkan oleh pengaruh liur dan ekskreta dari kutu pada waktu
menghisap darah.

2.1.3.4 Gejala Klinis

13
Gejala yang terutama adalah gatal di daerah pubis dan di sekitarnya. Gatal ini dapat
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada, di situ dijumpai bercak -bercak
yang berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut sebagai makula serulae. Kutu ini
dapat dilihat dengan mata biasa dan susah untuk dilepaskan karena kepalanya
dimasukkan ke dalam muara folikel rambut.
Gejala lainnya ialah black dot yaitu adanya bercak-bercak hitam yang tampak jelas
pada celana dalam berwarna putih yang dilihat oleh penderita pada waktu bangun tidur.
Bercak hitam ini merupakan krusta berasal dari darah yang sering diinterpretasikan
salah sebagai hematuria. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan pembesaran
kelenjar getah bening regional.

2.1.3.5 Dasar Penegakan Diagnosis


1. Anamnesa
Biodata : nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan
Anamnesa yang berkaitan dengan pedikulosis :
a) Keluhan atau gejala yang dirasakan ?
b) Sejak kapan keluhan dirasakan ?
c) Adakah anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama dengan
pasien?
d) Apakah pasien pernah merasakan gatal-gatal disekitar pubis?
e) Apakah pasien pernah pinjam-pinjaman alat mandi, handuk, sisir, bantal,
kasur, topi, baju kepada orang lain atau anggota keluarga ?
f) Identifikasi kegiatan pasien selama diluar rumah.
g) Riwayat hubungan seksual.

2. Pemeriksaan fisik
Rambut pubis atau paha dihuni oleh beberapa buah telur (nits) saja atau sampai
tak terhitung jumlahnya. Ditemukan noktah-noktah hitam kecil/ black dot yang
merupakan titik-titik darah terhisap dalam waktu kutu dewasa ataupun bagian
kotorannya.

3. Pemeriksaan penunjang

14
Dilakukan pemeriksaan dengan perhatian khusus terhadap kemaluan kalau perlu
dengan menggunakan kaca pembesar, biasanya ditemukan telur atau kutu bentuk
dewasa (Mansjoer,2000).

2.1.3.6 Diagnosis Banding


1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik memberikan gambaran berupa eritema dan skuama pada daerah
pubis dan terasa gatal.
2. Dermatomikosis
Biasanya didapatkan ruam ataupun lesi dengan tepi berskuama, eritematous dan
meninggi serta berbentuk lingkaran dan gatal. Penyebabnya adalah jamur.

2.1.3.7 Penatalaksanaan
Pengobatannya sam adengan pengobatan pedikulosis korpporis, yakni dengan
krim gameksan 1% atau emulsi benzyl benzoate 25% yang dioleskandan
didiamkan selama 24jam. Pengobatan diulangi 4 hari kemudian, jika
belum sembuh. Sebaiknya rambut kelamin dicukur. Pakaian dalam direbus atau
disetrika, pasangan seksual juga diperiksa dan diobati.

2.2 SKABIES
2.2.1 Definisi
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau
Sarcoptes scabei. Skabies tidak membahayakan bagi manusia. Adanya rasa gatal pada
malam hari merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas.
Penyakit scabies banyak berjangkit di: (1) lingkungan yang padat penduduknya, (2)
lingkungan kumuh, (3) lingkungan dengan tingkat kebersihan kurang. Skabies
cenderung tinggi pada anak-anak usia sekolah, remaja bahkan orang dewasa (Siregar,
2005).

2.2.2 Morfologi Sarcoptes Scabiei


Penyebabnya penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai
akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei atau pada manusia disebut

15
Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda,
kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes (Djuanda, 2010).

Gambar 8. Morfologi Sarcoptes Scabiei

Secara morfologi tungau ini berbentuk oval dan gepeng, berwarna putih kotor,
transulen dengan bagian punggung lebih lonjong dibandingkan perut, tidak berwarna,
yang betina berukuran 300-350 mikron, sedangkan yang jantan berukuran 150-200
mikron. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang merupakan kaki depan
dan 2 pasang lainnya kaki belakang. Siklus hidup dari telur sampai menjadi dewasa
berlangsung satu bulan. Sarcoptes scabiei betina terdapat cambuk pada pasangan kaki
ke-3 dan ke-4. Sedangkan pada yang jantan bulu cambuk tersebut hanya dijumpai
pada pasangan kaki ke-3 saja. (Aisyah, 2005)

2.2.3 Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan
setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder (Djuanda, 2010).

2.2.4 Cara Penularan


Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung,
adapun cara penularannya adalah:

16
 Kontak langsung (kulit dengan kulit) Penularan skabies terutama melalui
kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual.
Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan hal tersering, sedangkan
pada anakanak penularan didapat dari orang tua atau temannya.
 Kontak tidak langsung (melalui benda) Penularan melalui kontak tidak
langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu
dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian,
penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan
penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan
utama adalah selimut (Djuanda, 2010)

2.2.5 Gambaran Klinis


Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 tanda dibawah ini :
 Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktivitas tungau betina
pada malam hari membuat terowongan-terowongan yang di ikuti oleh tungau
jantan.
 Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam keluarga,
biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam sebuah perkampungan
yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan
diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh
anggota keluarganya terkena.
 Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang dicurigai berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata 1 cm,
pada ujung terowongan ditemukan papula (tonjolan padat) atau vesikel
(kantung cairan). Jika ada infeksi sekunder, timbul polimorf (gelembung
leokosit)
 Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Gatal yang hebat terutama pada
malam sebelum tidur. Adanya tanda : papula (bintil), pustula (bintil bernanah),
ekskoriasi (bekas garukan).

17
Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit yang
umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan lipatan paha, dan muncul
gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010)

2.2.6 Diagnosis Banding


 Prurigo : Biasanya berupa papul, gatal, predileksi bagian ekstensor
ekstremitas, dan biasanya gatal pada malam hari.
 Pedikulosis Korporis : Persamaan dengan pedikulosis korporis adalah dari
manifestasi klinis pruritus nocturnal, biasanya penyakit ini juga sama-sama
efloresensi manifestasi klinisnya juga didapatkan macula,menyerang manusia
secara berkelompok dengan latar belakang hygiene yang buruk, ekskoriasi dan
lesi bekas garukan di kulit penderita.
Perbedaannya terletak pada kalau scabies dalam pemeriksaan selanjutnya akan
ditemukan tungau sebagai penyebabnya dengan ekskoriasi yang lebih luas
daripada pedikulosis korporis. Pada scabies ditemukan lesi yang berbentuk
terowongan/kunikulus. Lesi pada scabies biasanya di kulit yang stratum
korneumnya tipis seperti sela-sela jari tangan,ketiak,dll. Kalau pedikulosis
korporis pada daerah lipatan-lipatan baju tempat terdapatnya kutu.(Siregar,
2005).

2.2.7 Penatalaksanaan
Menurut Sudirman (2006), penatalaksanaan skabies dibagi menjadi 2 bagian :
 Penatalaksanaan secara umum. Pada pasien dianjurkan untuk menjaga
kebersihan dan mandi secara teratur setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan
handuk yang telah digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu
direndam dengan air panas. Demikian pula dengan anggota keluarga yang
beresiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga harus
dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu menghindari terjadinya
kontak langsung. Secara umum meningkatkan kebersihan lingkungan
maupun perorangan dan meningkatkan status gizinya. Beberapa syarat
pengobatan yang harus diperhatikan:

18
 Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi
pengobatan secara serentak
 Higiene perorangan : penderita harus mandi bersih, bila perlu
menggunakan sikat untuk menyikat badan. Sesudah mandi pakaian
yang akan dipakai harus disetrika.
 Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal,
kasur, selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari
selama beberapa jam.

 Penatalaksanaan secara khusus. Dengan menggunakan obat-obatan


(Djuanda, 2010), obat-obat anti skabies yang tersedia dalam bentuk topikal
antara lain:
 Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam
bentuk salep atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori
pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada
bayi berumur kurang dari 2 tahun.
 Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
 Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya 1%
dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi.
Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi
seminggu kemudian.
 Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus
dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.
 Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik dibandingkan
gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus
setelah 10 jam. Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak
anjurkan pada bayi di bawah umur 12 bulan.

2.2.8 Pencegahan
Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan :
19
 Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
 Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur
minimal 2 kali dalam seminggu.
 Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.
 Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
 Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai
terinfeksi tungau skabies.
 Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit.


Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan
penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini
hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun
penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah
dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah yang
dapat diambil adalah sebagai berikut :

 Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di
cairan antiseptik.
 Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
 Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
 Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab (Depkes, 2007).
2.3.Creeping Eruption (Cutaneus Larva Migran)

2.3.1 Definisi
Cutaneus larva migran merupakan suatu kelainan kulit yang merupakan
peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif,
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.
Larva carcing beredar di bawah kulit manusia, yang ditandai adanya erupsi kulit
berupa garis papula kemerahan (Leventhal, 2012).
Larva cacing berasal dari cacing yang hidup di usus kucing atau anjing. Umumnya
mampu menginvasi kulit kaki, tangan, bokong atau abdomen. Sering terjadi pada

20
anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki atau yang sering
berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung larva tersebut. Demikian
pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama. Penyakit ini banyak
ditemukan pada daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab (Aisah, 2015).

2.3.2 Epidemiologi
Insidens di Amerika Serikat (pantai Florida, Texas, dan New Jersey) tercatat
6,7% dari 13,300 wisatawan mengalami CLM setelah berkunjung ke daerah tropis.
Hampir di semua negara beriklim tropis dan subtropis, misalnya Amerika Tengah
dan Amerika Selatan, Karibria, Afrika, Australia dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, banyak ditemukan CLM. Tidak dapat perbedaan ras, usia, maupun jenis
kelamin (Aisah, 2015).

2.3.3 Patogenesis
Penyebab utama dari CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum).
Penyebab lain yang memungkinkan yaitu larva Uncinaria stenocephala dan
Bunostomum phlebotomum (Aisah, 2010).
Ancylostoma caninum memiliki 3 pasang gigi (Supali, 2009). Panjang cacing
jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa kopulatriks
dan cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm. Cacing betina meletakkan telur rata-
rata 16.000 telur setiap harinya (Palgunadi, 2010).
Morfologi cacing Ancylostoma braziliense mirip dengan Ancylostoma caninum,
tetapi kapsul bukalnya memnjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah
lateral lebih besar, sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada
Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul.
Cacing betina berukuran 6-9 mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing
betina dapat mengeluarkan telur 4000 setiap hari (Palgunadi, 2010).
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat,
dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva filariform (lara stadium tiga) yang infektiif
setelah 5 sampai 10 hari. Lara infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu
di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan
kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah alveoli, naik ke

21
bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian
tinggal dan tumbuh menjadi dewasa (Aisah, 2010).
Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada
sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia
dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis (Aisah, 2010).
CLM diperoleh dari kontak langsung antara kulit dengan tanah yang
terkontaminasi dengan kaki, bokong, dan paha menjadi area paling sering terkena
(Hochedez, 2007). Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing,
meletakkan telur di feses yang akan menetas dan berkembang menjadi larva
(Heukelbach, 2008).
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang
menjadi lara infektif tahap ke tiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan
hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahai langsung dan berada dalam
lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka
larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap di
sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai. Akhirnya menembus ke lapisan
korneum epidermis (Juzyzh, 2012).

Gambar 9. Siklus hidup cacing tambang hewan

22
Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi
di kulit manusia (Heukelbach, 2007). Pada manusia, larva tidak memiliki enzim
kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis,
sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya.
Akibatnya larva terjebak di jaringan kulit manusia, bermigrasi melalui jaringan
subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat
lainnya (Palgunadi, 2010).

2.3.4 Gejala Klinis


Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat larva
melalukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama malam hari (Natadisastra,
2009). Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi
berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan
berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa
lara tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Selanjutnya, papul
merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpigenosa, menimbul
dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm (Aisah,
2010).
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat
bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun
bertambah beberapa mm sampai cm perhari dengan lebar sekitar 3 mm. Pada CLM,
dapat dijumpai lesi multiple, tergantung pada tingkat keparahan infeksi
(Heukelbach, 2008).
CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan
tanah atau pasir. Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus,
bokong, dan paha. Tempat lain mungkin terkena meliputi dada, siku dan wajah
(Heukelbach, 2008).

2.3.5 Diagnosis
Berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan disertai dengan riwayat berjemur,
berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktiitas lainnya di daerah tropis. Pemeriksaan
biopsi tidak diperlukan (Vano, 2009).
Pemeriksaan darah tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tidak di
rekomendasikan (Hochedez, 2007). Secara teori pada pemeriksaan laboratorium,

23
eosinofil mungkin ditemuka, namun tidak spesifik (Heukelbach, 2008). Akhir-akhir
ini, mikroskop epiluminens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan
larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui (Heukelbach, 2008).

2.3.6 Diagnosis Banding


Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan scabies. Pada
scabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada CLM. Bila
melihat bentuk polisiklik sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan
lesi berupa papul sehingga sering diduga insects bite. Bila invasi larva yang multiple
timbul serentak, papul-papul lesi dini sering menyerupai herpes zoster stadium
permulaan (Aisah, 2015).

2.3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan lini pertama Ivermectin dan Albendazol oral karena tiabendazol tidak
lagi dipasarkan dan dengan demikian tidak tersedia di seluruh dunia. Iermectin
merupakan derivat sintetik dari kelas antiparasit avermectins (Dourmishev, 2005).
Dosis tunggal ivermectin oral 200 µ/kgBB dapat ditoleransi dengan baik,
membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka
kesmbuhan dosis tunggal berkisar 94%-100%. Dalam hal ini kegagalan pengobatan,
dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan (Supali, 2008). Dosis tunggal
ivermectin oral lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol oral, tetapi
pengobatan berulang dengan albendazol oral dapat dilakukan sebagai alternatif yang
baik dinegara-negara dimana ivermectin tidak tersedia (Heukelbach, 2008).
Albendazol, suatu obat anti parasit generasi ketiga, juga efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Albendazol oral dalam dosis optimal, yaitu 400-800 mg
setiap hari yang diberikan selama 3 hari menunjukkan tingak keberhasilan yang
sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal
albendazol memiliki efikasi yang rendah, maka albendazol dengan regimen 3 hari
biasanya lebih direkomendasikan (Supali, 2008).
Tibendazol 50 mg/KgBB selama 2-4 hari telh digunakan secara luas sejak laporan
mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara
oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan tibendazol secar oral
sering menimbulkan efek samping berupa pusing, mual muntah dan kram usus.

24
Karena penggunaan ivermectin dan albeendazol oral menunjukkan hasil yang baik,
penggunaan tibendazol oral tidak direkomendasikan (Chia, 2010).
Ivermectin dan albendazol oral kontra indikasi pada anak-anak dengan BB kurang
dari 15 kg atau umur kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui.
Oleh karena itu, dipertimbangkan diberikan pengbatan diberikan secara topikal
(Chia, 2010).Pemberian salep albendazol 10-15% secara topikal sebanyak dua
sampai tiga kali perhari diberikan selama 10 hari terbukti aman dan efektif
mengobati CLM (Dourmishe, 2005).
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari bertut-turut. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan
kloretil sepanjang lesi. Akan terapi, ketiga cara tersebut tidak dianjurkan.
Pembekuan tidak efektif karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva
berada. Larva biasanya terletak bebera cm di atas ujung lesi, dan larva mampu
bertahan pada suhu serendah -210C selama lebih dari 5 menit. Di samping itu, cara
ini dapat menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ulserasi krois. Pengobatan
dengan cara ini sudah lama tidak dilakukan (Chia, 2010).

2.3.8 Pencegahan
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadia CLM (menurut Heukelbach,
2008) antara lain:
 Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir
yang terkontaminasi
 Saat menjemur, pastikan handuk atau pakaiaa tidak menyentuh tanah
 Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing an kucing dengan anti
helmintik
 Hewan dilarang berada di wilayah pantai ataupun taman bermain
 Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk
defekasi dilubang tersebut
 Menggunakan kursi atau matras saat berjemur
 Berbaring dipasir yang tersapu gelombang air lebih baik daripada berbaring
dipasir yang kering

25
2.3.9 Prognosis
CLM tidak mengancam kehidupan, umumnya sembuh dengan terpai anti
helmintes albendazol atau tiabedazol maupun ivermectin (Aisah, 2015).

26
BAB III
PENUTUP

3.1 kesimpulan
Kelainan pada kulit salah satunya dapat disebabkan oleh parasit. Parasit merupakan
organisme yang hidup dari organisme lain. Infeksi parasit biasanya terjadi karena
organisme tersebut masuk ke dalam tubuh melalui mulut atau kulit. Infeksi parasit melalui
kulit, terjadi karena gigitan vektor (penyebar penyakit), misalnya serangga yang membawa
parasit atau kontak langsung dengan penderita yang mempunyai infeksi parasit hewan pada
tubuhnya seperti tungau. Kelainan kulit yang diseabkan oleh parasit seperti tungau dan
larva cacing menyebabkan sensasi rasa gatal dan panas hingga timbul lesi bahkan infeksi
sekunder (pus dan krusta). Parasit-parasit yang menginfeksi kulit manusia menyebabkan
beberapa penyakit antara lain pedikulosis, skabies, dan creeping eruption.
Pedikulosis, skabies, dan creeping eruption mempunyai etiologi dan pathogenesis
berbeda-beda namun penularannya hampir sama sama-sama akibat hygiene yang buruk
atau kontak langsung. Cara mendiagnosis Pedikulosis, skabies, dan creeping eruption
dengan anamnesa yang kuat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran
klinis ketiganya pun sama-sama disertai sensari gatal dan panas, akibat garukan dapat
timbul lesi hingga infeksi sekunder.
Pedikulosis merupakan infeksi kulit dan rambut manusia yang disebabkan
oleh Pedikulus (dari famili Pediculidae). Pediculus ini dapat menyerang manusia maupun
hewan sehingga dibedakan Pediculus humanus untuk yang menyerang manusia dan
Pediculus animalis untuk yang menyerang hewan. Gejala awal hanya gatal terutama
daerah ociput dan temporal serta dapat meluas seluruh kepala. Penegakan diagnosa paling
mudah dengan menemukan kutu atau telur, terutama dicari di daerah oksiput dan temporal.
Pengobatan bertujuan memusnahkan semua kutu dan telur serta infeki sekunder dengan
malation topikal 0,5% atau 1% dalam bentuk losio atau spray. Prognosis baik apabila
hiegine diperhatikan (Djuanda, 2010).
Penatalakasanaan secara umum pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan
mandi secara teratur setiap hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan
harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula dengan
anggota keluarga yang beresiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga
harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu menghindari terjadinya kontak
langsung.

27
DAFTAR PUSTAKA
Aisah, Siti. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Aisah, Siti. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Chia CA. 2010. Cutaneus Larva Migrans. The New England Jornal of Medicine.

Djuanda. A., Hamzah.M., Aisah.S.2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dourmishev AL, Dourmishevv LA, Schwatz RA. 2005. Ivermectin: pharmacology and
application in dermatologi. Int J Dermatol

Handoko R, Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Ed.4. Jakarta:
FKUI.

Heukelbach J, Gomide M, Araujo F, Pinto NS, Santana RD, Brito JR, et al. 2007. Cutaneus
Larva Migrans and tungiasis in international travelers exiting brazil. J Travel Med.

Heukelbach J. Felmeier H. 2008. Epidemiological and clinical characterristics of hooworm


rlated cutaneus lara migrans. Lancet Infect Dis.

Hochedez P, Caumes E. 2007. Hookworm related cutaneus larva migrans. J Travel Med.

Juzych LA. 2012. Cutaneus Larva Migrans. New York: Medscape

Ko JC, Elston DM. 2004. Pediculosis. J Am Acad Dermatol.

Leventhal R, Russel FC. 2012. Medical parasitology : a self intruction text. Esisi ke 6.
Philadelphia : FA Davis Company

Natadisastra D, Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Palgunadi BU. 2010. Cutaneus Larva Migrans. Jurnal Ilmiah Kedokteran.

28
Supali T, Margono SS, Alisah NA. 2009. Cacing tambang (Hookworm). In: Susanto I, Ismid
II, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar parasitologi kedokteran. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

Supali, T, Margono SS, Alisah NA. 2009. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

Vano-Galvan S, Gil-Mosquera M, Truchuelo M, Jaen P. 2009. Cutaneus Larva Migrans: a


case report. Cases Journal.

29

Anda mungkin juga menyukai